Title : When 7 Years Passed
Author : ReeneReenePott
Cast : Kim Jongin, Park Nana(OC)
Support cast : Kim Yeonsa(OC), Janice (OC), Wu Yi Fan/Kris, Oh Sehun, Byun Baekyun
Genre : Romance, Fluff
Length : Longshoot
Rating : PG – 16
Disclaimer : Plot dan karya murni milikku, cast kecuali Park Nana, Kim Yeonsa dan Janice belong to them selfs. Sorry for miss typo, absurd plot and broken plot (?). Hope you enjoy!
Nana POV
“Na-ya, Jongin pulang. Kau mau menjemputnya di bandara tidak?” Suara yeoja yangsung menyambut pendengaranku begitu aku menempelkan ponsel ke telinga.
“Mwohae?!” Pekikku kaget. Secepat inikah? Pikiranku langsung blank.
“Astaga Nana, kenapa reaksimu berlebihan sekali, aku tahu kau rindu padanya, hahaha…”
“Aku tidak mau,” jawabku. Ingatanku melayang ke memori 4 tahun lalu. Dimana aku dan Kim Jongin masih menjadi siswa SMU. Dimana aku selalu menjadi stalkernya, dan dimana seorang Kim Yeonsa selaku sepupu Jongin memergokiku membuntutinya. Aku masih punya malu ketika Jongin ikutan memergokiku yang diam-diam selalu mengirim cokelat dan mawar ke lokernya.
“… Nde?”
“Sirreo. Aku masih punya malu, Yeonsa-ya…”
“Jadi kau tidak menyukainya lagi?” Aku terdiam. Aku tidak menyukainya. Dulu aku memang mencintainya. Mwoahaha, cinta? Apakah itu terlalu berlebihan?
Dan sialnya perasaan itu semakin bertambah dari tahun ke tahun. Membuatku seperti orang gila.
“Entahlah, Yeonsa-ya,”
“Aish, kita bicara lagi. Pesawat Jongin sedang landing. Annyeong,” aku menutup telepon tanpa memberi salam, lalu menyenderkan punggung ke kursi yang sedang kududuki. Mataku menerawang menatap layar notebook di depanku, lalu mendesah pelan.
Harusnya aku menyadarinya. Aku lupa men-stalk kegiatan Jongin setelah lulus kuliah. Dengan bodohnya kupikir ia akan menetap di sana setelah lulus dari kuliah bisnis di Stanford. Lagi-lagi aku memandang hasil rapor Jongin yang terpampang di layar notebook. Aku stalker yang handal, kan? Sampai nilai Jongin pun kuketahui.
Sempurna. Nilai-nilainya sempurna. Tapi sayangnya aku tak bisa menstalk wajahnya. Apakah bertambah tampan? Apa ia tambah menggelapkan kulitnya lagi? Bagaimana rambutnya?
Drrtt
From : Kim Yeonsa
Jongin sudah datang. Tapi dia membawa yeoja. Sungguh, mereka kelihatan mesra sekali!
Aku tertegun. Entah kenapa aku jadi ingin menangis. Park Nana pabo! Jelaslah ini yang akan terjadi. Kau pikir Jongin akan kembali dan memberikan bunga sambil berlutut di depanmu, hah?! Benar-benar mimpi yang tidak waras!
Aigoo, aigoo. Asmaku kambuh lagi. Ckckck
___
Ckrekk
Ckrek
Aku memandang hasil jepretanku lewat layar kamera DSLR yang sedang kugenggam. Fotografi masih menjadi hobiku, semenjak aku menstalker Jongin dengan kamera, hahaha…
Dengan langkah terseret kududukkan diriku di sebuah batang pohon besar yang tumbang. Semilir angin menghembus, membuat beberapa helai rambutku terangkat mengikuti angin. Mataku menerawang jauh, bukit yang menjadi objekku ini memang menyediakan pemandangan yang menenangkan. Langit biru dengan percikkan awan tipis, dan di bawah nampak perkotaan dengan semburat warna hijau yang mendominan.
“Hei,” sebuah suara membuatku menoleh. Mataku hampir meloncat keluar dan paru-paruku seakan berhenti bekerja ketika menangkap sosok di sampingku ini. Ia duduk di sebelahku, dan jujur ini membuat jantungku berdentum dengan keras.
“Kau…?”
“Apa kabar? Kata Yeonsa kau sangat sibuk,” aku menganga. Kim Yeonsa kau… Argh kenapa dia ikutan bercerita?
“Ne? Seperti yang kau lihat, hahaha… ” Aku tertawa garing ketika merasa diriku sendiri berhasil mengucapkan sebaris kalimat yang terasa kaku. Dadaku terasa sesak, tahu?!
“Masih suka memotret?”
“Hanya hobi, sih. Kau baru pulang?” Tanyaku dengan dada bergemuruh. Kalau saja dia menyadari, suaraku bergetar dari tadi.
“Hm. Aku dari bandara tadi,” ujarnya. Aku mematikan DSLR-ku dan memasukkannya ke tas ranselku. “Kau mau pergi?”
“Aku masih ada kuliah, Jongin-ssi,” aku membungkuk dan tersenyum sedikit, lalu bergegas melesat pergi dari pandangan pria itu.
Oh shit, wajahku manas sekali.
__
“Kau lama sekali, Na-ya,” Yeonsa langsung berkicau ketika aku menghempaskan diri tepat di sampingnya. Aku mengeluarkan buku mata kuliahku lalu memandangnya.
“Tadi memotret sebentar. Dosen sudah datang?”
“Belum, tenang saja,” Yeonsa ikut membuka tasnya, tapi dia malah mengeluarkan ponselnya. “Ini yeoja yang Jongin bawa di bandara tadi,” ujarnya sambil menyodorkan foto itu ke arahku. Aku meringis.
“Bawa? Bahasamu, Yeonsa,”
Deg…
Rahangku mengeras saat mendengar Yeonsa mengatakan itu, tapi reflek kulirik juga foto itu. “Yeppeun… Yeojachingu Jongin ya?” Akhirnya aku memaksakan bibirku untuk mengeluarkan sepotong kalimat.
“Geuraesse. Mereka keluar berdua,”
“Oh,” aku menggigit bibirku, menahan rasa sesak yang semakin menjadi.
“Kau tidak titip salam untuk Jongin?” Tanya Yeonsa tiba-tiba.
“Untuk apa? Balasku datar. Yeonsa mengerutkan bibirnya ke arahku.
“Ck, Jongin datang bawa undangan, bunuh diri kau,”
“Tidak akan, Kim Yeonsa. Well, mungkin aku masih men-stalk nya tapi…”
“Mwohae?! Menstalknya?! Ya! Park Nana! Kenapa kau tidak bilang-bilang?”
“Apakah aku harus bilang? Aku bukan fans Jongin yang menjajakan buruannya kemana-mana. Cukup jadi privacy-ku saja,”
“Astaga Park Nana, kupikir kau sudah berhenti menyukainya!” Aku meringis kecil.
“Yah, entah deh. Haha. Eh, Jongin tadi–”
“Apa? Kau menemuinya?” Tanya Yeonsa sambil memeriksa buku tulisnya. Aku terdiam, lalu mengalihkan pandangan.
“Ani. Apa dia sedang istirahat?” Tanyaku dengan perasaan aneh di dada.
“On, tentu saja. Tapi dia tadi keluar setelah mengantarku,”
“Astaga, kalau aku jadi dia, jetlag sudah membawaku ke alam mimpi,” sahutku dengan cengiran yang dipaksa.
Puuh…. Aku masing kurang pandai berakting. Tapi… Bukankah mereka sudah tahu? Jadi untuk apa aku berakting?
Ash… Lama-lama aku bisa gila!
