Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

[FREELANCE] Intuition (Chapter 7-END)

$
0
0

Chapter 7

Intuition

Main Cast: Luhan (Exo-M) and OC || Support Cast: Sehun (Exo-K) and OC || Genre: Romance, Family, Life || Length: Multi Chapter || Rating: PG-15

= Summary =

Sebenarnya apa yang dia inginkan? Seenaknya saja datang dan pergi.

Ghivorhythm’s present

 

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Tiin. Tiiiinnn. Tiiiiinnnn.

Suara klakson yang tak sabaran itu terdengar menyebalkan. Bukan rahasia lagi kalau jalanan Seoul di jam pulang kantor seperti ini sangat macet. Lalu, mengapa orang-orang itu masih membunyikan klakson mobil mereka terus-menerus? Bukankah tak ada gunanya? Lagipula, bunyi klakson itu tak akan menyelesaikan masalah. Justru hanya akan menambah masalah dengan membuat mood orang lain berantakan karena mendengar suara klakson yang nyaring.

Sekali lagi So Hee hanya bisa menghela napas, ketika seorang pengemudi yang ada di samping mobilnya membunyikan klakson. Mengapa orang-orang ini tidak sabaran sekali, sih?

Jalanan yang padat merayap seperti ini. Tak ada yang bisa dilakukan selain bersabar. Hanya itu satu-satunya jalan yang akan menyelesaikan permasalahan ini. Sambil menahan emosi, So Hee melayangkan pandangannya ke luar jendela. Fokusnya menangkap seorang gadis yang sedang menjajakan bunga. Sepersekian detik kemudian, kupu-kupu kenangan berterbangan di kepala So Hee. Membuat otaknya kembali memutar kejadian yang direkamnya beberapa hari yang lalu.

Saat itu, Kim Joon-myeon, atau yang akrab disapa Suho, bersama dengan So Hee pergi mengunjungi Joon Hee di tempat peristirahatan terakhirnya. Suho yang membawa bunga kesukaan Joon Hee tampak sangat tenang. Ia kemudian meletakan boquet itu di samping nisan Joon Hee.

Dengan ragu-ragu So Hee mengintip Suho, yang kala itu mulai menitikan air mata. Perlahan, Suho mulai menceritakan berbagai hal yang ia lalui pada Joon Hee dengan ceria. Suho terus bercerita, seolah tahu bahwa Joon Hee merasa senang ketika mendengar semua celotehannya.

Senyuman yang melukiskan kesedihan terukir tipis di wajah So Hee. Hati gadis itu tersentuh melihat perlakuan Suho pada adiknya. Jauh di dalam lubuk hatinya, So Hee berharap Suho adalah kakaknya. Walau ia tahu bahwa Suho memiliki perasaan lain untuknya. Tapi, So Hee tidak ingin menjadi serakah. Dengan menjadi teman Suho saja, sudah membuatnya merasa senang.

Setiap perlakuan lembut dari Suho untuk So Hee, membuat gadis itu memiliki persepsi lain tentang Suho. Baginya, Suho adalah malaikat tak bersayap yang selalu memberi rasa aman dan membagi-bagikan pelajaran berharga untuknya.

Aman? Ya, Suho selalu membuat So Hee merasa nyaman dan aman ketika bersamanya. Tak pernah sedikit pun Suho memperlakukan So Hee dengan kasar ataupun dingin. Dan semua itu membuat So Hee merasa senang tiap kali bersama dokter ramah itu.

Menurut So Hee, selalu ada hal yang bisa diambil dari tiap kalimat dan sikap Suho. Semua itu adalah pelajaran yang sangat berharga bagi So Hee. Bahkan sama berharganya seperti pelajaran matematika dan biologi di sekolah.

Tiiinnnnnnn

Lagi-lagi suara klakson. So Hee yang telah kembali dari lamunannya, segera menginjak pedal gas dengan perlahan. Sepertinya ia belum bisa keluar dari kemacetan itu. Masih harus bersabar dan mendengar bunyi klakson yang tak kunjung henti. Kepalanya sedikit pusing, sepertinya karena terlambat makan siang.

Pandangan So Hee yang masih tertuju keluar jendela, mendapati seorang anak laki-laki bersama Ibu dan adiknya yang berada dalam gendongan sang ibu. Mereka sedang menikmati jajanan kaki lima, odheng. Anak laki-laki itu merengek, sepertinya ingin disuapi oleh ibunya. Tapi, sang ibu menolak, mungkin karena kerepotan menggendong adik anak laki-laki itu.

Sekali lagi So Hee melintasi taman kenangannya. Kala itu, ia dan Luhan sedang pergi jalan-jalan di sore hari. Ya, bisa dikatakan seperti kencan. Luhan bilang ia lapar, lalu mengajak So Hee makan odheng bersama. Tanpa mendengar jawaban So Hee terlebih dahulu, Luhan langsung menarik lengan So Hee. Mereka pun makan odheng. Namun, tentunya tak akan istimewa kalau Luhan tak menggoda So Hee, bukan?

Saat itu, Luhan merengek ingin disuapi So Hee. Namun, So Hee yang merasa malu dan canggung karena berada di tempat umum, menolaknya. Luhan yang tak mau kalah, tetap ngotot. Hingga akhirnya, So Hee pun menyerah. Odheng ikan yang ada di tangan So Hee pun mendarat mulus di mulut Luhan.

Ya, seperti itulah. Mengenang ingatan yang telah berlalu memang mudah. Seperti novel A la recherché du temps perdu karya Marcel Proust: kenangan dapat kembali hanya dengan melihat kepingan yang tersisa dari masa lalu.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Perjalanan dari tempat parkir menuju apartemen So Hee yang berada di lantai 3 terasa sangat panjang. Ya, mungkin ini efek samping dari rasa lelahnya. Tapi, efek samping itu akan segera hilang, mengingat kini So Hee sedang memasukan password untuk membuka pintu apartemennya.

Tiit. Terdengar suara merdu seperti menyapa. So Hee segera memasuki apartemennya, berharap bisa mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di tempat tidur. Namun, sepertinya So Hee masih harus menyimpan angan-angan itu.

Noona!!” seru So Hyun seraya menyerbu So Hee. Bocah laki-laki itu menghujani So Hee dengan pelukannya, sepertinya So Hyun sangat merindukan noona yang sudah lama tak dijumpainya itu. “Noona, banyak yang ingin aku ceritakan padamu..”

“Benarkah?” balas So Hee sambil berbisik di telinga So Hyun.

“Aku sudah punya pacar, lho.”

So Hee mengurai pelukannya, lalu menyipitkan matanya. “Lalu, bagaimana dengan noona-mu ini, huh?”

Noona ‘kan punya Luhan Ahjussi..” So Hee mendorong pelan pelipis So Hyun.

“Huh~ Berarti Noona punya saingan, dong?”

So Hyun menggeleng pelan, “Noona ‘kan selalu ada disini.” So Hyun menunjuk dadanya, membuat So Hee tersenyum malu melihat tingkahnya. “Jadi, Noona tak perlu khawatir!”

“Hm, baiklah.”

So Hee merasakan pergerakan lain, Eomma yang lama tak dijumpainya juga berada di apartemennya. So Hee segera bangkit, berdiri berhadapan dengan wanita paruh baya yang sangat disayanginya itu.

“So Hee..” Terdengar suara lembut yang sangat So Hee rindukan.

“Bagaimana keadaan Eomma? Baik-baik saja, kan?” tanya So Hee dengan riang, sebisa mungkin ia tersenyum walau hampir kehabisan tenaga dan kelelahan.

