Serendipity
by
Main Cast : EXO-M’s Kris Wu & SNSD’s Tiffany Hwang || Support Cast : SNSD’s Jessica Jung & 2PM’s Nichkhun Buck Horvejkul || Genre : Romance & Life || Rating : PG-15 || Length : Chaptered || Disclaimer : Inspired by “Serendipity” Movie (2001) - Marc Klein || Credit Poster : pearlshafirablue
“Two people who are meant to be together will have occurences happening around them, if they look out for those signs they will be together in the end.”
❤
“You don’t have to understand. You just have to faith.” – Tiffany
“Faith in what ?” – Kris
“Destiny..” – Tiffany
|| Previous : CHAPTER 1 || CHAPTER 2 ||
New York, USA – October, 21st 2013
TV di ruang tamu mengeluarkan bunyi sedari tadi mengabarkan berita-berita terbaru seputar perekonomian negara adikuasa itu. Pembawa berita yang sudah tak asing lagi di mata penduduk negara itu tampak memenuhi layar TV berukuran 42 inch dengan suara beratnya yang khas.
Begitu mendapati koran hari ini, seorang pemuda bertubuh jangkung tampak segera menarik sebuah kursi berwarna beige dan setelah berhasil mendudukinya ia membuka lipatan koran itu dan membacanya halaman per halaman seraya meneguk secangkir kopi hitam di hadapannya. Sepasang mata pemuda itu tampak dengan teliti membaca satu per satu kalimat yang tercetak rapi di koran itu hingga matanya berhasil menangkap sebuah nama tercetak dengan sempurna di sana yang membuatnya terpaksa harus kehilangan konsentrasi sesaat.
“Hey, it’s Tiffany. My name is Tiffany..” – Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya, wajah seorang gadis berambut merah dengan senyuman yang begitu manis muncul begitu saja di dalam ingatannya layaknya sebuah rekaman video yang diputar kembali.
“Kris…Kris, pakai saus bolognese atau saus apa?”, teriak seorang gadis dari arah dapur dengan celemek berwarna ungu yang masih menempel di tubuhnya dan sebuah sodet nylon di tangan kanannya.
“Kris!”, ulangnya – gadis itu terpaksa harus bergerak dari masakannya di dapur menuju tempat di mana sang pemilik nama masih terduduk dengan kondisi antara sadar atau tidak sadar.
“Apa kau tuli?!”, bentak gadis itu berhasil menyadarkan Kris dari lamunannya.
“Oo.. ada apa?”
“Mau pakai saus apa hari ini?”
“Oo, terserah saja.”
“Apa kau baik-baik saja?”
“Ya, tentu. Tadi aku hanya sedang memikirkan tentang undangan pertunangan kita. Kau tenang saja..”, bohong Kris.
Setelah memastikan kekasihnya benar-benar sudah meninggalkannya, Kris begitu nama pemuda itu segera melipat kembali koran yang tadi dibacanya dan beranjak dari kursi yang didudukinya menuju kamarnya. Berhasil mendapatkan Iphone-nya di meja dalam kamar, Kris dengan segera menghubungi Ben – teman baiknya yang juga merupakan rekan kerjanya di bar.
“Ben, apa kau sudah mencari buku itu?”
Beberapa menit kemudian akhirnya Kris memutuskan panggilan itu dengan raut wajah yang mungkin dapat diartikan sebagai sebuah rasa kekecewaan atau putus asa.
Belle berhasil menemukan buku dengan judul yang sama di perpustakaan dekat kantor percetakan Oddi tapi petugas di sana mengatakan buku itu telah dibeli dengan paksa oleh seorang gadis asing karena alasan si pembeli yang katanya si sangat menyentuh, akhirnya buku itu diperbolehkan dibeli juga.Tapi Kris, kau jangan berkecil hati dulu, belum tentu buku yang dibeli itu milik gadis yang kau maksud itu kan.
“Hey, Kris. Kau yakin dirimu baik-baik saja?”, lagi-lagi Kris harus dikejutkan oleh suara kekasihnya yang selalu muncul di waktu dan kondisi yang tidak tepat.
Entah sejak kapan pastinya gadis itu berada di dalam kamar Kris tapi bukan itu sebenarnya yang dikhawatirkan Kris melainkan apakah gadis itu berhasil mendengarkan pembicaraannya tadi? Atau mungkinkah gadis itu mulai menaruh rasa curiga terhadap kelakukan Kris?
“Aku tidak mau terjadi sesuatu denganmu, dengan kita di saat-saat seperti ini. Kau tahu itu kan?”, lanjut gadis itu dengan pelannya seraya memeluk Kris dari belakang.
“Sica..”, Kris melepaskan kedua tangan kekasihnya yang melingkar dengan sempurna di perutnya itu kemudian berbalik.
Kris tidak tahu apa yang harus dikatakannya saat ini, dia merasa sangat amat bersalah harus terus menerus membohongi Jessica – calon tunangannya, bersikap seakan-akan semuanya baik-baik saja dan tidak terjadi sesuatu pada dirinya.
