Amicissimos
by
ellenmchle
Main Cast : EXO-K’s Kai – Kim Jongin & f(x)’s Krystal – Jung Soojung || Support Cast : Girl’s Day’s Lee Hyeri || Genre : Friendship, Romance & Life || Rating : PG-15 || Length : Chaptered || Disclaimer : Inspired by Love at 4 Size / Love Julinsee (2011), Seven Something (2012) & Say Hello for Me (2007) || Credit Poster : Mizuky
I wish i could go back in time and meet you again as a friend.
Antrian panjang selama jam istirahat sudah menjadi hal yang wajar. Kantin sekolah Hanlim Entertainment Arts terlihat sesak oleh murid-murid yang sedari tadi terus mengeluh, entah karena terlalu lama menunggu atau karena hasil ujian yang baru saja keluar, yang pastinya kicauan yang keluar dari mulut masing-masing individu di sana semakin menambah kebisingan ruangan tertutup itu.
“Hai, Soojung. Ini makan siangmu. Selamat menikmati.”, ucap seorang gadis bertubuh mungil seraya menyerahkan sekotak bibimbap dan sebotol air mineral yang dialasi sebuah nampan berwarna hitam begitu Soojung mendapatkan giliran mengambil makan siangnya.
“Apa kau bisa memberiku satu porsi lagi?”, Soojung melirik gadis di hadapannya itu – Mengerti apa yang di maksud Soojung, gadis itu segera menambahkan sekotak bibimbap dan sebotol air mineral ke atas nampan yang sudah dipegang Soojung.
“Terima kasih.”, ucap Soojung tersenyum tipis kemudian segera meninggalkan barisan antrian.
Soojung melemparkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan itu, berharap masih bisa menemukan sebuah meja kosong dan tentu saja ia mendapatkannya – Di sebelah pojok kanan, Hyeri – sahabat baiknya sudah menunggu dengan menyisakan 2 buah kursi di sana. Hyeri melambaikan tangan kanannya dan saat itu juga Soojung segera melangkahkan kedua kakinya.
“Kau memang yang terbaik, Lee Hyeri.”, sapa Soojung seraya meletakkan makan siangnya di atas meja dan segera menarik sebuah kursi di sana.
“Jung Soojung tidak mungkin tidak menjadi orang pertama yang mengetahui hasil ujian. Aku sudah hafal itu. Jadi karena aku masih mengasihanimu ku sisakan kursi-kursi itu untukmu dan.. Hey, dimana si hitam itu?”, Hyeri – gadis itu memang sudah hafal kebiasaan Soojung yang tidak bisa duduk tenang jika belum mengetahui hasil ujiannya. Soojung – Ia terlalu gila akan nilai dan ranking.
“Tidak tahu.”, balas Soojung acuh seraya membuka penutup kotak makanannya.
“YA! Kim Jongin! Berikan itu padaku!”, suara teriakan seorang pemuda dengan suara beratnya berhasil mengalahkan kebisingan di ruangan itu, sejenak semua mata di sana tertuju pada kedua pemuda yang sedang berkejar-kejaran layaknya anak berumur 5 tahun itu. Satunya dengan tubuh yang cukup tinggi dan kulitnya yang sedikit gelap dibanding orang-orang korea pada umumnya dan satunya lagi pendek, tubuh yang sedikit berisi dan kacamata tebal yang menghiasi matanya.
Sebuah kamera tampak berada digenggaman pemuda berkulit gelap itu, dengan raut wajah yang jahil pemuda itu menekan-nekan tombol di kameranya guna menampilkan ulang foto-foto yang telah berhasil diambilnya beberapa menit yang lalu sedangkan si kacamata tebal berusaha menstabilkan nafasnya dengan berhenti sejenak dan kemudian sedikit membungkukkan badannya dengan kedua tangannya yang diposisikan menempel pada kedua lututnya.
“Cepat hapus foto itu!”, si kacamata tebal berusaha membentak.
