Intuition
Cast : Luhan (Exo-M) Lee So Hee (OC) || Genre : Sad, Romance, Family || Length : Chapter || Rating : PG-15
Author : @ghivory
=Summary=
Penyesalan memang selalu datang diakhir.
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Rasanya sudah lama tidak berkunjung ke coffee shop seperti ini. Mulai dari aroma kopi yang menyeruak, hangatnya barista yang menyapa, suasana nyaman yang dinikmati sekelompok remaja, hingga orang kantoran yang sedang rapat itu.
Aku sangat merindukannya.
“ini nona.” Seorang barista menyodorkan cup kopi yang aku pesan. Sambil tersenyum aku pun menerimanya. “terima kasih. Jangan lupa kembali lagi !”
Suasana yang sudah jarang aku rasakan. Biasanya, aku akan pergi ke coffee shop atau makan jajanan kaki lima bersama kedua sahabatku. Ji Yeon dan Se Na. Jujur saja, aku berharap bisa merasakan saat-saat itu lagi. Namun, sepertinya sulit. Ya.. mengingat sekarang Ji Yeon bekerja di butik milik ibunya, sedang Se Na ? dia bekerja di salah satu perusahan furniture sebagai perancang. Lalu, aku ? aku harus menjadi Presdir Tae San menggantikan appa.
Jalan-jalan seperti ini jadi terasa aneh bagiku, karena aku sadar paparazzi itu ada dimana-mana. Aku tidak mau merusak image baik Tae San hanya karena ulahku yang aneh-aneh. Jadi, aku berusaha menyamar. Contohnya seperti sekarang, aku tidak mengenakan pakaian formal untuk bekerja. Hanya dress selutut serta sweter—karena ini sudah memasuki musim gugur. Aku berusaha berpakaian biasa, membaur dengan masyarakat lain tepatnya. Berharap tak ada yang mengenaliku sebagai Lee So Hee, presdir Tae San Group. Tapi, Lee So Hee, gadis biasa.
Aku masih melangkahkan kakiku mengikuti arah angin. Rasanya terdengar aneh, ya ? tapi, aku memang membutuhkan ini. Berisitirahat sebentar dari rutinitasku yang padat. Terkadang juga saat jalan-jalan seperti ini aku bisa mendapatkan sebuah ide baru, inovasi, dan pencerahan untuk kedepannya.
Tunggu. Ponselku bergetar.
Kau dimana ? aku mencarimu di kantor tapi sekertarismu bilang kau sedang di luar. Mau makan bersama ?
Senyuman jelas mengembang di wajahku. Itu pesan singkat dari Luhan. Namja yang selama ini selalu mengisi hari-hariku, menemaniku, menjagaku, dan mencurahkan perhatiannya untukku. Rasanya terlalu banyak perubahan drastis akhir-akhir ini.
Hihi, maaf. Aku di daerah Myeongdong. Aku sudah makan, kok ^^ Kalau kau belum makan, segera pergi ke restoran terdekat, ya ?
Setelah membalas pesannya, aku kembali melangkahkan kakiku menuju halte subway. Kali ini aku memang sengaja tidak membawa mobil. Hm, mari kita lihat. Aku harus pergi ke.. rumah sakit.
Rumah sakit ?
Ya, 6 bulan yang lalu appa jatuh sakit hingga harus di rawat di rumah sakit. Dokter bilang sesuatu terjadi pada organ otaknya. Itu jugalah penyebab mengapa sekarang aku menjadi presdir Tae San, karena kondisi appa yang tak memungkinkan, eomma yang ingin terus menjaga appa, dan.. tak mungkin rasanya menyerahkan posisi presdir pada So Hyun ‘kan ? dia terlalu muda.
Oke. Itu dia, sudah datang. Saatnya menjenguk appa. Semoga kali ini aku berhasil membujuknya untuk melakukan operasi itu. Hwaiting !
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
308. Kamar VVIP di lantai 3.
So Hee terdiam untuk sejenak di depan pintu kamar itu. Entah untuk mengumpulkan tenaga atau apa. Sama seperti hari-hari yang lalu, ia datang dengan penuh harapan agar Tuan Lee, ayahnya, mau melakukan operasi itu.
Kali ini So Hee tampak lebih siap. Perlahan ia membuka pintu dengan seulas senyuman yang menghiasi wajahnya. Seperti yang ia duga. Tuan Lee sedang tidur. Tentu saja karena obat tidur yang baru saja diberikan oleh perawat.
