Take a Drink Together
presented by pearlshafirablue
Do Kyungsoo [EXO-K] – Kim Taeyeon [GG]
| Romance, Action, slight!Mystery | PG-15 | Chaptered [5 of ?] |
“All of the characters are God’s and themselves’. They didn’t gave me any permission to use their name in my story. Once fiction, it’ll be forever fiction. I don’t make money for this.”
Previous Chapter
Prolog . 1 . 2 . 3 . 4
A/N
Another TaeSoo story. Hope you like it. Romance! Not psycho again. LOL. Anyway, the title is inspired by Davichi’s song; Take A Drink Together. But only the title. Not the story. POV in every chapter maybe changed. So, read carefully. Warning, age manipulation!
-o0o-
“Hello, anybody home?”
Seorang wanita dengan gaun tidur tipis berwarna hijau lumut menyerngit heran. Ia menolehkan kepalanya ke belakang—ke arah sumber suara.
Semalam ini? Siapa?
Tanpa banyak berpikir, wanita bersurai coklat itu berjalan ke arah pintu depan.
Matanya memicing saat melihat seorang wanita tak dikenal berdiri di depan pintu rumahnya. “Maaf, apakah aku mengenalmu? Siapa kau?”
Yang diajak bicara hanya tersenyum. “It’s not important for you.” Sahutnya penuh misteri.
Empunya rumah semakin bingung. Ia nyaris menutup pintu saat sebuah benda mengilap menyelip di antara daun pintu rumahnya. Matanya membulat.
Kejadiannya terasa begitu cepat. Tahu-tahu tubuhnya sudah terbaring di lantai—dengan darah tergenang di segala penjuru. Termasuk di pakaian pengeksekusinya.
Gadis tadi memasukkan sebuah pistol ke dalam tas putih yang teronggok di samping pintu. Ia tersenyum penuh arti. “Gosh, I’m enjoying this.”
Mendadak gadis itu menoleh ke belakang. Ponsel di sakunya bergetar. “Hello?”
“Already finish? Kyungsoo sudah kembali. Ia bilang ia belajar bersama di rumah temannya tadi.”
“Already.” Gadis itu memutus koneksi telepon. Kaki jenjangnya berjalan menuruni teras rumah minimalis tersebut.
Tak sampai semenit, sosoknya sudah menghilang ditelan kabut malam.
-o0o-
Taeyeon memacu motornya dengan cepat. Sudah 2 lampu merah ia lewati tanpa rasa berdosa. Untung saja ia tidak sedang mengenakan seragam sekolah.
Pikiran gadis itu kalut. Yang ada di benaknya saat ini hanyalah bertemu Kyungsoo. Tidak ada lagi selain itu. Kejadian tadi malam—yang sebenarnya baru ia ketahui tadi pagi—sangat membuatnya ingin amnesia sesaat. Ia tidak tahu apa Kyungsoo ada hubungannya dengan hal ini, tapi setidaknya, lelaki itu harus tahu.
Taeyeon memarkirkan motornya tepat di depan pintu gerbang rumah besar Kyungsoo. Ia menggoyang-goyangkan pagarnya perlahan, dan beberapa orang lelaki bertubuh besar dengan seragam petugas keamanan menghampirinya.
“Looking for someone?” Ucap lelaki pertama. Badannya tidak sebesar kedua lelaki di sampingnya, tapi jujur saja, paras lelaki itu sangat menyeramkan.
Dan tampaknya Taeyeon tidak peduli. “Y-yes! Is this Do Kyungsoo’s house? I need to meet him.” Jelasnya dengan panik. Ia harus berpura-pura tidak tahu rumah Kyungsoo. “I need it right now.” Taeyeon menekankan.
Ketiga petugas keamanan itu saling bertatapan. Akhirnya yang berbadan paling besar menoleh ke arah Taeyeon, “you can’t meet him now.”
“I need to meet him! Don’t you listen to me?” Bentak Taeyeon dengan kasar. Ia menggoyang-goyangkan pagar rumah besar itu hingga sedikit bergeser dari tempatnya.
