Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all 317 articles
Browse latest View live

[FREELANCE] Time Effect (Chapter 2)

$
0
0

poster copy

  TIME EFFECT (Chapter 2)

| Author : Shin Jaejae | Tittle : Time Effect (Chapter 2) |

| Genre : Romance, Marriage Life, Drama | Rate : PG-15| Length : Chaptered | Main Cast : Baekhyun EXO K, Shin Eunkyung (You) |

|Other cast : EXO K member’s, and find out more|

Summary       : Baekhyun, namja dingin dan acuh tak acuh terlahir dari keluarga kaya, bertemu dengan seorang yeoja mungil bernama Eunkyung yang sangat mandiri.Jangan harap pertemuan yang romantis atau bahagia, namun pertemuan konyol yang mengantarkan mereka ke kehidupan baru yang penuh lika-liku. Dapatkah Eunkyung mengubah sifat Baekhyun yang egois dan dingin?

 

Yeaaay‼Akhirnya Chapter 2 dataaang‼! Nggak usah basa-basi langsung baca aja deh :D

Happy reading…

 

 

 

—-TIME EFFECT Chapter 2—–

“Aku—bersedia.”, kata Eunkyung dengan nada berat. Baekhyun tersenyum kecil. Semua hadirin bertepuk tangan. Tidak begitu riuh terdengar, karena hanya beberapa saja yang datang.

“Baiklah, kalian sah sebagai pasangan suami istri.”, kata penghulu pada akhirnya.

Acara pun berlanjut dengan penyematan cincin. Sehun sang pembawa cincin pun ke depan menyerahkan cincin kepada pasangan itu. Baekhyun mengambil cincin, lalu disematkan ke  jari manis Eunkyung. Semua hadirin bertepuk tangan lagi.

“Cium! Cium! Cium!”, terdengar seorang tamu berteriak, yang membuat tamu-tamu lain terprovokasi dan ikut-ikutan menyahut.

“Cium! Cium! Cium!”, teriak tamu serempak sambil tertawa-tawa.

Baekhyun yang masih tersenyum-senyum hanya mengangguk menanggapi permintaan para tamu. Eunkyung yang melihat ekspresi Baekhyun kemudian berbisik, “Ya! Jangan macam-macam! Yang satu itu tidak ada dalam perjanjian!”

Baekhyun menoleh kepada Eunkyung, kemudian tersenyum kecil. Dia pun berbisik, “Kau lihat orang tuaku mengawasi kita berdua. Kalau aku tidak melaksanakan -apa yang harusnya pengantin lakukan-  nanti mereka akan curiga dengan pernikahan ini!”

Eunkyung menoleh ke arah para tamu. Tampak kedua orang tua Baekhyun memandang ke arahnya. Eunkyung hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.

“Cium! Cium! Cium!”. Teriakan tamu semakin keras.

Baekhyun mulai mendekatkan kepalanya ke arah Eunkyung. Teriakan tamu menjadi semakin riuh. Dengan hati-hati dia berbisik, “Kau menurut saja, sudah terlanjur basah!”

Shi—“, ucapan Eunkyung terputus, karena bibir Baekhyun sudah mendarat di bibirnya. Mata Eunkyung membelalak. Tiba-tiba saja darahnya serasa berdesir kencang.

“Kau cepat berganti pakaian. Antarkan istrimu ke rumahnya untuk mengambil barang-barang yang diperlukannya!”, kata aboeji Baekhyun saat melihat Baekhyun sedang duduk di sofa tamu.

“Tapi—abeoji, aku masih lelah, acara pernikahan baru saja selesai, dan aku harus mengantarnya ke rumahnya?”, jawab Baekhyun dengan wajah malas. Dia masih mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang melingkar di kerahnya. Sepatunya pun belum sempat dia lepaskan.

“Kau menolak perintah abeojimu? Hah?”, ucap abeoji Baekhyun dengan nada meninggi. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapan Baekhyun. Akhir-akhir ini memang abeoji Baekhyun menjadi mudah naik darah, begitu pula dengan Baekhyun. Baekhyun sudah ingin menjawab perkataan abeojinya itu. Wajahnya merah menahan emosi.

Gwenchana—ahjusshi—umm…”, kata Eunkyung berusaha menengahi percakapan antara anak dan ayah itu. Eunkyung bangkit berdiri, dia tidak ingin mendengar perselisihan antara ayah dan anak, apalagi itu yang menyangkut tentang dirinya.

Abeoji. Panggil aku abeoji.”, jawab abeoji Baekhyun tanpa memandang ke arah Eunkyung. Kedua matanya membelelak, lalu mengerjap-ngerjap. Eunkyung terkejut dengan apa yang dikatakan abeoji Baekhyun. Kata-katanya yang tadi akan dikatakan pun seakan lenyap. Dia berusaha mencerna apa yang dikatakan abeoji Baekhyun tadi. Baekhyun pun merasa terkejut, sehingga dia tidak mengatakan apapun pada abeojinya. Sama terkejutnya dengan Eunkyung, dia tidak menyangka abeojinya mengatakan hal itu, mengingat orang tua Baekhyun yang sebenarnya sangat tidak suka dengan pernikahan Baekhyun ini. Abeoji Baekhyun menyadari suasana canggung di ruangan itu, kemudian berdehem kecil.

“Baiklah, kau istirahatlah dulu, baru nanti kau antarkan istrimu mengemasi barang-barangnya.”, kata abeoji Baekhyun dengan sangat tenang. Dia pun berlalu dari tempat itu.

Ya! Sampai kapan kau akan bersantai di situ terus? Ayo pindah!”, ajak Baekhyun dengan malas. Baekhyun segera beringsut dan berjalan menjauhi Eunkyung. Eunkyung yang duduk di sofa hanya memandang Baekhyun dengan malas, kemudian beranjak dari kursinya dan mengikuti Baekhyun. Baekhyun memimpin di depan, Eunkyung mengekor di belakangnya sambil berjalan terseok-seok. Kakinya sangat pegal karena seharian berdiri dengan high heels. Akhirnya mereka pun sampai di ruangan kamar Baekhyun, Baekhyun pun berhenti. Baekhyun mulai membuka pintu kamarnya dan menyuruh Eunkyung masuk.

Kamar Baekhyun sangat luas dengan nuansa biru laut. Ranjangnya sangat besar,  mungkin cukup untuk dimuati 3 orang. Ranjang itu menghadap ke jendela kaca yang cukup besar. Di dekat jendela terletak sebuah sofa warna merah maroon yang juga sangat besar. Berbagai koleksi miniatur tertata rapi di sebuah lemari kaca besar di sudut ruangan. Tak lupa dua buah lemari besar tempat baju-bajunya disimpan berada di sebelah lemari kaca itu.

“Aku tidur di situ.”, kata Baekhyun sambil menunjuk ranjang besarnya. “Kau tidur di sana.”, tambah Baekhyun lagi sambil menunjuk sofa besar berwarna merah maroon di dekat jendela. Sofa itu sangat besar, bahkan hampir seukuran tempat tidur. Eunkyung mengrenyitkan dahinya.

Mwo?? Kau suruh aku tidur di sana? Shireo!”, tolak Eunkyung mentah-mentah. Baru kali ini dia bertemu dengan namja yang tidak memiliki manner dengan seorang yeoja.

“Aku tidak suka berbagi tempat tidur!”, jawab Baekhyun cepat. Dia tak mau mengalah.

“Memangnya siapa juga yang mau berbagi tempat tidur denganmu? Sampai kapanpun aku tak akan mau!”, jawab Eunkyung bersungut-sungut. “Memangnya rumah sebesar iini tidak ada kamar yang lain?”, tanya Eunkyung menuntut. Pandangannya memutar ke sekeliling kamar. Dia benar-benar tampak jengkel dengan sikap Baekhyun. Kedua tangannya bahkan kini sudah berkacak di pinggangnya.

Abeoji yang menyuruh kita harus sekamar.”, jawab Baekhyun santai. Wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.

“Kalau begitu aku pulang saja ke rumahku sendiri.”, jawab Eunkyung tak mau kalah. Dia benar-benar tidak setuju dengan keputusan itu. Dia sudah akan berniat meninggalkan ruangan itu.

“Tidak bisa. Kau harus tetap di sini, sampai saatnya nanti waktu yang tepat kita berpisah. Sebelum semua itu kau harus menuruti kemauan orang tuaku.”, jawab Baekhyun ringan, kemudian menjatuhkan badannya ke ranjang. “Ingat perjanjian kita.”, kata Beakhyun sambil meraih ponselnya dan mulai mengutak-atiknya. Langkah Eunkyung seketika terhenti mendengar perkataan Baekhyun.

Mendengar itu Eunkyung hanya menghela nafas panjang. Perlahan dia beranjak ke arah sofa. Menjatuhkan badannya begitu saja, seperti dia sudah tak mampu lagi menopang berat badannya. Dia benar-benar harus menahan emosinya. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya beberapa hari ini. Semua itu terjadi begitu saja, bahkan tanpa pernah ia sadari. Dan hari ini, merupakan hari yang sangat melelahkan baginya, bukan hanya fisik, namun juga mentalnya. Namun ia sadar, ini baru permulaan. Masih banyak hal berat yang akan muncul di kehidupannya setelah ini.

Eunkyung hanya mencoba membaringkan badannya, matanya terpejam. Dia hanya berharap semoga ini semua cepat berlalu. Dia bahkan heran, mengapa dia bisa sampai masuk dan mengalami masalah seperti ini. Ingin rasanya dia kembali ke waktu saat dia belum bertemu Baekhyun. Dan saat dia membayangkan hal itu, tiba-tiba dirasakannya sebuah bantal menimpa kepalanya. Matanya seketika terbuka, badannya terbangun. Pandangannya teralih pada Baekhyun yang berbaring sambil menyilangkan kakinya. Belum sempat dia mengatakan sesuatu, sebuah selimut sudah menimpa badannya.

“Pakai itu, agar tidak kedinginan.”

Eunkyung tidak bersuara sama sekali. Emosinya semakin memuncak, namun dia memilih diam dan kembali berbaring. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Namun suara yang terakhir dia dengar itu benar-benar mengusik hatinya. Mengusik hatinya, seperti menorehkan sayatan kecil di hatinya itu. Perih memang.

Biasanya Eunkyung akan terbangun dengan suara-suara burung di pagi hari. Namun pagi ini berbeda, tidak ada satu pun suara burung yang terdengar. Mungkin saja itu karena rumah Baekhyun yang terlalu besar, atau memang Eunkyung yang terlalu lelah sehingga tak ada satu pun suara yang bisa didengarnya.

Namun tiba-tiba sebuah goncangan kecil mulai membangunkannya. Ingin Eunkyung mengabaikannya, namun semakin lama goncangan itu semakin kuat, disusul dengan suara-suara yang memekakkan telinganya.

Ya! Kau mau tidur sampai jam berapa? Ini sudah siang! Aku harus segera ke kampus hari ini!”, suara itu terus-terusan mengganggu telinganya. Suara yang sangat dikenalnya, ya, suara Baekhyun.

“Kau juga harus ke kampus hari ini! Izinmu untuk tidak masuk kuliah sudah habis! Hari ini kau harus ke kampus! Ppali ireonaa‼”, teriak Baekhyun lebih keras. Eunkyung perlahan mulai bangun, matanya dikejap-kejapkan.

“Cepat bangun dan mandi! Aku sudah hampir terlambat!”, teriak Baekhyun sambil memberikan sebuah handuk. Baekhyun pun bergegas ke mejanya untuk membereskan tasnya.

Eunkyung bangkit. Perlahan-lahan dia berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Matanya pun melirik ke sebuah jam dinding yang tergantung di dinding kamar. Pukul 8 pagi. Biasanya pada waktu seperti itu dia mendengar nyanyian merdu. Tapi bukannya nyanyian burung merdu yang ia dengar, namun nyanyian terberisik di dunia yang baru kali ini ia dengar.

Ppaliwaa! Cepat ambil helm itu, aku sudah sangat terlambat!”, kata Baekhyun. Dia sudah mengenakan kemeja warna biru dan jeans hitam. Sebuah tas ransel pun menghiasi punggungnya. Dia mulai melangkah keluar kamar.

Arra! Arra! Kenapa aku harus membawa helm?”, tanya Eunkyung bergegas membereskan tasnya serampangan.

“Sudah, bawa saja!! Cepat, kalau kau tidak mengikutiku, kau kutinggal!”, jawab Baekhyun. Eunkyung semakin tergesa-gesa. Baekhyun sudah menutup pintu kamar. Eunkyung semakin panik, langsung saja dia bergegas meraih tas yang belum sempat benar-benar dia rapikan, mengambil helm lalu berlari menyusul Baekhyun. Sampai di bawah, Baekhyun sudah menyalakan motor besarnya.

Saking tergesanya, Eunkyung bahkan tidak tahu sepatu apa yang dia pakai hari ini. Dia hanya cepat-cepat menuju motor yang sekarang ditumpangi Baekhyun. Dengan segera dia duduk di jok belakang. Belum selesai Eunkyung mengenakan helm, Baekhyun sudah melajukan motornya. Eunkyung yang kaget hanya reflek berpegangan pada pundak Baekhyun. Baru 10 menit Baekhyun mengendarai motornya, Eunkyung menepuk punggung Baekhyun dengan keras.

Ya! Ya! Tidak bisakah kau mengendarai lebih lambat sedikit? Sangat berbahaya, kau tahu?!”, teriak Eunkyung. Baekhyun berpura-pura tidak mendengar, malah semakin menambah kecepatan motornya. Eunkyung semakin ketakutan, pukulan di punggung Baekhyun semakin keras.

“Ya! Kalau kau tidak mau melambat, lebih baik turunkan aku di sini!” teriak Eunkyung. Mendengar itu, Baekhyun pun melambatkan motornya perlahan, namun motornya menepi. Motornya pun kemudian benar-benar berhenti.

As you wish. Sekarang turun dari motor ini. Kau berisik sekali.”, kata Baekhyun dingin. Eunkyung tersentak dengan kata-kata Baekhyun, dengan segera ia turun dari motor, mencopot helmnya kemudian memberikannya dengan kasar pada Baekhyun.

Geure! Pergi saja sendiri. Aku bisa ke kampus dengan usahau sendiri.”, jawab Eunkyung geram, dia masih menjaga harga dirinya.

Eo.”, jawab Baekhyun singkat, meletakkan helm Euknyung, kemudian segera melajukan motornya. Dia meninggalkan Eunkyung sendirian di pinggir jalan. Perjalanan menuju kampus Eunkyung masih setengah jalan. Sedangkan rumah Baekhyun juga sudah terlalu jauh. Eunkyung hanya bisa menghembuskan nafas panjang, menghadapi laki-laki seperti Baekhyun.

Eunkyung memeriksa tasnya, mencari uang untuknya naik bus. Betapa sialnya, dia tidak membawa dompetnya. Dia tidak membawa uang sama sekali. Dia pun mencari ponselnya, mencoba menghubungi temannya. Tetapi karena tadi pagi dia sangat tergesa-gesa, bahkan ponselnya pun ditinggalkannya di rumah Baekhyun. Dan baru disadarinya, dia memakai sepatu dengan hak lumayan tinggi. Dia benar-benar terburu-buru, sehingga dia lupa membawa barang-barang yang sangat penting, dan bahkan sepatu yang dipakainya pun salah. Ingin rasanya saat itu Eunkyung menangis, mengumpat, mencaci perbuatan Baekhyun. Karena Baekhyun, semua kesialan itu menimpa dirinya. Belum pernah dia merasa sesial ini. Tapi karena mencaci Baekhyun saat itu pun adalah hal yang sia-sia, akhirnya dia memutuskan untuk mulai berjalan. Berjalan entah ke mana dia juga tidak tahu. Tak peduli apa yang nanti akan terjadi dengan kakinya.

Omona, agashi. Apa yang terjadi? Kenapa agashi berjalan kaki?”, tanya ahjumma yang bekerja di rumah Baekhyun menyambut Eunkyung yang datang sempoyongan karena sakit yang luar biasa pada kakinya setelah berjalan sejauh 6 km. Eunkyung hanya meringis, tak berkata apa-apa. Ajuhmma pun segera menuntunnya menuju ruang tamu dan mendudukkan Eunkyung.

Eunkyung melepas sepatu dan tas yang melekat di badannya. Wajahnya memerah karena kelelahan. Keringatnya bercucuran. Nafasnya terengah-engah. Belum lagi tumitnya yang terasa berdenyut-denyut tak karuan. Tumit dan telapak kakinya pun berwarna kemerahan karena sepatu yang dipakainya. Terlihat memar di beberapa tempat.

Agashi duduk dulu saja, akan saya ambilkan air minum. Sebentar.”, kata ahjumma itu tergesa-gesa menuju dapur. Eunkyung hanya mengangguk. Dia terduduk lemas tanpa berkata apapun. Tak lama kemudian, ahjumma itu datang sambil membawa sebuah baskom dan handuk. Datang pula ahjumma yang lain membawa segelas air minum. Diberikannya air minum itu pada Eunkyung yang sangat kehausan. Segelas air dari ahjumma tadi langsung diteguk Eunkyung habis.  Ahjumma itu pun cepat-cepat berjongkok di depan Eunkyung dan membasuh kaki Eunkyung yang kemerahan.

Ani ahjumma. Biar nanti aku yang basuh kakiku sendiri.”, kata Eunkyung merasa tidak enak dengan perlakuan ahjumma itu. Eunkyung akhirnya bisa mengeluarkan suara setelah tadi dia merasa separuh nyawanya serasa menghilang.

Ani, gwenchana, agashi. Agashi terlihat kelelahan sekali. Memangnya apa yang terjadi, agasshi?”, tanya ahjumma itu sambil terus membasuh kaki Eunkyung dengan air es yang dibawanya tadi. Kaki Eunkyung seketika terasa segar. Eunkyung hanya sesekali mendesis kecil saat air itu mengenai kakinya yang agak memar.

“Ceritanya cukup panjang, Bi.”, kata Eunkyung. Wajahnya pun berubah kesal mengingat kejadian yang menimpanya tadi pagi. Ahjumma itu hanya mengangguk. Eunkyung pun menceritakan apa yang dialaminya sejak tadi pagi. Ahjumma itu mendengarkan sambil tersenyum dan sesekali mengangguk.

“Baekhyun orang yang sangat menyebalkan! Iya, kan Bi?”, tanya Eunkyung dengan kesal. Ahjumma itu hanya tersenyum, kemudian mengelap kaki Eunkyung dengan handuk lembut. Dilapya kaki Eunkyung dengan hati-hati dan telaten.

“Tuan muda orang yang sangat baik, Nona. Mungkin dia memang seperti itu, tapi sebenarnya dia orang yang perhatian.”, kata ahjumma itu dengan bijak. Dia pun segera beringsut pergi menyingkirkan baskom dan handuk yang digunakannya tadi. Kemudian dia berjalan ke dapur meninggalkan Eunkyung yang penuh tanda tanya. Eunkyung malah menjadi semakin bingung dengan apa yang dikatakan Bibi tadi, kemudian hanya melihat kedua kakinya yang sedikit merasa lebih baik. Warna kemerahan pun berkurang. Hanya mungkin masih bersisa perih memar akibat sepatu yang dipakainya tadi. Bibi itu kemudian datang lagi dengan membawa sepasang sandal bulu yang terlihat sangat empuk.

“Nona pakai ini saja. Sepertinya bisa mengurangi rasa sakit saat berjalan.”, kata Bibi itu ramah. Eunkyung menerima sepasang sandal bulu itu dan mulai memakainya. Kakinya menjadi terasa sangat nyaman karena menyentuh bulu yang sangat lembut.

Gamsahamnida”, kata Eunkyung. Bibi itu hanya tersenyum. Bibi itu pun pergi berlalu.

***

Baekhyun melangkah menuju rumahnya dengan headset yang terpasang di telinganya. Tanpa berkata apapun dia segera menuju ke kamarnya. Tas ransel di pundaknya ditanggalkannya. Dia melihat sekeliling kamarnya. Ada sesuatu yang janggal. Tanpa berpikir dua kali, dia kembali turun dan menuju ke ruang perpustakaan. Dia menebar pandangannya ke sekeliling perpustakaan, tetap tidak ditemukannya. Dia pun mulai melangkah ke ruang makan, tanpa sengaja berpapasan dengan salah satu ahjumma.

“Tuan muda sedang mencari apa?”, tanya ahjumma itu setelah membungkukkan badannya di hadapan Baekhyun.

“Umm, apa Bibi melihat di mana Eunkyung? Aku tidak melihatnya di manapun.”, jawab Baekhyun dengan wajah serius. “Apa dia belum pulang?”, tanya Baekhyun.

“Nona muda sudah pulang sejak tadi pagi Tuan muda. Kasihan sekali nona tadi, berjalan pulang sampai kakinya lecet.”, jawab Bibi itu sungguh-sungguh. Baekhyun menaikkan sebelah alisnya, heran. Namun dia segera mengubah ekspresinya menjadi senatural mungkin.

“Lalu sekarang dia di mana, Bi?”, tanya Baekhyun lagi. Pandangannya mulai menebar ke sekeliling. Di belakang dapur ada halaman belakang rumah Baekhyun yang penuh dengan tanaman hias dan sebuah air mancur. Namun tak ditangkapnya sosok Eunkyung di taman itu.

“Maaf Tuan muda, saya juga tidak tahu di mana nona muda sekarang. Karena yang saya tahu tadi nona muda hanya pergi ke ruangan, um, kamar Tuan muda.”, jawab Bibi itu, membungkukkan badannya lagi.

Ne, gomawo Bibi.”, jawab Baekhyun, kemudian segera berbalik arah menuju ke luar rumah. Diliriknya jam tangan yang dikenakannya. Pukul 3 sore. Tanpa berbicara dia segera menuju mobilnya di depan rumah. Mobilnya pun segera melaju kencang.

***

Noona. Kau di dalam?”, tanya seseorang sambil mengetuk pintu rumah seeorang. Sebentar kemudian seseorang dengan rambut coklat panjang membukakan pintu sambil tersenyum lebar. Kakinya penuh dengan warna obat merah. Lelaki yang mengetuk pintu itu tersenyum, namun memperhatikan kaki wanita itu.

“Lama sekali tak bertemu, Jongin. Masuklah.”, kata wanita itu. Senyumnya tak lepas dari wajahnya. Lelaki itu mengangguk, kemudian mulai mengikuti langkah wanita itu. Diperhatikannya wanita itu baik-baik. Caranya berjalan tidak seperti biasa, sedikit diseret langkahnya karena kakinya yang terlihat sakit. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah ruang tamu kecil, yang hanya terdiri dari sebuah meja kecil dan beberapa alas duduk. Dipersilakannya laki-laki itu duduk, kemudian wanita itu beranjak mengambil air minum untuk laki-laki itu.

Rumah wanita itu tidak besar, bahkan mungkin kecil. Ruang tamu bercampur jadi satu dengan dapur dan ruang makan. Tempat tidurnya pun mungkin juga bisa dibilang menjadi satu, jika saja tidak terhalang oleh sebuah papan kayu besar dan tinggi. Rumah wanita itu memang kecil, karena memang hanya rooftop sewaan.

“Kau mau minum apa, Jongin? Tapi maaf, aku hanya punya teh dan air putih saja.”, tanya wanita itu ramah.

Gwenchana. Tak perlu repot-repot Noona. Air putih saja.”, jawab laki-laki itu tersenyum. Wanita itu mengangguk, kemudian dituangkannya segelas air putih dingin dan dibawanya ke hadapan laki-laki itu. Wanita itu pun segera duduk di hadapan laki-laki itu.

“Ke mana saja kau selama ini Noona? Aku mencarimu seminggu ini, tapi kau tidak pernah ada di rumah. Aku sangat khawatir, kukira kau sudah pindah.’, tanya Jongin dengan wajah serius, tampak wajahnya penuh dengan banyak pertanyaan. Wanita itu menggeleng sambil tersenyum kaku. Dia mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tak tampak kaget.

“Aku tidak pindah, Jongin. Aku hanya berlibur sebentar. Mianhae, aku tak memberitahumu.”, jawab wanita itu serius. Jongin masih belum puas dengan jawaban wanita itu.

“Berlibur ke mana? Kenapa sampai ponselmu juga tak dapat kuhubungi?”, tanya Jongin lagi dengan wajah penasaran. Dilihatnya wanita itu, tak ada ekspresi yang memberitahunya bahwa wanita itu berbohong. Kemudian dilihatnya tangan wanita itu. sebuah cincin melingkar di jari manisnya.

“Aku berlibur ke Jepang. Maka dari itu kau tidak dapat menghubungiku.”, jawab wanita itu dengan nada datar. “Bagaimana keadaan cafe? Maaf aku tak bisa bekerja beberapa hari ini.”, tanay wanita itu mengalihkan pembicaraan.

“Memang agak kewalahan tanpa Noona. Namun Minseok dan Jongdae hyung ikut turun tangan, jadi semua lancar.”, jawab Jongin datar. “Tapi kapan kau akan bekerja lagi? Hari ini kau sudah pulang, kan?”, tanya Jongin penasaran.

“Aku jadi merasa bersalah. Meninggalkan pekerjaan tanpa setahu manajer. Bagaimana nanti kalau Minseon oppa marah?”, tanya wanita itu lagi. Jongin hanya meneguk air putih di hadapannya. Pundaknya diangkatnya ke atas, tanda bahwa dia tak mengerti. Wanita itu menghela nafas panjang.

“Sepertinya aku harus segera menelepon Oppa.”, kata wanita itu asal, sambil mengetik di ponselnya. Jongin hanya melihat apapun yang dilakukan wanita itu.

Belum usai wanita itu mengetik di ponselnya, tiba-tiba terdengar suara pintu rumahnya diketuk perlahan oleh seseorang. Wanita itu segera menghentikan kegiatannya, begitu pula Jongin. Kini kedua mata mereka terarah ke arah pintu.

“Hwaa. Mungkin itu Minseok hyung. Kebetulan sekali.”, celetuk Jongin sambil menyengir.

“Mungkin saja. Coba ku buka pintunya.”, jawab wanita itu sambil beranjak dari duduknya. Dia pun berjalan ke arah pintu. Dibuka pintunya perlahan. Saat pintu terbuka, betapa kaget dia melihat sosok di hadapannya itu

“Baek…hyun…kau..”, kata wanita itu terbata-bata karena kagetnya.

“Hm, benar dugaanku. Kau di sini ternyata Shin Eunkyung.”, kata Baekhyun tanpa melepas kacamata hitam yang dipakainya. Tanpa basa-basi, dia pun menarik lengan Eunkyung. Eunkyung menepis tangan Baekhyun. Kepala Baekhyun menoleh menatap Eunkyung. Dilepasnya kacamata hitam yang dipakainya.

Mwoyaa?!”, kata Baekhyun ketus. Dipandangnya Eunkyung dengan pandangan tak percaya.

Shireo!”, jawab Eunkyung, setengah berteriak. Jongin yang sejak tadi hanya memandang peristiwa itu kemudian bangkit berdiri mendekati Eunkyung.

Noona, ada apa ini? Siapa orang ini?”, tanya Jongin sambil memperhatikan lelaki di hadapannya itu dengan pandangan tidak suka. Baekhyun yang merasa diperhatikan mulai bersuara.

“Seharusnya aku yang tanya, kau ini siapa?”, Baekhyun balik bertanya, dengan nada yang tidak kalah tinggi. Jongin, laki-laki yang ada di hadapannya ini memang terlihat lebih tinggi dan lebih besar dari Baekhyun, namun itu semua tidak membuat Baekhyun gentar. Jongin yang mendengar kata-kata Baekhyun hanya melengos.

“Kenapa kau datang tiba-tiba menarik lengan noona? Kau tidak berhak melakukan itu!”, kata Jongin berteriak. Baekhyun berdecak.

Yak! Eunkyung! Siapa sebenarnya bocah ini?”, tanya Baekhyun memandang Eunkyung. Eunkyung sedari tadi diam mematung memperhatikan adegan di depannya itu.

“Kau! Tidak bisakah kau berkata lebih sopan kepada seorang yeoja? Dan—aku bukanlah seorang bocah!”, kata Jongin geram. Emosinya semakin memuncak. Tangan kanannya sudah mengepal erat, bersiap untuk memukul wajah Baekhyun, yang menurutnya sangat memuakkan.

Tangan Jongin sudah akan melayang menuju wajah Baekhyun, namun seketika terhenti karena tangan Eunkyung yang menahannya. Jongin memalingkan wajahnya ke arah Eunkyung. Wajah Eunkyung memerah, menahan emosi. Tangan dan badan Eunkyung terlihat bergetar. Mungkin emosinya sudah sangat memuncak.

“Kau, kau pergilah dulu Jongin. Tolong katakan pada oppa aku tidak bisa ke cafe hari ini.”, kata Eunkyung dengan suara bergetar. Kemarahan Jongin memudar, kepalan tangannya sudah terbuka. Namun kini perhatiannya teralih pada Eunkyung.

“Tapi noona..noona..”, kata Jongin khawatir. Eunkyung hanya mengangguk, dengan masih mencoba untuk tersenyum.

“Kau pergilah dulu. Nanti aku hubungi.”, kata Eunkyung dengan nada lembut. Jongin masih tak beranjak dari posisinya. Dia masih memandang Eunkyung dengan sangat teliti. Baekhyun yang melihat Jongin menjadi risih, kemudian dia berdecak bosan.

“Kau tidak dengar apa yang dikatakan Eunkyung? Cepat pergi!”, kata Baekhyun sambil memakai lagi kacamata hitamnya. Jongin hanya mendengus kesal, kemudian segera melangkah pergi. Didekatinya Baekhyun dengan pandangan benci.

“Aku pergi bukan karena kau yang suruh! Ini karena noona yang memintaku! Ingat, itu!”, kata Jongin geram. Baekhyun hanya tertawa kecil. Jongin mendengus.

“Aku tunggu kau menelepon.”, kata Jongin, kemudian segera pergi beranjak dari rumah Eunkyung. Eunkyung melambaikan tangan. Setelah punggung Jongin tak terlihat, baru dia fokus pada Baekhyun. Ditatapnya Baekhyun dengan pandangan sinis.

“Siapa bocah itu? Kenapa kau memperbolehkannya masuk ke rumahmu?”, tanya Baekhyun.

“Bukan urusanmu. Cepat, katakan maksudmu, mau apa kau ke sini?”, tanya Eunkyung ketus.

“Ayo cepat kita pulang. Abeoji dan eomma sebentar lagi akan pulang. Aku tidak mau mereka melihat kau tidak ada di rumah.”, kata Baekhyun datar. Eunkyung memandang Baekhyun dengan pandangan heran.

Shireo. Kau pulang saja sendiri.”, jawab Eunkyung, dia mencoba menutup kembali pintu rumahnya. Namun Baekhyun menahan pintu itu.

“Aku tidak mau pulang tanpa kau. Ayo cepat kita beresi barangmu, lalu kita pulang.”, kata Baekhyun lagi. Eunkyung semakin emosi mendengar perkataan Baekhyun.

“Apakah begini caramu memperlakukan orang? Kau bahkan tidak punya sopan sama sekali!”, kata Eunkyung kesal.

“Kau tidak perlu mengajariku cara memperlakukan orang. Kalau kau tidak mau memberesi barang-barangmu, baiklah. Biar besok para ahjussi yang membereskan rumahmu ini.”, kata Baekhyun.

Shireo. Kau kembali saja sendiri!”, tolak Eunkyung. Baekhyun yang merasa jengah hanya menarik napas panjang. Tak disangkanya Eunkyung adalah seorang wanita yang keras kepala. Dia mendongakkan kepalanya, memandang ke langit. Telunjuk kanannya memperbaiki letak kacamata hitamnya. Secara tak sengaja, pandangan matanya tertuju pada kaki Eunkyung yang berlumuran obat merah.

“Kenapa dengan kakimu?”, tanya Baekhyun penasaran. Eunkyung mendongak, dia malah menjadi semakin emosi.

“Kau habis dari mana? Kenapa kakimu bisa seperti itu?”, tanya Baekhyun lagi, karena pertanyaannya yang tadi tidak segera dijawab. Badannya agak dibungkukkan agar dia bisa mengamati kaki Eunkyung lebih jelas.

Kesabaran Eunkyung rasanya sudah habis. Dengan tenaga penuh, tangan kanannya menjitak kepala Baekhyun dengan keras. Baekhyun terkejut bukan main.

Yaaa‼ Apa yang kau lakukan? Kenapa kau jitak kepalaku?”, teriak Baekhyun sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit. Kacamatanya dengan serta merta dia buka. Sebelah matanya dia pejamkan, mulutnya meringis, tanda jitakan Eunkyung di kepala Baekhyun cukup keras.

“Itu balasan yang kau terima karena membuat kakiku jadi seperti ini!”, jawab Eunkyung bersungut-sungut.

Mwoya?! Apa hubungannya kepalaku dengan kakimu itu? Huh?”, jawab Baekhyun semakin tidak mengerti.

“Karena kepalamu yang kosong itu tak pernah berpikir akibat dari kau menurunkanku di tengah perjalanan tadi membuat kakiku jadi begini!”, jawab Eunkyung. Baekhyun menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, tanda dia kebingungan.

“Gara-gara kau menurunkanku di tengah perjalanan, aku harus berjalan kaki sampai ke rumah sampai kakiku lecet seperti ini, kau tahu!”, jelas Eunkyung lagi.

Wae? Kenapa kau menyalahkanku? Kau yang memintaku untuk menurunkanmu, kan?”, jawab Baekhyun membela diri.

“Jelas saja kau bersalah! Kau menurunkanku di tengah perjalanan, dan aku tidak membawa dompet atau uang sepeserpun…”

“Dan kau harus berjalan kaki sampai ke rumah, begitu, kan? Lalu apa hubungannya kakimu yang sakit dengan kau pergi dari rumah?”, sela Baekhyun dengan wajah tidak sabar. Eunkyung terdiam, sepertinya dia tersentak dengan apa yang baru saja dikatakan Baekhyun.

“Kau…kau! Ya!”, teriak Eunkyung yang kehabisan kata-kata. Ingin rasanya dia mencaci Baekhyun saat itu.

“Sudahlah, semua alasanmu itu tak ada hubungannya dengan pergi dari rumah! Sebagai ISTRI yang baik, kau sekarang harus pulang. Kau beruntung, aku masih berbaik hati padamu.”, kata Baekhyun, dengan memberikan penekanan pada kata ISTRI. Dia memperbaiki letak kacamatanya lagi.

Shireo! Kau pulang saja sendiri!”, kata Eunkyung lagi, kini dia membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah. Baekhyun semakin jengah, akhirnya menarik tangan Enkyung dengan mudah, kemudian membopong badan mungil Eunkyung dengan kedua tangannya. Eunkyung meronta, menolak dengan perlakuan Baekhyun. Namun dia tidak berdaya dengan tubuh kecilnya.

Berbagai kalimat dan perasaan berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya selama perjalanan kembali ke rumahnya. Begitu juga dengan Baekhyun yang terus saja berkonsentrasi menyetir. Hening menyelimuti, hanya suara deru mesin dan suara lirih radio yang dinyalakan Baekhyun sejak tadi. Radio yang memutar sebuah lagu, lagu kenangan Eunkyung saat kecil. Saat dia masih bersama dengan orang tuanya,saat kebebasan masih bersamanya. Saat dia belum mengenal semua permasalahan dunia, saat dirasanya dunia masih polos, tidak sekejam yang dia rasakan saat ini.

Malam itu kamar Baekhyun kedatangan barang-barangnya yang diambil dari rumahnya. Pakaian, jaket, sepatu, bahkan ponselnya yang tertinggal tadi pun diambil oleh ahjussi dan ahjumma suruhan Baekhyun. Semua dipak dengan rapi di kardus-kardus besar. Dengan kepala berbalut handuk, Eunkyung keluar dari kamar mandi dikejutkan dengan kardus-kardus bertumpuk di depannya. Dengan langkah gontai dia mendekati kardus-kardus itu dan membukanya satu per satu. Baju, foto, semuanya ada di situ. Eunkyung hanya mengambil ponselnya, dan keluar balkon untuk menghubungi Jongin.

Omo..omo..apa-apaan ini? Kenapa ada banyak kardus di sini?”, teriak Baekhyun kaget dengan pemandangan kardus yang ada di hadapannya. Dia sepertinya hilang ingatan, bahwa yang menyuruh mengambil barang-barang Eunkyung adalah dirinya sendiri. Karena penasaran, akhirnya dia membongkar sebuah kardus di hadapannya. Diambilnya barang-barang dari kardus itu.

Eunkyung yang mendengar keributan di dalam. Dia pun masuk ke dalam. Bersamaan dengan itu, dilihatnya Baekhyun dengan wajah kebingungan memegang gaun malamnya yang biasa dipakainya untuk tidur. Baekhyun dengan serius dan bingung mengamati baju itu, seperti dia baru pertama kali melihatnya. Eunkyung yang menyadari itu segera berlari menuju tempat Baekhyun membongkar kardus.

Ya! Kenapa kau bongkar barang-barangku? Kau tahu, itu melanggar hak pribadi!”, teriak Eunkyung sambil merebut gaun yang ada di tangan Baekhyun. Gaun itu kemudian disembunyikannya di balik punggungnya. Direbutnya lagi kardus ynag ada di depan Baekhyun. Baekhyun melihat tingkah Eunkyung itu semakin kebingungan.

“Kau! Kau pergilah! Aku ingin menata barang-barangku sendiri!”, kata Eunkyung menahan malu. Baekhyun mengangkat satu alisnya, kemudian tersenyum kecil. Dia berbalik ke luar kamar, namun baru beberapa langkah, dia berbalik lagi.

“Yakin kau tidak perlu bantuan?”, tanya Baekhyun sambil tersenyum. Entah senyum itu bermakna apa.

“Tak perlu. Aku bisa sendiri.”, kata Eunkyun sambil menggeleng. Kedua tangannya dia sembunyikan di balik punggungnya.

Baekhyun menahan tawa. Dia berbalik lagi melangkah ke luar kamarnya. Namun belum sempat dia melangkah, kepalanya menengok ke arah Eunkyung kembali. Eunkyung menjadi salah tingkah kembali.

“Sebentar lagi makan malam. Abeoji dan Eomma ingin berbicara denganmu.”, kata Baekhyun. Dia akhirnya melangkah pergi ke luar kamar. Kali ini benar-benar pergi ke luar.

“Apa kau senang tinggal di sini, Eunkyung?”, tanya abeoji sambil menyendokkan sup kepiting ke mulutnya, kemudian mengelap mulutnya.

Nde, abeoji.”, jawab Eunkyung malu-malu. Diliriknya Baekhyun yang duduk di sampingnya. Baekhyun nampak tenang, tanpa ekspresi menyendokkan sup kepiting sesendok demi sesendok ke mulutnya.

“Barang-barangmu sudah kau atur di kamar? Sepertinya barang-barangmu sudah sangat lama, kau harus punya yang baru. Bagaimana kalau besok kita berbelanja?”, tawar eomma Baekhyun. Kini dia sudah nampak sehat. Walaupun dia masih harus selalu minum obat dan suplemen lainnya, eomma Baekhyun nampak lebih sehat.

Aniya, tidak apa-apa eomma. Barang-barangku masih bisa saya pakai.”, kata Eunkyung kikuk. Dia tidak tahu harus berbuat apa di hadapan abeoji dan eomma Baekhyun.

Gwenchana. Aku juga ingin merasakan bagaimana berbelanja dengan anak perempuan. Pasti asyik sekali.”, kata eomma Baekhyun memaksa.

“Kau harus menemani eommamu, Eunkyung. Dia sudah sangat lama mendambakan anak perempuan agar bisa diajak berbelanja bersama.”, kata abeoji memaksa. Eunkyung mau tak mau hanya mengangguk.

“Nah, begitu. Kau harus betah di sini.”, kata eomma tersenyum.

“Kudengar kau juga berkuliah, Euknyung? Apa kampusmu sama dengan kampus Baekhyun?”, tanya abeoji dengan lembut.

Ani. Kampus kami berbeda.”, kata Eunkyung. Abeoji dan eomma Baekhyun mengangguk-angguk.

“Lalu, kau ambil jurusan apa?”, tanya eomma.

“Manajemen perusahaan.”, jawab Eunkyung singkat. Matanya melirik lagi ke arah Baekhyun. Tak tampak ekspresi apa pun yang berbeda dari wajah Baekhyun.

“Wah, bagus. Nanti setelah kau lulus kau bisa membantuku mengelola perusahaan.”, kata abeoji manggut-manggut. “Jangan seperti Baekhyun, dia mengambil jurusan yang tidak sesuai dengan apa yang abeoji kerjakan.”, tambah abeoji.

“Baekhyun ingin menjadi seorang arsitek, maka dari itu dia mengambil jurusan itu. Kau sudah lihat hasil kerjanya? Bagus dan rapi sekali.”, kata eomma bangga.

Eunkyung mengangguk, diliriknya Baekhyun kembali. Wajahnya tetap tak menampakkan perubahan ekspresi apapun. Dengan tenang Eunkyun pun memakan seekor udang.

“Bagaimana kalau kau pindah ke kampus ke kampus Baekhyun?”, tanya abeoji serius. Eunkyung tersentak, hingga udang yang tadi dimakannya tersangkut di tenggorokannya. Cepat-cepat diminumnya air yang ada di hadapannya.

“Iya, kau pindah saja. Lebih baik begitu. Agar kau tiap hari bersama Baekhyun.”, kata eomma.

Eomma.”, kata Baekhyun singkat. Wajahnya nampak tidak suka. Sementara itu Eunkyung berpikir, di rumah dia harus selalu bertemu Baekhyun. Jika dia pindah, itu berarti dia juga harus bertemu Baekhyun setiap hari. Memikirkan itu saja sudah membuat Eunkyung mual. Tapi abeoji dan eomma Baekhyun baik sekali.

“Bagaimana Eunkyung?, tanya abeoji pada Eunkyung.

 

(To be Continue…)

Hwaa..akhirnya chapter 2 datang..mian..mian..lama banget ya..lagi ngumpulin inspirasi inih..dan memang kemarin-kemarin masih dalam masa hiatus..makasih semua readers yang setia menunggu..chapter 3 akan segera dataaang :D



[FREELANCE] What Should I Do? (Chapter 1)

$
0
0

What Should I Do (cov1)

Tittle               : What Should I Do? (Chapter 1)

Lenghth         : Chaptered

Main cast       : Nam Pyeo Jin (OC)
Kim Jong In a.k.a Kai
Byun Baekhyun

Support Cast  : EXO Member
Lee  Hye Rim
Pyeojin halmeoni

Genre              : School life, Friend Ship, Angst

Rating             : PG-15

Author            : ReiiSangYoo-PRHingee10

Disclaimer     : First Chapter. Dilarang mengendap-endap di ep ep saya ^^ Don’t forget to comment. Mianhae typo berterbangangan. Kl gk suka jgn di baca :D Happy Reading chingu :)

 

***

 

 

 

Seorang yeoja berlari  kedalam rumahnya yang tidak besar dengan sangat cepat, begitu melihat mobil jasa pindahan rumah sudah bertengger manis di depan rumahnya, “halmeoni” teriak yeoja itu saat memasuki rumahnya, “wae gaeure pyeojin-ah? Mengapa berteriak?” Tanya sang halmeoni yang sedang memasukan baju kedalam sebuah tas.

“kita akan pindah?” Tanya yeoja bernama Pyeojin itu. “ne, sekarang bereskan semua barang barang mu yang berada di kamar” perintah sang halmeoni, “aissshhh, mengapa halmeoni tidak memberitahuku sebelumnya?” pyeojin mengerang frustasi, sang halmeoni menghampiri cucu kesayangannya itu.

“ini kejutan!” ujar sang halmeoni, “mwo? Kejutan? Yang benar saja??” Tanya pyeojin kesal. “aissh sudahlah jangan banyak bicara, sekarang bereskan barang barang mu. Setelah itu kita berangkat” ujar halmeoni. “kita akan tinggal dimana?” Tanya pyeojin “halmeoni sudah mengurusnya, jangan khawatir” ujar halmeoni lembut “bagaimana dengan sekolahku?” Tanya pyeojin lagi “halmeoni sudah mengurusi kepindahanmu” ucap halmeoni sambil mengelus kepala pyeojin. “huhh, aku bahkan belum berpamitan pada teman temanku” ucap pyeojin sebelum meninggalkan halmeoninya

Sebenarnya Pyeojin tidak ingin meninggalkan tanah kelahirannya itu. Karena menurut Pyeojin, tempat itu menyimpan semua kenangan indah dan masa kecil bersama kedua orang tuanya yang tidak pernah ia lupakan.

***

“pyeojin-ah, cepatlah kesini. Palii!” teriak sang halmeoni. “chakkaman” balas pyeojin dari kamarnya. Tak lama kemudian pyeojin pun muncul dengan hanya menggunakan celana jeans dan sweater merah kesayangannya sambil membawa tas gendong yang cukup penuh.

“kajja pyeojin-ah, waktu kita sudah banyak terbuang” ucap halmeoni. “arra” jawab pyeojin malas, halmeoninya pun sudah keluar dari umah itu tetapi pyeojin masih diam menatap rumahnya itu. “pyeojin-ah, palli kajja” teriakan halmeoni membuyarkan tatapannya. Ia pun segera pergi keluar rumah.

“naiklah” suruh halmeoni pada pyeojin, pyeojin menarik nafasnya kemudian membuangnya perlahan sebelum ia masuk kedalam mobil jasa pindahan rumah tersebut, di susul dengan halmeoninya. “ahjumma, sekarang kami antar kalian kemana?” Tanya seorang petugas. “stasiun!” jawab halmeoni, “ne algaeseumnida” supir itu pun langsung menginjak gas mobilnya untuk menuju stasiun.

Selama di perjalanan Pyeojin hanya menatap keluar jendela di sampingnya, wajahnya lesu. Sang halmeoni yang menyadari perubahan wajah pyeojin sedikit merasa bersalah. “sudah sampai”  ucap petugas, “ohh ne gamsahamnida” ucap halmeoni kemudian turun dari mobil, di susul dengan pyeojin.  “ahjumma hati hati ne. hei kau, jaga halmeoni mu!” ucap sang petugas, “ne arraseo” ucap pyeojin dengan nada malas. “kami duluan” ucap petugas sebelum akhirnya meninggalkan pyeojin bersama halmeoninya di tengah keramaian stasiun.

“kajja kita cari tempat duduk Pyeojin-ah” ajak halmeoni sambil menarik tangan Pyeojin. Setelah mendapatkan tempat duduk Pyeojin mengambil ponsel dan headsetnya untuk mendengarkan lagu. “yak! Jangan mendengarkan lagu, nanti kau tidak dengar kalau keberangkatan ke seoul di panggil” ujar halmeoni “arraseo” jawab pyeojin tanpa melepas headset di telinganya, halmeoninya hanya mengendus kesal  melihat tingkah cucunya.

Setelah kurang lebih setengah jam duduk di stasiun, akhirnya keberangkatan menuju seoul pun di panggil. “kajja pyeojin-ah” halmeoni pun berdiri dari duduknya kemudian berjalan meninggalkan pyeojin yang masih duduk.

Pyeojin masih duduk, ia menatap lurus kedepan. Ada perasaan tidak rela untuk meninggalkan busan kota kelahirannya ini. “pyeojin-ah palli” terdengar suara sang halmeoni, pyeojin pun berdiri dari duduknya dan dengan langkah gontainya ia berjalan menghampiri halmeoninya.

“cepat masuk” halmeoni menyuruh pyeojin untuk masuk kedalam kereta api. Tetapi pyeojin diam tidak bergeming. “tunggu apa lagi? Cepat masuk” ucap halmeoni lagi dengan sedikit mendorong tubuh pyeojin. Pyeojin mengendus, kemudian melangkahkan kakinya yang terasa sangat berat ke dalam kereta api.

Selama di perjalanan menuju seoul pyeojin hanya mendengarkan lagu dari boy band Infinite kesukaannya dan menatap ke luar jendela. Sedangkan halmeoninya sudah terlelap. Sudah dua jam kereta dari busan menuju seoul berjalan dengan sangat cepat, dan sekarang stasiun di seoul sudah bisa terlihat. Pemberitahuan bahwa kereta akan berhenti pun sudah di umumkan.

“halmeoni, ireona. Sudah sampai” pyeojin menggoyang goyangkan tangan halmeoninya. Tepat saat halmeoni membuka matanya, kereta berhenti. “sudah sampai kah?” Tanya halmeoni sebelum menguap, Pyeojin hanya mengangguk sebagai jawaban. “kajja kita keluar”

***

“halmeoni, sekarang kita akan kemana?” Tanya pyeojin. Mereka sekarang sedang duduk di halte “kerumah baru kita” jawab halmeoni. “lalu sekarang kita sedang menunggu apa?” Tanya pyeojin lagi “tentu saja menunggu bus, kau sangat banyak bertanya!” keluh halmeoni, mendengar keluhan halmeoninya Pyeojin hanya mengerucutkan bibirnya.

“ahh, itu dia!”  halmeoni menunjuk kearah bus yang berjalan menuju mereka. Bus itu pun berhenti tepat di depan mereka. Mereka pun langsung masuk dan duduk. “rumah baru kita berada di daerah mana?” Tanya pyeojin “sudah kubilang jangan banyak bertanya!” keluh halmeoni.

Mereka memutuskan turun di salah satu halte di daerah gangnam. “rumah kita di daerah gangnam?” Tanya pyeojin sambil mengamati sekelilingnya. “hmm” pyeojin mencibir ketika mendengar jawaban dari halmeoninya yang hanya berupa dehaman.

“pyeojin-ah, kajja kita cari rumah baru kita” ajak sang halmeoni, “mwo? Jadi halmeoni belum tau rumahnya” Tanya pyeojin heran. Halmeoni nya pun hanya menggeleng.

Setelah lama mencari akhirnya pyeojin dan halmeoninya menemukan rumah barunya. “cih.. bahkan lebih kecil dari rumah kita yang di busan” cibir pyeojin. “jangan seperti itu” nasihat halmeoni. Mereka pun menemui pemilik rumah itu dan meminta kuncinya, setelah mendapatkan kuncinya mereka pun langsung masuk.

“bukankah ini bersih pyeojin-ah?” Tanya halmeoni di sertai dengan senyuman manisnya. “ne” jawab pyeojin. “kamarku dimana?” Tanya pyeojin pada halmeoninya. “igo, di sebelahnya kamar halmeoni” ucap halmeoni sambil menunjuk kamar yang berpintu warna putih. Pyeojin mengangguk.

“kau tidurlah, sudah malam. Besok kau harus datang kesekolah barumu untuk mendaftar dan mengambil seragam” ujar halmeoni. “arra” jawab pyeojin sebelum dia masuk kekamarnya.

***

Keesokan harinya

Di salah satu kamar di sebuah rumah yang sangat mewah, terbaring seorang namja yang sebenarnya sudah terlambat sekolah.

Tok tok tok

“tuan, sekarang sudah siang. Anda bisa telat sekolah” ucap salah satu pelayan rumahanya di depan pintu., tetapi tidak di gubris oleh tuan nya yang masih tidur dengan lelap. Hingga lewatlah yeoja dengan umur sekitar 20 tahun. Begitu melihat yeoja itu, pelayan tadi langsung membungkukan badannya.

“dia belum bangun?” Tanya yeoja itu, “belum nona” jawab pelayan. “dasar pemalas!” tanpa ragu yeoja itu langsung membuka pintu kamar tersebut. Begitu ia membuka, terlihatlah seorang namja yang masih tidur dengan sangat lelapnya.

Dengan wajah kesalnya ia mendekati namja yang tak lain adalah dongsaengnya. “yak! Kim kai! Palli ireona” teriaknya, namja yang di panggil kim kai itu perlahan membuka matanya. “sebentar lagi, jayoung noona” kai memohon. “aissh, sekarang sudah siang babo! Sudah pukul 6 lewat 5, kau bisa terlambat!” yeoja bernama jayoung itu menarik selimut yang dipakai dongasaengnya, tetapi kai sama sekali tidak menghiraukannya dan masih tetap tidur.

Jayoung meringis kesal “kalau kau tidak bangun sekarang, noona akan menyita kunci mobil mu!” ancam jayoung, mendengar ancaman itu pun mata kai langsung terbuka lebar. “mworago?” tanyanya bingung sambil mendudukan tubuhnya, “kunci mobil mu noona sita” jayoung memamerkan kunci mobil sport kai yang ia ambil di meja kai. “aisss arraseo aku bangun” kai menyibakan selimutnya kemudian bangun  berdiri.

“kembalikan kunci mobil ku!” kai merebut kunci mobil sport nya dari tangan jayoung. “cepat mandi, sarapan, lalu berangkat. Kau akan terlambat jika kau tidak cepat” saran jayoung. “arra, kalaupun aku telat mereka tidak akan menghukumku” ucap kai sebelum masuk kedalam kamar mandi.

Setelah keluar dari kamar mandi, kai segera memakai seragamnya yang sudah di siapkan. Ia memakai seragamnya tidak rapi. Kai tidak peduli dengan itu. Ia melihat jam di tangannya yang sudah menunnjukan pukul 7 kurang 10. Ia pun langsung keluar kamarnya. Turun menuju ruang makan.

Ia melihat noonanya yang sedang sarapan. “lain kali jangan pernah mengganggu tidurku” ucap kai dingin, “cih kita liat nanti saja” cibir jayoung. “kau tidak sarapan?” Tanya jayoung begitu melihat kai yang keluar dari rumah. “ani” jawab kai.

***

Sebuah mobil sport berwarna hitam memasuki sebuah parkiran gedung yang bertuliskan SHEKKAI HIGH SCHOOL. Sang pemilik mobil sport itu pun turun dengan gagahnya. Ia melihat sekelilingnya yang sudah sepi. Kai menyadari bahwa ia sudah telat. Tanpa berpikir panjang ia pun melangkahkan kakinya ke dalam gedung dengan santai.

Di dalam gedung tersebut sangat sepi. Hanya terdengar samar samar suara seosaengnim yang sedang mangajar. Kemudian ia masuk kedalam kelas yang bertuliskan XI B. “kim Jong In, kau terlambat lagi. Cepat duduk, lalu buka buku fisika halaman 127” ujar park seosangnim. “ne” jawabnya dan langsung menuju kearah tempat duduknya yang berada di sebelah Xiumin.

Xiumin terkejut saat kursi di sebelahnya bergerak. “kau mengagetkanku kai” ujar Xiumin sambil mengelus dadanya. Kai melirik kearah xiumin. Ia meliahat headet yang menggantung di telinganya. Dia pasti mendengarkan lagu ,itu sebabnya ia menjadi kaget. Dan  sudah pasti lagu milik sistar, girl band yang selama ini di idolakannya

Dengan gerakan malas kai mengambil buku fisika di tasnya dan membuka halaman 127. Kai paling kesal dengan pelajaran fisika, karena ia tidak akan mengerti pelajarannya meskipun park seosangnim sudah menerangkannya berulang-ulang kali.

***

Pyeojin berdiri didepan gedung sekolah SHEKKAI HIGH SCHOOL. “cih, halmeoni yakin akan menyekolahkan ku di sini? Walaupun masuk dengan beasiswa sosial, sepertinya aku tidak akan bisa mengimbanginya” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya masuk.

Pyeojin berjalan menuju ruang guru. Sebelum itu ia sempat bertanya pada security yang bertugas. Pyeojin pun menemukan ruang guru, ia mengetuk pintunya beberapakali sebelum membukanya. Ia pun melangkahkan kakinya masuk, kearah meja bertuliskan reseptionis. “chogiyo Agassi” panggil pyeojin pada salah satu petugas resptionis. “ne, ada yang bisa di bantu?” Tanya petugas tadi. “saya ingin mendaftar sekolah, di sebelah mana?” Tanya pyeojin, “ahh silahkan isi formulir ini. Setelah itu berikan kepada saya” jelas petugas.

Pyeojin mengisi formulir, setelah selesai ia langsung memberikan pada petugas tadi. “ige” pyeojin menyerahkan formulirnya. “hmmm beasiswa social ya? Kalau begitu anda bisa langsung mengambil seragam dan buku-buku pelajaran, silahkan saya antar”

***

Setelah mendapatkan seragam dan buku-bukunya Pyeojin memutuskan untuk pulang ke rumah. Di sepanjang koridor ia bertemu dengan beberapa murid SHEKKAI HIGH SCHOOL yang melihat sinis kearahnya. Menyadari itu, Pyeojin hanya membuang nafasnya kasar.

Saat Pyeojin sedang sibuk dengan barang bawaannya, ia pun mendengar suara celotehan yeoja yang sedang bergosip, Pyeojin memutuskan berhenti di belakang mereka dan berpura pura sibuk dengan ponselnya. “aigoooo, kai oppa benar-benar tampan” ujar yeoja berambut hitam, “bahkan ke dua belas exo oppadeul sangat tampan. kudengar sekarang kai oppa sedang tidak memiliki yeojachingu. Ini kesempatanmu” ucap temannya, “kajja kita lewat kelas  XI B “ ajak yeoja berambut hitam tadi. Dan kemudian meninggalkan tempat itu.

“EXO? XI B? Kai? igo mwoya?” pyeojin kembali berjalan. Saat berjalan matanya menangkap tulisan ‘XI B’ di salah satu pintu. Karena penasaran pyeojin pun memutuskan untuk melewati kelas itu. Pyeojin berjalan dengan menolehkan kepalanya kearah kelas itu. “aiss, begitu banyak namja di kelas itu bagaimana aku mengetahui yang mana exo?!” keluhnya begitu melewati kelas XI B.

Pyeojin melihat seorang yeoja yang berjalan sambil mamainkan ponselnya. Dengan ragu pyeojin pun bertanya pada yeoja itu, “chogiyo” panggil pyeojin. Yeoja itu menoleh, “ne?” jawabnya. “hmm bisahkah kau menunjukan exo?” Tanya pyeojin. “ahh.. igo. Mereka ber 7 yang duduk di deretan bangku barat” jawab yeoja itu. “tapi bukannya ada 12 orang?” Tanya pyeojin memastikan, “5 orang lainnya di kelas A” jawab yeoja itu, “perlu ku tunjukan juga?” tawarnya. “anio. Gamsahamnida” pyeojin membungkukkan badannya lalu pergi meninggalkan yeoja itu.

“cih, hanya sekelompok namja dengan wajah yang sok imut. Mengapa seluruh yeoja disini selalu memuja mereka?” gerutu pyeojin.

***

“halmeoni, na wasseo” teriak pyeojin yang masih melepas sepatunya. “pyeojin-ah, kenapa baru pulang?. Ini sudah malam” Tanya halmeoninya khawatir. “sangat lama mengurusi seragam ini” keluh pyeojin. “mana seragamnya? Biar halmeoni cuci. Kau makanlah” ujar halmeoni. “ige” setelah memberikan seragamnya pada halmeoni Pyeojin langsung menuju meja makan.

Setelah makan, pyeojin memutuskan untuk masuk kekamarnya. Pyeojin duduk di meja belajarnya. Menatap seragamnya yang baru saja kering setelah di cuci dan di gantung. “sepertinya aku tidak cocok menggenakkannya” ucap pyeojin pelan. Kemudian menghela nafasnya. “sebaiknya aku tidur. Dari pada telat di hari pertama, itu sangat memalukan” pyeoji merebahkan dirinya di kasur kecil miliknya. Memejamkan matanya berusaha masuk kedalam mimipi. Tak lama kemudian pyeojin pun sudah masuk kedalam mimpi.

***

Keesokan harinya

Pyeojin mematikan jam beker yang dari tadi sudah mengganggu tidurnya. Ia menyibakkan selimutnya dan berdiri. Meregangkan otot ototnya, kemudian ia menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi dan memakai seragammnya pyeojin berkaca sedikit merapihkan rambutnya. “apakah cocok?” gumamnya.

“pyeojin-ah, palli. Kau bisa terlambat di hari pertamamu!” teriak halmeoni dengan suara lantang. “arra!” jawab peyojin. Setelah mengikat rambutnya, Pyeojin mengambil backpack dan juga sweater merah kesayangannya. Kemudian Pyeojin keluar dari kamarnya itu. “aigooo aigoo cucu halmeoni neomu yeoppo” puji halmeoni. Pyeojin sama sekali tidak menggubrisnya, ia langsung duduk dan sarapan.

Setelah selesai sarapan, pyeojin pun berpamitan pada halmeoninya. Jarak rumah ke sekolah baru Pyeojin tidak terlalu jauh, ia cukup berjalan kaki menuju sekolah. Selama di perjalanan Pyeojin memikirkan dirinya sendiri, jika kehadirannya tidak akan di terima oleh murid murid SEKKAI HIGH SCHOOL.

Pyeojin hampir sampai di sekolah baru, tiba-tiba berkas-berkas pendaftaran miliknya terbang tertiup angin ke tengah jalan raya. “Aaisshh jinja, ada ada saja!” gerutu Pyeojin. Pyeojin langsung berlari untuk mengambil kertas tersebut. Tanpa Pyeojin sadari mobil sport hitam melaju dengan kecepatan penuh ke arahnya. “Aaaaaaaaaaahhh!!!!” teriak Pyeojin sambil menutup telinganya. Mobil Sport hitam langsung berhenti mendadak tepat di depan Pyeojin.

Tiba-tiba sesosok namja tinggi dengan penampilan yang sangat beratakan keluar dari mobil sport hitam. Pyeojin yang melihatnya langsung menghampiri namja tersebut. “Kyaa!!, apa kau tidak bisa menyetir mobil dengan benar?!. Bentak Pyeojin dengan kesal. “Aishh, kau yeoja gila, kenapa kau menyalahkanku? Jelas-jelas kau yang diam di tengah jalan. Kalau aku tidak cepat-cepat menginjak rem, nyawamu pasti sudah melayang, seharusnya kau berterimakasih kepadaku, dasar yeoja tidak tau terima kasih!! Ujar Kai panjang lebar. “Mwo?? Yeoja gila?? Kau yang gila!, seharusnya kau tidak perlu menyetir mobil mu ini dengan kecepatan yang sangat tinggi!!” gertak Pyeojin sambil menunjuk mobil sport hitam milik Kai. Namja dan yeoja tersebut beradu mulut layaknya para DPR yang sedang melakukan sidang.

“Huh, terserah apa mau mu, aku ada urusan yang lebih penting!” ucap Kai sambil meninggalkan yeoja itu dan masuk ke dalam mobil sport mewah miliknya. Setelah mobil Kai melaju dengan kencang, Pyeojin langsung mengambil berkas yang tadinya berada di tengah jalan. Ia pun mulai berjalan menuju sekolah. “Aisshh,, hari pertama sekolah saja aku sudah bertemu dengan orang yang sangat menyebalkan!” keluh Pyeojin sambil merapikan rambutnya.

***

Pukul 7 lebih 30 menit Pyeojin sampai di SEKKAI HIGH SCHOOL. Ia berlari menuju kelasnya kelas XI B. “hey, kau yang di sana cepat masuk!” ujar seosaengnim dari kejauhan. Pyeojin memasuki kelasnya itu. Dan tiba-tiba…

“kau….???” Ucap Pyeojin kesal sambil melihat sesosok namja yang tadi ia temui di jalan raya barusan. Kai yang sedang bercanda dengan teman-teman se-gengnya terkejut melihat yeoja yang kini ada di sebelah seosaengnim. “mwo?? Yeoja gila, sinting, dan tidak tau terimakasih, kenapa ia bisa ada disini?” celetuk Kai. “nuguya?” Tanya baekhyun yang mendengar celetukan kai tadi. “Ahh, ani”.

“Nah, sekarang perkenalkan namamu!” ucap seosaengnim. “Arraseo. Annyeong, Nam Pyeojin imnida, mannaseo bangapseumnida” kata pyeojin sambil membungkukkan badannya. “Nah, Pyeojin, silahkan mencari tempat duduk kosong”. “Ne seosaengnim”. “Heii, kau namja manis duduklah di sebelahku!” ujar baekhyun sambil menunjukkan senyum manisnya. “Aishh,, kalau dia duduk disini, aku duduk dimana? Dasar babo!” sahut Chanyeol. “duduklah di sebelahku” kata seorang yeoja yang pernah ia temui sebelumnya.

Pyeojin merasa sangat bingung. Bagaimana tidak , jika ia duduk di samping yeoja itu maka ia akan bersebelahan dengan namja yang sangat ia benci. “ahh, ya sudahlah daripada aku terus berdiri di depan kelas ini” pikir Pyeojin dalam hati. Dengan kesal, Pyeojin berjalan menuju tempat duduknya. “Yaa, anak-anak keluarkan buku matematika halaman 132!” perintah seosaengnim.

***

“Kring..Kring..!!” bel istirahat SEKKAI HIGH SCHOOL berbunyi. “Jangan lupa kerjakan tugas halaman 134” ucap seosangnim. “Ne..” jawab semua siswa bersamaan. “Ohh ya, kau yeoja yang waktu itu bertanya padaku kan?” Tanya yeoja yang duduk di sebelah Pyeojin ketika hendak merapikan buku-bukunya. “Ne.. aku hampir lupa, waktu itu kita belum sempat berkenalan, emmh Nam Pyeojin imnida”. “Lee Hye Rim imnida”. “Kajja kita ke kantin, perutku sudah sangat lapar!” ajak Hye Rim sambil menarik tangan Pyeojin. “Ahh, kajja!

Setelah sampai di kantin mereka duduk di bangku yang sama. Tanpa Pyeojin sadari, sekelompok namja terpopuler seantero sekolah juga duduk tidak jauh darinya. “Aishh, kenapa kumpulan namja sok imut selalu menghantuiku?” gerutu Pyeojin. “hahh, Chanyeol oppa kau benar-benar tampan..” kata Hye Rim.  Tanpa sengaja Pyeojin mendengar perkataan sahabat barunya itu. “Nuguya?” Tanya Pyeojin. “eemhh, Chanyeol oppa. Jawab Hye Rim sambil melirik kearah Chanyeol. “Aaah, kau menyukainya ya?” selidik Pyeojin. “Kau ingin tau sekali Pyeojin-ah!”. “Sudahlah, orang buta pun pasti tau kalau kau menyukainya, buktinya dari tadi kau tidak jadi memesan makanan karena sibuk memperhatikan Chanyeol” ejek Pyeojin. “Hye Rim-ah, tunggulah sebentar aku akan memesan makanan untuk kita berdua!”. “Nde..”

“Kyaa,, jangan mengambil bakpao ku!” kata Xiumin ketika bakpao yang ada di tangannya hilang seketika. “Hahahahah, kau seperti anak kecil hyung!” ledek Baekhyun sesudah mengerjai Xiumin. Tak hanya baekhyun, semua anggota EXO juga menertawakannya. “Huhh, lapar sekali!,pikir kai dalam hati. Kai baru ingat, tadi pagi ia tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan lagi. Kai memutuskan untuk memesan makanan ke salah satu kedai langganannya. “Ahjumma, tolong berikan aku chiken snack warp dan segelas soda!”. “Ne, tunggulah sebentar!”. Kata seorang ahjumma penjual makanan.

“Ini, pesananmu”. Ahjumma memberikan sebuah nampan yang berisi makanan yang di pesan Kai. “Ohh, ne gamsahabnida!” Kata kai sambil menyodorkan uangnya. “Cheonma..!”. Tepat saat ia membalikan badannya, lewatlah seorang yeoja yang tampaknya juga membawa makanan.”aww” teriak yeoja itu. “aisss saekki-ya!” bentak kai seraya membersihkan seragamnya yang kotor karena terkena makanan yang ia bawa. “mian, aku tidak sengaja” ujar yeoja itu.

Tadaaaaaaaaaaaaaaa..

See you next chapter ^,^

 

 

 


[FREELANCE] Three Minutes

$
0
0

tumblr_n2i0otSpDs1t07lczo6_r1_500

Three Minutes

Title : Three Minutes || Author : @ansabilna ||  Main Cast : Kim Jongin & Krystal Jung || Genre : Romance || Length : OneShot || Rating : T || Disclaimer : The story is pure mine! Don’t be plagiat! Inspired by someone’s real life tragedy. Enjoy it~

***

“Tiga menit memanglah bukan waktu yang lama. Tapi gadis asing itu sanggup membuatku tersadar dari kisah kelam yang menyelimutiku. Lewat dekapan yang terkesan dingin, yang sanggup membuat jantungku berdebar tak menentu.” – Kim Jongin.

***

Berjalan gontai dengan tatapan mata yang kosong. Rambut hitam legamnya yang tak karuan, kemeja kantornya yang lusuh dengan berbagai macam noda jalanan, memberikan isyarat tentang keadaannya saat ini. Kacau, sangat kacau. Semilir angin sore yang tak berarti terus mengiri langkahnya. Entah kemana langkah kakinya akan bertepi, ia-pun tak tahu.

Sekelebat bayangan yang Jongin tidak inginkan, justru hinggap menelusup hingga bagian terkecil sel otaknya.  Berhasil menghujam jantungnya dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Zhang Yixing—atasan Jongin yang tega memecatnya di depan halayak umum dengan kata kasar yang menghina, Ahn Yeon—kekasihnya yang kini lebih memilih meninggalkannya sesaat setelah ia menjadi pengangguran, dan yang terparah, Kim Jung Ah—ibu-nya yang kini terbaring lemah dirumah sakit akibat penyakit mematikan yang disebabkan oleh bakteri ecoli. Sungguh sebuah ironi memang.

Serentetan kejadian buruk yang menimpanya hari ini, sukses membuat satu harinya layaknya didalam neraka. Tersiksa dengan rasa sakit yang begitu menjadi. Ingin sekali rasanya ia berteriak, sangat ingin. Namun, sudut di ruang hati kecilnya menahan. Melampiaskannya pada kedua tangannya yang mengepal sebagai tumpuan akan luapan emosinya. Yang terhubung langsung dengan sudut matanya yang kini sesak menahan gejolak airmata. Begitu membuatnya mati rasa.

Tidak peduli dengan tatapan aneh yang disertai bisikan mencemooh dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia sudah merasa lelah, sangat lelah dengan semua ini. Di tengah keramaian kota Seoul, dengan puluhan orang yang memandangnya rendah, ia tetap berjalan lurus dengan arah yang tak pasti.

Sampai pada akhirnya, tungkai kaki Jongin menapaki tanah dengan posisi yang sejajar. Memandang jauh panorama jembatan penyebrangan dengan begitu banyak jiwa yang melewatinya. Pikiran Jongin tak terarah. Tak ada satu-pun hal positif yang menelusup masuk ke sel otaknya untuk saat ini. Membuat Jongin berpikir tidak karuan.

“Ini semua terlalu menyiksaku,” Begitu suara hati Jongin berbicara. Bagaimana nasibnya nanti tanpa sebuah pekerjaan? hutang disana-sini, pengobatan ibunya yang terlampau jauh dari kata murah. Tak terlebih dengan relung hatinya yang kini hampa tanpa adanya cinta. Itu sungguh membebaninya.

Dengan langkah pasti ia menaiki setiap anak tangga dengan detakan jantungnya yang mulai berdebar, bahkan sangat berdebar ketika ia sudah berhasil menyelesaikannya.

Perasaan ragu dalam hati sempat muncul sekejap, namun hilang dengan tiba-tiba ketika rayuan setan sudah berhasil menguasai jiwanya dengan sempurna. Kini posisi Jongin sudah berada tepat di pertengahan jembatan. Menatap indahnya kota Seoul pada ketinggian sepuluh meter. Tatapan nanar dari mata hazzle-nya dapat terbaca dengan jelas. Senyum miring tak biasa, lantas hinggap disudut bibir tebalnya. Memenuhi setiap lekuk ekspresi wajahnya yang tidak dapat dimengerti.

Frustasi, mungkin begitu, atau lebih tepatnya memang begitu. Jongin tidak punya pilihan lain. Bunuh diri adalah cara terbaik agar jiwanya kembali dalam keadaan tenang. Damai layaknya air sungai yang mengalir. Sebuah cara yang memang hina dimata Tuhan, namun tidak untuk-nya saat ini.

Jongin menarik kuat oksigen yang bisa ia hirup, dan menghembuskannya secara kasar. Meletekkan kedua lengan kekarnya tepat diatas pagar pembatas yang hanya seukuran tinggi pinggangnya. Hawa dingin dengan cepat merambat dari ujung jarinya, membuat bulu kuduknya meremang untuk sesaat. Memejamkan mata dan sedikit membayangkan apa yang akan terjadi setelah ia benar-benar loncat dari jembatan ini. Menghantam kerasnya aspal, dan bam! mati. Sekali lagi, mati. Ia akan mati dalam keadaan yang mengenaskan. Tidak peduli bagaimana akan bentuk mayatnya nanti, ketenangan yang abadi akan segera ia temui setelah ini. Terbebas dari semua kesengsaraan hidup yang Tuhan ujikan kepadanya.

Jongin mulai melangkahkan kaki kananya melewati pagar pembatas. Baru satu kaki saja, Jongin sudah mendapati sekerumunan warga Seoul yang berkumpul sambil menunjuk-nunjuk terkejut kearahnya dibawah sana. Bahkan, para pejalan kaki yang hendak menyebrang terhenti untuk naik, dan ikut bergerumul dibawah untuk melihatnya.

“Hey! Apa yang dia lakukan?! Dia akan bunuh diri! Segera hubungi polisi!” Jongin tidak tuli, jelas-jelas ia dapat mendengar suara-suara yang ia rasa menghawatirkan keselamatannya. Tidak peduli, anggap mereka hanya angin lalu, begitulah Jongin. Lanjut dengan kaki kirinya, kini Jongin benar-benar di luar batas. Nafasnya agak tersengal, namun tidak mengurungkan niatnya untuk segera merentangkan kedua tangannya.

“Ibu, aku mencintaimu.” Tak terbendung lagi, buliran airmata itu akhirnya jatuh juga. Menerobos kuatnya dinding pertahanan indra penglihatan Jongin yang kini sudah memerah.

***

Suara sirine mobil polisi begitu mendominasi suasana di pinggir jalan kota Seoul, tepat ketika seorang gadis hendak berjalan menuju sisi trotoar. Rambut merah panjang Krystal Jung berkibar begitu satu persatu mobil polisi melaju dengan cepatnya. Kedua alis tebalnya saling bertaut, keningnya berkerut, sama dengan ekspresi para pejalan kaki yang lain. Menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi, kenapa ada begitu banyak mobil polisi, kenapa lajunya begitu cepat, kurang lebih begitu.

Ia menggidikan kedua bahunya tidak tahu, memilih untuk merapatkan jaket kulit yang ia kenakan, menyisipkan rambut bagian depannya ke balik daun telinga kanannya, lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Ia dapat merasakan saku celananya bergetar, menandakan ada sebuah panggilan yang masuk ke ponsel bermodel touch screen miliknya.

“Maaf, aku sibuk. Akan kuhubungi lagi nanti,” Entah apa yang membuat Krystal begitu cepat mengakhiri perbincangan di ponselnya, bahkan itu tidak layak disebut sebagai sebuah perbincangan.

 “Aneh,” Gumamnya tanpa sadar. Alisnya kembali bertaut, sorot matanya memicing tajam objek didepannya. Baru seperempat jalan ia lewati dari posisinya barusan, ia sudah dapat melihat dengan jelas mobil polisi yang terpakir dibawah jembatan penyebrangan. Begitu banyak awak polisi yang berjaga disekitarnya. Ia juga bisa melihat begitu banyak warga yang berkerumun dibawahnya dengan berbagai ekspresi disetiap wajahnya.

Krystal berjalan dengan agak sedikit berlari menuju tempat kejadian, yang entah kejadian apa, sembari menaruh kembali ponsel disakunya.

“Ada apa ini?” Tanya Krystal pada seorang pemuda yang berdiri tepat disampingnya, disertai dengan nafas yang agak tersengal akibat aksi setengah berlarinya.

“Itu!” Yang ditanya-pun hanya mengacungkan jari telunjuk kananya sebagai jawaban. Mengarah pada jembatan penyebrangan, tidak, bukan kepada jembatan penyebrangan semata, melainkan seorang pemuda yang hendak meloncatinya.

“Bunuh diri?!” Krystal sontak membulatkan matanya kaget. Bibir pink palm-nya tak kuasa menahan hasratnya untuk tetap mengatup.

Pria itu—Kim Jongin, masih tetap pada posisi awalnya. Merentangkan kedua tangannya untuk  bersiap-siap meloncat. Para polisi yang terus berusaha mengingatkannya agar tidak terjun bebas dengan menggunakan alat pengeras suara-pun, tetap tidak menjadi acuannya untuk berhenti melakukan aksi gilanya.

“Tidak bisa dibiarkan,” Entah apa yang merasuki pikiran Krystal saat itu. Ia berlari menuju anak tangga yang berjarak hanya dua meter dari tempatnya berdiri. Tidak mudah memang, ketika seorang petugas kepolisian menghalangi aksi heroik Krystal dengan menahan sebelah tangannya.

“Nona, apa yang akan kau lakukan? Ini berbahaya!,”

“Dia kekasihku! Jadi lepaskan!,” Dengan sekuat tenaga Krystal menghempaskan tangan kekar sang polisi. Dan benar saja, Krystal berhasil. Berdusta dengan statusnya sebagai kekasih Kim Jongin. Pria berkulit tan yang sangat asing baginya, bahkan mengenalnya saja tidak. Krystal benar-benar tulus ingin menolong pemuda itu.

Dan disinilah Krystal berada. Berhadapan langsung dengan pelaku tunggal aksi bunuh diri, Kim Jongin. Sesekali ia menelan ludahnya untuk sekedar menghilangkan rasa gugup yang mendera. Dengan perlahan tapi pasti, ia melangkahkan kakinya lebih dekat pada Jongin. Dan berhenti tepat dibelakang punggung tegapnya.

“Lihat itu! Ada seorang gadis disana!,” Dan sekali lagi, Jongin tidak tuli. Ia bisa mendengar teriakkan seorang pemuda barusan. Lantas, ia membuka kedua kelopak matanya paksa, mengerutkan keningnya bersamaan dengan  kedua tangannya yang terhempas kembali kebawah.

“Apa yang kau lakukan hah?!” Hanya terdengar suara semilir angin yang masih setia menemani Jongin sampai saat ini. Tidak ada respon apapun. Diam, kaku, dan tidak bergerak.

“Hentikan! Kau bisa mati, kau tahu?!” Sekali lagi, hanya terdengar suara semilir angin yang berhembus. Jongin masih belum mau membuka mulutnya dan membungkamnya rapat-rapat.

“Itu yang kuinginkan,” Sedetik berlalu, suara berat nan parau itupun terdengar. Menelusup masuk indra pendengaran gadis yang Jongin rasa sok jagoan. Krystal memberanikan diri mengambil satu langkah lebih maju.

“Jika ini karena suatu masalah, yakinlah bahwa akan ada jalan keluarnya. Kau masih bisa memperbaikinya, membuatnya lebih baik.” Suara Krystal melembut layaknya butiran salju di musim dingin, sangat lembut. Bersamaan dengan jemari mungil-nya yang menyentuh lengan kekar milik Jongin.

Jongin tersentak. Luapan emosi Jongin kini mencapai puncak. “Kau ini siapa hah?! Jangan menghalangiku! Cepat pergi! Aku ingin loncat dan mati secepatnya!”Entah kekuatan dari mana Krystal dapat, ia sanggup menarik beban tubuh Jongin yang baru saja gagal meloncat, dan jatuh kedalam pelukannya. Ini memang di luar rencana.

Tepuk tangan dan seruan haru atas aksi heroic Krystal memuncah saat itu juga. Menjelma menggantikan sosok suasana mencekam yang hilang bagaikan asap.

“Sudah kubilang, kau masih bisa memperbaikinya. Tidak dengan cara seperti ini,” Kedua mata Jongin membulat dengan sempurna. Kedua bahunya merosot lemah. Ia pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Satu menit. Jongin dapat merasakan ketulusan menyeruak dari dekapan gadis asing ini. Menyebar keseluruh bagian tubuhnya layaknya virus. Memberikan rasa nyaman yang entah darimana asalnya. Membuat kedua matanya terpejam untuk beberapa saat. Merasakan detakan jantungnya yang mulai berdegup di luar batas normal.

Dua menit. Ia dapat merasakan relung hatinya yang berkecamuk tergenang oleh aliran air sungai yang mengalir. Begitu damai, jelas apa yang ia inginkan dari awal. Mengganti sel-sel otaknya yang sudah usang dan kembali berfungsi dengan normal. Memperkuat keyakinan, bahwa apa yang dikatakan gadis asing ini benar. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan sekarang salah, salah besar. Jongin masih bisa berusaha dan memperbaiki segalanya. Mulai mencari pekerjaan baru dengan modal usaha yang keras, mencari pendamping hidup yang benar-benar mencintainya dengan tulus. Dan terakhir, hal terbesar yang benar-benar Jongin inginkan. Ia benar-benar ingin Ibu-nya sembuh.

Tiga menit. Ia dapat merasakan beberapa pasang tangan kekar yang mengangkat kakinya melewati pagar pembatas. Para polisi itu sudah berhasil membuatnya kembali dalam lajur jembatan yang seharusnya, oleh kode-kode yang Krystal berikan sebelumnya itu tentu. Dan kali ini, gejolak didalam rongga dadanya bertambah hingga dua kali lipat lebih cepat.

Perasaan grogi bercampur gugup saat ia membuka matanya perlahan. Mendapati seorang gadis asing bersurai merah melepas pelukannya dengan agak begitu cepat. Tatapan mata mereka terkunci satu sama lain.

“Kau masih bisa memperbaikinya. Ingat itu,” Sang gadis melemparkan senyuman tipis seraya menepuk pundak kanan Jongin ringan. Yang membuatnya mematung layaknya terhipnotis. Bahkan, untuk mengeluarkan sepatah kata-pun saja ia sulit.

“Kami harus memeriksa pria muda ini. Terimakasih untukmu, Nona. Kau sangat membantu pekerjaan kami,” Ucap salah seorang anggota kepolisian, yang Krystal yakin adalah leader dalam tim kepolisian kali ini. Krystal hanya memberikan anggukan kecil disertai dengan cengiran khas miliknya.

“Aku harus segera pergi, permisi,” Krystal membungkukkan tubuhnya membentuk sudut sembilan puluh derajat, diikuti dengan balasan anggota kepolisian yang tepat berada disampingnya. Dan bisa ditebak, Jongin masih dalam posisi dimana ia mematung tanpa ekspresi.

Krystal mulai melangkahkan kaki jenjangnya menjauh. Berjalan santai dengan menampilkan deretan gigi seri-nya yang putih. Terlihat ia yang sedang memasukkan lengan seputih susu-nya kebalik saku jaket kulit berwarna lembut itu. Rasa lega yang mendera menyelimuti suasana hatinya kini.

Sementara Jongin, hanya dapat memandanginya dari kejauhan. Tetap dengan bibir yang terkatup rapat. Kedua matanya masih terlalu fokus menatap punggung Krystal yang berjalan jauh dari hadapannya. Entah, setiap langkah kaki gadis asing itu membuat jantungnya berdebar semakin kencang dan kencang. Membuat jemarinya merengkuh dalam bagian sisi kiri dadanya. Tetap berdebar dengan irama yang tak bisa dikontrol. Sampai saat dimana gadis itu mulai menuruni anak tangga dan sosoknya tak terlihat lagi.

 


“Love Care”– Chapter 1

$
0
0

--love care--

Chapter 1:

I Have A New Nanny

Love Care Cover 1 Picture

Summary:

Siapa bilang pria berusia 22 tahun tidak memerlukan pengasuh? Wu Yi Fan, pria tampan, kaya raya, egois, pendiam, sombong dan segala hal menyebalkan itu sangat membutuhkannya. Namun dengan angkuh ia tak ingin itu terjadi dan mengakui bahwa dirinya baik-baik saja. Berbeda dengan Jung Rae Woo, gadis sederhana, pengkhayal yang sedang dilanda kebingungan sebelum ia melihat sebuah selebaran yang tertempel di seluruh dinding-dinding jalanan Kota Seoul, selebaran yang terlalu biasa bahkan membosankan bagi sebagian orang, namun sangat berarti bagi seorang Jung Rae Woo. Selebaran yang membawa hidupnya sedikit lebih baik juga berbalik menjadi mimpi buruk nantinya. Tapi, setiap mimpi buruk pasti mempunyai akhir bukan?

Lalu, apa akhir dari mimpi buruknya?

Author:Dreamcreampiggy ||Length:Chapter || Genre:Romance, Familiy, Drama, Little bit Comedy, AU || Rating:Teen, Parents Strongly Cautioned-13, || Cast:Wu Yi Fan/Kevin Li/Kris (EXO-M)|Jung Rae Woo (OC)|Kim Joon Myun/Suho (EXO-K)|Oh Se Hun/Sehun (EXO-K)|EXO Members|And another Cast.

Disclaimer:

Casts are belongs to God, their self, and their parents, except Original Character. They are fake cast made by myself as a Writer. Stories are mine. NO ONE allowed to PLAGIARIZE, copy-paste, translate, edit, and change half or this entire story without my permission.

~***~

My first impressions about him? Please, don’t ask it. Bad. Really bad.

“Kalian itu sudah menunggak selama tiga bulan!” Suara seorang ahjumma paruh baya terdengar menukik tajam bagaikan pesawat tempur yang bersiap untuk lepas landas lalu menghantam seorang gadis di hadapannya. Gadis bernama Jung Rae Woo yang hanya bisa terdiam sambil terhanyut dalam seluruh khayalan gila yang pernah ia rasakan. Rae Woo bersumpah bahwa suara ahjumma di hadapannya ini sungguh memekakan dan membuat telinganya sakit. Berbanding terbalik dengan suara ibunya yang terdengar lembut dan merdu walaupun hanya berbicara. Namun sayang, kini ibunya sedang terbaring lemas karena sakit di rumahnya. Bukan rumah sakit. Memangnya siapa yang akan membiayai ibunya?

“Kau ini dengar tidak sih?!” Ahjumma itu lagi-lagi berbicara sambil berteriak. Rae Woo segera memfokuskan tatapannya yang tadinya terlihat kosong. Karena kini hanya otaknya saja yang mengembara ke sana kemari. Rae Woo mengernyit kesal saat itu. Rasanya ia ingin menyumpal mulut ahjumma ini dengan sepatunya lalu mengikatkan tubuh ahjumma di hadapannya pada sebuah pesawat rusak hingga pesawat itu jatuh. Tapi, biarlah khayalannya mengembara. Itu tak akan pernah terjadi. Bahkan sepatunya saja hanya satu. Bagaimana bisa ia sumpalkan dengan cuma-cuma? Mungkin nanti saat ada yang membelikannya sepatu lagi.

Mianhae ahjumma. Saat ini aku tidak punya uang. Kau harus mengerti kalau eommaku sedang sakit keras.” Kata Rae Woo sambil mengeluarkan puppy eyesnya yang percuma ia lakukan karena ahjumma itu belum tentu mengerti dan mempunyai belas kasihan.

“Mintalah pada appamu itu! Ia harus bertanggung jawab sebagai seorang ayah! Jangan hanya mabuk-mabukkan setiap hari! Membuat susah putri dan istrinya juga aku!” Kata ahjumma itu lagi. Kini ia mengambil kipas dari balik tasnya dan mengipaskan kipas itu ke wajahnya.

Aigoo cepatlah! Aku butuh uang!”

“Aku harus bagaimana? Uangku bahkan tak cukup untuk makan ahjumma. Berilah aku waktu satu minggu untuk mencari uang. Aku mohon…” Kata Rae Woo yang segera berlutut di depan ahjumma yang sebenarnya tak pantas di perlakukan seperti itu sambil membungkuk berkali-kali.

“Tidak bisa! Cepat! Aku butuh uang sekarang! Kalau kau tidak memberikan uang sewa rumah itu sekarang, aku akan mengusirmu, ayahmu yang pemabuk dan ibumu yang sakit-sakitan itu keluar!” Rae Woo menarik napas kesal. Ia sungguh tak bisa menahan amarahnya. Ia membiarkan ahjumma ini menghina ayahnya, lalu sekarang ibunya juga? Sungguh ahjumma ini telah membangkitkan singa yang tertidur di dalam tubuh Rae Woo.

“Cepat! Atau aku akan menyuruh orang-orangku untuk menyeret keluargamu keluar! Kau sudah sering sekali menunggak!”

Rae Woo menarik napasnya pelan. Senyum licik tergambar pada wajahnya. Salah besar jika orang-orang mengiranya polos bahkan tak bisa apa-apa. Salah besar. Dan sekarang singa yang sudah terbangun itu siap mengaum.

Satu, dua, dan tiga.

“YAK! KAU AHJUMMA CEREWET! PERGI! AKU SUDAH BILANG AKAN MEMBAYARNYA NANTI! KAU YANG MEMULAI! KAU MAU AKU APAKAN HUH? CEPAT KELUAR! DASAR CEREWET! AKU HERAN KENAPA SUAMIMU INGIN MENIKAHIMU! CEPAT PERGI! JANGAN PERNAH MENGHINA KELUARGAKU LAGI!!!!!” Teriak Rae Woo dengan suaranya yang keras dan bisa dibilang cempreng itu. Ia melepas sepatunya dan mengarahkan benda itu pada ahjumma di hadapannya. Ia sudah diambang batas kali ini. Ahjumma itu sudah berani menghina keluarganya sejak pertama kali datang kesini sepuluh menit yang lalu. Jadi, wajar jika Rae Woo melakukan hal ini di pagi hari yang cerah dan seharusnya berbahagia ini.

“Kau berani hah?” Tantang ahjumma tadi. Salah! Jangan pernah melawan Rae Woo yang sedang marah atau kau akan celaka!

“Berani? IYA!” Kata Rae Woo sambil melemparkan sepatunya ke arah  sang ahjumma berkali-kali.

“YAK! YAK! YAK! ANAK KURANG AJAR!” Kata ahjumma itu kesal.

“Aku tak perduli! Sana pergi!” Kata Rae Woo. Ia terus melempar dan mengambil sepatunya lalu melempar lagi sampai ahjumma itu mundur melewati gerbang rumahnya. Rae Woo segera menutup gerbang rumahnya dengan kencang dan menguncinya.

“Fiuh…” Rae Woo menghembuskan napasnya dan meniupkan sebagian napasnya ke atas hingga poni rambutnya terangkat.

“Kau! Awas! Minggu depan aku akan kembali!” Kata ahjumma menjengkelkan tadi yang ternyata baru akan pergi. Sungguh wajah ahjumma itu mirip sekali dengan wajah bibi menyebalkanpada salah satu drama yang baru ia tonton minggu lalu.

“Iya dasar cerewet! Bibi sepertimu memang menyebalkan! Dasar ahjumma aneh!” Teriak Rae Woo kesal. Ia menghentakkan kakinya dan menjambak-jambak rambutnya yang ia ikat satu. Semakin lama ia akan gila sepertinya. Ia semakin sulit membedakan dunia nyata dengan khayalan atau film. Ditambah ia harus mencari uang dan berkuliah. Lengkap sudah penderitaannya.

“Ah aku harap akan ada pangeran berkuda putih setampan Yoon Ji Hoo F4 datang menghampiri dan menikahiku… Ya Tuhan aku ingin sekali… Huhuhu…” Rae Woo memohon dan menatap ke atas langit. Berdoa agar pangeran itu jatuh begitu saja.

~***~

Matahari bersinar dengan sangat teganya siang hari ini. Membuat seluruh manusia yang berada di sebuah Kota bernama Seoul itu mandi dengan peluh mereka sendiri. Beruntunglah bagi mereka yang membawa mobil, menaiki motor ataupun bus dan segala kendaraan nyaman lainnya. Tapi Rae Woo? Untuk berangkat kuliah saja ia harus berjalan kaki.

Dan kini seperti anjing kelaparan, Rae Woo sedang berdiri di depan sebuah kaca Super Market yang besar sambil menatap dan meneguk ludahnya berkali-kali ketika melihat seorang anak laki-laki berumur lima tahun sedang memakan dengan lahap ramyeon dalam cup di hadapannya.

Rae Woo melihat sekeliling Super Market dari jendela dan menyadari ibu anak itu sedang berbelanja. Rae Woo mengetuk kaca jendela sampai anak itu melihatnya, Rae Woo tersenyum sambil menunjuk ramyeon di hadapan anak laki-laki itu. Siapa yang tahu kalau mungkin anak itu akan memberikannya satu?

Anak itu mengangkat wajahnya dan tertawa kecil melihat Rae Woo. Manisnya. Rae Woo yakin anak itu pasti akan memberikannya. Entah anak itu akan turun dari kursi itu lalu berlari ke depan untuk memberikannya ramyeon yang sedang ia makanatau justru menyuruh ibunya memberikan ramyeon baru untuknya. Dan Rae Woo akan mengambil pilihan ke dua. Namun bukannya khayalan Rae Woo yang menjadi kenyataan tetapi justru sebuah ejekan yang ia terima. Sial.

“Weeeek! Sana Jelek!” Rae Woo terkejut begitu anak laki-laki berwajah polos itu seketika berubah seperti setan kecil yang menggodanya dan merendahkannya! Bahkan ia memanggil Rae Woo jelek? Yak! Rae Woo ini cukup cantik bagi ibunya!

Rae Woo baru ingin membalas kata-kata anak itu lalu masuk ke dalam Super Market dan menyumpal mulut setan kecil itu dengan buku-bukunya sebelum ibu dari anak itu mendekat. Rae Woo dengan cepat menjulurkan lidahnya kesal lalu melenggang pergi.

“Ah! Semuanya menyebalkan! Aku mau makan! Aku belum sarapan! Aku harap awan bisa mengeluarkan makanan! Aaaaa! Siapa saja! Beri aku makanan!”

BRUSHHHHH

Rae Woo yang sudah menjadi perhatian berbagai orang karena teriakan dan gerutuannya, semakin mencolok ketika sebuah motor sport berwarna hitam yang kelihatan paling mahal dan salah satu keluaran terbaru merek ternama itu melintasi sebuah kubangan air hujan di tepi jalan dan mencipratkan air kotor yang terbilang cukup banyak itu ke tubuh Rae Woo.

“YAK! KAU! AISHHH! KENAPA AKU SIAL SEKALI SIH HARI INI! AWAS KAU!” Rae Woo yang tak sabar ingin melampiaskan kemarahannya, dengan cepat segera berlari menyusul motor itu.

Ia benar-benar gila. Ia harus mencari bahan pelampiasan kini. Ia lapar, ia di rendahkan oleh anak kecil, di tagih hutang oleh ahjumma menyebalkan tadi pagi dan kini terkotori oleh air kubangan? Dan orang yang telah membuatnya marah setengah mati itu harus menerima ganjarannya kini. Rae Woo akan mengejar orang itu!

Ternyata kemampuan berlarinya yang setara dengan atlet itu masih cukup bagus dan membantunya saat ini. Tas ransel di punggungnya terlihat bergoyang-goyang seiring laju larinya. Motor itu berhenti karena lampu merah. Kebetulan sekali!

Rae Woo masih berlari sebelum ia melihat seorang anak sekolah yang ia yakini sedang membolos sambil meminum sebuah minuman. Sepertinya bubble tea?  Rae Woo yang melintas di hadapan anak itu segera mengambil bubble tea dari tangan anak berwajah datar tetapi tampan itu  seperti seorang perampok dan berteriak.

“Maaf! Aku mintaminumanmu! Ikhlaskan ya!” Teriak Rae Woo mengabaikan teriakan anak sekolah yang terdengar marah itu.

Tidak! Lampu merah itu akan hijau! Ia harus mempercepat langkahnya untuk membalaskan dendamnya sendiri! Ayo Rae Woo! Yak! Tepat!

HAP!

Rae Woo berdiri di hadapan motor itu tepat ketika lampu berganti hijau. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar menghalangi motor sport hitam dan mahal itu yang akan melintas.

TIIIN!

“Minggir!” Teriakan bersuara berat dan dalam dari sang pengendara yang bertubuh tinggi walaupun sedang menunduk karena mengemudikan motornya tidak menghalangi niat Rae Woo untuk melakukan hal yang sudah ia rencanakan secara asal-asalan.

“Minta maaf padaku!” Teriak Rae Woo. