Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

Games and Paper of Wishes

$
0
0

BIlWwf_

Title : Games and Paper of Wishes

Author : Hangukffindo

Cast : Tao EXO-M and Mayleen (OC)

Genre : Romance, Fluff (as always *sigh*)

Rated : Pg-13

Length : 2700+w

Summary : Dimana Tao adalah teman yang seru untuk diajak bermain dan Mayleen punya segunung ‘Kertas Permohonan’ yang tersembunyi di balik bantal tidurnya.

***

 

Tao tinggi.

Dia sangat tinggi dan tidak satu pun yang bisa menyangkal hal itu. Waktu umurnya delapan tahun, semua orang termasuk Mayleen tetangganya mengira dia tidak akan mendapatkan tinggi yang dia inginkan.

 

Aku bisa lebih tinggi dari menara Tokyo dan Eiffel tower.

 

Lalu gadis kecil yang sebaya dengannya menggeleng tidak percaya seraya mereka main masak-masakan. Mayleen tidak punya teman perempuan, bahkan semua saudaranya adalah laki-laki dan disana ada Tao, tetangga baru apartemen mereka yang kecil.

 

Namaku Tao, kau harus memanggilku ‘gege’.

 

Tao menyodorkan tangannya terlebih dahulu pada musim dingin itu. Salju diluar sangatlah tebal dan Tao punya hidung semerah tomat. Mayleen menatap tangan itu sejenak tanpa menyambutnya hangat, dia memiringkan kepala, bingung mengapa dia harus memanggilnya ‘gege’ karena tinggi mereka sama dan…tampaknya Tao seumuran dengannya.

 

Memang umurmu berapa?

 

Tao mengatakan dia berumur delapan dan Mayleen berkata, aku juga umur delapan.

          Tao menggelengkan kepala, masih dengan tangan menggantung di udara meminta reaksi dari Mayleen.

 

Kau harus tetap memanggilku ‘gege’.

 

Gadis kecil itu akhirnya mengangguk. Tidak mengerti mengapa dia mau saja menuruti perkataan anak asing itu, tapi dia tetap menerima tangan Tao yang sedikit berkeringat di tengah-tengah musim dingin jelang hari natal.

Tak yakin apa ini jawaban dari segala doanya ketika dia masuk ke dalam kamar dan mengintip ‘Kertas Permohonan’ di balik bantalnya:

 

Mayleen tak bisa sembunyikan senyumannya yang mengembang di malam itu.

 

My Wish: Punya teman. Aku harap dia perempuan.

 

Tak jadi masalah walau Tao bukan perempuan. Dia menerima ajakan Mayleen di bulan Januari yang dingin, bermain masak-masakan di ruang tamu, dimana Mayleen jadi seorang Chef restoran Jepang dan Tao sebagai asistennya.

 

***

 

Mayleen memasuki kelas yang sama dengan Tao.

Kebetulan tahun ajaran baru punya satu bangku yang kosong persis di samping Mayleen. Kemudian Tao mengisi kekosongan disana. Tubuhnya mengantarkan kehangatan di cuaca yang tidak begitu baik. Mereka tidak pernah bicara—saling berdiam diri, namun lengan mereka bolak-balik bersentuhan dan itu membuat Mayleen menengok tiga kali pada Tao. Alhasil, Tao tersenyum jahil.

Mereka adalah teman.

 

Mengapa kau memanggil Tao dengan sebutan ‘gege’? Kau kan sekelas dengannya?

 

Teman-teman di sekolah selalu penasaran, penasaran, dan ingin tahu apa alasan Mayleen. Seperti yang dipikirkan selama ini, gadis itu juga bingung hingga dia hanya bisa mengedikkan bahunya atau dia sekali-kali mencoba gaya lain, yaitu gelengkan kepala dan biarkan mereka tenggelam dalam lautan kebingungan.

 

Tao gege…

 

Panggil Mayleen dan mereka pulang bersama ke apartemen yang tak jauh dari sekolah. Mungkin sekitar 452 langkah, memakan waktu 13 menit, dan kata-kata yang tak terhitung keluar dari mulut mereka. Membahas tentang apa saja, apa saja yang curangi dingin dan tarik kehangatan.

