Beauty & Beast – Chapter 9
Author : Choi Seung Jin @cseungjinnie
Genre : Fantasy, Historical, Supernatural, OOC
Ranting : General Audience
Main Cast :
Supporting Cast :
Evanna Lynch as Amelia (OC)
Jessica SNSD as Jessica
Cameo :
Sulli f(x) as Sulli
Minho SHINee as Minho
Henry SJ-M as Henry
Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8
Note :
- DIWAJIBKAN UNTUK MENGCOMMENT FF INI! SILENT READERS, GO AWAY!!
- SEMUA MEMBER EXO MEMILIKI UMUR YANG SETARA, YAITU 17 TAHUN!! Buat yang menurut readers gak cocok untuk usia 17 tahun, anggap saja muka mereka itu boros’-‘)
- Ingatlah English name para member EXO. Karena author akan menggunakan nama itu daripada real name atau stage name mereka.
- English name para member EXO author dapatkan dari http://ohsehunnie1.com/post/43130943930/exos-english-spanish-and-french-names
.
.
.
.
.
.
***********
Saat itu, Pak Jim kembali mengadakan rapat. Namun ada yang berbeda dari rapat kali ini. Tidak seperti biasanya ia akan melibatkan keduabelas murid didiknya yang special. Kali ini ia hanya mengajak dua orang untuk mendiskusikan suatu hal.
Will dan Amy sengaja datang mendadak ke ruangan kepala sekolah secepat yang mereka bisa. Mereka tidak mungkin mendiskusikan hal ini ke orang lain selain kepada Pak Jim. Amy terlihat sedih bahkan hampir menangis dan Will hanya bisa duduk diam.
“Sebenarnya apa bahaya ku bagi mereka, Pak?” Tanya Amy sambil menangis.
Pak Jim berdiri dan berjalan ke arah rak buku pribadinya untuk mengambil buku tebal bersampul kulit. Meskipun dia sudah tidak asing dengan dunia sihir dan makhluk fantastis, tapi ada kalanya dia banyak tidak tahu tentang makhluk-makluk sihir yang membuatnya harus membaca buku.
Dia mulai membuka Bab bagian Half Blood. Dalam Bab itu banyak memuat lengkap tentang makhluk Half Blood. Mulai dari Half Blood Troll sampai Half Blood Elf. Untuk kasus ini, Pak Jim hanya fokus mencari halaman yang memuat tentang Half Blood Vampire.
“Darahmu… Darahmu dapat menjadi racun bagi para Vampire. Itu sebabnya mereka mengincarmu,” ujar Pak Jim setelah membaca sejenak halaman Half Blood Vampire. “Saya akan berusaha untuk menyelamatkan ayahmu.”
“Bagaimana dengan Will, Leo dan lainnya. Para vampire itu juga mengancam mereka,” kata Amy. Suaranyqa terdengar serak karena menahan tangis.
“Mereka akan baik-baik saja. Tidak ada yang bisa menyakiti mereka,” kata Pak Jim meyakinkan.
“Kita akan menyelamatkan ayahmu. Aku janji.” Will mengengam tangan Amy, mencoba meyakinkan dan membuat gadis itu tenang.
“Yang mereka inginkan aku, Will. Bukan ayahku. Seharusnya mereka menangkapku.” Kini Amy sudah benar-benar menangis.
Ayahnya telah diculik oleh para Vampire yang menginginkan Amy. Mereka mengunakan ayah Amy untuk dijadikan sandera agar Amy mau menyerahkan dirinya. Hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan Amy yang mereka inginkan sekarang ini. Menurut mereka, Amy sangat berbahaya. Darah Half Blood bisa menjadi racun tersendiri bagi Vampire yang akan memusnahkan mereka hanya dengan setetes darah saja. Mereka berusaha mengantisipasi perlawan terhadap mereka dengan darah Amy sebelum para Wolf Boys ada yang tahu dan menggunakan kesempatan ini.
Flashback: ON
Amy pulang setelah Will mengantarkannya. Sepanjang perjalanan pulang, dia hanya diam dan sering melamun. Bahkan dia jarang menanggapi pembicaraan Will dan Will tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya diam.
Amy memutar kenop pintu rumahnya. Ayahnya turun menyambutnya dengan wajah cerah. Namun Amy menanggapinya dengan wajah yang sedih.
“Kau sudah pulang?” Kata ayah Amy lembut.
Amy diam, tersenyum tipis pada ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ayahnya tentu bisa menangkap ada yang tidak beres dengan putri sematawayangnya itu.
