Author: Neo Xenon
Main Cast: Kim Joonmyun, Kim Taeyeon
Support Cast: Park Yoochun
Genre: Romance, Angst
Rating: PG-13
Length: Vignette
Disclaimer: The cast are belong to themselves, parents, management and God. I just borrow the name for my story. This story is mine and original by me, so don’t be a plagiator! Sorry if you got the typo. Keep RCL. Inspired by my imagination.
Cover : CSJ Art (houseofjinnie.wordpress.com)
Noona, Do You Know? I Love You.
*****
Eksistensi udara di langit telah mencapai puncak, leher tercekik sakit tanpa oksigen mengalir menuju dua rongga sempit paru-paru kotor berlendir. Tapak kaki terasa hilang tak menjamah bumi, seolah seperti melayangkan roh keluar dari jasad. Kesempatan terakhir untuk menebus kesempatan kedua hilang termakan takdir Tuhan. Batas sudah menemui titik terakhir secara tragis, tidak ada lagi alasan lain melaju pada rel kehidupan.
Adakah seseorang nun jauh disana bisa menjelaskan dengan detil dan mendalam mengenai semua hal yang sedang menimpa pria berbalut parket hitam dengan bau batu-batuan basah ini? Jika ya, maka sosoknya lah yang harus bertanggung jawab atas apa yang sedang terjadi sekarang.
Trak!
Hancur tanpa indikasi untuk kembali seperti semula, muncratan darah dari bagian belakang kepala adalah klimaks sekaligus penutup. Tidak ada untaian jahanam berair atau lengkungan huruf C horizontal nampak pada bibir, walau mungkin hanya ada dua simbolis yang mampu memberikan jawaban tentang perasaan tersimpan rapi di dalam loker hati.
Semua hal dilakukan tentunya memiliki sebuah alasan sebagai letak dasar pengambilan keputusan, begitupula dengan jenazah pria tampan yang teronggok payah disana. Bahkan hanya sekedar mengucapkan kalimat tentang aku-sama-sekali-tidak-memiliki-alasan-apapun. Namun, tidak mungkin seseorang memutus rantai kehidupan tanpa suatu alasan, bukan?
*****
“Myun? Kau disana?”
Tidak ada kesempatan lagi setelah kalimat pamungkas meluncur padu dari sela bibir berpoles gincu merah muda. Joonmyun merelakan akhir perjalanan tragis dari pelukis besar seperti Vincent Van Gogh tertunda karena prioritas yang mengalahkan ego. Sudah berdiri tegap dan memakai kacamata bingkai kotak Rodenstock.
Joonmyun menyahut lembut. “Ne, Noona. Gwaenchana?”
Mungkin, sang wanita bertubuh mungil berpikir jika ada sesuatu terjadi di sekitar pelataran taman kediaman, sehingga ia terlalu berlebihan dalam membalas dengan helaan nafas dan lari memburu. Kim Taeyeon namanya, mengusap kecil pahatan jari jemari maha esa yang memberikan ia senyum menawan penawar kegusaran.
“Noona butuh sesuatu?”
Joonmyun memulai retorika. Sedangkan, Taeyeon menyahut repetisi. Tidak perlu risau untuk menghitung ke berapa kali Joonmyun bertanya apakah sang kakak tercinta membutuhkan sesuatu darinya atau Taeyeon dengan gelengan kepala dan cubitan manis sebagai pengganti jawaban berkali-kali. Mereka sudah terbiasa sejak awal dengan prolog sebelum ketegangan dimulai.
“Yoochun akan berkunjung. Jangan nakal seperti sebelumnya, Myun.”
Apa pria seperti Kim Joonmyun adalah anak yang nakal? Benar, Ia adalah anak yang nakal.
“Mungkin, Aku akan merebus kedua mata bulat Tuan Park untuk disantap, Hahaha!”
“Kim Joonmyun!”
Mendesis seperti kobra sebelum menerkam sang mangsa, Taeyeon melakukan hal yang tidak lebih sama. Joonmyun sudah bersiap dan mengambil Lust For Life gubahan Irving Stone miliknya, sebelum Taeyeon memenangkan pertandingan bersama cubitan meninggalkan bekas kemerahan di pergelangan tangan Joonmyun.
