Take a Drink Together
presented by pearlshafirablue
staring by Do Kyungsoo [EXO-K] – Kim Taeyeon [GG]
| Romance, Action, slight!Mystery | Teen | Chaptered [4 of ?] |
“All of the characters are God’s and themselves’. They didn’t gave me any permission to use their name in my story. Once fiction, it’ll be forever fiction. I don’t make money for this.”
Previous Chapter
Prolog . 1 . 2 . 3
A/N
The title is inspired by Davichi’s song; Take A Drink Together. But only the title. Not the story. POV in every chapter maybe changed. So, read carefully. Warning, age manipulation!
-o0o-
“Yang mana rumahmu?”
Tidak ada jawaban.
Taeyeon mengangkat kaca helm-nya seraya menatap ke arah spion. Pantulan wajah Kyungsoo terlihat jelas disana. Tatapannya kosong. Taeyeon menggigit lapisan bibir bawahnya—resah.
“Kyungsoo?”
Taeyeon bisa merasakan tubuh Kyungsoo menegang sesaat. “Ah, iya?”
“Yang mana rumahmu? Semua rumah di kompleks ini sama.” Ulas Taeyeon—menilik satu per satu rumah yang berjejer di kiri-kanannya.
“Bukankah aku sudah bilang? Rumahku paling mencolok di antara rumah-rumah lainnya.”
“T-tapi daritadi aku lihat semua rumah disini sa—” Taeyeon tidak melanjutkan kata-katanya. Sekonyong-konyong ia meremas rem tangan, dan tak sampai sedetik motor Taeyeon sudah berhenti sempurna di pinggir trotoar.
“Sudah mengerti apa yang kumaksud dengan mencolok?”
Taeyeon mengangguk perlahan, tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari sebuah rumah besar di ujung jalan, “apa… rumahmu tidak terlihat sangat berbeda?”
Taeyeon melepas helm-nya. Kaki kecilnya melangkah pelan, mendekati satu-satunya rumah yang ditutupi oleh cat berwarna coklat tua di kompleks itu. Rumah itu terlihat sangat megah diantara rumah-rumah lainnya. Ya, memang rumah itu adalah rumah terbesar di kompleks Gangnam. Pepohonan dan semak rimbun mengisi seluruh petak-petak taman di pekarangan rumah tersebut. Sebuah air mancur berdiri tegak di tengah-tengah taman—tampak indah dan elegan. Taeyeon tidak bisa berhenti bergumam dalam hatinya.
“Apa noona-mu sekaya ini?” Decak Taeyeon kagum.
“Tidak.”
Jelas sekali jawaban Kyungsoo membuat Taeyeon menoleh cepat ke arahnya. Matanya menyiratkan kebingungan, “apa maksudmu?”
“Tidak ada maksud apa-apa. Hanya tidak.” Jawab Kyungsoo datar—melepas jaket yang dipinjami Taeyeon tadi dan menyampirkannya di atas jok belakang motor gadis bermarga Kim itu. “Anyway, terimakasih atas tumpangannya. Dan juga jaket ini.”
Taeyeon mengangguk kecil. Ia terus memperhatikan Kyungsoo hingga sosok itu tiba tepat di depan pagar putih rumahnya yang menjulang tinggi. Taeyeon sama sekali tidak beranjak sampai memastikan bahwa Kyungsoo sudah masuk ke dalam.
Mendadak pemandangan di depan Taeyeon membuat gadis itu tersentak kaget. Ia dapat melihat dengan jelas sekelebat tangan kokoh menampar pipi kanan Kyungsoo. Tetapi karena area pandangannya yang terbatas, ia tidak bisa memastikan spesies jenis apa yang dengan kejamnya berani menampar sosok malang itu. Taeyeon bergeming. Ia bimbang.
Bak menonton film perang zaman kekaisaran Edo, penyiksaan di hadapannya terus berlanjut. Kini Kyungsoo tampak berlutut—dengan kepala menunduk ke bawah, beberapa tetes liquid mengalir dari hidungnya.
Taeyeon tidak bisa melihat dengan jelas cairan apa itu. Tapi tentu saja itu pasti darah. Tidak ada jawaban yang lebih rasional daripada benda cair berbau anyir itu.
Taeyeon meneguk air liurnya dengan susah payah. Kakinya mulai melangkah mendekat tepat saat tubuh Kyungsoo sudah diseret masuk.
Mendadak ia terserang sakit kepala.
-o0o-
“Joonmyun? Kau sudah masuk sekolah?”
Terdengar suara riuh dari depan kelas. Taeyeon menghentikan pekerjaannya sejenak—melirik ke arah Kyungsoo sebentar—dan segera berlari ke arah pintu masuk kelas.