 

Aku punya menu baru untuk restoran kita.

 

Apa itu?

 

Sashimi jamur kuah kimchi.

 

Kedengarannya enak.

 

Kau siap membantuku, asisten Chef?

 

Tao menggenggam erat botol minum Elmo yang bergelayut di lehernya.

 

Siap, Chef!!

 

***

 

Mereka mulai bosan dengan permainan masak-masakan dan natal kali ini ada sesuatu yang dia minta—tulis di atas ‘Kertas Permohonan’-nya. Jadi, Mayleen berpura-pura menutup restoran mereka karena satu alasan, Tao duduk di karpet sama bingungnya dengan Mayleen, namun dunia fantasi mereka tidak penah berhenti begitu saja.

Tentu saja, itu karena mereka masih anak kecil—umur sembilan. Desember jadi salah satu favorit Mayleen. Salju yang putih, seputih langit dalam mimpi indahnya.

Sebaliknya, Tao lebih menyukai panasnya matahari di bulan Agustus. Dia tidak peduli berapa liter keringat yang mengucur keluar dari kulitnya, namun itu lebih baik daripada hidung merah, sesak napas, dan ingus yang meleleh tiap detik.

Tisu untukmu, ge. Kekeh Mayleen mengelap hidung Tao sebelum dia melakukannya.

 

Sekarang kita main apa?

 

Harus Mayleen akui dia benci berpikir di musim dingin. Jadi, dia menyerahkan semuanya pada Tao, meminta sarannya jika mereka memang ingin bermain sesuatu. Dan lagi-lagi Mayleen lebih cepat darinya…

 

Aha! Bagaimana kalau bermain sekolah-sekolahan? Aku jadi guru, kau jadi muridnya.

 

Aku mau jadi guru.

 

Tapi aku yang punya ide ini dan aku jadi gurunya.

 

Tidak, aku harus jadi gurunya karena aku Tao gege. Kau jadi muridnya.

 

Tidak mau! Aku yang jadi gurunya!

 

Aku!

 

Aku!

 

Itu pertengkaran pertama mereka. Tao berlari pulang ke rumahnya sedangkan Mayleen menangis di ruang tamu. Air matanya berjatuhan ke karpet. Dia juga memerlukan tisu sama seperti Tao beberapa waktu yang lalu.

 

Tapi mereka sahabat baik.

 

Tao mengetuk pintu kamar Mayleen sambil membawa sesuatu yang besar di belakang tubuhnya yang kurus. Dia membungkus benda itu dengan kertas Koran alih-alih menutupinya agar tidak kelihatan oleh Mayleen.

 

Maafkan aku, Mayleen.

 

Ibu Mayleen tersenyum di dapur, mendengar kata ‘maaf’ yang begitu polos terucap dari bibi Tao—anak berambut hitam pekat itu.

 

Aku juga minta maaf, Tao gege. Kau boleh jadi guru dan aku muridmu.

 

Tao menggelengkan kepala. Dia memberikan benda segi empat yang pipih itu pada Mayleen.

 

Tidak. Kau yang jadi gurunya. Ini kado natalmu…

 

          Apa ini?

 

Tao tidak memberikan jawaban. Mayleen merobek bungkusnya, terkejut melihat white board pemberian Tao yang cukup besar. Dia tidak yakin apa yang harus dia katakan, apa kata ‘terima kasih’ cukup untuk balas kebaikan Tao, atau…senyuman saja, atau kado lain yang mahal.

Tidak. Tidak. Tidak.

Tao gelengkan kepala seperti saat dia dipaksa makan sayur oleh ibunya.

 

Terima kasih, Tao-ge. K-kita bisa bergantian jadi guru dan murid.

 

Oh! Itu solusinya.

 

Walau itu hanya sebuah papan tulis warna putih, buatan tangan ayah Tao, bukan barang di toko, namun dia penuhi hati Mayleen dan gadis itu tak bisa tutup mata sembari terus menatap ‘Kertas Permohonan’ dengan bantuan lampu senter tengah malam.

