Main Cast : Park Jiyeon – Kim Jongin
Support Cast : Park Chanyeol – Kim Shinyeong – Byun Baekhyun – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon
Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst
Length : Chaptered
Author : Qisthi_amalia
Backsound : Shin Young Jae – Because My Step Are Slowly
-CHAPTER 13-
***
Jiyeon berlari menyusuri koridor yang ramai itu dengan cepat . pikirannya kacau dan ia tak tahu apa yang ia pikirkan saat ini. Nafasnya berhembus satu-satu, keringannya jatuh menyusuri dahi, rahang dan jatuh begitu saja.
“Ya ! Hati-hati kalau berjalan !”
Jiyeon membungkuk kearah wanita tua yang ia tabrak dan meminta ma’af. Ia lalu melanjutkan langkahnya, namun kali ini tak lagi berlari. Melainkan berjalan dengan gerakan pelan. Karena ia telah menemukan apa yang ia cari.
Angin berhembus kencang, ketika pintu keluar itu ia buka. Ia tak berusaha mengeratkan jaketnya atau memeluk tubuhnya yang kedinginan. Melainkan hanya berjalan pelan, matanya tertuju ke depan. Pada seseorang yang tengah duduk di sebuah kursi besi di bawah pohon maple.
Jiyeon mendudukan tubuhnya tepat di sebelah seseorang itu perlahan. Ia menghela nafas pelan dan tersenyum kecil.
Mereka diam.
Tak ada yang berbicara satu pun. Membiarkan angin kembali berhembus. Ranting-ranting yang bergesekan searah angin dan dedaunan yang jatuh memenuhi tanah. Membiarkan waktu berjalan dengan pelan. Berlalu tanpa suara.
Sampai seseorang itu – Jongin berucap perlahan.
“Aku takut.”
Jiyeon menoleh cepat. ia menatap namja di sampingnya itu nanar. Mengulurkan lengannya dan menggenggam satu lengan Jongin dengan erat. Mencoba menyalurkan kekuatan yang ia punya.
“Aku takut. “ Ia kembali mengulang. Kepalanya tertundu dengan nafas terengah.
Jiyeon menggeser duduknya dan memeluk tubuh Jongin dari samping. Menepuk punggung namja itu dengan pelan dan mengecup bahunya cukup lama.
“Semuanya akan baik-baik saja. percayalah.” Ujar Jiyeon pelan.
gerakan kedua tangannya jongin yang di kepal mengeras. Namja itu menggeleng cepat dan semakin menunduk.
“ Ini semua salahku. Semuanya salahku.” Jongin berucap cepat. Lalu memukul kepalanya sendiri cukup keras.
Jiyeon menghentikan gerakan tangan itu dengan cepat dan menggenggamnya dengan kuat. Di tariknya dagu Jongin, membuat namja itu mau tak mau mendongak dan melihat Jiyeon.
Beberapa saat Jiyeon diam. Ia meringis. Ini..Adalah kali pertama ia melihat Jongin seperti ini. Namja itu menangis. Namja yang selama ini ia kenal sebagai sosok yang kuat dan tegas. Dan sekarang, di depannya Jongin menangis. Ia terlihat begitu rapuh. Seperti kertas usang yang jika di remas dengan perlahan akan hancur melebur.
Jiyeon melepaskan tangan Jongin dan kini tangannya beralih. Menghapus jejak air mata di pipi Jongin dan mengecup kedua mata namja itu bergantian.
“Dengarkan aku kim jongin.” Jiyeon berkata pelan sambil menangkup wajah Jongin yang masih menatapnya lekat.
“Semua ini bukanlah kesalahanmu. Semua ini hanyalah takdir. Takdir yang sudah di atur oleh Tuhan, bahkan sebelum kita semua lahir ke dunia ini. Jadi aku mohon, aku mohon….Berhenti menyalahkan dirimu sendiri dan bersikaplah dengan semestinya. Jika kau terus seperti ini, justru akan membuat ummamu semakin merasa bersalah.”
Jongin menatap gadis di hadapannya tanpa ekspresi.
“Arraseo ?”
Tak ada jawaban. Jongin tetap bungkam. Namja itu diam. Jiyeon menghela nafas berat. Di tatapnya kedua mata jongin lekat. Ia memohon.
“Jebbal.” Ulang Jiyeon.
Jongin mengalihkan tatapannya kearah lain. namun sebelah tangannya bergerak dan menggenggam tangan Jiyeon. erat.
“Tetaplah disini. Di sampingku. Jangan pergi kemana pun.” Ujarnya tanpa menoleh sedikit pun.
Jiyeon tersenyum kecil. Balas menggenggam tangan jongin dengan tangannya yang lain dan mengangguk.
“Eum.”
***
Ruangan itu cukup hangat sebenarnya. Namun terasa amat dingin dan mencekam bagi Joonmyeon. Namja itu menatap seseorang yang berbaring di hadapannya dengan tatapan yang sulit di artikan. Ia hanya diam di sana. Sebuah kursi tepat di hadapan sebuah tempat tidur yang kini di gunakan oleh seseorang –Ummanya.
Handel pintu bergerak perlahan. Menimbulkan suara derit yang cukup membuat Joonmyeon menoleh kearah pintu masuk.
Soojung berdiri di sana. Menatap Joonmyeon sebentar lalu berjalan menghampiri namja itu. ikut duduk di samping Joonmyeon. Mengambil sesuatu dari kantong keresek dan menyerahkan sebotol coffe hangat kearah namja di sampingnya.
