Main Cast : Park Ji Yeon – Kim Jongin – Byun Baekhyun
Support Cast : Par Chanyeol – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon
Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst
Length : 5 OF ?
Author : Qisthi_amalia
Backsound : whatever what you want ^_^
-CHAPTER 5-
***
Jieun terduduk di depan jendela kamar. Membiarkan sepoi angin malam menemaninya malam itu. setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Ia merasa konyol dan bodoh. Mengapa begitu terlalu berharap pada seseorang yang jelas-jelas tak menyukaimu. Mengapa harus jelas-jelas berharap pada seseorang yang sudah tentu tak menatapmu. Dan yang membuatnya semakin merasa tolol ialah mengapa ia mau membantu namja itu mendapatkan Jiyeon. apa karena ia terlalu menyukai Baekhyun, hingga mau melakukan apapun demi namja itu.
“Suatu saat aku yakin kau akan melihat kearahku.” Pelannya seraya tersenyum kecil.
***
Baekhyun sudah bersandar santai di daun pintu kelas Jiyeon. ia bertekad ‘Mulai lebih awal lebih baik’. Bibirnya tak henti mengumbar senyum pada beberapa adik kelas yang melewatinya. Bermuka manis demi mendapat perhatian tak dilarang bukan. Jadi itulah aksi yang dilakukan Baekhyun sambil menunggu Jiyeon datang.
Matanya kembali memperhatikan tikungan tangga di ujung koridor kelas X, karena itulah jalan satu-satunya menuju koridor ini. Dan saat matanya menangkap sosok gadis berambut hitam sebahu, dengan tas orange dan senyuman lebarnya Baekhyun langsung tersenyum juga. Gotcha ! Pekiknya dalam hati.
Ia berlari cepat menghampiri Jiyeon, saat gadis itu hanya berjarak beberapa meter darinya.
“Hai..” Sapanya duluan sambil tersenyum semanis mungkin.
Jiyeon menatap Baekhyun heran. “Annyeong sunbae. Ada apa ?” Tanyanya bingung.
Baekhyun lalu kembali tersenyum dan berdiri di samping Jiyeon. ia juga melirik sekilas kearah Jieun yang menatapnya datar namun Baekhyun dapat melihat senyuman tulus disana.
“Hai Jieun..” Sapa Baekhyun sambil melambai kearah Jieun yang berdiri disamping Jiyeon.
Jiyeon tersenyum kecil. “Annyeong sunbae.” Katanya, lalu menambahkan. “Jiyeon~aa, aku ke kelas duluan yah.” Ujarnya. Dan tanpa menunggu jawaban Jiyeon, Jieun memilih melangkah cepat kearah kelas dan terduduk di tempat duduknya. Membenamkan wajah mungilnya di atas meja.
.
.
“Ada apa sunbae kesini ?” Ulang Jiyeon sambil menatap Baekhyun heran.
Baekhyun tersenyum kecil lalu menarik lengan Jiyeon cepat. gadis itu berontak namun Baekhyun lagi-lagi hanya tersenyum.
“Diam. Aku tak akan menculikmu.” Katanya.
Akhirnya Jiyeon hanya diam. Membiarkan Baekhyun membawanya meninggalkankan koridor kelas X, meniti tangga, melewati koridor utama dan berhenti di bawah pohon dekat perpustakaan.
“Nah sekarang duduk disini.” Ucap Baekhyun lalu mendudukan Jiyeon di kursi kayu dibawah pohon.
Jiyeon hanya menurut dan duduk disana. sementara Baekhyun berlari ke kantin dan kembali dengan dua botol minuman dingin.
“Minumlah. Aku yakin kau lelah.” Sambung Baekhyun. Tangannya terulur dengan sebotol minuman dingin di lengannya.
Jiyeon menggapai botol itu sambil mengernyit. “Sunbae. Sebenarnya ada apa ?” Tanyanya lagi.
Baekhyun tak menjawab langsung. Ia lebih dulu duduk disamping Jiyeon. memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Setelah itu Ia membuka mata dan dengan satu gerakan cepat menoleh kearah Jiyeon. membuat wajah mereka kini hanya berjarak beberapa centi saja. baekhyun tersenyum. Sementara Jiyeon membulatkan mata dan menahan nafasnya sekuat tenaga. Mereka terdiam seperti itu beberapa saat sampai Baekhyun terkekeh dan mengalihkan pandangannya.
“Kau lucu.” Ucapnya sambil tertawa.
Jiyeon mempoutkan bibirnya kesal. “Jadi mengajakku kesini hanya untuk diejek ?” Tanyanya dengan wajah ditekuk.