 

My Wish: Whiteboard.

 

          Terima kasih, Tao gege.

 

***

Musim panas. Satu hal yang pasti.

 

Es krim rasa jeruk!!

 

Tao tidak begitu suka buah jeruk, tapi melihat lidah Mayleen melilit es krim warna jingga itu, Tao menelan ludah dan memesan satu yang sama dengannya. Keringat mengucur di dahi keduanya. Tak satu pun tertawa atau mengobrol—terlalu larut akan es krim buatan Pak Li Bing sang penjaga swalayan di lantai satu apartemen.

Umur mereka dua belas tahun. Tao tak disangka tumbuh tinggi melebihi gadis itu dan terkadang Mayleen tak bisa menyentuh rambut Tao yang tertiup angin segar di bulan Agustus. Rambut yang basah, mengkilap di bawah sinar matahari.

Dua kali Tao menyadari pandangan Mayleen menusuk padanya bagai pisau buah yang tajam.

Apa?

 

          Aku bosan bermain permainan penjaga kasir dan pelanggan swalayan. Bagaimana kalau kita menggantinya dengan yang lain?

         

          Kau memang punya ide apa?

 

          Entahlah, Tao-ge. Bagaimana kalau…

 

Mayleen berhenti disana. Dia sering menonton drama korea yang diputar setiap pagi, bercerita tentang sebuah keluarga bahagia dimana sang suami bangun di pagi hari dan sang istri menyambutnya dengan satu kecupan di pipi, satu gelas kopi, satu piring roti selai stroberi, juga satu ikatan dasi di kemeja sang suami.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Tak yakin apakah Tao menginginkan permainan itu juga. Maka dia menggelengkan kepala, tertunduk malu karena tiba-tiba udara menjadi lebih panas dari sebelumnya. Apakah Pak Li Bing mematikan kipasnya? Apakah kembaran matahari baru datang dan ikut bergelayut di langit?

Entahlah. Mayleen menghabiskan es krim jeruknya dengan satu gigitan besar dan tidak lagi memikirkan permainan apa yang sebenarnya dia inginkan. Tao sebingung Pak Li Bing, atau burung-burung yang menatap Mayleen berjalan cepat kembali ke apartemen.

 

Kita bermain tukang gulali dan pembeli setia saja, Tao-ge.

 

          Baiklah.

 

Itu tidak terlalu buruk, pikir Mayleen.

 

***

Waktu berjalan. Dunia berputar. Malam berganti pagi. Bulan jadi matahari. Muda berubah tua. Kecil ke besar. Pendek ke tinggi.

Tao berumur 16 tahun, Mayleen juga. Tiba-tiba suara Tao berubah layaknya ada kodok yang masuk kesana, bergelantungan bagai Tarzan di amandelnya, entahlah, Mayleen tak mengerti. Pubertas; masa remaja selalu jadi kejutan tersendiri bagi mereka yang percaya bahwa dunia di masa itu terlihat lebih ‘Wow’ daripada sebelumnya.

Ya, itu benar.

Mayleen tak ingat kapan terakhir kali mereka bermain di ruang tamu apartemennya. Bulu-bulu karpet gelitik kulit kaki mereka yang bebas-kain. Permainan itu hilang, tak peduli musim dingin, musim panas, musim gugur, serta musim-musim yang lainnya karena Tao punya jaket kulit yang keren agar terhindar dingin dan Mayleen punya kipas angin kecil untuk musim panas.

Tapi hubungan persahabatan mereka masih tetap kokoh layaknya gedung. Tao penuhi janjinya untuk memiliki tubuh tinggi nan sempurna itu. Mayleen menengadah setiap mereka berjalan pulang, sedikit kecewa ternyata dirinya tertinggal jauh.

 

Singkirkan tanganmu. Aku bukan tempat peristirahatan lenganmu!

