Title: Family Portrait [1/2]
Author: Hangukffindo
Cast: Sehun and Luhan EXO
Rating: PG
Genre: Angst, Family, Romance, Sad, Slight!ofHappiness
Summary: Sehun got the world in his palm with Luhan beside him.
Disclaimer: This fic is mine! Do Not Copy or Plagiat, but if you inspired by my fic, I will let you Blame LiveJournal and for all those EXO f-bomb pairing make me sick! But this is HunHan, I love them sooooo much
Happy Reading
***
I think togetherness is a very important ingredient to family life.
-Barbara Bush-
***
Sehun selalu suka aroma kamarnya. Aroma lilin terapi yang Luhan pasang menguar ke seluruh ruangan kamarnya. Menempel di bantal miliknya, bantal Luhan, selimut biru gelap mereka. Di semuanya. Dan Sehun menyukainya, bahkan sampai tahap candu.
Lalu terdengar suara percikan air di dapur. Piring yang beradu satu sama lain, juga aroma masakan. Sehun menebak-nebak apa yang Luhan masak untuk sarapan mereka. Apakah roti bakar? Nasi dan sup rumput laut? Mereka adalah favorit Sehun.
Sehun keluar dari kamar, menguap besar dengan rambut yang berantakan. Satu sapaan menyambut paginya. Luhan dan senyuman hangat, beserta celemek kuning yang merupakan hadiah ulang tahun dari Sehun.
Tapi hari ini Luhan hanya melihatnya sekilas karena sibuk memasak. Luhan tengah memotong wortel ketika lengan Sehun menyelinap dipinggang kecilnya, dagu beristirahat di pundak.
“Selamat pagi, sayang.” ujar Luhan.
“Selamat pagi. Apa yang kau masak, hmm?” Gumam Sehun.
“Sup rumput laut.” Luhan menoleh padanya sambil tersenyum. “Kesukaanmu.”
Sehun tertawa senang. Itu memang kesukaan Sehun sejak mereka pertama bertemu. Luhan menyuapi Sehun karena tangan kanan Sehun patah dan bersikeras meyakinkan Luhan bahwa dia tidak bisa makan menggunakan tangan kirinya walaupun dia kidal. Itu kenangan yang menurut Sehun lucu, melihat Luhan yang bersedia lakukan apa pun untuknya.
“Kau juga kesukaanku.” Sehun berkata. Nafasnya gelitik tengkuk Luhan yang sensitif. Seperti biasa Luhan akan mengusirnya dari sana karena dianggap sebagai gangguan. “Sana pergi ke meja makan. Aku sudah menyiapkan kopi untukmu.”
Sejujurnya, kopi bukan favori Sehun. Mereka pahit, mereka berwarna hitam. Namun Luhan bisa menyulapnya menjadi minuman paling manis di dunia dan, ya, Sehun pada akhirnya menyukai kopi. Harinya selalu diawali dengan secangkir kopi hangat. Tanpa kopi, Sehun seperti kehilangan sesuatu.
“Baiklah, cheff Luhan.” Sehun pun berjalan ke arah meja, meninggalkan Luhan berkutat dengan bahan-bahan makanan.
Apartemen mereka sangat kecil. Dua kamar, satu ruang teve yang sekaligus merupakan ruang tamu dimana satu sofa panjang melintang di tengahnya, satu teve, satu meja tamu, satu meja makan dan ada sebuah keganjalan disana, yang Sehun benci melihatnya.
Satu meja makan kecil mereka punya taplak bunga-bunga yang cantik. Seharusnya dua kursi cukup untuk mereka berdua, namun disana ada tiga. Juga ada tiga piring, tiga gelas, tiga sumpit, tiga sendok. Dua piring kaca, satu piring bergambar cinderella. Dua gelas kaca, satu gelas bentuk putri duyung.
Sehun membencinya.
“Supnya sudah matang. Ayo makan.” Luhan datang membawa sup panas di tangannya. Wajah berseri-seri dan menyuruh Sehun duduk.
“Hah, pasti Minji sangat lapar.” Luhan berbicara pada kursi kosong diseberangnya. “Maafkan ayah Han, ya. Ayah kekurangan bahan tadi dan harus membelinya keluar. Nah, sekarang Minji harus makan yang banyak…” Luhan menyendokkan nasi dan sup di piring tanpa pemilik itu.