Joonmyeon mengambil botol coffe itu, membuka dan meneguknya beberapa kali. Soojung menatap namja di sampingnnya. Cukup lama. Tapi hal itu tak membuat Joonmyeon menoleh. Mata namja itu tetap terfokus ke depan. Matanya menatap orang di atas tempat itu penuh harap. Ia berharap. Sangat. Berharap jika ummanya cepat membuka mata dan tersenyum seperti sebelumnya.
Tanpa sadar joonmyeon meringis. Matanya terasa panas. Dan air matanya jatuh begitu saja.
Melihat itu Soojung ikut meringis. Rasanya ingin menangis. Tapi ia sadar, itu malah akan mengganggu. Jadi yang ia lakukan adalah bangkit dari tempat duduknya dan memilih untuk keluar saja.
Namun belum juga ia melangkah. Joonmyeon menahan lengannya. Soojung menoleh.
“Bisakah jangan pergi ? Ujar Joonmyeon
Soojung menatap mata yang memerah itu nanar.
“Tetaplah disini.” Kata joonmyeon lagi.
Soojung mengangguk kecil dan kembali duduk. Dan ia mendapati dirinya merasa hangat saat Joonmyeon memeluk tubuhnya cepat dan erat. Soojung hanya mampu tersenyum miris. Ia mengusap punggung namja itu pelan.
“Aku takut Soojung. Sangat takut.”
Soojung meringis. Ia semakin mengelus punggung itu cepat.
“Aku takut. Aku belum bisa membimbing Jongin saat ini. Aku masih butuh umma. Ottoke ? Ottoke soojung~aa ?” Ujar Jongin parau.
“Oppa…” Soojung meringis. Tanpa sadar ia menangis.
“Semua akan baik-baik saja oppa. Percayalah. Aunti Yoona pasti akan sembuh dan cepat sadar. Aku yakin. Jadi berhenti membayangkan hal seperti itu. eum..”
Joonmyeon semakin mengeratkan pelukannya dan mengangguk kecil.
“Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan jika kamu tak disini Soojung. Gomawo.”
***
“Onnie…Jongin”
Shinyeong menatap Jiyeon heran. “ Jongin ? Ada apa dengan Jongin ?”
Jiyeon menjatuhkan ponselnya begitu saja dan berlari ke luar. Chanyeol menatap adiknya khawatir. Ia hendak menyusul jiyeon namun lengan Shinyeong menahannya.
“Biarkan dia menyelesaikan urusannya sendiri Chanyeol~aa. Dia sudah dewasa.”
Dan chanyeol hanya diam. Membiarkan Jiyeon berlari keluar.
Shinyeong berjalan menuju tempat duduk dan mengambil ponsel jiyeon. ia lalu menempelkan ponsel itu ketelingannya. Masih terdengar suara seseorang berbicara dari sebrang sana.
“Ya…Jiyeon~aa…Park Jiyeon kau masih disana ?”
“Yoboseo.”
“Yoboseo. Nuguseyeo ?”
“Park Shinyeong. Kalau boleh tau ada apa dengan kim jongin ?”
“Umma Jongin pingsan dia masuk masuk rumah sakit. Dokter bilang umma jongin mengalami kanker darah stadium tiga. Dan sampai sekarang belum siuman. Sejak tadi Jongin menghilang dan belum kembali. Aku takut sesuatu terjadi, jadi aku menghubungi Jiyeon.”
Shinyeong mengangguk paham.
“Arraseo. Gomawo. Jiyeon baru saja keluar dari rumah. Tapi jangan khawatir, ia pasti akan baik-baik saja.”
“Ne, gomawo onnie.”
.
.
“Kau sudah mendapatkan kabar tentang Jiyeon ?”
Shinyeong menggeleng pelan.
“Otthoke ? Aku takut terjadi sesuatu dengannya.” Ujar Chanyeol lagi.
Shinyeong menatap kekasihnya itu sambil tersenyum kecil.
“Tenanglah Park Chanyeol. Aku yakin dia akan baik-baik saja.”
Chanyeol menoleh cepat kearah shinyeong.
“Baik-baik saja ? Apa kau tak lihat tadi wajahnya yang pucat pasi ketika berlari keluar rumah ? Kau masih bisa berpikir jika dia akan baik-baik saja ?” Suara Chanyeol sedikit meninggi.
Shinyeong menatap Chanyeol lama. Sampai ia berucap.
“Aku iri. Jiyeon benar-benar beruntung mempunyai kakak seperti dirimu.” Ucapnya sambil tersenyum. Ia lalu berdiri dan berjalan kearah chanyeol. Di letakannya kedua lengan itu di bahu chanyeol.
“Chanyeol~aa, jika seandainya kau mendapatkan kabar jika aku lari dari rumah setelah tahu jika appa atau ummaku di nyatakan akan segela meninggal. Apa yang akan kau lakukan ? Apa hanya diam atau berlari dan mencariku ?” Tanya Shinyeong.
Chanyeol menatap kekasihnya itu tajam. “ Tentu saja aku akan berlari dan mencarimu. Untuk apa kau bertanya seperti itu ?” Ujar Chanyeol masih kesal. Namun tak lama ia menyadari sesuatu dan menoleh kearah shinyeong.
“Jangan bilang kalau Jiyeon ?”
Shinyeong mengangguk kecil.
“Ia berlari dengan wajah pucat seperti itu setelah mendapat kabar jika kekasihnya Kim Jongin menghilang dengan kondisi kacau setelah melihat ibunya sendiri koma dengan penyakit kanker darah stadium akhir. Apa itu salah ? Jika jiyeon begitu khawatir ?”
Chanyeol menunduk. “ Aku bahkan tak mengerti. Padahal aku kakaknya.”
Shinyeong menarik dagu namja itu pelan. “ Tidak karena kau kakaknya, kau akan mengerti dia dalam segala hal. Ada kalanya, kita tak mengerti dan membutuhkan penjelasan.”