 

Tao terkekeh geli melihat Mayleen kesal. Tangan itu selalu saja beristirahat disana—pundaknya, melingkar seolah ular piton yang berat. Mayleen membencinya ada disana, namun rasa ringan se-enteng udara itu juga tak nyaman. Jadi…bolehkan dia menuliskan suatu tradisi old school; ‘Kertas Permohonan’.

 

My Wish: Biarkan lengan Tao ada disana selamanya, karena…

 

Mayleen berhenti menulis dan melanjutkannya lagi setelah beberapa saat.

 

…rasanya nyaman.

 

***

Mayleen belum pernah melihat gerhana bulan seumur hidupnya. Beruntunglah fase itu sedang menghampiri bumi dan di umurnya yang ke-17 belas, bersama sang sahabat menatap langit malam sampai pegal di rooftop apartemen.

Kau percaya mitos yang mengatakan bahwa saat gerhana bulan, sebenarnya kepala monster sedang menutupi bulan?

 

Tao memandang Mayleen dengan setengah wajah tersirami cahaya bulan.

 

Kau percaya?

 

          Eumm…tidak.

 

          Kalau monster aku tidak percaya, tapi kalau telapak tangan…aku percaya.

 

          Apa katamu? Telapak tangan?

 

Tao anggukan kepala tanda setuju. Lalu dia mengajarkan Mayleen bagaimana cara menutup bulan dengan satu telapak tangan pun cukup. Mayleen tidak bodoh. Dia tahu itu hanya sekedar trik penglihatan mata yang luas. Namun tidak cukup luas karena tiba-tiba matanya gelap…

Tangan Tao yang hangat menutup kedua matanya dengan dua telapak tangan dan dia berbisik,

 

Dan kau bisa menghilangkan dunia dalam sekejap hanya dengan dua telapak tangan.

 

Kemudian dunia kembali ‘terlihat’ jelas di depan mata Mayleen dan menyaksikan gerhana bulan yang utuh…

 

Tak terasa hatinya juga utuh—penuh.

 

My Wish: aku bisa menghilangkan dunia dalam sekejap hanya dengan dua telapak tangan…

 

Tao.

 

***

Mereka semakin dewasa. Kelulusan sekolah menengah ada di depan mata dan Tao terpaksa mentraktir Mayleen sang sahabat karena dia berhasil mengalahkan nilai matematika Tao.

Es krim adalah sasaran utama. Mayleen memakan dua potong es krim jeruk kesukaannya selagi udara di musim semi ternyata lebih segar dari apapun yang ada di dunia. Tao senang melihat sahabatnya senang, tapi Mayleen lebih tahu tentang Tao dan wajah setengah senang itu, seperti mengetahui garis-garis di telapak tangannya sendiri.

 

Ada apa, Tao-ge?

 

          Tidak. Aku…

 

          Jangan bohong.

 

Tao menyerah. Mayleen salah menodongnya seperti itu karena bukan kalimat itu yang ingin dia dengar.

 

Aku akan kuliah di Korea.

 

          Apa? Kuliah…di Korea? Maksudmu…pergi dari sini??

 

Mayleen tak bisa sembunyikan rasa getir bercampur kaget dan jika perasaannya adalah cat, mereka pasti sudah melebur jadi satu, ciptakan sebuah warna tak jelas di wadah.

 

Ya.

 

Juga bukan pernyataan ‘ya’ yang dia bayangkan. Maka Mayleen berlari kembali ke apartemennya. Tao tidak mengejarnya karena dia tahu Mayleen butuh waktu untuk mengerti—pahami alasan demi alasan, setiap langkah penuh derai air mata hingga rasanya tak mungkin malam itu Mayleen tidur nyenyak.

 

Dia tidak bisa menulis. Dia tidak bisa ungkapkan makhluk apa yang sedang menggeliat tak nyaman di dasar hatinya. Secuil rasa sedih, sejumput rasa rindu, sepotong kenangan lama mereka, segalam macam permainan, berbagai perasaan yang tak mudah untuk di cerna bahkan jika ada alat yang dapat menguraikannya.

 

Malam itu dia membaca ulang semua ‘Kertas Permohonan’-nya yang lama terbengkalai.