So Hee terus mendekatkan diri ke ranjang yang ditiduri sang appa. Rasanya sangat memilukan melihat kondisi Tuan Lee sekarang. Ia sangat berbeda. Wajahnya yang selalu tampak cerah tak ada lagi. Kulitnya juga terlihat kusam dan penuh keriput. Selain itu—
“So Hee..?” suara lemah menyadarkan So Hee. Ternyata Tuan Lee belum sepenuhnya tertidur.
“ah..appa ? aku membangunkanmu, ya ?” So Hee masih berusaha menghapus jejak air matanya. “maaf aku terlambat..”
“kau baik-baik saja ?” Tuan Lee tampak khawatir. Namun, So Hee hanya mengangguk pelan, lalu duduk di kursi kosong yang sedaritadi menemani appa nya.
So Hee mulai menggerakan jemarinya, memijat kaki sang appa yang pasti terasa pegal karena sulit bergerak. “hah~ putri kecilku sudah dewasa, ya ?”
“appa baru menyadarinya ? kemana saja ??”
Tuan Lee hanya tersenyum, lalu melayangkan tangannya membelai lembut rambut So Hee. “aku bersyukur ada Luhan disampingmu.”
So Hee terdiam. “apa ?”
Lagi-lagi pria paruh baya itu tersenyum, “kau tidak membujuk appa untuk melakukan operasi lagi ?” nada bicaranya terdengar seperti meledek. Sepertinya, ayah dan anak itu akan memulai pertengkaran sengit.
“tentu saja ! sebelum datang kemari aku sudah bertekad akan membujuk appa hingga appa mau melakukan operasi itu !”
Tuan Lee hanya mengangguk kecil. Kini ia berusaha bangkit, bersandar di kepala ranjang itu.
“appa..” tiba-tiba suara So Hee memecah keheningan.
“eung ?”
So Hee tampak ragu. “apa ada sesuatu yang menyebabkan appa tidak mau melakukan operasi ?”
Hening. Tuan Lee terdiam untuk sejenak, sedang So Hee masih menunggu jawaban dari Tuan Lee. “..kalau iya. Bagaimana ?”
“ya.. appa harus memberitahuku, hal yang membuat appa tidak mau dioperasi itu.”
“lalu ?”
“mungkin aku bisa melakukan sesuatu..”
“kalau begitu lakukan.”
So Hee kebingungan. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh ayahnya itu.
“kalau appa punya permintaan apa akan kau kabulkan ?”
“asal appa mau melakukan operasi itu.”
“menikahlah dengan Luhan.”
“ahjussi ! aku datang~” tiba-tiba suara namja yang tak asing lagi menggema di seluruh ruangan.
Dengan ringannya namja itu berjalan masuk tanpa menyadari keberadaan seorang yeoja yang sedang berbincang dengan ayahnya.
So Hee menoleh kearah namja itu. Langkahnya segera terhenti. Gawat !
“Luhan ??” So Hee menyadari sesuatu. Apa isi kantong-kantong yang Luhan bawa ?
“ah..” suara itu terbata, sangat berbeda dengan suara yang pertama terdengar tadi. “So Hee-ah..”
“jangan-jangan, itu..” So Hee melirik kantong yang di bawa Luhan.
“So Hee, appa bisa jelaskan..” Tuan Lee berusaha menenangkan putrinya.
“Luhan-ssi !” kali ini suara So Hee meninggi. Ia bangkit, lalu menghampiri Luhan. “kau sudah gila membawa makanan ini untuk appa-ku ?! kau mau membunuhnya ??!!”
“So Hee-ah..” percuma, So Hee tak mendengar pembelaan apapun.
“dokter sudah pernah bilang, appa tidak boleh memakan—”
Ponsel yang sedaritadi tergeletak di meja bergetar. Seperti iklan ditengah-tengah film yang sedang mencapai klimaks, So Hee meraih ponselnya dan menjawab telpon. Ternyata itu dari sekertarisnya, ia memberitahukan agar So Hee segera kembali ke kantor karena ada beberapa investor yang akan datang.
So Hee memutus telpon, beralih memandang ayahnya. “appa..”
“pergilah.. aku mengerti.” So Hee tampak sedih. Disaat seperti ini ia tidak bisa menemani appa-nya, tapi Tae San juga tak kalah penting.