Baekhyun tersenyum kecil, menggeleng lalu mengacak rambut Jiyeon . membuat Jiyeon terdiam dengan kedua pipi memerah.
“Sunba-bae..”Pelannya.
Baekhyun lalu menghentikan tawanya dan menatap Jiyeon. “Aku kesini hanya untuk melihatmu lebih dekat.” Pelannya.
Jiyeon membulatkan matanya. “Hah ? Maksud sunbae ?”
Baekhyun tersenyum lagi. “Oppa. Kau harus memanggilku oppa. Ara ?”
Jiyeon mengerutkan alis. “Tapi…tapi sunba—bae..”
Baekhyun memutar bola matanya. “Oppa. Bukan Sunbae. Arra…Jebbal.!”
Jiyeon menatap Baekhyun lagi sambil menatap namja itu bingung. Namun ia akhirnya mengangguk. “Baiklah..”
“Bagus. Sekarang coba panggil aku, oppa…” Kata Baekhyun .
Jiyeon sedikit enggan namun akhirnya ia mencoba.” Oppa…Baekhyun oppa..” Pelannya.
Baekhyun terkekeh lalu kembali mengusap puncuk kepala Jiyeon. membuat gadis itu kembali diam. Ia merasa sedikit…entahlah aneh. Sikap Baekhyun terlalu cepat dan seperti bukan dirinya. Pertama kali melihat Baekhyun namja itu memang terlihat baik. Tapi setelah melihat bagaimana cara dia menatap Jongin saat di pelataran parkir. Jiyeon menangkap ada sesuatu yang ganjil dianatara kedua namja itu. dan ia benar-benar yakin ada sesuatu antara Baekhyun dan Jongin.
“Nah, sekarang aku akan mengantarmu kembali ke kelas.” Ucap Baekhyun lalu berdiri dan mengulurkan tangan.
Jiyeon menggeleng cepat. “Tak usah. Aku bisa sendiri.”
Baekhyun ikut menggeleng. “Tidak bisa. Aku yang harus mengantarmu kembali karena aku yang membawamu kesini.” Katanya tegas.
Jiyeon lalu menatap uluran tangan itu dengan perasaan enggan. Dan sebelum ia meyakinkan diri Baekhyun sudah dulu menarik tangannya seperti tadi dan kembali membawanya berlari menuju kelasnya.
Jiyeon tersenyum kecil. Menatap punggung itu sambil tersenyum. Ia lebih merasa Baekhyun itu seperti Chanyeol. Kakaknya.
***
Joonmyeon membolak-balik buku ditangannya. Membaca sinopsis dan kembali melihat covernya. Toko buku sore itu tak begitu ramai. hanya ada segelintir orang saja yang sengaja datang hanya untuk membaca atau pun membeli buku. Joonmyeon memilih berdiri di jajaran rak buku Psikolog. Entahlah, akhir-akhir ini ia jadi sering membaca buku Psikologi.
Setelah yakin dengan satu buku tebal di tangannya. joonmyeon kembali mencari buku-buku yang lain. Dan saat ia melihat ada satu buku yang menarik dirak kedua Ia segera berjalan kearah sana, namun sebelum Joonmyeon hendak meraih buku itu, sepasang lengan seseorang mendahuluinya. Joonmyeon menatap buku yang sudah berpindah tangan itu dengan tatapan sedih. Pasalnya itu buku terakhir yang tersisa.
Dan saat joonmyeon mendongak, ingin melihat siapa yang mendahuluinya. Matanya kembali bertemu dengan sepasang bola mata hitam bulat yang dulu pernah ia lihat.
“Kau..” Pekik Gadis dihadapan Joonmyeon lebih dahulu.
Joonmyeon hanya bisa tersenyum dan mengangguk. “Annyeong. Senang bertemu lagi.” Katanya.
Gadis itu juga tersenyum kemudian membungkuk. “Ne, annyeong. Soojung imnida.” Ucapnya.
“Kim Joonmyeon imnida..”
Soojung menatap namja dihadapannya dengan mata berbinar. Ia benar-benar tak menyangka akan bertemu lelaki itu lagi ditempat yang sama. Namun tentu saja dalam keadaan yang berbeda. Lalu matanya beralih pada buku yang Joonmyeon pegang.
“Kau suka psikolog juga ?” Tanya Soojung antusias.
“Ya begitulah..” Ia tersenyum kecil, lalu menambahkan. “Kau ?”
Soojung mengangkat buku ditangannya. “Ku pikir kita sama. Karena aku juga suka psikolog.”
Joonmyeon mengangguk. “Kau tahu, tadinya aku juga ingin membeli buku itu.”
Soojung membulatkan matanya. “Benarkah ? Kalau begitu kau boleh mengambilnya. Ku pikir kau lebih perlu.” Ujar Soojung lalu mengulurkan buku ditangannya.