 

My Wish: Aku lebih tinggi dari Tao.

          My Wish: Aku dapat bersahabat dengan Tao selamanya.

          My Wish: Aku punya rambut panjang agar Tao melihatku.

          My Wish: Baju pink merek Gucci. Tao menyukai yang satu itu.

          My Wish: Aku punya sepeda hingga aku dan Tao dapat pergi ke sekolah menaiki itu.

          My Wish: Aku dapat memasak ayam kungpao. Tao sangat menyukainya.

         

Mayleen menyadari…selama ini, yang dia harapkan selalu berhubungan dengan Tao dan ini tak lebih daripada dia ingin Tao ada bersamanya, hingga mereka tua dan keriput, dan tak akan biarkan hal lain mengalihkan perhatiannya, karena Mayleen menginginkan semuanya…

 

Semua tentang Tao.

 

Dan kini jika memang dia masih punya sedikit kekuatan untuk goreskan pensilnya ke atas ‘Kertas Permohonan’ terakhir. Dia tak akan meminta apa-apa selain ini.

 

My Wish: Aku berharap Tao ingat selamanya padaku, walaupun dia pergi jauh ke Korea. Aku berharap Tao suka makanan disana dan tidak terkena flu selama perkuliahan. Aku berharap Tao bahagia disana, jangan biarkan kesedihan menghampirinya dan buat dia bersedih. Aku harap aku bisa melihat gerhana bulan lagi bersamanya. Aku harap aku bisa mengantarnya ke bandara, dan mungkin memberikan kenang-kenangan sebelum dia pergi…

 

          Itu semua hanyalah kepingan-kepingan kecil dari perasaannya yang membengkak sebesar rumah. Tidak! Sebesar bulan di langit, namun tidak lebih besar dari telapak tangan Tao yang tutupi matanya.

 

Membuat dunia hilang dalam hitungan detik.

 

…aku harap Tao menyukaiku dan…

 

Mayleen susah payah menahan tangisnya yang tak terbendung.

 

…aku harap dia tidak pergi.

 

***

Mimpi adalah mimpi. Kenyataan adalah kenyataan.

 

Mimpi Mayleen semalam tentu bukanlah sebuah realita. Tao tetap pergi dengan koper-koper besarnya yang ada di depan lobi. Satu persatu harapan Mayleen terkabul. Dia dapat mengantarnya hari ini dan Tao mengatakan dia menyukai beberapa makanan Korea, jadi tak akan ada masalah soal ini. Tao juga bercerita dia membawa obat sinusnya kemana saja dia pergi, jadi walau udara se-ekstrim apapun dapat dia lewati.

Yang satu ini bukanlah mimpi. Terdengar seperti kenyataan atau apakah Mayleen hanya berhalusinasi.

Tao memeluknya, pelukan sahabat yang akan sangat merindukannya. Namun yang ini lebih, lebih dari sekedar kata ‘sahabat’, ‘teman’, ‘keluarga’, ‘separuh jiwa’…

 

Aku menyukaimu, Mayleen. Dan aku akan kembali kesini untukmu. Kuharap kau menungguku, entah itu malam atau siang, musim panas atau musim dingin. Kuharap kau menungguku.

 

Mendengar bisikan Tao, juga tubuh hangatnya yang menempel bagaikan cumi-cumi laut, melumerkan setiap sel tubuh Mayleen dan satu hal yang tak dapat dia percaya hingga kini, hingga dia berbaring di tempat tidurnya…tatap langit diluar lewat jendela kamar.

 

Tao juga punya permohonan.

 

Dan permohonan itu akan selalu terlintas di dalam kepala seandainya mereka memang terpatri disana selamanya.

 

Aku akan menunggumu. Itu pasti.

 

***

 

Pagi

 

Malam

 

Gelap

 

Terang

 

Dingin

 

Panas

 

Januari

 

Februari

 

Musim semi

 

Agustus

 

Desember

 

Tao mendarat di dataran China pukul 6 pagi. Berumur 25 tahun dan menaiki taksi seharga 30 Yuan ke apartemen dimana dia bertemu gadis kecil berambut kecokelatan, belasan tahun yang lalu.

