Main Cast : Park Ji Yeon – Kim Jongin – Byun Baekhyun
Support Cast : Par Chanyeol – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon
Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst
Length : 4 OF ?
Author : Qisthi_amalia
Backsound : whatever what you want ^_^
***
-CHAPTER 4-
***
Jiyeon memperhatikan tubuhnya yang tenggelam dalam jaket Jongin yang kebesaran. Jiyeon tersenyum memperhatikan rintik hujan yang membasahi kaca yang saat ini ada dihadapannya.
“Minum Cokelatmu.” Perintah Jongin tajam. Ya. Setelah kejadian memalukan tadi –menurut Jiyeon tentunya- Jongin mengajaknya untuk berteduh di sebuah Café yang tak begitu jauh dari halte bus. Jiyeon tersenyum kecil membayangkan bagaimana Jongin yang terlihat merasa bersalah. Namja itu bahkan berusaha melindungi tubuh Jiyeon agar tidak basah karena hujan. Tapi tentu saja usahanya sia-sia karena hujan begitu lebat dan Jongin tak menggunakan payung untuk melindungi Jiyeon, melainkan hanya menggunakan kedua tangannya.
“Apa yang kau tertawakan ?” Protes Jongin lagi saat melihat Jiyeon malah tersenyum. Gadis itu hanya menggeleng. Meraih gelas berisi cokelat hangat dan menyesapnya perlahan. Rasa hangat mengalir begitu saja.
“Kenapa kau selalu saja berkata dingin seperti itu ?” Tanya Jiyeon lalu melirik kearah Jongin yang juga meliriknya sekilas namun dengan cepat menatap objek lain.
“Apa maksudmu ?” Jongin malah balik bertanya dan matanya ikut memperhatikan rintik hujan, sama seperti yang Jiyeon lakukan.
Jiyeon mendesah. Ia lalu memutar bola matanya. “Kau itu. sudahlah..Lupakan saja !”
Jongin diam. Ia enggan menjawab pertanyaan Jiyeon. menurutnya itu tak begitu penting untuk dijawab. Dan yang paling penting ia tak mau menceritakan apa pun pada gadis dihadapannya ini. Ia masih berpikir jika Jiyeon bukan siapa-siapa dan gadis itu tak berhak mengetahui apapun tentang dirinya.
Hening.
Mereka terdiam. Membiarkan rintik hujan menjadi backsound kali ini. Walaupun suara dari pengunjung lain begitu bising. Hal itu rupanya tak membuat Jiyeon maupun Jongin terganggu. Kedua orang itu terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
***
“Terima kasih.”
Jiyeon membungkuk kearah Jongin. Setelah dari café Jongin mengantar Jiyeon pulang. Namja itu tak mau mengambil resiko lagi dengan meninggalkan Jiyeon sendirian. Jiyeon hendak melepas jaket kulit hitam yang menghangatkan tubuhnya sejak tadi, namun Jongin menahannya.
“Pakailah…eum…maksudku kembalikan saja besok.” Kata Jongin lalu mulai men-stater motornya.
Jiyeon mengernyit heran. “Kenapa ?”
Jongin menoleh dan menatap Jiyeon dengan cara yang sama. Datar dan biasa saja.
“Kau mau aku memakai jaket kotor seperti itu. sudahlah…sebaiknya kau cuci dulu dan kembalikan besok padaku.” Ujar Jongin.
Jiyeon merengut kesal. Namun tak ayal ia juga setuju dengan perkataan Jongin. Jaket itu begitu kotor karena cipratan lumpur tadi. Jadi mana mungkin juga Jongin mau memakainya.
“Baiklah.” Kata Jiyeon pada akhirnya.
Jongin men-gas motornya dan deruan keras mesin motor membuat Jiyeon mau tak mau menutup telinganya. Ia mengumpat keras. “Berisik !!!”
Namun jongin tak mengindahkannya. Namja itu malah tersenyum sinis dan melesat pergi dari sana dengan kecepatan maksimum. Jiyeon mencuatkan bibirnya kesal. Ia melirik kearah jalan raya dan motor Jongin sudah tak terlihat lagi.
“Namja aneh.” Ucapnya pelan. Jiyeon memperhatikan tubuhnya yang benar-benar menyedihkan. Baju kotor dengan jaket jongin yang begitu besar ditubuhnya. Tanpa sadar Jiyeon tersenyum tipis. “Tapi ini hangat. “Gumamnya.
Ya Tuhan ! Wait…Apa dia bilang barusan…? Hangat ? Tidak. Jiyeon dengan cepat mengeleng dan memukul kepalanya sendiri. “Bodoh.” Erangnya kesal.
Tak ingin terlalu larut dalam pemikiran bodohnya Jiyeon bergegas lari menuju rumahnya. Saat ia mengetuk pintu, tak ada tanda-tanda akan ada orang yang membuka pintu dari dalam. Ia pun mendesah berat, meraih kunci dari tasnya dan membuka pintu. Kakaknya belum pulang. Ya…itulah yang membuat Jiyeon begitu khawatir saat ini.
Ia melangkahkan kaki menuju kamar, setelah sebelumnya menyalakan lampu rumah yang gelap gulita. Satu hentakan cepat Jiyeon berhasil membuka pintu kamar yang didominasi cat berwana orange. Jiyeon menjatuhkan tubuhnya begitu saja diatas tempat tidur. Melepar tas kelantai. Tanpa melepaskan sepatu terlebih dahulu.
Matanya menerawang memperhatikan langit-langit kamar yang dihiasi puluhan bintang dari kertas emas yang Chanyeol tempelkan dulu. Jiyeon tersenyum kecil. Beberapa minggu belakangan ini Ia merasa begitu kehilangan Chanyeol. Kakaknya itu terlihat selalu sibuk. Berangkat pagi dan pulang larut. Terkadang Jiyeon merasa heran, apa yang dilakukan kakaknya di kampus ? Apa semester kali ini begitu sulit, menyibukan sehingga membuatnya harus berlama-lama dikampus ?. Tapi itu tak mungkin, karena sebelumnya Chanyeol pernah berkata Jika semester kali ini begitu mudah jadi Ia tak akan terlalu sibuk dikampus. Jadi hal apa yang Chanyeol lakukan selama ini ?
Jiyeon memijit pelipisnya. Tiba-tiba Ia merasa pusing. Dengan satu gerakan mulus gadis itu bangkit, meraih handuk dari gantungan dan masuk kedalam kamar mandi. Berharap air hangat bisa membuat pikirannya tenang dan pusingnya hilang.
***
Baekhyun tampak asik mengutak-atik ponselnya. Saat ada sebuah pesan masuk namja itu dengan cepat membalasnya. Sudah 2 hari namja itu berusaha mendekati Lee Jieun salah satu sahabat Jiyeon. ia tak memiliki maksud lain. Hanya ingin mendapat informasi lebih tentang Jiyeon. bukankah akan lebih baik jika mendekati sahabatnya dulu. Itulah yang dipikirkan Baekhyun. Ia ingin selangkah lebih cepat dibandingkan Jongin. Dengan mengetahui apa yang Jiyeon sukai dan tak ia sukai itu akan mempermudah Baekhyun melancarkan aksinya.
Dan jika kau bertanya, Apa Baekhyun melakukan semua ini karena cinta ? Tentu saja jawabannya, Bukan. Karena namja itu sama sekali tak tertarik pada Jiyeon. ia hanya ingin menjadikan Jiyeon sebagai umpan untuk menjatuhkan Jongin.