“Noona selalu begitu!”
“Kau yang selalu begitu, Myun!”
Mengusap tangan menjadi alternatif meredakan ketegangan tanpa harus saling menubrukan selaput jala cokelat. Angin bersiul menuju utara dan mendorong dedaunan untuk mengikuti kemana kehendak tertinggi akan memberikan perintah. Kedua insan yang terikat pada satu darah sama masih saling membelakangi, bersedekap lalu berpikir jika diri adalah yang benar daripada segala kebenaran.
“Tidak adakah yang ingin kau katakan, Myun?”
“Aniyo. Sama sekali.”
Taeyeon melakukan respirasi keluar secara kasar, melemparkan pandangan sengit tepat kearah Joonmyun yang masih mematung.
“Kau egois, Myun! Sudah berapa kali kau menghancurkan semua rencana kencan ku? 10? 20? Atau 50?”
Saliva meluncur hina menapak pada tanah berpeluk rerumputan hijau muda. Joonmyun kehilangan kata- kata terbaik untuk menjelaskan apa yang ia rasakan selama ini.
“Tidakkah kau mengasihini diriku? Ini sudah seperempat abad lebih tiga aku menghirup, menghembuskan nafas, dan menjalani kehidupan di dunia. Jika memang Adam membiarkan Tuhan mengambil salah satu tulang rusuk miliknya agar dijadikan sebagai Hawa. Maka, tidak bisakah seorang Adam diluar sana akan menemukan tulang rusuk miliknya yang hilang padaku?”
Penjelasan tentang tulang rusuk bukanlah perkara mudah untuk diselesaikan. Adalah sebuah kebenaran mengenai Adam memberikan Tuhan kesempatan menciptakan Hawa dari salah satu tulang rusuknya. Tapi, tidak ada satupun tulang rusuk yang mampu menghilangkan keraguan dalam dada. Joonmyun tidak mengetahui dengan pasti mengenai hal-hal diluar kuasa manusianya.
“Myun, melunaklah. Hilangkan kerisauan jika itu adalah hal yang menjadi jawaban penghalang darimu. Aku tidak pernah mengingkari janji yang kubuat untukmu selama ini, jadi bisakah diri yang lemah ini mendapatkan balasan yang sama?”
Jeda sepersekian menit pun memberikan shock therapy kepada Taeyeon setelahnya.
“Maaf, Semua terlalu sulit.”
Taeyeon kecewa, begitupula Joonmyun. Keduanya kecewa.
Ini bukanlah aksi reaksi dari perasaan tak berperi. Keputusan pada akhirnya memilih merenggangkan ikatan yang ingin lebih meningkat menuju babak baru. Tapi, mustahil setelah ditelaah lebih lanjut dan seksama. Apa yang terlarang akan selalu terlarang, bahkan hingga kiamat berlaku tujuh belas kali sekalipun. Tidak ada sahutan berarti, Taeyeon memilih meninggalkan taman dan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Joonmyun sendiri dengan garis memerah menahan aliran asin pada kedua bola mata.
*****
Hujan turun tidak begitu lama setelahnya. Darah masih saja menjadi aliran sungai dari tempat berasal, bulatan bola air langit jatuh, kemudian mendramatisir suasana kelabu. Ia tidak memiliki cukup keberanian untuk sempat mengatakan apapun kepada orang terkasih, tapi biarlah angin menuntun firasat menuju seseorang dimaksud. Belum ada tanda jika suatu kehidupan akan menemukan jasad dingin tak bernyawa teronggok di bibir curam jurang gelap.
Edelweis masih terperangkap, meskipun saraf yang mengirim impuls pada tangan kanan sudah mati seiring pusat tubuh yang mulai melemah. Warna pada permukaan mahkota tidak lagi putih bersih dan tidak lagi kuning pada penyangga helaian, menyisakan merah memudar sebagai perusak keabadiaan.