Joonmyeon dengan cepat menggeleng. “Tidak usah. Untukmu saja.” Ucapnya.
Soojung menaikan alisnya. “Kenapa ?”
Joonmyeon tersenyum kecil. “Karena nanti aku akan meminjamnya darimu. Kebetulan aku sedang menabung jadi jika kau yang membelinya aku tak perlu mengeluarkan banyak uang.” Kemudian Ia terkekeh. Membuat Soojung yang melihatnya juga ikut tersenyum.
“Ide bagus. “Sahut Soojung lalu menjentikkan jarinya.
“Ngomong-ngomong, mau sekarang ke kasir ?”
***
Jiyeon merebahkan tubuhnya pada ranjang empuk favoritnya. Disebelahnya Jieun juga melakukan hal yang sama. Ya, tadi saat bel pulang sekolah Jieun tiba-tiba ingin ikut pulang kerumahnya. Jiyeon sih tak ada masalah, karena sejak SMP Jieun memang sering main kerumahnya. Bahkan sampai menginap selama 2 hari. Jiyeon dan keluarga Jieun juga cukup dekat, apalagi umma Jieun yang begitu baik, terkadang membuat Jiyeon merasa nyaman.
“Lelahnya..” Erang Jieun, lalu meraih guling lumba-lumba berbulu dan memeluknya erat.
Jiyeon mengangguk setuju. “Kau mau minum ?”
Jieun mengangguk. “Lemon ice please..” Ujarnya sambil tersenyum.
Jiyeon bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju dapur.
Sementara Jiyeon sibuk di dapur. Jieun memejamkan matanya erat dan membukannya kembali. Menghela nafas kemudian menatap langit-langit kamar Jiyeon. ia selalu suka menatap kertas emas berbentuk bintang yang tertempel diatas sana. Membuatnya tak pernah merasa sendiri jika menginap kesini. Pasalnya Jieun memiliki kebiasaan bangun tengah malam dan terjaga selama beberapa jam. Dan jika hal itu terjadi, Jieun biasanya akan menatap langit-langit kamarnya. Dan ia selalu suka melakukan itu jika menginap di rumah Jiyeon. karena bintang-bintang itu akan bersinar jika lampu kamar dimatikan.
“Yeppoh…” Pelannya sambil tersenyum.
“Kau begitu beruntung.” Lanjutnya lagi dan masih dikuti senyum yang sama.
“Siapa yang beruntung ?” Tanya Jiyeon yang datang dengan dua gelas lemon ice ditangannya.
Jieun menggeleng cepat. “Bukan siapa-siapa.” Ucapnya sambil menyambar cepat gelas lemon ice di tangan Jiyeon dan meneguknya sampai habis.
Jiyeon terkekeh. “Hey..Hati-hati kau bisa tersedak..” Ujarnya sambil terkekeh melihat Jieun yang langsung tersedak.
Jieun merengut kesal. Menyeka tetesan lemon di ujung bibirnya. Namun ekspresinya berubah datar saat ia melihat Jiyeon masih terkekeh melihatnya.
‘Kau bahkan sangat cantik jika tersenyum.Tak salah Baekhyun menyukaimu’
Jiyeon yang menyadari Jieun yang tiba-tiba berubah datar langsung menghentikan aksi tawanya.
“Kau baik-baik saja ?”
Jieun tersadar dan langsung mengangguk cepat. “Aku baik-baik saja.”
“Anyway bagaimana jika kita bermain puzzle ?” Jiyeon meminta dengan mata berbinar berharap Jieun berkata Ia. Namun harapannya seketika memudar saat melihat gelengan cepat kepala Jieun.
“Shireo ! Kau tahu jelas aku payah bermain Puzzle.” Rengutnya kesal.
“Lalu, kau maunya apa ?”
Jieun menjentikan jarinya. “Bereksperimen.”
Jiyeon yang mendengar itu seketika berdebar. Ia tahu betul apa arti kata ‘Eskperimen’ yang terlontar dari mulut Jieun. Karena itu artinya kehancuran dan keributan. Oh No !!
Jieun tertawa senang saat melihat ekspresi wajah Jiyeon yang berubah pucat. Dengan sigap dan cepat ditariknya tangan Jiyeon dan dibawanya menuju dapur.
“Let’s have fun honey…!!” Teriak Jieun diiringi seringai bahagia.
