Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

She’s My Apple

$
0
0

Title : She’s My Apple

Author : Hangukffindo

Main Casts: Lay EXO M and Apple (OC)

Other Casts : Luhan, Xiumin, Tao, Chen

Length : 3900+w

Rating : PG-13

Genre : Fluff, Romance

Summary :

Lay mempunyai kekasih yang namanya mirip buah.

Dia Apple.

***

Lay tidak peduli apa yang ada di dalam kepala setiap orang. Mereka boleh berpikir apapun, semua hal yang bersangkutan tentangnya atau tentang hal lain, misalnya kucing, batu, kodok, atau bagaimana bisa Kris memasukkan bola ke dalam ring yang berjarak 2 meter dari tempat dimana dia berdiri, atau bagaimana bisa Xiumin menghabiskan dua mangkuk mie pedas dalam hitungan detik.

Tidak akan ada yang bisa melarang Chanyeol berbisik-bisik di balik majalahnya bersama Jongin, memperhatikan Krystal bermain bulutangkis di lapangan. Tidak akan ada yang bisa melarang Baekhyun terus mencoba mengintip dari celah pintu, memperhatikan Taeyeon bernyanyi di ruang musik. Lagipula juga tidak ada yang mau berurusan dengan Tao, jangan pernah mencoba melarangnya melayangkan kaki di udara atau kau akan kena pukul.

Mereka bisa saja melarang Kyungsoo yang polos pergi ke kamar mandi, atau mencuri kentang dari piring Junmyeon, namun tidak ada yang pernah benar-benar mengurusi atau sekedar berhenti untuk berpikir saat melihat Lay menghampiri seorang gadis gemuk yang sedang makan.

Lay tidak melarang mereka.

Apple juga tampak tidak peduli.

Mereka pasangan yang…eumm…tidak seimbang?

Lay kurus, Apple gadis gemuk sampai semua kancing di kemejanya mencuat, seakan nama buah itu memang tepat untuknya. ‘Apple’…buah apel…bulat. Hmm…memang cocok.

Namun tanpa perlu repot-repot memikirkan mengapa orang tua Apple memberinya nama seperti itu, Lay memintanya untuk pergi ke pesta dansa satu tahun yang lalu. Apple memakai dress sewarna buah plum di musim semi. Dia cantik, pikir Lay saat menggenggam tangannya.

Dia hangat, pikir Lay saat mereka berdansa dan tangannya merengkuh tubuh Apple. Lalu Apple menginjak kakinya, rasa sakit menjalar sampai lutut, lagi-lagi Lay harus tersenyum dan berpikir, Dia kuat.

Dia suka sushi. Lay membelikan sekotak sushi dan sashimi pada kencan kedua mereka di sebuah restoran jepang dekat sekolahnya. Lay hanya pergi beberapa menit ke kamar mandi, bercermin melihat betapa merona wajahnya hari ini, dan dia senang. Kemudian saat kembali sushi itu sudah menghilang, menyisakan sumpit dan segelas ocha kosong.

Tak mengapa. Lay bisa membeli seratus kotak lagi jika Apple menginginkannya.

Dia suka bunga matahari. Mereka pergi ke taman wisata untuk meneliti tanaman yang ada disana dan Apple tertegun sejenak memandang bunga matahari yang tumbuh subur di taman itu.

“Apple, apa yang kau lakukan?” tanya Lay menggenggam tangannya, namun Apple tidak menjawab, terus menatap bunga warna kuning itu, terpesona.

“Apple?”

“Hah?”

Apple tampak kaget dan Lay tersenyum menariknya kembali ke rombongan. Mereka tidak membicarakan tentang bunga matahari selama perjalanan pulang atau di hari-hari selanjutnya, karena di satu pagi hari yang cerah Apple menemukan satu pot bunga matahari di depan pintu rumahnya.

Dia pintar. Mungkin Apple bukan seorang yang memakai kacamata, namanya tidak terdaftar di antara sederet juara olimpiade nasional, wajahnya tidak terpampang di deretan figura murid-murid berprestasi tahun 2012. Namun dia bisa memasak, menjahit kancing baju Lay yang lepas, memperbaiki resleting tas kekasihnya yang rusak…

Lay tahu tidak ada yang lebih indah daripada melihat pipi gembul itu memerah setiap kali Lay berbisik, “Aku sayang padamu, Apple.”. Apple akan melihat kearahnya, tertawa memperlihatkan giginya dan memukul lengan Lay cukup keras dan menimbulkan rasa sakit.