Ia berusaha menghindari kontak mata dengan Jessica yang masih terdiam menunggu jawaban darinya. Beberapa detik mereka habiskan dengan hanya terdiam. Jessica – gadis itu merasakan ada yang tidak beres dengan kekasihnya namun ia lebih memilih untuk tidak mengetahui apa-apa dibanding harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus terluka akibat Kris – satu-satunya pemuda yang ia inginkan untuk selalu berada di sisinya. Perlahan Jessica mulai menggerakkan kedua tangannya menyentuh pipi pemuda di hadapannya itu, mendekatkan wajahnya dengan wajah Kris, semakin memperkecil jarak di antara mereka dan dalam hitungan detik akhirnya bibir mereka bertemu, Jessica mengecup bibir Kris singkat dan kemudian melepaskannya.
“Aku tunggu di meja makan.”, sebuah senyuman terukir di wajah Jessica sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar Kris.
Bepura-pura menganggap bahwa semuanya baik-baik saja – mungkin itulah yang dapat dilakukan Jessica saat ini. Jessica – Ia hanya tidak ingin kehilangan Kris, apapun itu akan dilakukannya demi seorang Kris.
—
Seoul, South Korea – October, 21st 2013
“Khun!”, teriak gadis yang baru saja keluar dari sebuah salon ternama di Seoul seraya melambai-lambaikan tangan kanannya.
Dengan kecepatan tinggi gadis itu berlari ke arah pemuda yang dipanggilnya tanpa memperdulikan lagi bagaimana tampilan rambut barunya yang baru saja selesai ditata itu.
“Bagaimana?”, tanyanya setelah berhasil berhadapan langsung dengan pemuda bernama lengkap Nichkhun Horvejkul itu seraya membetulkan rambut barunya itu.
“Tidak buruk.”, jawab Khun – begitu nama panggilannya kemudian membantu membetulkan rambut Tiffany yang sukses terlihat kacau akibat berlari itu walaupun tidak terlalu parah.
“Tidak bisakah sekali saja memberikan komentar yang terdengar lebih baik? Tidak buruk bukan berarti baik kan?”
“Aku mengatakan yang sejujurnya, memangnya kau mau aku berbohong?”
“Kau! Kenapa ada orang yang begitu menyebalkan di dunia ini? Oh Tuhan, berilah aku kesabaran dalam menghadapi orang ini.”
Pemuda itu hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah gadisnya yang terbilang berlebihan itu.
“Kau sendiri yang mengajariku untuk tidak mengatakan sebuah kebohongan, Tiffany-ssi.”
“Kali ini aku benar-benar menyesal harus kehilangan rambut merahku.”
“Kau kelihatan lebih baik dengan rambut hitam.”
Seketika Tiffany menjadi salah tingkah, pipinya menggambarkan betapa malunya ia harus dipuji oleh kekasihnya sendiri. Tiffany – Gadis itu selalu saja begini jika dipuji seorang lawan jenis apalagi jika orang itu adalah kekasihnya sendiri. Ekspresi yang begitu menggemaskan.
“Apa ku bilang? Lebih baik tidak memujimu jika kau harus berubah menjadi aneh begini.”
“YA!”
“Apa? Masih ingin menyangkal?”
“Aaaa! Aku bisa gila lama-lama di sini!”, pekik Tiffany frustasi seraya mengacak-ngacak rambutnya yang baru saja dibetulkan itu kemudian berjalan pergi meninggalkan Khun yang masih tersenyum geli di tempatnya.
“Ya! Tiffany Hwang ! Aku tunggu malam ini di tempat biasa jam 7.”
Tiffany masih menahan gengsinya untuk tidak berbalik dan mengiyakan permintaan Khun.
“Aku akan menunggu sampai kau datang.”, teriak Khun sekali lagi.
—
Kris berjalan seorang diri menyusuri jalanan kota New York, melewati beberapa tempat di mana dulu ia pernah mengukir kenangan manis bersama seorang gadis yang berhasil memenuhi pikirannya beberapa tahun terakhir ini. Kris melewati Hotel berbintang 4 dengan 26 lantai bernama The Waldore Astoria – tempat di mana terakhir kalinya ia melihat gadis itu, Gereja Cathedral of Saint John the Divine – tempat di mana gadis itu dulu pernah mengatakan bahwa ia akan menyerahkan sebuah buku karangan Gabriel García Márquez ke perpustakaan, semuanya dapat Kris ingat dengan baik, setiap gerak gerik gadis itu, setiap perkataan yang keluar dari mulut gadis itu, semuanya seperti baru terjadi di hari kemarin. Walaupun 3 tahun telah berlalu, walaupun keadaan sudah berbeda jauh dari 3 tahun yang lalu, Kris – Ia tidak akan pernah menyerah pada waktu yang terus berjalan.
