Author : NadyKJI & Hyuuga Ace
Length : Chaptered
Genre : Romance, Comedy, Friendship
Rate : G
Main Cast :
Jung Re In (OC)
Geum Il Hae (OC)
Park Chanyeol (EXO)
Kim Jong In (EXO)
Disclaimer: Annyeong, ff ini adalah murni hasil pemikiran author yang kelewat sangat tinggi, dilarang meniru dengan cara apapun, don’t plagiator. Gomawo #deepbow.
Summary :
Aku tidak membencimu. Aku hanya tidak ingin berurusan lagi denganmu. Tapi mengapa kau selalu hadir di sekitarku layaknya modul akuntansi yang selalu kubawa setiap hari. Wajahmu mengangguku tapi aku mulai merindukannya ketika wajah itu menghilang dari keseharianku. Oh, menyebalkan.
–Jung Rein–
Aku tidak sudi, aku tidak sudi, aku tidak sudi! Dia menyebalkan, cuek, dan dingin. Tapi… terkadang dia baik juga walau dengan muka datar, terlihat tulus, dilihat-lihat juga ia lumayan.. bukan, tampan… Argh! Aku menyerah, sepertinya karma itu berlaku.
–Geum Ilhae–
Sama seperti panggilannya, yeoja itu memang kelewat bodoh. Sialnya, karena terbiasa menjadi dampak dari perilakunya, aku menjadi terbiasa untuk selalu hadir di sisinya. Namun entah mengapa aku merasakan keberadaanya bagaikan pelangi dalam keseharianku yang hanya dihiasi dua warna – hitam dan putih.
–Kim Jong In–
Melihat wajah seriusnya, merasakan kesinisannya padaku. Itulah makanan keseharianku karena ulahku sendiri. well, kau memang bodoh dan gila jika bersangkutan dengan yeoja itu. Kau terlalu gila Park Chanyeol.. tapi, aku tidak keberatan gila untuknya. It’s a pleasure.
–Park Chanyeol–
Author’s Note:
Annyeeooong. Ada yang nungguin FF project duet ini ga? Kalau iya selamat akhirnya chapter 1 ini rilis!! #tebar konfenti. Semoga chapter ini tidak mengecewakan readers sekalian yaa. Di tunggu comment dan sarannya. Semakin bnyk comment, chap slnjutnya makin cepet dirilis hehehe *maunya. Okeh, sekian dari kami.
HAPPY READING ~
___
-:Author’s PoV:-
Cess~
Seorang yeoja dengan rambut sebahunya sedang membalik waffle yang ia sedang buat. Hanya suara pertemuan antara waffle yang berlumur mentega dengan cetakan waffle panas yang terdengar. Yeoja itu sedang menikmati heningnya pagi hari.
Dia menyukai suasana di mana dia bisa mendengar suara tarikan dan helaan nafasnya sendiri. Hening dan damai.
Jung Rein, mahasiswi Joonmyung University, jurusan accounting yang juga mengikuti klub panahan di kampusnya. Dia menyukai banyak hal, mulai dari hal sepele seperti susu rasa plan yang wajib ia minum setiap hari sampai hal kompleks mengenai debet dan kredit – makanannya sehari-hari. Di saat yeoja berumur 21 tahun lainnya sedang menggemari nail art berjam-jam di salon mahal. Dia lebih memilih membuat analisa laporan keungan tentang perusahaan dagang yang telah ia teliti beberapa bulan ke belakang sebagai nilai ujian semesternya. Dia mencintai akuntansi, karena yeoja itu memang bercita-cita sebagai seorang akuntan public yang professional.
Rein yeoja itu juga sangat menyukai karya fiksi, bahkan terkadang otaknya ia gunakan untuk menghayalkan hal-hal fiksi dari novel yang baru saja ia tamatkan malam sebelumnya –tentu saja dia tidak melakukan hal ini saat di kelas saat dosennya ceramah panjang lebar dan Rein diharuskan untuk berkonsentrasi penuh jika ia tidak mau ketinggalan mata kuliahnya. Karena dosennya memiliki prinsip, ‘Tidak ada tayangan ulang untuk ucapanku yang telah kuucapkan’. Uh! Sebenarnya harabeoji tua itu sangat menyebalkan. Sayangnya Rein sangat membutuhkan orang itu.
Kembali ke dunia fiksi yang ia buat di dalam benaknya, walaupun usianya sudah menginjak angka 21 tahun. Sekalipun Rein belum pernah memiliki namja chingu –mungkin karena ia selalu menunggu orang semacam Edward Cullen atau Jacob Black datang ke hidupnya. Hahahaha, terkadang ia pun lucu akan pemikirannya sendiri. Dia hanya terlalu banyak membaca dongeng dan fiksi. Itu saja.
Rein tersentak dari lamunannya ketika bunyi nyaring dari mesin cetakan waffle berbunyi. Dengan gerakan luwes ia mematikan mesin itu dan mengangkat wafflenya dari cetakan, menyimpannya dalam piring dan mulai memberikan toping pada wafflenya. Ia memilih selai coklat dari botol kerucut di dapurnya.
BRAK!!! “AHHHH AJDJHSDSAJCVKNVXC! YAAA APOOOOOO!”