Musuhnya.
Rivalnya sejak dulu.
Dan ia ingin Tahta No.1 itu kembali padanya.
***
Yoona membolak-balik halaman demi halaman sebuah tabloid di pangkuannya. Wanita setengah baya itu terlihat gelisah. Sesekali ia melirik kearah jam besar yang tersimpan di samping televisi. Beberapa kali juga Ia menoleh kearah pintu, berharap Jongin pulang malam ini. Namun sepertinya anak bungsunya itu tak akan pulang lagi. semenjak pertengkaran dimeja makan tempo hari. Jongin kembali menjaga jarak lagi. anak itu kembali membangun tembok penghalang yang sangat sulit untuk Yoona tembus.
Wanita itu menghembuskan nafas berat. Ia begitu merindukan anak bungsunya yang dulu. Jongin yang periang, mudah tersenyum dan begitu ramah pada siapa pun. Dan yang pasti anak bungsunya yang begitu dekat dengan ayahnya. Yoona membungkuk, meraih salah satu album photo lama yang tersimpan di bawah meja.
Dibukanya halaman demi halaman. Sampai gerakan tangannya berhenti pada sebuah lembar yang berisikan beberapa photo Jongin yang tengah teratawa lebar ketika bermain sepeda bersama Changmin, ayah sekaligus suaminya. Saat itu umur Jongin masih 12 tahun dan Ia juga masih ingat ketika itu meraka tengah berlibur di Daegu, divilla yang changmin sengaja beli untuk berlibur. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Di elusnya permukaan photo itu. ia begitu merindukan momen itu. ia rindu suaminya tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena Changmin telah tiada. Dan ia juga Rindu Jongin namun anak itu seolah menutup diri darinya dan mencoba menjauh darinya. Itu sangat menyiksa. Walau ia masih memiliki Joonmyeon tapi tak bisa ia pungkiri Ia juga sangat merindukan Jongin.
“Bogoshipeo….” Gumamnya.
Suara deruan motor yang begitu keras membuat Yoona terkaget namun tak ayal Ia tersenyum juga. Ia tahu itu pasti Jongin karena ia hapal betul suara motor yang begitu berisik itu pasti milik anaknya. Saat pintu utama terbuka, Yoona bisa melihat wajah Jongin yang seperti biasa. Begitu dingin dan kurang bersahabat. Namun ia tetap bahagia. Melihat Jongin berdiri dihadapannya saja sudah membuatnya tenang. Dengan begitu ia tahu bahwa anaknya baik-baik saja.
Jongin yang menyadari kehadiran sang umma diruang televisi, mendengus. Ia berjalan begitu saja, tak menghiraukan ummanya sedikit pun. Tepat saat ia hendak meniti tangga Yoona berseru pelan.
“Apa kau sudah makan ?”
Jongin terdiam sejenak. Lalu tanpa menjawab pertanyaan umma-nya, Jongin kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
Yoona menghela nafas berat. Ia sudah tahu akan seperti ini hasilnya tiap kali mengajak bicara Jongin. Namun ia tak mau menyerah. Dengan gerakan cepat Yoona melangkah. Menarik pergelangan tangan Jongin dan membuat langkah anaknya terhenti.
“Apa yang kau lakukan ?” Ujar Jongin tanpa sopan santun.
“Bisakah menjawab pertanyaan umma sekali saja ? Bisakah berbicara dengan umma sebentar saja. hanya sebentar Jongin, umma tak meminta lebih.” Ucap Yoona pada akhirnya.
Jongin menghepaskan tangan itu dengan kasar. Ia menatap umma-nya marah.
“Sudah kubilang berapa kali. Aku tak mau berbicara denganmu lagi. Tak ingin melihat wajahmu lagi. tak ingin.” Tegas Jongin menatap ibunya tajam.
Yoona menahan nafasnya. Ia tak menyangka akan mendengar kata-kata itu lagi. setelah 5 tahun yang lalu ia juga mendengar dari mulut yang sama.
Tanpa menunggu perkataan umma-nya lagi Jongin melanjutkan langkahnya. Membiarkan yoona terdiam disana. sampai yoona mendongak dan berseru.
“Semua itu bukan keinginan umma Jongin. Umma juga tak menyangka semua bisa terjadi seperti itu…umma..benar…benar-benar tak tahu jika hal itu justru membuat—
Yoona tak mampu lagi melanjutkan ucapannya. Ia lebih dahulu menangis, terisak dan jatuh terduduk di undakan tangga kedua. Jongin menatap umma-nya tanpa ekspresi. Namja itu dengan cepat mengalihkan pandangannya kearah lain.
Jongin berucap dengan begitu pelan. Namun Yoona dengan jelas bisa mendengarnya karena ruangan itu amat sepi.
“Penyesalan umma tak akan mengubah apapun. dan Ia tak akan pernah kembali walau umma meraung seperti apapun. dan mengetahui kenyataan itu membuatku semakin……semakin membencimu…”
Yoona terhenyak. Perkataan itu tak ingin ia dengar. Perkataan ini tak ia harapkan meluncur dari mulut Jongin, anak bungsu yang amat ia sayangi. Ia benar-benar tak menyangka dan kini Ia benar-benar menyesali semuanya. Ia menyesal mengapa dulu ia melakukan hal itu dan ia sangat menyesal karena ternyata hal yang ia lakukan dulu justru membuanya kehilangan 2 orang yang amat berharga dalam hidupnya. suami dan juga anaknya.
Dan yang bisa Yoona lakukan hanya menangis. Membiarkan hening malam menjadi temannya malam ini. Bantingan keras pintu kamar jongin yang tertutup semakin membuat Yoona merasa sakit. Sakit yang begitu perih.
***
Jiyeon mengerjapkan matanya yang benar-benar terasa berat. Dengan gerakan pelan ia membalikan tubuhnya untuk melihat jam beker diatas meja nakas. 23.40. ia mengusap-usap matanya yang masih terasa berat. Setelah mandi dan menyelesaikan puzzelnya, jiyeon tertidur pulas di atas tempat tidur, padahal tadinya Ia berencana untuk menunggu Chanyeol pulang. Tapi bagaimana bisa ia tetap terjaga jika tubuhnya benar-benar lelah dan butuh tidur.
Dengan keadaan setengah sadar Jiyeon bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju keluar. Ia menghela nafas saat melihat kamar Chanyeol masih dalam keadaan kosong. Jadi Jiyeon memutuskan untuk beranjak menuju dapur. Baru saja Jiyeon hendak mengambil gelas untuk minum, suara pintu utama terbuka membuatnya berlari cepat menuju ruang tamu.
Ia merengut dan melotot tajam kearah seseorang yang selama ini ditunggu-tunggunya. Namun kekesalannya menguap begitu saja saat Ia melihat apa yang dikenakan Chanyeol. Kemeja putih dengan dasi dan celana kain hitamnya. Ini…ini tidak seperti pakaian yang biasa Chanyeol gunakan saat pergi ke kampus.
Dan Chanyeol pun terkesiap, saat ia berbalik dan mendapat Jiyeon tengah berdiri disana. chanyeol mengikuti arah mata Jiyeon yang memperhatikan bajunya. Dan demi Tuhan..Chanyeol benar-benar merutuki kesalahannya yang lupa mengganti pakaian. Tadi setelah selesai menyelesaikan berkas terakhir Chanyeol terlalu lelah dan Ia tak sempat untuk berganti pakaian dan Kini ia benar-benar tak tahu harus mencari alasan seperti apa.