Dia gadis yang menyenangkan.

Dia suka tersenyum, merona.

Dia pemalu.

Dia…

 

Akan ada banyak kata ‘dia’, sejuta fakta yang tidak bisa Lay hindari karena mereka bertemu setiap hari, setiap jam, setiap detik dihabiskan bersama. Apple tidak beraroma manis seperti gadis-gadis pemandu sorak di sekolah mereka. Dia tidak mempunyai aroma.

Tidak ada yang spesial, yang bisa membedakan Apple dari gadis lain jika Lay menutup matanya.

Satu hal yang pasti, Lay tahu itu Apple meskipun dia menutup matanya sekali pun. Ada perasaan…ada sebuah koneksi yang tidak terbatas oleh sekedar parfum yang bisa menjadi ciri khas.

Lay hanya tahu jantungnya berdegup kencang mendengar langkah Apple yang berat.

Dia Apple. Dia kekasihku.

 

***

Apple merasa beruntung.

Dia tidak pernah berpikir di umurnya yang ke 17, mendapatkan kekasih setampan Lay. Dia jatuh hati pada lesung di pipi Lay yang timbul setiap kali laki-laki itu tersenyum. Dia jatuh hati pada jaket Lay yang beraroma permen karet rasa anggur, melindunginya dari hujan, juga topi Lay yang sedikit kekecilan di kepalanya saat matahari berusaha membakar rambutnya.

Kesimpulannya, Lay luar biasa. Dia memang bukan seorang yang populer di sekolah. Lay berteman dengan Xiumin, Jongdae, Luhan, dan Junmyeon, sekumpulan orang-orang yang tersiksa, tapi siapa sangka ada orang yang lebih teraniaya dari mereka.

Orang itu adalah Apple. Gadis bertubuh gempal, roknya yang pendek memperlihatkan paha besarnya, betis yang seperti lobak, dan terkadang…bukan perasaan senang yang dia rasakan.

Lay tidak keberatan Apple menghabiskan dua kotak sushi, dua gelas ocha, satu gelas bubble tea, tiga mochi, dan kue tiramisu di penghujung hari. Lay akan membiarkan Apple memasuki setiap toko kue dan permen selama kencan mereka, karena perut Apple selalu berulah setiap kali dia melihat kue berwarna-warni terpampang di etalase toko.

Tidak masalah.

         

Mungkin Lay tidak pernah mempunyai masalah dengan itu, namun Apple punya. Timbangannya selalu naik, menunjukkan angka yang tidak wajar di akhir minggu. Angka itu berputar-putar di kepalanya dan akan menghilang seraya dia bertemu Lay, satu-satunya orang yang melihat dirinya sebagai orang normal, karena…

“Turunkan berat badanmu! Kau terlalu gemuk seperti babi!” ujar ayahnya dari ruang tamu.

“Dasar gajah!” ejek adiknya sebelum berlari ke luar rumah.

“Eumm…kau baru sembuh dari sakit, tapi…kau bertambah gemuk dan tidak kelihatan sakit sama sekali, Apple.” Ujar sahabatnya.

“Lihat kakimu sudah seperti pepaya.” Nasehat ibunya saat Apple mengendap-endap ke dapur, mencungkil sepotong puding dari kulkas.

Tidak masalah. Selama Lay masih menjadi kekasihnya, menggenggam tangannya dan tidak mengatainya apapun, Apple tidak memikirkan apa-apa.

 

Ya, selama Lay masih melihatnya sebagai seorang manusia yang kelebihan lemak, daging, dan sebagainya.

 

Ya, selama Lay masih menganggapnya cantik dan sebagai kekasih yang menyenangkan untuk dilihat.

 

Bagaimana jika suatu hari Lay…

 

Hujan mengguyur kota itu, gedung sekolah basah, petir menyambar kemana-mana, para gadis pemandu sorak menjerit dan menyita perhatian sebagian laki-laki yang bersedia melindungi mereka layaknya pahlawan. Apple kedinginan dan dia tidak bertemu Lay hari itu, namun ketika dia pergi ke sudut perpustakaan, dia mendengar suara teman-teman Lay membicarakan seseorang…seseorang yang dia kenal betul.

