Title : White Shirt (Sequel of “Blue Jeans”)
Author: Hangukffindo
Main Cast : Kris EXO-M and You
Support Cast : Victoria F(x), Sulli F(x), Kai EXO-K, Sehun EXO-K, D.O EXO-K
Genre : Romance, Fluff(?), Happy
Rating : Pg-15
Length : 2000+ w
Summary: Kris and his white shirt always be the favorite ones.
A/N: Holaaaaa, author menulis ini walaupun kuliah lagi hectic minta ampuuuuunnn T.T
Setelah kemaren nulis yang Chanyeol (Blue Jeans) , sok”an SongFic tapi jatohnya pada ga ngerti ya? Hmmm…kali ini, author nulis lanjutan dari fic itu tapi ganti cast.
Gak banyak yang bisa author janjiin soal fic ini, tapi trust me! I put the sweetest part in the end
Happy reading
***
Yours is my favorite…
Aku tidak menghitung berapa orang yang datang dan pergi ke dalam hidupku. Mereka berwajah sama, tak berbeda sama sekali. Siapa mereka? Siapa nama mereka? Apa yang mereka lakukan di hidupku? Apa mereka hanya sebuah parasit yang menempel untuk sementara? Entahlah…aku tidak ingat.
Tapi aku mulai menghitung, mencoba mengingat apa saja yang kulakukan setelah seseorang pergi. Langkah kakinya tidak berjejak seolah tak ijinkan diriku untuk ikuti dirinya yang menghilang di kabut pagi hari Kamis. Aku benci memoar itu kembali setiap malam, kunjungi tubuhku yang berbaring di balik selimut. Kedinginan dan sendirian.
Aku ingat namanya Park Chanyeol. Seseorang yang kutemui di bawah temaram lampu café. Memukul drum, tanpa disangka dia menabuh hatiku juga. Kami memesan satu botol beer. Tidak! Dua botol, tiga botol, empat? Mungkin hanya sedikit yang ku-minum, namun banyak yang kuingat tentang Park Chanyeol. Malam tak pernah terlalu panjang bagiku.
Kini dia pergi. Bukan ke alam yang jauh dari genggaman tanganku atau tempat yang buat orang bertanya-tanya apakah ini nyata atau tidak. Karena Chanyeol ada di belahan muka bumi yang lain, jaraknya beribu-ribu mil dari tempatku berada—tempat aku bangun tidur, tempat aku menggosok gigi dan makan roti selai kacang dinginku.
Park Chanyeol sangatlah jauh—hampir menghilang.
Aku menangis. Aku terbangun di kasurku yang dingin dengan sisa aroma Park Chanyeol di permukaan bantal. Aku memeluknya, bayangkan seandainya itu memang Park Chanyeol yang kuingat, Park Chanyeol yang lebih menarik daripada sweater favoritku.
I love you until the end.
Aku mengukir kalimat itu di dinding tempat tidurku dan kini ada tanda tanya di belakang sana.
I love you until the end?
Karena seseorang baru saja datang dari negeri yang jauh.
Dia punya rambut pirang yang terang, tersisir rapi dibawah rona matahari pagi. Aksennya sedikit aneh dan ada alasan dibalik itu semua: aku kebangsaan China, aku tinggal di Kanada beberapa tahun. Aku akan mengingatnya dengan baik, aku tidak akan mencatat apa-apa. Dia bukan Park Chanyeol yang harus selalu kuingat, namun setelah kupikirkan kembali…
Mungkin ini waktunya untuk hapus Chanyeol dari ingatanku.
Kris. Itu adalah nama yang singkat. Empat huruf. Tidak ada kesulitan.
Dia bekerja di toko depan rumahku. Otomotif adalah keahliannya, maka dia berteman dengan motor, mobil, dan segala macam baut yang terbuat dari besi. Keadaannya selalu kotor saat aku pulang bekerja. Matahari mulai menyembunyikan dirinya dari makhluk-makhluk malam, biarkan bulan berdiri disana sama seperti ketika Kris tersenyum padaku, menyapaku dengan aksen aneh…
“Selamat malam.”
Selamat malam…Aku tersenyum, hampir merobek wajahku sendiri. Kapan terakhir kali aku tersenyum? Ada perasaan dibalik urat-urat di wajahku, entah senang, entah bingung, entah apa ini? Mengapa bintang dilangit tiba-tiba berkembang biak menjadi ribuan bahkan jutaan? Apa maksud kerlingan matanya?