“Oppa, kenapa kau pulang larut ? Dan kenapa oppa memakai baju seperti itu ?” Tanya Jiyeon penasaran.
Chanyeol terdiam sesaat namun ia akhirnya menjawab juga. “ Oh…ma’af tadi aku ada tugas dari dosen lalu pakaian ini sengaja harus ku pakai karena Miss Ahn menyuruhkan berakting sebagai pegawai kantoran…bagaimana keren bukan ?” Gurau Chanyeol seperti biasa, sambil berusaha menutupi ekspresi wajahnya agar tak mencurigakan.
Jiyeon menyipitkan mata menyelidik. Ia sedikit tak percaya namun mengingat selama ini Chanyeol tak pernah berbohong padanya akhirnya Ia mengangguk paham dan…Percaya.
“Oh…begitu. Tapi kenapa oppa selalu pulang larut ? Bukannya oppa bilang semester ini tak akan terlalu banyak bahan materi..?” Tanya Jiyeon lagi.
Chanyeol tersenyum tipis. Ia menghembuskan nafas lega karena setidaknya Jiyeon tak bertanya macam-macam lagi mengenai pakaiannya. Ia lalu berjalan menghampiri jiyeon, merangkul bahu adiknya dan mengajaknya untuk duduk di sofa ruang televisi.
“Oppa sepertinya salah memberitahumu Jiyeon. karena ternyata materi semester ini benar-benar sulit. Hah ! Melelahkan.” Kata Chanyeol mengada-ngada. Jiyeon menatap kakaknya kasihan. Chanyeol agak merasa bersalah melihat ekspresi Jiyeon yang seperti itu.
“Mau ku buatkan teh hangat ?” Jiyeon menawarkan. Tanpa menunggu jawaban Chanyeol, gadis itu beranjak menuju dapur.
Chanyeol memperhatikan adiknya yang tengah menyeduh teh dengan air panas. Ia tersenyum tipis.
“Kenapa selarut ini kau belum tidur ?” Tanya Chanyeol.
Setelah selesai Jiyeon kembali menuju ruang televisi, menyerahkan mug berisi teh hangat pada Chanyeol dan kembali duduk.
“Aku menunggu oppa.”
Chanyeol tertawa. Ia hampir saja tersedak saat mendengar kalimat Jiyeon barusan.
“Wah..wah…sepertinya ada yang merindukan aku disini..” Ujarnya penuh percaya diri.
Jiyeon memukul bahu Chanyeol dengan bantal orange-nya keras. Namun sekeras apapun Jiyeon memukulnya itu sama sekali tak terasa sakit. Karena bagaimana bisa Chanyeol kesakitan jika yang ada didalam bantal itu adalah helaian bulu angsa.
“Percaya diri sekali….!!! Siapa juga yang kangen..” Jiyeon menjulurkan lidah dan melajutkan aksi memukul Chanyeol dengan bantal empuknya.
“Baiklah…baiklah…ampun. Hentikan pukulanmu atau kau akan melihatku mati mengenaskan disini..!” Lanjut Chanyeol.
Jiyeon tertawa. “Mati mengenaskan Karen bantal empuk bulu angsa ini ? Oh Astaga oppa itu sungguh tak masuk akal, kau tahu…Konyol !!”
Chanyeol ikut tertawa dan kembali menyesap teh hangatnya. Siapa sangka jika secangkir teh hangat, pukulan bantal, suasana di ruang tv yang sepi dan tawa adiknya Jiyeon mampu membuat beban di pundak Chanyeol serasa berterbangan begitu saja.
Hebat bukan ?
***
Jongin memijit pelipisnya yang terasa pening. Membiarkan kelopak matanya untuk melihat langit malam yang begitu gelap malam itu. ia memejamkan matanya lalu kembali membukanya. Jongin lalu mengerang kesal. Bangkit cepat dan mengeluarkan seluruh isi tas yang ia simpan diatas meja tulis.
Dengan satu gerakan cepat ia meraih ukiran kayu –yang sudah cukup lama ia simpan- disana. di ambilnya benda itu dan jongin kembali menuju tempatnya semula. Di depan jendela. Ia duduk disana, membiarkan kakinya menjulur keluar, melayang diatas tanah.
Pelan namun pasti digenggamnya ukiran itu , diikuti dengan matanya yang terpejam. Ini memang konyol dan ini memang kekanakan. Namun apa salahnya dicoba kembali, setelah sebelumnya cara itu berhasil membuat jongin. Tersenyum.
Dan kali ini. Ia memejamkan mata lebih erat. Membiarkan helaian poninya tertiup angin. Membiarkan udara dingin masuk, menembus pori kulitnya. Membiarkan langit malam yang gelap menemaninya. Dan membiarkan ukiran itu di genggamannya.
Untuk kali ini. Jongin benar-benar berharap bisa lebih tenang. Ia berharap semuanya bisa kembali seperti semula. Ia sangat berharap Tuhan mendengar do’anya. Sekali saja. walau pun hanya sekali dan jika itu terkabul. Ia akan sangat bahagia.
Dan. Disela pejaman matanya yang erat. Disela sepoi angin malam yang membelai lembut. Disela dingin yang menusuk sampai ketulang. Ia kembali tersenyum. Perasaan lega itu kembali hadir. Dan damai itu kembali mengusik.
Dan di sela pejaman matanya itu. ia meminta. Ia berharap. Ia bisa melupakan masa lalu dan menjalani masa depan.
***
“Dan tebak apa yang kutemukan di bawah laci kamarnya ?”
Jiyeon dan Soojung hanya menggeleng tak tahu. Jieun memamerkan senyum licik penuh kemenangan. Saat itu ia tengah bercerita tentang kamar adiknya yang penuh dengan hal-hal menarik untuk dilewatkan. Jieun memilik adik perempuan, 2 tahun dibawahnya. Jika kalian melihat sepintas kalian pasti mengirang mereka sangatlah akrab. Tapi, jika kalian tahu jelas mereka layaknya tom and jerry. Jieun yang ngotot dan tak mau kalah dan adiknya Eunji yang begitu dingin namun sangat licik.
Jieun dan Eunji selalu berebut dalam segala hal. Baik itu dalam hal barang, kasih sayang orang tua, prestasi ataupun liburan. Dan kali ini Jieun tengah bercerita tentang bagaimana Ia mengambil barang berharga milik Eunji yang tidak diketahui Jieun dan Soojung sama sekali.
“Memang didalam sana ada apa ?” Tanya soojung penasaran.
Jieun tersenyum. “Aku menemukan sepucuk surat cinta.” Lalu Jieun terbahak membuat Jiyeon dan Soojung berpandangan dan bergidik ngeri. Pasalnya mereka tak mengerti mengapa Jieun bisa tertawa terbahak seperti itu.
Jieun yang menyadari perubahan raut wajah kedua temannya buru-buru menambahkan.” Wait wait. Kalian jangan melihatku dengan ekspresi menakutkan seperti itu.” Selanya masih diselingi senyum kecil.
“Baiklah akan kujelaskan mengapa aku begitu bahagia sekarang. Surat itu adalah surat cinta yang Eunji sembunyikan dariku. Ia mendapat surat itu dari kekasihnya, padahal umma dan appa melarangnya berpacaran. Dan kalian pasti akan tahu apa yang terjadi jika aku mendapatkan surat itu dan mengancam Eunji, right ?”
Jieun mengangguk paham lalu mendorong bahu temannya itu. “Dasar Jail.”