Taeyeon terbelalak ketika tangan kokoh petugas itu menarik kerah blusnya—tanpa memedulikan bahwa ia seorang wanita. “I said, you cannot meet him.”
“Hey-hey, what’s going on here?” Mendadak terdengar suara lain di tempat itu. Pria besar tadi mengendurkan cengkramannya pada kerah Taeyeon dan menoleh ke belakang. Seorang wanita yang tak asing bagi Taeyeon berdiri disana. Dengan pakaian super glamour bak model papan atas.
Taeyeon bergeming.
“Good morning, Miss.” Ketiga petugas keamanan berbadan besar tadi membungkuk sebentar. Wanita bersurai merah tadi tampak tidak peduli. Tatapannya jatuh kepada seorang gadis beriris madu yang kini tengah menatapnya balik. “Did I know you?” Tanya wanita itu seraya mendekat. Matanya sedikit menyipit dan alisnya bergerak naik.
“I need to meet your brother.” Taeyeon menghiraukan pertanyaan wanita tadi. Matanya menatap tajam ke arah kedua manik mata wanita tadi.
“Brother?” Wanita beriris biru itu memutar bola matanya. “I don’t have any brother.”
Taeyeon menautkan kedua alisnya. “Do Kyungsoo? Is this his home?”
“Ooh, Kyungsoo… are you his friend?” Kini jarak wanita itu dengan Taeyeon hanya 2 meter.
“Maaf, tolong jangan berbasa-basi. Ada hal penting yang ingin saya beritahu kepadanya. Biarkan saya bertemu dengannya.” Potong Taeyeon tegas.
Wanita tadi sedikit terkejut mendengar tuntutan Taeyeon dalam bahasa Korea. Perlahan senyumnya merekah. Ia membalikkan badannya memunggungi Taeyeon. “You, open the gate for her.” Pintanya sambil menunjuk salah satu petugas keamanan yang daritadi hanya menonton pembicaraan mereka berdua.
Ia menghela nafas lega.
-o0o-
Taeyeon menilik satu per satu furnitur yang tertata rapi di rumah keluarga Do. Berbagai macam lukisan dan guci antik terpajang disana dengan mewahnya. Tak luput pula piala-piala emas yang berjejer rapi di atas lemari menambah kesan mewah di rumah itu.
“Wait here. Aku akan memanggil Kyungsoo.”
Taeyeon mengangguk. Ia sudah menduga bahwa wanita tadi bisa berbahasa Korea.
Ia duduk di salah satu sofa—dengan tatapan tetap terpaku pada segala macam benda-benda aneh yang tidak mungkin akan terpajang di ruang tamu rumahnya. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin Kyungsoo bisa kurang makan dengan keadaan seperti ini.
Tak sampai 5 menit, Kyungsoo muncul dari tangga keramik di tengah ruangan. Di belakangnya terdapat gadis berambut merah tadi, sibuk memainkan ponselnya. Taeyeon buru-buru berdiri.
“Ada apa?” Suara Kyungsoo terdengar bergetar.
Taeyeon menghela nafas sebentar dan berkata, “Jessica Unnie meninggal, Kyungsoo.”
Mata Kyungsoo membesar 2 kali lipat. Rahangnya mengeras. Bahkan, tak hanya dirinya yang terlihat terkejut. Gadis bersurai merah dan beriris biru yang kini berdiri 5 meter dari mereka ikut mendengarkan dan membuka mulutnya syok.
“A-apa?” Kini suara Kyungsoo malah terdengar seperti berbisik. Taeyeon memandang wajah lelaki itu yang kini dipenuhi dengan kecemasan dan keterkejutan. Sungguh, tidak hanya Kyungsoo. Ia juga merasakan hal yang sama saat Kris memberitahukannya soal berita ini. Bahkan ia menangis tanpa ampun.
“A-aku…” Taeyeon kembali menunduk, menatap karpet beludru krem yang menutupi ubin-ubin keramik ruang tamu rumah Kyungsoo. “Aku juga tidak tahu. Kejadiannya terjadi sangat cepat. Ti-tiba-tiba… tiba-tiba Kris Oppa meneleponku… dan-dan… dan d-dia… dia mengatakannya…” Taeyeon mulai terisak. Ia berusaha menahan tangisnya.