***
Setelah turun dari motor, Jongin tak langsung masuk kerumah. Lebih dulu, Ia menatap rumah itu dari luar. Di perhatikannya setiap inci bagian luar rumah itu. mulai dari pagar besi yang dicat cokelat tua. Taman bunga yang selalu dirawat sang umma dengan sebuah kolam kecil milik Joonmyeon kakaknya yang terletak ditengah-tengah taman bunga. Kemudian teras depan dengan satu meja kayu dan dua kursi yang terbuat dari besi berhiaskan bunga matahari di tengah-tengahnya.
Setelah itu, Jongin menarik nafas dan meyakinkan diri. Dengan langkap setengah ragu ia berjalan menuju pintu. Di tekannya bel rumah. Satu kali..dua kali…tiga kali. Tak ada reaksi apapun dari dalam. Jongin menarik nafas kembali. Lalu diketuknya pintu rumah beberapa kali, dengan hati berdebar ia menunggu. Namun nihil. Tak ada yang membukakannya pintu.
Jongin mengerang. Kesabarannya sudah habis, lalu dengan satu gerakan cepat ia membuka pintu – yang memang tak dikunci itu dengan cepat dan menutupnya dengan keras.
Tadinya Ia berniat untuk berbaikan dengan sang umma. Namun saat melihat rumah itu begitu sepi, dan tak ada lagi yang menyambut kedatangannya. Jongin menjadi enggan. Dengan langkah cepat ia berjalan menuju dapur, tak melirik ruang keluarga lebih dahulu. Dan tak ada siapa pun disana. bahkan tak ada makanan di atas meja makan. Padahal ini waktunya makan siang sekaligus waktunya ia pulang.
Jongin kembali mengerang. Apa sang umma sudah tak perduli lagi ?. Jongin tersenyum sinis. Ia sudah tahu akan seperti ini. Pada akhirnya wanita itu akan lelah dan menyerah. Dan pada akhirnya wanita itu juga akan mengabaikannya.
“Sial !” Gerutunya kesal.
Dengan langkah cepat dan tergesa Jongin membalikan badannya dan hendak keluar dari rumah. Namun sebelum kakinya mendekati ambang pintu. Matanya menangkap sesuatu yang terasa tak asing. Dan untuk memastikan apa yang ia lihat. Jongin memberanikan diri berjalan menuju ruang keluarga.
“Umma..” Pekiknya pelan.
Jongin menatap sang umma yang sedang terlelap diatas sofa. Kepala disandarkan pada sandaran kursi dengan kedua kaki yang ditekuk. Dan matanya semakin membulat saat melihat sebuah cake yang tersimpan diatas meja. Dan yang membuat Jongin tak mampu berkata-kata adalah tulisan yang ada di atas cake itu.
‘Saengil chukae Uri Kim Jongin. Saranghae.’
Jongin hapal betul cake itu, ia juga hapal betul tulisan itu. bahkan ia juga hapal betul aroma dari kue itu. Dulu, saat ia berusia 10 tahun, Ia juga menemukan hal yang sama. Kue seperti itu, tulisan ulang tahun seperti itu dan aroma kue seperti itu. dan Jongin tahu betul jika yang selalu membuat semua itu adalah orang yang sama. Ummanya.
Diatas cake dengan hiasan krim cokelat pada pinggirannya itu tertancap lilin dengan nomor 18. Jongin merasa matanya memanas. Ia tak pernah menyangka jika wanita yang selama ini ia benci bahkan masih mengingat ulang tahun dan umurnya saat ini.
Tanpa sadar Jongin meluruh lunglai. Jatuh terduduk diatas lantai – dihadapan wajah sang umma yang terlelap. Ia menunduk, pandangannya mengabur. Namun sekuat tenaga ia tahan air mata itu. perlahan, ia mendongak. Menatap wajah seseorang yang begitu ia benci namun begitu ia sayangi itu.
Jongin meringis. Bahkan ia tak sadar jika ada lingkaran hitam dibawah mata itu. ia tak sadar jika pipi itu menirus dan cekung. Jika tubuh itu mengurus. Ia tak sadar. Selama ini ia selalu egois. Ia selalu mementingkan perasaan dan emosinya tanpa perduli perasaan seseorang yang tersakiti. Seseorang yang selama ini selalu menyayanginya walau ia enggan menerima rasa sayang itu. seseorang yang memperhatikannya walau ia mengabaikan. Seseorang yang begitu sabar dan mencintainya. seseorang yang ia panggil umma. Seseorang yang kini tengah terlelap dengan wajah lelah dihadapannya. Ummanya yang berhati malaikat.
Dan tanpa ia sadari. Tanpa ia bisa kendalikan. Air mata itu jatuh begitu saja. mengalir membasahi kedua pipinya. Jongin enggan menyeka. Ia membiarkan semua itu mengalir. Membiarkan waktu mengingatkannya. Sebagaimana sebelumnya juga terjadi. Saat sang waktu memaksanya untuk terus memupuk rasa benci itu. Dulu. Dulu sebelum kini ia sadar jika wanita itu –Sang umma begitu berharga untuk Ia sia-siakan.