Jieun mengangkat bahu tak perduli. “Siapa suruh juga, dulu ia menghancurkan hiasan saljuku. Ini balasannya. Akan ku ancam dia membersihkan kamarku setiap hari dan mengijinkanku memakai barangnya.”
Soojung hanya menggeleng. “Kalian berdua itu, kakak adik yang sangat menyeramkan.”
Jiyeon tertawa begitu pun dengan Jieun dan terakhir diikuti senyuman kecil Soojung.
.
.
Baekhyun tersenyum pagi itu. diliriknya Jongin yang begitu asik dengan dunianya. Hari ini ia memang sedikit heran, pasalnya sejak masuk kelas tadi Jongin sama sekali tak membuat ulah sedikit pun. Ia lebih banyak diam dan mendengarkan. Namun Baekhyun paham Jongin sama sekali tak mendengarkan apa ocehan guru didepan sana, namja itu melainkan sedang berkonsentrasi dengan duniannya sendiri. Dan hal itulah yang selalu membuat Baekhyun merasa Jongin amatlah misterius dan ia bertekad harus mengetahui semuanya.
.
.
Bel istirahat berbunyi. Semua anak berhamburan keluar. Ada yang langsung menuju kantin, ada yang berlari ke toilet atau membaca ke perpustakaan. Tapi kebanyakan hanya berdiam diri di balkon depan kelas untuk mencari mangsa. Ck.
Baekhyun diam di tempat duduknya. Setelah semua anak keluar, kecuali Jongin tentunya. Namja itu bangkit dan berjalan santai menghampiri tempat duduk jongin yang berada di pojok, jajaran 4 paling belakang.
Jongin masih diam. Ia tak menyadari kehadiran Baekhyun yang sudah duduk di depannya.
“Aku tahu kau menyukainya.” Kata Baekhyun pelan namun tegas. Ia lalu menyandarkan tubuh pada dinding di belakangnya.
Jongin masih bergeming. Melihat itu Baekhyun lalu melanjutkan ucapannya.
“Saat melihat kau memperlakukan gadis itu seperti kemarin.” Ia menghentikan ucapannya, melirik Jongin lalu tersenyum kecil. “Sepertinya kau harus menarik kembali perkataanmu tentang kau sama sekali tak tertarik dengan yeoja.”
Baekhyun mencibir kecil. Saat mendapati Jongin sama sekali tak perduli dengan kehadirannya. Namun bukan Baekhyun namanya jika ia tak mau berusaha keras.
“Park Jiyeon. Ck ! Ternyata seleramu rendah Kim Jongin. Yeoja itu bahkan tak secantik dan seseksi Gyuri yang kemarin menembakmu. “
Baekhyun tersenyum kecil, saat melihat Jongin mulai melirik kearahnya. Ia sudah tahu jika Jongin tak akan membiarkannya menjelek-jelekan yeoja itu.
“Hahaha…Lihatlah. Kau bahkan mulai melirikku seperti itu saat aku menjelek-jelekannya.” Baekhyun tertawa dan menatap Jongin meremehkan.
“Apa maumu ?” Tanya Jongin akhirnya. Untuk kali ini ia benar-benar malas untuk berdebat. Ia ingin keheningan dan bukan suara ocehan Baekhyun yang amat bising.
“Kau bertanya apa yang ku inginkan ?” Tanyanya, Ia lalu bangkit dan berdiri tepat dihadapan Jongin. “Kau tak perlu bertanya Kim Jongin. Karena kau tahu pasti apa yang ku mau.” Jeda sejenak, lalu Baekhyun menambahkan. “Posisiku.” Tegasnya menatap Jongin sengit.
Sementara Jongin yang ditatapan seperti itu hanya tersenyum, ani..Lebih tepatnya menyeringai. “Ambilah.”Katanya, lalu menyambung. “ Jika kau mampu, Byun Baekhyun.”
Baekhyun mengepalkan lengannya sekuat mungkin. Sementara Jongin hanya tersenyum lebar, meraih tas dari meja dan melenggang meninggalkan Baekhyun. Namun belum sempat Jongin mencapai ambang pintu, Baekhyun berkata.
“Aku akan menghancurkan gadis itu, jika kau masih bertingkah seperti ini.”
Jongin berhenti melangkah. Mencoba mencerna apa maksud dari ucapan Baekhyun barusan. Namun belum sempat ia mengerti, Baekhyun kembali berucap.
“Park Jiyeon. Aku bersumpah akan mempermainkannya. Akan membuat dia menangis terus menerus. Dan aku juga bersumpah tak akan berhenti melakukannya jika posisi itu belum menjadi miliku.” Tegasnya tersenyum kecil.
Jongin memutar bola matanya jengah. “Mengapa kau selalu membawa-bawa gadis itu dalam masalah kita, eoh ?” Tanya Jongin tak mengerti.
Baekhyun hanya mengangkat bahu. “Bukan aku yang membawanya. Tapi kau sendiri yang menawarkannya sebagai umpan, ingat ?”
Jongin mengepalkan lengannya. Berjalan dengan langkah besar kearah Baekhyun. Lalu, ditariknya kerah kemaja Baekhyun kuat. Membuat kaki Baekhyun melayang, tak menyentuh lantai.
“Sedikit saja kau menyentuhnya. Kau akan berurusan denganku.” Ujar Jongin dengan tatapan dingin. Namun Baekhyun tak gentar. Namja itu malah tertawa.
“Sepertinya gadis itu sudah membuatmu jatuh cinta, eum ?.” Tanya Baekhyun.
Jongin terdiam. Cengkramannya di kerah kemeja Baekhyun melemah. Baekhyun yang menyadari itu dengan cepat melepaskan diri dari cengkraman Jongin.
Setelah terlepas dari cengkrama Jongin, Baekhyun mengambil beberapa langkah mundur dan berdiri beberapa meter dari tempat Jongin yang masih berdiri mematung kini.
“Coba lihat bagaimana reaksimu saat ini “ Baekhyun terkekeh sinis. Menatap Jongin kasihan. Jongin masih bergeming. Ia menatap lantai datar. Bahkan saat Baekhyun mendorong dan menghimpit tubuhnya kedinding, Ia hanya diam.
“Berikan posisi itu dan gadis itu akan baik-baik saja. “Desisinya tajam.
Jongin tersadar. Ia balas menatap tatapan itu tajam. Terdiam sejenak. Mencoba membalas dengan kalimat yang tepat. Namun sayang, lidah dan hatinya tak bekerja sama..
“Never !”
Baekhyun tersenyum, namun tatapan matanya menyiratkan arti lain.
“Right ! Itu pilihanmu. !” Ujarnya santai. “Dan..Kuharap kau tak menyesalinya. Karena pantang untuk kita menarik kata-kata yang pernah terlontar. Bukan begitu ?” Baekhyun tersenyum puas, ia menaikan satu alisnya. Menatap Jongin yang masih diam, punggungnya menyandar pada dinding, wajahnya tepat menghadap kea rah Baekhyun. Namun tatapan itu kosong dan entahlah.
Jongin bahkan masih diam. Bahkan saat Baekhyun pergi dari kelas itu, ia masih saja diam.
***
“Jiyeon~aa…aku pulang duluan..”
Jiyeon hanya mengangguk dan melambai kearah Jieun yang sudah naik ke mobilnya. Tak perlu menunggu lama, mobil sedan hitam itu sudah melesat dari hadapannya. Dan seperti biasa, Ia akan pulang sendirian.