Waktu berputar sekali tanpa pemberhentian pada stasiun tertentu di pelipir jalan. Jikalau memiliki kemampuan untuk berputar ulang, bisa jadi jika hal tersebut adalah fatamorgana maupun mimpi di dalam mimpi, mungkin juga anugerah dari sang maha pencipta untuk memberikan sebuah isyarat tertentu. Namun, waktu memang tidak bisa diputar kembali.
*****
Seperti rencana yang telah disusun rapi jauh sebelum pertikaian panas di kursi panjang taman keluarga, Yoochun datang berkunjung pada hari berikutnya. Setelan Versace yang dikenakan oleh dirinya membuat Joonmyun mual bukan kepalang. Taeyeon datang dari tangga yang menghubungkan pada kamar di lantai dua, senyum sumringah tampak jelas di wajah kedua insan berbeda disampingnya mau tidak mau membuat Joonmyun terpaksa mengeluarkan kemampuan hipokrit.
“Noona akan pergi? Meninggalkanku? Sendiri? Nice!”
Baik Yoochun ataupun Taeyeon saling melempar tanda tanya besar. Joonmyun tetap mempertahankan ekspresi tertekuk dalam jangka waktu yang entah kapan terhenti. Salah satu dari ketiga manusia disana membuang nafas pertanda rasa lelah, Taeyeon.
“Myun, Kau sebentar lagi akan memasuki fase seperempat abad. Don’t be Childish like that!”
Tertohok rasanya hati di dalam selimut tulang selangka. Ia benci kesendirian atas banyak hal yang sudah pasti tertebak seperti apa ketika sebuah bangunan keluarga yang hancur karena kehilangan salah satu dari pondasi akibat dari bermain api. Taeyeon yang notabene merupakan kakak kandung yang tersambung darah secara langsung dengan dirinya, justru memuntahkan makian menampar wajah tepat kearahnya hanya demi seorang pria Versace berjarak 15 sentimeter tak jauh dari posisi.
“Yeon ah. Kau tidak perlu memaki,” ucap Yoochun. “Tidak ada salahnya jika kita mengajaknya ke pesta.”
“Tidak! Kau, Kim Joonmyun. Tetap di rumah.”
“Noona!”
“Chun, Kita pergi sekarang,” ucap Taeyeon. Yoochun tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakan dan ikut pergi. Joonmyun termangu sendiri pada ruang tamu sepi, ia sedih.
*****
“Myun?! Kau dimana? Myun?!”
Ingin rasanya sahutan lembut kembali memasuki indera pendengaran seperti biasa. Namun, firasat entah darimana datang menusuk relung palung terdalam hati dan membuat desibel teriakan semakin meningkat dari sebelumnya. Permukaan licin batu bukanlah tandingan bagi sosoknya yang terus berlari dan melompati satu persatu ranting penghalang.
Sedikit lagi sebelum puncak dan ia tergelincir jatuh. Menyisakan luka gores sepanjang batang korek api yang disusun memanjang sebanyak enam buah di pergelangan tangan tak tertutup selembar kain. Tubuh mungil miliknya bangkit dan kembali mengeliminasi jarak dengan kecepatan yang bertahap naik sedikit demi sedikit.
Sampai pada sebuah jurang membuat ia berhenti secara sporadis. Mengamati cepat dengan mata telanjang hingga apa yang disampaikan firasat tak mungkin salah. Sobekan denim menggantung pada dahan runcing di pinggir bibir jurang, melambai tertampar angin bercampur titik hujan.
Dan disaat yang sama, ia telah kehilangan sang pemilik suara lembut kesukaannya.
*****
Tik Tok…
Tik Tok…
Dua tangan stainless steel berbeda ukuran milik jam dinding merujuk celah dan membentuk derajat 90 antara angka 12 dan 3. Mata belum bersedia terpejam khidmat, sementara ketahanan telah nyaris musnah sampai pada dasar. Tanda kepulangan adalah hal yang terus ditunggu sejak beberapa putaran mengikuti arah jarum tajam jam.
Lukisan bertema pemandangan alam perbukitan menjadi hiburan pembunuh kebosanan. Joonmyun tersenyum kecil sembari membayangkan indah hamparan Edelweis yang memutari pelataran curam di pertengahan kaki bukit. Beruntung jika ia bisa menggapai satu diantaranya dan memberikannya kepada sang kakak.