Baru saja ia menekan botol itu, suara-suara aneh mengagetkannya yang mengakibatkan selai yang terlalu banyak berada di atas wafflenya.
Pagi tenangnya telah berakhir, dan ia tahu ini semua ulah siapa.
-:Ilhae’s PoV:-
Aku mengusap jempol kakiku, merasakan sakit yang luar biasa di sana.
Pagi ini aku dengan payahnya bangun telat. Menyebabkanku terburu-buru menyiapkan diriku. Mandi terburu-buru, hingga memilih baju pun asal – langsung mengambil dari tumpukan teratas. Lalu aku sedikit berlari menghampiri meja riasku – kalau bisa dibilang begitu. Isi meja tersebut hanyalah sisir dan sunblock, paling bagus bando dan ikat rambut. Sungguh tidak layak. Lupakan masalah isi meja tersebut, karena berlari itu aku malah menubrukkan kakiku ke kaki meja.
Dan kembali ke masa sekarang…
Aku terduduk di lantai kamar, memandang jempol kakiku yang memerah namun sudah tidak merasakan sakit. Menghembuskan nafas berat aku kemudian bangkit, melihat pantulan diriku di cermin. Pantulan tersebut menggambarkan diriku dengan sempurna namun tidak layak untuk dilihat sebenarnya. Rambut yang mencuat keluar akibat blow rambut kilat belum di sisir, bola mata yang sedikit efek bangun tidur, dan yang terpenting semua itu buram! Dengan kemampuan melihatku yang rendah aku mengambil sisir dan menyisir rambutku asal. Sementara tangan kananku mengurus rambut, tangan kiriku merogoh tas selempang hitam yang tergolek di pinggir ranjang. Menjelajahi isinya dengan koordinasi tangan kiri yang lemah aku akhirnya menemukan benda kotak tersebut. Aku membuka tempat berwarna hitam tersebut dan voila! Di sanalah kacamataku berada, terlipat rapih. Setelah mengenakan benda keramat bernama kacamata, akhirnya pandangan buramku sejak bangun tidur menjadi jelas.
“Andwaeyo…”
Seluruh tulangku terasa lemas. Melihat jelas tidaklah membantu kali ini, karena aku bisa melihat kamarku yang berantakan dengan amat sangat jelas. Ranjang yang belum ditata, selimut yang sudah tidak berbentuk, lemari pakaian yang tertutup tapi di bawahnya ada beberapa helai baju yang keluar, juga beberapa buku diktat yang menumpuk di meja lampu samping tempat tidur.
Dengan malas aku mengedarkan pandanganku ke sudut ruangan lain dan mendapati semuanya masih tertata dengan baik. Edaran pandanganku terhenti pada sebuah benda persegi kecil yang berada di rak buku, nyaris tertimpa novelku. Berdiri aku membenarkan letak novel-novelku menjadi berdiri sempurna dan mengambil benda persegi itu. Aku menyentuh layar ponselnya dan muncullah wallpaper bergambar kalung dengan 12 bandul menyambut. Kalau wallpaperku yang menyambut artinya aku tidak mematikan ponsel semalaman, dan seperti yang sudah-sudah, nyawa ponselku hanya tinggal 60 persen lagi. Cukup mungkin sampai aku pulang kuliah tapi sangat-sangat pas-pasan.
Dengan sangat tenang, di tanganku tiba-tiba layar ponsel yang sudah menggelap kembali menyala. Panggilan masuk.
“Yeobseo?” aku menempelkan ponselku ke telinga.
“Kau di mana? Sekarang sudah jam 8! Kuliahmu jam 08.45 bukan?” suara berat dari sebrang sana menyahut.
Langsung saja aku mendatarkan wajahku.
“Ne dan aku masih di apartemen, terlambat. Dan sejak kapan kalian jadi mengetahui jadwalku?!” aku menggertakkan gigi. Mereka? Tentu saja mereka, aku jamin di sebrang sana ada 3 namja sedang duduk di anak tangga mendengarkanku melalui loudspeaker yang diaktifkan.
“Tenanglah, apa yang kami tidak tahu? Bahkan kau yang pernah menedang kakak kelas saja kami tahu.” Suara jahil yang lebih normal menyahut.
“Ckckck. Jangan ungkit kembali itu! Itu karena dia menyebalkan! Kalian juga ada kuliah bukan? Sana pergi!”
Aku mengakhiri panggilan tidak bermutu itu dan melihat nyawa ponselku sudah berkurang 5 persen. Sebelum terpakai lagi aku langsung menlock layar ponselku dan menjejalkannya ke dalam tas selempangku, mengambil diktat yang teronggok di meja lampu.
Sebelum keluar kamar aku memandang pantulan diriku di cermin. Rambutku masih berantakan tapi tidak mencuat keluar dan lipatan mataku sudah kembali. Aku tidak menghiraukan rambutku yang masih bergelombang dan tidak pada tempatnya, mengingat waktuku yang tinggal 45 menit lagi. Aku merapikan letak tas selempang pada bahuku, memeluk diktatku dan membuka pintu kamar.