“Apa sih yang dipikirkan Lay?” itu suara Luhan. Dia setengah berbisik, masih jelas terdengar.

“Apa maksudmu?” yang ini adalah suara Tao.

“Kau tahu yang kumaksud, si labu berseragam itu.” Balas Luhan membalik halaman buku matematikanya. Tao mengangkat alisnya, tertawa hingga menyemburkan ludah ke wajah Xiumin.

“Hei, pelan-pelan, kawan!” Xiumin juga terdengar disana, mengunyah makanan. “Kau sadis, Luhan.” Tambahnya.

“Ya, kau sadis.” Tao meniduri buku ekonominya dan tertawa kecil. “Dia bukan ‘labu berseragam’. Dia…’apel berseragam’.” Lalu semua orang kembali tertawa dan mengecilkan suara ketika penjaga perpustakaan menghampiri mereka.

Apple menggelengkan kepala. Dia sudah terbiasa akan hal ini, mendengarnya dan membiarkan kata-kata mereka lewat begitu saja. Dia merapatkan tubuhnya ke rak setelah mendengar suara Lay yang baru saja datang bergabung bersama teman-temannya.

“Hai, Lay! Darimana saja kau?”

“Aku mengerjakan tugas kimia. Kenapa? Oh iya, apa kalian melihat Apple?” tanya Lay menggeser kursi, Apple mengintip dari celah diantara buku-buku tua.

Luhan saling bertukar pandang dengan Tao yang menahan tawa. “Yang jelas dia tidak berada disini, karena makanan tidak diperbolehkan masuk ke perpustakaan haha…” dia kembali tertawa dan diikuti Xiumin, Tao, dan Jongdae.

Lay memutar kedua bola matanya, “Ayolah, kawan. Aku serius.”

“Kami juga serius, Lay.” Luhan merangkulkan lengannya ke bahu Lay, berpikir sejenak sebelum berbicara. “Ada seseorang yang menanyakanmu.”

“Apple?”

“Aigoo…apa kepalamu hanya ada Apple, Apple, dan Apple? Berpikirlah rasional, kawan.” Ujar Luhan terdengar bosan.

“Apa maksudmu?”

“Aiisshh…sudahlah. Begini, dengarkan aku baik-baik, Lay. Ada seseorang yang menanyakan tentangmu. Dia…Krystal.”

Lay menjauhkan diri, menatap temannya itu seperti dia baru saja mengeluarkan kata-kata paling parah sedunia. “Krystal? Anggota pemandu sorak sekolah ini?”

“Haruskah aku mengejanya? K-R-Y-S-T-A-L. C-A-N-T-I-K…”

“S-E-K-S-I!” timpal Tao terkekeh.

“Yap, betul.” Luhan memperat rangkulannya pada Lay sambil mengangkat alis, seakan bertanya.

“Lalu?” Lay bertanya tanpa dosa.

Luhan memukul lengannya, menjauhkan diri dan menatap Lay dengan tatapan sebal. “Lalu pergi berkencanlah kalian berdua!” pekiknya tidak sabar. Lay boleh saja lemah dalam pelajaran fisika dan matematika, tapi tidak dengan yang satu ini.

Apple menutup mulutnya. Napas tertahan dan dadanya seketika sesak. Dia masih berada disana, walaupun air mata tampak mencoba keluar. Apa ini?

          “Hei, tidak ingatkah kau aku punya Apple?”

Luhan hampir menangis, menjabak rambutnya sendiri frustasi. Dia menangkup wajah Lay, wajah yang ingin sekali dia pukul karena terlalu bodoh dalam hal percintaan.

“Apa kau idiot, Lay? J-jangan pikirkan Apple atau siapapun dia. Astaga, kenapa kau mau menghabiskan waktu dengan seseorang seperti Apple? Dia…dia bahkan tidak ada apa-apanya, Lay. Apa yang kau lihat darinya? Tubuh gemuknya? Apa menurutmu itu menarik? Kau bisa menggendongnya dan berputar-putar seperti di dalam drama? Apa menurutmu orang-orang akan cemburu melihatmu berjalan dengannya? Apakah ada seseorang yang akan cemburu padamu? Tidak! Tidak, Lay.”