Dia berkenalan, bermain, berteman, bersahabat, dan…mungkin ada kata ber- lain yang belum sempat mereka capai.

Tao ingat mereka sering bermain bersama di ruang tamu dengan karpet bulu yang sedikit gatal mencubit kulit mereka.

Mereka bermain permainan ‘Chef Restauran Sushi dan Asisten Chef’, ‘Guru Sekolah dan Murid yang Pintar’, ‘Penjual Gulali yang Manis dan Pelanggan Setia’, dan masih banyak permainan yang mungkin belum mereka mainkan, tapi kali ini Tao tidak mau ada permainan lainnya.

 

Mayleen mendengar pintu di ketuk dan dia beranjak untuk melihat siapa yang datang di pukul 7 pagi ini.

 

Hai.

 

          Tao-ge! Kau…

 

Mayleen memeluknya. Kehangatan tubuh Tao selalu jadi alasan mengapa dia mau duduk berdekatan dengan Tao di kelas, atau membiarkannya melingkarkan lengan di sekitar bahunya karena ini, ini, ini…

 

Kau menungguku. Gumam Tao senang.

 

Tentu saja kau menunggumu. Kau berharap seperti itu dan aku memenuhinya. Mayleen tak bisa menahan tangis bahagianya.

 

Dapatkah sekali lagi kau memenuhi permohonanku?

 

Mayleen mengangguk tanpa ragu dan Tao berlutut di depannya, mengeluarkan satu buah cincin dari dalam kantung jaketnya. Tao tertawa.

 

Maaf, aku tidak sempat membeli kotaknya, tapi kuharap—

 

          Apa kau melamarku? Pekik Mayleen histeris, karena ini masih jam tujuh pagi. Dia hanya baru menggosok gigi dan cuci muka. Piyama doraemon tampak mengoloknya dan Tao tidak peduli.

 

Maukah kau—

 

          Tentu saja ya.

 

Tao memeluk Mayleen untuk kesekian kali dalam hidupnya. Namun satu ciuman di bibirnya adalah untuk yang pertama kali dan selamanya tetap terasa manis, sedikit mint dan teh rasa anggur.

 

Aku mencintaimu, Mayleen.

 

***

Kehidupan di mulai dari huruf A. Kehidupan di mulai dari angka 0. Kehidupan di mulai dari garis start. Kehidupan di mulai dari janji yang mengikat untuk selalu bersama dalam keadaan susah maupun senang.  Kehidupan adalah hal terlucu yang merupakan perpaduan antara harapan dan sedikit permainan di dalamnya.

 

Mengapa begitu?

 

Karena saat Mayleen sedang membereskan kamarnya, menyimpan dokumen-dokumen penting, ijazah, foto, dan sebagainya ke satu kardus, tiba-tiba dia melihat setumpuk ‘Kertas Permohonan’ yang lama terabaikan.

Dia membaca satu-persatu, tertawa merasakan kepolosannya dan tawa itu sekejap berubah jadi tangis haru. Teteskan satu butir air mata. Itu harapan terindah yang pernah terkabul di dalam hidupnya, lupa kapan menulisnya.

 

My Wish: Aku harap aku bisa bermain permainan ‘Rumah-rumahan’ dimana Tao menjadi suamiku dan aku jadi istrinya yang baik, yang sediakan segelas kopi di pagi hari, satu kecupan di pipi, satu ikatan dasi, dan lambaian tangan sebelum pergi bekerja.

 

 

Betapa ajaibnya ‘Kertas Permohonan’ ini.

 

 

THE END

A/N:

I hope (cieehh, ceritanya ngikutin si Mayleen) para readers menyukainya hahahaha…

Thanks for 12.12.12 is not the end of the world so I could write it in my way to go home :) at transjakarta, with my cellphone and GOD BLESS YOU ALL YEAAAAHHH!!!

And thanks, Tao, for your face LOL!!!



Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

Trending Articles