Benteng pertahanan gadis itu akhirnya runtuh saat Kyungsoo mulai menarik tengkukya dan mendekapnya erat. Taeyeon menangis dalam diam. Ia tidak pernah menyangka bahwa Jessica Jung, wanita yang sangat dicintainya setelah dirinya sendiri dan ibunya, akan pergi secepat ini.
“Bolehkah aku tahu sesuatu, Taeyeon?” Suara Kyungsoo memecah keheningan. Ia bisa merasakan Taeyeon mengangguk dalam dekapannya. “Apa yang membuat Jessica noona meninggal?”
Taeyeon melepaskan pelukan Kyungsoo. Ia menatap lelaki itu intens. “Dibunuh.”
Gadis itu melihat jelas ketika kepala Kyungsoo tiba-tiba beralih ke belakang—menatap seorang wanita lain yang kini tengah memandangi mereka dengan tatapan tajam. Buku-buku jari Kyungsoo mengeras.
“Kyungsoo? Ada apa?” Tanya Taeyeon sambil mengusap matanya yang basah. Kyungsoo kembali mengalihkan pandangannya ke arah si pemilik iris madu itu. Ia hanya menggeleng.
“Tidak ada apa-apa.” Jawabnya. “Bagaimana cara dia terbunuh?”
Taeyeon mengambil sehelai sapu tangan di saku celana jeans-nya dan mulai mengelap wajah mulus miliknya. Kemudian ia menjawab, “sebuah peluru bersarang di antara paru-parunya. Ia meninggal saat itu juga. Polisi memperkirakan kematiannya sekitar 10 jam yang lalu, artinya pukul 01.00 malam. Tampaknya sang pelaku membunuh unnie saat unnie membukakan pintu untuknya. Pasalnya, pintu depan rumah keluarga Wu terbuka sedikit saat peristiwa itu terjadi—”
“Apa tidak ada petunjuk mengenai identitas pelaku?” Tanya Kyungsoo—memotong penjelasan Taeyeon.
Taeyeon mengangguk tegas, “ada.” Jelas jawabannya membuat Kyungsoo sedikit terperangah. “Peluru yang membuat unnie terbunuh adalah peluru yang hanya dapat digunakan untuk pistol-pistol khusus. Artinya, bukan peluru umum yang terdapat pada kebanyakan pistol. Aku lupa apa nama pistol itu, yang jelas, pistol itu ilegal di Asia. Yang artinya…”
“Pelaku berasal dari luar Asia.”
Taeyeon hanya diam mendengar pengutaraan Kyungsoo. Hal itu juga yang ia dan polisi pikirkan beberapa jam belakangan ini. Taeyeon menggosok tengkuknya. Cemas, takut, sedih, dan bingung tercampur aduk dalam pikirannya. Tidak ada satupun suara terdengar untuk beberapa detik.
Hingga akhirnya suara Kyungsoo memecah keheningan, “ayo kita antar kepergian noona.”
Taeyeon mengangguk perlahan. Ia mengikuti Kyungsoo yang sudah mulai melangkah menjauhinya.
“Hei, tunggu.” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang mereka berdua. Gadis yang sedaritadi menonton pembicaraan mereka terlihat berkacak pinggang. “Apa aku mengizinkanmu pergi, Kyungsoo?”
Kyungsoo diam sesaat. Ia berbalik, menatap iris biru gadis bersurai merah tersebut. “T-tapi aku h-hanya akan pergi ke pema—”
“No. You can’t go anywhere.” Potong gadis itu tajam. Kini ia melangkah mendekati adik angkatnya itu.
“Tidak, noona. Ini penting. Aku benar-benar harus perg—”
Plak!
Nyaris saja. Sungguh.
Jika saat itu Taeyeon tidak dengan cepat menyadari apa yang akan terjadi, sudah pasti pipi kiri Kyungsoo akan dihiasi sebuah luka merah.