Wanita itu menghinggapkan tangannya di pipi So Hee, mengelusnya dengan lembut. “Maaf, aku terlalu egois hingga tak memikirkan mu.”

So Hee tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin itu. “Tak perlu merasa bersalah. Aku mengerti. Eomma juga membutuhkan waktu, bukan?”

Ibu So Hee tak bisa membendung air matanya lagi. Ia segera memeluk putrinya, menghujaninya dengan kasih sayang. “Aku menyayangimu. Lebih dari yang kau tahu.”

“Aku juga menyayangi Eomma.”

Memang klise. Tapi, kata ‘Maaf’ itu memang sangat ampuh, bukan?

So Hee merasakan getaran ponselnya yang berada di saku outwearnya. Ia pun mengurai pelukannya dan merogoh sakunya. Sehun.

Yeoboseyo?”

Ya! Lee So Hee, kemana saja kau? Kenapa baru sekarang mengangkat telponku, huh? SMS pun tak kau balas—”

 

“Maaf-maaf, aku sibuk. Jadi, tak sempat mengecek ponsel.”

“Sudahlah, lupakan tentang hal itu.”

 

“Hehe, maaf. Memangnya ada apa, sih?”

“Kau.. Apa tidak pergi ke airport?”

Airport?”

“Sudah kuduga. Jadi, bocah itu tidak memberitahumu?”

 

“Bocah..? Siapa yang kau maksud?”

“Ohh, baiklah. Kita langsung saja ke inti permasalahan. Jadi, Luhan akan pergi ke Paris.”

 

“Pa..ris?”

“Ya. Dia bilang, dia ditugaskan disana untuk sementara. Awalnya, aku tak percaya.. Dia ‘kan bukan seorang diplomat. Tapi, Luhan ‘kan selalu mendapat perlakuan emas dari atasan kami.. Tak heran jika permintaannya akan dikabulkan dengan mudah.”

 

So Hee terdiam, membeku. Sampai detik ini pun otaknya tak dapat mencerna apa yang baru saja didengarnya.

“Hei, So Hee?”

“Kapan..kapan keberangkatannya?”

“..malam ini.”

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Bentley itu merapat ke tepi jalan, membiarkan seorang yeoja turun dari bangku penumpang dan berlari masuk ke dalam bandara dengan tergesa-gesa. Berulang kali yeoja itu berusaha menelpon seseorang, namun tampaknya yang dituju tak kunjung mengangkat telponnya. Yeoja bermarga Lee itu tak menyerah, ia tetap mencoba menelpon orang itu—Xi Luhan—sembari mengedarkan pandangannya, mencari-cari obyek yang ia kenali sebagai Luhan.

“Luhan, kumohon.. Angkatlah!” gumam So Hee, lirih. Ia segera menuju pintu keberangkatan, berharap Luhan belum menaiki pesawat.

Tak ada yang lebih buruk dari hari ini. Bukan karena So Hee harus berlari-lari dengan heels dan dress, atau rambutnya yang akan berantakan karena tertiup angin saat berlari, tapi semua ini karena Luhan. Namja yang pergi begitu saja tanpa berpamitan padanya.

So Hee terus melangkahkan kakinya tanpa peduli dengan tatapan-tatapan aneh yang dilayangkan padanya, saat ini yang ada di otaknya hanya Xi Luhan. Namun, rasa ketidakpeduliannya itu malah menghambatnya. Rasa sakit di kaki yang ia abaikan membuat heels yang ia pakai marah.

“Ahh!” pekik So Hee kesakitan. Kini ia tak berlari lagi, melainkan duduk terjatuh dengan kaki terkilir. Ya, semua ini akibat ketidakpeduliannya.

“Kenapa disaat seperti ini?!” gerutu So Hee. Ia berusaha bangkit, namun itu sulit tanpa bantuan orang lain. Kakinya terus menolak karena pergelangannya terkilir. Namun, sekali lagi So Hee tak peduli.

“Kumohon.. Kali ini saja.” Air mata So Hee sudah menggenang. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.

“Apa kau tidak apa-apa?” Suara yang sepertinya tak asing lagi menyapa gendang telinga So Hee, ditambah uluran tangan yang ditangkap penglihatannya.

So Hee mendongak, ingin memastikan siapa orang itu. Dan betapa terkejutnya So Hee saat kedua maniknya berhasil mengenali orang itu sebagai, Luhan!

“Kau..” So Hee kehilangan kata-kata, padahal banyak sekali yang ingin ia ucapkan pada Luhan.

“Kakimu, apa tidak apa-apa?” tanya Luhan, khawatir. Luhan ingin memeriksa pergelangan kaki So Hee, namun gadis itu menolaknya.

“Apa maksudmu? Pergi tanpa memberitahuku.”

Luhan tak menjawab, malah kembali berusaha memeriksa keadaan pergelangan kaki So Hee.

“Jawab aku!” Air mata itu tak terbendung lagi. Luhan yang menyadarinya merasa bersalah. Tapi, apa yang bisa dia lakukan??

“Apa aku tak berarti apapun untukmu??”

Luhan berusaha menenangkan So Hee, namun gagal. Air mata itu malah mengalir semakin deras. Hal itu membuat mereka menjadi pusat perhatian.

“Hei, tenangkanlah dirimu.. Kau tidak lihat? Orang-orang memperhatikan kita saat ini.” bujuk Luhan. Tapi, So Hee tak mengindahkannya.

“Memangnya kenapa? Apa peduli mereka?!”

Luhan menghela napas, mencoba bersabar dan menenangkan diri. “Dengarkan aku..”

“Untuk apa aku mendengarkanmu? Dasar! Menyebalkan!” rutuk So Hee, ia kemudian menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

Luhan sudah kehabisan ide. Penglihatannya menangkap keberadaan ponsel So Hee, ia pun segera merebut ponsel itu dan menelpon seseorang.

“Sekarang apa?! Memakai ponselku untuk—”

“Jang Ahjussi, tunggu di pintu keluar.” pinta Luhan lalu menutup telpon. Ia kemudian mengembalikan ponsel So Hee dan menggendong gadis itu ala bridal style.

“Luhan! Turunkan aku!” perintah So Hee, ia tak mau sampai ada wartawan atau paparazzi yang mengambil foto mereka. Tapi, Luhan tak mendengarkan permintaan So Hee, ia terus berjalan menuju pintu keluar.

“Luhan!” So Hee terus menendang-nendang tak jelas, berharap Luhan akan menurunkannya saat itu. Namun, gagal. “Luhan, semua orang memperhatikan kita..”

“Memangnya kenapa? Mereka punya sepasang mata yang digunakan untuk melihat. Apa itu salah?” jawab Luhan, dingin. So Hee terdiam tak percaya. Luhan. Apa namja ini benar-benar Luhan??

Pada akhirnya So Hee menyerah, ia membiarkan Luhan menggendongnya hingga pintu keluar. Luhan pun menurunkan gadis itu ketika sudah sampai.

“Apa kakimu baik-baik saja?” tanya Luhan, sangat khawatir.

“Apa pedulimu?” jawab So Hee, ketus.

Luhan berdengus kecil, ia kemudian berlutut dihadapan So Hee. Mengecek keadaan pergelangan kaki yeoja-nya itu. Baru saja Luhan menyentuh sedikit, tapi So Hee sudah merintih kesakitan. “Sakit sekali, ya?” tanya Luhan sambil mendongakan kepalanya.

So Hee tak merespon, Luhan pun kembali berdiri menyejajarkan dirinya dengan So Hee. “Pergilah ke dokter..”

“Tidak mau.”