Aku tidak mau akui satu hal yang belum pasti. Namun jadi kesalahan saat kubuka jurnal lamaku, satu yang berdebu dan berwarna merah dari tumpukan buku-buku kuliahku yang terbengkalai. Kutemukan satu puisi cheesy—merupakan favoritku sepanjang masa. Sedikit menyesal mengapa tak terpikir untuk membisikkannya pada Park—
Kris.
Nama itu mulai memenuhi kepalaku.
I Love You
I see more than you know
About all you are,
And through my observations
And from my analysis
I’ve conclude that
I love you.
Not a theory
Quite simply fact…
I love you,
And that’s that.
Benarkah? Semudah itu…
Jatuh cinta lagi?
***
Aku muak tersakiti.
Kris bukan makhluk buas yang punya taring, tapi kemungkinan untuk berubah jadi lebih buruk dari itu tentu saja ada…ada disetiap kerjapan mataku, atau dibelakang mataku yang memimpikan Kris setiap malam. Aroma oli, bensin, juga karet ban yang menyengat jadi kesukaanku belakangan ini.
“Ke pantai?” itu reaksiku.
Pantai…lama tak injakkan kaki disana. Lupa bagaimana rasa pasir berlari di bawah telapak kakiku. Dan aku berterima kasih Kris mengendarai mobilnya kearah pantai. Hari hampir sore, kami hanya duduk di satu area yang kering dan air laut menyentuh jemari kami. Semilir angin terbangkan anganku ke udara, dan aneh aku lupa apa yang sedang kami lakukan. Aku baru mengenal Kris beberapa bulan yang lalu dan kini kami jalan menelusuri pantai sambil menautkan jemari kami.
Inikah…
Jatuh cinta untuk kesekian kalinya dalam hidupku?
Kris menciumku. Rasanya berbeda dari seseorang yang lama kukenal dulu dan tinggalkan sebongkah perasaan yang jatuh ke dasar hatiku. Tiba-tiba semuanya menjadi mustahil. Realita tidak pernah seindah ini. Jika ini memang diriku yang terkulai lemah ke dalam pelukan Kris, biarkan…
Hanya biarkan saja semuanya terjadi.
Karena aku memang menginginkannya.
Cinta bukan sebuah logika yang masuk akal, kau mencernanya, memprosesnya, menjadikannya alasan dibalik senyummu, dibalik degupan jantung yang kau dengarkan setiap hari, juga otakmu yang tak terkendali dua puluh empat jam.
Karena ini Kris. Inilah faktanya. “Aku mencintaimu.” kemeja putihnya melekat sempurna hingga aku bisa rasakan setiap serat bajunya yang sentuh kulitku.
“Aku mencintaimu.” Bisikannya lebih lembut dari derik pasir diantara jemari kami.
“Aku mencintaimu.” Kris mirip artis dari sisi ini.
“Aku mencintaimu.” Kusentuh wajah Kris, rambut, dahi, alis, batang hidung, meluncur mulus ke bibirnya yang indah dan ini adalah mimpi diatas mimpi yang selama ini kubayangkan.
“Aku mencintaimu.” Aroma Kris bukan sebuah candu, ekstasi, juga narkotika, melainkan sebuah caffeine yang diam-diam membunuh perlahan, mematikan setiap sel hatiku untuk jatuh cinta kepada orang lain.
Kris menatap di kedua mataku.
“Aku mencintaimu.”
“Aku tahu.”
Dan inilah sebuah kenyataan—fakta yang menghampiriku di tengah sore hari Sabtu.
***
Kris terasa nyata. Memang itulah yang sesungguhnya.
Sebut saja aku baru bermimpi indah.
Malam sangat jauh dari genggamanku, namun dinginnya yang menggigit masih terasa nyata. Lalu jejak jemari Kris menari-nari di kulitku, tinggalkan sejuta kenangan dan menguatkanku bahwa…benar, itu adalah mimpi indah sepanjang masa.
Aku terbangun di pagi yang mengantarkan aroma shampoo Lavender bercampur wangi lainnya.
Butuh beberapa saat untuk menyesuaikan mataku dengan sinar matahari yang terselip diantara tirai putih. Gemersik dedaunan diluar, suara angin, percikan air berpadu padan bersamaan menyatukan warna. Ada suara lain yang membuatku yakin…ini adalah salah satu pemanis dalam mimpiku.
Aku mendengarkan suara itu kemarin sore—mengaku. Empuk dan mengingatkanku pada roti keju di dapur ibuku, atau awan pink di salah satu potongan film Peterpan. Aku suka bagaimana suaranya mengalir perlahan di gendang telingaku. Selembut sapuan kapas di kulitku dan…
Kris mendengkur pelan. Punggungnya naik turun, wajahnya menekan bantal di pipi sebelah kiri. Kulayangkan tanganku, kusisir rambutnya perlahan dan rasanya…aku bisa mendeteksi setiap serat, setiap helainya yang terikat tak beraturan, ciptakan sebuah sensasi lembut dan familiar.