-:Author’s PoV:-
“Sarapan?” dengan sinis Rein melirik ke arah Ilhae yang baru saja keluar dari kamarnya.
Ilhae yang menunduk untuk memperhatikan sepatu yang dipakainya mendongak dan menyeringai bersalah. Ia sudah tahu, bahwa Rein sahabat seapartemennya itu pasti berkata sinis berkat keributan yang diakibatkannya. Tabiat Rein, yeoja itu sangat tidak ingin diganggu jika sudah memasak.
“Ehehehe, tentu saja sarapan. Masak apa?” Ilhae segera menarik kursi.
“Waffle? Isi topping mu sendiri. Ilhae-ya, apakah kau ada acara pulang nanti?” Rein bertanya dengan nada sangsi membuat Ilhae sedikit mengernyitkan keningnya bingung.
“Kalau begitu coklat! Wae Rein? Pulang kuliah…” Ilhae menggantungkan kalimatnya, konsentrasinya tertuju pada tangannya yang sedang menuangkan saus coklat ke atas waffelnya.
“Ah!” wajah Rein berubah ramah –sok ramah lebih tepatnya. “Eung, aku ada study lapangan ke salah satu perusahaan dan aku benar-benar harus mengerjakannya hari ini, tidak bisa menunda lagi Ilhae-ya…”
Ilhae menyuapkan waffle ke mulutnya, “Lalu?” tanyanya cuek, seakan-akan tidak mau tahu kelanjutan kalimat Rein.
“Ahh jebaaaaaal.” Rein mulai mengeluarkan jurus aegyo, yang menurut Ilhae sangat teramat tidak berbakat itu. “Sehari saja, gantikan akuuuuuu~”
“Gantikan apa?” Ilhae tetap cuek memakan waffelnya.
Menyebalkan, bocah ini pasti tahu maksudku. Rein menggerutu dalam hatinya.
“Distrik Gangnam no 157. Paulo’s caffe. No locker 21.” Rein kembali memasang wajah datarnya, oh tolong dia harus mengerjakan tugasnya hari ini, dan itu benar-benar tidak bisa ditunda lagi. Disisi lain dia harus bekerja part timenya, dan tak mungkin ia bolos sehari jika ia ingin menjadi pegawai teladan bulan ini. Catatan saja, pegawai teladan dengan persentase ketidak hadiran 0 setiap bulannya di café tempatnya bekerja akan mendapat bonus tambahan. Dan ia sedang sangat membutuhkan uang tambahan tersebut. “Jebal, Ilhae. Ya? Ya? Ya?” namun sedetik kemudian ketika menyadari bahwa ia harus ‘merayu’ sahabatnya ini, ia mengubah ekspresi wajahnya agar terlihat lebih memelas.
Ilhae terdiam sejenak, “Baiklah, apa saja yang harus aku lakukan?” Ilhae menghembuskan nafasnya, meneguk air putih yang tersedia disampingnya. Kalaupun ia menolak sekarang, Rein pasti akan mendapatkan cara untuk memaksanya pulang kuliah nanti.
Rein tersenyum gembira, Ilhae bahkan dapat melihat Rein bergumam ‘Oh Yeeah’ dalam sedetik. “Ah yang kau perlukan hanya bertanya pada namja bernama Kim Jong In atau kami biasa memanggilnya Kai. Dia orang yang sangaaaaaaat baik dan pasti bersedia mengajarimu.” Rein terkekeh dalam hati ia sedikit khawatir dengan perlakuan Kai pada sahabatnya ini. Bagaimanapun Kai yang asli adalah kebalikan dari yang diucapkannya tadi. Tapi di antara semua pegawai di Paulo’s café menurut Rein hanya Kai lah yang paling bisa diandalkan. Tapi sifatnya yang sedikit dingin itu memang nilai minus sih. Sedikit, perlu di bold, se-di-kit. Tapi hatinya baik kok. Hahaha. Rein membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
“Kartu pegawaiku.” Lalu cengiran bodoh terukir di wajahnya.
“Baiklah….” Ilhae menyipitkan matanya, nada suaranya tidak begitu menyakinkan Rein, namun masih mengambil kartu Rein, sehingga Rein merasa gugup. Tiba-tiba Ilhae mengingat sesuatu, “Hmm, kau tahu tidak… tadi, Chen, Baek, dan Chanyeol. Gerombolan si berat itu menelepon… tidak ada kerjaan pula…” Ilhae menyeringai ketika menekankan kata Chanyeol disana. Membuat Rein yang sedang mengisi gelasnya dengan susu mendongak ditambah wajah tidak ramah.
Entah mengapa mendengar nama Chanyeol saja sudah membuat Jung Rein merasa begitu lelah. Dan untuk beberapa detik ingatan Rein melayang ke insiden yang membuatnya sangat membenci namja bernama Park Chanyeol.
“REIN-AH!”
Rein terlonjak dari lamunannya dan mendapati Ilhae yang menatapnya dengan pandangan bersalah, “Ne?” jawabnya tidak enak.
“Hmm, kau pulang dari studi lapangan jam berapa? Biar aku jemput…” tanya Ilhae menunjukkan tanda peace dengan jarinya.
“Ah dwaesseo. Tak usah repot-repot. Aku pulang agak malam.”