Semua orang diam di ruangan itu, termasuk penjaga perpustakaan yang tampaknya ingin tahu apa yang mereka bahas.

Dia benar. Luhan benar. Batin Apple di balik rak buku.

“Dengarkan aku, Lay. Kau…kau pantas mendapatkan seseorang yang lebih daripada Apple. Disini ada Krystal, jatuh hati padamu…” Luhan menunjuk dada Lay. “Tidakkah hati kecilmu menginginkannya? Bertemu dengan seseorang yang cantik, yang membuat semua orang berpaling setiap kali melihatmu berjalan dengannya, yang membuat semua orang iri, yang membuat semua orang berkata ‘aku ingin mempunyai gadis sepertinya’. Tidakkah kau menginginkan sebuah perasaan takut sehingga kau harus menjaga kekasihmu baik-baik, tidak hanya di pagi hari, namun di juga setiap detik. Pernahkah kau merasakan hal itu saat bersama Apple?”

Tidak. Jawab Apple menggigit bibirnya. Satu butir air mata berhasil lolos meluncur di pipinya.

 

Tidak.

Apple tahu apa yang akan dikatakan Lay, tidak perlu menunggu untuk mendengarnya dari mulut Lay sendiri, maka dia pergi dari sana, setengah berlari. Berharap matahari tidak perlu tenggelam sore ini, agar setidaknya Apple bisa menghabiskan malamnya dengan menangis.

 

Lay mengerutkan dahinya. “Aku…”

 

***

 

Pagi hari datang kembali menjemput. Tidak ada sarapan pagi ini bagi Apple. Dia sengaja bangun sedikit terlambat, lalu berlari menuruni tangga, mengacuhkan ibunya yang menyuruhnya sarapan.

Tidak ada cemilan di sela-sela pelajaran. Tasnya kempes tanpa snack-snack yang senantiasa menemaninya. Hanya ada buku-buku pelajaran yang masih berbau permen, cokelat dan puding, hingga ingin rasanya Apple menggigit mereka. Perutnya meraung-raung, namun dia mengacuhkannya. Kakinya lemas dan keringat mengalir di punggungnya.

Ini proses. Bersabarlah, Apple! Katanya dalam hati menyemangati tubuhnya agar terus bertahan dalam situasi itu.

Tidak ada makan siang.

“Kau yakin tidak mau makan siang?” tanya Lay bingung.

Apple menggelengkan kepala dan berusaha tersenyum ceria. “Aku masih kenyang. Makanlah, Lay.” Dia memperhatikan nasi yang dikunyah Lay, sup yang menuruni tenggorokannya. Sup yang hangat, ayam goreng, dan sayur tomat, menu kesukaannya di hari Rabu. Ugghh…kenapa harus terjadi?

Lalu ketika Lay menyuapinya sesendok puding dan dia menerimanya, Apple menahan puding itu di mulut dan segera berlari ke kamar mandi. Dia memuntahkan puding itu dari mulut ke kloset. Rasa manis yang selalu terasa indah di lidah harus pergi seraya Apple menekan tombol flush.

Lay tidak berkomentar karena Apple beralasan tiba-tiba dia merasa sakit perut dan harus pergi ke toilet.

 

Makan siang terlewatkan. Apple selamat.

 

***

 

Diet.

Adalah sebuah proses menyakitkan, menyiksa, dan terparah yang pernah Apple rasakan. Lebih parah daripada penyakit demam, flu, batuk yang pernah dia alami. Makanan adalah separuh jiwanya, mungkin seluruh jiwanya! Makanan adalah sahabat yang paling setia, paling baik dan tidak akan pernah menyakiti hatinya seperti manusia. Dan kini…hanya satu kata ‘diet’ dan mereka harus berpisah untuk selamanya.

Alat timbang menjadi teman baru yang familiar.

Apple membersihkan semua cokelat-cokelat dari kamarnya, mengucapkan selamat tinggal pada snack kentang dari dalam tasnya, terkadang dia mencuri sebutir permen mint hanya untuk mengobati perasaan rindunya dan dia akan menangis menahan lapar di tempat tidur.

Namun dia tidak berani melahap satu permen lagi ketika mengingat wajah Lay, wajah Lay yang tersenyum dan mungkin dia berharap melihat raut wajah Lay yang ketakutan kekasihnya akan direbut orang lain.