“kalau begitu, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa segera telpon aku, ya ?”
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Keadaan kembali tenang. Walau Tuan Lee merasa tak enak hati dengan Luhan. Ia jadi terkena amukan So Hee karena permintaanya.
“kau ini ! masuk ke kamar orang yang sedang sakit sebahagia itu.” Tuan Lee membuka pembicaraan. Kini dihadapannya sudah tersedia makanan yang tadi Luhan beli sesuai permintaannya.
“iya, maaf.” Luhan tampak pasrah, lalu duduk di kursi yang tadi So Hee gunakan.
“harusnya aku yang minta maaf,” Tuan Lee mulai menyambar makanannya. “oh, iya. Terima kasih kau sudah repot-repot membelikan ini untukku.”
“ahh,” Luhan menggaruk bagian belakang kepalanya, pipinya memerah seperti buah plum, “bukan hal sulit..”
Tuan Lee masih sibuk dengan makanannya, “oh, iya. Apa tidak apa-apa kalau ahjussi—”
“sudahlah, waktu orang tua ini tak lama lagi, Luhan. Setidaknya aku ingin menikmati hidupku..”
“jangan bicara seperti itu..”
Tuan Lee menaruh sumpitnya, kini ia sedang memandangi Luhan dengan serius. “kalau saja dulu aku tak bertemu denganmu di rumah sakit, entah apa sekarang kau akan ada disini, Luhan.”
“itu adalah sebuah kebetulan yang tak disengaja. Sekarang, aku punya banyak alasan untuk hidup.” Tuan Lee menaikan sebelah alisnya, tanda tak mengerti atas ucapan Luhan.
“selama ini, aku menunggu So Hee. Dan selama aku menunggu, aku tak sengaja bertemu dengan ahjussi di rumah sakit. Hingga akhirnya aku mengetahui kondisi mu yang sebenarnya.”
Tuan Lee tersenyum, “kau tahu ? aku bersyukur. Aku bertemu denganmu saat itu. Setidaknya, aku tahu ada seseorang yang bisa ku andalkan untuk menjaga So Hee.”
Sesaat mereka terdiam, seperti jeda untuk mengambil napas. “kau harus tetap hidup, ahjussi.”
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Ini sudah larut malam, namun keadaan memaksa So Hee untuk tetap di kantor dan menyelesaikan pekerjaannya. Tumpukan file yang harus diperiksa itu cukup untuk membuat siapa saja menghela napas karena terlalu banyak. Tapi, apa boleh buat ? itu adalah tugasnya sebagai presdir Tae San.
Di luar sana memang masih ramai, penuh dengan orang-orang hingga kendaraan yang terus lalu-lalang. Sangat kontras dengan keadaan di dalam kantor Tae San Group.
Dering ponsel So Hee memecah atmosfer ruangan itu, membuat si pemilik harus mengalihkan perhatiannya untuk sesaat.
Ternyata, sebuah pesan singkat dari Luhan.
Apa kau tidak lelah ? aku menunggumu di atap gedung. Cepat, ya ? disini dingin.
So Hee menghela napas, lalu memundurkan kursinya, melangkahkan kakinya keluar ruangan dan menaiki lift menuju lantai paling atas.
Apa yang dia lakukan malam-malam begini di atap, sih ?
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
So Hee membuka pintu menuju atap gedung. Dia sudah bersiap untuk mengguyur Luhan dengan ribuan omelan karena tengah malam begini malah mengajaknya ke atap gedung. Tapi, sebuah pemandangan yang berbeda membuat So Hee mengurungkan niatnya.
“Luhan ?” So Hee berusaha mencari Luhan, orang yang memintanya datang kesana.
Saat ini dihadapan So Hee terdapat rangkaian lilin beraroma lavender yang dibentuk menyerupai hati. Tentu saja ini ulah Luhan. Itu pasti !
So Hee terus mendekati rangkaian lilin itu. Hingga seseorang memeluknya dari belakang.
“mianhae..”
So Hee tampak tak terkejut. Ia sudah tahu orang itu pastilah orang yang sama dengan orang yang membuat rangkaian lilin itu. Luhan !
“kau tidak terkejut ?” tanya Luhan dengan dagunya yang masih bertengger di bahu kanan So Hee.
“haruskah aku terkejut ?” Luhan mengerucutkan bibirnya lalu mengurai pelukannya. So Hee hanya tersenyum simpul melihat tingkah Luhan yang kekanak-kanakan itu.