Ilhae memajukan tubuhnya, “Ayolah! Jam berapa!” jelas sekali seorang Ilhae sedang memaksanya.
Rein bergumam tidak jelas, tanda bahwa ia tidak setuju dengan pemaksaan seorang Geum Ilhae. “Sembilan. Kau bisa menjemputku di kampus, karena aku akan berada di sana setelah menyelesaikan studi lapanganku.” Jawabnya singkat namun jelas.
“Hmm baiklah!” Ilhae tersenyum menang, kemudian…
“YA! AKU TERLAMBAT!!!! Rein-ah, aku pergi dulu ya! Tuliskan aku pesan alamat dan detail yang tadi kau sebutkan, aku tidak ingat. Dan sampai nanti jam 9! Jangan lupa alamat café part timemu! Kalau tidak ada aku tidak akan membantumu! Dadah! Mian tidak bisa berangkat bersama pagi ini! Annyeong!” Ilhae dengan kecepatan kereta merepet tidak berhenti.
BRAK!
“Heushh.. rusuh seperti biasa.” Lalu dengan santai Rein menyuapkan potongan waffle terakhirnya. “Suruh siapa dia mengambil jam kuliah sepagi ini?”
*-*-*
Ilhae menghentikan mobilnya di depan gedung yang terlihat minimalis dengan kesan vintage. Perlahan ia membuka pintu mobilnya, ia menyipitkan matanya melihat alamat yang tertera pada layar ponselnya lalu mendongak melihat gedung yang berada di depannya untuk memastikan. Setelah seratus persen yakin, ia keluar lalu menutup pintu mobilnya dan melangkah masuk.
Cring… cring…
Suara bel berbunyi ketika pintu cafe tersebut ia dorong. Setelah memasuki cafe ia menjadi ragu, masalahnya ia bukanlah pengunjung dan bukan pegawai yang bisa dengan santainya masuk lalu menuju ruang ganti. Ia bahkan tidak mengetahui apapun tentang cafe yang baru saja ia masuki. Walaupun ia pernah berkunjung ke sini untuk menjemput Rein, ia tidak pernah repot-repot mengamati. Bola matanya bergerak liar ke kanan dan ke kiri kemudian menemukan sosok kasir dengan wajah ramah yang meyakinkan untuk ditanyai. Perlahan Ilhae menghampiri yeoja penjaga kasir itu.
“Ehm… apakah kau mengenal Rein?” Tanya Ilhae ragu.
“Ne, kau pasti temannya yang akan menggantikannya bukan?”
Ilhae mengganggukan kepalanya seperti orang bodoh dan melirik nametag yang bertuliskan Boram. Tidak menyangka kalau Rein telah menitipkannya pada seorang rekan kerjannya. Setelah menanyakan nama dan bercakap-cakap ringan, yeoja yang lebih tinggi darinya itu membimbing Ilhae masuk dan menunjukkan letak loker Rein – nomor 21.
“Disana ada seragam Rein, kenakan saja.”
Tanpa banyak bicara Ilhae mengambil seragam pelayan dari loker. Seragam pelayan berwarna hijau dengan campuran warna coklat putih, jangan lupakan nametag bertuliskan Jung Rein disana. Setelah berganti baju Ilhae mengucir rambutnya menjadi ekor kuda untuk mempermudah pergerakannya nanti ketika bekerja.
Clek.
Ia menutup loker Rein dan menggesekkan kartu pegawai Rein pada mesin absen dan melihat catatan kerja di papan samping mesin tersebut. Pada kolom nama Rein ia melihat bahwa Rein belum sekalipun bolos dari pekerjaannya, matanya lalu menyisir kebawah dan menemukan catatan kecil disana. Wajahnya langsung saja menjadi datar begitu melihat note yang menyatakan pegawai dengan kehadiran 100 persen akan mendapatkan bonus.
Pantas saja…. batin Ilhae.
Setelah mengetahui alasan dibalik Rein yang memaksanya untuk mengantikan yeoja itu ia mengabaikannya. Ia tidak ingin mengambil pusing dulu.Sekarang yang terpenting adalah, Kim Jong In… di mana ia bisa menemukan namja itu sehingga ia bisa menunaikan tugasnya.
Tidak menemukan jejak apapun tentang Kim Jong In di ruang ganti. Ilhae keluar dari ruang ganti dan menghampiri Boram, lebih baik bertanya daripada tidak sama sekali. Ia tidak mau menjadi yeoja dengan muka bodoh yang kehilangan induk.
“Boram-ssi..”
“Ne?”
Boram menoleh ke arah Ilhae.
“Hmm, kau tahu siapa dan di mana Kim Jong In?” Tanya Ilhae sembari membaca pesan Rein untuk memastikan dirinya tidak salah mengucapkan nama asing tersebut.
“Ne dan… biasanya dia ada di atap. Sedang istirahat…”
Setelah mendengar pernyataan itu ia langsung melesat menaiki tangga yang terdapat disamping ruang ganti. Tanpa menghiraukan perkataan Boram selanjutnya.