Ia mendesah berat. Kemudian melangkahkan kakinya menuju halte terdekat. Dari pada menunggu di sekolah yang sepi, lebih baik menunggu bis dihalte, pikirnya.
Jiyeon tersenyum kecil. Duduk di halte seperti sekarang ini, tiba-tiba mengingatkannya pada namja ‘freak’ itu.
“Aigo ! Apa yang aku pikirkan. Ya tuhan..Park Jiyeon wake up…issh !!” Ia menggerutu sendiri, memukul tempurung kepalanya pelan.
Bagaimana bisa ia mengingat namja itu. namja menyebalkan yang pernah ia temui. Namja paling kejam yang pernah ada, namja yang begitu misterius. Membuanya terkadang ketakutan, terganggu dengan teriakannya , jengah dengan sikapnya dan….senang jika melihat tatapan tajamnya…Oh God !! But Wait…Senang ?
“Phabo…Aigo Aigo…Aisshh !! Apa yang aku pikirkan. !! Lagi-lagi Jiyeon menggerutu sendiri. Tanpa sadar beberapa orang yang juga menunggu bus dihalte menatapnya khawatir.
Ada tatapan nanar ibu-ibu tua seolah kasihan dengannya. Ada tatapan terganggu pasangan kekasih dan tatapan tak perduli ahjussi tua yang bersandar pada besi halte.
Jiyeon hanya tersenyum kikuk. Menyadari kebodohan yang dilakukannya barusan. Namun belum sempat Jiyeon meminta ma’af pada semua orang yang terganggu olehnya. Deruan mesin motor yang Ia hapal membuat Jiyeon tanpa sadar terperanjat dari tempat duduknya. Dan saat Ia mendongak. Ia menemukan Jongin yang tengah menjalankan motor beberapa meter dari tempatnya duduk.
Jiyeon tersenyum kecil. Saat motor Jongin makin mendekat, Jiyeon semakin tak nyaman duduk. Ia bergerak-gerak tak karuan membuat beberapa orang memprotes. Namun ia tak begitu perduli. Dan saat motor itu melewatinya, Jiyeon menarik nafas dan tersenyum.
Tapi sayang…Jongin sama sekali tak melihat kearahnya. Motor itu melesat begitu saja melewatinya. Senyuman di bibir itu memudar dan tanpa sadar jiyeon kembali mendesah. Dan saat ia sadar apa yang barusan yang ia lakukan, jiyeon kembali mengerang.
“Aissh !! Kenapa aku mendesah. Aigo.. Park Jiyeon…kau itu kenapa ? Chinja…Hah !”
***
Jieun memainkan kakinya. Ia begitu bahagia kini. Baekhyun mengajaknya bertemu di taman kota. Dan saat baekhyun mengajaknya, ia begitu antusias. Bahkan sampai mengeluarkan seluruh isi lemarinya dan ia begitu frustasi saat melihat semua baju dihadapannya terlihat jelek. Berjam-jam ia memilih baju yang tepat, namun tak ada yang bagus dimatanya. Padahal biasanya jika pergi bersama Jiyeon atau soojung ia tak begitu perduli penampilan. Tapi kenapa saat Baekhyun yang mengajak, efeknya berbeda ?
Dan kepanikannya Jieun saat itu terselamatkan saat ia ingat jika masih memiliki satu gaun biru muda pemberian ummanya.
Jieun merapihkan roknya kembali, padahal tak ada yang salah dengan rok itu. sangat rapih tanpa kerutan. Namun ia begitu gugup hingga sejak tadi kerjanya hanya membenarkan roknya.
“Kau baik-baik saja ?”
“Eoh ?”
Jieun terperanjat, ia hampir saja meloncat senang saat tahu siapa yang menyapanya. Dengan cepat Jieun tersenyum dan mengangguk pelan.
“Ma’af menunggu lama.” Ujar Baekhyun lalu duduk di samping Jieun.
“Gwenchana.” Pelannya tanpa menatap Baekhyun. Ia terlalu gugup hingga tak siap hanya untuk menatap wajah Baekhyun yang berjarak beberapa centi darinya.
Oh God ! Rasanya seperti..Akh ! Seperti terbang diatas kebun bunga dengan hembusan angin lembut yang akan mengantarkanmu kealam mimpi. Jieun tersenyum kecil, pipinya bersemu merah.
“Kau kenapa ?” Tanya Baekhyun khawatir saat melihat Jieun yang sejak tadi hanya menunduk.
“Eoh, ani..Hanya sedikit gugup.” Jieun dengan cepat menutup mulut saat menyadari kebodohannya barusan. “Maksudku..eum..maksudku..”
“Sudahlah lupakan, aku mengajakmu kesini bukan untuk membicarakan hal itu.” Katanya cepat.
Jieun mendongak, memperhatikan Baekhyun yang tengah menatap anak-anak yang bermain pasir di depan mereka.
“Maksudmu ?” Tanya Jieun pensaran.
Baekhyun menoleh kearah Jieun dan tersenyum kecil. Jieun terdiam. Ia benar-benar jatuh cinta dengan senyuman itu. jantungnya yang malang kini berdebar-debar tak karuan. Jieun menarik nafas dalam dan berusaha tersenyum juga.
“Aku sebenarnya…” Baekhyun menunduk, kemudian menatap Jieun lagi.
Jieun tanpa sadar Menahan nafasnya. Ia benar-benar gugup. ‘Apa Baekhyun akan menyatakan cinta padanya ?’ Pikirnya. Senyumannya semakin mengembang. Namun saat bibir itu mengucapkan satu nama yang jelas ia tahu, Jieun mendesah berat.
“Aku menyukai temanmu, Jiyeon.”
“Oh..” Dan hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. Jieun menunduk, memainkan sepatunya. Ia benar-benar merasa konyol. Susah payah berusaha mencari baju terbaik. Sudah payah bersikap sebaik mungkin. Bahkan ia sempat percaya jika Baekhyun menyukainya. Namun saat Namja itu mengucapkan nama itu…Jieun merasa ada yang sakit di dalam sana. Ia memang tak bisa melarang Baekhyun menyukai Jiyeon. namun bisakah namja itu melihatnya, walau hanya sebentar ?
Jieun tersenyum miris. Ia benar-benar merasa bodoh kini.
“Kau mau membantuku untuk mendapatkannya kan ?” Tanya Baekhyun.
Jieun termenung. ‘Membantu mendapatkannya ?’. Padahal itu hanya satu kalimat Tanya yang ia sering dengar. Namun saat mendengar itu dari mulutnya, mengapa Jieun merasa sesakit ini. Mengapa ia merasa ingin sekali mengubur kalimat itu sekarang juga.
“Apa yang membuatmu menyukainya ?” Tanya Jieun pelan.
Baekhyun tersenyum. “Segalanya.”
Jieun kembali tersenyum. “Ya. Kurasa aku bisa membantumu.” Membantumu mendapatkannya. Membantumu bahagia dengannya walau aku harus menanggung sakitnya sendirian.
***
Jiyeon menunduk. sesekali menendang kaleng minuman yang berserakan di atas trotoar. Memutuskan untuk tidak naik bus dan berjalan kaki seperti sekarang ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara musim semi yang benar-benar luar biasa segar.
“Seharusnya aku berjalan-jalan seperti ini sejak kemarin.” Gumamnya sendiri.
Ia berjalan riang. Menyusuri trotoar dengan perasaan bahagia. Matanya jeli memperhatikan beberapa pedagang yang menjajakan barang dagangannya di sepanjang jalan. Membuat beberapa pejalan kaki sengaja menepi hanya untuk makan-makan di warung tenda yang ada.
