Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

[FREELANCE] You Can’t Disappear From Me (Chapter 9-END)

$
0
0

Image

Title : You Can’t Disappear From Me

Author : Hyuuga Ace (@dioxing_0307)

Length.: Multichapter

Genre : Romance, Drama, School Life, Hurt

Rate : G

 

Main Cast :

   ·  Oh Yu Bin (OC)

   ·  Kim Jong In / Kai

   ·  Park Chan Yeol

   ·  Lee Sae Ra (OC)

 

Other Cast : Kwon Yura (OC), Wu Yi Fan (Kris), Xi Luhan, Do Kyungsoo /D.O, Oh Se Hun, Zhang Yixing / Lay

 

Author’s Notes :

Finally, FF ini bisa tuntas jugaaa. Semoga ga mengecewakan yah ^^ Tunggu FF author yang lainnya. Author lg on the way (?) bikin satu ff multichapter baru ama beberapa one shot. Skli lagi makasih buat readers yg udh baca FF YCDFM juga buat admin exomk yg udh ngepost ke 9 chapter epep ini. *turun balkon, pidato selesai (?)*

 

PS : buat temen author *nama disamarkan* (?) Gomawo buat support, bikinin poster, dll. Gomawo gomawo gomawooo~

 

Happy Reading All! ^^

 

 

______

 

 

Kai’s PoV

 

Ciuman itu sangat singkat, aku segera menarik wajahku disaat yang sama ketika tanganku mengelus pipinya. Panas.

 

“Kau tidak apa- apa?!” Tanyaku khawatir, tapi segala kekhawatiran itu berubah menjadi rasa bersalah ketika aku melihat ke dalam bola matanya.

 

Dia menatapku shock. Sepertinya aku memang melakukan kesalahan.

 

“Ayo pulang.” Aku bangkit berdiri dan menggerakan tanganku yang bebas untuk menarik tangannya pelan.

 

“Ani, gwaenchana.” Aku merasakannya, dia menarik lagi tangannya.

 

“Aku tidak ingin pulang.” Lanjutnya, aku menoleh ke belakang dan melihatnya menatapku dengan pandangan yang menurutku aneh.

 

Aku bisa merasakan perasaan kebahagiaan di dalamnya, namun aku juga bisa melihatnya sedang menahan air matanya.

 

“Wae? Tubuhmu masih sakit, Yubin-ah. Sentuh saja wajahmu, panas sekali. Kau butuh istirahat.” Aku mencoba menjelaskannya dengan nada selembut mungkin.

 

“Kai, aku sangat bahagia hari ini. Namun disisi lain keegoisanku menekanku untuk merasakan perasaan sedih. Aku sedih karena…” Dia menarik tanganku agar kembali duduk di sebelahnya. Aku menyadarinya, tubuhku bergerak sendiri dan kembali terduduk aku juga bisa merasakannya ketika bola mataku seakan terkunci di dalam matanya.

 

Ya, aku terpaku. Aku terpaku melihat segala emosi yang ia coba untuk keluarkan dan beberapa di antaranya aku tahu ia sedang menekannya. Dan tak perlu waktu lama, aku mengerti maksud dari emosi yang ia tunjukan ini.

 

Aku tahu, dia tidak ingin waktu cepat bergulir dan kemudian dia harus melihatku pergi meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama.

 

Tapi disisi lain, aku ingin melihatnya mengucapkannya. Perasaannya padaku, apakah spekulasiku benar? Ia takut kehilanganku? Ia sedih karena aku berpisah jauh denganku?

 

Sekali saja, aku ingin melihatnya lebih egois terhadapku.

 

“Karena?”

 

“Aku hanya sedih, Kai.” Ujarnya sambil menundukan kepalanya.

 

“Mungkin ini adalah hal teregois yang pernah kuucapkan. Tapi aku sedih karena aku takut jika hari esok cepat datang. Aku takut melihat punggungmu akan berjalan menjauhiku. Aku sedih menyadari kenyataan aku akan jarang melihatmu secara langsung. Jadi…. aku hanya sedih, Kai.” Ucapnya pada akhirnya yang membuatku rasanya ingin membuang tiket pesawat itu sesegera mungkin.

 

Aku harus bagaimana? Hanya Yubin satu- satunya orang yang bisa membuatku bertahan. Aku ingin mencoba menjelaskannya. Menjelaskan bahwa aku juga takut kehilangannya, takut karena tidak bisa melihat dirinya seperti biasanya, takut karena mungkin saja ia akan berpaling dariku. Namun aku tahu aku tidak bisa mengucapkannya. Karena jika hal ini benar- benar terlontar dari mulutku. Aku tahu aku benar- benar tidak bisa pergi.

 

Kemudian aku tersenyum getir ketika dia melontarkan sesuatu dari mulutnya, “Tapi kau harus tetap pergi, Kai.” Ya, dia memang bisa membaca diriku. Hal yang diucapkannya seakan menjawab segala keraguan dalam benakku.

 

Mind reader?

 

“Ani, aku hanya mengenalmu. Kau harus pergi, karena dengan pergi ke Harvard, itu sama halnya dengan mengambil langkah pertama untuk cita- citamu.” Dia mengangkat wajahnya dan menatapku jahil. Wajahnya jauh lebih ceria dibanding sebelumnya. Dan ini membuatku bertanya- tanya.

 

“Wae?” Dia hanya terkekeh yang membuat keningku berkerut makin dalam.