Boram menatap bingung ke arah punggung Ilhae yang menghilang dari pandangannya sembari berguman, “Hm.. padahal aku mau memberitahu perihal pekerjaannya…”
-:Ilhae’s PoV:-
Aku membuka pintu berwarna abu-abu di depanku setelah menaikki sekitar satu kodi anak tangga. Atapnya terlihat nyaman sekali dengan angin sejuk yang berhembus, aku mengedarkan pandanganku di atap yang kosong dan menemukan sosok seseorang sedang bersandar di salah satu sisi dinding. Pasti orang itu Kim Jong In asumsiku, karena sejauh mata memandang aku tidak bisa menemukan orang lain.
“Hmmm, annyeong…”
Aku menghampiri sosok itu, namja itu menoleh ke arahku dengan wajah cuek terkesan mengantuk.
“Nugu?”
“Joneun… Geum Ilhae imnida… aku temannya Rein yang menggantikannya hari ini. Dan kau pasti Kim Jong In bukan? Karena Rein menyuruhku menanyakan apa yang aku kerjakan padamu.” Aku berkata ragu, terpengaruh dengan reaksi tidak ramahnya.
Srak.
Bukannya menjawab pertanyaanku namja itu malah berdiri dan berjalan menuju pintu.
“YA! Jawab aku!” teriakku sembari berjalan cepat menuju namja tidak jelas itu.
“Aku bukan Kim Jong In.”
Brak.
Aku mengerjapkan mataku tidak usah dibilang mulutku ternganga mendapati pintu sudah tertutup.
SIAL?!
Namja itu benar-benar Kim Jong In! Aku baru saja melihat nametagnya ketika ia menutup pintu.
“JUNG REIN! Kau bilang namja itu baik?! Yang benar saja! Mati kau nanti!” aku mengepalkan tanganku menarik nafas panjang.
-:Kai’s PoV:-
“Kai, apakah kau sudah bertemu dengannya?” aku berhenti dari langkahku dan menoleh ke arah Boram.
“Siapa?” tanyaku.
“Yeoja yang menggantikan Rein hari ini. Ia mencarimu.”
Ingatanku langsung melayang pada kejadian barusan. Kejadian saat aku sedang beristirahat dan tiba-tiba seorang yeoja menggangguku. Yeoja dengan rambut dikucir kuda asal juga kacamata yang bertengger di hidungnya itu, dengan perkataannya yang ragu-ragu…
“YA!”
Sebelum aku sempat merampungkan pemikiranku suara yeoja mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara dan mendapati yeoja yang sama dengan yang menggangguku di atap. Bagus sekali peragainya, mengganggu orang, berteriak dan yang paling bagus lagi, teriakkannya membuat seluruh pengunjung menoleh.
“Hei… apa yang kau lakukan Kai?” Boram menatapku dengan wajah penasarannya.
“Tidak ada.” Jawabku.
“NEO! NAMAMU KIM JONG IN BUKAN?”
Sebelum Boram sempat membuka mulutnya yeoja itu sudah berteriak lagi, dengan desibel yang lebih rendah namun tidak bisa dibilang layak untuk didengar. Aku memutar bola mataku melihat sekarang beberapa pengunjung sudah berbisik-bisik. Hebat!
“A.. Hmft!”
Sebelum yeoja itu mengucapkan sesuatu yang menyebalkan aku menutup mulutnya itu dan menyeretnya menuju dapur. Begitu memasuki dapur Michelle – chef cafe ini, langsung memandang penuh tanda tanya. Aku hanya melambaikan tangan menyuruhnya melanjutkan pekerjaan, dan sekarang aku akan menyelesaikan urusanku dengan yeoja asing dihadapanku.Yeoja itu merengut.
“Yeoja gila! Kau mau membuat cafe ini brangkut seketika ya?” aku langsung berkata pedas.
“Tidak bermaksud.” Jawabnya padat, sengit.
“Jadi apa yang kau lakukan sebenarnya?” tanyaku melipat tangan didada.
“Namamu Kim Jong In bukan?” tanyanya lagi.
Hah….
“Ne.”
“Lalu kenapa kau berkata bukan tadi?” debatnya.
“Karena aku tidak mengenalmu.”
“Mwo? Bukankah aku sudah memperkenalkan diri dan menjelaskan semuanya padamu?” yeoja dihadapanku semakin menatapku sengit.
“Kau orang asing, bisa saja kau orang tidak ada kerjaan yang ingin mengganggu Rein dengan bekerja hari ini lalu mengacaukan semuanya.” Jawabku seadanya.
Yeoja di hadapanku sudah ingin melancarkan kata-katanya lagi tapi tidak jadi. Ia memejamkan matanya dan mengendurkan kepalan tangannya.
“Lupakan. Sekarang kau harus memberitahuku semua yang harus aku kerjakan selama menggantikan Rein, Jong In-ssi.” Katanya perlahan.
Apa-apaan yeoja ini, ck?!
Aku tidak berminat mengajari yeoja aneh sepertinya, maka aku langsung pergi meninggalkannya menuju tempatku seharusnya – dibalik coffe machine dan teman-temannya karena pekerjaanku seorang barista. Biar saja ia meminta tolong pada Boram atau Hana yang sejam lagi akan masuk shift.