“Baiklah, aku mengaku kalah.”, Jongin – begitu nama pemuda berkulit gelap itu terlihat menghampiri teman sekelasnya – Lee Byungman yang masih berusaha mengatur nafasnya. Jongin memperlihatkan kameranya dan kemudian menekan salah satu tombol di sana dan akhirnya foto itu terhapus.
“Sudah kan? Aku juga sudah lelah.”, ucap Jongin enteng kemudian meninggalkan Byunman yang masih tetap di tempatnya.
Jongin melangkahkan kakinya seraya melirik ke arah jam dinding di sana. Waktu istirahat mereka hanya tinggal 10 menit.
“Sisa 10 menit, sebaiknya kau cepat isi perutmu itu.”, lanjut Jongin tanpa berbalik kemudian menatap kameranya dengan sebuah senyuman jahil.
Jongin menatap satu per satu meja di sana, mencari seseorang namun sayangnya ia sangat buruk dalam hal cari-mencari apalagi di tengah keramaian seperti ini.
“Kau lihat Soojung?”, tanya Jongin pada salah satu murid perempuan yang duduk di dekat tempat ia berdiri sekarang.
“Ya?”, gadis itu tampak salah tingkah.
“Jung Soojung, murid teater kelas 2-A. Apa kau melihatnya?”, tanya Jongin lagi berusaha memastikan bahwa harusnya gadis ini mengenal Soojung – murid terpandai di sekolah mereka.
“Oo..Sepertinya tadi dia bersama Hyeri di belakang sana.”, jawab gadis itu dengan wajahnya yang berseri-seri.
“Baiklah. Terima kasih.”
Jongin mencari Soojung dan Hyeri di tempat yang dikatakan gadis itu barusan. Soojung dan Hyeri yang sebenarnya sudah menyadari kehadiran Jongin sedari tadi tidak berniat sama sekali memberi tanda pada Jongin di mana tepatnya posisi mereka sekarang. Mereka cukup sibuk dengan makan siang mereka.
“Hey, apa menu makan siang hari ini?”, sapa Jongin membuka pembicaraan seraya menarik kursi dan segera meneliti kotak makanan di hadapannya itu.
Hening. Tidak ada jawaban dari keduanya.
“Lihatlah, aku mendapatkan sesuatu yang unik hari ini.”, lanjut Jongin kemudian sibuk dengan kameranya lagi.
“Lihat!”, Jongin memamerkan foto yang berhasil diambilnya pada Soojung yang tampak tak begitu tertarik.
Sebuah foto yang berlatar tempat di toilet murid laki-laki dengan-
“Kim Jongin!”, pekik Soojung hampir memuntahkan isi mulutnya yang penuh dengan bibimbap.
Foto itu menunjukkan Lee Byungman yang sedang membuang kotorannya di dalam toilet, walaupun tidak menunjukkan dengan jelas bagian depan tubuh Byungman namun foto itu jelas menampilkan pantat milik Byungman. Oh Tuhan. Betapa tidak sepadannya muka dan otak pemuda bernama Kim Jongin ini.
“Kau benar-benar sudah tidak waras!”, lanjut Soojung kemudian meneguk air mineralnya.
“Jangan tunjukkan padaku! Aku tidak mau melihatnya!”, Hyeri ikut-ikutan berteriak, mencegah agar matanya tidak menangkap apa yang tertampil di kamera milik Jongin.
Jongin tidak menghiraukannya, ia malah makin memaksa kedua mata Hyeri melihat foto hasil potretran terbarunya itu.
“YA! Sudah ku bilang, enyahkan foto itu dari hadapanku!”, pekik Hyeri sukses membuat murid-murid yang duduk di sekitar mereka menatapnya dengan aneh.
“Ku bilang tidak ya tidak, Kim Jongin!”, kali ini Hyeri membentak dengan ekspresi wajah yang serius.
“Kau benar-benar tidak penasaran?”, tanya Jongin meyakinkan Hyeri.
“Tidak!”, jawab Hyeri tegas kemudian beranjak dari kursinya dan segera melangkah pergi.