 

“Kau tahu kan aku masih menonton Spongebob di usiaku sekarang?” Sponge.. Bob? Apakah pembicaraan kami sekarang ada hubungannya dengan sponge kuning yang entah mengapa jadi menyebalkan di mataku sekarang? Aku mendengus sebal.

 

“Apakah itu ada hubungannya dengan pembicaraan kita?”

 

“Aku hanya ingin meminjam sedikit kata- kata Patrick.” Oh si bintang pink.

 

“Spongebob pernah bertanya padanya ‘Apa yang kau lakukan saat aku pergi?’ Dan Patrick kemudian menjawab ‘Menunggumu kembali’. Kau tahu hal itu sangat menggemaskan.” Dia mengekerucutkan bibir mungilnya, dan melempar tatapannya jauh ke atas, kepada bintang – bintang dan langit gelap di atas kami. Seakan dia berpikir.

 

“Aku tidak akan melakukan hal yang sama seperti Patrick. Aku tidak akan menunggumu kembali. Menunggu sesuatu membuat waktu terasa berjalan jauh lebih lambat. Aku menyadarinya beberapa saat yang lalu.”

 

Duniaku seakan jauh lebih gelap, apa yang diucapkannya barusan? Dia tidak ingin menungguku? Dia akan meninggalkanku?

 

“Jadi..”

 

“Hey! Nada suaramu. Aku tidak memintamu untuk bersedih. Aku belum menyelesaikan kalimatku. Ya, Kai. Aku tidak akan menunggumu. Aku juga memiliki impianku sendiri. Daripada menunggumu untuk kembali, aku berjanji.. Aku juga akan menjalani waktuku untuk selangkah lebih dekat dengan apa yang ku cita- citakan. Impianku.”

 

Aku bernapas lega. Dia, dia benar- benar Oh Yubin. Seperti inilah yeoja yang kucintai. Ya, dia benar.

 

“Ya, bisa kukatakan aku memang sedih. Perasaan sedih yang tadi menghampiriku belum sepenuhnya menghilang. Tapi setelah menyadari hal itu, sekarang aku lebih baik. Jadi kau pergi saja.” Ujarnya dengan nada jahil, seraya menyenderkan kepalanya di pundakku.

 

“Jadi kau mengusirku?” Aku menggenggam tangannya. Merasakan kehangatan dalam dirinya.

 

“Kau rasa?”

 

“Terkadang kau memang menyebalkan.” Aku terkekeh pelan, rasanya sudah lama sekali aku tidak berdebat dengannya. Bukankah awal kisah kami dimulai dari debat- debatan tidak penting. Dia selalu menolak gagasanku dan aku selalu membantah setiap ucapannya.

 

“Sementara kau selalu menyebalkan.” Aku menggenggam tangannya lebih erat.

 

“Andai saja kita bisa mengejar impian kita bersama- sama.” Aku memandang jauh ke depan. Tempat ini sudah sangat sepi, hanya terdengar gesekan rerumputan di bawah kaki kami.

 

“Sayang sekali, jika aku mendaftar di Harvard juga, dalam hitungan menit setelah memeriksa hasil tesku Harvard pasti akan menolakku. Walau aku pintar..”

 

“Kau pintar?” Sangsiku.

 

“Diam, bodoh. Aku sedang berbicara. Kurasa aku cukup pintar, yah walau tidak secemerlang dirimu. Mungkin bukan Harvard, mungkin aku bisa masuk Juilliard!” Pekiknya bersemangat yang membuatku menggeleng cepat.

 

You wish.

 

“Bakat menariku cukup baik!”

 

“Hahahahahahaha… Mwo?! Menari? Ahahahahaa. Maldo andwae! Kau menari seperti robot.” Aku mencoba menahan tawaku namun apa daya, ledakan tawa benar- benar tergelincir dari mulutku. Mengingatnya menari di kelas tari dan statement nya yang menyatakannya bahwa ia pandai dalam menari benar- benar sesuatu yang bodoh.

 

“Aku kan hanya bercanda, tidak perlu tertawa sampai seperti itu.” Kulirik wajahnya sekilas dan menemukan dirinya sedang memberengut. Namun sedetik kemudian ekspresinya berubah menjadi jauh lebih tenang, dan… damai. “Kai kau bisa diam untuk beberapa saat tidak?” Aku masih menatapnya ketika dia mulai menutup matanya di pundakku.

 

“Eoh?”

 

Saranghae.” Aku masih melihatnya dan betapa menyenangkannya ketika aku melihat senyumannya saat ia mengucapkan kata- kata tadi.

 

Nado.” Aku turut menyederkan kepalaku di atas puncak kepalanya. Keheningan menyambut kami.

 

Tapi dibalik keheningan itu, aku bisa merasakan sebuah kenyamanan.

 

Lama kami bertahan dalam posisi ini, sampai aku baru saja ingin berbicara mengajaknya pulang. Namun ekor mataku malah melihat pemandangan lain. Dia tertidur pulas di pundakku.

 

“Aku tahu sepanjang hari kau merasa lelah.” Aku tersenyum kecil dan merapikan poninya yang berantakan karena angin.

 

“Walau mulutmu berkata kau baik- baik saja, kau menahan sakit daritadi, hmm?” Aku membuang napasku berat.

 

“Yubin-ah. Rasanya aku ingin sekali berjanji padamu. Berjanji di lain waktu, aku akan menjagamu. Aku akan menghapus kenangan pahit dan menggantinya dengan kenangan yang penuh kebahagiaan. Aku juga ingin membuat banyak tawa dalam dirimu, bukan luka lagi. Bisakah kau menunggu saat itu tiba?” Aku mengakhiri percakapan monolog ini dengan menggendongnya dan berjalan pelan mendekati mobilku yang terparkir tidak jauh dari tempat itu.