Begitu memasuki area cafe, semuanya sudah kembali normal. Para pengungjung kembali berkonsentrasi pada kegiatannya masing-masing dan Boram masih setia berdiri di balik kasir karena belum ada yang memesan sehingga ia harus merangkap menjadi waiter.
“Jadi bagaimana?” tanya Boram.
“Tidak tahu…”
“Apa yang tidak tahu?!”
Aku berdecak kesal mendengar suara memusingkan itu lagi.
“Ilhae-ssi, apa masalahnya?” Boram beranjak dari meja kasir untuk menengahi aku dan yeoja aneh itu.
Setelahnya yeoja itu menggerutu dan menjelaskan maksudnya ingin bertemu denganku. Sehingga Boram mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ehehe, bagaimana kalau aku saja yang membantumu Ilhae-ssi?” tawar Boram yang langsung membuatku lega. Seharusnya yeoja itu lebih memilih dibantu oleh Boram daripada diriku yang notabenenya tidak berminat membantunya.
-:Author’s PoV:-
“Tidak usah Boram-ssi. Rein menyuruhku meminta bantuan Jong In. Jadi aku akan menuruti kata Rein saja, Rein berkata Jong In ini bisa membimbingku dengan baik. Ehm aku tidak bermaksud mengatakan kau tidak bisa membimbingku.” Ilhae menjawab Boram dengan senyum palsunya.
Sedetik kemudian ia melirik ke arah Jong In dan mendapati namja itu menatapnya tidak percaya. Dan ia merasa puas! Dasar namja menyebalkan! Tidak mungkin ia membiarkannya lolos begitu saja setelah semua yang telah terjadi.
“Tidak!”
Ilhae mendelik ke arah Jong In yang menatapnya datar-cuek-malas, dan Ilhae tidak akan membiarkannya begitu saja. Tanpa banyak bicara lagi Ilhae langsung menarik celemek yang dipakai Jong In dan menarik namja itu menuju tumpukan menu dan nampan.
“Ya! Yeoja babo!” Ilhae merasakan Jong In yang menyentak celemeknya, membuat pengangannya pada celemek itu lepas.
“Jadi bagaimana? Apa saja tugas Rein?” Ilhae tanpa merasa bersalah langsung bertanya to the point.
“Cari tahu sendiri saja yeoja gila!”
“Jong In-ssi! Aku punya nama dan ppali! Beritahu apa yang menjadi tugasku di sini!” kali ini Ilhae menarik helai seragam Jong In yang berhasil digenggam tangannya.
“Ck! Baiklah siapa namamu? Dan aku punya nama yang lebih singkat untuk di ucapkan. Kai! Berhentilah memanggilku Jong In.” Sambar Kai cepat.
“Kau tidak ingat namaku? Aku sudah memperkenalkan diri.”
Kai yang ingin cepat-cepat pergi langsung berpikir, mengingat-ingat nama yeoja di hadapannya,“Hae?”
“Hash! kau tidak mengingatnya dengan benar!” tuntut Ilhae.
“Penuntut sekali! Diamlah Hae-babo!”
“Neo!” Ilhae sudah ingin sekali mencekik namja bertampang poker dihadapannya.
“Sekarang apa yang ingin kau tanyakan sebelum aku berubah pikiran! Ppali Hae Hae.”
“Jong In!”
“Namaku…” Kai sedikit mencibir, membuat Ilhae harus menahan sabar.
“Baiklah, Kai. Apa yang harus dilakukan?”
“Jika ada tamu datang hampirilah mejanya sembari membawa buku menu. Mencatat pesanan. Lalu berikan pesanannya padaku kalau berupa minuman atau pada Michele – chef yang tadi kau temui, kalau makanan. Jika ada yang meminta bill, kau tinggal memintanya pada Boram, mengantarkan pesanan…”
Ilhae mendengarkan baik-baik, tidak ingin mengambil resiko harus bertanya lagi.
“…dan kau juga harus membantuku menyiapkan minuman atau menyajikan cake jika sedang tidak melayani pelanggan.”
*-*-*
Boram yang biasanya selalu memandang bosan ke arah para pengunjung kali ini mengalihkan pandangannya dari sana. Ia memandang ke arah meja barista yang memang berdampingan dengan meja kasir. Ia sesekali tertawa melihat Kai yang selalu berdebat dengan Ilhae, yeoja yang menggantikan Rein. Ia mendapatkan tontonan baru.
“AKH!”
Boram menaikkan alisnya mendengar rintih kesakitan yang ia yakini dari Kai. Terlihat sekali Kai sedang memegang tulang keringnya sembari menatap Ilhae tajam.
“Kau yang salah menyebutkan! Jadi kau tidak berhak marah padaku!” Ilhae balik melotot kearah Kai.
“Ish! Aku bilang caramel!”
“Tidak peduli!”
Boram terkekeh sejenak, sampai ia merasakan ponsel di kantung roknya bergetar. Dengan sigap ia mengambil benda mungil tersebut. Ternyata sebuah panggilan masuk.
“Yeobseo?”
“Ah! Boram! Hari ini aku tidak bisa masuk shift sore. Bisakah kau menyuruh Rein menggantikanku?”