Saat jiyeon hendak membeli jajanan kecil di sebuah warung tenda yang ada di depan pohon besar, ia terdiam. Mencoba menajamkan kembali penglihatannya.
Ia benar-benar tak salah lihat. Benar. itu..Kim Jongin.
Jiyeon berjalan semakin cepat, bemaksud menyapa namja itu. namun langkahnya terhenti saat ada seorang yeoja di terduduk di hadapan Jongin. Matanya melebar.
“Sudah ku bilang jangan memaksaku !!” Bentak Jongin pada yeoja paruh baya itu.
Jiyeon mengerutkan alis heran. “Bagaimana bisa dia sekejam itu.” Gerutunya.
Dengan cepat Jiyeon berjalan, menghampiri Jongin dan wanita setengah baya itu. dengan satu sentakan cepat Jiyeon mendorong bahu Jongin. Membuat namja itu melotot tajam,
“Kau !” Pekiknya.
Jiyeon menaikan dagu. “Ya. Ini aku. Kenapa ?” Ujarnya menantang.
Jongin memutar bola mata jengah. Bahkan ia hanya diam, saat Jiyeon menunduk dan membantu ibu tua itu untuk berdiri.
“Apa kau sudah gila eoh ? Berani sekali dengan ahjuma ini !” Ujarnya kesal.
Namun Jongin bukannya minta ma’af. Namja itu malah menatap Jiyeon dingin dan menatap Ahjuma itu dengan tatapan benci.
Jiyeon menaikkan alis bingung. “Kenapa kau menatap ahjuma seperti itu, eoh ? Dasar kejam !”
Jongin menatap Jiyeon lagi. lalu melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Jiyeon dengan sejuta pertanyaan yang kini bersarang di benaknnya.
“Ajhuma, kau baik-baik sajakan ?”
Ahjuma itu hanya mengangguk. Tangannya mencoba menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya yang menirus.
“Kenapa ahjuma diam saja. seharusnya ahjuma membentaknya. Dia itu benar-benar namja kurang ajar…dasar gila…!!” Gerutu Jiyeon panjang lebar. Membuat Ahjuma yang berdiri disampingnya tersenyum kecil.
Jiyeon menatap ahjuma itu heran. “Kenapa ahjuma malah tersenyum seperti itu ?”
Ahjuma itu tersenyum. “Dia sebenarnya anak yang baik.”
Saat Jiyeon berusaha bertanya maksud perkataannya. Ahjuma itu lebih dulu menyela.
“Dia anakku.”
Jiyeon mematung. Apa barusan ia tak salah dengar. ‘Anaknya ?’
“Bagaimana bisa..tapi di—dia—
Ucapannya terputus saat ahjuma di sampingnya kembali berkata. “Ya, dia anakku. Kim jongin. Anak bungsuku.” Katanya lagi.
Jiyeon semakin tak mengerti. Anaknya ? Kalau memang benar. kenapa Jongin bersikap seperti itu pada ibunya sendiri.
“Tapi kenapa dia kasar sekali pada ahjuma. Ia bahkan mendorong ahjuma sampai jatuh seperti tadi ?” Tanya Jiyeon masih dengan gurat wajah setengah percaya.
Ahjuma itu hanya tersenyum, menunduk dalam. Jiyeon mengerti..bahkan sangat mengerti dengan arti tundukan itu. ada pedih yang tersimpan disana.
“Dia punya alasan melakukannya. Dan ahjuma pantas diperlakukan sepeti itu.”
Lidahnya terasa kelu. Jiyeon tak dapat berkata apapun lagi. bahkan hanya untuk menenangkan ahjuma yang mulai menangis itu Jiyeon tak bisa.
“Kau mengenal anakku ?” Tanya ahjuma itu pelan, disela tetesan air mata yang masih mengalir.
Jiyeon mengangguk. “Dia kakak kelasku.”
“Ku harap kau bisa merubahnya nak.!” Kata Ahjuma itu penuh harap.
Jiyeon menatap ahjuma itu heran. “Maksud ahjuma ?”
“Dia sepertinya baik padamu.”
Jiyeon melotot tak mengerti. “Apa ? Ya Tuhan ahjuma. Dia sama sekali tak baik padaku. Dia kasar sekali. Bahkan pernah membentakku berkali-kali…” Papar Jiyeon menggebu.
Perlahan ahjuma itu tersenyum, bahkan terkekeh. Jiyeon merasa tenang saat melihat ahjuma itu tak lagi menangis.
“Itu tandanya dia memperhatikanmu.” Kata Ahjuma itu penuh keyakinan. “Dia sebelumnya tak pernah peduli dengan siapa pun. Tak pernah bicara dengan siapa pun dan tak pernah mau tahu urusan siapa pun. Tapi saat melihat bagaimana dia tadi menatapmu. Ia seperti tak ingin membuatmu takut.”
“Eoh ?” Jiyeon masih tak mengerti.
“Kau akan tahu nanti. Ahjuma pulang duluan. Senang bertemu dengan..eum..
“Park jiyeon imnida. “Ucapnya cepat saat tahu maksud ahjuma itu.
“Ne, bangapta Jiyeon. Im Yoona imnida.” Sahut ahjuma itu sambil tersenyum.
Jiyeon ikut tersenyum. Umma Jongin benar-benar cantik. Ia bahkan tak terlihat tua. Sangat cantik dan terlihat penuh kasih sayang.
“Bagaimana bisa namja itu membenci ibu sebaik ahjuma im..?” Dan saat sadar dengan pertanyaannya barusan. Jiyeon tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dia punya alasan melakukannya. Dan ahjuma pantas diperlakukan sepeti itu
Kata-kata itu tergiang jelas di telingannya.
***
Jongin menghembuskan nafasnya sekuat tenaga. Menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dadanya. Ia benar-benar tak menyangka jika Ummanya memaksa ingin ditemani jalan-jalan di sekitar taman. Awalnya ia memang mengiyakan karena tak kuat dengan rengekannya yang membuat Jongin jengah. Namun kesabarannya menguap saat sang umma memaksanya untuk mencoba beberapa jajanan di warung tenda di pinggir jalan. Bukannya Jongin tak mau. Namun jika harus melakukannya dengan wanita itu –ummanya. Jongin tak pernah mau dan tak akan pernah melakukannya.
Ia menyandarkan punggung pada badan pohon besar di sana –taman belakang gedung tua. Memejamkan matanya seperti biasa. Membiarkan sepoi angin membawa pergi bebannya yang semakin hari semakin menghimpit.
“Ya ! KIM JONGIN !”
See ? Bahkan teriakan itu benar-benar terdengar nyata kini. Jongin menepis khayalannya tentang teriakan gadis itu. semakin memejamkan matanya erat.
“YA ! KAU TULI ?”
Wait ! Jika ini khayalan, kenapa bisa terdengar senyata ini ?
Jongin membuka matanya perlahan. Mengerjapnya dan memperhatikan sekitar.
“Aku disini, bodoh !!” Pekik Jiyeon dari arah samping.
Dan saat Jongin menoleh. Ia melihat gadis itu disana. Park Jiyeon. masih dengan seragam lengkapnya, ia berdiri disana, bertolak pinggang dengan tatapan tajamnya. Sesungguhnya Jongin ingin sekali tertawa melihat ekspresi Jiyeon kini. Wajahnya yang mungil layaknya anak kecil kini tengah memberengut kesal dengan tatapan tajam yang sama sekali tak cocok dengan wajahnya. Namun dengan sikap Cool-nya Jongin berusaha bersikap tenang dan dingin seperti biasanya.