“Kau kenapa? Kenapa sedih begitu?” Ayah Amy merangkul putrinya dan mengajaknya untuk duduk dan membicarakan tentang masalah yang mungkin sedang gadis itu alami.
“Kenapa? Cerita sama ayah!” Kata ayah Amy lembut.
“Ayaaah!” Amy memeluk ayahnya sambil menangis. Semakin lama, tangisnya semakin kencang. Tidak bisa dielakan lagi bahwa kesedihan Amy sudah berada pada puncaknya saat dia memeluk ayahnya erat.
“Kenapa, Amy?”
“Aku… Leo tahu.. Leo tahu aku half blood, ayah. Dia marah padaku,” kata Amy yang terbata-bata karena tangisannya.
Ayah Amy hanya bisa mengelus rambut pirang putrinya dan menenangkannya. Dia tidak bisa menyalahkan siapapun atas apa yang menimpa putrinya. Satu-satunya makhluk yang bisa disalahkan adalah vampire yang telah mengigit istrinya. Dia tidak pernah bisa melupakan makhluk sialan yang telah membunuh istrinya dan membuat putrinya menjadi makhluk setengah vampire.
“Tenang, Amy. Ayah yakin Leo akan mengerti. Dia tidak akan marah untuk waktu yang lama. Lagi pula, kau masih punya Will kan?” Kata ayah Amy mencoba menenangkan putrinya.
Tok.. Tok.. Tok..
Terdengar suara pintu diketuk berberapa kali. Perhatian ayah dan anak perempuannya itu tertuju pada pintu kayu coklat rumah mereka.
“Biar ayah yang bukakan.” Ayah Amy berdiri dan berjalan ke arah pintu. Dia sama sekali tidak curiga dengan apa yang telah menunggunya dibalik pintu.
Seorang pria pucat bermata keemasan berdiri depan pintu. Dengan cepat pria iu menarik ayah Amy saat pintu kayu itu terbuka.
Kejadian itu begiu cepat sampai-sampai Amy tidak cepat menangkap apa yang sedang terjadi.
“Ayah!”
Flashback:OFF
“Kita akan buat rencana menyelamatkan ayahmu tanpa harus mengorbankan mu. Oke?” kata Will seolah-olah ada jalan lain untuk menyelamatkan ayah Amy selain menyerahkan Amy pada vampire-vampire itu, meski kenyataannya tidak ada.
“Selain penting bagiku, ayah juga sangat penting bagi kalian dan para Mortem. Dia tahu banyak hal. Kau tahu itu kan? Lebih baik mengorbankan aku yang tidak ada artinya ketimbang ayahku yang tahu segalanya tentang vampire dan werewolf,” kata Amy. “Benar, kan Pak?”
“Berat untuk mengakuinya, tapi… Amy benar. Lebih baik mengorbankan Amy daripada mengorbankan George yang mungkin saja bisa membantu kita mengalahkan Minho dan kawanan vampirenya,” kata Pak Jim setuju dengan Amy.
Hal ini tidak bisa diterima oleh Will. Di dalam ruangan ini, hanya dia yang tidak setuju dengan rencana Amy, yaitu menyerahkan diri. Dia satu-satu orang yang lebih memilih mempertahankan Amy dan mengorbankan Mr. George alias ayah Amy.
“TIDAK! KITA TIDAK BISA MENYERAHKANMU BEGITU SAJA. KAU INI SUDAH BOSAN HIDUP, HUH?” Will melonjak dari tempat duduknya akibat emosinya yang tidak bisa ia tahan. Dia menatap penuh Amy kecewa.
“Bukannya… aku sudah tidak diinginkan lagi disini?”
Will terdiam. Kata-kata Amy barusan seperti sambaran petir di siang hari yang membuat tubuh Will tidak bisa bergerak.
“Leo sudah tidak menginginka ku. Kau sudah tidak membutuhkan ku lagi. Jadi… untuk apa aku masih disini? Ayahku lebih diinginkan. Ayahku sangat dibutuhkan. Apa kau mau mengorbankan berlian berharga dengan batu tak berguna seperti aku?”
“Amy… Kau ini bicara apa? KAU BICARA APA?” Will sangat marah bahkan sampai berteriak seperti itu. Namun lama kelamaan mengalir air mata bening dari matanya. Hatinya sakit saat harus membayangkan kematian Amy yang mungkin saja bisa terjadi. Kehilangan gadis yang dicintainya pasti akan terasa berat dan sakit.