“maaf soal—”
“kau tidak salah, kok. Jadi, tidak usah meminta maaf.”
“habis.. kau tampak menyeramkan, sih.”
Oh, Luhan ! kau tampak seperti anak kecil saat ini.
“ayo masuk.. disini dingin.”
“lalu bagaimana dengan lilin-lilin itu ? aku susah payah membuatnya tahu !” protes Luhan sambil menunjuk kearah rangkaian lilin itu.
Sebenarnya So Hee juga merasa sayang kalau nantinya lilin-lilin itu akan dibuang oleh petugas kebersihan kantor, tapi mau bagaimana lagi ?
“berikan aku ponselmu !” pinta So Hee.
“memangnya kau tidak membawa ponselmu ?” kata Luhan sembari menyerahkan ponselnya.
So Hee segera meraih ponsel itu. Lalu, mengambil beberapa foto rangkaian lilin itu. Ia kemudian mendekati rangkaian lilin itu. “ayo !” kata So Hee sembari melambaikan tangannya pada Luhan. Luhan yang tak mengerti hanya menuruti perintah So Hee. Ternyata So Hee mengambil foto mereka berdua dengan rangkaian lilin sebagai spot utama.
“nah, sudah selesai..” So Hee masih memandangi layar ponsel Luhan. “nanti akan aku post di twitter. Haha.”
Luhan membulatkan matanya, “hei, kau sudah gila ?!”
“memangnya kenapa ?”
“nanti semua orang,”
“kalau semua orang tahu memangnya kenapa ? yang seharusnya merasa rugi ‘kan aku. Kesempatanku untuk mendapatkan seorang namja terancam hilang karena dirimu ! lalu, Tae San—”
“selama ini kau anggap apa diriku ???”
So Hee mengulum senyum. Rasanya menyenangkan melihat Luhan cemburu seperti itu. “aku hanya bercanda Xi-Lu-han..” So Hee mencubit gemas pipi Luhan. Ohh, pipi Luhan benar-benar merah saat ini.
“kau tidak membawa outwear mu, apa ? dress mu itu terlalu tipis.” tanya Luhan sambil membuka jasnya. Sepertinya ia ingin mengalihkan perhatian agar pipinya berhenti memerah.
“aku lupa..” Luhan kemudian menyelimuti So Hee dengan jas itu.
“lain kali jangan diulangi lagi.”
“Luhan ?”
“eung..”
“kau sangat menyukaiku, ya ?”
“aa..aapa ?” Luhan tampak setengah tertawa.
“aku serius..”
Luhan masih tertawa, “aku juga serius..”
“kau mencintaiku ?”
Kali ini Luhan berusaha menghilangkan tawanya. Ia pun mengangguk kecil sebagai jawaban untuk pertanyaan So Hee. Tanda bahwa ia serius.
“lalu, apa kau akan menjadi suamiku ?”
Luhan terdiam, ia tampak berpikir sejenak. Perlahan ia sedikit membungkukan tubunya, menyejajarkan wajahnya dan wajah So Hee. “itu tergantung pada nona..” Luhan mencubit pucuk hidung So Hee.
“tergantung ? tergantung pada apa ?”
Luhan kembali menegapkan tubuhnya, “tergantung, apakah kau mau menjadi istriku atau tidak.”
So Hee mengangguk-angguk kecil dan itu tampak manis di mata Luhan.
“apa sesuatu terjadi ??” tanya Luhan. So Hee mengangkat wajahnya, kembali memandang Luhan lalu menggeleng pelan.
“disini dingin..” keluh So Hee pada Luhan sambil memeluk dirinya sendiri. Sesaat kemudian So Hee membunuh jarak diantara mereka, memeluk Luhan seperti anak kecil. “hmm, hangatnya..”
Luhan membalas pelukan So Hee yang kini membenamkan setengah wajahnya di dada Luhan. “ayo masuk kedalam.. aku tak mau kau sampai sakit.”
“sebentar lagi. Xi Luhan sangat hangat..” Luhan mengulum senyum, ia kemudian membelai lembut rambut So Hee.
“hei, anak kecil. Bukankah pekerjaanmu masih menumpuk ?”
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Aroma kopi mulai memenuhi penciumanku, membuatku membuka mata dan mencari sumber aroma itu.