“Makan yang banyak sebelum pergi ke sekolah, Minji. Biar kau punya banyak tenaga untuk belajar.” Katanya riang lalu mulai makan sambil terus tersenyum, tatapan lurus ke kursi disana, bukan Sehun.
Sehun makan dalam diam. Dia tidak mengeluarkan suara satu pun dan membiarkan semua ini terjadi begitu saja. Tak ada yang bisa menghentikannya, jadi Sehun hanya diam, perhatikan wajah Luhan dibalik sendoknya. Wajah bahagia itu.
Sehun terus diperdengarkan suara Luhan berbicara lembut di sebelahnya.
“Minji, ayo makan wortelnya.”
“Apa? Supnya terlalu asin?” Luhan mencicipi sup itu, dahinya berkerut. “Ah, benar. Minji benar, ayah Han terlalu banyak menaruh garam di dalamnya.”
“Minji mau makan siang apa? McDonald? Tidakkah Minji ingin makan di rumah? Masakan ayah Han?”
Hening.
“Tidak? Baiklah,” Luhan menambahkan sup di mangkuk Sehun. “Sayang, nanti antarkan Minji ke McDonald. Dia mau makan kentang goreng disana sepulang sekolah.”
Sehun tidak menjawab. Terus saja mengunyah nasi di mulutnya yang tiba-tiba terasa tawar.
Setelah selesai makan, Sehun beranjak dari sana dan membereskan piring-piring dari meja, sementara Luhan berlari kecil ke ruangan di sebelah kamar mereka. Dia keluar dengan tas hello kitty warna pink juga botol minum kecil.
“Ayo, kalian berangkat. Ini sudah jam setengah tujuh. Minji bisa terlambat,” kata Luhan memberikan tas itu ke tangan Sehun. “Kunci mobilnya, sayang. Jangan lupa.”
Sehun enggan bergerak. Terpaku seakan tas ditangannya adalah benda teraneh yang baru dia lihat.
Luhan membuka pintu apartemen mereka yang berumur tujuh tahun. Sehun ingat dia melewati pintu itu bersama Luhan dalam keadaan gelap, tawa yang membuncah seolah dunia memang milik mereka berdua. Mencium Luhan yang terasa manis dan penuh kebahagiaan. Memenjarakan Luhan diantara dinding dan tubuhnya.
Hari ini Sehun harus melewati pintu itu untuk kesekian kali dalam hidupnya.
Tanpa Luhan, hanya sendirian bersama tas hello kitty yang berisikan buku gambar, krayon, kotak makan…
Lewati pintu itu bersama Minji.
Minji, anak mereka.
Sehun berbalik, melihat Luhan melambai di ambang pintu.
“Daah, hati-hati di jalan. Semoga harimu menyenangkan di sekolah, Minji.”
***
“Aku mencintaimu.”
Sehun tahu ini terdengar kolot, konyol, gombal, murahan. Tapi sesuatu yang kolot, konyol, gombal, dan murahan ini yang Sehun rasakan terhadap Luhan. Tak pedulikan dunia yang menganggap mereka aneh. Ini sebuah perasaan yang tak butuh logika untuk memahaminya.
Luhan pun mengerti.
Tapi tak cukup percaya kalimat itu diutarakan Sehun, hari ini, tepat di hari valentine. Sehun yang berlutut sambil menggenggam tangannya bukan sebuah gambaran yang pernah terlintas di kepala Luhan, karena, ya, dan ya, Sehun mencintainya.
“S-Sehun, apa yang kau lakukan?” Pekik Luhan kaget, “Berdiri! kau bisa mengotori celanamu!”
Dua tahun bersama, apakah Luhan belum juga mengerti bahwa cinta itu gila. Cinta itu lebih gila daripada sekedar berlutut di tanah taman. Sehun tak peduli ini jins barunya, satu yang dia beli kemarin khusus untuk hari spesial ini.
Luhan kembali kehilangan kata-kata ketika Sehun mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantung celananya. Kotak yang Luhan dapat menebak apa isinya, namun terlalu sulit menemukan kata-kata yang tepat.
Sehun membukanya dan Luhan menutup mulut.
“Sehun!”
“Menikahlah denganku.”
“S-Sehun, aku…”
“Kumohon…” Pinta Sehun tersenyum lemah. “Tidakkah kau mencintaiku?”
“A-aku…aku…ya, aku mencintaimu, tapi-”
“Tapi?” Sehun menatapnya bertanya.