Detik itu ia bertekad. Detik itu juga ia berkata.
“Aku menyayangimu umma.”
***
Peluh membasahi keningnya. Namun Chanyeol tak memperdulikannya. Tangannya terus menari diatas keyboard. Ia tak begitu perduli dengan tangannya yang mulai mati rasa. Ia bahkan tak perduli dengan wajahnya yang kini memucat. Yang ia perdulikan ialah pekerjaannya cepat selesai dan ia bisa beristirahat. Ia berharap bisa kembali seperti dulu. Berangkat kuliah bersama Jiyeon. makan siang dirumah dan bercanda bersama sang adik. Namun semua itu hanya mimpi sekarang. Bahkan hampir seharian waktunya ia habiskan diruangan pengap bernama kantor.
‘Tik’
Dan chanyeol tak bisa melakukan apapun saat jemarinya memprotes dan tak mau digerakan lagi. chanyeol menyadarkan tubuhnya pada kursi. Memejamkan matanya kuat. Sebetulnya ia tak sanggup. Sebetulnya ia tak ingin seperti ini. Namun apa ia berhak mengatakan kata ‘Sebetulnya’ jika sang waktu saja enggan berpihak kedapannya.
“Kau baik-baik saja ?” Tanya Shinyeong patner kerjanya.
Chanyeol tersenyum kecil dan mengangguk. “Aku baik-baik saja.” Pelannya.
Shinyeong menghela nafas. “Kau terlalu memaksakan diri. Pulanglah. Besok kita lanjutkan.” Ujarnya sambil menyodorkan segelas air putih keatas meja Chanyeol.
Masih dengan senyum yang sama Chanyeol berucap. “Terima kasih. Tapi aku masih bisa menyelesaikan semua ini.” Katanya bersihkeras lalu meneguk habis air putih dihadapannya.
Shinyeong menatap Chanyeol tak percaya. Saat pertama kali Manager Hwang memintanya menjadi patner kerja Chanyeol, Shinyeong sudah hapal jika namja dihadapannya ini adalah seorang pekerja keras, karena jarang sekali ada namja ber-umur 20-an bisa menangani proyek sebesar ini. Namun Shinyeong juga tak menyangka jika Chanyeol se-pekerja keras ini. Sampai tak memperdulikan kesehatannya sendiri.
“Oh my God. Look Chanyeol, wajahmu sekarang sudah seperti mayat hidup. Jadi sebelum kau mati mengenaskan dengan cara tak elit disini. Lebih baik kau sekarang pulang. Oke.”
Chanyeol tertawa mendengar omelan Shinyeong. Tak bisa ia pungkiri, ia begitu berterima kasih pada yeoja dihadapannya ini. Kalau Shinyeong tak terus mengomelinya untuk beristirahat atau sekedar makan siang mungkin sekarang ia sudah mati mengenaskan. Oke mungkin ini terdengar mendramatisir. Tapi itulah kenyataannya.
“Oke oke. Hentikan omelanmu yang tak masuk akal itu. bilang saja kau sudah bosan melihat wajahku.” Ujar Chanyeol tersenyum lalu membereskan beberapa map dimeja dan mematikan laptopnya.
Shinyeong terkekeh. “Well, maybe. Tapi lebih tepatnya aku akan merasa amat bersalah jika membiarkanmu terus teronggok di tempat membosankan seperti ini.”
Chanyeol kembali tertawa. Shinyeong memang selalu bisa menanggapi setiap ocehannya dan selalu sukses membuatnya terhibur. Saat pertama kali manager Hwang memperkenalkan Shinyeong padanya Chanyeol menduga gadis itu pendiam dan cenderung tak begitu berpengalaman. Namun semuanya salah. Shinyeong gadis yang ceria, enak diajak bicara dan pemikirannya pun cerdas. Ia selalu berpikir kritis dan sangat pintar menangkap suatu hal dengan cepat. chanyeol bahkan sampai dibuat terkagum-kagum saat gadis itu mengajukan sebuah ide yang benar-benar ‘Amazing’ menurutnya.
“Tapi tentu saja itu tak akan terjadi. Karena nona Shinyeong yang cerewet ini akan terus mengomeliku untuk pulang. Jadi tak ada kesempatan sang pencabut nyawa untuk membawaku pergikan.” Sela Chanyeol sambil memasukan beberapa berkas dalam tas ranselnya.
Shinyeong tersenyum kecil. Lalu ia menatap ransel Chanyeol. “Sampai kapan kau akan berbohong Chanyeol.”