“pagi..” sapa Luhan yang sedang berjalan dengan secangkir kopi dalam genggamannya. Ia kemudian meraih beberapa file yang aku yakin adalah milikku. “kau mau kopi ? sebentar ya, akan ku buatkan.” Setelah mengakhiri kalimatnya dengan senyuman ia pun kembali ke meja kecil yang ada di pojok ruangan, tempatku menaruh coffee maker.
Aku masih mengucek mataku, berusaha mengumpulkan nyawaku yang entah berterbangan kemana. Tanpa ku sadari ternyata aku tidur dengan jas Luhan dan selimut—yang memang sengaja ku taruh di kantor—yang menutupi tubuhku.
Sesaat kemudian aku sudah terduduk dengan wajah kusut dan rambut yang sedikit berantakan. Luhan datang dan duduk di sampingku sambil menyodorkan secangkir kopi yang baru saja ia buat. “minum dulu.. kau tampak kekurangan nyawa.” Seulas senyuman ku berikan untuknya, dengan senang hati ku terima kopi yang ia buatkan untukku.
“bagaimana tidurmu ?” tanyanya tanpa memutus kontak mata diantara kami. Aku hanya tersenyum layaknya anak kecil. Tiba-tiba saja Luhan mengacak-acak rambutku dengan gemas ketika aku mulai menyeruput kopi yang masih mengepul uapnya itu. “aku selesaikan pekerjaan dulu, ya ? setelah itu kita sarapan. Tidak lama, kok.” Luhan pun bangkit diikuti dengan bola mataku yang terus mengekorinya.
“semalaman kau mengerjakannya ?” tanyaku sambil terus memperhatikan gerak-geriknya.
“Kenapa ? kau mau barterima kasih ?” jawabnya tanpa menatapku. Kini ia sudah duduk di kursiku sambil memeriksa beberapa laporan yang seharusnya ku kerjakan.
Mataku menyipit, “tidak.”
Dia mengangkat kepalanya dari kertas-kertas itu. Bisa kulihat senyumannya yang samar namun manis. “hah~ aku lapar..” kataku sembari bangkit dan merenggangkan tubuhku.
“cuci muka dulu. Jejak air liur mu terlihat, tuh.”
“apa ?” sontak saja aku kaget. Oh tidak !
Aku segera menengok kekanan dan kekiri, mencari-cari benda yang bisa kugunakan untuk bercermin. Hingga ku temukan ponselku yang tergeletak di sofa table. Tanpa basa-basi segera kusambar ponsel itu dan menggunakannya untuk bercermin.
Luhan tertawa renyah, “oh, ayolah. Kau tidak seburuk itu. Aku hanya bercanda..”
Aku membalikkan tubuhku. Dan yang kudapati kali ini, Luhan sedang berjalan kearahku dengan tablet PC yang aku yakin juga milikku. “sore ini kau ada rapat dengan para investor, kan ? ini sudah kuperiksa data-data itu. Dan kurasa tak ada masalah. Kau bisa melanjutkan proyek Pulau Jeju itu.” katanya sembari menyodorkan tab padaku. Aku menerimanya, lalu meneliti apa-apa saja yang sudah Luhan catat disana.
“yang perlu kau lakukan saat ini hanya mencuci wajahmu. Terlihat kusut sekali tahu !”
Aku memainkan bola mataku, ya baiklah Xi Luhan. “ya, sudah aku cuci muka dulu.”
“setelah itu bayar gaji lemburku, ya ?”
Aku hanya mengerling nakal, lalu melanjutkan langkahku menuju toilet.
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
So Hee telah kembali setelah mencuci wajahnya. Kini ia sedang berjalan menuju sofa yang diduduki Luhan. Sepertinya Luhan tak sadar akan kehadiran So Hee.
“YAA ! Apa yang kau lakukan dengan ponselku ??!” teriak So Hee seraya menyambar ponselnya yang ada di tangan Luhan.
“tidak, kok.” Jawab Luhan dengan santai seolah tak terjadi apapun. So Hee menyipitkan matanya tanda tak percaya pada ucapan Luhan. Ia pun mengecek isi ponselnya, siapa tahu Luhan melakukan sesuatu yang aneh-aneh.
“tak ada yang kulakukan !” bantah Luhan seraya bangkit dari sofa dan melalui So Hee begitu saja.