 

“Aku pasti bisa.” Bisik Apple dalam tidurnya. “Aku pasti bisa, aku pasti bisa, aku pasti bisa…”

***

 

Lay menyadari perubahan yang terjadi pada diri kekasihnya. Bukan, bukan tentang tubuhnya yang sedikit berbeda di matanya. Tapi kebiasaan melewatkan makan siang di sekolah, tidak ada lagi sekotak sushi, bubble tea, dan mochi kacang setiap mereka pergi kencan. Tidak ada permen, cokelat, dan biscuit dalam tas Apple ketika Lay melongok melihatnya.

Hanya ada sebuah permen mint, botol air minum yang berisi teh hijau, dan sekotak obat yang Lay tidak tahu apa itu.

Lay menyadari perubahan yang terjadi pada Apple. Bukan hanya karena fisiknya, atau tingkahnya, namun perasaan tidak enak yang mengelilinginya, mengikuti mereka. Perasaan itu tidak terasa menyenangkan dirasakan, juga tidak spesial, entah mengapa tiba-tiba Lay merasa berjalan bersama orang lain, bukan Apple yang dia kenal.

Apple tidak berhenti di depan toko kue, dia tidak menarik lengan Lay untuk masuk ke dalam toko permen. Dia tidak mengerti apa yang terjadi, mengapa tiba-tiba disana bukanlah Apple kekasihnya, namun seperti seseorang yang asing.

Lay menahan Apple berjalan lebih jauh. Mereka berhenti di depan taman.

“Ayo, kita makan.” Ucap Lay. Lalu Apple menggelengkan kepala, “Aku masih kenyang.”

“Kau jarang makan belakangan ini, Apple? Apa kau sakit? Kau selalu berkata ‘aku masih kenyang’ padahal aku tidak melihatmu makan dari pagi tadi.” Lay menaruh tangannya di dahi Apple, merasakan kulit dingin yang pucat. “Apple, ada ap—“

“Aku tidak apa-apa. Sumpah, aku masih keny—“

“Bohong.”

Apple berhenti bicara. Mendengar Lay berkata seperti itu membuatnya terpojok dan ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun dia memilih untuk menggigit bibir, menahan kata-kata jujur keluar.

“B-bohong? Tidak, aku tidak berbohong. Ada apa denganmu, Lay?” nadanya terlalu tinggi dari yang dia kira. Dia tidak bermaksud panik seperti itu, hingga Lay menatapnya bingung. “Aku…aku hanya tidak lapar, oke? Bisakah kita berjalan lagi?”

Tangan Lay tidak bergeming, dia tetap menahan Apple disana. “Lay…”

“Katakan yang sejujurnya. Apa kau…”

Apple ingin menutup telinganya. Dia tidak ingin mendengar kata itu, kata yang memisahkannya dengan semua hal yang dicintai.

“…diet?”

“Tidak!” jerit Apple. Seorang anak kecil berhenti mengayuh sepedanya, mungkin lalat disebelah sana berhenti terbang, dan lebah berhenti berdengung karena suara Apple yang besar membuat semuanya kaget.

Lay mengerjapkan matanya. Ya, hati kecilnya berkata itu tidak benar. Apple berdiet. “Ya, kau melakukannya. Kau tidak lagi makan seperti biasa. Kau selalu melewati makan siang di sekolah, dimana semua snack dan cemilan itu, Apple? Kau tidak makan. Kau diet!”

“Makanan itu tidak sehat dan sekali lagi kukatakan aku tidak diet!” balasnya.

“Jangan bohong, Apple!”

“Aku tidak bohong!”

Lay tidak mengingat kapan terakhir kali mereka bertengkar, berteriak satu sama lain, dan jelas kali ini sangatlah parah. Tidak akan terjadi jika setidaknya Apple mengatakan yang sesungguhnya.

“Apple!”

“Oke! Ya, AKU DIET! Aku diet! Puas?! Aku melewatkan jam makan dan membiarkan perutku kosong. Senang?!”

“Astaga, Apple. Apa yang kau pikirkan? Kau menyiksa dirimu. Lihat, kau pucat dan wajahmu tidak kelihatan sehat.”