Will jatuh berlutut didepan Amy. Memohon agar gadis itu tidak mengorbankan dirinya dan meninggalkannya. “Kumohon, Amy… Jangan tinggalkan aku! Aku masih membutuhkanmu.”
“Bagiku.. Kau lah berlian berharga itu. Aku tidak mau kehilangan berlian terindah yang pernah kulihat, bahkan untuk sebentar saja. Ku mohon jangan lakukan itu,” sambungnya meminta dengan sangat.
Amy semakin menangis melihat Will yang berlutut didepannya demi mengahalangi Amy mengorbankan dirinya. Kenapa dia harus sampai seperti itu. Dia turun dari atas kursi yang ia duduki sedari tadi dan duduk diatas lantai supaya menyetarakan posisinya dengan Will.
“Maaf, Will. Kau tidak membutuhkan ku. Kau pernah bilang kan, kau ingin menjadi normal? Ayahku bisa membantumu menjadi normal. Sedangkan aku tidak. Aku hanya bisa menjadi beban hidupmu,” kata Amy.
“Tidak! Kau tidak pernah menjadi beban hidupku. Selalu ada disisimu bagiku itu adalah hal yang bisa selalu membuat ku senang karena… karena… karena aku mencintaimu.”
“Will..” Amy terlihat kaget mendengar pengakuan Will. Selama ini Will mencintainya. Hubungan mereka seharusnya hanya sampai persahabatan saja. Tidak lebih.
“Sekarang kau sudah tahu kan perasaanku yang sebenarnya? Jadi kumohon.. Jangan korbankan dirimu.” Will menggenggam tangan Amy erat, memberi tatapan yang bisa meyakinkan gadis itu.
Amy perlahan berbalik menggengam tangan Will dan menatap matanya dalam. Dia mencoba mengerti tentang perasaan Will saat sepasang mata perak bertemu dengan mata coklat. “Maaf, Will. Aku akan tetap melakukannya.”
******
Seseorang tanpa sengaja mendengar pembicaraan Pak Jim, Will dan Amy. Dia mendengar cukup banyak apa yang sedang dibicarakan. Dia sedang melintas di depan ruang kepala sekolah saat mendengar suara Will yang berteriak. Dia tidak seharusnya melakukan hal yang lancang seperti itu, tapi rasa penasarannya membuat menguping pembicaraan yang seharusnya rahasia.
Saat dia selesai mendengar banyak hal, dia mulai berpikir apakah dia harus memberitahukan yang lain sekarang. Laki-laki bertubuh jangkung itu mulai bimbang. Dia berjalan meninggalkan tempat kejadian sambil berpikir kapan dia harus memberitahu yang lain.
Will akan kembali ke dorm dan diamungkin saja tidak akan cerita pada yang lain. Hal itu membuat laki-laki itu berpikir untuk memberitahu yang lain sebelum Will kembali ke dorm. Meskipun dia tidak tahu apakah tindakannya nanti benar atau tidak, tapi dia sudah memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang.
******
Ruangan itu masih terkesan ramai oleh 9 anak laki-laki yang bertingakah seperti layaknya remaja SMA. Berberapa dari mereka ada yang bermain video game, ada yang bermain catur dengan suara yang berisik, ada yang menonton tv dengan volume yang lumayan kencang, dan berberapa dari mereka hanya duduk dan membaca buku.
Semenjak kejadia hari dimana Edison pergi, kamar keduabelas Wolf Boys dijadikan satu dan membuat kamar yang lebih besar dengan mengabungkan 6 kamar sekaligus didorm siswa laki-laki. Hal itu untuk menjaga agar mereka tetap bersama dan bisa berkumpul setiap waktu diluar jam sekolah.
Leo duduk diatas ranjang miliknya yang terletak diantara ranjang Alex dan Stephan. Dia sedang kesal dan kecewa. Mengetahui gadis yang dicintainya adalah seorang Hal Blood Vampire memang berat untuknya. Terlebih dia membenci kaum vampire dan sejenisnya.
“Leo! Wajahmu muram sekali. Apa benar Amy ternyata vampire?” ucap Alex yang berhenti bermain video game sejenak untuk menanyakan hal itu pada Leo yang wajahnya sudah suram begitu.
“Ya,” jawab Leo singkat. Sebenarnya dia tidak ingin membicarakan hal ini dengan siapapun. Namun, lagi-lagi Alex memancingnya duluan.
“Aku sudah duga hal itu,” celetuk Stephan.