Baiklah, kali ini So Hee tak menemukan bukti. “oh, ya Presdir ! aku mau menagih gaji lemburku..” kata Luhan sembari memakai jasnya. So Hee menghampirinya lalu membantu Luhan merapikan jasnya.
“berapa yang kau minta ?” tanya So Hee dengan kedua tangan yang masih melekat di kerah jas Luhan.
Luhan tersenyum nakal, “tidak mahal, kok.”
“katakanlah..” Kini namja yang ada di hadapan So Hee itu mengerjap pelan, hingga bola matanya kini berhenti pada satu objek yang ada di depannya.
Hanya ciuman singkat yang sangat cepat. Seperti itulah morning kiss mereka hari ini. Diakhiri dengan senyuman Luhan yang mengembang puas. “terima kasih, Prsedir.”
Otak So Hee masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Hingga akhirnya ia berdengus kecil, “dasar !”
“ayo sarapan ! aku lapar.” Ajak Luhan sembari menggenggam lengan So Hee.
“eeh, Lu..Han..?” sela So Hee.
“apa ?”
Segurat keraguan tampak di wajah gadis itu. “ada yang ingin kubicarakan..”
Luhan melepaskan genggamannya, “katakanlah.”
So Hee semakin tegang karena Luhan terus memandanginya lekat-lekat. Tanpa sadar ia memainkan dressnya “ini..”
“hm ?”
So Hee menghela napas pendek lalu menyelipkan rambutnya di belakang telinga, “soal appa..”
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Hari ini adalah hari operasi. Ya, rencanaku dan Luhan berjalan dengan lancar. Rencana dimana aku dan Luhan akan bertunangan setelah appa dioperasi. Dan diluar dugaanku ternyata cara ini berhasil !
Aku masih duduk menunggu di luar ruang operasi bersama eomma dan So Hyun. Jujur saja hatiku tak tenang karena dokter tak kunjung keluar dan membawa kabar baik untuk kami. Tapi, tak mungkin bagiku menunjukkan rasa khawatirku itu. Aku harus tetap terlihat tenang agar eomma juga tenang.
1 jam 47 menit
Entah mengapa hatiku rasanya tak enak. Tiba-tiba saja beberapa perawat dan dokter berlarian masuk ke dalam ruang operasi appa. Oh ada apa ini ?
Aku berusaha menahan salah satu diantara mereka, berharap aku bisa bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun, gagal. Hatiku semakin kacau.
Apa yang terjadi di dalam ? semoga appa baik-baik saja.
Keadaan berubah menjadi tegang. Eomma tampak sangat khawatir, sedang So Hyun menyembunyikan wajahnya dibalik tangannya.
Tuhan, semoga tak ada hal buruk yang menimpa appa.
Aku masih menundukkan wajahku. Hingga penglihatanku mendapati seseorang baru saja keluar dari ruang operasi. Aku segera mengangkat kepalaku.
“..maaf, kami sudah melakukan yang terbaik.”
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Awan mendung menutupi sang mentari. Aku yakin sebentar lagi hujan akan turun. Semua berita di koran hingga televisi menayangkan kabar kematian ayahku. Dan itu membuat eomma semakin sedih.
Setelah acara pemakaman berakhir, eomma tampak sangat sedih. Ia bahkan tak mau makan dan minum. Itu sangat membuatku khawatir. So Hyun juga tampak murung. Dia yang biasanya mencairkan suasana mendadak berubah menjadi pendiam.
Aku hanya bisa merutuk.
“kau baik-baik saja ?” kata Luhan dengan lembut di telingaku. Ia memegangi kedua lenganku karena aku memang sangat lelah saat itu.
“kurasa tidak.” singkatku.
“kau harus tetap kuat..”
Aku tahu Luhan ingin memberiku semangat. Tapi, aku butuh waktu.. sebentar saja. “Luhan, aku ingin sendiri.”
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Ini sudah sebulan sejak kepergian ayahku dan tepat seminggu setelah kepindahanku dari rumah. Ya, selama sepekan ini aku tinggal di apartemen milikku di daerah Gangnam.
Mengapa ?
Setelah kepergian appa, eomma tampak sangat terpukul. Tak mau makan tak mau minum, hatinya pun menjadi sangat sensitif. Dan yang paling membuatku sedih, ia tak mau bicara padaku.