“Apa pedulimu jika aku menyiksa diriku sendiri? Ini…ini demi kepentingan kita. Aku ingin terlihat cantik, langsing, agar kau tidak malu berjalan dengan gadis sepertiku. Agar kau merasa bangga memiliki diriku, agar kau senang, agar kau mempunyai rasa takut aku akan pergi darimu, agar kau selalu menjagaku dan tidak membiarkan orang lain merebutku darimu. Agar kita terlihat serasi, agar kau merasa memiliki kekasih paling cantik dan terkenal di dunia. Tidakkah kau ingin merasakannya, Lay?”

Tunggu, dia terdengar seperti seseorang yang Lay kenal.

 

“Apa Luhan mengatakan ini padamu?”

“Terserah siapa yang mengatakan ini. Tapi jujurlah padaku, Lay! Tidakkah kau ingin merasakan semua yang kukatakan tadi?” wajah Apple beruraian air mata dan Lay benci melihatnya. Dia tidak, tidak, akan pernah membiarkan air mata itu jatuh, mengalir di pipi gembulnya. Namun apa yang dia lakukan sekarang? Apple menangis karenanya?

Dan apa yang baru saja dia katakan?

 

“Apple, aku…”

Apple mengangkat tangannya, menghentikan Lay untuk berbicara lebih jauh, karena hatinya hancur berkeping-keping. Mengakui bahwa dia berusaha keras untuk menjadi seseorang yang dapat Lay banggakan adalah hal tersakit yang pernah dia rasakan.

“Cukup, Lay.”

 

Dia berlari. Berlari cukup kencang hingga dia berharap dapat berlari dari kenyataan dan mendarat di sebuah tempat dimana dia menemui bayangan tubuhnya yang langsing, berambut panjang, dan cantik. Dimana semua orang melihatnya cemburu dan dia bersedia kembali menjemput Lay, dan hidup bahagia selamanya.

Namun sayang, ini bukanlah dongeng di dalam buku cerita. Dia bukan seorang gadis bergaun pink dan Lay bukanlah pangeran diatas kuda putih.

Apple berlari memasuki rumahnya, pergi ke dalam kamar dan mengunci diri selamanya disana.

“Apple, astaga…apa yang terjadi? Kenapa dia menangis?” tanya ayahnya yang sedang membaca Koran, memandang ibunya yang hanya bisa mengangkat bahu.

 

Lay termenung di tempat tepat dimana Apple meninggalkannya beberapa menit yang lalu. Dia ingat semua pertanyaan itu dan tidak bermaksud untuk diam, karena terlalu banyak kata-kata yang ingin dia keluarkan.

 

Waktu itu…

 

“Tidakkah hati kecilmu menginginkannya? Bertemu dengan seseorang yang cantik, yang membuat semua orang berpaling setiap kali melihatmu berjalan dengannya, yang membuat semua orang iri, yang membuat semua orang berkata ‘aku ingin mempunyai gadis sepertinya’. Tidakkah kau menginginkan sebuah perasaan takut sehingga kau harus menjaga kekasihmu baik-baik, tidak hanya di pagi hari, namun di juga setiap detik. Pernahkah kau merasakan hal itu saat bersama Apple?”

“Aku…”

“Ayolah, Lay. Apple itu tidak berarti.”

Lay bangkit berdiri hingga kursi itu jatuh berdebum ke lantai, menimbulkan suara yang mengerikan. Dia mencengkram kerah Luhan dan berkata,

“Jangan. Pernah. Berkata. Seperti. Itu. Tentang. Apple.” Desisnya sebelum mendorong Luhan jatuh terduduk di kursinya. “Kau tidak tahu apa-apa tentang Apple. Kau juga tidak tahu apa yang kurasakan terhadap Apple. Asal kau tahu, aku menyukainya, aku menyayanginya lebih dari apapun. Aku tidak peduli apa yang orang pikirkan.”

Lalu dia pergi, pergi berlari meninggalkan Luhan yang tampak kaget sekaligus takut karena dia belum pernah melihat Lay semarah itu.

 

Hari ini. Detik ini, dia kembali berlari melewati taman, melewati toko permen, toko baju, toko sushi. Apple, Apple…nama itu terasa manis ketika dia menyebutkannya, berenang di dalam kepalanya, menghangatkan hatinya. Tidak ada nama lain yang bisa membuatnya merasa seperti itu. Hanya Apple, dan hanya ada satu Apple di hatinya.