Chanyeol yang pada dasarnya tak begitu memperhatikan arah pandangan Shinyeong karena asik membereskan meja. Otomatis mengerutkan asli bingung.
“Maksudmu ?”
Shinyeong tersenyum kecil lagi. “Adikmu. Sandiwaramu dan tentang semua ini. Sampai kapan kau akan terus seperti ini dan berbohong padanya ?”
Dan Chanyeol hanya bisa terdiam. Tak mampu menjawab. Tiap kali pertanyaan itu terlontar dari bibir Shinyeong. Dan Poin tertinggi mengapa Chanyeol bisa mengatakan Shinyeong cerdas adalah karena gadis itu satu-satunya orang yang mengetahui rahasinya. Bagaimana Shinyeong yang memperhatikan gaya berpakainnya saat tiba dan akan berbeda setelah Chanyeol keluar toilet kantor. Lalu bagaimana Chanyeol menggunakan ransel yang pada umumnya hanya digunakan oleh anak-anak remaja untuk berangkat kuliah. Dan bagaimana Chanyeol yang akan selalu gugup jika disinggung masalah keluarga. Shinyeong satu-satunya orang yang berani bertanya tentang semua keanehannya dan Shinyeong jugalah orang pertama yang mengetahui semuanya.
“Ada saatnya dimana kita harus diam untuk beberapa saat. Aku hanya tak ingin semuanya terungkap terlalu cepat. “Pelan Chanyeol.
Shinyeong berdecak. “Kau pengecut.”
Mata Chanyeol membulat. Menatap Shinyeong yang juga tengah menatap dengan mata hitamnya.
“Kau namja pengecut yang paling parah yang pernah ku temui. “Sambungnya.
Chanyeol mengatup rahangnya. “Apa yang kau katakan. Kau tak mengerti apapun.” Bentaknya.
Shinyeong tersenyum. “Mereka yang berani berbohong namun berani berkata jujur itu bisa dima’afkan. Namun mereka yang berani berbohong namun tak mampu berkata jujur itu tak bisa dima’afkan. Dan aku menyebut orang itu Pe-nge-cut.” Tegas Shinyeong.
Chanyeol terdiam.
“Pikirkanlah baik-baik chanyeol. Lebih baik dia mendengar semuanya dari mulutmu sekarang daripada dia melihat langsung tanpa mengetahui apapun darimu. Bukankah itu akan terasa lebih menyakitkan.”
Chanyeol menatap kedua bola mata Shinyeong nanar. Namun pada akhirnya ia hanya bisa menunduk.
“Tak sekarang. Tidak pada saat aku belum mendapatkan projek itu Shinyeong.” Gumam Chanyeol.
Shinyeong tersenyum tulus. Berjalan kearah Chanyeol dan menepuk bahu tegap namja itu.
“Aku hanya berharap pada saat itu ia masih belum tahu. Atau lebih tepatnya, aku berharap kau tidak terlambat.”
Chanyeol mendongak dan kembali bertemu mata hitam itu. ia mengangguk dan tersenyum.
“Doakan aku dan bantu aku. Aku ingin semua ini cepat selesai dan berharap semua kembali seperti dulu. “Pelannya.
Shinyeong mengangguk. “Dengan senang hati akan ku bantu.”
***
Yoona mengerjapan matanya perlahan. Mencoba menyesuikan kondisi matanya yang masih berkunang. Setelah selesai membuat kue untuk ulang tahun Jongin tadi siang, ia tiba-tiba merasa pusing dan tertidur di sofa ruang keluarga. Namun ia tak ingat jika ia sempat berjalan dan berpindah kekamarnya. Karena kini ia tengah berbaring diatas tempat tidur dengan handuk kecil dingin diatas dahinya.
Yoona hendak bangkit dan mengecak kue diatas meja, sebelum matanya membulat dan menenukan siapa yang tengah terduduk diatas lantai dengan kedua tangan yang menopang kepalanya yang disandarkan ke tempat tidur.
“Jongin~aa..” Pelannya tak percaya.
Yoona menahan dirinya untuk menangis dan memeluk tubuh itu erat. Ia lebih memilih tersenyum, bangkit dan duduk diatas tempat tidur. Di usapnya kepala Jongin dengan penuh kasih sayang. Tak terasa air matanya jatuh begulir. Ia tak ingat. Sudah berapa lama ia tak mengelus rambut ini. Sudah berapa lama ia tak melihat wajah damai Jongin ketika tertidur. Tanpa sadar air mata itu semakin banyak membasahi pipinya. Yoona meringis. Ia bahagia. Ia tak perduli atas dasar apa Jongin melakukan semua ini, karena yang tahu saat ini ia begitu bahagia. Ia begitu senang melihat Jongin ada disampingnya.