Sebenarnya So Hyun tak ingin aku tinggal di luar karena eomma yang tak mau satu meja makan denganku. Tapi, aku juga tak mau harus melihat eomma yang seperti itu. Kurasa akan lebih baik jika aku tinggal di apartemen dan menyibukan waktuku dengan bekerja.
Selain itu, aku juga sudah jarang bertemu dengan Luhan. Aku anggap itu sebagai hukuman untuk diriku yang tak memenuhi keinginan appa. Aku benar-benar merasa bersalah. Mungkin seharusnya saat itu aku menikah saja dengan Luhan.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan memang selalu datang diakhir, bukan ? kini yang bisa kulakukan hanyalah melakukan apa yang bisa kulakukan dan melanjutkan apa yang sudah ada. Bukannya menggerutu akan hal yang tak dapat ku ubah.
Satu-satunya yang ku harapkan kini.. hanyalah,
Eomma kembali seperti dulu.
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
Tak ada tempat bagi So Hee untuk mencurahkan isi hatinya. Tapi, satu nama tiba-tiba muncul dibenaknya. Suho !
“ada apa ?” tanya Suho dengan lembut sembari duduk di samping So Hee. Kini mereka sama-sama memandangi indahnya matahari tenggelam di Sungai Han.
“entahlah. Kau satu-satunya orang yang terpikir dibenakku saat ini.” Jawab So Hee sambil tersenyum tipis. Ia menoleh sesaat, lalu kembali meneguk kaleng minumannya.
“sesuatu terjadi ?”
“eung..” So Hee mengangguk kecil, lalu memulai pembicaraan diantara mereka.
“jadi, apa pendapatmu ?” tanya So Hee pada akhirnya. Ia kemudian menoleh kearah Suho yang sedang merebahkan diri dengan kedua tangan terlipat dibalik kepalanya.
“sudah selesai ceritanya ?” So Hee menyipitkan matanya, hanya bercanda.
Suho pun bangkit seperti tanda untuk memulai pidato panjang lebarnya, “jujur saja, aku tak bisa membantu apapun.”
So Hee tahu itu. Memang tak ada yang bisa Suho lakukan untuk membantunya. Namun, setidaknya dengan bertemu Suho ia bisa mengurangi sedikit beban dihatinya. “aku mengerti..”
“aku tahu pasti. Kau menemuiku karena kau butuh tempat bercerita, bukan ?”
So Hee tersenyum simpul, ucapan Suho seratus persen benar !
“dengar. Satu-satunya orang yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya dirimu. Semua tergantung dari usaha mu. Aku tahu kau sangat menyayangi keluargamu, tapi kau tidak mungkin membiarkan keadaan seperti ini terus berlangsung, bukan ?”
Suho memegang pundak So Hee, seolah ingin memberi semangat yang ia punya untuk gadis yang ia sukai itu. “kalau kau butuh sesuatu atau teman bercerita seperti tadi, kau tahu dimana aku.”
So Hee tersenyum tipis. Suho sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri, walau ia tahu sebenarnya Suho memiliki perasaan lain untuknya.
Suho menarik tangannya, lalu memandang langit sambil menjatuhkan diri di rumput. Jelas sekali jika ia merasa canggung dengan posisinya saat itu. Dia menyukai So Hee, namun bisa melihat adiknya dalam diri So Hee.
“oppa..”
“eung ?”
“aku tahu kau merindukannya..”
“terlihat jelas, ya ?”
“sangat jelas.”
Matahari sudah membenamkan setengah dirinya. Pemandangan yang indah, walau jujur saja So Hee lebih menyukai matahari terbit. Helaan napas So Hee terdengar, namun sesaat kemudian yang terlihat adalah seulas senyuman yang hangat.
“oppa, ayo kita kunjungi Joon Hee !”
~oOo~
I.N.T.U.I.T.I.O.N
~oOo~
a/n : Halo-halo Bandung ! *nah loh kok malah nyanyi ??* haha, oke. Seperti biasa cuap-cuap diakhir tuh kaya ritual wajib, hehe. So, ternyata chapter 6 bukanlah last chapter saudara-saudara~ soalnya pas udah diketik ternyata jadi kebanyakan kalo berakhir di chapter 6. Oh, iya.. author mohon maaf yang sebesar-besarnya soal update yang ke-la-ma-an *waduh, kenapa tuh ?* soalnya author bener-bener lagi sibuk sama yang namanya u-la-ngan, hehey. Oke, kali ini see you at Last Chapter yeorobun….