Lay sampai di depan rumah kecil milik Apple. Dia terengah-engah sebelum mengetuk pintu rumah, dan seorang pria bertubuh gemuk yang dia kenal sebagai ayah Apple menemuinya.

“Selamat sore, paman. Aku…aku ingin bertemu dengan App—“

“Jadi kau yang membuat anakku berlari ke rumah sambil menangis?! Kau!” Lay menjadi sasaran Koran yang di pegang ayah Apple. Pria besar itu memukulnya cukup keras, mendorongnya hingga jatuh ke tanah mengenai pot bunga matahari milik Apple.

“Kau…kau juga menghancurkan bunga kesayangan anakku!” teriaknya semakin marah.

“Maaf, maaf…aku tidak sengaja.” Lay merasakan ada luka terbuka di tangannya, tapi dia berusaha memperbaiki pot yang pecah itu, sedangkan ayah Apple terus menyerangnya dari berbagai arah.

Apple keluar dari kamar mandi, mengelap ingus di hidungnya. Dia merasa buruk, buruk, dan buruk sekali. Dia menyalakan musik dan duduk dekat jendela, menempelkan dahinya agar dinginnya kaca dapat meredakan rasa pusing yang dirasakan. Lalu dia melompat kaget melihat ayahnya sedang menyerang seseorang yang familiar dengan koran, seseorang bernama Lay yang merupakan kekasihnya.

Apa yang sedang Lay lakukan disini?

 

Apple berlari keluar pintu, mencoba menghentikan ayahnya. “Ayah, hentikan!” jeritnya.

Sedangkan Lay menyadari kedatangan Apple, berusaha menggapai tangannya namun disana ada ayah Apple, pria bertubuh besar yang berhasil menghalanginya.

“Ayah! Berhenti memukul Lay!” Apple menghalangi ayahnya, melindungi Lay dibelakangnya, bernapas berat. “Berhenti! Berhenti!”

“Dia yang membuatmu menangis kan?? Dia—“

“Tidak. Tidak. Dia tidak membuatku menangis, ayah.”

“Bohong!” ayahnya adalah orang kedua pada hari itu yang mengatainya pembohong. Tapi tidak mengapa, itu tidak sesakit melihat Lay terluka.

Apple menggeleng, merentangkan tangan selebar mungkin agar Lay aman di balik tubuhnya. Lay melingkarkan tangan dari belakang, memeluknya seakan tidak akan pernah melepaskannya.

“Lay tidak pernah membuatku menangis. Aku…aku menyukainya dan ayah jangan menyakiti Lay, oke? Aku baik-baik saja, tadi aku hanya…” sekarang dia menangis, entah mengapa tapi pelukan Lay membuatnya ingin menangis terus menerus, membuatnya merasakan ada getaran kecil yang masuk ke dalam hatinya, dan apa yang dia lakukan selama ini bukanlah hal yang benar.

 

***

Dia idiot. Sangat idiot. Apa yang dia pikirkan ketika mencari-cari cara untuk diet di internet, membuang semua makanannya dan kini dia sangat kelaparan. Rasa lapar sangat menyakitkan, Apple yakin dia pernah mengalami black out beberapa kali saat sampai di rumah. Namun rasa sakitnya tidak lebih parah daripada melihat Lay di depannya, tangan terluka dan ada lecet di wajahnya.

“Maaf, menghancurkan pot bunga mataharimu. Aku akan membelinya lagi.” Ujar Lay dengan suara pelan, dia memandang wajah Apple, sementara gadis itu mengobati tangannya yang terluka. “Maafkan aku, Apple…”

Air mata gadis itu mengalir seraya kata-kata Lay menyentuh hatinya, menyentuh luka disana dan Apple memeluk Lay seakan hari esok adalah hari terakhir mereka akan bernapas, saling menyukai, dan ada segelintir perasaan bersalah yang memenuhi kepalanya.

“Maaf, Lay. Aku bodoh, aku tolol. Tidak seharusnya aku…”

“Hei, hei…” Lay melepaskan diri, menangkup wajah Apple, pipi itu terasa lembut dan menirus. Lay membenci wajah tirus itu, lebih menyukai bagaimana pipi itu bersemu mera, gembul dan lembut di sentuh. “Jangan pernah melakukannya lagi, oke? Ya Tuhan, Apple…apa yang kau pikirkan sehingga kau berbuat seperti ini, heh?”