“Maksudmu?” tanya Alex. Leo yang melirik diam dan kembali membaca bukunya tanpa ingin mendengar siapun membicarakan Amy.
“Memangnya kalian tidak curiga? Dia terluka karena serangan Sulli tapi kemudian dia baik-baik saja seperti tidak terjadi apa-apa,” ujar Stephan.
Memang benar yang dikatakan Stephan. Amy tidak bisa terluka oleh serangan fisik sebesar apapun karena tubuhnya adalah tubuh vampire yang kebal terhadap apapun, kecuali oleh belati perak yang akan membunuhnya jika berhasil menusuk jantungnya.
“Tapi dia hebat loh, bisa menahan nafsu minum darahnya saat dia bersama manusia. Dia tidak menunjukkan apapun tentang rasa hausnya akan darah saat bersama manusia seperti kita. Dia pasti sudah terlatih,” kata Bernard seperti kagum. Amy bisa menahan rasa nafsunya memang sesuatu yang patut dikagumi. Karena biasanya vampire tidak akan pernah sanggup menahan godaan darah sedikit apapun.
Sebenarnya, mendengar teman-temannya membicarakan Amy, membuat telinga Leo panas. Seandainya ada alat penutup telinga yang bisa ia gunakan agar tidak bisa mendengar teman-temannya membicarakan Amy, gadis yang terlancur membuat kecewa.
“Ngomong-ngomong, vampire bernama Minho itu apa dia akan menyerang lagi?” kata Donald yang sedikit out of topic.
“Pria mengerikan itu, hiiih… Jangan sampai aku bertemu vampire itu lagi,” gumam ngeri Thomas saat membayangkan kembali pengalamannya bertemu dengan Minho, vampire yang sanggup membuatnya luka berat. Salah satu pengalaman mengerikan untuknya.
“Semengerikannya itu kah dia?” tanya Michael dan Thomas mengangguk cepat. Dia tidak mau membayangkan jika dia bertemu Minho lagi.
“Waah.. Seram juga ya dia. Lalu, vampire bernama Sulli itu, katanya dia cantik,” ujar Alex membayangkan sosok Sulli.
“Kau mau mengencani vampire itu? Cantik cantik begitu dia mengerikan,” celetuk Leo berpendapat tetang Sulli.
“Aku tidak bilang ingin mengencaninya. Aku hanya bilang, dia cantik. Tidak salah kan?”
Klekk..
Pintu dorm terbuka. Richard datang masih dengan perlengkapan sekolah, lengkap dengan tas dan beberapa buku tebal ditangannya. Dia masih mengenakan seragam lengkap disaat lain sudah mengganti pakaian.
“Dari mana saja kau, Rick? Jam segini baru balik,” kata Bernard menyambut teman seperjuangannya itu.
“Aku habis dihukum Bu Garell. Tega benar dia menghukumku sampai sore begini,” keluh Richard yang langsung melemparkan barang-barangnya ke atas ranjang miliknya.
“Salamu sendiri kan tidak mengerjakan tugas,” ledek Francis.
.
.
.
“Mumpung orangnya tidak ada..” gumam Richard bergegas duduk ditengah-tengah ruangan.
“Siapa yang tidak ada?” tanya Bernard.
“Ada yang ingin ku bicarakan. Aku yakin ini akan membuat kalian terkejut.”
Semua orang yang ada di ruangan itu bergegas duduk mengelilingi Richard. Dari wajah Richard sepertinya ada hal serius yang ingin ia bicarakan dengan yang lain. Mungkin dia sedikit bingung bagaimana harus menyampaikannya. Pasti akan ada yang shock berat saat dia memberitahukan hal tersebut.
“Apa Rick? Hal apa yang ingi kau bicarakan?” tanya Alex penasaran.
Richard bersiap-siap meberikan informasi terpenting yang pernah ia sampaikan. Informasi yang akan membuat semua orang di ruangan ini terkejut. “Amy… Dia Half Blood Vampire.”
“Astaga! Itu kami sudah tau. Ku kira kau ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting,” gerutu Bernard kecewa.
“Kau ketinggalan berita, Rick. Kami semua sudah tahu,” kata Michael kesal.
Mereka semua berpencar lagi ke tempat mereka semua, sebelum Richard menahan mereka. “Ada lagi.”
“Apa? Kau ingin bilang Will sebenarnya sudah tahu? Kami juga sudah tahu,” kata Donald sok tahu.