Boram menaikkan alisnya, kemudian melirik jam dinding. Sebentar lagi jam 6 dan pergantian shift waiter segera bergulir. Tapi…
“Ya? Aku tidak punya banyak waktu, annyeong…”
“YA! Kau Baekhee! Tidak tahukah…” tapi sia-sia sambungan telah terputus.
-:Ilhae’s PoV:-
“EH?” aku menoleh dari pekerjaanku mengelap meja menatap Boram.
“Iya, bisakah? Maafkan aku tapi… aku sudah menghubungi Baekhee tapi di tidak menjawab…”
Hah… sesudah menggantikan Rein sekarang aku juga harus menggantikan siapapun itu Baekhee karena biasanya Rein bersedia?
“Tenanglah, Kai juga bekerja sampai malam…”
JDAR!
Mimpi buruknya tiba, mengapa aku masih harus berurusan dengan namja bernama Kai?! Namja dingin datar cuek menyebalkan itu?! Jung Rein! Kau bilang namja itu baik?! Kau menjebakku Rein! Lihat saja! Aku tidak bisa menjemputmu sekarang dan…
Dengan cepat satu rencana cemerlang meluncur di otakku. Cepat-cepat aku mengambil ponselku yang aku matikan untuk menghemat baterai dan mengirimkan pesan pada satu orang untuk menjemput Rein jam 9 nanti, lengkap dengan alamatnya.
Selamat menikmati suprisemu Jung Rein.
“Hae-hae! Cepat sini!”
Hash! Aku menggertakkan gigi mendengar Kai menyebutkan namaku seenaknya. Entalah namja itu tidak bisa mengingat namaku dengan benar dan aku tidak sudi mengulang sesi perkenalan, lalu berdampak dengan Kai yang selalu menyebutku Hae-Hae atau Hae-babo…
“Kau niat membantu Rein tidak sih?!”
Aku berdecak kesal, masih menggenggam ponsel, aku berjalan menuju Kai yang masih berada di tempatnya membuat minuman.
-:Rein’s PoV:-
Aku masih berkutat dengan beberapa jurnal di hadapanku. Kupijat perlahan keningku, sial sekali. Mengapa hasil debit dan kredit perusahaan ‘uji coba’ ini tidak balance? Aku membuka agendaku sebentar dan aku harus menyelesaikan jurnal ini malam ini karena aku harus mengumpulkan draftnya pada dosenku besok.
Jung Rein tenanglah, tarik nafas… buang. Iya, bagus.. sekali lagi.
“Rein-ah, sudah hampir larut. Lebih baik kau tutup jurnal- jurnal itu dan segera mempersiapkan barang- barangmu untuk pulang.” Shinra, teman seperjuanganku mengingatkanku dari meja sebelahku.
“Tapi perusahan ‘uji coba’ yang ku kerjakan hasilnya tidak balance, Shinra-ya. Dan ini sedikit banyak membuatku stress.” Aku menggerutu sambil menekan-nekan pensilku ke meja dengan gerakan tidak sabar.
“Tenanglah, kau kirimkan data- datanya pada emailku nanti sesaat setelah kau sampai di rumah. Aku akan membantumu. Bagaimana pun auditing akan lebih baik jika dilakukan lebih dari satu kepala kan?” Shinra tersenyum ramah, dan aku ingin sekali memeluknya dan mengucapkan ribuan kata terima kasih padanya. Jang Shinra, dia memang yeoja yang sangat baik.
“Gomawo gomawo gomawo! Jang Shinra jjang!” Aku mengacungkan jempolku dan bergegas membereskan barang- barangku.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal di meja aku melangkah keluar meninggalkan rekanku yang lain yang masih terlalu serius berkutat dengan jurnalnya hingga melupakan waktu yang hampir menyentuh angka 9. Hampir sama sepertiku sebelum Shinra menegurku.
*-*-*
“Rein-ah, kau yakin akan menunggu Ilhae sendiri? Kami bisa menunggu sebentar untukmu.” Sekali lagi nada penuh perhatian yang diberikan Shinra membuatku terharu. Dia sudah berada di dalam mobil bersama Minha –namja chingunya – yang menjemputnya. Sementara tanda-tanda mobil Ilhae masih belum terlihat membuatku harus menunggu lebih lama.
“Ah, gwaenchana. Aku yakin manusia itu akan muncul dalam kurun waktu kurang dari 10 menit. Kau bisa pergi dulu, chingu.”
“Kau yakin?” suara Shinra masih terdengar sangsi.
Aku mengangguk mantap.
“Geurom, annyeong! Sampai besok,ne?” Shinra melambaikan tangannya dan mobil pun mulai bergerak.
Tiba- tiba aku mengingat Ilhae dan tugasnya menggantikanku hari ini, dan aku terkekeh geli. Bisa dipastikan Ilhae akan mengamuk padaku di detik pertama ia bertemu denganku. Mian chingu, aku tidak berbohong dengan mengatakan Kim Jong In itu baik. Kai memang sangat baik sebenarnya, hanya saja ia terlalu cuek dan dingin untuk menunjukan kebaikannya. Bagaimana pun aku telah mengenal Kai hampir 3 tahun, tentu saja aku mengetahui sikapnya.