“Lihat mukanya, begitu menyeramkan.”, ucap Jongin menatap kepergian Hyeri seraya berdecak.
“Kau yang menjijikkan!”, sindir Soojung tampak tak tertarik melanjutkan makan siangnya lagi.
“Kenapa kau jadi ikut-ikutan seperti ini?”, protes Jongin.
Tanpa memperdulikan ocehan Jongin, Soojung pun berlalu begitu saja.
“YA! Jung Soojung! YA! Aku bahkan belum memakan sesuap pun.”, Jongin terlihat mencegah Soojung yang sudah mulai memperjauh jarak mereka.
“Apakah lucu membiarkan laki-laki tampan sepertiku ini duduk sendirian di sini tanpa ditemani seorang perempuan pun?”, oceh Jongin frustasi.
Seakan ikut menghukum Jongin, bel tanda jam isritahat telah berakhir berbunyi begitu saja tanpa memperdulikannya yang baru sedang ingin membuka kotak makanan di hadapannya itu. Sial – rutuk Jongin dalam hati.
-||-||-
Suasana kelas tampak hening. Jongin dengan langkah tanpa semangatnya berjalan menyusuri koridor. Ia terpaksa harus membulatkan matanya besar-besar begitu sampai di ambang pintu kelas. Bukan karena terlambat – itu sudah hal biasa bagi Jongin. Ini sesuatu yang lebih parah.
“Bagus, Bang Minah.”, ucap seorang laki-laki paruh baya dengan rambutnya yang dilumuri entah berapa banyak minyak rambut hingga terlihat mengkilap seperti itu. Laki-laki itu – salah satu dari sekian banyak guru di Hanlim Entertainment Arts, bermarga Choi dan juga merupakan guru paling menyebalkan di sana.
Guru Choi selalu saja melalukan razia mendadak setiap kali memulai pelajarannya dan sialnya lagi, Jongin – Ia lupa bahwa sekarang ia membawa sebuah kamera digital di dalam kantong celananya. Kini ia benar-benar berharap bahwa pintu kemana saja milik doraemon itu memang nyata keberadaanya. Ia benar-benar sedang dalam masalah besar.
Setidaknya Jongin bisa merasa sedikit beruntung karena ia belum menginjakkan kakinya di dalam ruangan kelas itu. Melarikan diri – hanya itu yang bisa dilakukannya sekarang. Ia tidak akan pernah rela kehilangan kameranya walaupun hanya sehari. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka, sekalipun ia harus meregang nyawanya. Terdengar berlebihan memang tapi itulah Kim Jongin.
“Kim Jongin, aku sudah melihatmu.”, suara berat itu kembali menghentikan langkah Jongin.
Sial!
“Oo, Guru Choi. Selamat siang. Hmm, itu, aku ijin ke toilet sebentar, perutku sepertinya sedang bermasalah.”, bohong Jongin.
Kembali Jongin ingin melanjutkan langkah kakinya di saat itu pula sebuah penghapus papan tulis terbang dan mendarat bebas tepat di kepalanya.
-||-||-
“Serahkan kameramu.”, pinta Guru Choi.
“Ya?”, Jongin berpura-pura bodoh.
“Peraturan poin ke 12 – Murid tidak diperbolehkan membawa kamera apalagi mempergunakannya selama kegiatan di sekolah.”, tegas Guru Choi seraya meneguk secangkir tea hijau di hadapannya.
“Aku tidak membawa kamera.”, bohong Jongin.
“Baiklah kalo begitu kau juga tidak akan keberatan jika aku memeriksa kantong celanamu kan?”, ancamnya.
“Jenis hukuman skors poin ke 4 – Murid yang tertangkap berbohong pada guru akan di skors selama 3 hari.”, lanjutnya.
Skors? Apa jadinya Jongin jika kedua orangtuanya harus mengetahui bahwa ia di skors? Tidak. Ini tidak benar.
“Guru Choi, aku…”, Jongin tampak ragu.
“Serahkan kameramu dan kau tidak akan di skors.”, lagi, Guru Choi dengan gaya menyebalkannya itu berusaha mengancam Jongin.