Chanyeol tersenyum. Mengusap puncuk kepala kekasihnya itu.
“Jadi, biarkan dia berlari, biarkan dia menuju hatinya. Memberikan orang itu kekuatan, untuk bertahan. Dia bukan lagi anak kecil. Jiyeon sudah dewasa. Jadi mulai sekarang, biarkan dia memilih apa yang ia mau jika hal itu baik. Bukankah kau bilang jika ini adalah kali pertama ia jatuh cinta ?”
Chanyeol mengangguk. “ Arraseo shinyeong~aa. Aku janji tak akan mengatur-ngaturnya dan memperlakukannya seperti anak kecil lagi. gomawo. Aku senang kau disini.”
***
Dengan langkah ragu, jongin berjalan. Setiap langkah yang ia ambil terasa amat berat. Jarak yang ia tempuh serasa jauh, padahal tempat ia tadi berdiri dengan ranjang Yoona hanya berjarak satu meter. Namun seluruh tubuhnya serasa lumpuh membuat beban di kakinya semakin berat.
dan saat ia telah berdiri tepat di depan tempat tidur ummanya. Jongin terdiam. Ia tiba-tiba merasa beku. Tak mampu melakukan apapun. hanya menatap wajah yang terpejam dengan damai itu nanar. Menatap dada yang naik turun itu dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya, umma-nya masih hidup. Walau ia tak lagi bisa mendengar suaranya. Tak lagi mampu melihat senyuman hangatnya. Tak lagi bisa mendapat tatapan teduhnya.
Sebelah tangannya terulur. Menggapai tangan kurus ummanya yang terpasang jarum infuse. Mengecupnya lama lalu menggenggamnya erat.
Hanya itu. yah. Hanya itu yang mampu Jongin lakukan. Ia tak bisa berkata walau hanya sekedar beberapa kata. Karena ia takut. Ia takut menjadi lemah. Ia takut matanya yang terasa panas dan sesuatu yang sejak tadi ia tahan jatuh. Ia tak mau Yoona menyadari. jika Ia menangis.
***
Tepukan lembut di bahunya membuat Jiyeon menoleh. Dan menemukan Joonmyeon yang berdiri disampingnya.
“Oppa..”
Joonmyeon tersenyum kecil. Lalu mengajak Jiyeon untuk duduk di kursi tunggu tepat di hadapan kamar Ummanya Joonmyeon di rawat.
“Soojung kemana ?” Tanya Jiyeon memulai.
“Pulang.” Jawabnya singkat.
Jiyeon menaikkan alisnya. “ Pulang ? Aneh, tadi dia yang bersihkeras tidak mau pulang.”
Joonmyeon tersenyum kecil. “ Aku yang memaksanya pulang.” Ujarnya.
Jiyeon mengangguk. Lalu beralih menatap Joonmyeon.
“Oppa..”
Joonmyeon menoleh. “ Kenapa ?”
“Kalau boleh aku tahu, Aunti Yoona kenapa bisa sampai seperti ini ?” Tanya Jiyeon hati-hati.
Joonmyeon tersenyum kecut, seperti mengulang kembali kejadian yang mengerikan itu. ia lalu mengalihkan pandangannya pada pintu di hadapannya.
“Umma jatuh lalu pingsan. Dan saat aku membawanya kerumah sakit, dokter bilang ada pendarahan hebat di otaknya.” Pelan Joonmyeon.
Jiyeon meringis. Belum pernah ia melihat ekspresi seperti dihadapannya ini sebelumnya. Takut, putus asa, bingung, dan rasa bersalah kini bercampur dan tergambar jelas di wajah Joonmyeon.
“Aku yakin Aunti Yoona pasti akan baik-baik saja. aku yakin.” Ujar Jiyeon.
Joonmyeon mengangguk kecil. “ Yah, ku harap juga begitu.”
Dan jiyeon mendapat dirinya tak mampu berkata apa-apa lagi. lalu memilih untuk ikut diam dan menunggu. Menunggu keajaiban itu benar-benar datang.
***
Dan ternyata. Keajaiban itu sama sekali tak datang. Yang hadir hanyalah masalah yang semakin rumit.
Jongin menatap lelaki paruh baya di hadapnnya dengan tatapan benci dan seolah ingin menghajarnya habis-habisan. Dan begitu pun dengan Joonmyeon.
Sementara namja paruh baya yang ditatap seperti itu hanya tersenyum masam dan masuk begitu saja ke dalam ruangan Yoona.
“Siapa yang mengijinkanmu masuk ?” Ujar Jongin setengah marah.
Namja itu tak perduli, ia berjalan tanpa rasa bersalah. Berdiri di pinggir ranjang yoona, tepat di sebelah Joonmyeon yang juga memandang lelaki itu benci.
“Bisa kalian keluar sebentar. Aku harus memeriksa umma kalian.” Kata namja paruh baya itu –Yunho pelan.
Jongin mendecakan lidah. “ Kau siapa ? Berani menyuruh kami seenakmu.”
Yunho kembali tersenyum masam. “ Saya dokter. Bukankah seharusnya kalian tahu tanpa harus bertanya.”
Joonmyeon mengepalkan lengannya. “ Keluar dari sini ! Kami tak butuh dokter sepertimu !”
Tapi yunho sama sekali tak perduli dengan kalimat usiran joonmyeon barusan. Ia malah menggeleng kecil lalu mulai memeriksa vital sign Yoona. Dimulai dari denyut nadinya.