Cklek!
“Myun ah~”
Aroma menusuk tercium dan membelai ganas indera penciuman Joonmyun. Seakan sebagai sinyal tersendiri untuk sang pria agar mendekat dan menuntun Taeyeon yang tersenyum miring setelah membuka kasar daun pintu. Joonmyun tidak tahu menahu darimana sang kakak bisa menenggak berbotol-botol Jager hingga bau mulut yang keluar bisa melebihi naga sekalipun. Nama Park Yoochun secepat kilat mengkerlap-kelip laksana lampu neon rusak di dalam otak belakang, Joonmyun menggemerutukan gigi bercampur amarah.
Untuk ukuran seorang wanita seperti Taeyeon, Joonmyun tidak kewalahan sama sekali untuk menuntun tubuh mungil didekapannya. Setapak demi setapak anak tangga terlewati, kamar dengan interior bernuansa naturalis menyambut keduanya setelah membuka pintu perlahan.
“Kau terlalu banyak minum, Noona.”
Percuma untuk mengatakan apapun. Taeyeon tidak lebih seperti seekor sapi yang hanya menanggapi dengan lenguhan aneh saat ini. Tubuhnya sudah terpampang sempurna tertutup selimut hangat yang disampirkan Joonmyun. Suasana mendingin, Joonmyun masih tetap mendaratkan diri di pelipir ranjang. Kamisol mencetak jelas tubuh kurusnya akibat dari keringat yang bercucuran keluar.
“Myun? Kau sedih?”
Joonmyun tidak pernah mengerti mengapa sang kakak mampu mengetahui segala isi hatinya, meskipun dalam keadaan yang paling tidak memungkinkan sekalipun. Ia tidak menjawab, bibir terkunci rapat seakan ada sebuah selarak menahan. Taeyeon bangun dan memukul pundak adiknya kencang, menghasilkan ringkingan keras dari bibir Joonmyun.
“Ya, Jangan membohongiku! Hik!”
“Tidurlah Noona. Kau benar – benar mabuk.”
Bugh!
“Noona!”
“Puahahaha!”
Entah apa tindakan paling pas untuk meredakan emosi bergejolak, bagi Joonmyun hal menyebalkan dalam kamus kehidupannya adalah menghadapi sang kakak yang mabuk parah. Taeyeon tergelak dalam tawa bercampur halusinasi, membiarkan Joonmyun memberangus kesal di posisinya.
“Kau mencintai Yoochun Hyung, Noona?”
Taeyeon terdiam sesaat. Meskipun, ia dalam keadaan setengah sadar. Tapi, semua perkataan Joonmyun masuk menembus indera pendengaran miliknya dengan jelas. Garis getir tampak memahat senyum pahit di wajah Joonmyun.
“Baiklah.”
Perkataan terakhir adalah indikasi bahwa segala pengharapan musnah tak berbekas. Joonmyun meninggalkan kamar dengan langkah berat, sia-sia sudah semua.
*****
Taeyeon hanya terdiam menyaksikan para manusia pribumi berbalut jaket SAR mengangkat tubuh berdarah Joonmyun keatas permukaan. Paralisis bibir mengatup rapat menghilangkan kesempatan terakhirnya untuk bersua dengan sang adik yang telah tiada. Ia punya alasan kuat untuk itu semua. Genggaman erat pada sebuah tas kecil berisi diari benar-benar membuat ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Seorang anggota SAR membawanya untuk ikut ke bawah dan menaiki mobil jenazah, Taeyeon tidak menghiraukan percakapan dalam bahasa yang tidak ia ketahui diantara para petugas medis dan memutuskan untuk membuka tas, lalu mengambil sebuah diari tebal dengan cover putih bersih. Ia dengan cepat membuka sebuah halaman yang telah ditandai dengan sticky note.
Lagi-lagi Taeyeon kalah, aliran panas dari kedua bola mata telah terlebih dahulu keluar, bahkan sebelum ia bertingkah angkuh dan memberikan sugesti bahwa semuanya baik-baik saja. Tulisan rapi bertinta biru menyadarkan wanita itu terhadap sebuah kenyataan yang selama ini tidak pernah diketahui olehnya.