Aku masih tersenyum sendiri sambil menebak- nebak bagaimana hari ini bagi Geum Ilhae, sahabatku. Sampai suara seseorang mengagetkanku.
“Kau bisa segera berhenti tersenyum sendiri dan segera masuk ke mobilku.” Aku menoleh cepat ke belakang dan menemukan pemandangan paling tidak mengenakkan meyambutku. Chanyeol sedang menatapku datar sambil menyender di kap mobilnya.
Apa yang manusia ini lakukan disini?
Seakan bisa membaca pikiranku, dia kemudian berkata ringan “Ilhae menyuruhku menjemputmu karena dia tidak bisa, aku tidak tahu alasannya.”
Aku merogoh ponsel putihku yang tenggelam di antara dompet dan bukuku di dalam tasku. Berusaha mengonfirmasi langsung pada sang tersangkanya, Geum Ilhae.
“Ish! Kau tidak mempercayaiku?” Chanyeol maju selangkah, dari nada suaranya aku bisa mendengar nada tersinggung di baliknya. Tapi aku tidak peduli, karena insiden itu sekalipun aku tidak pernah mempercayai namja ini“Seharusnya kau tahu aku tidak akan pernah percaya
Aku menatapnya datar. lagi padamu.”
Sambungan tersambung namun Ilhae belum mengangkatnya. Aku mencoba sekali namun sialnya, panggilanku langsung terarah ke mail box nya. Sialan yeoja ini! “Ya! Geum Ilhae!”
“Dia tidak akan datang menjemputmu, aku bisa memastikan.” Aku melonjak karena tiba-tiba saja namja itu sudah berada di sebelahku. “Jika kau ingin cepat pulang ke rumah, lebih baik kau segera memasuki mobilku.”
“Shireo. Aku lebih memilih bus dibandingkan mobilmu.” Aku berkata dingin lalu mulai melangkahkan kakiku meninggalkannya.
“YA! Kau tidak tahu sekarang jam berapa?!” Chanyeol menyusulku dan menahan pergelangan tanganku, namun aku menepisnya. Aku menatapnya dingin.
“Ilhae temanku, dia menitipkan sahabatnya padaku. Sebenci apapun kau padaku, aku harus tetap mengantarmu pulang. Karena ini permintaan temanku.” Chanyeol berkata dengan tegas seakan tidak ada cara untuk menolaknya.
“Dan aku tidak mau.” Aku mulai melangkah lagi, namun tanganku sekali lagi ditahannya. Aku mencoba menepis tapi tangannya memegang pergelangan tanganku dengan begitu erat sehingga usahaku sia-sia. Aku menggeram, aku benci sekali pada manusia ini!
“Kau tahu ini sudah terlalu larut bagi seorang yeoja untuk pulang sendiri dengan bus kota? Terlalu bahaya, bodoh!” Chanyeol menatapku tajam, aku balik menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Aku merasakan seseorang berjalan kea rah kami, aku melirik ke samping dan menemukan Sehun –salah satu temanku yang juga berada di jurusan yang sama denganku.
“Baik kalau begitu, sampaikan pada Ilhae. Aku akan pulang dengan selamat tanpa naik bus kota, aku akan pulang dengannya.” Aku menunjuk Sehun cepat.
“KYAAAAAAA!!!” Baru saja aku hendak berteriak meminta Sehun mengantarkanku pulang. Seseorang telah mengangkatku ke udara, refleks aku menjerit. Aku menoleh cepat dan melihat pelaku criminal ini tidak lain dan tidak bukan adalah seorang Park Chanyeol, yang sedang menggendongku ala bridal style.
Kemudian dia menatapku dengan tatapan aneh sambil berkata, “Hey, mengapa kau itu sulit sekali sih?”
Aku memelototinya, dan mencoba untuk berteriak meminta pertolongan. Namun usahaku sia-sia karena Chanyeol dengan sigapnya telah membuka mobilnya dan menjerumuskanku ke dalamnya. Lalu menutup pintu mobilnya, dan menguncinya. Aku mencoba keluar dari mobilnya memakai pintu di jok belakang. Tapi usahaku terlalu lamban, karena Chanyeol telah duduk di kursi pengemudi dan mengunci semua akses untuk keluar dari mobilnya.
“Mengapa kau memaksaku?! Jika karena permintaan Ilhae kau bisa berbohong padanya dan mengatakan telah mengatarkanku dengan selamat, walaupun kenyataannya aku pulang memakai bus atau bersama Sehun.” aku bisa mendengarnya, suaraku yang meninggi. Seakan-akan aku sedang membentaknya. Namun Chanyeol menyeringai, dan tersenyum kecil yang membuatku bertanya-tanya mungkinkah dia salah makan obat. Lalu dia menatapku, dan mengunci bola mataku di dalam matanya yang kelihatan frustasi menatapku.
“Ini bukan karena Ilhae. Ini semua karena aku memang ingin mengantarmu pulang. Kau tidak bisa pulang dengan bus, apalagi bersama namja tadi. Karena aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu walau hanya untuk mengantarmu pulang.”
M…MWORAGO?!
To Be Continue…