“Kau ini kenapa, sih?”

“Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu!”

Luhan menghela napas panjang, “Maaf.”

“Hanya maaf? Kau pikir aku ini apa, Xi Luhan??!”

“So Hee..”

“Kau menyebalkan!”

“So Hee..”

Bentley yang tadi So Hee tumpangi telah tiba, ia segera berjalan menuju mobilnya dengan susah payah. Namun, Luhan menahannya.

“Aku akan kembali.”

“Aku tak peduli!”

“Enam bulan lagi, kita—”

So Hee menghempaskan tangan Luhan. Menatapnya dengan tatapan tertajam yang bisa ia buat. “Aku tak peduli.” ulangnya, tegas.

“..ku harap kau menungguku.”

“Aku membencimu!”

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

So Hee terus berjalan menyusuri koridor lantai 6 dimana ruangannya berada. Matanya terus terfokus pada tulisan-tulisan yang terdapat dalam file yang sedang ia pelajari. Orang-orang yang berpapasan dengannya akan membungkuk tanda hormat padanya dan So Hee akan membalasnya dengan senyuman hangat.

“Jadwal hari ini sedikit padat, Presdir.” Pada akhirnya Sekretaris Hong buka suara, setelah beberapa menit meneliti agenda So Hee hari ini.

“Benarkah?” balas So Hee, datar. Ia sudah terbiasa dengan jadwal padat ataupun sangat padat. Tanggung jawabnya sebagai Presdir Tae San Group telah mengubahnya menjadi seperti itu.

“Biar kubacakan.”

Mereka memasuki lift menuju basement. Tak sedikit pun So Hee mengalihkan pandangannya dari sebuah proposal kerja sama Tae San dengan beberapa perusahaan lain yang ada di tangannya, Sekretaris Hong pun memulai membacakan agenda hari ini.

“Pertama, pagi ini. Pukul 9 kita akan bertemu dengan Tuan Ahn dari White, dia adalah salah satu investor kita untuk proyek baru di Incheon. Diperkirakan selesai pukul 10. Selanjutnya, rapat dengan Direktur Tae San Konstruksi. Lalu, melakukan pengawasan rutin di Tae San Departemen Store. Mungkin akan memakan waktu, diperkirakan selesai pukul 2 siang. Kemudian, anda memiliki janji spesial. Karena yang meminta bertemu adalah Presiden Korea Selatan.”

So Hee mengangkat wajahnya, memandang bayangan Sekretaris Hong dari pintu lift dengan sebelah alis yang sedikit terangkat, “Presiden?” ulangnya, berusaha meyakinkan apa yang baru saja didengarnya.

Sekretaris Hong mengangguk mantap, “Seperti yang anda dengar dan ketahui. Ternyata Presiden kita membaca berita-berita tentang anda di majalah-majalah bisnis, Presdir.”

So Hee kembali berkonsentrasi dengan proposal yang sedang dibacanya setelah mendapat penjelasan dari sekretarisnya itu, sedang Sekretaris Hong sendiri kembali membacakan agendanya.

“Setelah bertemu dengan Presiden anda bisa bersantai sebentar, mungkin anda bisa mandi dan mengganti pakaian anda untuk acara makan malam.” So Hee tampak tak tertarik dengan agenda terakhirnya.

“Anda memiliki janji makan malam dengan Tuan Kang dari Oh Seon Corporation, yang juga sahabat mendiang ayah Presdir. Tentu bersama keluarga anda juga.”

Pintu lift pun terbuka tepat setelah Sekretaris Hong menyelesaikan ucapannya. So Hee diikuti Sekretaris Hong pun berjalan keluar. Pemandangan yang tak asing menyambut mereka, para pegawai membungkuk dengan hormat.

“Presdir?” panggil Sekretaris Hong agak ragu.

“Ya?”

“Minggu depan anda akan pergi ke Paris,”

“Menghadiri fashion show dan bertemu dengan para perancang busana. Aku harus membujuk mereka untuk bergabung dengan Tae San, kan?”

Prediksi So Hee memang benar, tapi bukan itu yang dimaksud oleh Sekretaris Hong.

“Maksudku, apa anda tidak ingin bertemu dengan Luhan-ssi?”

Tiba-tiba saja So Hee menghentikan langkahnya, lalu membalikan tubuhnya menghadap Sekretaris Hong yang berdiri tepat di belakangnya. “Kita ada di kantor, Sekretaris Hong. Kurasa kau tahu tentang—”

“Memisahkan masalah pribadi dengan pekerjaan?”

“Tepat!”

So Hee kembali melanjutkan langkahnya dengan Sekretaris Hong yang terus berjalan mengikutinya dari belakang, berusaha menyamakan langkahnya dengan So Hee. Mereka sudah berada di pintu keluar, namun mobil yang akan mengantar So Hee belum muncul.

“So Hee-ah!” panggil Sekretaris Hong.

“Kita masih di lingkungan kantor, eonni.”

Tampaknya Sekretaris Hong mulai muak dengan sikap So Hee. Ia menghela napas sebelum akhirnya membuka mulut, “Apa kau memakai anesthetic?”

“Apa maksudmu?” balasnya, datar. So Hee mengedarkan bola matanya, mencari-cari mobil yang akan mengantarnya ke tempat pertemuan.

“Ternyata benar! Darah penuh perasaan yang mengalir di dalam pembuluh darahmu, yang terdapat di hatimu, sudah terkena anesthesia.”

So Hee menatap Sekretaris Hong. Namun, sesaat kemudian ia sudah melayangkan tatapannya sambil menghela napas. “Sejak kapan kau mulai menghubung-hubungkan hal seperti itu dengan perasaan, eonni? Itu bukan gayamu.”

“Lalu, ungkapan seperti apalagi yang harus kuberikan?”

“Sudahlah, langsung saja ke inti permasalahan.”

Sekali lagi Sekretaris Hong menghela napas, sepertinya ia sudah lelah melihat sikap So Hee yang seperti itu. “Kau sudah berubah So Hee..”

“Ya, kau benar.”

“Kau menyadarinya?”

So Hee berdengus kecil, “Kau tahu? Orang yang sukses adalah orang yang berani mengakui jika dirinya telah berubah.”

“Dan kau perlu tahu, aku benci ketika mendengar setiap ucapanmu yang selalu benar!”

“?”

“Kau selalu membuatku iri Lee So Hee. Tapi, tidak lagi. Karena aku hanya iri pada Lee So Hee yang dulu. Lee So Hee yang menikmati hidupnya, So Hee yang selalu ramah dan bersikap baik pada siapa pun, So Hee yang akan akan terus tersenyum walaupun dia gagal, So Hee yang selalu memiliki kalimat-kalimat emas yang—”

“Ayolah! Aku memang berubah, tapi tak sepenuhnya. Mungkin yang berubah dariku..hanya Tae San.”

“Kau benar! Tae San membuatmu berubah!”

So Hee hanya diam sambil menatap eonni-nya, menunggu hingga wanita itu melanjutkan ucapannya.

“Kau yang sekarang terlalu gila kerja. Ya, memang tak sepenuhnya buruk. Karena tanpa kerja kerasmu tak mungkin Tae San bisa berkembang sepesat ini. Kau yang membuat Tae San siap menjadi perusahaan nomor satu di Korea. Tapi, kau juga harus memikirkan dirimu.”

“Aku tak ingin menjadi orang yang egois dengan memikirkan diriku sendiri. Ribuan pegawai Tae San menggantungkan hidup mereka padaku, mana mungkin aku mengabaikan mereka?”