Direngkuhnya erat mayat Joonmyun yang tidak lagi bernyawa, menumpahkan seluruh air mata dan untaian maaf yang sudah terlambat untuk disampaikan.
*****
Taeyeon membuka pintu rumah dengan sekali hentakan keras, sekali lagi ia hanya mendapati rasa sepi yang selalu menyambutnya. Entah kenapa sejak peristiwa kencannya dengan Yoochun beberapa hari yang lalu, ia tidak terlalu sering melihat Joonmyun di sekitarnya. Taeyeon semakin lebar membuka pintu rumah, melangkah naik melewati anak tangga yang menghubungkan dengan lantai kamar tempatnya beristirahat. Namun, belum sempat ia memasuki kamar miliknya, entah setan apa yang membisikan sesuatu hingga terbit rasa penasaran ketika pandangan tertumpu pada pintu kamar Joonmyun yang tidak terkunci dan sedikit terbuka.
Mengendap-endap Taeyeon masuk dengan celingak-celinguk melihat sekitar. Setelah merasa aman, ia menutup rapat pintu kamar Joonmyun dan menguncinya. Hal pertama yang disadari oleh wanita itu ketika memasuki kamar Joonmyun adalah suasana berantakan yang mendominasi. Taeyeon mengernyit bingung, Joonmyun adalah sosok pria paling bersih dan rapi yang pernah ia ketahui selama ini. Jadi, melihat dengan mata kepala sendiri tentang keadaan yang 180 derajat berbeda membuat sebuah perasaan lain menelusup ke dalam dada. Diambilnya barang-barang yang tercecer di lantai dan menempatkannya kembali pada tempat semula, tapi sebuah buku diari berhasil menggugah keingintahuan seorang Kim Taeyeon.
Tidak salah lagi jika diari di dalam genggaman tangannya adalah milik Joonmyun, terlihat dari tulisan rapi dengan tinta biru kesukaan sang adik. Taeyeon membaca satu persatu halaman dengan aneka ekspresi. Bahagia, Kesal, Bingung, dan berbagai macam lainnya. Sampai akhirnya Taeyeon berhasil membuka halaman tengah yang sekaligus merupakan halaman terakhir berisi tulisan.
Sebuah curahan hati yang panjang, Taeyeon mengamati setiap larik kata dengan tenggorokan tercekat hebat.
“Kali ini aku sudah menyerah. Tidak ada kamus kehidupan yang mengatakan bahwa seorang adik dan kakak yang terhubung dalam satu darah mampu menjalin sebuah hubungan yang lebih. Taeyeon Noona mencintai pria lain dan ia begitu bahagia dengan hubungan barunya. Aku sungguh akan sangat berdosa jika menghancurkan perasaannya dengan mengatakan bahwa aku juga memiliki perasaan lain yang lebih terhadapnya, perasaan mencintai seorang wanita sebagai seorang pria. Aku juga akan merasa berdosa ketika orang lain mengetahui apa yang kurasakan dan akan menyalahkan Noona atas semua.
Semua berawal dari rasa kesepian setelah Abeoji pergi dengan wanita simpanannya dan meninggalkanku serta Noona dan Eommonim sendiri. Semua perasaan bahagia yang selama ini kureguk manis harus sirna dalam sekali kedipan mata. Kesedihanku bertambah tatkala Eommonim memutuskan untuk ikut pergi dari dunia setelah sakit Emfisema yang beliau derita tak kunjung membaik. Hanya Taeyeon Noona yang mampu mengembalikanku dari keterpurukan dan setelahnya kami begitu dekat satu sama lain. Semua orang begitu iri setiap melihat kami bersama. Aku benar-benar tidak bisa mendeskripsikan kebahagiaan baru yang kudapatkan saat itu.