Dia sudah mempersiapkan diri hadapi jawaban dari Luhan. Jika itu ‘tidak’, well, dia akan menunggu selamanya. Jika itu ‘maaf, aku belum bisa…’ Oh, Sehun akan membuat Luhan mencintainya lebih dari yang sebelum-sebelumnya.
Jika…
“Ya, aku mencintaimu.”
Tentu saja Sehun akan mendapatkan kata ‘ya’ untuk pertanyaan ini, namun dia belum selesai.
“Lalu bagaimana dengan ini?” Dia menunjuk cincin perak disana. Berkilau tertimpa sinar bulan purnama saat itu. Satu butir air mata menuruni pipi Luhan dan…
“Apa kau bodoh?? Ya, ya, tentu saja aku mau menikah denganmu, Oh Sehun.”
Perasaan lega bercampur haru juga senang bagai gulali warna-warni yang sedang mengaduk hati Sehun. Dia memeluk tubuh Luhan, mengangkatnya di udara dan menciumnya. Ciuman ke-seribu kali dan tetap terasa fantastis hingga Sehun siap terbang menjelajahi surga.
Luhan yang manis dan beraroma permen…kini menjadi bagian hidup Sehun.
Pernikahan mereka jauh dari keramaian. Bahkan orang tua mereka entah berada dimana. Hanya ada teman, sahabat yang setia melihat mereka mengucap sumpah itu.
“…untuk menjadi pendamping di saat susah maupun senang…”
“…menjadi pendamping di saat sakit maupun sehat…”
“Dan selamanya akan bersama sampai maut memisahkan.”
Selamanya…
Adalah kata yang sulit diartikan.
Apakah mereka benar selamanya mengakar diantara kedua orang ini, jaga rasa serta romansa.
Entahlah…
Yang mereka tahu hanyalah ini adalah kehidupan baru mereka.
Sehun tidak akan tidur sendirian lagi karena ada Luhan yang menempel di punggungnya, hembuskan nafas hangat di tengkuknya setiap malam. Karena ada Luhan yang memasang lilin aroma terapi dan memasak di pagi hari. Sehun akan pulang di malam hari sehabis kerja, lelah lingkupi raganya dan ada seseorang yang menunggu kedatangannya di apartemen kecil itu. Sehun tidak akan kuatir makan ramen disaat lapar karena ada Luhan yang siap memasakkan apa saja makanan kesukaan Sehun.
Mereka menghabiskan malam minggu dengan duduk di sofa panjang, terkadang drama sedih, film action, film seram yang mereka tonton, tapi Luhan lebih memilih film romantis ketimbang film action pilihan Sehun dan mereka berakhir disana.
Film romantis Notebook jadi favorit mereka sementara Luhan bersandar di tubuh Sehun, lengan kurus Sehun rengkuh tubuh itu erat atau bermain di rambut Luhan yang beraroma lavender.
Tak jarang juga Sehun menemukan Luhan tertidur disana, mata terpejam dan itu membuat Sehun ingin menciumnya, lagi, lagi, dan lagi…
“Aku mencintaimu, Luhan.”
Sehun dan Luhan…
Selamanya bersama.
***
Romansa mereka adalah romansa termanis diantara romansa-romansa yang ada. Terlalu indah hingga Sehun terkadang tak percaya bahwa dia memilikinya di telapak tangan.
Kebahagiaan ada dalam genggamannya.
Ingin rasanya tertawa melihati Luhan yang berusaha keras memotong kepiting di dapur. Pisau tidak bekerja dengan baik dan Luhan tampak menyerah. Dia mendelik sebal pada Sehun yang berdiri di dekat kulkas, cengiran lebar disertai kekehan ringan.
“Apa? Kau sendiri yang bilang bisa melakukannya sendiri. Kau bahkan melarangku masuk ke area dapur,” kata Sehun setelah Luhan melempar pisau itu ke meja dapur dan menghiraukan Sehun. “Hei, jangan marah begitu.”
“Jangan tertawa! Aku malas mendengar suaramu.” Luhan marah. Dia marah dan mengunci pintu kamar mereka. Tapi Sehun sadar betul Luhan tidak akan pernah sungguh-sungguh marah padanya. Kemarahan itu akan sirna sebelum matahari tenggelam.