“Baiklah-baiklah. Kau benar, kau memang selalu benar dengan semua cara berpikirmu itu.Tapi, apa kau tidak merasa kehilangan sesuatu? Waktu-waktumu, kebahagianmu, masa mudamu, apa kau akan membuang semua itu? Aku tahu kau bisa menyeimbangkan tanggung jawabmu dengan hal-hal yang menjadi hakmu. Lalu, mengapa kau tak melakukannya?”

Hening. So Hee hanya diam, ia tak berani menatap langsung Sekretaris Hong. Ucapannya memang benar, selama ini ia terlalu gila kerja hingga lupa bagaimana caranya menikmati hidup.

“Kapan terakhir kali kau bermain dengan So Hyun? Kapan terakhir kali kau dan ibumu pergi belanja bersama? Kapan terakhir kali kau bersantai di hari liburmu??”

Baiklah, So Hee kehilangan kata-kata. Semua ucapan Sekretaris Hong terlalu kuat hingga ia tak dapat menemukan celah untuk melarikan diri.

Well, kau menang. Lalu, apa yang eonni inginkan sekarang?”

“Jika perkiraanku benar, semua ini berawal sejak 7 bulan yang lalu. Dimana Luhan meninggalkan Korea dan pergi ke Paris.”

“..lalu?”

“Kau masih menunggunya, bukan?”

Ya, itu benar. Hingga kini So Hee memang masih menunggu Luhan. Hari-harinya yang dipenuhi dengan pekerjaan ia lakukan hanya demi melupakan namja itu. Namun, kenyataannya So Hee tak dapat melupakan Luhan. Dan menunggu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.

 “Aku akan membuat jadwal kosong untukmu. Jadi, pergi dan temui dia. Selesaikan urusan kalian berdua. Lalu, hidup dengan bahagia. Aku tahu kau bisa melakukan itu So Hee. Kepentingan orang banyak dan kepentingan dirimu, kau bisa lakukan keduanya.”

Mobil yang akan mengantar So Hee pun datang, berhenti tepat di hadapannya dengan seorang sopir yang sudah membukakan pintu untuknya.

Sekretaris Hong tersenyum puas, “Kau tahu? Terkadang analgesics lebih baik dibanding anesthetic, Presdir.”

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Manusia hanya bisa memprediksi. Tak ada yang pasti di dunia ini. Semua bisa saja terjadi sepersekian detik kemudian. Namun, manusia menggunakan akalnya. Mereka memperkirakan setiap peluang yang mungkin terjadi. Dan biasanya perkiraan itu benar. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga, kalau perkiraan itu salah.

Saat itu, Luhan akan pergi makan siang di sebuah restoran yang tak jauh dari tempat dinasnya. Restoran yang menyajikan berbagai hidangan khas itali. Luhan mengambil tempat yang berada di pojok. Sebuah meja dengan 4 kursi kosong tepat di samping dinding berbahan kaca tembus pandang.

Setelah memesan, Luhan mengotak-atik ponselnya. Mencoba beberapa game baru yang mungkin akan menghiburnya. Hingga suara seorang wanita membuyarkan konsentrasinya.

“Luhan??”

Wajah Luhan terangkat, mencari-cari sosok wanita yang bicara dengan bahasa Korea sekaligus membuatnya kalah bermain game. Dan ternyata..

“Kau ingat aku? Jiyeon.”

Luhan menurunkan kaki kirinya, yang ia lipat di atas kaki kanannya. Matanya yang membulat, menguatkan bahwa dirinya cukup terkejut dengan kehadiran Jiyeon. Ya, dia itu Jiyeon. Salah satu sahabat So Hee. Tapi, tunggu! Kenapa dia bisa disini??

“Kau sendirian? Boleh aku duduk disini?”

Jiyeon menempati kursi kosong yang ada di hadapan Luhan. Luhan yang memang datang sendiri, terpaksa menerima Jiyeon yang meminta satu meja dengannya.

Pria itu tampak canggung, mengingat sikap Jiyeon di masa lalu padanya. Tanpa ragu-ragu Jiyeon melayangkan pertanyaan basa-basi pada Luhan, seperti ‘Apa kabar?’. Dan setelah itu pembicaraan pun mengalir. Mereka pun mulai bicara tentang kesibukan masing-masing. Ternyata Jiyeon berada di Paris karena harus menggantikan Ibunya untuk bertemu dengan salah satu klien.

“Oh, begitu.”

Tampaknya Luhan tak tertarik. Karena jujur saja, ia masih menyimpan sedikit rasa kesalnya pada Jiyeon yang waktu itu seenaknya menuduh kalau Luhan hanya bermain-main dengan So Hee.

Seiring berjalannya waktu, pembicaraan mereka semakin dalam. Hingga akhirnya sampai pada klimaks. Masalah So Hee.

“Apa kau masih mencintai So Hee?”

Pertanyaan yang tanpa ragu-ragu dilayangkan Jiyeon. Luhan yang hampir tersedak mendengar pertanyaanya, segera meraih gelas berisi air yang ada di samping piringnya. Ia kemudian hanya bisa berdeham.

“Kenapa? Tidak bisa menjawab?”

Ya. Kau benar, Jiyeon! Luhan tidak bisa menjawabnya. Setelah aksi pergi meninggalkan Korea dan menetap di Paris untuk beberapa bulan, sedikit sulit bagi Luhan untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini.

“Kalau masih, lamar dia.”

Luhan tertegun. Apa katanya? Lamar? batin Luhan. Jiyeon kembali melahap hidangannya, berusaha tak memperdulikan perubahan raut wajah Luhan.

“Eh, ngomong-ngomong kau berjanji akan pulang setelah 6 bulan, kan? Kalau dihitung-hitung ini hampir 7 bulan, lho! Apa kau tidak takut So Hee diambil pria lain?”

“Aku..” kata Luhan, menggantung. Jiyeon yang penasaran, segera memfokuskan diri pada Luhan. “..sudah berniat untuk melamarnya.”

Seolah sudah tahu apa yang akan terjadi, Jiyeon tampak tak terkejut. Ia justru tersenyum bahagia sambil menyapukan serbet ke bibirnya. Luhan hanya bisa menatap Jiyeon, seolah menunggunya mengatakan sesuatu.

“Kapan?” tanya Jiyeon.

“Entah. Aku belum menemukan waktu yang pas.” jawab Luhan. Sepertinya ia telah menemukan teman yang cocok untuk membicarakan masalah ini (Maklum saja, teman-temannya di Paris tak ada yang mengetahui hubungannya dengan Presdir Tae San Group itu).

Jiyeon mengerutkan dahinya, “Kau ini bagaimana, sih?! Payah sekali.”

Kenapa jadi dia yang repot?? Kalau belum menemukan waktu yang pas, ya, mau bagaimana lagi! batin Luhan.

“Kalau cincin, apa kau sudah membelinya?”

Luhan hanya menggeleng pelan. Sepertinya nafsu makannya mendadak hilang.

“Dasar, playboy! Tidak pernah serius, ya, kalau pacaran?? Begini saja, besok aku tak ada jadwal. Jadi, besok kita ke pusat perbelanjaan untuk beli cincin, bagaimana?”

Luhan yang mau melamar So Hee, kenapa jadi Jiyeon yang repot??

“Hei! Kau pikir aku ini pengangguran seperti dirimu? Pekerjaanku banyak tahu!”

Jiyeon menggerutu kesal, “Apa kau bilang? Pengangguran?? Kau tahu tidak!? Aku kesini ini karena pekerjaan! Masa kau bilang aku pengangguran?!”