Jongin menyerah. Kali pertama ia harus merelakan kameranya hanya karena ancaman skors. Dengan ragu Jongin merogoh kantong celananya, mengeluarkan kamera – separuh jiwanya di dalam sana. Ia meletakkannya di atas meja kerja Guru Choi tanpa mengalihkan pandangan pada benda mati itu seakan-akan setelah ini ia tidak akan pernah mendapatkannya kembali.
“Aku mohon jaga dengan baik.”, mohonnya pada Guru Choi.
“Tidak perlu berlebihan. Akhir semester kau sudah bisa mengambilnya kembali.”, Guru Choi meraih kamera itu dan segera memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.
Jongin menatap dengan sedih. Terlalu berlebihan memang. Setelah mendapat isyarat dari Guru Choi untuk segera meninggalkan ruang kerjanya dan kembali mengikuti pelajaran, Jongin pun berbalik mencari pintu keluar dari ruangan itu.
“Poin ke – 27 – Lama waktu sitaan akan diperpanjang jika murid yang bersangkutan membuat masalah baru selama barang disita.”
Apa si tua ini ingin cari mati? Jongin tidak berbalik, tidak juga menanggapi pernyataan terakhir Guru Choi. Ia hanya tetap melangkahkan kakinya dengan penuh kekesalan.
“Sudah ku bilang, jangan mempermainkanku. Lihat akibatnya sekarang?”, sindir seseorang di sana tepat setelah Jongin keluar dari ruang guru.
Jongin tidak membalasnya, tidak juga melemparkan tatapan mematikan seperti biasanya. Ia hanya berjalan melewati orang itu – Lee Byungman yang masih menunggu respon darinya.
“Apa kau sudah mengaku kalah?”, sindir Byungman.
Jongin kembali tidak merespon.
“Cih! Hanya karena sebuah benda mati kau berubah menjadi seperti ini?”
Jongin tetap menatap lurus.
“Terlalu berperasaan, dasar banci!”
Jongin mengentikan langkahnya.
“Bagaimana jika Soojung menerima tawaran seorang Kim Myungsoo untuk berkencan? Apa kau juga akan seperti ini? Atau bahkan lebih menyedihkan dari ini?”
Jongin mengepalkan kedua tangannya.
“Atau bagaimana jika Soojung berhasil ditidurinya?”
Kali ini sudah cukup. Jongin mengangkat tangan kanannya hendak melayangkan sebuah pukulan tepat di wajah Byungman namun pada saat itu juga sebuah tangan mencegahnya.
“Tinggalkan tempat ini sekarang juga.”, tegas Soojung masih menahan tangan kanan Jongin.
“Ku bilang cepat tinggalkan tempat ini!”, bentak Soojung saat Byungman masih nekat bertahan di sana.
Perlahan Soojung melepaskan genggamannya dari tangan Jongin.
“Kau baik-baik saja?”, tanya Soojung pelan seraya menatap khawatir wajah Jongin.
Jongin tidak merespon. Ia terlalu lelah dengan perasaannya sendiri yang tak menentu setiap kali harus dikaitkan dengan hubungan Soojung dan Myungsoo – senior mereka.
“Kau baik-baik saja?”, ulang Soojung.
Jongin berlalu begitu saja tanpa sebuah jawaban.
-||-||-
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Jika kebanyakan murid sedang bersiap-siap untuk segera meninggalkan ruang kelas lain halnya dengan Soojung dan Hyeri yang masih terduduk dengan posisi berhadap-hadapan sambil sesekali melirik satu sama lain.
“Jadi, ada apa?”, Hyeri memecah keheningan di antara mereka.
“Jongin. Kau tahu apa yang terjadi padanya?”, tanya Soojung menatap Hyeri serius.
“Kenapa lagi memang?”, Hyeri balik bertanya.
“Aku juga tidak tahu, Lee Hyeri! Makanya ku tanyakan padamu. Tadi dia hampir menghabisi Byungman jika aku tidak datang tepat waktu.”, Soojung tampak semakin bingung.