“Ehmm… Itu juga sih. Tapi ada lagi selain itu,” kata Richard yang membuat semakin penasaran sekaligus malas untuk didengarkan.
“Lalu apa lagi?” kata Francis dengan nada malas.
“Kalian tidak tahu, kan ayahnya Amy diculik oleh vampire?”
Semua diam seketika. Melempar pandangan pada Richard yang baru saja mengeluarkan berita terpentingnya. Buru-buru mereka mendekati Richard lagi untuk mendengar kelanjutan dari informasi dan berita yang berhadil Richard dapat.
“Ayah Amy?”
“Kau serius?”
“Kau tahu darimana?”
“Apa yang terjadi?”
Mereka terus menghujani pertanyaan pada Richard yang berhasil membuat mereka penasaran setengah mati. Richard sendiri harus meladeni setiap pertanyaan yang ditujukan padanya yang seakan tidak kunjung berhenti.
“Tenanglah! Akan ku jelaskan,” kata Richard. Kesembilan temannya itu mulai bisa tenang dan duduk manis menunggu penjelasan dar Richard. “Kemarin, ayahnya Amy diculik oleh salah satu anggota vampire.”
“Apa hubungannya ayah Amy dengan vampire?” tanya Leo penasaran. Sekarang dia merasa sangat khawatir kepada pria yang merupakan ayah dari gadis yang dicintainya, Amy.
“Ingat, ya! Aku mendengar semua ini tadi saat aku melintas didepan ruang kepala sekolah. Ada Pak Jim, Will dan Amy disana—“
“Will??” ucap mereka serentak.
“Yang kudengar, para vampire menculik ayah Amy hanya untuk dijadikan sandera. Yang mereka inginkan adalah Amy.”
“Amy??” ulang Leo kaget. “Kenapa mereka menginginkan Amy?”
“Ini yang kudengar ya. Ingat! Darah Half Blood bisa menjadi racun bagi vampire. Itulah yang para vampire takutkan dari Amy. Saat kita menyadari bahwa darah Amy bisa untuk melawan mereka, mereka takut kita akan memanfaatkannya untuk menghancurkan mereka. Jadi mereka harus mendapatkan Amy sebelum kita tahu,” jelas Richard panjang lebar.
“Sekarang kita sudah tahu. Kita bisa hancurkan vampire sialan itu,” kata Alex bersemangat.
“Kurasa kita sudah telambat atau lebih tepatnya aku yang terlambat memberi tahu kalian,” ujar Richard. “Amy berencana mengorbankan dirinya demi ayahnya dan kita. Dia percaya pengetahuan ayahnya tentang vampire dan werewolf bisa membantu kita mengalahkan Minho dan kelompoknya.”
“LALU, SEKARANG DIA DIMANA?” tanya Leo panik.
“Kurasa dia sudah di hutan sekarang. Ku dengar Amy sudah ditunggu di hutan oleh para vampire itu,” kata Richard tertunduk lemas. “Maaf. Aku tidak berpikir untuk menghalanginya.”
Leo bergegas cepat. Meraih mantelnya yang ia gantungkan di sebuah gantungan kayu. Dia berlari ke arah pintu. Disusul oleh teman-temannya yang lain, dia bergegas keluar dorm dan pergi menuju hutan.
Saat dia keluar dari gedung dorm laki-laki, dia bertemu Will yang berjalan lemas dengan wajah muram. Leo segera mengahampiri Will dengan emosi yang meluap. Dia meraih kerah mantel milik laki-laki itu kasar dengan emosi yang telah memuncak.
“DIMANA AMY?”
Will diam saja. Bahkan dia enggan untuk menatap Leo.
“AKU BILANG, DIMANA AMY??” Leo berteriak lebih keras lagi.
Will menangkis kasar tangan Leo yang masih mencengkram mantelnya. “APA PERDULIMU? BUKANKAH KAU SUDAH TIDAK MENGINGINKANNYA LAGI? UNTUK APA KAU MENCARINYA?”
Richard, Alex, Bernard, dan Donald dengan cepat memisahkan Will dan Leo sebelum mereka berkelahi lagi. Kevin berdiri ditengah-tengah mereka sebagai penengah—tentu saja. Will dan Leo hampir tidak bisa menahan diri mereka untuk saling menyerang jika saja tidak ada yang menahan mereka. Nyaris saja tejadi berkelahian lagi.
“KAU MEMBIARKANNYA MATI, HAH?? DASAR KAU!!” Leo ingin sekali memukul setiap senti bagian tubuh Will yang bisa dijangkaunya, tapi tubuhnya sudah ditahan oleh 3 orang sekaligus.