Namun, semua perlahan kembali berubah ketika kami memasuki umur kepala dua. Taeyeon Noona perlahan mulai sibuk dengan dunia barunya dan sedikit demi sedikit melupakanku. Ia jarang pulang dan seringkali kembali dengan keadaan mabuk parah dan meracau aneh, beberapa pria yang mengajaknya kencan menjadi penyebab perilaku Noona semakin memburuk dari hari ke hari. Sejak saat itu, aku begitu bersikap otoriter terhadap hubungan Noona, tidak ada seorang pria pun yang berani mengajak Taeyeon Noona untuk berkencan untuk kedua kalinya, setelah aku berhasil mengacaukan acara kencan mereka dengan Noona. Entah sengaja menumpahkan saus ke kemeja mereka, merusak mobil ataupun motor mereka, dan segala kegilaan lainnya, tapi Noona justru semakin menjauhiku dan lebih memilih untuk berlama-lama dengan kehidupan barunya.
Siklus terus berjalan seperti biasa, sampai akhirnya hubungan kami membaik sedikit demi sedikit. Saat itu aku sedang membaca sebuah buku sampai akhirnya Noona datang dengan senyum sumringah. Seperti yang kutebak sebelumnya, Noona memintaku untuk tidak berlaku aneh seperti yang kulakukan dahulu, karena akan ada seorang pria yang akan mengajaknya kencan kembali. Aku hanya memberikan jawaban seperti biasa dan Noona menghujaniku dengan cubitan keras yang menyakitkan di pergelangan tangan. Kami saling berargumen panjang, sampai akhirnya Noona mengutarakan seluruh pemikirannya selama ini kepadaku, terutama mengenai Adam dan Hawa, beserta sejarah penciptaan manusia yang berawal dari tulang rusuk yang tidak kumengerti sama sekali. Kami pun saling berdiam diri lagi dan begitu bodohmya aku mengatakan hal yang tak seharusnya. Noona pergi dengan kekecewaan dan aku juga tetap berdiam dengan kekecewaan yang sama.
Hari pun tiba dan Noona lebih memilih untuk ikut berkencan dengan pria aneh dengan setelan Versace yang kuketahui bernama Park Yoochun. Seperti biasa, Ia akan pulang dengan keadaan mabuk parah dan aku tetap saja tidak bisa menumpahkan kekesalanku tatkala melihat wajah bahagia yang terpasang dalam wajah Noona. Kecuali, ketika bagian Noona memukul tanganku dengan keras.
Dan, mungkin ini adalah terakhir kalinya aku akan memaksakan kehendakku. Namun, aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan terlarang ini dari hati.”
Taeyeon menutup mulutnya dengan salah satu tangan, diari pada tangan kirinya terjatuh ke lantai. Tapi, rasa keterkejutan belum terhenti sampai di situ. Selembar foto yang terbang dari selipan diari dengan objek pemandangan bukit berselimut Edelweis di sebuah negara di ujung selatan dunia menjadi senjata pamungkas peningkat kecemasan. Taeyeon kembali membuka halaman diari yang dibacanya terakhir tadi. Ternyata pada halaman selanjutnya masih ada sepotong paragraf yang nyaris membuatnya kehilangan kewarasan.
“Ingin kurengkuh Edelweis ke dalam genggaman tangan, merasakan keabadian yang akan membungkus sukma hingga waktu tak terbatas. Ketika semua yang kurasakan akan abadi menuju kehidupan lain, aku tidak akan lagi menghalangi kebahagiaan yang akan direngkuh oleh orang yang kukasihi selama ini. Tuhan, Kumohon maafkanlah hambamu yang bodoh ini.”
Taeyeon mengambil ponsel pada saku celana dan mengetik dengan cepat beberapa digit nomor, suara operator wanita menyambut Taeyeon yang sudah kalang kabut.
“Aku pesan tiket pesawat tercepat menuju Indonesia hari ini!”
Setelah mendapatkan kepastian bahwa ia telah mendapatkan sebuah kursi kelas bisnis menuju Indonesia, maka Taeyeon dengan secepat kilat mengambil buku diari dan foto tadi dan berlari menuju kamarnya, kemudian mengambil dompet dan passport. Ia tidak punya cukup waktu untuk sekedar berkemas. Rumah besar itupun kembali kosong setelah Taeyeon keluar, lalu membanting pintu dan menguncinya rapat.
-Fin-