“Joonmyun!” Taeyeon tampak syok. Matanya membulat dan perlahan bibirnya mengukir sebuah senyuman.
“Taeyeon!” Seru Joonmyun gembira. Taeyeon tidak pernah menyangka bahwa Joonmyun akan memeluknya. Garisbawahi, di depan seluruh murid kelas 9-A.
Dan Joonmyun melepas pelukannya dengan wajah tanpa dosa—seolah-olah ia tidak melakukan apa-apa barusan. “Kau tahu, aku merindukanmu!”
Taeyeon tergelak. Apa yang barusan Joonmyun bilang?
“Kalian… sepasang kekasih?” Terdengar sebuah suara dari kanan Taeyeon—kiri Joonmyun.
“Ya! Tentu saja bukan, Luhan!” Protes Taeyeon seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya. Joonmyun hanya tersenyum mendengar pertanyaan Luhan.
“Omong-omong, kau terlibat dalam kecelakaan macam apa kemarin, Joonmyun?” Luhan kembali bertanya. Kini semua pandangan mengarah pada Joonmyun—penasaran.
Joonmyun tidak menjawab. Ia menunduk—menatap kaki kanannya yang diperban. Tidak ada satupun kata keluar dari mulutnya untuk beberapa detik.
“Aku…” Joonmyun menggantungkan kalimatnya. Semua orang menunggu. “…tidak ingin membicarakannya.”
Pernyataan Joonmyun jelas membuat Taeyeon, Luhan dan teman-temannya kecewa. Tapi tampaknya ada sesuatu yang membuat atmosfer wajah Joonmyun berubah. Dan mereka tahu, Joonmyun tidak ingin membicarakannya.
“Kau tahu, Myun-ah? Gara-gara kau kita tidak jadi pergi outbound!”
“Ne! Kau menyebalkan!”
“Padahal ibuku sudah repot-repot membuatkan bekal banyak.”
Suasana kembali mencair. Sunkyu dan Jongdae tampak asyik bergurau dengan Luhan, Joonmyun dan murid-murid lainnya. Tapi tidak dengan Taeyeon. Ekor mata gadis itu masih terpaku pada satu-satunya murid yang tersisa di dalam kelas. Tidak lain dan tidak bukan, murid itu adalah Do Kyungsoo.
Taeyeon melirik Joonmyun dan Kyungsoo bergantian. Akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari gerombolan dan melangkah mendekat ke arah bangku Kyungsoo. Si empunya bangku tampak tak terusik. Ia masih tetap menenggelamkan wajahnya di antara kedua lengan kurus miliknya.
Taeyeon duduk di dengan posisi terbalik di atas kursi yang berada tepat di depan bangku Kyungsoo. Gadis beriris madu itu menepuk pelan lengan Kyungsoo, “hei.”
Mendadak tubuh Kyungsoo menegang. Ia refleks mengangkat wajahnya.
Dan hal itu jelas membuat Taeyeon menjerit kecil.
Wajah Kyungsoo sudah persis seperti zombie sekarang. Atau mungkin, lebih parah dari itu.
“Hei!” Kyungsoo berseru tanpa suara sembari menyembunyikan wajahnya. “Diam! Aku tidak mau yang lain mengetahui keadaan wajahku!”
Taeyeon dengan panik mengunci mulutnya. Ia menoleh sebentar ke arah gerombolan anak kelas 9-A yang masih memadati pintu depan. Mereka tidak mendengar jeritannya tadi. Syukurlah.
“Apa kau tidak berpikir? Ketika mereka semua melihat wajahku, pasti mereka akan mengira bahwa aku anak berandalan yang hobi cari masalah!” Lanjut Kyungsoo. Ekor matanya menilik satu per satu anak yang ada di depan pintu. Dan semuanya tampak baik-baik saja.
“A-apa yang terjadi?” Tanya Taeyeon pelan. Ia menggerakkan kepalanya mendekati wajah Kyungsoo.
“Kurasa kau juga tahu apa yang terjadi.” Desis Kyungsoo. “Kau masih ada disana, ‘kan saat itu?”
Taeyeon mengangkat kepalanya. Tatapannya bersirobok dengan plafon ruang kelas yang berwarna putih susu. Tentu saja, ia ingat setiap detail kejadian tadi malam. Tidak ada yang terlewatkan. Matanya bahkan tidak berkedip sama sekali saat menontonnya.
“Melihat ekspresimu, kurasa kau sudah tahu.” Tambah Kyungsoo. Ia kembali membenamkan wajahnya.
“Ka-kau… kau tidak apa-apa?” Tanya Taeyeon retoris. Jelas hal itu membuat Kyungsoo sedikit kesal.
“Menurutmu bagaimana? Bisakah kau berhenti menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?” Ujarnya dengan suara sedikit bergetar.
Taeyeon hanya bisa diam dan menelan salivanya. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa kepada Kyungsoo. Tubuhnya perlahan bangkit, jemari mungilnya sekonyong-konyong mencengkram lengan baju Kyungsoo. Gadis itu menarik Kyungsoo untuk berdiri.
“Ya! Taeyeon! Kita mau kemana?” Tanya Kyungsoo setengah berbisik.
Taeyeon tidak mengindahkan pertanyaan Kyungsoo. Ia nyaris berlari ke arah pintu kelas—masih dengan Kyungsoo di tangan kanannya.
Tubuh gadis itu menelusup masuk di antara tubuh-tubuh lainnnya. Kyungsoo mengeratkan topi dan jaketnya—mengantisipasi jika ada siswa lain yang tak sengaja mengetahui keadaan wajahnya.
“Hei, Taeyeon! Kau mau kemana?” Pertanyaan Sunkyu tampak tidak dihiraukan oleh si empunya nama.
Jelas kepergian Taeyeon berdua dengan Kyungsoo membuat murid-murid 9-A heran dan tertarik. Keributan pun tidak dapat dihindari. Kini Sunkyu, Jongdae, Luhan, dan murid-murid 9-A lainnya terlibat dalam pembicaraan seru mengenai 2 sosok yang berbeda latar belakang tersebut.
Joonmyun pun ikut andil dalam hal ini. Matanya tidak bisa berhenti menatap punggung Taeyeon, yang kian lama kian menjauh. Dan ia hanya bisa menerka-nerka apa yang telah terjadi dengan keduanya.
-o0o-
“Aw!”
“Diam, Kyungsoo.”
Taeyeon mengemuli sebuah kapas dengan obat merah. Tangan piawainya mulai mengusap sebagian wajah Kyungsoo menggunakan kapas tersebut. Dengan hati-hati, ia menekan memar Kyungsoo yang sudah terlihat sangat parah. Darah mulai merembes dari luka-luka menyedihkan itu.
“Ya Tuhan, Kyungsoo…” Taeyeon mendesah. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin seorang anak yang masih duduk di kelas 3 sekolah menengah pertama sanggup bertahan dengan penyiksaan sedemikian rupa. “Kau tidak merasa sakit?”
“Noona-ku pernah melakukan hal yang lebih parah.” Ulas Kyungsoo lirih.
Taeyeon menautkan kedua alisnya, “ja-jadi… jadi ini semua ulah noona-mu?” Dugaan Taeyeon terbukti benar.
Kyungsoo tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. Matanya menerawang ke atas. “Setidaknya, aku masih beruntung karena tidak separah orangtuaku.”
“Apa?” Taeyeon tampak tidak memerhatikan. Ia mengangkat tatapannya ke arah iris coklat Kyungsoo.
“Tidak apa-apa.” Jawab Kyungsoo. “Wajahku terasa membaik. Apa sudah selesai?”
Taeyeon menggeleng. Dengan ulet tangannya memotong-motong perban putih. “Apa kau tidak pergi ke tempat Jessica unnie? Biasanya dia ‘kan yang merawatmu?”
“Hal yang lebih buruk bisa terjadi jika aku pergi ke sana lagi.” Papar Kyungsoo. Taeyeon hanya mengangguk, ia berusaha menahan rasa penasarannya yang sudah membuncah.
Hanya selang beberapa menit, memar dan luka lecet di wajah Kyungsoo sudah terlihat samar. Meskipun keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya—karena sekarang banyak sekali perban dan plester yang menempel di wajahnya—setidaknya kini Kyungsoo merasa lebih nyaman. Luka-luka memarnya sudah tidak terasa sakit lagi. Begitu juga dengan luka goresnya—yang sempat menyiksa fisik maupun mental lelaki itu.
Krruyuk…
Terdengar suara aneh yang menurut Kyungsoo sedikit memalukan. Ia buru-buru menoleh ke arah Taeyeon—berharap gadis dengan tubuh standar itu tidak mendengar apapun.
Harapan Kyungsoo kandas ketika melihat pipi mulus Taeyeon menggembung—menahan tawa.
“Kau lapar?”
-o0o-
Jarum panjang sebuah jam dinding besar yang tergantung di tengah-tengah kantin terus bergerak. Berbagai macam murid berbeda kasta dan latar belakang terlihat mondar-mandir, entah dengan nampan yang berisi penuh makanan atau kosong tak bersisa. Tak jarang juga murid tanpa apapun di tangannya terlihat berlalu lalang di tempat favorit itu.
Dua orang gadis tampak duduk berhadapan. Mulut mereka berdua terkunci rapat. Tidak ada satupun yang berbicara. Di sebelah gadis pertama, terdapat sesosok lelaki kurus berkulit coklat bersih tampak sedang menikmati spaghetti di hadapannya—dan sekali lagi, dalam diam yang panjang. Tidak berbeda dengan pria berkulit putih porselen di sebelah gadis kedua. Ia juga tampak sibuk mengunyah butiran-butiran nasi di dalam mulutnya. Sepiring nasi dan kari daging di hadapannya tampak menggugah selera. Ia tetap makan dengan lahap meskipun nyaris seluruh wajahnya ditutupi plester dan perban.
“Hei?” Suara gadis kedua memecah keheningan. Ketiga pasang mata langsung beralih cepat ke arahnya.
Suasana kembali canggung.
“Ada apa, Taeyeon?” Kali ini terdengar sahutan dari gadis pertama—si tomboi berambut blonde yang kini tengah menilik setiap lekukan wajah gadis di hadapannya.
“Ke-kenapa kalian diam saja?” Tanya si gadis kedua—Taeyeon—dengan terbata.
“Karena memang tidak ada yang perlu dibicarakan.” Terdengar penuturan halus dari Jongdae. Tangannya masih sibuk mencabik-cabik daging saus di piring spaghetti-nya.
“Ku-kurasa j-juga begitu.” Sunkyu—si gadis tomboi tadi—mengangguk setuju.
Taeyeon menggaruk tengkuknya. “Kyungsoo, kau sudah selesai?” Akhirnya hanya pertanyaan itu yang terpikirkan—setidaknya ia punya teman bicara sekarang.
“Sudah kubilang untuk tidak menanyakan hal yang sudah kau ketahui jawabannya.” Jawaban Kyungsoo membuat Taeyeon mencelos. Ia tidak suka suasana canggung seperti ini. Lebih baik berisik daripada sunyi.
“Kau lapar sekali, ya?”
Taeyeon menoleh ke arah sumber suara. Matanya menangkap sosok Jongdae yang tengah menatap Kyungsoo dengan pandangan jijik.
“Apa maksudmu?” Kyungsoo mengelap bibirnya dengan sapu tangan yang telah disediakan kantin. Alisnya saling bertautan.
“Taeyeon,” Jongdae menghiraukan pertanyaan Kyungsoo. Tatapannya beralih ke arah Taeyeon yang duduk di sebelah Kyungsoo. “Apa temanmu ini tidak diberi makan oleh orangtuanya? Kenapa dia makan seperti tidak pernah makan sebelumnya? Seperti binatang.”
Jelas saja. Kejadian selanjutnya sudah bisa ditebak.
Semuanya kini terasa seperti film yang diperlambat. Taeyeon perlahan-lahan bangkit dari duduknya—disusul oleh Sunkyu. Wajah mereka tampak kalut dan syok. Mulut mereka membuka lebar. Dan mata mereka terbelalak hebat.
Jongdae, terbaring lemah di lantai kantin. Saus spaghetti mengemuli wajah tirusnya. Ia mengerang kesakitan. Kentara sekali, semua orang yang melihatnya terjatuh tadi pasti tahu bahwa kepalanya terbentur sangat keras.
Tatapan Taeyeon beralih ke arah lelaki yang sudah menyebabkan Jongdae meringkuk di ubin kantin. Wajahnya persis seperti singa jantan yang daerah teritorinya dirampas. Tangan lelaki itu bergetar hebat. Keringat mulai merembes dari pori-pori kulitnya. Taeyeon menurunkan area pandangnya ke bawah—ke arah saku celana seragam Kyungsoo. Ada sesuatu terbentuk disana. Taeyeon mencermati setiap relung celana Kyungsoo.
Mulutnya kembali membuka saat sadar benda apa itu. Apalagi ketika jemari Kyungsoo mulai meraihnya.
Pistol.
Dengan cepat Taeyeon meraih lengan Kyungsoo. “Pergi dari sini.”
Kyungsoo tidak memberontak.
Taeyeon berbisik sebentar pada Sunkyu, “aku mohon. Aku akan menceritakannya saat waktunya tiba. Tolong umumkan bahwa tidak ada seorangpun yang boleh mengadukan perbuatan Kyungsoo saat ini. Termasuk Jongdae.”
Belum sempat Sunkyu protes, siluet Taeyeon dan Kyungsoo sudah hilang dibalik pintu kantin.
.to be continued.