“Bagaimana bisa kau ada disini ?” Tanya Jongin heran.
Jiyeon mendengus kesal. Berjalan cepat kearah Jongin dan duduk di hadapan namja itu. “Aku bertanya. “ Tegasnya.
Jongin hanya ber-Oh ria saja.
“Untuk apa kau mencariku ?” Tanya Jongin lagi.
Jiyeon menoleh. Menatap Jongin tak suka. “Aku mencarimu untuk meminta penjelasan.” Ujarnya mantap.
Jongin memperhatikan gadis itu dengan alis berkerut samar. “Penjelasan ? Maksudmu ?”
Jiyeon menghembuskan nafas, menunduk, lalu memainkan rumput hijau yang menjadi alas mereka duduk.
“Wanita tadi, yang kau bentak di trotoar. Aku tahu, dia ibumu.” Katanya pelan.
Jongin menahan nafas. Ia tercekat. Serasa ada yang mencekik lehernya, membuat ia merasa sulit untuk bernafas.
Jiyeon mendongak. Menatap langit lalu dengan gerakan cepat menatap Jongin. Membuat kedua pasang mata itu bertubrukan. Jiyeon terdiam, menatap pedar bola mata hitam itu. penuh rasa kagum. Begitu pun dengan Jongin. Namun matanya menatap mata bening Jiyeon dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun Jiyeon dapat menangkap sirat kepedihan disana.
Setelah beberapa menit ternggelam dalam pikiran masing-masing. Jongin mengalihkan pandangannya dan memilih hamparan dandelion sebagai objek matanya kini.
“Lalu, kau mau aku menjelaskan apa ?” Tanyanya. Ia sebenarnya hapal apa yang akan Jiyeon tanyakan. Namun Jongin tak ingin menebak. Ia tak suka menebak dan ia lebih suka waktu yang menjawabnya.
Jiyeon menghembuskan nafas yang sejak tadi ia tahan. “Well. Sebenarnya aku tak punya hak untuk tahu semua ini. Aku tahu aku hanya seorang gadis yang baru kau temui beberapa kali. Mungkin aku bisa kau anggap lancang dan kurang ajar karena bertanya sepeti ini. “ Ucapnya pelan. Jiyeon menarik nafas dan menambahkan. “Tapi aku benar-benar penasaran. Dia terlihat begitu baik..Maksudku..Kenapa ? Kenapa kau mempermalukannya seperti itu ? Walau dia berbuat Jahat sekali pun dia tetap seorang ibu yang melahirkan dan merawatmu sejak kecil. “ Papar Jiyeon akhirnya.
Jongin terdiam sebentar. Lalu menarik nafas, mencoba mengumpulkan kekuatan. Menghembuskannya dan tersenyum getir.
“Kenapa kau begitu ingin tahu ?” Tanya Jongin. Sejujurnya ia masih enggan menjawab. Ia hanya merasa ini bukan saatnya.
Jiyeon mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya ingin tahu.” Pelannya.
“Tapi aku tak mau kau ikut campur dan tahu masalahku.” Tegas Jongin tajam.
Jiyeon tersentak. Ia menatap Jongin, namun ia tetap tersenyum. “Itu hakmu. Aku akan mengerti.”
Setelah itu mereka terdiam. Tak ada yang berani memulai percakapan. Membiarkan waktu membuat keduanya yakin dan saling terbuka. Sampai Jiyeon menghembuskan nafas dan memulai.
“Dulu..dulu sekali saat aku berumur delapan tahun. Aku sangat dekat dengan ibuku. Dia seperti sahabat untukku. Aku sangat menyayanginya dan aku akan menangis jika ibu pergi tanpa mengajakku.” Ucapnya pelan. Matanya masih memperhatikan serbuk dandelion yang sesekali tertiup angin.
Jongin menoleh. Namun tak berani berkomentar. Membiarkan gadis itu berceloteh. Sementara ia sendiri mengumpulkan keberaniannya.
“Aku punya satu kakak laki-laki, ia sangat menyayangiku dan begitupun denganku. Tapi sayang aku tak begitu dekat dengan ayah. Banyak temanku berkata jika ia bukan ayah kandungku. Mereka bilang aku hanya anak dari hasil hubungan gelap ibuku dengan mantan pacarnya.” Jiyeon tersenyum miris membayangkan itu.
Lalu ia melanjutkan. “Tapi aku tak perduli. Karena aku juga menyayangi ayahku. Namun suatau waktu. Saat itu ibu sedang pergi ke supermarket dan kakaku telah terlelap dalam buaian mimpi tidur sorenya. Hari itu hujan deras dan aku tengah menggambar di depan televisi bersama ayahku yang sedang membaca Koran. “ Ia memejamkan matanya erat. Jongin bisa melihat kedua tangan Jiyeon yang bertaut erat dan gemetar. Namun gadis itu menarik nafas dan mencoba tenang.
“Aku terlalu asik dengan dunia gambarku hingga tak sadar ayah sudah tak ada di tempatnya. Yang aku sadar selanjutnya ia sudah berdiri dihadapanku, merampas gambarku dan merobeknya. Aku menjerit namun dia tetap merobek semua buku gambarku. Ia menarikku dan menamparku saat aku berusaha berontak. Lalu..lalu..” Jiyeon terengah. Namun ia kembali menyambung.
Jongin bisa melihat kilatan ketakutan disana. namun ia tak tahu harus berbuat apa.
“Ia menarikku ke luar. Aku terus berteriak kenapa ia melakukan ini dan ia menjawab jika ia membenci kehadiranku, ia berkata jika aku seharusnya mati saat lahir dan ternggelam dalam lautan api neraka. Aku tercengang. Aku baru tahu jika ayah begitu membenciku dan dari situ aku tahu jika aku memang hasil hubungan gelap ibuku. Ayah tiriku terus menarikku, tak perduli dengan isak tangisku, tubuhku yang basah kuyup dan mataku yang memohon ampun. Ia menarikku masuk gudang di belakang rumah, mendorongku masuk kedalam ruangan lembap dan gelap itu. aku terisak meminta dia melepaskanku, namun ia tak mau. Ia mengambil balok dan memukul tubuhku bertubi-tubi…aku…” Dan Jongin bisa dengan jelas melihat setetes air mata jatuh di kedua pipi gadis itu. ia terdiam. Tak mampu berkomentar atau melakukan tindakan apapun. hanya diam dan mendengarkan.
“..Dia terus menyiksaku hingga aku lemah dan terbaring tak berdaya disana. lalu yang aku rasakan selanjutnya hanya kegelapan dan rasa dingin yang menusuk. Rasa sakit yang menyayat. Membuatku bahkan tak mampu bergerak. Ia meninggalkanku sendirian digudang itu. membiarkan petir dan derasnya air hujan menjadi temanku. Dan sejak saat itu aku benci hujan petir dan keheningan. “ Paparnya. Jiyeon tersenyum kecil. Mengusap air mata yang membasahi pipinya.
“Oh God ! Ada apa denganku, hha…Konyol.” Racaunya lagi.
Jongin masih memperhatikan gadis itu seksama. Sampai bibirnya mengucapkan tiga buah kata yang membuat Jiyeon menoleh cepat kearahnya dan membelakankan matanya.
“Dia membunuh Ayahku.” Ujar Jongin tegas.