Seorang berkulit hitam tampak sedang sibuk menawarkan buku-buku bekas yang dijualnya di depan gereja itu. Buku bekas – Ya, tentunya hal itu sangat menarik perhatian Kris yang kebetulan lewat. Ia berhenti tepat di depan buku-buku bekas yang terpajang rapi di atas sebuah meja dengan ukuran yang cukup panjang. Melihat buku-buku itu satu per satu dan benar saja, “LOVE IN THE TIME OF CHOLERA” muncul di tepat di hadapannya. Tanpa suatu keraguan Kris langsung meraihnya, memisahkan buku itu dari buku-buku lainnya dan kemudian membuka cover buku itu perlahan. Putih bersih, hanya itu yang berhasil tertangkap oleh kedua mata Kris. Ya, setelah cover buku itu terbuka halaman pertama buku itu tak lebih dari selembar kertas berwarna putih bersih tanpa ada setitik tinta pun yang menghiasinya.
Haruskah aku menyerah? – gumam Kris dalam hati.
—
Seorang wanita paruh baya tampak sedang duduk di sebuah sofa bermotif garis-garis di sebuah ruangan kerja dengan Tiffany di tepat di hadapannya.
“Jadi, apa yang anda rasakan selama ini?”, tanya Tiffany seraya menatap serius ke wanita paruh baya itu.
“Aku benar-benar tidak nyaman dengan kondisi di rumahku yang semakin memburuk.”, wanita paruh baya itu mengerutkan keningnya.
“Bisa anda jelaskan lebih rinci permasalahannya?”, lanjut Tiffany seraya mencatat beberapa poin penting yang disampaikan wanita paruh baya itu.
Tiffany tampak serius mendengarkan semua keluh kesah wanita paruh baya itu akan kondisi keluarganya. Ia memang harus menjadi pendengar yang baik karena itulah pekerjaannya – bekerja di sebuah Counseling Center di Seoul sejak 2 tahun yang lalu.
1 jam berlalu – Tiffany sesekali melirik jarum jam tangannya yang hampir menunjukkan angka 7.
“Baiklah, aku rasa cukup untuk hari ini. Semoga dapat bermanfaat bagimu. Terima kasih atas kunjungannya.”
Tiffany segera mengambil coat dan tasnya kemudian melesat keluar menuju parkiran. Entah apa yang ada dipikirannya, namun ia yakin Khun akan menyampaikan sesuatu yang penting malam ini. Khun – Ia tidak akan pernah mengajak Tiffany ke tempat itu jika tidak ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dikatakannya atau diperlihatkannya pada Tiffany. Tempat itu – Tempat yang sangat istimewa bagi Khun maupun Tiffany.
—
“Khun… Khun…”, panggil Tiffany pelan setelah memasuki sebuah rumah bergaya eropa yang tampak kurang terawat dan tidak mendapati sosok yang dicarinya.
Bibir Tiffany tertarik sendirinya membentuk sebuah senyuman saat dirinya melemparkan pandangan ke seluruh sisi ruang utama rumah itu.
Namaku Nichkhun, dan kau?
Tiffany.
.
.
.
Kau mau menjadi temanku?
Tentu saja.
.
.
.
Aku menyukaimu.
Khun.
Tiffany Hwang, maukah kau menjadi kekasihku?
Aku. Aku juga menyukaimu, Khun.
Tiffany tak bisa berhenti tersenyum mengingat semua kejadian yang pernah terjadi di rumah itu. Walaupun hanya sebuah rumah tua yang tidak terurus, namun rumah itu tetap berdiri kokoh di tengah-tengah bangunan-bangunan megah di sekitarnya dan yang terpenting, rumah itu terlalu banyak menyimpan kisah – menjadi saksi bisu antara dirinya dan Khun.
Dengan penerangan yang terbatas Tiffany cukup kesulitan menemukan pemuda itu. Satu per satu ruang kamar dibukanya, namun tidak juga menemukan sosok itu. Pada ruang kamar ke-3 yang dibukanya, sepasang cincin muncul begitu saja di hadapannya bagaikan sebuah benda yang baru saja jatuh dari langit. Cincin-cincin itu terikat bersama dengan sebuah kartu merah muda menggunakan benang merah.
Tiffany Hwang, maukah kau bertunangan denganku? – tertulis dengan rapi di sana.
Ini bukanlah sebuah lamaran yang romantis seperti di film-film, ini bukanlah tempat romantis yang digunakan para aktor di film-film itu untuk melamar kekasih mereka, tidak ada lilin-lilin, tidak ada steak, pasta atau wine yang tersaji di atas sebuah meja dan juga tidak ada bunga mawar atau hal lainnya. Ini hanya lamaran di sebuah rumah tua dengan penerangan yang terbatas di mana berbagai jenis serangga keluar masuk seenaknya bahkan makhluk halus bisa saja menjadi penghuni rumah ini namun Tiffany – gadis itu tidak merasa keadaan ini akan mengurangi rasa bahagia yang meluap-luap di dalam dirinya. Justru tempat itulah yang membuat semuanya terasa lebih istimewa.
Tak butuh lama bagi Tiffany menemukan sosok Nichkhun, begitu ia membalikkan badannya. Pemuda berkulit putih dengan rambut blonde yang sedari tadi dicarinya kini tepat berada dihadapannya.
“Khun.”
TBC