___
Aku menyentuh DSLR-ku dengan tangan gemetar. Jongin di sini… Dia di negara ini… Di kota ini… Dan menginap di rumah Yeonsa! Oh shit, kamera ini mengingatkanku tentang memori ketika aku masih menjadi stalkernya!
Aku mendongak, lalu tertegun menatap Jongin yang ternyata sedang berbincang dengan Kyungsoo sunbaenim. Ternyata benar dugaanku, mereka masih memiliki kontak yang kuat. Aku mengangkat kameraku, dan membidik Jongin dalam posisi yang pas.
Klik
Klik
Untung saja flash-nya kumatikan, jadi dia tak akan menyadari kalau penyakitku saat masih SMA kambuh lagi. Lagian, siapa suruh pulang-pulang wajahnya malah makin tampan!
“Aku tahu wajahku tampan, jangan dilihat terus dong,”
Degh!
Aku mendongak dan hampir terkena serangan jantung. Bagaimana bisa Jongin ada di depanku? Heh? Tepat duduk di depanku!
Dan sialnya, aku kepergok lagi? Haah…
Mati aku.
“Sudah makan siang? Kau bisa terkena maag kalau minum kopi terus,”
“Eh?” Dan sebelum otakku kembali bekerja ia sudah memesan ramyun. Setelah pesanan ramyunnya datang, kami segera makan dengan diam.
“Jongin-ssi,” panggilku, berusaha memecang kesunyian.
“Hm?”
“Berapa lama kau menetap di Korea?” Aku menatapnya yang tiba-tiba mendongak menatapku.
“Kenapa kau menanyakan hal itu?”
Mampuslah kau, Park Nana. Jleb banget deh.
“Eh? Hanya–”
“Aku akan meneruskan bisnis ayahku di sini. Jadi aku akan tinggal di sini untuk seterusnya,” potongnya cepat yang membuatku terpaksa menelan liur.
“Oh,” hanya itu yang bisa kurespon untuknya.
“Dan kau?”
“Apa?”
“Kau akan menetap di Korea juga sehabis kuliah?” Tanyanya. Aku meneguk tehku dan kembali menatapnya.
“Memangnya aku harus kemana?” Tanyaku balik yang disambut senyumannya.
Degh
Degh
Degh
Sial!! Kenapa kau tersenyum, hah, Kim Jongin?!
Aku meneguk tehku sampai habis agar tidak semakin salah tingkah.
“Habis ini kau mau kemana?” Tanyanya lagi, tidak mengindahkan tingkahku yang sudah seperti pencuri yang ketahuan mencuri. Aku mengalihkan pandangan darinya.
“Tidur,” jawabku spontan yang membuat kedua alisnya naik. “Maksudku aku akan pulang ke rumah,” timpalku ditambah cengiran aneh.
Bukan maksudku atau keberanianku untuk geer, ya…
Tapi,
Apakah dia sedang pedekate?
HAH?!?
Hya, itu tidak mungkin!
___
“PARK NANA DIMANA KAU?!?”
“HYA KIM YEONSA AKU TIDAK TULI!!” Seruku balik dan memutar tubuhku ke belakang, ke mana suara itu berasal.
“KALIAN BISA DAIM TIDAK?!? INI PERPUSTAKAAN!!” Sebuah suara lain menyahut, membuatku dan Yeonsa menciut nyalinya. Oh yeah, itu si Jung Ill Woo, penjaga perpustakaan paling sangar abad ini.
“Oh, mianhae sunbaenim. Lupa,” jawab Yeonsa cuek lalu mengambil kursi di sebelahku yang melongo.
“Ada apa sih, kau ribut sekali dari tadi?” Protesku sambil mencoret-coret notesku yang masuh merumuskan bagaimana cara membuat efek-efek menakjubkan tingkat advance dengan Photoshop.
“Kau tahu tidak? Semalaim si Kai minta nomormu. GILA! Aku tidak tahu kau memikatnya sebegitu banyak. Ya sudah, kuberi nomor ponselmu, e-mail, akun Facebook, Twitter, blog pribadimu…”
“Yak, Kim Yeonsa, apa sih yang kau bicararakan? Kau melantur, ya?” Sahutku dengan kening berkerut. “Apa maksudmu dengan ‘memikat’? Hei, aku terdengar seperti anjing pudel pink ekslusif mencari induk semangnya, tahu!”
“Ck, Nana, ini sudah… Er… 7 tahun kau menyukainya. Ditambah ketahuan lagi. Perasaan lelaki juga bisa tersentuh, kan?”
“Haa… Aku bi–”
Naega piryuhae~
Naega piryuhae~ oh~
Aku melongok menatap layar ponselku tanpa berkedip ketika sederet nomor asing menelponku. Well, aku berharap ini Jongin. “Yoboseyo?”
“Nana-ssi? Ini Kim Jongin,”
JDER!
“UHUK!!” Shit! Kenapa aku malah tersedak liurku sendiri? “Ukh… Neh, Jongin-ssi?” Dan great! Yeonsa tengah mendelik menatapku sekarang.
“Apa kau punya waktu sabtu ini? Aku ada tiket pameran galeri, apa kau mau ikut? Aku ingin mengenalkan seseorang padamu,” mendengarnya, aku terdiam. Dia akan mengenalkanku pada gadis itu. Yah, itulah firasatku saat ini.
“Jam berapa?” Tanyaku sambil berdeham.
“Jam 5 sore di Exotic Galley. Kau tahu galeri itu,kan?”
“Ya,”
“Baiklah, kutunggu sabtu ini, oke?”
“Ne…” Kuputuskan sambungan telepan.
“Jadi, Park Nana, sudah sedekat apa kau dengannya?”
__
“Gomawo, Kris oppa,” kataku sambil tersenyum manis pada mahkluk genter yang selalu menjadi heroku–alias supir di saat keadaan genting. Well, dia sahabat baiknya Cheondong oppa, jadi apa salahnya kalau aku merepotkannya sedikit? Kk~
“Pulang juga perlu kujemput?”
“Ani. Aku akan pulang sendiri. Gomawo oppa,” aku tersenyum melihatnya mengangguk kecil tanpa melepas helm-nya.
“Halke,”
“Ne, annyeong oppa!” Aku tidak menunggu deru motor Kris oppa menghilang dari pendengaranku, jadi aku langsung berbalik memandang pintu masuk galeri yang sudah sekitar 5 meter di depanku. Kulihat seorang namja melambaikan tangan dengan gayanya yang cool ke arahku.
Oh God, darahku berdesir.
Dan shit, hari ini dia tampan sekali.
Dengan senyum tipis aku berusaha untuk tidak berlari ke arahnya, menahan kakiku agar tetap melangkah gontai.
“Menunggu lama?” Tanyaku. Kai menggeleng, lalu menunjuk ke arah belakangku. Mau tak mau aku ikut menoleh.
“Dia yang ingin kuperkenalkan padamu,” ujarnnya begitu mataku menangkap sosok wanita ber-dress hijau tosca yang elegan. High heel, gaya rambut, tas, semua high class! Aku menoleh lagi mennatap Jongin$
“Calon istrimu?” Tanyaku lagi. Dia menggeleng pelan.
“Dia teman kerjaku,” aku mengangguk.
“Kalian nampak cocok, tidak coba menjalin hubungan dengannya?” Entah kenapa aku merasa, kalau Jongin sedang menatapku tajam?
“Annyeonghaseyo,” sapa gadis itu dengan logat Korea yang agak canggung ketika sudah berada di depanku dan Jongin. Ah, pantas saja aku tak begitu asing dengan wajah gadis ini. Dia gadis yang bersama Jongin di bandara.
“Janice, ini hoobae-ku. Park Nana,” aku membungkuk pada, err… Wanita ini lalu tersenyum kaku.
“Park Nana imnida,”
“Ah ya, aku sering mendengar namamu, kau gadis yang cantik ya,” Well, sepertinya aku mengerti. Janice ini keturunan Perancis, kan? Koreanya tak begitu baik menurutku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.
“Ah jinjayo? Gamsahamnida,” kataku lagi.
“Mumpung kalian gemar fotografi, jadi kuajak kesini. Yuk ah, pamerannya sudah dimulai,”
See?
Harusnya aku tak berharap banyak.
Pabo Park Nana.
__
“You’re wrong. Its two medals, you know. Not one,” Janice dengan semangat menggaet lengan Jongin. Aku memutar bola mata mendengar percakapan dua mahkluk Tuhan paling sempurnya yang berjalan berdua di depanku. Ya, ya, ya, meski aku tidak bego-bego amat dalam pelajaran Bahasa Inggris, jangan dikacangin dong!
Ya sudah deh, aku pacaran saja dengan pacarku selama 7 tahun ini, kamera. Aku jeprat-jepret (?) Saja isi ruangan ini, kalian berdua pergilah dan pacaranlah dengan baik dan benar ya?
“Oh, yap, Nana, are you hungry?” Aku mendongak ketika Janice tiba-tiba berbalik dan bicara padaku, tepat pada saat aku menekan tombol power pada DSLR-ku.
“Ne? Hungry? Oh no, I’m not,” jawaku kikuk. Kenapa Inggris hancurku ikut kebawa? Ck, muka Janice terlalu bule sih.
“Are you sure?”
“Na-ya, kkaja, kita makan,” Jongin menyentuh lenganku. Tapi aku hanya bisa nyengir.
“No, Janice. I’m not hungry at all,” jawabku asal. Pokoknya, aku memang tidak lapar, hehe.
“Jangan bohong, Park Nana. Ayo kita makan. Ini sudah jam enam sore,” paksa Jongin. Well, apa aku nampak seperti anak kecil yang susah makan di depan orangtuanya? Memalukan.
“Terserah kau deh,” aku menyerah.
__
SEHARUSNYA AKU TIDAK IKUT MEREKA, karena aku memasuki area restoran Perancis yang menunya aneh semua. Aku tidak buta dengan masakan Perancis, tapi, oh ayolah, ini Korea, bung! Kau pulang ke Korea untuk makan masakan Prancis? Pergi ke Paris saja sana! Tapi memang sih, perutku sudah mulai lapar tapi masakan Eropa yang kebanyakan terbuat dari susu, daging dan terigu tak akan cukup memuaskanku. Kenyang makan nasi dengan kenyang makan gandum berbeda di tubuhku.
“Aku pesan salad saja,” ujar Janice dengan bahasa Korea yang agak kaku-nya.
“Aku black pepper fettuccine,” sahut Jongin. Aku mengangkat alis. Dia masih maniak merica?
“Anda, nona?”
“Aku chocolate truffle ice cream porsi jumbo,” balasku enteng sambil menutup buku menu.
“Ice cream?” Kedua alis Janice berkerut.
“Aku suka ice cream,” sahutku tanpa dosa.
“Kau tidak makan?” Tanya Jongin. Aku hanya menggeleng tanpa melihat ke arahnya.
“Aku sedang ingin ice cream,” sahutku dengan cengiran. “Aku permisi ke toilet, ya,”
Author POV
Nana membungkuk dengan canggung sambil menyeret tasnya yang besar dan berisi berbagai benda berharga miliknya itu. Begitu ia memasuki bilik toilet perempuan, ia langsung menuju wastafel, membuka keran dan melepas ikat rambutnya.
“Haah.. dua orang itu membuatku panas. Ck,” Nana mengacak rambutnya lalu mengepangnya. Ia bilas wajahnya dengan air dingin, lalu mengeringkannya. Setidaknya resistor otaknya sudah tidak sepanas tadi. Dengan diam ia melangkah kembali keluar toilet agar tidak dicurigai Jongin dan Janice.
“Kai, you don’t believe me?” langkah Nana semakin pelan seiring ia mendekati meja yang tadi didudukinya. Dilihatnya kedua orang yang berdiskusi serius, tapi Nana yakin sekalai kalau itu bukan soal pekerjaan.
“Kai, pelase, let me prove it…” Nana benar-benar menghentikan langkahnya karena kejadian itu begitu cepat. Kejadian dimana Janice menarik tengkuk Kai dengan agresif dan mendaratkan bibir indahnya di atas bibir milik pria itu.
Chu~ <3
Nana menatap keduanya dengan nanar dan mulut menganga. Rasa perih seperti ditusuk ribuan tombak menyerang dadanya seketika. Kedua tangannya melemas, ia hampir tak bisa bernafas. Seharusnya dia tahu hal ini akan terjadi, cepat atau lambat.
Ya, seharusnya ia tahu…
Nana POV
Aku tak tahu apa yang kulakukan, tapi yang kutahu aku tengah melangkah cepat hampir berlari, menuju ke halaman restoran tanpa sepengetahuan mereka berdua yang mungkin masih asik melakukan aktivitas mereka. Memikirkannya hatiku sangat nyeri. Park Nana bodoh! Harusnya aku tahu akan seperti ini. Harusnya aku melepasnya, bukan berangan tentangnya. Ya, harusnya…
Berjalanlah diriku dengan airmata yang sudah tumpah-ruah. Aku tidak menangis, aku tidak ingin mengungkapkannya begitu. Aku ingin menganggap kelenjar air mataku bocor sehingga air mataku hanya mengalir dan terus mengalir keluar.
Aku menyetop taksi dan langsung masuk, tidak peduli uang jajanku bisa habis untuk biaya kendaraan ini. Yang terpenting tidak ada yang tahu kalau aku menangisi seorang namja. Namja yang jelas-jelas kutahu seperti bintang bagiku. Sangat jauh dan tak mungkin kuraih.
“Kita kemana, aggashi?”
“Ke Cheongdamyeon, dekat Myeong-dong. Blok D nomor 16,” ujarku sambil mengusap wajah cepat-cepat.
Setelah ini, aku ingin menangis sepanjang malam sampai tertidur.
__
Two days later…
Aku mengaduk sup misoku dengan tak bersemangat. Sejak sabtu sore aku belum makan, dan tidak ingin makan. Hish. Bukankah lebih baik move on? Sial, aku sama sekali tidak memikirkan hal itu 7 tahun yang lalu. Dan sekarang sudah terlambat. Susah melupakan pria itu sekejap mata.
“Hei, my lovely only chingu, kenapa melamun, hm?” aku menegakkan punggungku ketika merasa tangan Yeonsa merangkul bahuku.
“Ye?”
“Eh, Kim Jongin minta alamatmu, loh. Kalian ada hubungan apa, sih? Sampai-sampai Jongin senewen sejak hari Sabtu, sehabis kalian jalan-jalan,”
“Oh,” responku malas. Kim Yeonsa itu, bisakah dia tidak menjadi koran berjalan dan memberikan semua informasi yang diketahuinya padaku? “Memangnya untuk apa?”
“Mana kutahu. Katanya sejak kemarin Sabtu kau tidak bisa dihubungi, nonaktif kata Jongin. Ada apa sih?” tanya Yeonsa lagi. Kim Yeonsa, kau terlalu perhatian padaku.
“Kemarin ponselku kulepas baterai. Hari ini ada kuis, kan? Aku tidak ingin diganggu,” jawabku singkat. Bohong, dan mencari alasan. Ya, kemarin aku langsung pulang tanpa pamit kepada kedua mahkluk itu. Sebenarnya itu tidak boleh, karena akan merugikanku. Ck, aku mengekspresikan perasanku dengan jelas sekali.