Luhan tak menjawab, hanya berdengus saja. Sesaat kemudian raut wajahnya berubah. “Kau..jangan bilang dulu pada So Hee, ya?”

Sebuah anggukan menjadi janji antara Jiyeon dan Luhan. Pada akhirnya, mereka sepakat jika besok akan pergi bersama untuk mencari cincin. Tampaknya Jiyeon sangat antusias. Tapi, ini terasa ganjil bagi Luhan.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

“Ayo! Semangat, Presdir!”

Sekretaris Hong sedang menyemangati So Hee yang benar-benar malas untuk sekedar bergerak dari tempat tidurnya. So Hee masih menginginkan waktu untuk tidur, mengingat dirinya yang terjebak dengan pekerjaan yang hampir menenggelamkannya kemarin.

“Hari ini hanya pergi ke pusat perbelanjaan, kok. Setelah itu, Presdir, bisa tidur lagi.”

“Kalau eonni pergi sendiri, bisa, kan?”

Mengetahui jadwalnya hari ini yang tak begitu penting, membuatnya dengan mudah menyerahkan tugas itu pada Sekretaris Hong. Karena selama 2 hari So Hee berada di Paris, hampir tak ada waktu tidur untuknya.

“Mana bisa kalau aku sendiri? Presdir juga harus tahu keadaannya, kan?”

“Aaahh!” So Hee akhirnya bagun juga. Mendengar segala bujuk-rayu Sekretaris Hong, membuatnya tak bisa tidur walaupun kelopak matanya hampir mengatup.

“Nah, begitu dong! Itu baru namanya—”

“Kalau eonni buka mulut lagi, eonni berakhir di divisi keamanan!” ancam So Hee seraya berjalan menuju kamar mandi.

“Divisi keamanan?”

So Hee menoleh. Sambil menyipitkan matanya yang terlihat sangat sayu ia berkata, “Sebagai satpam!”

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Hari itu, So Hee yang baru menikmati waktu tidurnya—yang kurang dari 3 jam—tampak sangat mengantuk. Walau sebisa mungkin ia berusaha untuk tetap terlihat fresh, tapi tetap saja, kantung mata di wajahnya tak bisa hilang walau sudah menggunakan sendok yang dimasukan ke freezer.

Bersama beberapa pengelola pusat perbelanjaan dan tentunya Sekretaris Hong, mereka berkeliling dan melihat kondisi disana. Fasilitasnya terlihat sangat baik, selain itu kebersihan juga sangat terjaga.

Mulai dari bagian pakaian wanita hingga pakaian pria, lalu pakaian anak-anak, sepatu dan tas, dan kini mereka sedang berada di bagian perhiasan. Pihak pengelola menjelaskan tentang keamanan disana. Dan So Hee mendengarkannya dengan baik.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Di hari yang sama, Luhan dan Jiyeon pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka sedang mengincar sebuah cincin yang paling indah untuk Luhan berikan pada So Hee. Saat itu, Luhan hanya mengikuti kemana Jiyeon pergi. Mengekorinya seperti bodyguard.

Hingga pada akhirnya Jiyeon berhenti di sebuah toko dan menunjuk sebuah cincin bertahtakan berlian yang tampak sangat mengkilap. Tanpa basa-basi, Luhan segera masuk ke toko itu—tentunya ditemani Jiyeon.

Postur tubuh Jiyeon yang tak jauh berbeda dengan So Hee—walau kepribadian mereka sangat berbeda—memudahkan Luhan memprediksi ukuran jari So Hee. Dan lagi-lagi, manusia memang hanya bisa memprediksi!

“Jiyeon..? Luhan?”

Aku yakin, kalian telah menebak milik siapa suara itu. Yap! Suara itu milik So Hee. Luhan—yang saat itu membelakangi So Hee—menoleh, lalu membalikan tubuhnya. So Hee yang muncul dengan sangat tiba-tiba, terasa seperti tidak nyata bagi Luhan. Ia masih tak percaya jika sosok yang ada di hadapannya saat itu adalah So Hee.

Dengan gugup dan terbata-bata Jiyeon menyapa So Hee. Namun, walau begitu, tatapan So Hee terus tertuju pada Luhan. Sedang apa mereka berdua di toko perhiasaan? Lalu, cincin-cincin itu. Apa mereka bermaksud membelinya? Pertanyaan-pertanyaan itu perlahan memenuhi benak So Hee, hingga salah satu pengelola pusat perbelanjaan menyadarkannya.

Dengan bahasa Prancis yang fasih, So Hee berkata kalau ia hanya menyapa teman. Lalu, sambil tersenyum tipis So Hee meninggalkan mereka. Luhan yang tampak kebingungan, semakin gelisah. Hatinya mulai merasa ketakutan. Bagaimana kalau So Hee mengartikan yang tidak-tidak? Bagaimana kalau ia salah paham?

Tanpa memperdulikan Jiyeon dan cincin-cincin indah itu, Luhan segera berlari meninggalkan toko. Mengejar So Hee yang ternyata telah menghilang bersama para pengelola pusat perbelanjaan itu (Kemana hilangnya Sekretaris Hong?).

Namun, tak semudah itu Luhan menyerah. Ia segera menghubungi Sekretaris Hong, bermaksud bertanya dimana mereka sekarang. Tapi, sia-sia. Telponnya disambungkan ke mail-box.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Tumpukan pekerjaan, membujuk para designer, menghadiri acara-acara, mempromosikan produk Tae San Textile, hingga kurang tidur. Semua itu sudah cukup untuk membuat wajah serta pikiran So Hee kusut. Lalu, sekarang? Pertemuan singkatnya yang tak disengaja dengan Jiyeon dan Luhan membuatnya semakin bertanya-tanya.

Walau hanya sekilas, tapi ia yakin betul kalau Jiyeon sedang mencoba beberapa cincin di toko perhiasan tadi. Tapi, mengapa ada Luhan? Apa mereka tak sengaja bertemu? So Hee membuang perkiraan terakhirnya, karena sepengetahuannya, Luhan adalah tipe pria yang cukup malas untuk sekedar berbelanja—apalagi ke toko perhiasan seperti itu. Tapi, kalau Luhan memang menemani Jiyeon. Aneh juga.

Hah, hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat rambut So Hee semakin kusut. Lebih baik ia segera pergi ke kamar mandi dan gosok gigi lalu tidur. Namun, tiba-tiba Sekretaris Hong masuk ke kamarnya—tanpa ketuk pintu terlebih dahulu.

Dengan ekspresi panik Sekretaris Hong berkata, “Di luar ada Luhan-ssi!”

Sekretaris Hong memang sudah mengetahui tentang pertemuan tak disengaja So Hee dengan Luhan dan Jiyeon. Jadi, wajar kalau ia terlihat panik seperti itu. Apalagi mereka belum mengetahui alasan sampai Jiyeon dan Luhan berada di toko perhiasan dan membeli cincin.

“Dia ingin bertemu denganmu!” kata Sekretaris Hong dengan informal.

Sebenarnya So Hee sudah menduganya. Kalau memang tak ada apapun di antara Luhan dan Jiyeon, pasti Luhan akan datang dan menjelaskan semuanya. Sejak beberapa jam terakhir pun missed call dari Luhan sudah menumpuk, karena tak ada satu pun telpon dari Luhan yang So Hee angkat.

So Hee bisa saja pergi dan menemui Luhan. Tapi, telpon yang ia dapat dari Sehun membuatnya mengurungkan niat. Ia berpikir kalau Luhan dan Jiyeon benar-benar memiliki hubungan yang tak ia ketahui. Bahkan lebih lagi. Hipotesis So Hee sudah sampai pada titik, kalau Luhan pergi meninggalkannya ke Paris hanya demi Jiyeon.