Eung~
Yoona dengan cepat menarik lengannya saat mendengar lenguhan Jongin. Matanya mengerjap dan menatap Yoona dengan tatapan teduh. Yoona tercengang saat melihat Jongin tersenyum kearahnya. Bahkan ia hanya mampu mematung saat Jongin juga menyeka air matanya.
“Jongin~aa…” Pelannya.
Jongin tersenyum. Tangannya terulur, mengusap tetesan air mata yang membasahi pipi ummanya. Disela senyumannya, ia menahan perih. Dadanya terasa sesak. Sekuat tenaga Jongin mengatur emosinya. Sesekali menengadah, menahan air matanya agar tak keluar. Namun usahanya sia-sia, saat sang umma menangkup kepalanya dan tersenyum begitu tulus kearahnya. Jongin hanya mampu diam. Membiarkan air mata itu akhirnya mengalir.
Yoona tak mampu berbicara. Ia hanya menatap wajah anaknya penuh rindu. Dengan rasa haru yang menyelimuti hatinya, yoona tersenyum. Menarik Jongin dalam pelukannya. Mengusap belakang kepala anaknya dan berkata pelan.
“Uljima. Jangan menangis, eum “
Jongin tersenyum kecil. Mengangguk. “Mian,” Ucapnya. Menarik nafas kemudian melanjutkan. “Chinja mianhe Umma.”
Yoona menggeleng cepat. “Jangan meminta ma’af, karena kau tak pernah melakukan kesalahan apapun.”
“Umma..?” Jongin melepaskan pelukan itu. menatap sang umma penuh rasa bersalah.
Namun Yoona hanya menggangguk. “Umma tak pernah membencimu. Sedikit pun. Tak pernah. Jadi jangan pernah meminta ma’af.”
Jongin menahan nafas. Dadanya semakin sesak. Ia tak tahu harus berkata apa. Kini ia bisa melihat dengan jelas. Sangat jelas. Segalanya. Yah…Segalanya. Tentang betapa sang umma yang begitu menyayanginya. Tak perduli berapa buruk Ia bersikap. Namun hatinya seputih salju, sebening air. Begitu suci dan Jongin benar-benar menyesali segalanya.
“Gomawo..Chinja gomawo Umma..”
***
Joonmyeon tersenyum dari balik pintu. Ia mengusap air matanya dengan cepat. tangannya terulur, meraih gagang pintu dan dengan satu gerakan pelan pintu itu tertutup.
Ia tak tahu harus berkata apa. Melihat itu semua membuat perasaan Joonmyeon lega. Ia begitu menantikan moment itu sudah sangat lama. Ia rindu kembali berkumpul. Ia rindu adiknya Jongin yang dulu dan ia rindu tawa lepas sang umma. Dan ketika melihat kejadian tadi, Senyuman Joonmyeon kembali merekah. Hatinya terasa hangat. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja setelah ini.
***
Sedan merah itu berhenti tepat di depan pagar besi cokelat tua bernomor 25. Seseorang dari balik kemudi nampaknya enggan mematikan deruan mesin mobilnya. Membiarkan seseorang yang duduk disampingnya keluar terlebih dahulu.
“Gomawo sudah mengantarku Shinyeong~ssi.” Ujar Chanyeol.
Shinyeong mengangkat tangan dan mengacungkan ibu jarinya. “Tak masalah.” Sahutnya dengan senyuman riang.
Chanyeol tersenyum kecil. “Sampai besok.” Katanya sambil melambai.
Shinyeong mengangguk kecil dari balik kemudi. Menutup kaca mobil lalu kemudian melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang. Menembus jalanan perumahan yang lengang dan sepi.
Setelah mobil itu menghilang ditikungan pertama, Chanyeol baru menghela nafasnya. Ia menurunkan bahunya mencoba rileks. Menatap bangunan rumah dihadapannya. dengan sejuta rasa bersalah di benaknya Chanyeol memberanikan diri untuk melangkah. Membuka pagar itu pelan dan melangkah gontai menuju teras.
Dihadapan pintu kayu itu Chanyeol berdiri. Belum ada niat untuk mengetuk atau pun berteriak memanggil seseorang yang sudah pasti ada di dalam. Chanyeol menghembuskan nafas berat. Dan dengan gerakan cepat..Ia merubah ekspresi wajahnya. Tangannya yang tadi terasa berat kini dengan ringan terangkat dan mengetuk pintu itu.
“Sweetheart…!!”
Ia berteriak sambil tersenyum lebar. Tersenyum…Menutupi segalanya.