“Ya, katanya dari hari Sabtu ponselmu tidak aktif. Aku mengirimimu pesan juga tak kau balas. Kau sedang menghindarinya, ya?” selidik Yeonsa. Aku berdecak lalu memaksakan dri menyeruput sup miso-ku yang mulai mendingin.
“Aku juga beli nomor baru. Ya, aku memang sedang menghindarinya. Kuharap kau mendukungku, Kim Yeonsa, aku dalam guncangan sekarang,” jawabku sadis sambil melirik Yeonsa. Dapat kulihat bahu Yeonsa turun.
”Yah, mana kutahu kau sedang kacau gara-gara sepupuku itu. Kuberikan alamatmu padanya,” jawab Yeonsa lesu. Aku mendelik.
“Kim Yeonsa, ini tidak lucu,” ucapku setengah merana. Ah, mungkin aku terlalu drama-queen.
“Sungguh, Na-ya, aku tak sengaja. Dia memintanya dengan raut wajah serius, karena itu kuberikan. Kupikir kalian sedang memiliki masalah,”
“Anak itu kenapa sih? Tidak henti-hentinya mengganggu hidupku,” desisku geram. Yeonsa hanya menatapku sambil tertegun. “Wae?”
“Sudah kubilang, Park Nana, laki-laki juga akan luluh bila ada yeoja yang selama 7 tahun terus menunggunya. Kenapa Cheondong bisa punya adik bolot sepertimu, sih?”
“Maksudmu?”
“ER! Kau benar-benar idiot dan bolot. IQ-mu berapa? Jongin jelas mulai tertarik padamu, pabo!”
Ketap, ketip.
Aku hanya berkedip beberapa kali sambil menatapnya. “Cih, dramatis sekali. Aku tak mengharapkan perasaannya kok,”
Author POV
Nana melangkah gontai menelusuri jalan setapak menuju apertemen mungilnya. 75% otaknya sudah lupa bahwa di pagi hari ia barusan terkena serangan khawatir mendadak karena mengetahui fakta Kim Jongin meminta alamat rumahnya. Bah! Untuk apa?
Kedua matanya menyipit ketika melihat sebuah mobil audi sport hitam nangkring di depan apertemennya dengan manis. Karena, seingatnya 2 orang tetangga apertemennya tidak ada yang punya mobil audi. Kecuali kalau mereka menang lotre, tentu saja.
“Hai, Nana-ssi,” jantung Nana melonjak ketika seseorang menyapanya ketika ia baru saja mmelewati pintu pagar.
“J-Jongin-ssi…” Nana tergagap. Ia lupa kalau Kai tahu dimana ia tinggal. Ditambah, pria itu langsung menemuinya. “Kenapa kau di sini? Kau masih memakai pakaian kantor,”
Tapi Jongin hanya tersenyum dan mengabaikan pertanyaan Nana. “Kutemukan juga kau. Tak membawaku masuk?” tanya pria itu dengan tatapan menghujam mata Nana.
“Ah, ye, silahkan,” Nana mendahului Jongin untuk menunjukkan kamar apertemennya sambil mencari kunci pintu. Jongin menatap punggung Nana sejenak, lalu memandang beerkeliling. Rumah besar ini sebenarnya agak tidak cocok di sebut apartemen, karena hanya berupa sebuah gedung besar dua tingkat dengan tiga kamar apertemen. Ditambah ssatu kamar untuk si empunya bangunan yang sudah berusia lanjut.
“Silahkan masuk,” ujar Nana datar sambil membuka pintu apertemennya. Jongin menanggalkan sepatunya sementara wangi lily of valley menyambut penciumannya.
“Maaf, apertemenku berantakan,” ujar Nana buru-buru, “Kau ingin minum apa? Kopi atau teh?”
“Tidak usah repot, Nana-ssi,” tapi Nana sudah keluar dengan dua botol jus di tangannya.
“Igae, Jongin-ssi,” Nana menyodorkan sebotol jus jeruk itu ke tangan Jongin. “Ada apa datang ke sini? Darimana kau tahu alamatku?”
“Ah,” Jongin membuka tutup botol itu lalu meneguk isinya. Sedari tadi Nana hanya melihati jakunnya yang bergerak naik turun. Astagaaa Park Nana kenapa bisaaaa diriku punya otak yadong seperti itu? ER! “Aku minta informasi dari Yeonsa,”
Ah iya. Aku lupa. Yeonsa sudah heboh memberitahuku tadi. “Lalu ada apa kau ke sini?” tanya Nana lagi, memaksakan ekspresi datar padanya. Tunggu, apakah ia nanti akan menyadari kalau aku sedang menghindarinya? Aaah molla molla. Batin Nana kacau.
“Tidak ada apa-apa sih. Hanya saja kemarin kau pergi tanpa pamit. Aku dan Janice khawatir kalau kau sakit atau apa. Aku mencoba menghubingimu sejak Sabtu tapi kau tidak aktif,” lapornya jujur dan terus terang. Gotcha! Ada embel-embel Janice di kalimatnya, mungkin di suruh Janice untuk menanyaiku, mungkin? Cih, mengesalkan.
“Aku dapat kabar sepupuku masuk rumah sakit kemarin. Jadi aku langsung kabur dan tidak sempat berpamitan,” karang nana dengan memasang tampang sok bersalah. “Ponselku low battery dan lupa kutaruh dimana. Aku menemukannya di tepi wastafel pagi ini,” kapan-kapan aku akan menulis novel kalau aku semakin pandai mengarang seperti ini. Batin Nana lagi, konyol.
“Ah, begitu. Kemarin Janice ingin berbicara banyak padamu,” Janice, Janice, Janice, Janice, JANICE! Lebih baik kau tak usah temui aku untuk curhat tentang kekasihmu itu, Kim Jongin!
“Ah, geuraeyo? Sekarang dia ada dimana?”
“Sekarang dia sedang rapat di kantornya. Aku juga sebentar lagi ada rapat,” ujar Jongin pelan sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Kalau begitu kau harus bergegas. Kau tidak boleh terlambat kan,” sahut Nana sambil mengangkat bahu. Jongin hanya mengangguk dan bangkit lalu memakai sepatunya di depan pintu, bersiap meninggalkan apertemen Nana.
“Ne, lain kali aku akan berkunjung lagi. Gomawo jus-nya, Nana-ssi,” Nana hanya tersenyum tipis sambil melihat punggung Jongin yang mulai menghilang menuruni tangga. Dan ketika Nana sudah menutup pintu dan menguncinya,
“YAK! TIDAK USAH DATANG LAGI! ARGGHHH!”
Kim Jongin, kau hanya membuatku semakin sakit hati.
__
Nana melangkah sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal, ia meniti tangga kampusnya dengan penuh emosi. Untung situasi saat itu sedikit sepi, sehingga teman-teman sefakultasnya tak akan mengira kalau ia kerasukan setan marah atau sedang PMS. Ia menenteng beberapa buku cetak super-tebal untuk salah satu mata kuliahnya pagi itu, dan ia membawanya dengan sangat emosional.
Bip bip
Ponselnya bergetar. Dengan decakan malas itu menyambarnya dari kantung celananya dan membuka pesan itu.
From : Jongin-KAI
Jadi? Bagaimana? Kenapa kau balasnya lama sekali? Janice ingin sekali makan siang denganmu.
Nana benar-benar akan melempar ponselnya ke papan tulis yang jaraknya cukup jauh di depannya. Tapi baru saja ia mengambil ancang-ancang untuk mengubah ponselnya menjadi pecahan puzzle dan memperkirakan kapan ia akan membeli ponsel baru, sebuah undangan terulur kepadanya. Otomatis ia menunda dulu aktivitasnya yang berisiko besar itu dan memperhatikan undangan maupun pemberinya.
“Apa ini Yeonsa-ya?” tanyanya bingung. Yeonsa hanya nyengir.
“Undangan ke pesta ulangtahun-ku. Datang please…” Nana mengangkat sebelah alisnya heran.
“Pesta? Sejak kapan kau membuat pesta, Kim Yeonsa?” kan kini Yeonsa yang bengong. Nana memiringkan kepalanya sedikit lalu menepuk jidatnya sendiri dan terkekeh kecil. “Oh ya, maaf, Yeonsa-ya, kau selalu membuat pesta tapi aku jarang datang,”
“Pokoknya kali ini kau harus datang, Park Nana. Atau persahabatan kita putus,” desis Yeonsa seram. Nana bergidik. “Oh ya, tadi apa yang akan kau lakukan dengan ponsel Samsung butut-mu itu?” tiba-tiba ekspresi Yeonsa berubah dan itu membuat Nana bingung.
“Aku ingin menghancurkannya,”
“Lalu kenapa tidak sekarang kau lempar?”
“Mood-ku sudah hilang,” ujar Nana kalem lalu mengetikkan pesan balasan kepada Jongin.
To : Jongin-KAI
Baiklah.
__
Nana mengaduk-aduk Zoupa Soup-nya sambil bertopang dagu dengan tatapan kosong. Sementara Jongin dan Janice yang memaksanya makan siang bersama hanya berbincang seru dan mengacuhkan Nana yang akan menulis di jidatnya sendiri “AKU BUKAN OBAT NYAMUK” bila ia tidak ingat kalau sekarang berada di sebuah restoran mewah. Tadinya ia ingin memesan bibimbap namun sayangnya menu itu tidak ada, akhirnya ia memesan sup krim dengan puff diatasnya yang bisa ia makan untuk mengganjal perut.
“Geuraeyo, Nana-ssi?” tanya Janice tiba-tiba. Nana tersentak dari tatapan kosongnya lalu mendongak.
“Ne?”
“Astaga, aku tidak mengajakmu makan untuk bengong seperti itu,” ungkap Janice sedikit bergurau. Jongin yang duduk di samping Janice hanya cengangas-cengenges, dan jujur membuat Nana sedikit ingin muntah.
“Ah, geurae,” Nana hanya menjawabnya dengan desahan pasrah yang dijawab dengan tatapan bingung dari Janice.
“Kau kenapa? Kau nampak sakit?”
“A-ani. Aku hanya kurang tidur. Semalam nonton drama sampai jam empat pagi,” jawab Nana ngasal dan gugup. Jongin menyipitkan matanya.
“Sejak kapan kau suka drama?”
“Sejak Suneo menembak Sizuka, dan Nobita menjadi sahabat karib Giant,” dan setelah itu makan siang menjadi sangat mengesalkan bagi Nana, meski ia berhasil membuat Jongin dan Janice tertawa dengan berapa lelucon garingnya yang kelewat garing.
__
Yeonsa’s Birthday
Nana menghempaskan tubuhnya lemas di atas kasur, malas mengetahui kalau hari ini ia harus berpesta. Ingat, PESTA. Bold, Underline, dan Italic kata itu. Kenapa Nana tidak suka pesta? Bah, Nana tidak suka keadaan dimana kerumunan orang dengan gaun kerlap-kerlip saling berbincang dengan ributnya, menyapa teman, menatap rekan-rekannya dengan pandangan berapi-api seakan tahu gosip headline paling top. Gendang telinganya paling anti dengan suara yang tumpang tindih dan tidah jelas arahnya seperti itu. Tiba-tiba sudut matanya menangkap box yang ia geletakkan di atas kursi meja riasnya, setelah ia dapatkan beberapa hari lalu. Kotak itu sama sekali belum ia sentuh, padahal Yeonsa sudah meneriakinya agar segera membuka kotak itu.
Dengan langkah terseret ia mendekati kotak itu, melepas note kecil yang tertempel di sisi atas kotak. Ia membaca cepat tulisan tangan Yeonsa yang agak miring-miring itu.
Aku tahu kau pasti bingung memilih gaun pesta. Aku sudah belikan, dan ini sangat cocok untukmu. Aku tahu kau punya banyak di lemarimu, tapi itu semua sudah kebesaran sayang, kau kan turun 6 kilo sejak setahun kemarin! Bagaimana aku bisa tahu? Haha, jangan ragukan kepala UKS Kim Yeonsa!
Dipakai ya, aku juga sudah siapkan sepatu dan beberapa aksesori di dalamnya. Aku tahu kau pintar menggunakan make up, jadi dandanlah secantik mungkin untuk sahabatmu ini. Aku akan berikat kejutan untukmu, oke?
Kim Yeonsa
Nana memiringkan bibirnya lalu membuka tutup kotak itu. ia tertegun mendapati sebuah gaun dengan mini dress yang atasannya kemben berwarna baby pink, sebuah silver belt yang masih terbungkus rapi di sisinya, dan stiletto berwarna silver juga. “Beuh, aku harus mengurai rambutku,” ia melirik jam dindingnya kemudian menatap gaun itu lagi, “Dan aku masih punya waktu untuk mandi dan keramas,”
Sekitar satu jam kemudian, Nana sudah siap dengan gaunnya dan sedang sibuk merias wajah dan rambutnya. Ia memakai warna yang agak gelap untuk matanya, membuat rambutnya yang sangat lurus itu menjadi sedikit wavy, dan menjepitnya dengan jepitan perak. Ia memasang kalung stakel emas putih yang sudah lama ia punya, meraih dompet pestanya yang sengaja ia pilih berwarna pink pucat. Kini ia sibuk memandang pantulan dirinya di cermin.
“Kim Yeonsa, ini penghargaanku paling berharga untukmu, oke? Hwaiting!”
__
Seorang Park Nana bukannya tidak bisa berjalan dengan sepatu hak tinggi terutama stiletto, tapi, oh, ayolah bung, kau juga akan merasakan efeknya hanya dengan berdiri selama setengah jam! Sedari tadi gadis cantik itu hanya mendesah ringan sambil mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai. Entah berapa kali pula gadis itu terpaksa melepas sepatunya bergiliran kanan dan kiri—kalau tidak mau kram dan tidak bisa pulang ke apartemennya. Selama setengah jam ini ia sama sekali belum bertemu dengan yang empunya pesta, karena ball room hotel yang disulap menjadi bar mewah itu dipenuhi banyak orang. Nana sulit bergerak kesana-kemari.
“Kim Yeonsa, kau dimana? Aku seperti orang cengo di sini,” gumam Nana putus asa. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya pelan, membuat Nana berputar membalikkan tubuhnya.
“Kau Nana-ssi! Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini!” Nana memaksakan seulas senyum untuk wanita yang super duper sempurna ini—Janice lalu membungkuk sopan.
“Ah, ye, aku teman baik Yeonsa,”
“Jinjaro? Pantas saja kau berdandan spesial untuknya. Wah, kau nampak berbeda,”
“Anda juga nampak mengagumkan, Janice-ssi,”
“Kau mencari Yeonsa, ya? Tadi dia berbincang dengan Sehun, Baekhyun dan Kai. Kau mau ikut aku?” tawar janice masih dengan senyum manisnya. Nana menggerakkan tangannya sambil menggeleng.
“Ah, aniyo, akan kutemui dia nanti,”
“Eii… aku tahu kau ingin segera memberikan hadiah itu untuk Yeonsa. Lagipula, tidak enak kalau Yeonsa sendirian dengan tiga laki-laki nakal itu…” entah darimana Janice sudah menggandeng Nana dan menyeretnya ke tepian, dimana sebuah bar yang sangaaat panjang terletak dengan orang-orang yang memesan beragam minuman.