“KAU SENDIRI YANG TELAH MEMBUAT MEMILIH UNTUK MATI KETIMBANG MEMPERTAHANKAN HIDUPNYA!!!”
Pertengakaran antara Will dan Leo telah mencapai puncaknya. Mereka sudah saling membenci satu sama lain. Mungkin tidak ada lagi kata damai diantara mereka. Hanya keajaiban yang mungkin bisa membuat mereka akur.
“KALIAN BERDUA DIAM!” teriak Francis menengahi setelah biasanya Kevin yang selalu menjadi penengah. “ Tidak ada gunanya kalian saling bertengakar seperti ini. Menggunakan emosi tidak akan menyelesaikan masalah.”
Leo dan Will diam setelah Francis memberikan nasihatnya. Sebagai orang yang berpengalaman dalam bidang kepemimpinan, Francis sudah seharusnya menjadi pemisah suatu perselisihan. Mendengar Francis sudah bicara Leo dan Will berhenti saling memaki satu sama lain. Meski mereka masih enggan untuk saling bertatapan.
“Baiklah, Will. Sekarang dimana Amy?” tanya Kevin.
“Dia.. Dia sudah di hutan. Kurasa sudah terlambat. Mungkin dia sudah bertemu dengan vampire-vampire itu.”
Leo menapis semua tangan yang memaganginya dan langsung berlari ke arah hutan, mencari Amy sebelum gadis itu bertemu dengan vampire. Sementara yang lain menyusul tepat dibelakangnya. Dia tidak ingin kehilangan Amy. Tidak akan.
*******
Amy berdiri dihadapan dua orang vampire ditengah hutan yang lokasinya lumayan jauh dari desa ataupun sekolahnya. Tempat ini sengaja dipilih agar jika salah satu dari Wolf Boys telah mengetahui hal ini, mereka tidak akan punya cukup waktu untuk mencegah niat para vampire.
Sebenarnya Amy takut. Takut untuk mengahadapi kematian yang akan segera ia temui tidak lama lagi. Dia terus berpikir, apa mati itu sakit. Apa yang akan dirasakannya saat ia mati. Bukankah pertanyaan seperti itu yang ingin semua orang tanyakan.
Minho sudah memegang sebuah belati perak buatan khusus ditangannya. Kilauan yang dipantulkan mata belati itu semakin membuat Amy merasa takut dan hal itu membuat Minho tersenyum sinis.
“Kau berani sekali, nak. Kau rela mengorbankan hidupmu yang masih akan berlangsung berpuluh-puluh tahun lagi demi ayahmu yang mungkin umurnya kurang dari 20 tahun lagi. Sungguh… pengorbananmu patut dikagumi,” kata Minho.
“Dimana ayahku? Kau berjanji akan membebaskannya jika aku menyerahkan diri,” kata Amy tegas. Dalam pikirannya sekarang hanya ayahnya dan ayahnya saja. Asalkan ayahnya bisa bebas sekarang, dia rela mati.
“Tenag saja! Ayahmu sudah ada di rumahnya, tapi masih ada Sulli disana. Saat urusan kita beres, aku akan memberi sinyal pada Sulli dan dia akan meninggalkan ayahmu sendirian di rumahnya tanpa ada lecet sedikitpun,” kata Minho menjanjikan. “Sekarang, kemarilah!”
Amy melangkahkan kakinya berat mendekati vampire dengan belati perak ditangannya. Belati perak itu akan membunuh jiwa manusianya sekaligus jiwa vampirenya akan membuatnya benar-benar mati. Dia benar-benar takut sekarang. Sudah terlambat untuk mundur.
“Tidak usah takut. Tidak akan sakit,” kata Minho meyakinkan. Vampire bernama Henry yang sedari tadi berdiri disebelah Minho, terseyum sinis menatap Amy yang akan segera mati ditangan Minho.
Setelah Amy mati, tidak ada yang perlu Minho takutkan lagi. Karena senjata satu-satunya yang bisa membunuh Minho akan mati sebentar lagi dan para Wolf Boys terlalu bodoh untuk tidak menyadari hal itu.
Muncul sekilas dipikiran Amy sosok Leo. Pria yang mulai ia sukai sejak pertama kali mereka mengobrol di hutan, di malam pertama turunnya salju. Dia ingat saat setitik salju pertama turun di hidup Leo. Kenangan yang indah..