Gadis beriris biru itu memandang Taeyeon dengan syok. Tangannya tidak bisa bergerak lepas dari cengkraman keras gadis bermarga Kim yang kini tengah mencengkram lengannya. “A-apa yang…”
“Maafkan aku, agashi. Tapi kau harus tahu, meskipun Kyungsoo hanya saudara angkatmu, kau tidak berhak menggores sedikitpun luka di tubuhnya. Ia masih 16 tahun, apa kau tidak punya adab? Begitukah memperlakukan seorang adik? Aku tidak tahu jika di tempat asalmu beginilah aturannya, tetapi di Korea Selatan, lebih tepatnya di Seoul, hak asasi manusia dihormati penuh, dan tak ada satupun orang yang bisa melanggarnya. Termasuk kau.”
Yang diajak bicara membulatkan matanya terperangah. Tangannya menegang sesaat. Jelas tatapan tajam Taeyeon membuat gadis itu tidak bisa berkutik. Dan tidak hanya dia, Kyungsoo-pun terkejut bukan main. Ia memandang Taeyeon dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Akhirnya, setelah beberapa detik berlalu, gadis bersurai merah itu menarik lengannya dari cengkraman Taeyeon. Kini ia memandang Taeyeon dengan tatapan like-a-boss andalannya.
“Okay then. Just go.” Hanya 2 kalimat itu yang keluar dari mulutnya sebelum beranjak meninggalkan Taeyeon dan Kyungsoo ke lantai atas.
Hening sesaat. Taeyeon buru-buru berbalik, “ayo kita pergi.”
Kyungsoo mengikutinya. Ia dengan cepat menyejajarkan langkahnya dengan Taeyeon. “Kau tidak tahu, siapa yang kau bentak tadi.”
“Apa aku terlihat seperti membentak? Aku hanya memberinya saran.” Jawab Taeyeon tanpa melirik sedikitpun ke arah Kyungsoo. Suasana hatinya memburuk sejak kejadian tadi.
“Kau tidak apa-apa?” Mendadak suara Kyungsoo melembut. Kini Taeyeon menoleh ke arahnya.
“Aku yang seharusnya bertanya.” Ulas Taeyeon sambil tersenyum tipis. Kyungsoo hanya menggeleng kecil—tanda bahwa dia tidak apa-apa.
Mereka berdua segera berlari ke arah motor Taeyeon yang diparkir di trotoar depan. Gadis beriris madu itu menatap Kyungsoo sebentar. “Kau tidak ingin berada di depan?”
“Tidak, terimakasih.” Jawab Kyungsoo sembari mengenakan helm tua yang masih tampak bersih—milik Taeyeon. “Aku tidak bisa mengendarai motor.”
Taeyeon hanya mengangguk mengerti dan langsung menghempaskan tubuhnya di atas seat motor bagian depan. Tak lama, motornya sudah melaju cepat membelah jalanan Gangnam.
-o0o-
Setetes demi tetes air beriringan turun mengguyur kota Seoul. Burung-burung gereja mulai terbang rendah, mencari tempat berteduh. Orang-orang mulai membuka payung mereka. Lapak-lapak di pinggir jalan mulai ditutup. Jalan raya mulai terasa lengang. Hanya beberapa kendaraan yang lewat—dan kentara sekali pengendaranya ingin cepat sampai ke tempat tujuan.
Taeyeon membuka payung—yang untungnya—ia bawa. Dengan cepat ia mengangkatnya, melindungi tubuhnya dan tubuh Kyungsoo dari guyuran air hujan.
“Terimakasih.” Tutur Kyungsoo pelan. Ia mengangkat kepalanya ke atas.
“Bukan masalah. Apa kita pulang sekarang?” Balas Taeyeon setengah berbisik. Ia menilik satu per satu orang yang menghadiri pemakaman mendiang Jessica Jung. Seorang lelaki berambut pirang dengan jas hitam terlihat paling kalut di antara yang lainnya. Ya, itu Kris Wu. Disebelahnya berdiri seorang gadis bersurai hitam lurus sepunggung. Keadaan gadis itu tampak tidak jauh beda dengan keadaan Kris. Air mata membanjiri pipinya yang kini mulai membaur dengan air hujan. Itu Jung Soojung, adik kandung Jessica.