“Laki-laki nakal?”
“Well, the truth is Yeonsa has a same habit like them. Soccer,” jawab Janice kemudian. Nana hanya mengangkat alisnya tanda mengerti lalu mengangguk kalem. “Yeonsa! She’d arrive!”
“Annyeong,” Nana menggoyangkan tangannya lagi, menyapa Yeonsa yang menoleh dan menatapnya tanpa berkedip.
“Nana-ya?”
“Eung? Igae, kado untukmu. Tidak seberapa sih, tapi…”
Grep!
“WUAH! Akhirnya kau datang juga. Kalau kau tidak datang besok aku akan mencincangmu di depan Professor Kim. Eh, apa ini?” Yeonsa menghentikan celotehannya dan melepas genggaman tangannya di tangan Nana ketika Nana menyodorkan sebuah bingkisan ke arahnya.
“Kado untukmu. Aku sengaja pilihkan yang high class, kau tahu, dan itu cukup menguras dompetku yang pas-pasan,” cerita Nana. Yeonsa tersenyum senang dan menerima hadiah itu.
“Gomawo Na-ya, hei, kau mau minum?”
“Memangnya di sini ada minuman yang bisa kuminum?” tanya Nana polos. “Aku anti alkohol, oke?”
Yeonsa memutar bola matanya kesal. “Aku siapkan cocktail sampai ice cream untukmu. Bahkan, aku spesial memesankan kimbap untukmu,” jawab Yeonsa bangga. Nana menganga.
“Tapi aku tidak melihat ada kimbap sedari tadi, oh, aku sudah lapar tahu! Yang kumakan hanya puding buah!” kata-kata Nana membuat Yeonsa nyengir.
“Sengaja, karena aku hanya menyediakannya di bar yang di sini,” Yeonsa memutar kepalanya untuk memesan sepiring kimbap yang siap dimakan (?). “Oh, ya kukenalkan kau kepada… hei! Kalian, sini! Ada cewek cantik saja, langsung mengkeret,”
Nana mengangkat alis tinggi-tinggi ketika melihat tiga pria yang salah satunya ia kenali sebagai Kai—oh, Kai nampak tampan sekali!—dan Janice yang menggandeng tangan Kai. Kenyataan itu membuat Nana sedikit mendengus.
“Nah, kalian, cowok single, ini tukang tidur di kelasku. Park Nana—akh!” Yeonsa meringis ketika Nana menjitak kepalanya.
“Ya, kenapa reputasiku jelek sekali?” gerutunya. Yeonsa hanya nyengir.
“Dan Na-ya, ini Oh Sehun,” Nana membungkuk sopan kepada pria rambut blonde yang ditunjuk Yeonsa, “Dan ini Byun Baekhyun. Mereka temannya Kai, dan temanku juga,”
“Annyeonghaseyo, Park Nana imnida,” sapa Nana agak canggung dengan seulas senyum.
“Oh Sehun imnida, bangapseumnida,”
“Byun Baekhyun imnida, hei, apa kau sudah punya teman kencan?—yak! Kim Yeonsa kenapa memukulku?” Baekhyun melotot pada Yeonsa yang memukul bahu Baekhyun dengan tidak berkeprimanusiaan.
“Hei, pikirkan No Minri-mu eh, dia hanya berlaku untuk Sehun dan Kai! Er!” jawab Yeonsa diselingi tawa kecil.
“Ya, Kim Yeonsa, memangnya aku barang jualan?” komentar Nana tidak terima. Yeonsa menatap Nana dengan tatapan tidak berdosanya, dan tiba-tiba seseorang menepuk bahu Yeonsa.
“Ye?”
“Saengil chukkae,” gumam seorang pria. Yeonsa tersenyum lalu menerima hadiah yang disodorkan pria itu.
“Xie xie gege,” jawab Yeonsa dengan senyuman. Tatapan pria itu beralih pada Nana yang kini sedang membulatkan matanya.
“Kris oppa?”
“Hei, Na-ya, kau di sini juga? Cheondeong mana?” Nana tersenyum, ketika semua mata memandang mereka berdua.
“Ne, ah, bukankah oppa sedang ada di Italia? Masa kau lupa oppa?” tanya Nana. Kris berpikir sejenak, lalu tertawa.
“Haha, ne, aku lupa. Kupikir ia sudah pulang tapa memberitahuku,”
“Tidak akan, dia akan segera memberitahumu untuk ke warnet dan bermain DotA,”
“Jadi, Na-ya, kau kenal Yi Fan gege?” tanya Yeonsa bingung. Nana mengangguk kecil.
“Kris oppa teman seangkatan oppaku waktu kuliah, hehe,”
__
Nana benar-benar tak habis pikir, apa yang membuat ia rela dibawa Kris ke suatu tempat—ia tak tahu dimana, sepertinya sih di luar ball room—dan ia mengabaikan ajakan Yeonsa untuk menemaninya ke toilet, ditambah tatapan tajam Jongin yang sempat ia ketahui dari lirikan pria itu. Setidaknya ia membela diri sendiri, kalau ia mencari ketenangan di pesta yang riuh itu. dan, Kris merupakan pria yang ia percayai karena sudah lama ia mengenalnya.
“Kau kenapa oppa? Bukankah kau juga suka pesta seperti ini?” Nana bertanya mencoba memecah keheningan, karena sedari tadi Kris hanya mengenggam tangannya. Pria itu mengalah, la melepas tangannya dan membiarkan Nana berjalan beriringan dengannya.
“Kau juga. Tumben ikut pesta seperti ini,” Kris berdeham ketika menyadari suaranya bergetar, “Penampilanmu juga berubah,”
“Yeonsa yang memintaku. Kalau dia cuek-bebek sih aku sendiri ogah datang ke pestanya,” Nana terkekeh kecil ketika melihat Kris yang sedari tadi menggaruk tengkuknya. “Kau kenapa? Tingkah lakumu aneh sekali,”
“Csh, untuk Yeonsa, ya?” Kris bergumam tidak jelas, membuat Nana terpaksa mengerutkan keningnya. “Kapan kau berdandan untukku?”
“Eung?”
“Kapan, kau hanya memerhatikanku?” langkah Kris terhenti, kini matanya menatap mata Nana dalam.
“Mwohae?”
“Kapan, kau hanya memerhatikanku, memikirkanku?” tanya Kris lagi dengan suara lebih keras. Mulut Nana menganga, sekarang gadis itu hanya berharap ada lalat masuk dan menyadarkannya dari lamunannya.
“Apa maksudmu, oppa?”
“Nan naega joahae,” Kris menghembuskan napasnya dengan sangat berat, lalu menatap Nana dan menggenggam tangannya. “Nae yeojachingu-ga, dwae-o jullae?”
Nana mematung. Bibirnya terkunci, otaknya mulai tidak sinkron. “Yeoja… chingu?” gumamnya ragu, namun masih menatap mata Kris.
“Kau tidak percaya?” Kris mencebik, ia kelihatan sangat tidak sabar. Nana membelalakkan matanya ketika bibir Kris menyentuh bibirnya, bersamaan dengan cengkeraman tangan Kris yang begitu kencang di lengan atasnya.
“MPH…!” kedua tangan Nana memberontak, lengan yang tidak dicengkeram Kris meninju dada laki-laki itu. nana sangat terkejut, bagaimana tidak? First kiss-nya! Dan pria itu adalah pria yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri. How come…? “Oppah!” Nana menjerit ketika ia berhasil melepaskan bibirnya darri Kris.
“Wae?” tatapan kris terasa begitu menghujam mata Nana. “Kau tidak bisa menerimaku?” tapi gadis itu hanya menunduk, tak berani menatap mata Kris.