Disaatnya yang terakhir ini, dia tidak bisa membantah kalau dia mencintai Leo. Setiap waktu yang pernah mereka jalani bersama akan selalu diingatnya, meski setiap waktu itu selalu diakhiri dengan kejadian kurang menyenangkan.
“Kau siap?”
********
Leo berlari secepat yang ia bisa. Masuk lebih dalam ke dalam hutan untuk mencari Amy yang masih hidup. Dia berlari melewati sela-sela pohon pinus yang tubuh tinggi memenuhi hutan, menuruni perbukitan curam untuk mencari Amy dimanapun dia berada sekarang. Rasanya dia tidak ingin berhenti sedetikpun untuk berhenti sampai ia menemukan Amy.
“Amy! Amy! AMY!”
Dia berteriak memanggil nama Amy, berharap akan ada jawaban. Dia terus berlari ke arah yang ia sendiri tidak tahu. Berharap dia menemukan Amy masih dalam keadaan utuh dan hidup. Dia tidak berhenti berharap semoga Amy masih hidup sekarang.
Leo membuka pikirannya, berusaha merasakan semua pikiran makhluk yang ada didalam hutan. Dia bisa merasakan teman-temannya mengejarnya jauh dibelakang karena pikiran mereka yang kuat akan rasa panik dan khawatir dan… Vampire. Dia merasakan pikiran vampire-vampire sialan itu pada jarak yang tidak terlalu jauh. Mereka dekat.
Leo terus berlari secepat yang ia bisa, menuju tempat terakhir yang dipijaki vampire-vampire itu. Jika ia bertemu dengan Minho, dia ingin mencabik-cabik vampire itu sampai tidak ada lagi daging yang tersisa. Dari kejauhan dia melihat seorang terbaring ditanah. Perempuan beramput pirang.
Tidak mungkin, batin Leo.
Seharusnya hal ini tidak terjadi. Seharusnya Leo bertemu Amy yang berdiri ditengah hutan dengan senyum manis yang selalu tergambar di wajahnya, hidup. Bukan terbaring pucat ditanah dengan mata tertutup seperti ini.
Kulitnya pucat dan dingin sedingin es. Dia tergeletak lemas tidak bergerak dengan luka besar pada dada yang mengeluarkan banyak darah sehingga membasahi hampir seluruh pakaiannya. Luka besar itu terbentuk karena tujukan belati tepat di jantung Amy yang menjadi satu-satunya penyebab kematian gadis pirang itu.
Leo jatuh berlutut di depan tubuh yang telah kaku itu. Dia menguncangkan tubuh itu, berharap Amy akan membuka matanya.
“Amy! AMY!”
Amy tidak menjawab tentunya.
“No, Amy! Please, wake up! Open your eyes!” Pinta Leo diiringi dengan tangisan. Dia tidak bisa menahan air matanya. Dia terus menguncang-guncangkan mayat itu didalam pelukannya.
“Amy! Kumohon.. Maafkan aku. Bangun!” Seumur hidupnya, dia tidak pernah merasakan sakitnya kehilang seperti ini, saat ia ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. “Kau bilang kau ingin ke London, kan? Aku janji akan membawamu ke London, asalkan kau mau bangun…”
Leo sendiri tidak bisa mengendalikan emosi rasa sedihnya. Bahkan Xander yang sama sekali tidak mengenal Amy, ikut larut dalam kesedihan ‘tuan’nya.
“AWOOOOOOOOOOO…” Gambaran kesedihan terdengar dari lolongan tangsi serigala yang Leo keluarkan. Meskipun wujudnya masih wujud manusia, dia bisa melolong seperti saat ia berubah menjadi seekor serigala raksasa.
Yang lainnya tiba di lokasi. Mereka kaget saat melihat Leo sedang menangis memeluk seorang mayat perempuan berambut pirang yang ternyata adalah Amy. Mereka merasa prihatin sekaligus kecewa. Satu-satunya yang mungkin bisa menjadi senjata mereka sekarang telah mati. Hilang harapan mereka untuk mengalahkan para vampire.
Will tidak terlihat hadir disana. Baginya terlalu sakit untuk melihat mayat Amy. Sehingga ia memutuskan untuk tetap di sekolah.
Leo mulai menenangkan dirinya sendiri. Berpikir mungkin dia bisa mengetahui rencana para vampire itu melalui Amy. Vampire itu pasti menceritakan semua rencana pada Amy sebelum membunuhnya. Di otak Amy pasti masih tersimpan baik rencana-rencana mereka. Dia harus mencari tahunya. Untuk membunuh para Vampire itu dan membalaskan dendam atas kematian Amy.
“Stephan! Bantu aku! Dudukan dia!” Leo menyuruh Stephan mendudukan mayat Amy. Dia masih ingat dengan jelas intruksi yang ada dibuku pemberian Pak Jim dan juga konsekuensinya. Ia tahu ia akan kehilangan banyak tenaga atau yang lebih buruk, dia bisa saja mati, tapi demi mendapatkan informasi tentang rencana Minho kepada dia dan kesebelas temannya.
“Apa yang ingin kau lakukan?” tanya Stephan sambil berusaha mendudukan mayat Amy dan menggunakan tubuhnya sebagai senderan.
“Sudah lakukan saja!” perintah Leo. Dia mulai mengambil posisinya, bersiap untuk apa yang akan ia lihat dan ia rasakan.
“Leo, kau tidak berusaha membaca pikiran Amy, kan?” Kevin tahu persis apa yang akan dialami Leo jika ia menjelajah pikiran Amy yang sudah mati dan dia tidak bisa membiarkan itu.
“Aku memang akan melakukannya.”
“LEO, JANGAN!” Kevin berlari ke arah Leo berusaha menghalangi niatan Leo. Namun Leo telah membuat perisai disekelilingnya, membuat Kevin terpental saat menabrak perisai itu.
Leo menggengam kedua tangan Amy. Dia berkonsentrasi untuk menghubungkan pikirannya dengan otak Amy yang telah mati. Mengaliri seluruh energinya ke tubuh Amy supaya otak Amy bisa bekerja untuk sesaat sehingga setiap ingatan Amy bisa tersalurkan ke dalam pikiran Leo.
Banyak ingatan yang masuk ke dalam pikiran Leo. Mulai dari ingatan bahagia, sedih, kecewa, marah, bahkan ingatan manis tentang Leo. Cahaya terang keluar menyilaukan dari tangan Leo yang menggenggam tangan Amy. Begitu silau sampai tidak ada yang bisa melihat karena cahaya itu. Cahaya itu cepat datang dan cepat pergi. Saat cahaya itu menghilang, proses yang dilakukan Leo pun selesai. Dia tahu semua yang ada diingatan Amy. Semuanya.
Kini semua menatap ke arah Leo yang berusaha membuka matanya pelan. Leo mengalihkan pandangannya yang kosong ke arah Kevin, orang yang bisa ia percaya. Kevin merasa takut dengan pandangan yang diberika Leo padanya. Semakin dilihat, Leo telihat semakin melemah. Darah segar mengalir keluar dari lubang hidung. Kevin menjadi panik, begitu pula yang lainnya.
Meski keadaanya sudah sangat lemah, Leo masih bisa berbicara. “Kumpulkan… darahnya—“
Tubuh Leo langsung ambruk diatas tanah begitu ia selesai bicara. Dia tidak sadarkan diri setelah energinya terkuras habis. Wajahnya memucat dan suhu tubuhnya mulai mengkhawatirkan.
Kevin dan lainnya harus segera membawa Leo ke Rumah Sakit, sebelum mereka kehilangannya. Mereka sudah kehilangan Edison. Mereka tidak mau kehilangan Leo lagi. Untuk Amy, mereka juga harus segera mengumpulkan darahnya sebelum mengering, sesuai dengan perkataan Leo.
To be Continue
*****
Annyeong^^ Jinnie is back with the 9th Chapter. Gak kerasa udah chapter 9, bentar lagi mau end nih (masih lama juga sih sebenernya). Sebenernya chapter ini udah jadi sejak seminggu yang lalu ._. tapi Jinnie baru post sekarang soalnya jaraknya terlalu dekat sama chapter 8.
Gimana pendapat readers tentang chapter 9 ini? Sedih? Garing? Biasa aja? Kurang greget? Bilang aja Biar bisa Jinnie perbaiki untuk chapter selanjutnya ^^
Buat readers yang mau tahu bocoran-bocaran tentang next chapter…Terus pantengin Twitter (@cseungjinnie), Tumblr (choi seung jin gallery) dan Instagram (jinniexoxochoi) Jinnie’3’ Readers bisa dapet teaser, bocoran, dan clue untuk chapter-chapter selanjutnya.
Makasih buat readers yang udah baca BB Series sampai chapter ini terutama yang selalu COMMENT^^ Jangan bosen-bosen buat baca terus baca FF dari Jinnie. Gamshamnida *bow*