Sentuhanku berhasil membangunkannya. Kris membuka kedua matanya yang sayu. Tatapan penuh teka-teki yang ingin kupecahkan detik itu juga.
“Pagi…” singkat, tidak terlalu jelas karena suara Kris yang sedikit serak. Nafasnya menyapu wajahku.
“Pagi.” Balasku tertular senyumannya. Dia tidak protes mengapa tanganku bisa ada disana—rambutnya, tersangkut dan mungkin menambah beban di kepalanya, tapi toh Kris tidak peduli. Dia…menyukainya bahkan kini dia meletakkan tangannya disana juga, melihat reaksiku yang sedikit terlonjak.
“Tebak apa yang kumimpikan?” bibir Kris bergerak-gerak di bawah tembusan siluet lemari dekat jendela. Aku tertawa, tanganku menarik rambutnya perlahan seakan mereka menggelitik telapakku.
“Segelas oli? Atau kau membakar dua buah ban?”
Aku mendapatkan satu gelengan kepala sebagai jawaban dan satu tawa yang membuncah, getarannya sampai ke tanganku, merayapi pembuluh darahku dan akhirnya jantungku berdetak tak karuan.
“Lalu?”
“Tebak, tebak, tebak saja…” aku temukan sifat kekanak-kanakan dalam sosok Kris. Aku berpikir. Satu, dua, tiga kali otakku berputar dan kuhitung satu sampai sepuluh, menyiksa Kris dalam hal menunggu adalah suatu perasaan yang ingin sekali kuberi istilah aneh.
Kutelusuri mata tajam Kris, bergerak saat tidur, juga bulu mata lurus yang menghiasinya. Kudekatkan wajahku, tanganku menyentuh telinganya, mencoba dengarkan apa isi kepalanya. Mengapa di pagi seperti ini, aku harus berpikir keras menebak sesuatu yang mungkin…tidak penting untuk kuketahui.
“Lupa mengambil baju di laundry? Oh! Tanaman di luar tumbuh besar? Atau—“
“Tentangmu.”
Berhenti disitu, seolah ada orang yang sengaja menjatuhkan setetes tinta hitam, bentuk sebuah titik di akhir kalimat yang Kris ucapkan.
Ini penting. Ini sangatlah penting. Aku akan berlari, membuka laci meja dan goreskan seribu nama Kris di atas kertas. Aku akan mengganti kertas jika lembar kertas ini tidak cukup. Akan seperti itu dan tertulis selamanya dengan cerita yang sama.
Tanganku tidak akan berhenti. Aku bersumpah tidak akan berhenti.
Kris…
Kris…
Kris…
Setiap silabel, kata, kalimat, biarkan mereka ingatkanku bahwa semua yang ada pada Kris, dan apa yang dia impikan tentangku. Bagaimana sosokku disana? Apakah aku memakai lipstick, make up? Apakah rambutku sangatlah bagus seperti yang kuimpikan selama ini? Apakah aku memakai baju yang cukup bagus?
Kris tidak berkata apa-apa, karena…memang tidak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut.
“Terima kasih.” Kataku.
Terima kasih membawaku dalam mimpimu—tempat terindah dimana kau bisa menjalani hidup seperti yang kau inginkan, kau rencanakan.
Lalu Kris menelengkan kepalanya, pandangannya telisik tubuhku atau…kemeja putih-nya yang kukenakan. Dia genggam bagian kerahnya, tersenyum bagai matahari di akhir jaman…sebelum semuanya berakhir dan manusia sadar bahwa ini diriku, juga Kris.
“Kau memakai kemejaku, nona…”
“Aku tahu. Kau tidak keberatan, kan?” aku tertawa kecil.
Kris tidak pernah keberatan. Ini adalah pemandangan indah baginya—menurutnya. Kutetapkan bahwa ini adalah kemeja favoritku. Selamanya.
***
Kris masih Kris yang dulu. Dia lembut dalam perkataan maupun perbuatan. Dia perhatian dalam mengurus ini dan mengurus itu. Dia pekerja keras dalam membahagiakan setiap orang yang ada di dekatnya. Dia penolong di kala susah atau pemanis di kala hidup terasa hambar serta pahit.