“Ayo kita pamit dulu dengan Kris Hyung.” Kyungsoo berjalan perlahan dan mengambil alih gagang payung di tangan Taeyeon. Memang tampak tidak wajar jika seorang wanita memayungi seorang lelaki yang sebaya dengannya.
Setelah bersalaman dan menuangkan rasa simpati di hadapannya Kris, Taeyeon dan Kyungsoo beranjak meninggalkan lokasi.
“Kau parkir motor dimana?” Tanya Kyungsoo tepat di depan telinga Taeyeon. Suara halusnya ditelan gemuruh suara hujan.
“Cukup jauh.” Taeyeon balik berbisik. “Kepala polisi pusat adalah salah satu sahabat baik Kris Oppa. Aku takut dia datang ke sini dan melihat aku membawa motor. Kau mengerti ‘kan? Aku masih di bawah umur.” Ulas Taeyeon. Kyungsoo hanya bisa menggumam pelan.
Tidak ada satupun percakapan terdengar setelah 5 menit berlalu. Taeyeon dan Kyungsoo sama-sama sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
“Kau mendengarnya?”
Taeyeon menautkan kedua alisnya heran mendengar pertanyaan Kyungsoo. Mendadak sebuah suara asing menusuk gendang telinganya. Terdengar samar di tengah suara hujan. Kendati begitu, Taeyeon dapat mendengarnya dengan jelas. Ia membuka mulutnya.
Ada yang mengikuti mereka.
“Jangan!” Seru Kyungsoo setengah berbisik. Ia menahan kepala Taeyeon. “Jangan menoleh!”
Taeyeon meneguk salivanya banyak-banyak. Keringat dingin mengalir. Adrenalinnya berpacu cepat. Bulu kuduknya merinding.
“Tenang.” Kyungsoo menarik Taeyeon dalam sebuah rangkulan ringan. Ia berjalan seolah-olah tidak ada apa-apa di belakang sana. “Jangan terlihat kalau kau sudah mengetahui mereka.”
Taeyeon hanya bisa mengangguk patuh.
Hujan mulai mereda. Kini hanya gerimis yang tersisa. Kyungsoo menutup payung yang masih basah oleh air hujan—menghiraukan tatapan penuh tanya dari Taeyeon.
“Kenapa kau menutup payungnya? Masih gerimis!” Bisik Taeyeon.
“Aku tahu apa yang aku lakukan.” Desis Kyungsoo datar. Cengkramannya pada bahu Taeyeon semakin keras—tanda bahwa dirinya semakin cemas.
“Dengar,” Taeyeon kembali berucap. “Me-mereka tampaknya semakin dekat.”
“Aku tahu. Diamlah.” Suara Kyungsoo kembali terdengar tenang.
“K-Kyungsoo, gawat.” Taeyeon bergelung dalam rangkulan Kyungsoo—tidak mengindahkan perintahnya—“s-sa-sa-salah s-satu d-diantara mere-mereka, m-menge… mengeluarkan pistol!”
“Kau menoleh?!” Kyungsoo menatap Taeyeon tidak percaya. Gadis itu terlihat sangat takut.
“Ma-maaf…” Isak Taeyeon.
“Baiklah,” Kyungsoo mendengus. “Ada berapa orang?”
“Se-sekitar 3-4 orang.” Jelas Taeyeon. Suaranya bergetar. “K-Kyungsoo! Mereka menekan pelatuk. Moncongnya diarahkan padaku!”
“Jongkok!” Dengan sigap Kyungsoo menarik Taeyeon untuk berjongkok. Terdengar letusan pistol yang terasa begitu dekat dengan mereka. Kyungsoo bernafas lega. “Sekarang, lari!”
Tanpa menunggu respon dari Taeyeon, Kyungsoo menarik lengan gadis itu dan berlari membabi buta. Terdengar derapan kaki dari belakangnya, orang-orang asing tadi mengikuti mereka. Kyungsoo berdecak sebal.
“Dimana motormu?!” Serunya setengah berteriak.
Taeyeon yang tampak panik menjawab, “d-di… di sana!” Ia mengacungkan telunjuknya ke sebuah bangunan yang berjarak sekitar 300 meter dari tempat mereka berdiri sekarang. Rahang Kyungsoo mengeras. “Siap-siap. Perjalanan kita masih panjang.”
DOR!!
Tanpa bisa Taeyeon hindari sebuah peluru menyerempet bahu mulusnya. Gadis itu menjerit keras. Kyungsoo mengeratkan pegangannya pada lengan Taeyeon. Mengantisipasi apabila gadis itu roboh dan menyerah.
“Kita tidak bisa terus berlari!” Pekik Taeyeon. Kyungsoo juga menyadari hal itu. Tungkainya mulai terasa sakit dan paru-parunya juga sudah tidak bisa bertahan lebih lama. Nafasnya memburu.
Sekonyong-konyong Kyungsoo berbelok, masuk ke sebuah bangunan tak bertuan. Ia mendendang pintunya dengan keras. Beruntung pintu kayu lapuk itu segera runtuh sehingga tidak memerlukan tenaga lebih untuk menghancurkannya.
“Kyaaa!” Seorang pria berkepala pitak berhasil mendapatkan tudung Taeyeon. Ia menarik gadis itu. Darah mulai merembes dari bahunya.
“Shit!” Buku-buku jari Kyungsoo mengeras. Ia meneguk air liurnya panik.
“Kyungsoo!” Taeyeon memekik. Ia berusaha keras melepaskan diri dari cengkraman pria asing di belakangnya.
Perlahan Kyungsoo mengeluarkan sebuah benda hitam di dalam sakunya. Ia mengarahkannya kepada pria yang kini tengah berusaha merebut Taeyeon dari dirinya.
DOR!!
Sebuah suara keras yang memekakakkan telinga kembali terdengar. Taeyeon membulatkan matanya syok. Ia melotot ke arah Kyungsoo.
“Cepat!” Kyungsoo menarik lengan Taeyeon yang kini sudah memerah.
“Apa kau sadar?! Kau membunuh pria tadi!” Ulas Taeyeon dengan nafas yang tidak beraturan. Ia melupakan rasa sakit di bahunya sesaat.
“Dia nyaris membunuhmu, bodoh!” Balas Kyungsoo keras. Langkahnya mulai goyah.
“Tapi kau bisa dipenjara!” Seru Taeyeon tak kalah keras.
“Dan kau bisa saja langsung dikirim ke neraka!” Kyungsoo berteriak seraya menaiki satu per satu anak tangga tua menuju lantai atas. Taeyeon berada tepat di anak tangga di bawahnya.
“Aku serius! Kau akan dipenjara!” Taeyeon bersikeras memperingatkan.
“Kau tahu, ini bukan saatnya berdebat!”
Suara letusan pistol kembali terdengar. Untungnya kini mereka tidak mengenai sasaran. Dengan lincah Kyungsoo menarik Taeyeon ke arah yang berlawanan dengan arah datangnya peluru. Salah satu kaca jendela di dekat mereka pecah karena berbenturan langsung dengan peluru tadi. Kyungsoo buru-buru membuka payung.
Taeyeon yang menutup wajahnya dengan sebelah tangan menoleh perlahan. Matanya tidak bisa bergerak dari Kyungsoo.
“Kau…?” Taeyeon tidak percaya dengan apa yang dilakukan Kyungsoo barusan. Terlalu cepat dan sigap. Tidak pernah terpikir dalam otaknya bahwa sebuah payung bisa melindungi dirinya dari pecahan kaca. Lelaki ini… bisa membaca keadaan dengan baik, gumamnya.
“Cukup. Ini bukan saat yang tepat.” Kyungsoo kembali berlari. Ia membuang payung biru yang berhasil menyelamatkan nyawa mereka dari pecahan kaca.
Derap kaki terdengar mendekat. Kyungsoo dan Taeyeon melompati kursi-kursi lapuk yang menghalangi jalan mereka. Beberapa suara letusan pistol terus mengikuti mereka berdua. Dan untungnya tidak ada satupun yang tepat sasaran.
Kyungsoo melihat sebuah meja lebar di salah satu sudut ruangan dengan banyak barang-barang berserakan di sekitarnya. Dengan cepat ia berlari ke arahnya.
“Apa kau gila? Kita bersembunyi disini?! Tidak akan muat!” Desis Taeyeon.
“Sudah kubilang, aku tahu apa yang kulakukan.” Kyungsoo menyingkirkan beberapa barang yang menutupi meja tersebut. Sebuah ruangan gelap yang sempit terbuka. Ya, kolong meja.
“Kau lihat?! Tidak akan muat! Ayo lari!” Taeyeon menarik pergelangan tangan Kyungsoo. Tetapi lelaki itu malah menariknya masuk.
“Memang tidak jika kau tidak berada di atasku.”
Taeyeon menyerngit heran. “A-apa maksudmu?” Ia memerhatikan Kyungsoo yang menelusup masuk ke dalam kolong meja tadi. Ia memerintahkan Taeyeon untuk mengikutinya.
“Aku akan tengkurap. Dan kau akan berada di atasku.” Jelas Kyungsoo.
Pipi Taeyeon memerah. “Apa?!”
Suara derap kaki kembali terdengar. Taeyeon tahu waktunya tidak banyak. Tanpa banyak protes ia merangkak masuk ke atas tubuh Kyungsoo. Sekuat tenaga lelaki itu menahan berat badan gadis di atasnya. Taeyeon menempelkan kepalanya di atas punggung Kyungsoo. Kyungsoo dapat merasakan degup jantung gadis itu dengan jelas.
“Tarik barang-barang itu!” Perintah Kyungsoo. Dengan cepat Taeyeon meraih barang-barang yang tadi menutupi kolong sempit itu. Kini hanya tersisa celah kecil yang berada tepat di hadapan Kyungsoo. Ia bisa melihat sekumpulan orang masuk ke ruangan yang tengah dipijakinya.
Terdengar keriuhan untuk beberapa saat.
“Kau bisa mendengar apa yang mereka ucapkan?” Tanya Kyungsoo pelan. Ia bisa merasakan Taeyeon menggeleng di atas punggungnya.
Kyungsoo berusaha memperkirakan jumlah orang disana. Ia menghitung banyaknya pasang kaki yang daritadi hilir mudik tak keruan di hadapannya. Dua… atau tiga…, pikirnya.
Terlihat kaki-kaki itu berjalan meninggalkan ruangan. Suara sosok-sosok tadi terdengar menjauh, dan kian lama kian mengecil. Kyungsoo menghela nafas. Diikuti desahan lega dari Taeyeon.
“Ayo kita keluar.” Ujar Taeyeon seraya mendorong barang-barang yang menghalangi pandangannya.
“Jangan! Belum aman,” sambar Kyungsoo mencegat tangan Taeyeon.
“Tapi, apa kau tidak apa-apa? Aku cukup berat.” Suara Taeyeon terdengar cemas. Kyungsoo hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan lugu Taeyeon.
“Baiklah, kurasa sekarang sudah aman.”
Taeyeon mengangguk dan merayap keluar. Disusul Kyungsoo yang dengan susah payah mengembalikan tenaga. Dadanya seperti dipukul palu godam berpuluh-puluh kilogram. Sakit dan terasa nyeri.
“K-kau baik-baik saja?” Taeyeon mengusap dada Kyungsoo yang terbalut kemeja hitam. Kentara sekali terlihat dari wajah Kyungsoo bahwa ia tidak apa-apa.
“Hanya sedikit sakit. Mungkin karena bersentuhan langsung dengan lantai yang dingin.” Tuturnya lirih. “Bagaimana dengan bahumu?”
Taeyeon melirik bahu kanannya sebentar. Darah mengemuli jaketnya. “Kurasa tidak apa-apa. Tidak terlalu sakit.”
Taeyeon memapah Kyungsoo. Mereka berdua berjalan keluar ruangan.
“Jangan keluar, aku berasumsi mereka masih berkeliaran disana.”
“Jadi kita akan kemana?” Tanya Taeyeon seraya mengelap keringat yang bercucuran dari dahinya.