“Apa?”, Hyeri membulatkan matanya menatap Soojung dengan tatapan tidak percaya.
“Apa mungkin karena kejadian istirahat tadi?”, lanjut Hyeri mencoba menyelidik.
“Tidak mungkin. Kau tahu tatapannya sangat menyeramkan tadi. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaanku dan pergi begitu saja.”, jelas Soojung.
“Benarkah?”, Hyeri kembali membulatkan matanya.
“Jung Soojung, bisa ikut denganku sebentar?”, seseorang di ambang pintu berhasil mengagetkan Soojung dan Hyeri.
-||-||-
Guru Choi tampak sedang membuka laci meja kerjanya satu per satu. Mengecek satu per satu map yang tersusun rapi di dalamnya. Ia mengeluarkan beberapa map dari dalam sana dan akhirnya kamera milik Jongin yang disitanya ikut dikeluarkan.
Soojung yang sedari tadi menunggu Guru Choi mencari berkas-berkas miliknya yang sempat dipinjam pihak sekolah sedikit terkejut melihat kamera yang ia yakini milik Jongin berada di tempat Guru Choi. Dengan rasa ingin tahu yang begitu kuat, Soojung akhirnya memberanikan diri bertanya pada yang Guru Choi.
“Maaf. Guru Choi, benda ini kenapa bisa ada denganmu?”, tanya Soojung seraya menunjuk kamera milik Jongin.
“Ya? Oo, ini? Peraturan poin ke 12 – Murid tidak diperbolehkan membawa kamera apalagi mempergunakannya selama kegiatan di sekolah. Kim Jongin telah melanggarnya dan benda ini tentu akan disita sampai dengan akhir semester.”, jelas Guru Choi dengan tegas.
“Akhir semester?”, tanya Soojung tak percaya.
“Betul sekali. Ada masalah denganmu?”, tanya Guru Choi menyelidik.
“Tidak.”, bohong Soojung.
Jadi karena ini? – batin Soojung
-||-||-
Jongin meraih tas sekolahnya kemudian berjalan keluar meninggalkan ruang kelasnya yang tepat bersebelahan dengan ruang kelas Soojung dan Hyeri. Ia sengaja mengulur-ngulur waktu agar pada saat ia melewati ruang kelas 2-A tidak akan bertemu dengan Soojung ataupun Hyeri yang pasti sudah mengintainya untuk menjawab rasa penasaran mereka karena sikap anehnya hari ini.
Jongin mengeluarkan iPhone-nya dari kantong celana. Membuka aplikasi jejaring sosial bernama twitter. Tidak perlu susah-susah log in karena Jongin selalu membiarkannya dalam kondisi sudah ter-log in. Kebiasaannya.
Hari yang buruk, suasana hati yang buruk…. via Twitter for iPhone
Hanya dalam hitungan detik, berbagai reply maupun retweet berhasil membanjiri account-nya itu. Bukan hal yang biasa lagi mengingat jumlah followers Jongin yang terbilang cukup banyak untuk ukuran orang biasa sepertinya. Tidak. Tepatnya memang wajar mengingat Jongin adalah seorang playboy dan setiap murid perempuan di sekolah yang tergila-gila padanya sudah menjadi followers sejatinya sejak sekian lama baik dalam dunia nyata maupun maya.
Jongin memasukkan kembali iPhone-nya.
Sial! – rutuk Jongin dalam hati begitu menemukan Hyeri tepat berada di hadapannya sekarang.
“Kenapa dengan kau?”, tanya Hyeri tanpa basa-basi.
“Kenapa?”, Jongin balik bertanya.
“Sudah, jangan berpura-pura. Soojung sudah menceritakannya padaku.”, Hyeri melihat dengan penuh selidik.
“Tidak ada apa-apa.”, jawab Jongin enteng kemudian berusaha meninggalkan Hyeri.
Kali ini Hyeri mengalah. Tidak ada gunanya memaksa seorang Jongin jika dia sedang seperti ini.