Maka malam itu, So Hee tak menemui Luhan.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Keesokan harinya, So Hee bangun dengan wajah kurang tidur. Semalam ia tak bisa tidur walau hampir setengah dari pekerjaannya sudah terselesaikan. Kabar mengejutkan kembali menyapa gendang telinganya. Semalaman Luhan menunggu So Hee di luar!

So Hee tak mengira aksi nekat Luhan. Dalam pikirannya, walaupun itu adalah dorongan perasaan tapi tentu seharusnya didukung oleh akal sehat. Dan yang dilakukan Luhan kali ini benar-benar di luar akal sehat!

So Hee hampir berlari keluar tanpa alas kaki, namun ketika penglihatannya mendapati Jiyeon yang sedang membujuk Luhan untuk pergi, membuatnya mengurungkan niat. Ia segera berbalik arah dan memutuskan untuk mandi dan menyegarkan pikiran.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Malam telah datang. Dan yang tak pernah So Hee duga adalah Luhan tetap disana. Pria setengah waras itu bisa benar-benar tidak waras kalau sampai So Hee tak menemuinya. Sepertinya Luhan mendapat telpon dari Sehun beberapa jam yang lalu, dan itu membuatnya semakin menguatkan hati untuk tetap menunggu So Hee di luar rumahnya.

Tunggu! Jangan-jangan Si Oh Sehun itu mau mencoba mengadu-domba lagi??

Di dalam rumah, So Hee merasa bimbang. Ia ingin keluar, berlari memeluk Luhan yang wajahnya tampak pucat pasi. Tapi, disisi lain, ia takut. Ia takut kalau ia harus menerima kenyataan kalau Luhan datang dan menunggunya di luar hanya untuk minta maaf dan mengungkapan seluruh perasaanya yang sejujurnya. Perasaannya pada Jiyeon. Bukan pada So Hee.

Hingga So Hee hanya bisa berpuas diri dengan melihat Luhan dari balik jendela kamarnya. Sekretaris Hong pun masuk.

“Ini sudah hampir tengah malam, Presdir.”

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Seolah tak ada harapan yang tersisa untuknya. Luhan menghela napas panjang. Hampir 1 hari 2 malam ia habiskan hanya untuk menunggu So Hee di luar rumahnya. Menunggu sesuatu yang tak pasti akan datang atau tidak. Tapi, sekali lagi. Manusia hanya bisa memprediksi, bukan??

Luhan melirik jam tangannya. 23:59. Sepertinya So Hee benar-benar tak akan keluar dan menemuinya. Sepertinya dugaanya kalau So Hee salah paham itu benar.

Saat itu Luhan berjongkok. Menjambak rambutnya frustasi. Menyalahkan dirinya akan kebodohan yang ia lakukan. Hingga..

Saengil chukkahamnida.. Saengil chukkahamnida..

Luhan mendongakan kepalanya. Bagai mimpi, kini Jiyeon, Sehun, Sekretaris Hong, lalu Sena, juga So Hyun sedang menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ untuknya. Luhan yang tak tahu menahu, segera bangkit. Maniknya terus beredar, seperti sedang mencari-cari sesuatu.

“Apa yang kau cari, sih?” tanya Sehun, menggoda. Luhan tak menghiraukannya. Ia berharap kalau dalam gerombolan itu terdapat pencuri hatinya.

“Bagaimana ini? Pria ini terlalu agresif!” kata Sehun pada Jiyeon dengan raut yang dibuat-buat. Jiyeon hanya mengangkat bahunya. Dan Sehun pun memberi jalan pada seseorang yang sedaritadi bersembunyi di belakangnya. So Hee.

Sambil tersenyum So Hee keluar dari persembunyiannya. Berniat untuk mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ pada Luhan. Namun, baru satu suku kata yang keluar, Luhan sudah menyergapnya. Memeluknya dengan erat seolah tak mau kehilangan lagi.

Semua orang berdeham lalu memalingkan wajahnya, seolah memberi waktu bagi mereka berdua. So Hee yang merasa malu, berbisik pada Luhan, “Hei.. Lepaskan aku!”

“Tidak!”

“Apa?!” So Hee masih berbisik, walau Luhan menjawabnya tanpa berbisik.

“Aku bilang tidak, ya, tidak!”

Menyadari tak ada yang bisa dilakukan, So Hee hanya pasrah mendapati dirinya tak bisa keluar dari pelukan Luhan. Hingga pada akhirnya ia membalas pelukkannya. “Selamat ulang tahun, ya?” kata So Hee, lembut.

Di luar dugaan, Luhan mengurai pelukannya. Tahu begini, sudah sejak tadi So Hee menyelamatinya.

“Jangan salah paham! Aku dan Jiyeon—”

“Ssst..” So Hee menginterupsi seraya tersenyum, “kau tidak mengerti, ya? Kau ini sedang dikerjai.”

Luhan membelalakan matanya. Sedaritadi, ia tak mencerna apa yang terjadi. Yang ia pikirkan hanya So Hee. Hanya gadis itu.

“Buat keinginan, lalu tiup lilin-lilin itu!” kata So Hee sambil melirik ke arah kue tart yang dibawa So Hyun.

Masih menggenggam tangan So Hee, Luhan mengucapkan harapannya dalam hati, lalu meniup lilin-lilin itu. Tepuk tangan pun terdengar.

“Wah, Ahjussi semakin tua saja, ya?” Oke, itu pasti So Hyun. Kalian masih ingat, kan, soal panggilan So Hyun untuk Luhan??

Luhan menyunggingkan bibirnya, “Iya! Aku semakin tua. Kenapa?”

Tawa pun pecah. Ternyata prediksi Luhan salah! Ini semua hanya ulah teman-temannya yang berniat mengerjainya. Setelah puluhan ledekan untuk Luhan terlontar, mereka memutuskan untuk masuk ke rumah So Hee. Saatnya pesta!!

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

“Apa?”

Tampaknya Luhan cukup terkejut mendengar penuturan teman-temannya. Semua ini benar-benar dipersiapkan dengan matang!

“Ya, begitulah. Ini memang ideku, Sehun, dan..” Jiyeon menggantungkan kalimatnya, melirik ke arah Sekretaris Hong yang duduk di sofa terpisah.

Luhan mengikuti arah bola mata Jiyeon, begitupula So Hee yang duduk di samping Luhan dengan tangan kiri yang bertaut dengan tangan kanan Luhan. Sekretaris Hong hanya tersenyum simpul, lalu berkata, “Dan aku. Ya, aku ada dalam rencana ini.”

“Tapi,” tambah Sekretaris Hong dengan penekanan nada, “..aku tak pernah menyesal melakukan ini. Jika, Anda berpikir untuk memecatku, Presidir, maka pecatlah aku.”

So Hee yang merasa diajak bicara, hanya menarik sudut bibirnya. Sedang yang lain seperti menunggu jawabannya.

“Jangan terlalu pesimis!” kata So Hee seraya bangkit dari sofa, “mungkin saja aku akan menambah gajimu..”

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Malam hingga dini hari mereka habiskan untuk mengobrol bersama dan mengadakan acara barbecue di halaman belakang. Langit yang tampak cerah seolah mendukung kegiatan outdoor mereka. Selain makan-makan ditemani api unggun, mereka juga bermain beberapa permainan.

Makanan sudah hampir habis. So Hee pun memutuskan untuk memanggang beberapa daging dan jagung lagi. Ditemani So Hyun—yang tidak mungkin ikut bermain Go Stop—mereka mulai memanggang di dekat kolam renang, aroma daging yang khas pun menguar. Benar-benar mengundang selera makan!

