Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

[Vignette] ONE AND ONLY

$
0
0

sekai recit

ONE AND ONLY

written by ellenmchle

Main Cast: EXO’s Kai [Kim Jongin] & Oh Sehun // Support Cast: Some members of EXO // Genre: Friendship, fluff // Length: Vignette // Rating: T // Disclaimer: The plot is completely mine.

Awalnya Jongin tidak pernah percaya akan keberadaan sahabat sejati di muka bumi ini hingga ia bertemu dengan Sehun yang tampan, baik hati dan rajin menabung.

Jongin ingat betul. Saat itu ia baru berusia sekitar tujuh tahun ketika Tao—musuh abadinya—dengan bangga memamerkan beberapa anak seusia mereka sebagai sahabat baiknya tepat di hadapan Jongin yang sedang menyantap bekal makan siangnya di kantin—seorang diri.

“Kau lihat? Mereka adalah sahabatku. Sahabat sejatiku. Kau pasti iri kan karena tidak ada yang mau menjadi sahabatmu? Bahkan teman saja kau tidak punya. Menyedihkan.” seperti biasa setelah memamerkan sesuatu yang dimilikinya, Tao—si panda dari negeri tirai bambu—akan melemparkan senyuman kemenangannya. Dan jika sudah seperti itu Jongin hanya bisa menundukkan kepalanya—menatap lantai yang seakan-akan siap menampung air matanya setiap saat jika dibutuhkan.

Dengan ransel Donald duck yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya, Jongin berlari pulang ke rumah dengan air mata yang hampir membanjiri setiap jalanan yang ia lewati hingga menuju rumah. Untungnya rumah Jongin memang berjarak tidak jauh dari sekolah. Mungkin hanya membutuhkan waktu 3 sampai dengan 4 menit untuk sampai sekolah begitu juga sebaliknya dan mungkin hanya membutuhkan waktu 2 menit jika berlari—seperti halnya yang dilakukan Jongin.

Tanpa melepas sepatu dan ranselnya, Jongin berlari menuju kamar ibunya yang berada di lantai atas. Untung saja saat itu ibunya memang sedang berada di rumah. Bayangkan jika tidak. Bisa-bisa Jongin menangis sampai tidak mengeluarkan suara seperti yang pernah dialaminya saat umur lima tahun. Jongin memang terkenal cengeng. Dan fakta itulah yang membuat ia sering di-bully oleh anak-anak seumurannya. Tidak. Mungkin bukan hanya anak-anak seumurannya saja karena Jongin juga pernah di-bully Chanyeol dan Baekhyun—si kembar yang beda rupanya—yang umurnya dua tahun lebih tua dari Jongin.

Eomma, kenapa tidak ada yang mau berteman dan bersahabat denganku?” Jongin semakin memperkeras tangisannya saat ia berhasil memeluk ibunya.

Ironis memang. Jongin bahkan tidak mengetahui alasan mengapa tidak ada satupun di antara anak-anak seumurannya yang mau berteman apalagi bersahabat dengannya. Jongin cukup menggemaskan dengan kedua bola matanya yang hitam, bulat dan cukup besar, pipi yang sedikit berisi, bibir yang tebal walaupun ia memiliki kulit yang sedikit gelap. Ia tidak pernah berbuat onar apalagi mem-bully anak-anak seumurannya, ia juga sangat penyanyang terlebih pada ibu dan anjing-anjing peliharaannya. Jongin juga tidak pernah iri melihat anak-anak seumurannya yang selalu diantar dan dijemput oleh kedua orangtua mereka dengan mobil-mobil mewah walaupun Jongin tidak bisa menyembunyikan kesedihannya setiap kali melihat begitu banyak ayah yang datang ke sekolahannya. Kadang Jongin ingin menangis saat mengingat kembali kenyataan bahwa ia terlahir dan tumbuh tanpa seorang ayah.

“Karena mereka belum sadar bahwa Jongin adalah anak yang baik hati dan sangat menyenangkan.”

Ibu Jongin melepaskan pelukan anak satu-satunya itu.

“Dengarkan eomma baik-baik. Suatu saat nanti Jongin pasti akan bertemu dengan seseorang yang bisa Jongin panggil dengan sebutan teman atau bahkan sahabat. Mungkin sekarang belum saatnya saja. Percayalah pada eomma, Tuhan pasti memberikannya suatu saat nanti.”

Dan Jongin akhirnya berhenti menangis. Ia masih terlalu polos untuk tidak mempercayai kata-kata ibunya sendiri.

Namun haruskah kita ikut mempercayai kata-kata ibu Jongin?

Saat itu Jongin baru memasuki tingkat pertama di sekolah menengah pertama. Joonmyun—anak terkaya di sekolahnya—menjadi teman pertamanya di sekolah. Awalnya Joonmyun sendiri yang memanggil Jongin sebagai temannya, bahkan teman baiknya setelah Jongin sudah berbaik hati menemaninya melewati setiap kegiatan mereka di sekolah. Hari demi hari berlalu dan mereka selalu bersama setiap kali di sekolah.

Jongin sangat bahagia. Melebihi kebahagiaannya saat anjing-anjingnya melahirkan dengan selamat atau saat ibunya membelikannya ransel baru bergambar spongebob. Jongin tidak menyangka bahwa ia benar-benar sudah mendapatkan seorang teman. Dan orang itu adalah Kim Joonmyun.

“Joonmyun, ini untukmu. Oya, kau mau menemaniku ke perpustakaan?” Jongin menyodorkan sebotol minuman rasa apel yang sengaja dibelinya untuk Joonmyun saat di kantin.

Joonmyun terlihat tidak senang dengan kehadiran Jongin. Ia menatap Jongin dengan begitu sinis. Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu.

“Aku tidak mau!” Joonmyun menyingkirkan tangan Jongin dari hadapannya dengan kasar. Botol yang malang itu pun akhirnya ikut tersingkir hingga harus rela mendarat di atas aspal yang kotor.

Jongin cukup terkejut. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah ia telah melakukan kesalahan? Kenapa Joonmyun jadi seperti itu? Namun Jongin berusaha menepis pikiran negatifnya dan dengan bodohnya ia tesenyum di saat-saat seperti itu.

“Kau tidak suka rasa apel ya?” tanya Jongin sungguh terlihat seperti seorang idiot.

“Aku bisa membelikan rasa jeruk jika kau mau. Atau mungkin kau mau rasa anggur, melon, st—“

“Aku tidak mau berteman denganmu lagi!”

Jongin serasa ditampar bolak-balik oleh tangan raksasa, ditimpuk dengan batu-batu raksasa, diceburkan ke kolam raksasa dan akhirnya dibuang ke dalam jurang di mana raksasa-raksasa sudah siap menunggunya untuk dijadikan santapan makan malam. Apa Jongin sedang bermimpi buruk?

“Aku dengar kau miskin dan berasal dari keluarga yang tidak jelas asal-usulnya. Kau tahu kan aku anak seorang pejabat di negara ini? Ayahku pasti akan memarahiku jika tahu bahwa aku berteman dengan orang sepertimu!”

Sepertinya memang bukan sebuah mimpi buruk.

“Jauhi aku mulai sekarang! Aku malu berteman apalagi bersahabat dengan orang sepertimu!”

Dan inilah kenyataan yang harus diterima Jongin.

Kali ini Jongin tidak berlari pulang ke rumah dengan air mata yang membasahi kedua pipinya. Jongin juga tidak mencari ibunya. Ia berjalan pulang dengan kepala tertunduk dan tentunya ia juga tidak lupa melepaskan sepatunya terlebih dahulu sebelum menuju kamarnya dan berakhir di atas kasur.

Jongin sudah cukup besar untuk menyadari bahwa ia memang berasal dari keluarga yang miskin. Ibunya bahkan tidak pernah bercerita tentang pekerjaannya. Kenyataan juga seakan ikut untuk tidak berpihak padanya. Jongin tidak memiliki ayah dan Jongin tidak akan pernah bisa membangga-banggakan ayahnya seperti yang dilakukan Joonmyun.

“Jongin-ah. Apa kau sudah pulang?”

Tunggu dulu. Bukankah Jongin masih memiliki ibu dan anjing-anjing yang bisa dibanggakannya pada murid-murid di sekolah? Lantas, kenapa ia harus bersedih? Bersedih? Itu jelas bukan tipe seorang Kim Jongin!

“Ya, eomma. Aku sudah pulang.” Jongin segera menarik dirinya dari kasur dan menemui ibunya.

Jongin memang cengeng tapi ia bukan tipe orang yang akan terus menerus larut dalam kesedihannya. Ia boleh saja bersedih tapi ia tidak akan mati dalam kesedihannya. Kehidupan terlalu berharga bagi seorang Jongin dan ia berjanji tidak akan pernah menyia-nyiakan hidup yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Memangnya kenapa jika tidak memiliki teman ataupun sahabat? Jongin masih punya anjing-anjing yang bisa bermain dengannya kapanpun ia mau. Jongin juga punya ibunya yang bisa ia jadikan teman, sahabat, ibu bahkan ayah dalam kehidupannya. Jadi untuk apa bersedih hanya karena tidak memiliki teman ataupun sahabat.

“Ibu belikan makanan kesukaanmu. Cepat dimakan, nanti dingin.”

Kebahagiaan bagi Jongin cukup sederhana. Salah satunya seperti memakan burger king dan kentang goreng yang dibelikan ibunya ini.

“Bagaimana sekolahmu? Apa menyenangkan?”

“Tidak buruk.”

Jongin mengunyah habis sisa burger di dalam mulutnya.

Eomma.”

“Eum?”

“Sepertinya aku tidak percaya bahwa sahabat sejati itu benar-benar ada di muka bumi ini.”

Detik berikutnya Jongin tersenyum—seakan memberitahu pada ibunya bahwa ia baik-baik saja—dan kemudian melanjutkan kembali kegiatannya menghabiskan burger dan kentang goreng yang tersisa.

 

Ketika kalimat itu terucap kembali dari mulut orang lain, apa Jongin harus mempercayainya lagi?

“Perkenalkan namaku Luhan. Aku tetangga barumu.”

Jongin menyambut Luhan tanpa keraguan sedikitpun di dalam hatinya. Bukankah sebagai tetangga seharusnya memang saling mengenal?—batin Jongin.

“Aku Jongin. Senang bisa berkenalan denganmu.”

Jongin tersenyum begitu juga Luhan. Bagi Jongin, Luhan terlalu manis untuk menjadi seorang pria dan terlalu putih untuk dibandingkan dengannya. Jongin sedikit meragukan jenis kelamin tetangga barunya itu namun jika diperhatikan dengan teliti, Luhan mempunyai jakun dan dadanya cukup bidang. Jongin menggelengkan kepalanya tidak jelas.

“Kau kenapa? Apa ada yang salah dengan penampilanku?”

“Sedikit.”

“Sedikit? Maksudmu?”

Luhan tampak bingung. Jongin sendiri masih memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Tidak. Lupakan saja,” Jongin menghentikan pandangannya kemudian tersenyum kembali pada Luhan.

Setelah hari itu Luhan sering mengunjungi Jongin di rumahnya. Kadang ia juga membawakan makanan untuk Jongin. Mereka sering bermain futsal bersama, bermain game bersama, menghabiskan hari libur dengan bersepeda dan kadang Luhan juga membantu Jongin menyelesaikan tugas sekolah yang tidak dimengertinya.

Luhan bagaikan seorang malaikat di mata Jongin. Bukan hanya karena wajahnya yang manis ataupun kulitnya yang putih bersih melainkan hatinya yang begitu tulus. Jongin bahkan menganggap Luhan sebagai jelmaan malaikat Gabriel.

“Akhirnya aku menemukan seorang sahabat di sini,” ucap Luhan saat melihat Jongin sedang serius dengan tugas sekolahnya.

Jongin terlihat sedikit terkejut. Ia mengentikan kegiatannya sejenak kemudian menoleh ke arah Luhan yang tepat berada di sampingnya.

“Sahabat?”

“Benar! Dan aku sangat senang bisa bersahabat denganmu,” Luhan terlihat begitu tulus mengucapkan kata-kata itu.

Jongin kembali mengerjakan tugasnya tanpa memperdulikan Luhan.

“Kenapa? Ada yang salah dengan kata-kataku?”

“Tidak.” Jongin membolak-balik lembaran tugasnya.

“Kau tidak suka ya bersahabat denganku?”

Tidak! Tentu saja tidak! Jongin ingin sekali meneriakkan kata-kata itu tepat di hadapan Luhan namun Jongin tidak bisa. Jongin tidak sanggup. Jongin takut jika ia menerima Luhan sebagai sahabatnya ia akan tersakiti lagi seperti sebelumnya. Jongin belum siap.

Benar saja. Setelah saat itu Luhan tidak pernah muncul lagi di hadapan Jongin. Ia menjauhi Jongin. Entahlah, mungkin ia merasa tersinggung dengan sikap Jongin padanya saat itu. Jongin tidak bisa berbuat apa-apa, ia tahu ia salah namun jika Luhan memang menganggapnya sahabat harusnya Luhan bisa mengerti keadaannya. Harusnya Luhan mencari tahu kenapa Jongin menjadi sangat sensitif saat mendengar kata ‘sahabat’. Harusnya Luhan tidak langsung menyimpulkan sendiri dan harusnya Luhan tidak menjauhi Jongin seperti sekarang ini.

“Aku sudah tahu akhirnya pasti akan seperti ini,” Jongin tertawa pada dirinya sendiri.

“Kim Jongin! Kau memang sudah ditakdirkan untuk tidak mempunyai teman ataupun sahabat!”

Apa Tuhan memang sudah menakdirkan demikian? Sepertinya Jongin salah karena…

“Apa kau baik-baik saja?”

Jongin terlihat menahan sakitnya. Ia baru saja jatuh dari tangga sekolahannya dan seperti biasa tidak ada yang memperdulikan Jongin. Mereka yang lewat hanya melihat dan berbisik pada yang lainnya kemudian meninggalkan Jongin tanpa menawarkan bantuan sama sekali.

Namun kali ini berbeda karena ada murid bermarga Oh yang datang menghampiri Jongin tanpa melihat Jongin sebagai seorang murid yang begitu rendah kelas sosialnya. Ia bahkan mengulurkan tangannya untuk membantu Jongin berdiri.

“Apa kau baik-baik saja?” ia mengulangi pertanyaannya.

“Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil,” Jongin berusaha tersenyum namun rasa sakit jelas terlihat dari wajahnya.

“Luka kecil?” murid bermarga Oh itu sedikit berjongkok untuk melihat lutut Jongin yang terluka.

“Oh, Tuhan! Kau bilang ini luka kecil? Lututmu robek dan kau mengeluarkan banyak darah. Ini namanya sudah pendarahan! Oya, perkenalkan namaku Sehun, Oh Sehun. Kau bisa memanggilku Hunnie,”

Jongin sedikit bingung melihat kelakukan pemuda bernama Sehun itu. Jelas-jelas ini hanya luka kecil dan setiap luka pasti akan mengeluarkan darah. Bagaimana bisa Sehun begitu berlebihan? Apa pemuda ini tidak pernah terluka? Atau ia bahkan tidak bisa membedakan luka kecil dan luka parah. Dan lutut Jongin hanya lecet sedikit. Tidak robek!

“Aku Kim Jongin.”

“Kau masih bisa berkenalan di saat-saat seperti ini?! Cepat ikut aku ke UKS,” Sehun menarik tangan Jongin untuk mengikutinya.

Murid bernama Oh Sehun ini memang kelihatannya sedikit aneh. Tapi tahukah kalian bahwa dibalik keanehannya ternyata Sehun adalah anak dari seorang polisi yang begitu tampan, baik hati dan rajin menabung.

“Jadi appa-mu seorang polisi?” tanya Jongin terkagum-kagum.

“Ya, begitulah. Karena itu juga tidak ada yang berani mengganguku. Mereka takut jika harus masuk penjara. Hehe.”

“Kau begitu hebat!”

“Bukan aku tapi appa-ku. Kau sendiri? Apa pekerjaan appa-mu?”

“Aku tidak punya appa.”

“Jongin. Aku tahu perasaanmu tapi kau tidak boleh sampai tidak mengakui appa-mu karena dia berjudi, mabuk-mabukkan atau tidak pernah pulang ke rumah.”

“Bukan itu.”

“Apa? Jadi appa-mu juga berselingkuh? Kau harus tabah ya, Jongin.”

“Bukan! Appa-ku sudah meninggal sejak aku masih di dalam kandungan.”

Saat itu juga Sehun sungguh terlihat seperti orang yang sangat teramat bodoh. Ia terlalu sok tahu!

“Maaf, aku tidak bermaksud.”

“Aku tahu.”