Jongin yang melihat itu geram bukan main. Ia lalu berjalan tergasa kea rah yunho dan dengan sekali gerakan menarik kerah kemeja yunho dan mendorongnya mundur. Joonmyeon berusaha menarik lengan jongin agar tidak terlalu berulah lebih jauh. namun terlambat karena kini sebuah tinjuan cukup keras mendarat di pipi yunho. Membuat namja itu terdorong kebelakang sambil memegangi pipinya yang membiru.
“KELUAR ! Dasar ahjussi berengsek ! Aku tak perduli kau dokter atau bukan. Karena yang aku tahu kau hanya ahjusi tua yang membuat appa kami meninggal !!!” Hardik Jongin penuh amarah. Kedua matanya berkilat – kilat. Dengan tangan mengepal dan rahang mengatup kuat.
“Kau tahu apa anak kecil. Jangan sok tahu. !” Ujar yunho marah.
Dan saat jongin hendak meninju yunho lagi, joonmyeon sudah dulu menahan bahu adiknya dan menggeleng perlahan.
“Jangan habiskan tenagamu untuk orang sepertinya. Cukup !”
“Tapi hyung __
“Cukup. ! Dan kau, kami harap kau keluar !” Ujar joonmyeon sambil menatap yunho dengan tatapan kesal.
Yunho menggeleng kecil. “Jangan hanya menilai sesuatu dari apa yang kau lihat, tapi cari tahu dulu apa penyebabnya.” Yunho berujar sambil menatap Jongin dan Joonmyeon dengan tatapan kecewa. ia lalu berlalu dari sana.
Jongin menatap hyung-nya itu bingung. “ Dia bicara apa hyung ?”
Joonmyeon mengangkat bahu. “ Entahlah.” Pelannya sambil lalu. namun tak ayal, kalimat barusan ternyata cukup membuat joonmyeon penasaran.
“Hyung, apa yang dia barusan katakana ada hubungannya dengan umma ?” Tanya Jongin lagi.
Dan lagi, joonmyeon mengangkat bahu. Tidak mengerti.
***
“Kau baik-baik saja ?”
Jiyeon mengangguk kecil. Dengan gerakan malas ia mulai memasukan beberapa buku pelajaran ke dalam tas sekolahnya.
“Kapan akan selesainnya, jika kau memasukan satu buku saja butuh waktu 5 menit, belum untuk melamun sebentar dan menghela nafas.” Ledek Chanyeol sambil menatap adiknya itu bingung sekaligus khawatir.
Jiyeon mecuatkan bibirnya kesal. “ Oppa, boleh aku ijin sakit saja hari ini ?”
“ANDWE !” Teriak Chanyeol tiba-tiba.
Jiyeon semakin mencuatkan bibirnya kesal. Demi tuhan, ia benar-benar sangat khawatir dengan kondisi aunti yoona, joonmyeon dan jongin tentunya.
Chanyeol yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berjalan mendekat dan duduk di pinggiran tempat tidur jiyeon, menghadap adiknya yang kini duduk di kursi depan meja belajar.
“Ada apa sebenarnya jiyeon ? Tak biasanya kau seperti ini.” Tanya chanyeol khawatir.
Jiyeon menghembuskan nafasnya berat.
“ Aku hanya khawatir oppa, khawatir dengan keadaan aunti hana, joonmyeon oppa dan jongin.” Katanya sambil menunduk. memainkan tali tasnya tak beraturan.
Chanyeol menatap adiknya nanar. “ Semuanya akan baik-baik saja. oppa yakin.”
Jiyeon menggeleng cepat. “ Oppa bukan Tuhan, jadi darimana oppa tahu jika semuanya akan baik-baik saja. “ Ujar jiyeon pelan.
Chanyeol diam.
“Oppa, dulu aku sangat percaya dengan kata ‘semuanya akan baik-baik saja’. tapi kini kalimat itu seperti kalimat biasa yang tak berarti apapun untukku.”
Chanyeol berdiri, menghampiri jiyeon dan berjongkok di hadapan adiknya itu.
“Jiyeon~aa, dengar. oppa tahu oppa bukan tuhan yang bisa melakukan apapun. tapi setidaknya kita harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja. kalau pun dengan cara itu semuanya ternyata tidaklah baik-baik saja, kita harus menerimanya. Karena itu mungkin memang yang terbaik. Walau terkadang yang terbaik itu menyakitkan tak selalu menyenangkan.”
Jiyeon menatap kakak satu-satu itu dengan tatapan sayu. Dan mengangguk kecil.
Chanyeol tersenyum, bangkit berdiri lalu mengusap puncak kepala jiyeon pelan.
“Kajja, kau harus sekolah.”
Namun belum juga jiyeon berdiri, ia sudah lebih dulu menahan lengan chanyeol. Membuat chanyeol menoleh.
“Apa lagi kali ini, eoh ?” Tanya chanyeol sedikit kesal.
Jiyeon tersenyum. “ Kali ini saja oppa, aku janji ini yang terakhir. Ijinkan aku membolos, ne ?”
Chanyeol menghembuskan nafas. “ Jiyeon, jebbal. Jangan bertingkah seperti ini.”
Dan tanpa menyela atau beradu argument lebih lanjut. Jiyeon memilih bangkit dan berjalan tergesa mendahului chanyeol. Ia hanya tak mau membuat oppa-nya itu repot.
***
Suasana kelas pagi itu begitu riuh. Sejak dua jam yang lalu, kelas itu free teacher. Mendadak anak-anak menjadi bahagia bukan main dan mulai membuat keonaran di kelas. Di mulai dengan perkumpulan gossip di sudut kanan, yang berisikan gadis-gadis centil, ber-make up tebal dan rok 10 centi di atas lutut. Dilanjutkan dengan gerombolan namja keren –khusus di kelas itu tentunya, karena jika keluar dari kelas. Mereka tak lagi keren. Ck, payah. Dan yang terakhir adalah anak-anak tanpa perkumpulan yang hanya membuat bola-bola kertas yang selanjutnya di lempar sembarang ke berbagai arah. Tak ada kerjaan.
Dan diantara perkumpulan itu. jiyeon terduduk sendiri. Di tengah-tengah suara berisik dari berbagai arah. Ia menumpu dagu dengan sebelah lengannya. Hari ini soojung tidak masuk dan jieun pun tadi jam pertama ijin karena harus menjemput kakeknya yang baru pulang dari jepang di bandara.
Dan disanalah jiyeon. sendirian tak tahu harus melakukan apapun. tahu begini seharusnya tadi pagi ia lebih ngotot meminta Chanyeol agar mengijinkannya bolos. Kan setidaknya ia bisa menemani Jongin di rumah sakit. Seperti soojung yang juga menemani joonmyeon.
”Jiyeon~aa…”
Jiyeon mendoak cepat saat seseorang meneriaki namanya.
“Ada apa Shin ?”
Shin menggerakan bahunya kearah pintu kelas. Jiyeon mengikuti arah maksud Shin –teman sekelasnya. Dan ia menemukan seseorang yang cukup ia kenal tengah berdiri disana. jiyeon memperhatikan orang itu seksama. Apa benar ia yang di cari orang itu ? Tapi ada apa ?.
“Kau jiyeon ?” Tanya orang itu setengah berteriak. Maklum kelas jiyeon masih berisik.
Jiyeon mengangguk kecil. Orang itu menggerakan sebelah tangannya, menyuruh Jiyeon menghampirinya.
Dan tanpa menunggu intruksi kedua, jiyeon bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri orang itu. yang ia tahu kakak kelasnya. Seorang Nam Gyuri, ‘The most wanted’ in Chungdam high school.
“Kakak cari saya ?” Tanya jiyeon sopan.
Gyuri menatap jiyeon dari bawah sampai atas dengan tatapan meremehkan. Membuat jiyeon sedikit jengah.
“Kak, ma’af. Kakak cari saya ?” Ulang jiyeon lagi.
Gyuri berdehem pelan. Membenarkan letak poninya dan menyilangkan kedua tangan di depan dada. Lalu dengan gaya bak orang penting. Ia mengangguk.
“Jadi kau yang bernama Park Jiyeon ?”
“Iya. ada apa kakak mencari saya ?”
“Pulang sekolah kau ada acara ?” Tanya Gyuri tanpa mengindahkan pertanyaan Jiyeon. atau lebih tepatnya, tak perduli.
Jiyeon berpikir sebentar. Ia berniat langsung menemui Jongin sepulang sekolah.
“Tidak lama. Aku hanya ingin mendiskusikan sesuatu. Tak lebih dari lima menit. Bagaimana ?” Gyuri menaikan alisnya, seolah tahu apa yang tadi di pikirkan Jiyeon.
Jiyeon tersenyum simpul. “ Baiklah. Aku bisa. Tapi mendiskusikan apa kalau boleh tahu ?”
“Nanti. Pulang sekolah. Di belakang sekolah, dekat gudang. Kau akan tahu.” Ujarnya mantap dengan tatapan aneh.
Jiyeon mengangguk kecil. “ Baiklah.”
Gyuri tersenyum sinis. Dan seperti biasa. Dengan sikap sok orang pentingnya itu, ia melenggang pergi dengan anggunnya dari tempat itu. menyisakan Jiyeon yang di rasuki berjuta tanda Tanya besar.
***
Dan yah. Disinilah ia. Sesuai janji. Belakang sekolah. Dekat gudang. Tepat setelah bel berbunyi.
Jiyeon memainkan sepatu kets orange-nya kesal. Sudah 15 menit lebih ia menunggu, namun Gyuri belum juga terlihat. Dengan gusar, ia beberapa kali melihat jam yang melingkar di lengannya. Jika 3 menit lagi Gyuri tak datang ia bertekad untuk pergi dan memilih ke rumah sakit, menemani Jongin.
3 menit berlalu.
“Sebaiknya aku pulang saja.” Ujarnya mantap.
Namun belum juga satu langkah. Ada seseorang yang membekap mulutnya, menarik tubuhnya dengan keras, hingga ia bisa merasakan punggungnya yang mengenai dada seseorang di belakangnya. Jiyeon mencoba berontak, ia mengayunkan kedua tangannya, mencoba menggapai wajah seseorang di belakangnya, namun nihil. Karena kepalanya mulai pusing, pandangannya mulai berkunang. Ia mendadak lemas bukan main. Dan yang ia rasakan hanya ia terus di seret kebelakang dan terus kebelakang. Membuat seluruh tubuhnya sakit dan sendinya terasa mati rasa.
Sampai seluruhnya terasa benar-benar gelap dan ia tak merasakan apapun lagi.
***
“Ponselnya tidak aktif.” Soojung menggigit bibirnya cemas. Sejak tadi ia berusaha menelpon Jiyeon, tapi nomornya tidak aktif.
Jongin menghela nafas berat. “ Tapi sebelumnya nomornya aktifkan ?”
Soojung mengangguk mantap.
“15 Menit yang lalu nomornya masih aktif. Tapi setelah itu nomornya tidak aktif.”
Jongin menatap langit-langit kamar rawat ummanya dengan tatapan cemas. Joonmyeon beranjak dari tempat duduknya, menepuk bahu jongin lembut.
“Tenanglah, mungkin batrenya low.” Katanya menenagkan.