-||-||-
Jongin berjalan menyusuri jalanan kota Seoul dengan posisi kepala menunduk sambil sesekali menendang kerikil yang dijumpainya sepanjang jalan. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong celananya.
“Kim Jongin!”, seru seseorang di belakang sana.
Jongin tahu persis pemilik suara itu namun ia terus saja berjalan. Ia tidak sedang ingin bertemu dengan siapa-siapa dan menjelaskan apa-apa.
“Kim Jongin! YA! Tunggu aku!”, pekiknya seraya berlari-lari kecil.
Gadis itu akhirnya berlari dengan kecepatan penuh menyusul Jongin yang masih sibuk menendang-nendang kerikil di jalanan.
“Kau! Apa kau tuli, eoh?”, Soojung berusaha membentak Jongin dengan nafasnya yang masih terengah-engah.
Jongin menoleh.
“Kau siapa?”, tanya Jongin dengan ekspresi yang datar.
Soojung menyipitkan matanya. Dan pada detik selanjutnya, sebuah pukulan keras mendarat tepat di kepala Jongin.
“YA! Sudah ku bilang jangan memukulku seperti itu!”, pekik Jongin.
“Dan sudah ku bilang jangan pernah bemain-main denganku!”, balas Soojung.
Soojung berjalan meninggalkan Jongin yang masih sibuk mengusap-ngusap kepalanya.
“YA! Kau harus bertanggung jawab. Kepalaku hampir bocor!”, teriak Jongin kemudian segera menyusul Soojung.
“Bodoh.”, Soojung tersenyum geli melihat ekspresi muka Jongin yang terlihat sedikit tolol.
“Apa kau bilang?!”, pekik Jongin.
“Jadi karena kamera?”, Soojung mengalihkan pembicaraan.
“Kau tahu darimana?”, tanya Jongin sedikit kaget.
“Sudahlah, tidak penting ku tahu darimana. Hey, tidakkah ini terdengar begitu konyol, kau ingin meninju Byungman hanya karena sebuah kamera?”, Soojung berusaha menebak sendiri.
“Bu-“, Jongin hendak menyahut.
“Oke, aku tahu kameramu itu sangat berarti, berharga, bernilai atau apapun itu tapi tidakkah ini terlalu berlebihan?”, potong Soojung.
“Berikan aku kesempatan untuk berbicara, bodoh!”, Jongin menatap Soojung dengan kesal.
“Cih! Jika orang sepandai diriku ini kau bilang bodoh, lalu bagaimana denganmu? Baiklah, katakan padaku sebenarnya apa yang terjadi.”, ledek Soojung.
Jongin menghentikan langkah kakinya.
“Apa selamanya kita akan seperti ini?”, tanya Jongin sedikit serius.
“Apa? Kau ingin mengalihkan pembicaraan? Cepat jelas-“, Soojung berusaha mengembalikan topik pembicaraan mereka.
“Apa selamanya di antara kita hanya ada kata teman?”, Jongin tetap pada pertanyaannya.
“Kau kenapa lagi?”, Soojung mulai tidak nyaman.
“Cukup jawab Ya atau Tidak.”, Jongin menatap kedua mata Soojung.
Soojung merasa semakin tidak nyaman. Namun.. apa ia benar-benar harus berkata jujur?
“Bodoh! Tentu saja Ya.”, Soojung tersenyum kaku.
“Memangnya kau ingin kelak aku menjadi musuhmu. Hahaha. Kau lucu sekali.”, lagi, Soojung tertawa renyah.
“Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu lebih dari seorang teman?”, akhirnya Jongin meluncurkan kalimat itu.
“Ya?”, Soojung terdiam.
“Hahaha. Bodoh! Tentu saja selamanya kita berteman. Aku hanya bercanda tadi. Cepat pulang sebelum hari semakin sore.”, Jongin kemudian berjalan duluan meninggalkan Soojung yang masih terdiam di tempatnya.
Bolehkah aku berharap bahwa ini tidak akan menjadi selamanya?
TBC