 

Aku harap aku bisa menepati janjiku, Oh Yubin.

 

 

______

 

 

Yubin’s PoV

 

Matahari pagi menyambutku ketika kelopak mataku terbuka. Aku menoleh ke sekelilingku dan menemukan eomma dan Kai eomma tersenyum padaku.

 

Ya, ini di rumah sakit.

 

Chagiya, joheun achim!” Sapa Kai eomma riang. Aku mengangkat tubuhku untuk mendudukannya dan menyapa eomma dan Kai eomma. Dia memang sering berada disini untuk menemani eommaku atau menjengukku.

 

“Bagaimana perasaanmu?” Tanya eommaku lembut.

 

“Aku baik- baik saja. Aku senang aku bisa melihat kalian berdua.” Ujarku tenang. Tapi sedetik kemudian aku menyadari sesuatu. “Eomonim, Kai…”

 

“Dia sudah berangkat beberapa jam yang lalu..” Aku tersenyum kecil, ya seperti yang kuduga. Aku tahu dia memilih waktu keberangkatan yang tidak manusiawi. Pesawatnya take off pada pukul 5 pagi. Dan tentu saja aku yakin, alam bawah sadarku menyuruhku tidak bangun di jam- jam itu. Karena kutahu aku akan merasa sedih lagi.

 

“Eomonim, kau baik- baik saja?” Tanyaku tidak enak pada Kai eomma. Bagaimana pun seorang eomma melihat anaknya pergi dan jarang bertemu dengannya lagi dalam waktu lama tentu saja akan membuatnya terkadang merasa kesepian dan sedih.

 

Na?! Tentu saja aku baik- baik saja. Aku malah senang melihatnya pergi. Bagaimanapun sudah saatnya anak itu merasakan kehidupan yang sebenarnya dan tidak terus menerus meminta makan padaku.” Aku terkekeh pelan melihat Kai eomma berbicara.

 

“Kau benar, dia harus mencoba memasak makanan sendiri.” Aku menyetujuinya.

 

“Ah! Aku menyeret seseorang untuk datang kemari. Dia sedang berada di cafetaria, sebentar lagi mungkin akan sampai disini. Kau mungkin asing dengan dirinya, tapi kau pasti tidak asing dengan wajahnya!” Kai eomma mengakhiri kalimatnya dengan wajah yang penuh semangat, aku melirik sekilas pada eommaku yang hanya tersenyum melihatku.

 

Nugu?

 

Tidak butuh waktu lama sampai orang itu datang ke kamar rawatku. Dan benar saja, wajahnya tidak asing.

 

Orang ini mirip sekali dengan… Kai!

 

KAI ABEOJI?!

 

Aku menundukan kepalaku kaku.

 

“Annyeonghaseyo.” Sapaku yang hanya dibalasnya dengan anggukan kepala.

 

“Orang kaku ini ingin mengucapkan sesuatu padamu.” Ujar Kai eomma sambil menyenggol lengan suaminya keras. Omona..

 

“Maaf atas keterlambatanku dalam menjengukmu. Aku berharap kau cepat sembuh, dan terima kasih banyak karena telah menyelamatkan anakku dan malah mengorbankan dirimu sendiri. Aku sebagai ayahnya, merasa bersalah akan hal itu. Dan satu hal lagi, orang yang menabrakmu itu telah ditahan oleh pihak kepolisian karena kasus tabrak lari.” Kai abeoji berbicara dalam nada canggung. Aku sedikit kaget mengingat orang seperti ini menikah dengan seseorang yang sangat unik dan cerewet seperti Kai eomma.

 

“Ah! Ada sesuatu yang kurang, dia juga berharap kau bisa bahagia bersama Jongin di masa depan. Bukan begitu Tuan Kim?” Tambah Kai eomma yang membuatku geli ketika dia memanggil suaminya sendiri dengan sebutan Tuan Kim. Jahil sekali.

 

Kemudian Kai abeoji hanya menatap istrinya dengan pandangan malas dan menatapku dengan senyuman.

 

“Semoga kau bahagia.” Dia menatapku ramah dan aku membalasnya dengan senyuman.

 

“Ne, jeongmal gamshamnida.. Ehmm..”

 

“Panggil saja ahjussi. Dia sudah tua kok.” Sahut Kai eomma yang membuatku dan eomma terkekeh pelan. Sementara pasangan itu saling melemparkan death glare dan tatapan jahil.

 

Pasangan yang unik.

 

“Ah Yubin, Kai menitipkan sesuatu padamu sebelum keberangkatannya.” Kai eomma membuka tasnya dan memberikan secarik kertas lusuh padaku.

 

“Anak itu memberi surat cinta pada pacarnya memakai kertas seperti ini. Sama saja dengan appanya.” Gerutu Kai eomma. Aku segera membuka kertas itu dan melihat isinya.

 

“Ani, dia menulisnya dan menghapusnya berulang kali. Membuat kertas ini terlihat lusuh, eomonim.” Ya, memang begitu adanya. Banyak sekali coretan, hapusan, di dalam kertas itu.

 

“Mungkin kau butuh waktu sendirian. Eomma akan keluar sebentar.” Eomma mengelus puncak kepalaku pelan.

 

“Kami juga.” Begitupun dengan Kai eomma yang langsung menarik tangan suaminya keluar.