Kehabisan saus, So Hee pun meminta So Hyun untuk mengambilkan di dapur. Anak penurut itu pun pergi meninggalkan So Hee yang larut dalam aktivitasnya. Walau begitu, ia masih bisa mendengar langkah kaki yang mendekat.

“Kau sudah ambil sausnya, So Hyun?” tanya So Hee tanpa menoleh. Ia terlalu sibuk dengan daging dan jagung itu.

Namun, memang manusia hanya bisa menduga. Langkah kaki itu bukan milik So Hyun, melainkan Luhan!

Tak mendapat respon, So Hee pun menoleh. Betapa terkejut dirinya saat mendapati sosok yang ada di hadapannya kini bukanlah So Hyun sang adik. Merasakan kecanggunggan, So Hee pun mencairkan suasana dengan berkata, “Maaf, kukira kau So Hyun.”

“Mau kubantu?” Tanpa menunggu jawaban So Hee, Luhan segera mengambil capit yang ada di tangan So Hee. Dengan telaten ia membalik daging-daging itu, lalu mengoleskan mentega ke jagung.

“Bergabunglah dengan yang lain! Hari ini, kan, ulang tahunmu! Masa kau malah sibuk memasak, sih?” bujuk So Hee, lembut. Tak lama, So Hyun pun datang dengan membawa sebotol saus dalam genggamannya.

Noona, aku ngantuk.” rengek So Hyun sambil mengucek matanya. So Hee tersenyum, lalu sedikit membungkukan tubuhnya untuk menyejajarkan diri dengan So Hyun. Ia lalu mengelus-elus lembut pucuk kepala So Hyun.

“Mau tidur di kamar Noona?”

“Duh, manjanya..” ledek Luhan sambil mengerling jahil ke arah So Hyun. Akhirnya, keadaan kembali seperti dulu. Dimana Luhan sering menjahili So Hyun.

“Aku tidak manja!” sahut So Hyun sambil mengerucutkan bibirnya, tak terima dengan ucapan Luhan. Dan lagi-lagi So Hee hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka.

“Hihi, sudah. Ayo, Noona antar..” sela So Hee sambil menggiring So Hyun. Alhasil, Luhan pun terjebak sendirian bersama daging dan jagung.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

“Dagingnya sudah matang?”

Pertanyaan itulah yang pertama kali terpikir olehku. Melihat Luhan yang sedang duduk sendirian sambil memandangi kolam renang terasa ganjil bagiku (Bukankah tadi dia sedang memanggang daging dan jagung??). Luhan yang mendengar pertanyaanku, segera menoleh. Sambil tersenyum ia mengangkat piring berisi potongan daging yang sudah ia panggang.

“Kenapa tidak bergabung dengan yang lain?” Sambil menghampirinya aku berkata seperti itu. Ia menepuk-nepuk tempat di sampingnya, seolah ingin aku duduk disana.

“Aku menunggumu.” katanya setelah aku duduk.

“Dasar! Jadi kau sudah mengambil bagianmu terlebih dahulu??” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya. Sebenarnya, sih, mau menghindar.

Luhan hanya tersenyum tipis, lalu menjatuhkan pandangannya di kolam renang. Aku pun meraih sumpit, lalu mengambil potongan daging itu dan perlahan menyuapkannya ke mulutku.

“Sudah tidak marah?” tanya Luhan padaku. Kedua tangannya bertopang di belakang tubuhnya.

Tanpa memberi jeda yang terlalu lama, aku hanya menjawab, “Menurutmu?”.  Aku kembali melahap daging-daging itu, berusaha menghindari pertanyaan. Walau tak terlihat jelas, tapi aku tahu kalau saat ini Luhan sedang tersenyum.

“Kau tahu, kan?” tanya Luhan, menggantung. Aku hanya menggeleng sambil tetap menyuapkan daging-daging itu dan mencernanya dengan baik. Memang kenyataannya aku tidak tahu apa yang dimaksudnya, kan?

“..kalau aku akan melamarmu.”

 

APA?

“Uhuk.” Aku tersedak! Luhan yang tampak panik segera berlari ke dapur untuk mengambilkanku air. Aku menyambut baik segelas air yang ia berikan padaku. Tanpa pikir panjang, aku segera meneguknya. Fiuh~

“Kau tidak apa-apa?” tanya Luhan. Aku hanya mengangguk sambil menaruh gelas itu di kursi bundar yang Luhan jadikan meja untuk kami. Aku tak memiliki keberanian untuk menatapnya.

“Sepertinya kau terkejut sekali?” tanyanya. Aku yang kebingungan, berusaha membelokkan pembicaraan.

“Oh, iya! Aku, kan, belum memberimu hadiah ulang tahun. Kau mau apa?”

Luhan tampak berpikir sejenak, lalu menjawab, “Cukup katakan ‘Ya’ ketika aku bertanya padamu.”

 

Permintaan macam apa itu??

“Kau yakin?” tanyaku. Luhan mengangguk pasti. Aku pun memicingkan mataku, seraya berkata “Kau pasti akan bertanya yang aneh-aneh padaku. Seperti..”

“Seperti apa?”

“Seperti.. ‘Apa aku tampan?’ atau ‘Aku namja terkeren, kan?’ dan dengan pasrahnya aku harus menjawab ‘Ya’.”

Luhan terkekeh geli sambil mengalihkan pandangannya dariku. “Bukan itu, kok, yang mau aku tanyakan.”

“Lalu, apa? Kau itu, kan, pria dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Kalau bukan bertanya hal-hal seperti itu, apalagi yang mungkin kau tanyakan?”

Maniknya segera beralih padaku. Sudah lama aku tak menatapnya tepat di mata. Merasa tak bisa mengendalikan diri, aku pun membuang tatapanku darinya.

“Aku hanya ingin bertanya satu hal..” Ucapannya membuatku tertarik. Aku melirik ke arahnya. Dengan pandangan kami yang saling bertemu lagi, dia melanjutkan kalimatnya, “Maukah kau menikah denganku?”

Deg

Luhan baru saja memintaku untuk menikah dengannya? Apa tidak salah? Ini bukan mimpi, kan? Oh, bagaimana ini?? Aku belum siap untuk situasi seperti ini!

“..daging buatanmu enak sekali! Lain kali buatkan untukku, ya?” kataku, sedikit gugup. Aku berusaha menghindar dengan mengalihkan pembicaraan. Tapi, tampaknya tak berhasil. Buktinya Luhan masih memandangiku—yang kembali menyuapkan daging ke mulut—dengan tatapan serius.

“Aku akan membuatkannya untukmu,” Bagus! Aku berhasil mengalihkan pembicaraan! “..tapi, kalau kau mau jadi milikku.”

Sial! Sudah tidak bisa menghindar lagi. Baiklah, kau harus menghadapinya Lee So Hee!

“Jadi.., apa yang kau inginkan?” tanyaku sambil menaruh sumpit.

“Jawaban.”

Perlahan aku bangkit, membuatku lebih tinggi daripada Luhan. Ia mendongakkan kepalanya agar tak memutus pandangan kami.

“Sekalipun kau jawab ‘Tidak’ aku akan tetap memaksamu menjawab ‘Ya’.”

Aku mengerutkan dahiku. Lengkap dengan mata yang menyipit aku berkata, “Tak perlu memaksaku! Lagipula kau sudah melakukannya, bukan? Kau juga sudah tahu jawabannya.”

Ia pun bangkit, membuatku kembali lebih pendek darinya. “Tapi, aku ingin mendengarnya dari mulutmu.” pintanya dengan raut wajah yang dibuat-buat, bibirnya sengaja dikerucutkan.

Aku hanya diam. Hingga Luhan mendekatkan wajahnya padaku, “Maukah kau menikah denganku?” tanyanya. Perlahan aku mengangguk dengan tatapan yang jatuh pada lapisan tanah di bawah.

“Mau jadi istri Xi Luhan, kan?” tanyanya lagi sambil memegang kedua bahuku. Dia ini kenapa, sih? Satu jawaban saja kurang, apa?

Dengan suara pelan yang hampir tak terdengar aku menjawab, “Ya.”

Senyum penuh kepuasan terlukis di wajahnya—aku tahu suara kecilku itu pasti bisa terdengar olehnya. Ia yang menarik wajahnya dariku, mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Aku hampir lupa..” katanya. Ia kemudian berlutut di hadapanku. Dia membuka kotak kecil berwarna hitam itu. Di dalamnya terdapat cincin bertahtakan berlian. Luhan lalu meraih tanganku.

“Katanya kau playboy. Masa hal seperti ini saja bisa lupa?” komentarku. Walau terdengar seperti gerutuan, tapi di dalam hati aku sangat senang.

Luhan mendongakkan kepalanya, “Karena di hadapanmu, aku tidak bisa menjadi seorang playboy.”

Pipiku merona—aku yakin itu. Seulas senyuman terlihat, dan Luhan pun melingkarkan cincin itu di jari manisku. Sesaat ia memandangi jariku yang kini telah berhias cincin darinya. Ia kemudian bangkit, berdiri sambil tersenyum lebar padaku.

“Kau kenapa, sih? Senyummu itu bisa membuatku berhenti bernapas, tahu!”

“Kalau begitu, berhenti saja! Aku akan menolongmu, kok, dengan memberi napas buatan.”

Aku diam tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Dasar! Xi Luhan!

Dia terkekeh, “Aku bahagia. Makanya tersenyum!” katanya.

Aku tidak bisa menutupi kebahagian di hatiku. Melihat Luhan yang tak kunjung mengalihkan pandangannya dariku membuatku semakin tersipu. Sambil menahan senyuman, aku membuang tatapan darinya.

“Memangnya kau tidak bahagia?” tanyanya.

“Hm, bagaimana ya?”

“Jangan-jangan karena aku memaksamu?” Tampaknya Luhan sedikit khawatir.

“…”

“Hei?”

“…”

“Apa menikah denganku bukan kata hatimu?”

Aku menghela napas sambil mengerling nakal. Luhan pun tersenyum, aku yakin dia mengerti maksudku. Tanpa basa-basi dia langsung merengkuhku, menggiringku masuk ke dalam pelukkannya.

Luhan meletakkan dagunya di bahuku, bisa kurasakan senyumannya. Lalu kini, hembusan napasnya di lekukkan leherku. “Luhan.. Lepaskan..” rengekku.

“Tidak.”

“Tapi, geli.. Cepat lepaskan!”

“Tidak akan.”

“Kalau begitu berhenti bernapas di leherku!”

“Apa?”

“Itu membuatku geli.”

Aku bisa mendengar kekehan Luhan. Sebenarnya bukan karena rasa geli, tapi karena tiap sentuhan Luhan di kulitku terasa seperti sengatan listrik yang menuju ke jantungku. Duh, jantung.. Bertahanlah! Maaf, kau harus bekerja keras.

“So Hee?”

“Apa?” Kini aku lebih tenang, lebih tepatnya kelelahan karena Luhan tak mau melepaskanku.

“Boleh aku minta satu hal lagi?”

“Hah, mau bagaimana lagi? Ini begitu mengenaskan. Dengan pasrah aku harus menjawab ‘Ya’.” Luhan mengurai pelukkannya, seraya tersenyum padaku.

“Kau harus mengingat hadiah ulang tahun dariku, ya? Walaupun hanya kata ‘Ya’ tapi itu sama saja dengan kau memintaku untuk melakukan segala hal yang kau inginkan.” tambahku.

“Tentu saja.” katanya sambil tersenyum.

Aku hanya diam. Pasrah pada keadaan.

“Permintaanku tidak sulit, kok.”

Lagi-lagi aku hanya diam.

“Bahkan lebih mudah daripada menjawab ‘Ya’.”

Aku sedikit penasaran. Sebenarnya apa yang akan Luhan minta?

“Cukup diam, dan nikmati. Selama 5 menit, saja..”

“Sebenarnya apa yang kau minta, sih?”

Luhan menyeringai.

“Dia mau menciummu So Hee.”

Itu.. Suara Sehun.

Kami menoleh. Dan mendapati Sehun yang sedang asyik mengabadikan momen kami dengan handycam yang ada di tangannya. Menyadari artis dalam filmnya berhenti bermain, Sehun pun hanya bisa berkata “Opss.”

Sehun mengangkat wajahnya dari layar handycam, kini maniknya melirik ke arahku dan Luhan. Perlahan ia melangkah mundur. Luhan yang tadinya menggenggam tanganku, segera melepasnya, dan berjalan mendekati Sehun.

“Sejak kapan kau disitu??” tanya Luhan dengan sebelah alis yang terangkat naik.

“A..a..aku..belum lama, kok.”

Sehun segera membalikkan tubuhnya dan bersiap untuk mengambil langkah seribu. Namun, pintu geser berbahan kaca yang menjadi pintu masuk ke rumah dari halaman belakang telah ditutup oleh Jiyeon dan Sena—Sekretaris Hong juga ada di dalam.

“Hei! Hei! Kalian tidak bisa begini padaku!” Sehun terus meronta-ronta di depan pintu, sedang Jiyeon dan Sena malah tertawa di atas penderitaan orang lain—dasar! Mereka itu. Namun, Luhan yang semakin mendekat membuat Sehun memutuskan berlari ke sisi lain. Tak tinggal diam, Luhan pun mengejar Sehun. Terjadilah kejar-kejaran. Dan begitulah pesta ulang tahun Luhan berakhir..

Akhir yang bahagia, bukan? Hanya dengan mengikuti kata hati, kalian bisa bahagia. Tapi, perlu diingat. Kalau setiap dorongan perasaan seharusnya didukung oleh akal sehat.

 

END

 

 

A/N: Huaaaaa T.T Aku ga percaya kalo ‘Intuition’ udahan..huhu.. Padahal tadinya aku mau nyelipin bonus story, tapi ga jadi deh. Duhh, padahal udh dibikin tuh /lirik draft/  /kicked/

Gimana nih? Pada suka ga sama ending-nya?? Kasih tau aku dong, bagian mana yang paling kalian suka?? >.<

 Kalo aku, sih, paling suka yang pas Luhan bilang: “Karena di hadapanmu aku tidak bisa menjadi seorang playboy.”  Duhhh abang Luhan yahhhh, gombal!

Oke-oke, terakhir.. Makasih buat semua dukungannya ^.^ Comment sangat ditunggu lho.. Kalo emg pada mau liat ‘bonus story’ yang udh aku bikin kaya apa, tinggalin comment kalian ya~ Huhu, aku sedih nih mau pisah sama kalian semua.. Huhu.. Tapi, emang harus ada akhir untuk memulai sesuatu yang baru, kan?

Oh, ya. Sebelumnya aku mau minta maaf kalo ada salah kata dan typo yang bertaburan ya?? Hihi, aku juga manusia, kan~ So, see you next time with my another fic! \(^.^)/



Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

Trending Articles