Dan saat pintu itu terbuka. Menampilkan sosok gadis manis bernama Park Jiyeon dengan piayama hijau pucatnya, Chanyeol semakin tersenyum lebar. Seolah tanpa beban tangannya terangkat dan mengacak rambut Jiyeon. gadis itu merengut dan memukul bahu Chanyeol. Chanyeol hanya terkekeh dan dengan cepat menarik tubuh Jiyeon dalam pelukannya.
“Bogoshipo.” Pelannya sambil memejamkan mata sejenak.
Jiyeon mengernyit heran. “Oppa, kau kenapa ?” Tanyanya heran.
Chanyeol membuka matanya cepat. melepaskan pelukan itu, padahal ia begitu nyaman memeluk tubuh jiyeon. ia selalu merasa nyaman. Sejak dulu, jika hujan datang bersama petir, Jiyeon pasti akan berlari kekamarnya dan meminta Chanyeol memeluknya sampai Ia tertidur dipelukan Chanyeol. Dan sejak saat itu Chanyeol suka memeluk Jiyeon. ia akan selalu merasa nyaman dan merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Aku ? Kenapa ? Tak apa. Aku baik-baik saja.” Ujar Chanyeol sambil cengengesan dan berjalan masuk kedalam rumah. Membuat Jiyeon terdiam dan merasakan sesuatu.
“Katakan !” Kata Jiyeon tegas.
Langkah Chanyeol terhenti. Ia menunduk namun tak lama tersenyum kecil. Berbalik dan menatap Jiyeon dengan senyuman jahilnya.
“Katakan apaanya Sweetheart ?” Tanyanya sambil tersenyum.
Jiyeon menghembuskan nafasnya. “Katakan jika kau tak baik-baik saja !” Lanjutnya.
Senyuman dibibir Chanyeol perlahan memudar. Menyisakan guratan samar senyum kecil disana.
“Aku mengenalmu bukan sehari dua hari oppa. Kita hidup satu rumah sudah bertahun-tahun. Aku tahu betul dirimu. Sehebat apapun oppa berakting jika semua baik-baik saja, kau tetap tak bisa membohongiku. Karena matamu mengatakan segalanya. Segalanya yang benar-benar terasa salah.” Tegasnya.
Masih berdiri ditempat yang sama. Chanyeol menatap Jiyeon lurus-lurus. Ia tahu. Ia hapal. Sehebat apapun ia berakting, Jiyeon akan selalu tahu. Karena Jiyeon begitu memahami sifatnya dengan baik. Namun Chanyeol belum mau mengatakan semuanya sekarang. Ia masih butuh waktu. Jadi yang ia lakukan adalah dengan cepat merubah ekpresi wajahnya seceria mungkin.
“Aigo, Sweetheart kau sedang bicara apa, eoh ?” Tanya chanyeol sambil tersenyum, melangkah cepat kearah Jiyeon lalu merangkul bahunya cepat.
“Aku baik-baik saja. sungguh !” Kata Chanyeol menegaskan.
Jiyeon menyelidiki mata Chanyeol dengan hati-hati dan ia masih merasa ada sesuatu yang salah.
“Tapi aku masih merasa ada yang oppa sembunyikan dariku.”
“Tak ada. Tak ada apapun yang oppa sembunyikan.”
Jiyeon enggan percaya. Ditatapnya mata Chanyeol lagi. namun kali ini Chanyeol mengelak dan ia menghindari tatapan mata Jiyeon. dan hal itu semakin membuat Jiyeon yakin jika..Chanyeol sedang tidak baik-baik saja.
“Aku merasa kau terasa jauh oppa..” Pelan Jiyeon.
Chanyeol mendongak. “Menjauh. Oh Come on Sweetheart, oppa hanya berdiri beberapa meter darimu.”
Jiyeon tersenyum kecil. “Itu hanya ragamu karena dirimu yang sebenarnya sedang berkelana entah kemana.”
Chanyeol semakin terdiam. Ia enggan menjawab. Bahkan sampai Jiyeon mengucapkan selamat malam dan beranjak dari sana. Chanyeol masih diam ditempat yang sama. Dengan perlahan Chanyeol mencoba menggerakan kakinya yang terasa berat untuk berjalan, langkahnya terseok dengan kepala tertunduk. Setelah sampai dikamarnya. Chanyeol berjalan kearah lemari. Berdiri tepat didepan cermin besar di sana. Ia mengamati dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Senyuman kecil tersungging dibibirnya.
“Kenapa kau pergi terlalu jauh, Park Chanyeol,” Gumamnya pada bayangannya sendiri. Matanya berkilat. Semuanya berkelebat disana.
“Seharusnya kau pulang dan selesaikan semua ini, Park Chanyeol. Pulanglah…Pulanglah.”
[TBC]