Kini rambutnya memutih, sama sepertiku. Aku tidak bisa menahan senyumku ketika melihat sebuah kemeja putih yang mulai menguning ditumpukan baju kami. Aku ingat itu adalah kemeja favorit yang selama ini kuelu-elukan. Tentu saja aku tidak bisa mengenakannya lagi sama seperti saat umurku 22 tahun. Tapi kenangan dibalik itu terjahit rapi disetiap keliman-nya, bagaimana aku selalu membantu Kris mengancingkan kemejanya itu.
“Kris, kau masih ingat kemeja ini?” tanyaku menghampirinya di kursi goyang.
Kris menatapnya sejenak dan bertanya, “Ini kemejaku?”
Aku tersenyum sambil anggukan kepala.
Kris mengerutkan dahi, dia menunjuk bagian depan kemeja itu. Oh, ternyata ada satu kancing yang lepas. Aku pun mengambil kotak alat-alat jahit dari lemari, menarik kursi goyangku sendiri ke samping Kris dan mulai menjahit kancing disana.
Mentari sore bawa kami pada kenangan di hari Sabtu berpuluh-puluh tahun yang lalu. Manis, terkecap dalam ingatan.
***
Kukisahkan ini pada teman-temanku, sahabatku, anak-anakku, lalu mereka menceritakannya pada anak-anak mereka seakan inilah kisah turun temurun yang menjadi bahan dongeng mereka.
***
“Selesai? Itu kisah nenek dan kakek? Manisnya…” ujar Sulli menarik selimut sampai dagu. Gadis kecil itu membayangkan betapa indahnya kisah pengantar tidur yang dibawakan ibunya malam itu. Sedangkan dua kakak laki-lakinya, Jongin dan Sehun menjulurkan lidah.
“Ugghh…menjijikan. Aku akan muntah setelah ini.” Geram Jongin menutupi kepalanya dengan bantal.
“Terlalu banyak kata aku mencintaimu!! Aku akan mimpi buruk, ibu!” keluh Sehun bergabung dengan Jongin di tempat tidurnya.
“Aku hanya ingat bagian kemeja putih milik kakek karena aku minta satu milik ayah yang seperti itu. Kalau sudah besar aku pasti tampan memakai kemeja seperti itu.” Komentar Jongin.
Victoria tertawa dan sebelum pergi dia mencium ketiga anaknya, walaupun Jongin segera mengelap pipinya dengan selimut dan Sehun tersenyum sambil memeluk boneka beruang. Victoria melangkah ke tempat tidur paling ujung milik keponakannya, Kyungsoo, tampak sedang menulis sesuatu selama dia bercerita tadi.
“Kyungsoo, bibi akan matikan lampunya.” Ujar Victoria menutup tirai jendela kamar dan Kyungsoo tahu dia harus berhenti menulis, buru-buru menyelipkan kertas serta pensilnya dibawah bantal.
Victoria mengecup keningnya dan bertanya, “Apa yang sedang kau tulis, Kyungie?”
Kyungsoo tersenyum kecil dan menggeleng. Victoria membiarkannya menyimpan rahasia, apapun itu, karena keponakannya ini memang terkenal pendiam.
“Tidur yang nyenyak, Kyungie. Selamat malam.” Victoria mematikan lampu.
Setelah memastikan langkah Victoria sudah cukup jauh dan tak terdengar lagi, Kyungsoo menyibakkan tirai, biarkan sinar bulan terangi penglihatannya. Kertas ditangannya sedikit kusut karena tertimpa bantal. Namun tak mengapa. Kyungsoo membaca dalam hati puisi yang dia catat:
I Love You
I see more than you know
About all you are,
And through my observations
And from my analysis
I’ve conclude that
I love you.
Not a theory
Quite simply fact…
I love you,
And that’s that.
Dan Kyungsoo bersumpah suatu hari nanti, mungkin jika dia tidak lagi berumur 12 tahun dan tumbuh dewasa. Dia akan menemukan seorang gadis dan akan mencintainya sepenuh hati seperti yang dilakukan kakeknya, Kris, juga neneknya. Mungkin akan membuat gadis itu menjadikan sosok Kyungsoo adalah…
Favoritnya.
- THE END -
A/N (again?):
Have no plots. Hate it!
Tapi author suka sama sebutan ‘Kyungie’ hahaha \(^.^)/ dan apa iniii?? Tiba-tiba Victoria punya tiga anak…si sulii, kai, sama sehun, trus ada keponakannya D.O …. O.o
Yah biarlah…yang penting suwwiitt kan hehehe
Maaf Kris membuatmu jadi kakek-kakek, mungkin harusnya cerita ini buat Suho secara dialah the real Granny O.O #plaakk