 

Dan aku sendirian disini, mulai membaca isi dari surat itu. Tentu saja, membaca kalimat yang ia setujui untuk menulisnya, bukan coret- coretannya.

 

Sebenarnya, aku tidak pandai dalam mengutarakan perasaanku lewat tulisan. Tapi beginilah jadinya. Maaf jika surat ini tidak layak baca karena bentuknya. Aku akan belajar membuat yang lebih baik di lain waktu.

 

Kau harus kursus membuat surat di Harvard, Kai.

 

Yubin-ah, aku pergi tanpa pamit padamu. Mianhae. Tapi setidaknya kau tidak melihat punggungku berjalan menjauhimu kan? Seperti yang kau takutkan.

 

Dasar bodoh.

 

Aku berjanji akan belajar dengan sangaaaat baik. Aku mencoba menamatkan study ku dalam 4 tahun. Kau percaya tidak padaku?

 

Harvard? Aku ragu Kai. Apalagi mengingat dirimu yang berencana mendapatkan gelar Master dari Harvard.

 

Tapi berapapun lamanya waktu ke depannya. Aku berharap di hari kita akan bertemu lagi, kau masih menyukaiku, kau masih terus melihatku. Semoga saja, tapi jika tidak. Pegang kata- kataku. Aku akan merebutmu dan membuatmu jatuh untukku sekali lagi.

 

Aku rasa kau tidak perlu susah- susah melakukan hal itu Kai. Karena kurasa berapapun lamanya aku akan tetap menyukaimu.

 

Kau tidak akan menungguku? Awalnya aku sedih mendengarnya. Tapi setelah mengetahui maksudmu aku malah merasakan hal sebaliknya. Aku masih belum tahu apa impianmu karena kau tidak pernah mengatakannya. Tapi di masa depan, tunjukanlah padaku, apa itu impianmu.

 

Majimak. Sampaikan salamku pada Chanyeol. Dia benar- benar orang yang sangat baik. Kurasa selama aku tidak ada, dia pasti bisa menjagamu. Eh, tapi jangan tunjukan surat ini padanya.

 

Ya, aku tahu kau akan malu jika Chanyeol mengetahui kau memujinya.

 

Oh Yubin. Aku benar- benar menyayangimu. Saranghae.

 

Nado…… Kai.

 

______

 

-6 years later-

 

 

 

Kai’s PoV

 

“Eomma, eodiga? Na wasseo!” Ujarku penuh semangat ketika kakiku menginjak Korea lagi setelah 6 tahun. Aku benar- benar mengambil jalur prestasi paling cepat untuk mendapatkan gelar Master, hal itu menjadikanku begitu sibuk dan membuatku tidak bisa pulang walau untuk sekedar berlibur.

 

“Kau benar- benar sudah pulang? Mengapa mendadak? Terakhir eomma mendengar kau masih mengerjakan skripsi akhirmu?” Eomma memberondongku dengan pertanyaan. Aku membenarkan letak kaca mata hitamku dan menarik napas panjang.

 

“Aku akan menjelaskan semuanya di rumah―”

 

“Eh, tapi eomma dan appa sedang tidak berada di Korea.”

 

“MWO?!” Aku menggerutu tidak jelas, anaknya pulang tapi mereka malah berada di luar negri. Tapi ini memang salahku, aku tidak memberitahu kan akan pulang ke Korea hari ini.

 

Tentu saja, aku baru menyelesaikan segala bentuk tugas akhir dan urusan kuliahku 2 hari yang lalu dan aku langsung membeli tiket ke Korea secepatnya. Mengemas barang- barangku dan langsung berangkat ke Korea. Aku belum sempat menghubungi mereka.

 

“Eomma dan appa sedang mengulang masa muda kami di Thailand. Jika kau mau bertemu kami, kau bisa menyusul kami secepatnya ke sini. Tapi eomma yakin ada orang lain yang pasti ingin langsung kau cari setelah menginjak Korea.” Eomma terkekeh pelan di ujung sambungan telepon. Dari caranya berbicara dan tertawa aku sudah bisa menebak ada yang tidak beres.

 

Ada apa dengan Yubin?

 

Aku segera menggeret koperku lebih kasar dan berjalan lebih cepat. Tanganku terulur untuk memberhentikan taxi yang lewat di depanku.

 

“Ada apa dengannya, eomma?” Tanyaku panik seraya memasukan koperku ke bagasi taxi. Entahlah, tiba- tiba ada sesuatu yang mengganjal di benakku.

 

“Kau cari tahu sendiri sajalah, eomma tutup teleponnya yah. Appa mu memarahiku gara- gara mengangkat telepon saat makan. Annyeong.”

 

BIP

 

Dan sambungan pun terputus. Ya, dia masih eommaku. Dengan segala karakter uniknya yang akan selalu berada dalam dirinya.

 

Aku menekan tombol lain dalam ponselku. Nomor seseorang yang sudah cukup lama tidak ku hubungi.

 

“Hyung!” Sapaku saat panggilan tersambung.

 

“Ya! Kim Jongin! Tumben sekali kau menelepon.” Luhan Hyung. Suaranya masih sama persis seperti terakhir kali aku meneleponnya.

 

“Kau tahu di mana Yubin sekarang? Alamat rumahnya masih sama? Atau aku harus mencarinya di cafe tempat ia bekerja dulu?”

 

Tak lama setelah aku menyelesaikan pertanyaanku, aku bisa mendengar dengusan dalam suaranya. “Aishh.. Jadi kau sudah pulang? Mengapa tidak memberitahu kami terlebih dahulu sehingga kami bisa menjemputmu di bandara, huh?”