Maka itu Sehun berdiri di depan pintu, dahi menempel dengan permukaan kayu yang dingin sambil berbicara. “Luhan, oh ayolah. Aku lapar, jangan begini.”
“Jadi kau menikahiku hanya untuk menjadi pelayanmu? Memasak untukmu setiap hari??” Suaranya melengking tinggi.
“Aku kan hanya bercanda, maafkan aku. Buka pintunya…”
“Tidak! Pergi dari sana!” Usir Luhan.
Sehun menyerah.
Bukan karena Luhan yang keras kepala, juga bukan karena Sehun lapar. Tapi dia memang salah. Jadi, Sehun memasak sendiri semua makanan selagi Luhan belum keluar dari kamar. Dia memasak kepiting itu, menggoreng udang, siapkan meja makan setelah semuanya selesai. Kemudian dia kembali mendatangi kamar dan ketuk pintu.
“Luhan, ayo makan. Aku sudah masak semuanya.”
Tidak ada jawaban.
“Luh—”
Pintu pun terbuka dan wajah cemberut Luhan muncul, masih memakai celemek kuning pemberiannya. Sehun menggenggam tangannya, menarik Luhan ke meja makan.
“Tada! Aku sudah memasak semuanya.” Kemudian dia mencium Luhan yang masih ternganga melihat makanan di meja. “Jangan marah lagi, oke? Kau tidak lucu kalau sedang marah.”
“Siapa bilang aku lucu? Aku ini tampan.” Sergah Luhan. Sehun tertawa kecil.
“Tampan…” dan sekali lagi mencuri ciuman kecil di sudut bibirnya. “…dan lucu.”
Sehun dan Luhan…
Selamanya bersama.
***
Sehun dan Luhan…
Tak selamanya berdua.
Waktu menunjukkan pukul 10 malam.
Sehun lelah, sangat lelah. Hari ini banyak sekali pekerjaan di kantor dan yang dia butuhkan hanyalah tidur. Pejamkan mata lalu tidur. Namun hari ini Luhan tampaknya sedikit bersemangat saat merangkak ke sebelahnya, peluk tubuh itu dan mengatakan sesuatu yang…Sehun tidak mengerti.
“Aku ingin punya anak.”
Rasa kantuk itu tiba-tiba hilang entah kemana. Sehun memandang kedua mata Luhan dalam-dalam seakan mencari jawaban disana.
“Apa??”
Luhan mengangguk, wajah polos itu… “Aku ingin punya anak.”
Tawa Sehun hampir meledak jika dia tidak sanggup menahannya. Apa Luhan sudah gila? Punya anak? Luhan tidak punya rahim untuk disinggahi bayi, apa dia sudah gila?
“Bagaimana-”
“Adopsi satu dari panti asuhan, Sehun.”
Saat itu pun Sehun langsung bangkit, duduk tegak menatap Luhan dengan mata tidak percaya. Luhan boleh saja memintanya terjun dari jurang atau memotong nadinya sendiri. Luhan boleh meminta berlian sebesar mobil, Sehun akan bekerja hingga ke liang kubur jika itu yang memang Luhan inginkan. Tapi yang satu ini…
Tak terpikirkan oleh Sehun.
“Luhan,” dia tertawa sambil kebingungan. “Adopsi anak? Buat apa?”
“Dua orang menikah untuk punya anak. Mereka bahagia saat ada anak di hidup mereka.”
Mereka? Mereka…yang normal. Sehun dan Luhan bukanlah ‘mereka’. Mereka tidak menikah atas dasar untuk punya anak, merencanakannya saja tidak, terpikirkan saja pun tidak!
“Luhan, kita berbeda. Apa yang akan orang-orang katakan? Melihat dua pria menggendong seorang bayi??”
“Siapa yang peduli apa kata mereka? Aku hanya ingin kita punya anak. Titik.” Ucap Luhan bersikeras. Sehun tidak suka Luhan menambahkan kata ‘kita’ di kalimatnya. Ini bukan kemauan mereka berdua. Ini kemauan di satu pihak. Ini mau Luhan!
“Oh, ya? Punya anak. Kau kira semudah itu mengurusnya, menyekolahkannya, menjaganya sampai tumbuh besar?” Sehun jabarkan semua kenyataan yang ada. “Bisakah kau mengganti popok bayi? Bisakah kau menyusuinya lewat dot, membuat susu dengan takaran yang benar?”
“Kita bisa belajar…” Gumam Luhan sedih.