Lidah Jiyeon terasa kelu. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia…? Dia…? Apa maksudnya ‘Dia’ itu ‘Ibunya’ ?
Dan pertanyaannya terjawab saat Jongin mulai bercerita.
“Ibuku. Dia membunuh ayahku.” Ulangnya lagi. jongin tersenyum kecil, menengadahkan kepala dan menatap langit yang mulai berubah warna.
“Saat itu musim panas terindah yang aku alami. Aku masih berumur dua belas tahun. Kami sekeluarga berlibur di Daegu. Di sebuah desa indah yang nyaman. Aku amat dekat dengan ayah. Bisa dibilang kami sahabat dekat.” Jongin terkekeh. Membuat Jiyeon semakin tercenung. Ia bahkan baru melihat kekehan Jongin. Tanpa sadar Jiyeon tersenyum.
“Selama beberapa hari kami menghabiskan waktu disana. sampai pada suatu hari. Saat aku terbangun pada suatu pagi, aku tak menemukan ayah dikamarnya, diruang tekevisi atau dimana pun. Aku pun mencari umma dan aku juga tak menemukan dia. “ Jongin menghembuskan nafas dan melanjutkan.
“Aku berusaha mencari ayah masih dengan piayama tidur yang melekat di tubuhku. Dan saat aku mencari di tebing laut –Tempat aku bisa melihat burung camar disana bersama ayah , aku menemukan umma dan ayah yang sedang beradu mulut. Karena takut, aku lalu bersembunyi di antara semak-semak yang ada disana. ayah yang berdiri membelakangi ujung tebing dengan umma yang berdiri dihadapannya.” Jiyeon berusaha menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ia kini paham apa arti kilatan mata Jongin tiap kali ia bimbang mengapa lelaki itu memiliki tatapan tajam sepert itu.
“Yang dapat aku tangkap dari percakapan mereka adalah ayah yang marah karena umma yang berani bertemu dengan mantan pacarnya dan umma yang berusaha mengelaknya. Dan hal yang paling aku benci adalah saat ayah membentak umma dan umma yang menampar ayah cukup keras. Tubuh ayahku terhuyung kebelakang, ia menggerakan kedua tangan berusaha menggapai sesuatu sebagai pegangan. Namun ia tak mendapatkan apapun, hingga tubuhnya terjatuh melayang menembus angin dan tenggelam dalam deburan ombak yang memecah karang. “ Ucap Jongin pada akhirnya. Ia menghembuskan nafas lega. Namun kilatan di matanya masih tetap ada.
“Dan karena itu kau membenci ummamu ?” Tanya Jiyeon hati-hati.
“Dia pembunuh. “ Tegas Jongin tajam.
Jiyeon menggeleng. “Tapi aku yakin dia tak bermaksud seperti itu.” Lanjut Jiyeon.
“Kalau saja ia tak menapar ayah. Kalau saja ia tak bertemu mantan pacarnya semua ini tak akan terjadi. Saat ini aku pasti masih bersama ayahku. Dia pembunuh dan selamanya akan seperti itu.” Tegasnya.
Jiyeon tak mampu lagi merespon atau berusaha bersikap tak setuju. Ia paham betul bagaimana rasanya melihat orang yang kau sayangi terbunuh dihadapanmu sendiri. Apa lagi jika saat itu usiamu masih sangat muda. Itu pasti menyakitkan. Terlebih jika orang yang melakukannya adalah orang yang amat kau kenal betul. Namun Jiyeon yakin umma Jongin pasti tak bermaksud melakukan itu. ia juga pasti punya alasan mengapa bertemu mantan pacarnya. Dan entah mengapa Jiyeon merasa harus mencari tahu. Ia tak mengerti mengapa ia amat ingin membuat hubungan Jongin dan ummanya membaik.
“Kau puas…” Ujar Jongin menatap Jiyeon dingin.
Jiyeon menggeleng dan tersenyum kecil. Membuat Jongin tak mengerti dengan sikap gadis itu. Jiyeon bukannya ikut prihatin atau mengatakan jika ia pantas membenci ibunya. Namun dia malah tersenyum dan menggeleng.
“Aku pikir kau terlalu kekanakan.” Pelan Jiyeon enteng. Ia lalu kembali tersenyum.
Jongin mengatup rahangnya kuat. “Apa katamu ? Kau pikir ini semua lucu, eoh ?”
Jiyeon berhenti tersenyum dan berkata. “Ya, ini semua memang lucu.” Ujarnya.
Jongin semakin tak terima. Ia lalu beringsut bangkit. Berjalan dengan langkah besar menjauhi Jiyeon. namun sebelum namja itu benar-benar pergi Jiyeon berkata lagi.
“Kau berkata jika Ummamu pembunuh ? Lalu yang kau lakukan sekarang apa ? Berusaha membunuh ibumu juga dengan sikap dingin dan acuhmu itu ?” Ujar Jiyeon.
Langkah Jongin terhenti. Ia berdiri disana. membelakangi Jiyeon yang masih duduk menghadap padang dandelion dengan panorama matahari tenggelam dan hiasan langit berwarna jingga dihadapannya.
“Ya, kau mungkin tak membunuh fisiknya. Tapi kau membunuh hatinya, perasaannya dan kau menghancurkan harapannya. Dan kau pikir apa yang lebih menyakitkan dari pada kau hidup tapi kau merasa kau mati ?” Kata jiyeon tegas.
Jongin masih diam. Dia tercenung. Merenung, bergeming. Dan terhanyut dengan pikiran dalam angannya sendiri. Dengan sejuta pertanyaan dan jawaban yang hilir mudik yang sulit ia atur menjadi satu kesatuan jawaban yang selam ini ia cari. Tentang. ‘Mengapa ia begitu tenggelam dalam kenangan buruk dan membenci ummanya sedalam ini ?’ Padahal sudah susah payah ia berusaha mengeyahkan perasaan benci itu, namun hatinya menolak, dan selama ini juga ia terjebak dalam satu pusaran yang sama. Tentang betapa sulit ia menerima takdir dan berusaha melangkah menghadapi masa depan.
Sementara Jiyeon. gadis itu terdiam dalam pikirannya sendiri. Ia selalu bertanya-tanya. Mengapa ia harus terlahir ? Mengapa ayahnya begitu membencinya, sampai ia tega membawa sang umma dan memisahkan mereka berdua. Mengapa ayahnya begitu membencinya hingga menelantarkannya sendirian, walau ia masih memiliki Chanyeol tapi ia begitu merindukan sosok ummanya. Dan Jiyeon merasa jika posisinya saat ini sama dengan posisi umma Jongin. Terasingkan dan dibenci.
“Kau tahu saat kau dibenci oleh orang yang kau sayangi. Itu rasanya menyakitkan. Seperti terhunus pedang es yang beku. Walau akan terasa dingin namun perih itu tetap terasa nyata.”
Jongin berbalik. Menatap punggung Jiyeon yang ada dihadapannya.
“Mengapa akau begitu sok tahu dan cerewet ?” Tanya Jongin. Membuat Jiyeon terkekeh dan berbalik menatap Jongin.
“Karena untuk itulah aku dilahirkan.” Ucapnya.
Jongin tersenyum samar. Namun Jiyeon bisa dengan jelas melihatnya. Dan saat kedua matanya kembali bertubrukan dengan mata hitam Jongin, Ia terdiam. Dan jantungnya yang malang kini berdebar tak karuan. Membuatnya takut jika jongin bisa mendengar debaran itu.
TBC