 

“Mian, kepulanganku memang mendadak sekali. Hyung, kau belum menjawab pertanyaanku.”

 

“Ah, Yubin. Nado molla, aku sudah beberapa tahun tidak melihatnya. Dan kudengar alamat rumahnya juga sudah tidak sama. Soal cafe, aku tidak yakin dia masih bekerja disana.”

 

“Aishhh! Sial kemana hilangnya yeoja itu?” Aku menggertakan gigi tidak sabar. Alasan utama aku pulang cepat seperti ini adalah untuk menemuinya.

 

Whoa, calm down. Kai. Mungkin kau ingin beristirahat dan menemui kami dulu? Ah aku juga sudah lama tidak berkumpul bersama- sama yang lain, eotte?” Luhan Hyung menawariku. Aku baru saja hendak menolak, karena memang aku ingin bertemu Yubin terlebih dahulu. Tapi dia menambahkan sesuatu yang lain yang membuatku berpikir lagi.

 

“Aku juga akan mengajak Chanyeol.”

 

Aku bisa menemui Yubin jika bertemu dengan Chanyeol. Namja itu pasti tahu di mana Yubin.

 

“Arra, tempat biasa Hyung.”

 

“Ne.”

 

Aku segera mematikan sambungan telepon dan menyebutkan sebuah alamat kepada supir taxi. Setelah itu taxi segera berjalan mulus di jalanan.

 

Bisa ku akui, mengingat Yubin membuatku sangat kalap. Banyak sekali spekulasi yang berpendar dalam benakku. Aku takut aku terlambat, aku kehilangannya. Dan segala macam hal- hal buruk lainnya.

 

Ini membuatku tidak tenang. Aku harus bertemu dengannya dan kemudian ketidakwarasanku akan berkurang sedikit demi sedikit.

 

Aku menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari bandara Incheon sampai ke tempat yang sudah dijanjikan.

 

Ketika sampai disana, aku sudah bisa melihat Luhan dengan rambut merahnya. Model baru, tapi ia sangat cocok dengan rambut merahnya. Disamping kirinya aku melihat Sehun dengan senyum meremehkannya yang ditujukan padaku. Masih sama seperti dulu, perbedaanya dengan Sehun yang dahulu hanyalah wajahnya yang makin tua. Tentu saja. Lalu di seberang meja, Kyungsoo tersenyum cerah dan segera bangkit berdiri menghampiriku dan meninju lenganku pelan.

 

“Kai! Kami benar- benar merindukanmu.” Ujarnya yang membuatku tersenyum. Sedetik kemudian aku menyadari satu hal.

 

“Yixing hyung, di mana dia?” Aku dan Kyungsoo berjalan menghampiri meja dan duduk bersebelahan.

 

“Yixing, dia masih di Russia. Tidakkah kau tahu, dia menjadi salah satu penari hebat yang patut untuk dibanggakan.” Aku tersenyum kecil mengingat bagaimana dulu Yixing Hyung berlatih keras dalam menari. Dan aku turut bangga akan keberhasilannya.

 

“Dia penari yang hebat.” Aku mengakuinya. Tiba- tiba pandangan mataku jatuh pada seorang yeoja yang baru saja datang menghampiri kami dan langsung saja mengambil tempat di bangku sebelah kanan Luhan Hyung yang kosong.

 

Lee Saera. Dengan rambut panjangnya.

 

Aku mengerjap kaget ketika melihatnya menatapku sambil tersenyum.

 

“Kai! Long time no see. Wajahmu tidak berubah hanya saja aku mulai bias melihat kerutan di wajahmu. Makin tua.” Ujarnya bersemangat.

 

“Bukankah kita semua memang makin tua? Terlebih Sehun. Aku malu mengingat fakta aku seumuran dengannya. Dia terlihat lebih tua dibanding Luhan Hyung.” Aku melirik jahil ke arah Sehun yang langsung memberikan death glare untukku.

 

“Saera-ya, kau terlihat berbeda.” Sahutku yang hanya dibalasnya dengan lirikan ganas ke arah seseorang di sampingnya.

 

“Berkat seseorang. Seseorang itu sangat berisik tentang penampilanku. Dia memintaku untuk berdandan lebih dewasa. Dan beginilah jadinya aku.”

 

Aku membelalakan mataku kaget. Jangan bilang, Luhan Hyung dan Saera….?

 

“Kalian pacaran?” Aku bertanya dengan nada takjub.

 

“Tidak, dia hanya orang yang selalu menempel padaku.”

 

“Berisik kau, Lu.” Sengit Saera sambil menyikut rusuk Luhan. Aku terkekeh geli.

 

“Abaikan mereka. Mereka memang aneh, entah jenis hubungan apa di antara mereka berdua.” Bisik Kyungsoo di sebelahku.

 

“Tapi perlu kau ketahui, Kai. Perusahaan abeojimu sekarang penerusnya adalah yeoja itu.” Sahut Sehun sambil meneguk orange juice nya.

 

Aku tidak kaget jika Saera mengambil alih perusahaan. Karena ia memang kompeten dalam hal itu, dan abeoji memang berencana memberikan perusahaan pada Saera jika aku menolaknya. Dan aku memang menolaknya.