Jongin menatap kakakanya lesu. Lalu beralih menatap soojung mencoba mencari jawaban, tapi gadis itu hanya menunduk dan mengigit bibirnya. Cemas. Sama seperti Jongin. dan beralih menatap Yoona. Ummanya yang masih asik menutup matanya. Seolah mimpi di alam sana lebih menyenangkan dari pada menatap ia dan kakaknya.
“Aku keluar sebenatr hyung.” Ujarnya cepat dan tanpa menunggu persetujuan Joonmyeon. Ia sudah berlari keluar di ikuti dengan teriakan khawatir Joonmyeon.
“Oppa..” Soojung menggapai lengan Joonmyeon yang hendak mengejar jongin. joonmyeon menoleh kearah soojung dan gadis itu menggeleng pelan.
Joonmyeon menghembuskan nafas berat. Memilih menundukan diri di kursi dan menutupi wajahnya yang letih dengan kedua lengannya.
Soojung menepuk punggung itu pelan.
“Semua akan baik-baik saja. percayalah.”
Dan Joonmyeon. Walau ia tahu itu hanyalah untaian ‘Kalimat penenang’ yang seling ia dengar. tapi kali ini ia berharap lebih, sama seperti harapannya pada Tuhan tentang nasib ummanya. Jika semuanya memang akan baik-baik saja.
***
Matanya terasa perih. Begitu pun dengan seluruh tubuhnya yang terasa remuk. Jiyeon mencoba duduk, menarik tubuhnya agar bergerak dengan susah payah. Beberapa kali ia mengaduh, memegangi sikut dan lengannya yang terasa benar-benar sakit.
Ruangan itu pengap dan lembab. Beberapa kursi dan meja yang sudah keropos mengisi setiap sudut ruangan. Dan hanya dengan bantuan bias cahaya yang menebus jendela yang tertutup jiyeon bisa dengan jelas melihat seseorang yang tengah duduk santai tepat di depannya. Di temani dengan dua orang namja berperawakan besar di samping kiri dan tiga gadis yang jiyeon tahu kakak kelasnya.
“Kak Gyuri ?” Ucap jiyeon terbata. Tiba-tiba tenggorokannya terasa sakit. Ia terbatuk pelan dan tercekat, saat melihat ada noda darah di kedua tangannya.
Gyuri tertawa kecil. Ia lalu bangkit dari tempatnya dan berdiri tepat di depan jiyeon yang setengah terlentang.
“Aku kenapa kak ?” Tanya jiyeon belum paham.
“Kenapa tubuhku sakit semua kak. Apa kakak yang melakukan semua ini.”
Tak ada jawaban. Gyuri hanya tersenyum kecil.
“Salahku apa kak ?” Tanya jiyeon lemah.
Gyuri merendahkan tubuhnya. Hingga kini wajahnya bisa bertatapan langsung dengan kedua bola mata jiyeon yang berpedar menahan tangis. Gyuri tersenyum meledek, sebelah tangannya bergerak, meraih dagu jiyeon dan menariknya membuat jiyeon meringis.
“Sakit kak..” Ringisnya tertahan.
“Sakit ? Begini sakit ?”
Jiyeon mengangguk.
“Bagaimana bisa dia lebih memilih gadis menyedihkan sepertimu dari pada aku ?”
Jiyeon mengerjapkan matanya tak mengerti.
“Maksud kakak apa ?”
“Kau pikir dengan kau berpura-pura tak tahu akan menyelesaikan masalah, begitu ?” Hardik Gyuri tajam.
Jiyeon menggeleng kecil. “ Tapi aku benar-benar tak mengerti.”
Gyuri menyentakan dagu jiyeon kasir dan menarik tubuhnya kembali. Ia berdiri dengan tatapan meremehkan kearah Jiyeon yang masih terduduk memegangi dagunya yang terasa berdenyut.
“Kau seharusnya sudah tahu jika Kim Jongin hanya pantas untukku. Bukan dengan gadis buruk rupa sepertimu.” Ujarnya marah.
Jiyeon terperangah. Jadi, semua ini karena Jongin, Kim Jongin. jadi gossip yang beredar selama ini benar. jika Nam Gyuri benar-benar jatuh cinta pada Jongin. dulu ia menganggap gossip itu hanya angin lalu. tapi kini ia tahu, jika Gyuri memang benar-benar mencintai Jongin.
“Kenapa ? KENAPA DIA LEBIH MEMILIHMU DARIPADA AKU !!” Teriak Gyuri setengah frustasi. Ia menatap Jiyeon penuh benci. Matanya berkilat tajam. Membuat jiyeon memundurkan tubuhnya kebelakang.
“Padahal semua orang tahu, aku gadis tercantik di sekolah ini. Gadis yang paling pantas bersanding dengan Kim Jongin. sedangkan kau, kau siapa ? Hanya bocah ingusan yang barus masuk kemari dan sudah membuat ulah. Kau pikir KAU SIAPA EOH !” Hardik Gyuri lagi.
Jiyeon menunduk. “ Ma’af kak, tapi benar-benar tak tahu.”
Gyuri berdesis kesal. Ia lalu berjongkok di depan jiyeon dan menatap jiyeon tajam.
“Kau tahu jiyeon, aku mencintai Jongin sejak aku masuk sekolah ini. Aku mencoba segela cara untuk mendapat perhatiannya. Tapi kenapa, kenapa Tuhan tak adil. Membiarkan kau yang orang baru merebut Jongin dariku. Dariku yang tak pernah lelah untuk mengejarnya. KENAPA ? KENAPA TUHAN TAK ADIL !” Gyuri terduduk. Tubuhnya meluruh begitu saja, ia tertunduk. Air matanya menetes satu persatu, banyak dan semakin banyak. Bahunya bergetar. Ketiga teman gyuri yang sejak tadi melihat kejadian itu hanya menunduk. begitu pun dengan kedua namja berperawakan besar itu.