Kita? Tidak ada ‘kita’ dalam soal ini!
“Tidak, Luhan. Aku tidak setuju!” Sehun menutup topik ini. Selesai sudah pembicaraan mereka. Tidak ada adopsi anak, tidak akan ada satu tambahan anggota di hidup mereka. Hanya ada Sehun dan Luhan…
Selamanya bersama.
Malam itu Luhan tidak tidur bersamanya. Dia tidur di sofa, berjauhan dengan Sehun, tinggalkan ruang kosong disana.
Sehun tak habis pikir tentang Luhan.
Apa hidup yang seperti ini tidak cukup baginya? Apa Sehun seorang tidak cukup bagi Luhan?
***
Ini tidak adil.
Bagi Sehun ini tidak adil.
Luhan tiba-tiba berubah menjadi orang lain saat kemauannya tak terpenuhi. Sehun tidak mendengar sambutan selamat pagi yang hangat sejak hari itu. Luhan tidak masak, hindari kecupan Sehun, dia membisu, dia seperti orang lain. Asing di hidup Sehun.
Sehun kira jika dia pulang ke rumah di malam hari, mungkin kemarahan Luhan sudah surut. Mereka lupakan pembicaraan kemarin dan kembali seperti semua. Namun kali ini dia salah.
“Aku pulang…” Sehun baru saja membuka sepatunya dan melihat tidak ada makanan di meja makan seperti biasa. Luhan duduk di sofa terdiam dengan buku di tangannya. Sehun tidak tahu buku apa itu. Tapi Luhan punya banyak sekali. Tumpukan demi tumpukan di meja.
‘Membaca Sifat dan Karakter Anak’
“Luhan—”
Luhan mematung. Dia tetap membaca buku-buku itu, hiraukan kehadiran Sehun. Lalu selimut serta bantal di sofa memperkuat pendiriannya bahwa Luhan tidak akan tidur bersama Sehun di kamar. Mereka tidak bersama…
“Terserah apa maumu, Luhan!” Sehun membanting tas kerjanya ke lantai dan pergi dari sana.
Menurutnya ini keterlaluan. Luhan sudah kelewatan, dia keras kepala, dia berhati batu, dia buta, ya, dia buta. Keinginannya membutakan hatinya hingga jadi seperti ini.
Atau…
Sehun yang keras kepala, berhati batu, buta? Jika dia memenuhi permintaan Luhan, pasti semuanya akan selesai.
Tapi Sehun tidak menginginkan anak. Dia mau hidup yang seperti ini. Mereka berdua, tanpa siapa-siapa lagi.
Mengapa ini tak cukup?
Mengapa Luhan menuntut lebih?
***
Bukan menuntut lebih.
Ada satu hal yang belum Sehun ketahui dari sosok Luhan, sosok yang bersamanya terus menerus dua tahun ini.
Tidak cukup mengerti.
Malam itu Sehun pulang dalam keadaan lelah dan pusing semakin membebaninya saat melihat keadaan apartemennya yang tiba-tiba berubah.
Ada sesuatu yang aneh.
Ruangan kosong di sebelah pintu kamar mereka terbuka lebar dan Luhan ada disana. Semua pernak-pernik keperluan bayi tersusun rapi. Box bayi, baby walker, boneka-boneka di rak, lemari penuh pakaian bayi, buku cerita anak…
Kapan Luhan persiapkan ini semua?
“Luhan, ini apa?” Sehun angkat bicara. Luhan membalikkan tubuh menghadapnya. Mata merah dan bengkak sehabis menangis. “Luhan, kau mena—”
“Sehun, kumohon,” suara paraunya setengah berbisik. “Saat kukatakan aku ingin punya anak, aku tidak main-main. Aku menginginkannya. Aku sangat menginginkannya. Tidakkah kau melihat itu di mataku?”
Sehun mendekat untuk meraihnya, tapi Luhan mundur beberapa langkah jauhi dirinya.
“Sehun, a-aku menginginkannya, sejak dulu. Aku mencintaimu, aku akan menuruti semua perkataanmu, tapi bisakah kau kabulkan permintaanku yang satu ini?”
Tidak!
Luhan menyentuh box bayi di belakangnya. “Kita akan punya anak yang tidur disini, Sehun. Setiap hari.” Lalu Luhan menunjuk babywalker di lantai. “Kita akan memperhatikan anak kita belajar jalan memakai benda itu…” Luhan mengambil buku cerita dan menggenggam tangan Sehun. “Kau bisa membacakannya cerita setiap malam. Tidakkah kau menginginkannya?”