 

“Lalu karena yeoja itu pula, Luhan Hyung mempunyai 2 pekerjaan sekarang. Semua orang tahu jika ia adalah pemilik dari salah satu majalah paling tenar di kalangan anak muda sekarang.” Sehun menggantungkan ucapannya. Aku mengingatnya, ketika aku mengetahui betapa suksesnya dia  dari artikel berbahasa Inggris yang membahas mengenai seseorang bernama Xi Luhan yang perlu beberapa waktu untuk menyadarinya bahwa itu adalah Luhan Hyung, Hyung sekaligus sahabatku.

 

“Kau pasti belum tahu hal ini. Luhan Hyung juga turut bekerja dalam perusahaan abeojimu.”

 

“Jinjja?!” Aku terkesiap Bagaimana aku tidak mengetahui hal itu?

 

Pandanganku beralih pada namja berambut merah itu. “Ani, jangan salah paham, Kai. Aku bukan pegawai resmi di perusahaan abeojimu. Aku hanya membantu.. uhm, Saera. Tentu saja itu tidak begitu sering karena aku mengerjakannya di waktu lenggangku.” Terangnya.

 

Namun Kyungsoo Hyung dengan cepat membisikan kata- kata ini padaku.

 

“Dia asisten pribadi Lee Saera.”

 

 Tapi rupanya Luhan Hyung dapat mendengar bisikan Kyungsoo padaku. Karena merasa canggung, Luhan hanya berdeham kecil dan mengganti topik pembicaraan.

 

“Kapan kau akan mendapatkan gelar Mastermu secara resmi, Kai?”

 

Aku menghitung sebentar, dan menjawab dengan tenang. “Sekitar 2 bulan lagi. Tapi aku sudah terbebas dengan segala macam urusan kuliahku. Dan aku juga sedang mulai mengerjakan proyek besar ke 3 ku tahun ini.”

 

Daebak. Aku bangga menjadi temanmu, Kai.” Kyungsoo menepuk pundakku. Tidak lama kemudian aku mendengar langkah seseorang menghampiri meja kami, aku menoleh sekilas dan mendapati sosok tinggi dan wajahnya yang memberengut.

 

Dia, Chanyeol? Rasanya dia benar- benar berubah.

 

“YA! Hyung! Kau tahu kau memintaku keluar di saat aku berada di dekat gunung?” Gerutunya dan segera menempatkan dirinya di depanku.

 

“Yo! Park Chanyeol, sudah lama sekali aku tidak bertemu denganmu.” Sapa Kyungsoo.

 

“Benar juga.” Jawab Chanyeol kalem. Aku masih terus memerhatikan gerak- geriknya.

 

“Apa yang kau lakukan di gunung?” Aku bertanya dan otomatis matanya bertubrukan dengan arah pandangku. Dia mengerinyit kaget melihatku.

 

Jangan bilang sedari tadi ia tidak sadar aku berada disini.

 

“Kau sudah pulang?” Pertanyaan retoris. Aku hanya mengangguk ringan.

 

Chanyeol langsung mengambil tempat, dan Luhan Hyung mulai menanyakan sesuatu yang menurutku tidak ada hubungannya dengan pembicaraan sebelumnya. Tapi aku berusaha menanggapinya. “Kau mengenal ‘chandobi’?” Luhan bertanya kepadaku, karena aku merasa nama itu asing aku hanya menggelengkan kepalaku.

 

“Aku mengetahuinya. Bukankah dia seorang photographer misterius yang hasil potonya benar- benar luar biasa itu? Photographer berbakat.” Ujar Kyungsoo, dari nada suaranya semua juga bisa menebak bahwa dia sangat kagum pada orang itu.

 

“Ya, identitas asli photographer misterius itu adalah orang itu ― Park Chanyeol.” Luhan Hyung mengatakannya dengan begitu santai, yang membuat Chanyeol memandangnya sinis.

 

Are you serious?!” Kyungsoo terkesiap di sebelahku. Mungkin aku tidak mengenalnya, tapi sepertinya photographer misterius itu sangat terkenal di Korea.

 

“Yap.”

 

“Dan kau baru saja membocorkan rahasia besar, Hyung.”

 

Aku merasa ini bisa dibahas lain kali, aku harus segera bertanya dimana keberadaan Yubin.

 

“Ehmm.. Kau tahu di mana Yubin sekarang?” Tanyaku pada akhirnya.

 

“Ya, kami juga sudah lama sekali tidak melihatnya.” Ujar Saera yang disetujui Luhan dan Kyungsoo dengan anggukan kepala.

 

“Tentu saja kalian tidak akan melihatnya. Dia sudah berada di seberang benua.” Chanyeol dengan santainya menyeruput segelas ice tea yang belum disentuh yang entah milik siapa.

 

“Apa maksudmu?” Aku bertanya tidak sabar.

 

“Yubin hampir 3 tahun menetap di Inggris, tepatnya London. Dia sudah menjadi sudah bekerja pada salah satu perusahaan periklanan yang sangat terkenal disana.”

 

“Selain itu dia sangat berbakat dalam design grafis maka dari itu dia menjadi salah satu orang yang berpengaruh di majalah itu.” Tambahnya.

 

Mungkinkah pekerjaannya ini adalah impiannya yang dia bicarakan 6 tahun yang lalu?

 

“Ya! Bolehkah aku meminta alamat perusahaan periklanan itu?” Aku mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejaku dan bolpoin dari dalam tasku.

 

Chanyeol menaikan sebelah alisnya menatapku bingung.

 

“Aku tidak tahu alamat pastinya karena sudah lama sekali aku tidak mengunjunginya. Tapi jika kau pergi ke London, dan menanyakan di mana letak kantor periklanan ini pada warga setempat.” Dia menggoreskan huruf- huruf di kertas itu dan memberikannya kembali padaku, aku membacanya cepat dan memahaminya. “Kau pasti akan menemukannya. Karena jika aku tidak salah letaknya berada di tengah kota.”