Jiyeon menatap kakak kelasnya itu nanar. Ia tak tahu. Benar-benar tak tahu, jika ada orang yang mencintai Jongin seperti Nam Gyuri. Jika saja ia tahu lebih awal. Mungkin ia akan memilih mundur. Tak apa.
“Kenapa ? Kenapa kau, Kenapa bukan aku ? “ Ucapnya serak. Ia lalu mendongak, mengusap air matanya kasar. Tangannya terulur kedepan, menunjuk tepat di hadapan wajah Jiyeon.
“Kau ! Kau gadis pembawa sial ! Seharusnya kau tak ada disini. Ani, seharusnya kau tak lahir kebumi. Kau menyebalkan. PEMBAWA SIAL ! BERENGSEK !” Hardik Gyuri penuh amarah. Ia lalu benagkit cepat. mendorong tubuh jiyeon hingga membentuk meja di belakangnnya.
Dengan gerakan cepat dan masih diliputi amarah. Gyuri berjalan keluar dari ruangan itu di ikuti tiga temannya dan dua namja bertubuh besar tadi.
“Kunci pintunya. Dan jangan biarkan dia kabur sampai besok pagi “ Perintah Gyuri dari luar.
“Baik Nona. “ Ujar namja itu patuh. Lalu ditutupnya pintu gudang itu dan di gemboknya.
Menyisakan Jiyeon. didalam sana yang terdiam. Terduduk. Membisu dan diam. Air matanya jatuh begitu saja. tanpa mampu ia tahan. Kepalanya berputar. Berdenyut. Cepat dan menyakitkan.
“Kau ! Kau gadis pembawa sial ! Seharusnya kau tak ada disini. Ani, seharusnya kau tak lahir kebumi. Kau menyebalkan. PEMBAWA SIAL !
Ucapan Gyuri beberapa menit yang lalu berhasil membuat segala pertahannya yang selama ini ia bangun kokok, hancur begitu saja. hanya dengan sekali sentakan, dan semuanya berserakan. Hancur. Berkeping.
Kalimat itu. dulu. Ayahnya, Hyerim onnie dan kini Nam Gyuri. Mengatakan kalimat yang sama. Kalimat yang membuatnya seakan ingin mati. apa ia memang tak diinginkan ? Mengapa ia selalu merasa jika apa yang ia perbuat selalu salah. Kenapa ia selalu merasa jika yang lakukan ternyata menyakiti orang lain.
Dan apa benar, jika ia hanyalah seorang Pembawa Sial, yang tak sepantasnya ada di dunia ini ?
Dan sore itu. jiyeon membiarkan semua potongan – potongan kenangan masa lalunya kembali berputar bagai kaset rusak di otaknya. Membuatnya kembali tak mengerti. Sebenarnya untuk apa ia dilahirkan ?
Bahunya bergetar. Ia tertunduk. Menangis. Membiarkan semuanya, kembali membelit tubuhnya. Hingga ia tak dapat lagi bangkit dan bergerak.
***
Kelas itu sudah sepi. Lorong itu sudah sepi. Lapangan itu sudah sepi. Sekolah itu sepi. Tak ada siapa pun. Kecuali ahjussi Han yang tadi membukankan pintu gerbang untuknya. Matahari sudah condong kearah barat, langit biru tergantikan jingga kemerahan. Burung-burung berterbangan beranjak pulang. sementara Jongin. ia masih terdiam disana. di tengah lapangan sekolah.
Jika melihat keadaan sekolah yang sepi seperti ini. Seharusnya ia tahu. Jika Jiyeon tak ada disini. Tapi hatinya berkata lain. di ikuti kakinya yang malah berganti haluan, tak lagi menuju tempat parkir tempat motornya terparki, melainkan taman belakang sekolah.
Jatungnya berdegup kencang. Demi Tuhan, ia belum pernah sekhawatir ini sebelumnya. Dalam hati ia mengulang kalimat yang sama.
‘Semoga firasatku salah.’ ‘Semoga firasatku salah.’
Kakinya terus melangkah ke arah taman belakang, kedua tangannya mengepal kuat. Di rogohnya kembali ponsel di saku celananya. Menekan nomor yang sama dan lagi. Tidak aktif. Ia membatin. Kembali mengulang kalimat yang sama, ‘ semoga firasatku salah.’
Namun semuanya semakin meyakinkan. Saat ia melihat dua orang namja berperwakan besar yang tak ia kenal tengah duduk di depan gudang sekolah sambil menghisap rokok dengan santai.
Jongin menelan ludahnya. Dalam hati ia masih membatin. Semoga kedua orang itu hanya orang iseng yang sedang duduk-duduk saja. tidak sedang menunggu seseorang di dalam sana yang mereka sekap. Semoga saja. jongin terus berdoa. Langkahnya semakin melambat.
Tapi mendadak. Suara-suara sangkalan yang coba ia buat. Jika ia berharap firasatnya salah. Jika ia berharap jiyeon mungkin sedang di kantor kakaknya. Atau jiyeon yang tengah mengerjakan tugas dikamarnya tiba-tiba semuanya lenyap. Menguap.
Saat matanya melihat sebuah gadget berwarna biru muda ditangan seorang namja di depannya. Mungkin Jongin akan bersikap biasa saja jika tak ada gantungan bintang di gadget biru muda itu. gantungan bintang yang hanya seseorang miliki. Jiyeon. dan ia yang memberikannya. Dan ia sudah sangat tahu jika gantungan itu hanya satu. Tidak berduplikat. Karena itu pesanannya khusus. Untuknya. Park Jiyeon.