Sehun akan jawab tidak, tidak, dan tidak. Dia tidak mau ada bayi, anak, apapun itu! Dia hanya mau kehidupan kembali seperti dulu. Apa yang salah dengan hidup seperti ini? Mereka bahagia, mereka tertawa, mereka senang. Apa yang salah hingga Luhan ingin mengubah semuanya?
“Jika kau tanya apa yang paling kuinginkan dalam hidupku…” Luhan meneteskan air mata. “Ini, Sehun. Aku menginginkan ini.”
Seketika, Sehun ingat cinta itu gila. Cinta itu gila, lebih gila daripada sekedar mengatakan ‘aku cinta padamu’ dengan keras di depan semua orang; lebih gila daripada sekedar ‘aku menikahi Luhan dan mencintainya’.
Ini gila saat hati Sehun jatuh di kedalaman, berenang bersama luka-luka yang lain, tapi…
“Ya.”
Kata ‘ya’ yang satu ini membawa Luhan kembali padanya. Kembali memeluknya seperti hari-hari yang lalu. Luhan kembali tidur bersamanya malam itu.
“Aku mencintaimu, Sehun. Aku mencintaimu, Sehun. Aku mencintaimu, Sehun.” Mengalun lembut di telinganya hingga dia terlelap dan Luhan adalah makhluk yang paling dia cintai.
Yang membuat hidupnya bahagia. Mereka akan bersama selamanya.
***
Sehun sesekali pernah membayangkan bagaimana keluarga kecilnya di masa depan. Mereka pasti harmonis, hangat, dan penuh kebahagiaan.
Kini semuanya hampir sempurna. Dia memiliki Luhan, apartemen kecil, dua mangkuk yang warnanya selalu sama, dan kamar beraroma segar. Ini mendekati sempurna, Sehun bisa merasakannya.
Luhan lebih bahagia. Sehun melihatnya lebih berseri daripada sebelumnya. Sebuah perubahan drastis yang terjadi pada Luhan ketika bayi perempuan berumur tiga bulan ada di lengannya.
“Lihat, lihat, Sehun. Minji menguap, ooh…dia sangat lucu.” Luhan menimang bayi itu gemas, dia tak henti-hentinya tersenyum pandangi anak itu.
Mungkin ini keputusan yang tepat. Luhan tidak kesepian saat Sehun pergi bekerja, ada Minji, anak perempuan mereka yang temani hari-hari Luhan. Dan Luhan muram di hari kemarin tiba-tiba menghilang.
“Dia sangat cantik saat tidur.” Bisik Luhan di samping box bayi. “Dia mirip malaikat, iya ‘kan?”
Sehun hanya bisa menyungingkan senyuman tipis dan Luhan memeluknya. “Terima kasih, Sehun. Kau membuatku bahagia.”
Bahagia?
Sehun tidak bisa ungkapkan apakah dia bahagia atau tidak. Ini bukan film action kesukaannya, juga bukan sup rumput laut favoritnya.
Ini anak, ini Minji anak perempuan mereka, seseorang yang Sehun tolak masuk ke dalam hidup mereka berdua.
Jadi…
Entahlah.
Hidup Sehun hanya untuk Luhan dan jika Luhan bahagia…maka…
Dia juga bahagia?
***
Pukul 2.
Setiap pukul dua pagi, Sehun selalu terbangun akan suara tangis yang memekakkan telinga dari kamar sebelah. Dilihatnya Luhan tengah tidur dan makhluk disebelah sana tidak mungkin berhenti jika tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak.
Maka Sehun pergi kesana dengan helaan nafas berat. Sehun tidak pernah menggendong Minji sebelumnya. Luhan tahu ini lebih baik darinya, bagaimana posisi yang nyaman, bagaimana cara menidurkannya kembali. Luhan berhasil mengikuti semua petunjuk-petunjuk buku itu.
Sehun tidak membacanya. Dia juga tidak peduli.
Minji menangis tanpa henti. Mungkin dia lapar, popoknya basah. Siapa yang tahu. Sehun berada disana tidak untuk mengeceknya, tapi untuk ‘hentikan’ tangis itu.
Ini pukul dua pagi, seharusnya dia tidur dengan nyaman bersama Luhan di kamarnya tanpa perlu mendengar suara itu.