“Kau oppaku, Kris. Aku tidak bisa menganggapmu lebih dari itu. Mian,” ujar Nana tegas. “Dan… bila oppa benar-benar menyukaiku, kau tidak akan melakukan hal tiba-tiba seperti itu tadi,”
Cengkeraman tangan Kris lepas dari lengan Nana. Pria itu mundur beberapa langkah, lalu menatap Nana dengan pandangan kecewa. “Kupikir…”
“Oppa, mianhae…” Nana hanya mematung menatap Kris yang menghembuskan napas beberapa kali.
“Ne, gwaenchanna. Oppa mengerti,” Kris memandang Nana setengah hati, membuat gadis itu sedikit khawatir. “Mianhae, tadi kau terlalu terkejut,”
“Gwaenchana. Itu juga bukan first kiss-ku. Aku tidak menciummu kok, hehe,” Nana memaksakan tawa garingnya, yang disambut senyum miring dari Kris.
“Jongmal mianhae, Na-ya,”
“Gwaenchanna, oppa. Kau hanya terlalu bernafsu tadi, haha,”
__
Kim Jongin—sekarang pria itu dirundung frustasi. Bergelas-gelas martini sudah ia teguk, membuat kedua kawannya, Sehun dan Baekhyun hanya bisa menatap cowok itu prihatin ditambah bingung. Bahkan Yeonsa—sepupunya yang terkenal galak dan killer saja ia hiraukan. Kini cewek itu sudah entah dimana, terlalu kesal dengan ulah Jongin yang tiba-tiba. Tiba-tiba mengesalkan, tiba-tiba manis, tiba-tiba penurut, tiba-tiba liar pula.
“Mana Janice? Bukannya cewek itu yang disuruh menjaga Jongin?” Sehun meneguk bir-nya yang kedua sambil menatap Baekhyun yang hanya memainkan embun di luar kaca gelas birnya.
“Dia ngeluyur bersama Yeonsa tadi. Ck, cewek memang selalu mengesalkan,”
“Aigoo.. lihatlah anak tengil ini. Berapa gelas yang ia teguk? Rekor man, rekor!” sahut Sehun sambil memerhatikan Jongin yang sudah tepar. “Jangan beri dia minum lagi, tolong buatkan dia jeruk nipis hangat,” pinta cowok itu kepada salah satu bartender.
“Sejak kapan anak ini suka minum? Kenapa ia ingin minum? Mungkin karena yeoja,”
Beberapa jam kemudian ballroom mulai sepi, dan cowok bernama Kim Jongin itu juga sudah sedikit bisa mengontrol dirinya sendiri. Sehun sudah tidak tahan mendekam di depan meja bar, sementara Baekhyun yang ingin berdiam diri ikut menemani Jongin yang hanya melamun.
“Kau mau pulang?” Jongin masih menopang kepalanya ketika ia bertanya pada Baekhyun. Sementara yang diajak bicara hanya mengangkat bahunya acuh.
“Terserah. Kau mau pulang, ayok. Kau mau di sini, juga oke,” jawab Baekhyun simple. Jongin hanya tersenyum miring, lalu meronggoh kunci mobilnya di sakunya.
“Baiklah. Kau pulang bersama Sehun dan Yeonsa. Aku masih ada urusan,” kata-kata yang Jongin lontarkan membuat Baekhyun melongo.
“Apa? Kau masih mabuk, kawan! Kalau kau ditilang sama saja kau mencari masalah dengan Yeonsa dihari ulang tahunnya!” seru Baekhyun. Tapi Jongin menghiraukan, ia hanya melambaikan kunci mobil itu tanpa menoleh dan terus melangkah keluar ballroom. Baekhyun meringis, lalu berdecak kesal memandang punggung Jongin yang sudah entah kemana.
“Anak itu. Kalau terjadi sesuatu padanya, cih, dasar labil,” gumam cowok imut itu sambil meminum es tehnya.
__
Nana melangkah lemas memasuki apartemennya, segera melangkah menuju kamar dan mengambil pembersih make up. Ia melakukan semua itu di ruang tamu, karena ia belum melepas sepatu. Gadis itu menghembuskan napas berat, pikiran dan tubuhnya masih terlalu lelah untuk melakukan ini-itu. Berada di pesta memang sesuai dengan perkiraannya selama ini. Lelah, baik pikiran maupun fisik. Lihat saja, tumit Nana sudah memerah bahkan sebelum ia melepas sepatunya. Kini, dengan sedikit malas ia mencopot sepatunya agak kasar dan melemparnya ringan ke dekat rak sepatu.
Gadis itu benar-benar akan tidur di ruang tamu kalau sebuah suara tidak mengagetkannya.
Cklek…
Kriett….
Nana memijit keningnya, untuk berpikir siapa yang tidak sopan membuka pintu apartemennya larut malam seperti ini. Tapi begitu ia berdiri untuk melontarkan omelan-omelan, kata-katanya serasa terhenti di tenggorokan. “Jongin-ssi…”
Nana benar-benar tercengang, apalagi ketika dilihatnya pria berjas yang sudah tak beraturan itu langsung ambruk di sofanya. Gadis itu mendekati Jongin, meraih bahunya dan berusaha membalik tubuh pria itu. Tapi yang ada malah pria bernama Kim Jongin itu menarik tubuh Nana ke dalam pelukannya.
GREP!
“Ah!—“ Untung saja, untung saja, Nana terus bersyukur dalam hati ketika ia berhasil menahan dirinya untuk tidak menempel seutuhnya ke tubuh Jongin. Tinju kirinya ia kepalkan di dada Jongin, membuat jarak kecil diantara mereka.
“Hm, baumu masih sama seperti bau suratmu dulu,” gumam Jongin tepat di depan wajah Nana. Tapi gadis itu malah merenyit, bau alkohol yang kuat menguar dari mulut pria itu.
“Hei, Kim Jongin-ssi, kau mabuk, ya?” baru saja Nana ingin melepas tangan Jongin yang mencengkeram lengan tasnya, “Ah!—“ gadis itu malah jatuh terjembab ke pelukan Jongin—benar-benar ke pelukan pria itu. “YA~!”
“Apa yang kaulakukan dengan Yi Fan tadi?” tanya Jongin datar. Matanya yang sayu perlahan menatap mata Nana tajam. Tapi air liur sangat sulit ditelan saat itu bagi Nana. “Kalian sangat dekat, apa kalian pacaran?”
“Ke-kenapa?”
“Kau jawab saja,” Nana merenyit mendengar pernyataan ketus dari mulut Jongin. Ia berusaha untuk bangkit, tapi kedua tangan Jongin sudah melingkar dengan manis di pinggangnya. “Bisakah kau menatap mataku? Hm? Tatap mataku, dan jawab pertanyaanku!”
Matilah kau, Park Nana.
“Apakah itu adalah sesuatu yang harus kau ketahui, Jongin-ssi?” tanya Nana, datar dan pelan. Ya, dia sedang berusaha menahan getaran dalam suaranya. Jongin hanya menatapnya dengan tajam, tapi sedetik kemudian ia mencengkeram pinggang Nana dan membalikkan tubuh gadis itu hingga kepalanya bersandar di tangan sofa, dengan Jongin yang mengurung tubuhnya. Segera setelah itu, Jongin memejamkan matanya dan menautkan bibirnya dengan bibir Nana, memmbuat gadis itu terkejut dan mencengkeram lengan Jongin. Bagaimana tidak, posisi mereka sangat strategis sekarang.