Nafasnya memburu. Tanpa harus dikomando. Jongin berjalan cepat. suara kaki jongin yang cepat membuat kedua namja berperawakan besar itu tersadar akan kesadaran seseorang. Mereka lalu berdiri. Mengambil ancang-ancang siap menyerang saat melihat wajah tak bersahabat Jongin.
“Mau apa kau kemari ?” Tanya salah seorang namja berperawakan besar dengan baju hitam.
Jongin tersenyum mengejek.
“Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kalian berdua lakukan di sekolahku ?”
Si baju hitam melirik si baju abu-abu di sampingnya.
Si baju abu-abu pun menyeringai. “ Kami hanya alumni dari sini.”
“Alumni ? Oh ya ? Kenapa alumni datang justru pada saat semua penghuni sekolah tak ada ? Bukankah alumni seharusnya datang untuk bersilaturahmi kepada guru-guru ?”
Telak. kedua namja itu menatap Jongin jengah. Mereka sepertinya sudah lelah berbasa basi. Malas ber-conversation terlalu jauh dengan namja di hadapan mereka.
“Oke. Fine. Kami memang bukan alumni. Tapi siapa kami, itu juga bukan kewajiban kami untuk memberitahumu. Anak muda “ Kata si baju hitam.
Jongin tertawa. Ia lalu berjalan dua langkah. Semakin mendekat.
Kedua namja itu mengambil kuda-kuda. Siap menyerang.
Dan begitu pun jongin. ia sudah muak berbasa-basi dengan kedua cecunguk menjijikan di hadapannya itu. jadi yang ia lakukan ialah mulai meladeni keinginan kedua orang itu untuk berkelahi.
***
Jari-jemari lentik itu bergerak pelan. Ritme detakan jantungnya mulai stabil. Membuat bunyi di mesin EKG dekat ranjang itu terdengar berbeda.
Soojung yang merasa ada pergerakan pada genggaman tangannya mengerjapkan matanya yang terasa berat. Ia tak sengaja tertidur tadi.
Satu kali. Dua kali dan ketika ketiga kalinya ia mengerjap. Soojung membulatkan matanya. Menutup mulutnya. Dan tanpa berkata ataupun berteriak histeris. Air mata jatuh. Ia berlari dari tempat duduknya. Berlari keluar. Membuka pintu ruang rawat itu.
“Ada apa ?”
Soojung tersenyum. Tak mngindahkan tatapan heran Joonmyeon padanya.
“Kenapa keluar ? Dan kenapa kau menangis ?”
Joonmyeon bangkit. Menghapus jejak air mata di pipi soojung. Gadis manis itu menggeleng kecil. Menghentikan gerakan tangan Joonmyeon dipipinya. Di genggamnya lengan Joonmyeon.
“Aunti Yoona. Dia sadar.”
***
Suara benturan. Pukulan. Teriakan. Ringisan. Sampai suara sesuatu yang terbanting itu membuat kedua matanya Jiyeon mengerjap pelan. Dengan kekuatannya yang masih tersisa ia kembali mencoba bangkit. Menyeret tubuhnya yang serasa remuk itu sekuat tenaga.
“Akh.”
Ia meringis, saat tak sengaja tertusuk paku kecil yang berserakan dilantai hingga melukai betisnya.
Dengan seperempat kekuatannya yang masih tersisa, jiyeon kembali menyeret tubuhnya untuk lebih cepat bergerak menuju pintu.
Suara bedebum yang keras membuat Jiyeon diam. Ia kembali mundur kebelakang. Tertunduk. Tubuhnya mengigil.
Dan saat pintu itu di dobrak dengan cukup keras. membuat engsel pintu itu putus begitu saja.
Jiyeon mendongak. Mencoba mengenali siapa yang berdiri di depan pintu. Bayangan orang itu terlihat samar, karena cahaya mentari hanya menyorot punggung namja itu. hingga Jiyeon kesulitan melihat wajahnya.
namun ia tak perduli siapa itu. ia hanya takut orang itu orang jahat.
“Jebal. Jangan lakukan apapun padaku. Jebbal. !” Isaknya tertahan. Ia menunduk.
Membuat seseorang yang berdiri disana meringis. Hatinya terluka. Melihat keadaan Jiyeon yang seperti ini. Demi Tuhan ia benar-benar menyalahkan dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal kuat.
“Jiyeon~aa…”
Jiyeon mendongak. Suara itu. ia kenal suara itu.
Bayangan itu semakin mendekat. Semakin jelas. Membentuk sesosok tubuh yang amat ia kenal. Dan saat sosok itu tepat di hadapannya jiyeon tak kuasa untk menangis. Sampai sepasang lengan kokoh yang hangat menyelubungi. Dan menarik tubuhnya kedalam dekapan hangat yang menenangkan.
Jiyeon terisak. Tak mampu mengatakan apapun. cukup. Hanya dengan pelukan ini saja ia benar-benar merasa cukup.
Dan jongin. ia pun tak mampu mengatakan apapun. karena ia tengah susah payah menahan air matanya untuk jatuh. Demi Tuhan, ia bersumpah akan membalas orang yang membuat Jiyeon seperti ini.
Kedua tangannya semakin menarik tubuh jiyeon ke dalam dekapannya. Ia tak kuasa. Hatinya terluka. Mengapa ia datang dalam waktu tak tepat ? Mengapa ia harus terlambat ? Dan menyaksikan tubuh orang yang ia sayangi terluka seperti sekarang.
Mengapa lagi-lagi ia melakukan kesalahan ?
Dan mereka hanya diam. Hanya berpelukan. Karena sesungguhnya diam itu membicarakan banyak hal dan pelukan itu menjawab semua hal itu.
TO BE CONTINUED