 

“Thanks!” Aku bangkit berdiri dan menarik koperku yang sedari tadi terdiam manis di sisi kursiku.

 

“Aku akan menghubungi kalian nanti.” Dan aku benar- benar berjalan keluar pintu. Tapi sekilas aku masih bisa mendengar suara- suara mereka yang mempertanyakan apakah aku akan pergi ke Inggris sekarang juga.

 

Ya, tentu saja.

 

 

_______

 

Author’s PoV

 

Seorang yeoja dengan rambut coklat karamel yang bergelombang baru saja hendak memasuki apartemennya dan berniat merebahkan tubuhnya di kasur empuknya sampai telepon di apartemennya berdering. Dengan malas ia bergerak meraih gagang telepon.

 

Hello, yes, Mrs. Warington. Korean guy? I dunno but wait….. i’ll be there.” Yeoja bernama Oh Yubin itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa maksud tetangganya itu?

 

Dia mengatakan ada orang Korea yang pingsan tepat di depan pintu apartemennya. Ya, Mrs. Warington menelepon Yubin karena mungkin saja dia  mengenal orang itu karena dia adalah orang Korea.

 

Yubin segera bergegas keluar dari apartemennya dan melirik ke samping, pintu apartemen keluarga Warington terbuka menandakan orang Korea itu pasti dibawa masuk ke dalam.

 

Yeoja bermarga Oh itu mengetuk pintu yang memang sudah terbuka itu dan Mrs. Warington menyambutnya dan mengantarnya masuk ke dalam untuk melihat orang Korea yang ia maksud itu.

 

Dan jantungnya berdegup jauh lebih kencang melihat siapa orang Korea itu.

 

Tolong, beritahu aku jika aku salah lihat. Tapi apa yang retinaku tangkap saat ini adalah, orang itu Kim Jongin. Dia Kai.

 

Yubin tertawa kecil, setelah hampir 6 tahun dia tidak melihat namja itu. Mungkinkah keadaannya yang tidak sadarkan diri adalah yang pertama kali dia lihat lagi?

 

Benar- benar konyol.

 

You know who is him?”

 

Yubin tersenyum penuh arti ke arah Mrs. Warington.

My boyfriend.

 

______

 

Kai’s PoV

 

Kepalaku terasa sangat berat. Aku bahkan tidak sadar aku kehilangan kesadaran dimana. Saat mendatangi kantor majalah yang dimaksud Chanyeol, tempat itu sudah akan tutup. Ya, mengingat sudah pukul 8 malam ketika aku sampai disana.

 

Beruntung saja, aku masih bisa bertanya kepada seorang perempuan dengan rambut kuning terangnya yang baru saja keluar dari kantor itu. Benar kata Chanyeol, Yubin sangat berpengaruh di kantor itu sehingga perempuan yang kulupa siapa namanya itu mengetahui dimana apartemen Yubin.

 

Dia memberiku alamat apartemen Yubin setelah memastikan ― tentu saja dengan rangkaian panjang penelitiannya terhadapku, bahwa aku bukan orang jahat yang akan menganggu hidup Yubin. Bisa kutebak dia adalah teman kerja Yubin.

 

Benar- benar perjuangan.

 

Kukerjapkan mataku berulang kali, mencoba membiasakan mataku dengan lampu yang begitu terang di atasku.

 

Kutolehkan wajahku ke sisi ruangan, ruangan yang asing. Aku ini dimana sebenarnya? Kucoba untuk mendudukan badanku. Hal yang selanjutnya tertangkap indraku adalah wangi selai kiwi yang sedang dimasak.

 

Aku menggerakan kakiku menuruni kasur, merasakan tubuhku limbung ke samping. Tapi aku berusaha lagi untuk berdiri tegak dan berjalan keluar ruangan.

 

Pemandangan pertama yang ku lihat setelah keluar kamar adalah seorang yeoja dengan rambut karamelnya yang bergelombang memunggungiku.

 

Hangat. Aku bisa merasakannya, yeoja itu tidak harus membalikkan tubuhnya agar aku tahu siapa dia.

 

Karena aku tahu, yeoja itu adalah Oh Yubin. Dan karena kenyataan itu aku merasakan kehangatan yang luar biasa yang menyambutku.

 

Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa melihatnya lagi.

 

“Kau tertidur hampir 20 jam.” Sesuatu memecahkan keheningan. Suara yang sangat kurindukan, suara yang sama persis seperti yang selama ini selalu hadir dalam mimpiku.

 

Jetlag.” Jawabku pendek dengan senyuman yang benar- benar merekah di wajahku. Kemudian dia memutar tubuhnya dan menatapku dengan tatapan yang sangat kurindukan.

 

Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi, aku melangkahkan kakiku cepat ke arahnya dan memeluknya. Merasakan kehangatan tubuhnya, merasakan aroma tubuhnya.

 

“Yubin-ah, bogoshippo.” Sesuatu yang ingin sekali kuucapkan langsung padanya selama ini.

 

Aku merasakan tangan kecilnya membalas pelukanku juga. Dan rasanya tidak ada perasaan yang lebih bahagia dibandingkan hal ini.

 

“Kita telah melewati semuanya. Inilah saatnya kita berbahagia, Kai.”

 

“Aku berjanji akan hal itu.”