“Tentu saja aku harus tahu, sayang,” Jongin berkata pelan-pelan dengan suara rendahnya. Ia menatap bibir pink itu sekilas saat berkata, lalu menciumnya lagi, temponya pelan dan tenang. Membuat Nana yang otaknya terus-menerus memerintahnya untuk mengakhiri ciuman itu, malah mematung dan mulai terbuai.
Tiba-tiba mata gadis itu menjadi siaga, ia meninju dada Jongin lagi, membuat tautan bibir mereka terlepas. “Kenapa? Oh, Kim Jongin, janganlah membuatku berharap. Sudah cukup 7 tahun aku menderita dengan perasaanku padamu. Jangan buat aku seperti diberi kesempatan. Aku tahu, Kim Jongin, aku bukan pilihanmu—ergh,”
“Kau banyak bicara, sayang. Lagipula, siapa sih yang membuatmu berharap? Kalau aku benar-benar mengharapkanmu, bagaimana?” mata Nana terpejam, antara mendengar dan tidak mendengar ucapan Jongin. Tubuhnya terlalu terbuai dengan Jongin yang terus-terusan mengusapkan hidungnya dari tulang selangka gadis itu yang terbuka ke dagunya, naik-turun menelusuri leher mulus putih nan jenjang itu.
“Jongin-ssi, kau bercanda,” ucapan Nana bergetar, “Kau sedang dalam keadaan mabuk,” gadis itu sama sekali tidak bisa konsentrasi. Perlakuan Jongin membuatnya gemetar, entah harus melakukan apa.
Jongin mendengus dan memasang smirk-nya ditengah kegiatannya, “Aku boleh saja mabuk, tapi tidak dengan pikiranku,”
“Kau dengan Janice sudah cocok, Jongin-ssi,” ungkap Nana lalu merengkuh leher Jongin, membuat sentuhan itu terlepas. Jongin menatap mata Nana lalu melepas kedua tangan Nana dan menggenggamnya.
“Jadi kau cemburu, sayang?”
Blush
Nana mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan memalingkan wajahnya ketika ia merasakan pipinya memanas. Tidak hanya pipinya, tapi matanya juga ikut memanas. Sebutir air mata jatuh di pipi kiri gadis itu, membuat Jongin mengusapkan ibu jarinya untuk menghapus air mata itu. “Jadi, karena itu kau membalas pesanku dengan ketus? Kau ingat, saat kita makan siang bertiga, ekspresimu sangat menjengkelkan. Kau juga jarang berkeliaran di sekitarku akhir-akhir ini. Jadi karena Janice, ya?”
“Tentu saja, bodoh! Aku tahu bagaimana rasanya kalaau punya pacar yang didekati cewek gatel—mph…” Nana memejamkan matanya ketika tangan Jongin menangkup lehernya dan kembali memulai lagi pertautan bibir mereka. Jongin mencium bibir Nana dengan pelan, dan penuh emosi, lama-kelamaan ia mulai merasa Nana meresponnya dan tersenyum penuh kemenangan.
“Kau tahu, Janice memang terobsesi padaku. Tapi aku tidak mencintainya,” ujar Kai sambil tersenyum lembut pada Nana yang membeku, dengan setetes-dua tetes air mata di pipinya. “Kenapa kau menangis, sih?”
“Karena kau menjadikanku pelampiasan,” gumam Nana, terdengar frustasi. Jongin menatap Nana dengan alis bertaut, lagi-lagi ia menyambar bibir Nana dan menciumnya liar. Nana meringis ketika bibir Jongin membabat habis bibirnya, membuat sudut bibir gadis itu tergores dan berdarah. Jongin menghentikan ciuman kasarnya, lalu mengusap darah di sudut bibir Nana.
“Itu baru namanya pelampiasan,” jelas Jongin datar. Ia mengelus pipi Nana lembut, lalu bergerak dari posisinya dan mendudukkan dirinya di sofa, tepat di samping Nana. “Kau membuatku serba bingung, Na-ya. Kau menyerahkan hatimu tanpa mau mengambilnya kembali. Tapi ketika aku memberikan hatiku, kau menolaknya dan menghilang pelan-pelan. Maumu apa, Na-ya?”
Nana mengubah posisi duduknya, lalu menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga, menunduk ketika Jongin menatapnya seakan menuntut. “Karena aku tahu aku tak pantas untukmu, Jongin-ssi,”
“Berhentilah memanggilku dengan embel-embel –ssi!” Jongin menyahut frustasi. “Kalau aku ingin memilikimu, bagaimana?”
“Nde?”
“Kalau aku ingin memilikimu, setiap hari menghirup bau tubuhmu, mendengar suaramu, memelukmu setiap tidur, bagaimana?” tanya Jongin dengan nada yang sama dengan sebelumnya, selalu menuntut. Tapi gadis di sampingnya tetap mematung. “Kalau kau tidak ingin memilikiku, biarlah aku yang memilikimu,”
Bola mata Nana bergerak menatap mata Jongin, dengan ragu ia menyentuh tangan pria itu, dan dengan perlahan ia mencium bibir Jongin. “Itu tidak adil, tuan. Kalau aku menjadi milikmu, bolehkah, dengan berani aku menjadikanmu milikku?”
Senyum Jongin mengembang. Ia meraih pinggang Nana dan mencium bibirnya sekilas. “Tentu saja, sayang. Aku mencintaimu. Sejak tujuh tahun lalu. Sejak kau menstalk kegiatanku di universitasku. Sejak kau menstalk jejaring sosialku,”
Nana berusaha melepaskan tubuhnya dari Jongin, tapi tak bisa. “Bagaimana kau tahu?” Jongin hanya terkekeh. “Baiklah, kalau kau tidak mau menjawab. Tapi untung saja tadi aku tidak menerima Kris oppa,”
“APA?” Jongin melotot menatap Nana yang kini nyengir.
“Ya, tadi Kris oppa menembakku. Pakai menciumku segala. Untung saja kutolak ya, jadi aku bisa menerimamu,” Nana memeletkan lidahnya, lalu tertawa.
“Tapi untung saja, aku sudah menciummu berkali-kali, jadi bekas pria itu sudah hilang,” balas Jongin tak mau kalah. Nana mencubit pinggang pria itu kesal.
“Aku mencintaimu,” bisik Nana pelan di telinga Jongin. Jongin terkekeh lalu mencium gadisnya.
“Aku tahu. Aku juga mencintaimu,” Nana tersenyum miring lalu menyenderkan kepalanya di bahu Jongin.
“Hey, ngomong-ngomong, kenapa kau mencintaiku?”
“Apakah aku harus punya alasan? Kalau kau, kenapa kau mencintaiku?”
“Hm, aku juga tidak tahu. Yang jelas aku mencintaimu,” sahut Nana tegas. Dan hening lagi.
“Sayang, apertemenmu hanya punya satu kamar, ya?”
“Memangnya kenapa?”
“Aku menginap di sini ya,”
“HAH?! Kau mau tidur di sofa?”
“Tidak~” Jongin mencubit hidung nana gemas. “Tapi aku akan tidur sambil memelukmu,”
“Kenapa kau jadi genit sekali, sih? Ash, tidak, tidak! Apa kata Yeonsa kalau kau belum pulang, hah?! Menginap di rumah perempuan lagi?!”
“Tinggal bilang saja kalau aku menginap di rumahmu, dan kita sudah bertunangan,” kata-kata Jongin membuat Nana melotot.
“Apa?!”
“Lihat tuh, jarimu. Masa kau tidak sadar sih?” Nana buru-buru mengangkat tangan kanannya. Benar saja, sebuah cincin dengan setitik berlian melingkar di jari manisnya. “Ayo kita tidur~”
“Ya~ KIM JONGIN!!”
“Kenapa? Ah, berarti tugasku tinggal menikahimu, ya,”
“YA~~~”
END