Sehun mengambil bantal beruang milik Minji, dia menutup wajah anak itu.
Tangisnya teredam.
Satu detik…
Sehun sangat mencintai Luhan, terlalu mencintainya.
Dua detik…
Mereka baik-baik saja tanpa seorang anak.
Tiga detik…
Sehun orang yang egois dan serakah. Dia hanya ingin Luhan mencintainya dan tidak membagi-bagi rasa itu pada orang lain.
Empat detik…
“Karena ada Minji, aku bahagia, Sehun.“
Lima detik…
Minji adalah kebahagiaan Luhan.
Suara tangis Minji mulai melemah di balik bantal.
Sehun segera menarik bantal itu. “Apa yang kulakukan? Apa yang kulakukan?” Bisiknya di kegelapan. Panik. Takut. Minji terbatuk kecil dan mulai menangis lagi.
Sehun memang egois. Dia ingin memiliki Luhan sendiri tanpa sadar Luhan punya sesuatu yang bisa membuatnya bahagia.
Lalu… Lalu bagaimana dengan dirinya?
Apa dia masih menjadi alasan Luhan merasa bahagia semenjak ada Minji?
***
Dua tahun.
Minji berumur dua tahun dan rasa benci Sehun terhadapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Tidak berkurang bahkan bertambah seiring waktu berjalan ke depan, bukan ke belakang. Sehun hidup ke arah masa depan dan tidak bisa kembali ke masa lalu…
Masa dimana dia dan Luhan adalah dua orang yang hidup bersama.
“Minji…aaa-” Luhan menyayangi anak itu. jelas-jelas sangat menyanyanginya. Dia rela bangun di pagi hari untuk menyiapkan bubur bayi yang penuh nutrisi dan memakan waktu yang cukup lama.
“Minji mau pakai baju yang mana?” Luhan menggendongnya sambil pilihkan baju untuk si kecil. “Yang warna pink? Yang itu?” Minji anggukan kepalanya dan dia memakai baju terusan pink itu.
Lalu Luhan keluar kamar sambil menggandeng tangan kecilnya. “Ayah Hun,” begitulah Luhan ajarkan Minji memanggil mereka.
‘Ayah Hun’ untuk Sehun, ‘Ayah Han’ untuk Luhan.
Minji punya dua ayah, namun itu tidak membingungkan Minji sama sekali.
Ayah HunHan. Mereka tampak normal di mata sang anak. Dengan sikap Luhan yang lembut padanya, sikap dingin Sehun. Minji tidak bingung. Yang dia tahu, dia menyayangi kedua orang ini.
“Ayah Hun, lihat Minji pakai baju warna pink. Minji cantik ‘kan?” Ujar Luhan menyuruh minji berputar dan roknya mengembang indah. Sehun mengangguk, mata tertempel di koran pagi itu.
“Sehun…”
“Iya, cantik.” Sehun membalik halaman selanjutnya, masih belum menoleh kearah mereka berdua.
“Sehun, kau bahkan tidak melihat Minji bagaimana bisa kau bilang cantik?!” Luhan marah padanya. “Sehun!!”
Sehun melipat korannya emosi. Dia melemparkan pandangan sebal kepada Luhan seolah dia gangguan besar pagi ini. “Aku ‘kan sudah bilang cantik.”
Luhan membuka mulut untuk bicara, tapi sudahlah…dia tidak mau bertengkar dengan Sehun, apalagi di depan Minji. “Kau menyebalkan, Sehun.”
Suara Luhan kembali lembut ketika bicara pada Minji. “Ayo, minji, kita coba baju baru yang warna ungu ya?”
Ini menyebalkan. Ini mengesalkan. Sehun selalu menjadi pihak yang pada akhirnya ditinggalkan sendiri. Cukup banyak mengalah. Cukup lama menahan emosi. Sehun ingin semuanya berhenti.
Bagaimana caranya hilangkan ini semua?
Dan mengembalikan apa yang mereka dulu miliki…
-TBC-
A/N:
Maaf ya kalo gak bagus, ini fic shoneun ai yang bener2 shoneun ai pertamaku >.<
Aku sebenernya biasa nulis kaisoo dan baekyeol, dan itu masih dalam kadar yang normal. Kalo yang satu ini kayaknya sedikit tidak normal deh hahaha
Nantikan yang part dua-nya yah