 

______

 

 

Yubin’s PoV

 

“Kai kau tahu? Saat pertama kali melihatmu lagi. Pingsan. Kau tahu apa yang pertama kali berada di benakku?” Ujarku sambil mengoleskan selai kiwi favouritnya ke roti dan menyimpannya di piring. Sementara Kai dia tak henti- hentinya memandangiku sejak tadi.

 

Sebenarnya aku malu, aku tahu wajahku mungkin saja memerah saat itu. Tapi biarkanlah, aku senang sekali dapat melihatnya lagi.

 

Dan perasaanku, tidak akan pernah berubah padanya. Itu benar- benar terbukti setelah 6 tahun telah berlalu. Karena jantungku masih tetap berdegup begitu kencang ketika melihatnya, ketika berada di dekatnya. Perasaanku, tidak ada yang berubah. Malahan, makin meluap seakan- akan aku tidak akan mampu untuk menahannya lagi. Dan aku tidak berencana akan menahannya lagi kali ini.

 

“Hmm?” Gumamnya masih menatapku.

 

“Setelah 6 tahun, pertemuan kita benar- benar tidak elit. Kau pingsan karena jetlag. Benar- benar bodoh. Kau kan bisa beristirahat satu-  dua hari atau mungkin seminggu di Korea sebelum menyusulku kesini?”

 

“Aku tidak bisa menahan lebih lama lagi untuk melihatmu.” Aku berdeham kecil untuk mengusir rasa gugupku.

 

“Tapi memang sedikit melelahkan, Amerika Serikat terbang ke Korea setelah itu terbang lagi ke Inggris.”

 

“Bukan sedikit, Kai. Itu pasti melelahkan sekali. Buktinya kau pingsan hampir 20 jam.” Ralatku cepat seraya memakan rotiku.

 

“Tapi rasa lelahku benar- benar sirna setelah aku dapat melihatmu lagi.”

 

“Gomawo. Karena mau menyusulku.” Ujarku tulus.

 

“Bagaimana kehidupanmu selama ini? Orang tuamu?” Dia mulai bertanya dan memakan rotinya.

 

“Orang tuaku memilih untuk tinggal di desa, kampung halamanku. Setelah mengetahui anaknya ini akan menetap cukup lama di luar negri. Dan keadaan mereka baik. Sementara aku, aku bahagia dengan kehidupanku disini. Bisa kubilang setengah dari cita- citaku telah tercapai disini.” Ceritaku panjang lebar.

 

“Kau sudah menjadi orang yang hebat, Yubin-ah. Kau telah menunjukanku apa itu impianmu. Memang ada impian lain yang masih belum tercapai?”

 

“Ada…”

 

“Mwo?”

 

“Aku akan mengatakannya jika kau mau menemaniku ke London Eyes malam ini.”

 

________

 

Author’s PoV

 

Dengan jari yang bertaut, jalanan London menjadi saksi kedua orang yang terpisahkan cukup lama itu kembali bersatu.

 

Mereka saling bercerita tentang kehidupannya selama ini ketika mulai menaiki London Eyes.

 

“Aku tidak melihat Yura saat kembali ke Korea. Di mana dia sekarang?” Kai bertanya sambil menggenggam erat tangan Yubin dan melihat pemandangan malam kota London dari atas bianglala besar itu.

 

“Yura? Dia sudah menikah dengan Kris oppa 2 tahun yang lalu. Mereka menetap di Kanada sekarang.” Jawab Yubin santai, sambil sesekali terkekeh mengingat pasangan pecinta kucing itu. Ah, dia juga mulai merindukan sahabatnya itu.

 

Yura, apa kabarmu? Sudah lama juga kita tidak bertemu.

 

“Maukah kau menyusul Yura?” Aku menoleh ketika tiba- tiba Kai bertanya dengan nada yang tegas.

 

“Hah?”

 

“Menikahlah denganku, Oh Yubin.” Aku membelalakan mataku, kaget dengan penuturannya.

 

Dalam suaranya aku bisa mendengar keyakinan dan kepastian.

 

Aku tersenyum, harusnya dia sudah tahu jawabannya. Untuk apa aku mempertahankan cintaku padanya selama ini.

 

“Kai, kau tahu apa impianku yang belum tercapai?”

 

Dia menoleh kepadaku dan aku melihat jauh ke dalam matanya. Ingin menyampaikan apa yang sesungguhnya berada dalam hatiku.

 

“Aku ingin hidup bahagia denganmu. Dengan anak- anak kita kelak.”

 

Ya, itulah jawabanku, Kai.

 

Aku tersenyum tulus, tidak lama setelah itu dia juga tersenyum dengan sangat cerahnya.

 

Dia memelukku erat. Mengecup keningku sekilas.

 

Aku tidak tahu perasaan bahagia yang melebihi perasaan ini.

 

Ayo kita berjalan sampai akhir, Kai.

 

“Aku mencintaimu…”

 

“Sama halnya denganku.”

 

_______

 

 

 

“Hey, aku ingin sekali mempertanyakan hal ini semenjak 6 tahun yang lalu.”

 

“Mwo?”

 

“Mengapa kau sangat kaget ketika aku menciummu? Kau mengingatnya bukan?”

 

“Ah. Sehari sebelum kepergianmu itu? Tentu saja. Itu pertama kalinya kau menciumku.”

 

“Kau benar. Jadi itu ciuman pertamamu, kan?”

 

“Sebenarnya tidak juga sih, Kai. Ciuman pertamaku.. Itu milik Chanyeol. Hehehe.”

 

“MWORAGO?!!”

 

 

 

THE END



Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

Trending Articles