“Ke atap. Aku yakin bangunan berumur ini punya akses ke atap.”
-o0o-
Taeyeon menghempaskan tubuhnya tepat di samping Kyungsoo. Ia mengemut permen yang kebetulan ada di saku celana jeans-nya. Rasa lapar di perutnya sudah tidak bisa ditolerir lagi.
“Ada beberapa pertanyaan yang nyaris membuatku gila sejak bertemu denganmu.” Taeyeon bersuara. Ia menatap hamparan barang-barang bekas di hadapannya.
“Aku tidak yakin dapat menjawab semuanya.” Ucap Kyungsoo seraya mendongak. Mencermati keadaan.
“Kurasa kau harus menjawabnya.” Pinta Taeyeon tegas. Kyungsoo langsung menoleh ke arahnya. “Pertama, mengapa kau membawa pistol kemana-mana?”
“Aku tidak bisa menjawab yang ini.” Ujar Kyungsoo menyipitkan mata. Sinar matahari terasa sangat menyilaukan.
“Hft, baiklah.” Taeyeon mendengus, “kau tahu, aku melihatmu saat akan mengeluarkan pistol di tengah-tengah pertengkaranmu dengan Jongdae.”
Kyungsoo kembali menoleh ke arah Taeyeon. Ia menatap gadis itu cukup lama. “Melihat apa?”
“Ya… melihat itu,” Taeyeon memutar kedua bola matanya. “Melihat kau akan mengeluarkan pistol dan mungkin saja membunuh Jongdae di depan seluru murid SHS.” Terang Taeyeon. “Apa kau se-sentimental itu? Jongdae hanya mengatai cara makanmu. Dan aku mengerti sekali karena aku tahu noona-mu sering tidak memberimu makan. Tetapi, apa itu tidak berlebihan?”
Kyungsoo terpekur sebentar. Ia melipat tangannya dan kembali menatap lurus ke depan. “Aku tidak suka jika seseorang menyangkutpautkan sesuatu yang buruk dengan orangtuaku.”
“Orangtua?” Taeyeon memicingkan mata.
“Ya. Kau mendengarnya ‘kan saat itu?” Kyungsoo melirik Taeyeon. “Aku benar-benar tidak suka. Aku selalu ingin marah jika teringat orangtuaku.”
“Kalua begitu habis ini kita harus kunjungi orangtuamu.” Potong Taeyeon. Kyungsoo menyerngitkan dahi.
“Orangtuaku tidak—”
“Ya, aku tahu. Kita akan berziarah ke makam mereka sehabis ini.” Semprot Taeyeon. “Kau tidak bisa selalu seperti ini. Kau harus benar-benar mengerti ada kalanya kita harus merelakan sebuah hal untuk hal lain yang lebih berharga. Kau begini karena tidak rela dengan kepergian orangtuamu, ‘kan?”
“Hah? Dengar, aku—”
“Aku mengerti, Kyungsoo-ya. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang terkasih. Aku juga sudah kehilangan ayahku. Aku sangat—”
“Dengarkan aku dulu!” Sambar Kyungsoo keras. Taeyeon terperangah. Ia segera mengangguk. “Kita tidak bisa mengunjungi pemakaman orangtuaku.” Ulasnya.
“T-tapi kenapa?” Salah satu alis Taeyeon naik.
“Karena…” Kyungsoo menghela nafas. Ia menatap Taeyeon dengan intens. “Karena orangtuaku belum meninggal.”
.to be continued.
P.S
Aku juga mau klarifikasi, kalau aku nggak tau adat apa yang digunakan orang Korea Selatan kalau ada kerabat yang meninggal. Entah dibakar terus abunya dimasukin dalam guci, di simpan di peti mati atau dikubur. Dan disini aku menggunakan kebiasaan orang Indonesia, yaitu dikubur di dalam tanah. Kalian pasti ngerasa kan kalo chapter ini terasa lebih panjang? Momen Taesoo-nya juga lebih banyak :3 Semoga kalian nggak bosen ya sama cerita ini dan semoga kalian sabar nunggunya. Makasih banyak! DON’T FORGET TO DROP A COMMENT!