“Aku kira kau suka dengan gadis yang cantik, langsing…”

“Persetan dengan semua itu, Apple!” pekiknya membuat Apple terkejut. “Aku menyukaimu apa adanya. Titik. Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan, orang-orang itu tidak tahu apa yang kita rasakan dan buat apa pusing mencari jalan agar orang-orang itu iri, cemburu melihat kita? Ini kau Apple, ini dirimu yang kusukai! Kau tidak perlu menjadi orang lain, demi Tuhan, aku tidak memacarimu untuk membuat seluruh dunia cemburu.”

Apple terdiam. Lay menghapus air matanya.

“Jika kau pikir aku tidak senang berjalan denganmu, lalu apa yang kita lakukan selama ini? Kau pikir aku tidak takut kehilanganmu? Hanya karena jika kau langsing maka aku akan ketakutan, punya rasa takut kehilangan dirimu karena sewaktu-waktu orang bisa saja merebutmu dariku?”

Apple mengangguk perlahan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

 

Lay memejamkan mata, menempelkan dahinya ke dahi gadis itu, tertawa kecil. “Astaga, Apple. Aku takut, aku takut kehilanganmu melebihi aku takut seseorang mencuri uangku, mencuri player kesayanganku di rumah. Aku takut kau meninggalkanku, aku takut kau pergi bersama orang lain…”

“Aku tidak akan melakukannya, pergi ke orang lain.” Potong Apple cepat, karena ya dia tidak akan pernah melakukannya. Siapa orang lain yang bisa menerima dirinya yang seperti ini selain Lay?

Lay kembali tertawa. “Oke, kau membuat rasa takutku sedikit berkurang.”

“Berkurang? Aku tidak mau rasa takut itu berkurang. Kau harus merasa ketakutan setiap saat, Lay.” Ujar Apple setengah bercanda.

“Baiklah, aku akan selalu merasa ketakutan kehilanganmu.”

Itu lebih baik.

          Mereka tidak akan pernah peduli. Lagipula semua yang dilakukan Lay dan Apple adalah mereka tidak bisa melepaskan satu sama lain. Mereka menempel bagaikan bunga membutuhkan matahari, paru-paru membutuhkan udara, roti membutuhkan selai, teh harus diberi gula, karena mereka tidak akan pernah sempurna tanpa pasangan mereka.

Apple adalah seseorang yang membuat Lay merasa sempurna, dan dibalik semua kekurangan itu, Apple memberikan tidak hanya 24 jam untuk Lay merasa senang dan bahagia, dia memberikan 25 jam, hingga Lay tidak bisa tidur.

Gadis macam apa yang bisa memberikan begitu banyak hal menyenangkan seperti itu? Krystal? Yoona si pemandu sorak? Luna si ketua organisasi?

Hanya Apple yang bisa.

 

Pukul 8 malam, Lay pulang dari rumahnya. Ayah Apple masih memandangnya tidak suka. Namun anaknya benar-benar jatuh cinta kepada laki-laki ini, apa yang bisa di perbuat. Dia mengamati bagaimana Lay dan Apple berpegangan tangan sampai di ambang pintu, tersenyum satu sama lain. Lay pamit pulang, mengucapkan selamat malam, namun setelah itu…ayah Apple hampir pingsan karena tiba-tiba Lay mencium Apple di depannya.

“Ya! A-apa…” dia kehilangan kata-kata, berteriak histeris.

Lay menemukan Apple semerah buah apel sungguhan dan dia menyukainya. “Aku menyayangimu, Apple.”

Lalu sebelum ayah Apple bisa menemukan benda untuk memukulnya, Lay berlari dari sana, melambai dari kejauhan pada mereka sambil tersenyum ceria.

 

“Ya! Dia…dia…mencium anakku!”

 

***

 

 

Lay mempunyai kekasih yang namanya mirip buah.

 

Dia Apple.

 

 

THE END

 

A/N: Thanks for my mom who brought me into the supermarket yesterday and I saw red apple there, then this ideas comes up through my head :D

Comments is allow J



Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

Trending Articles