Jongin cukup senang bisa berkenalan dengan Sehun. Namun ia tidak berharap bahwa Sehun akan menjadi teman apalagi sahabatnya. Berbeda dengan Sehun yang tampak sangat antusias dengan Jongin. Sehun bahkan meminjamkan Jongin pistol mainan yang terlihat mirip sekali dengan kepunyaan ayahnya. Sehun bilang supaya tidak ada yang berani mem-bully Jongin lagi. Jongin hanya menerima namun tidak pernah ia pergunakan untuk menakuti Baekhyun, Chanyeol ataupun yang lainnya karena ia tahu jika ia tertangkap basah oleh guru-guru di sekolah ia pasti akan mendapatkan masalah besar walaupun itu hanya pistol mainan.

Sehun begitu tulus dan mungkin lebih tulus daripada Luhan. Sehun tulus membantu Jongin dalam segala hal bahkan sampai masalah uang pun ia rela.

“Ikut masuk saja,” Sehun mendorong Jongin masuk ke dalam ATM Center di dekat sekolahan.

“Dingin kan? Aku paling suka berlama-lama di dalam sini jika supirku belum menjemput, hehe,” Sehun memasukkan kartu ATM-nya ke dalam mesin.

“Aku janji akan mengembalikannya secepat mungkin,” Jongin terlihat tidak enak.

“Santai saja. Aku masih memiliki banyak uang di dalam sini. Kau tidak mengembalikannya aku juga tidak mungkin bangkrut, hehe.”

“Aku pasti mengembalikannya.”

“Kau tahu aku ini rajin menabung jadi uang pinjamanmu pasti akan kembali dengan cepat asal aku tidak absen menabung setiap harinya.”

Sehun terus membanggakan dirinya. Sebenarnya ia tidak bermaksud pamer. Ia hanya ingin Jongin merasa tidak terbebani dengan uang yang dipinjamnya karena Sehun benar-benar tulus ingin membantu Jongin.

Jongin dan Sehun melewatkan sekitar dua tahun delapan bulan empat puluh hari dengan selalu bersama-sama. Mereka selalu bersama-sama mengikuti kegiatan sekolah, menghabiskan waktu senggang di café langganan Sehun yang terkenal dengan bubble tea-nya. Berkat Sehun juga akhirnya Jongin ketagihan. Mereka juga sering melihat pertandingan futsal dan basket bersama-sama. Dan sebagai laki-laki normal mereka juga sering membicarakan gadis-gadis cantik, lucu, manis bahkan sexy.

Berkat Sehun juga akhirnya tidak ada lagi yang berani mem-bully Jongin. Status ayah Sehun memang sangat berpengaruh dalam menakut-nakuti musuh. Banyak yang bilang Jongin dan Sehun terlihat seperti kembar karena mereka sering pergi ke salon yang sama dan mengunting rambut mereka dengan model yang sama lalu memakai pakaian yang sama karena selera mereka kebetulan juga sama. Tinggi mereka juga hampir sama, postur tubuh apalagi walaupun Sehun terlihat sedikit lebih kurus. Satu-satunya yang bisa membedakan mereka jika dilihat dari jauh hanya warna kulit mereka. Hitam dan putih. Dan mungkin satu lagi. Pesek dan mancung.

Dan yang terpenting adalah kini Jongin percaya bahwa sahabat sejati itu ada dan Tuhan telah memberikan satu untuknya. Bagi Jongin, Sehun merupakan kado terindah kedua yang Tuhan berikan setelah ibunya. Jongin bahkan menggeser posisi anjing-anjingnya menjadi ketiga, keempat dan kelima.

Satu hal yang membuat Jongin percaya bahwa Sehun adalah sahabat sejatinya yaitu saat Sehun berkata,

“Tidak apa-apa kau tidak menganggapku sebagai teman ataupun sahabat. Yang terpenting kita bisa terus bersama-sama kan? Itu sudah cukup bagiku.”

Jongin tidak butuh beratus-ratus teman seperti yang dimiliki Tao. Bagi Jongin lebih baik memiliki satu tapi setia daripada beratus-ratus atau beribu-ribu tapi hanya bisa menyakitinya.

 

 

E.N.D

 

 

Kembali lagi dengan tulisanku yang sangat amat absurd ini. Fiction ini tercipta dari campuran keinginan nulis fiction genre friendship + nemuin foto-foto SeKai di tumblr + khayalan tingkat menengah (?) aku yang lagi stress sama tugas kuliah. Well, yang uda baca jangan lupa review-nya ya :)  Makasih.  



Viewing all articles
Browse latest Browse all 317

Trending Articles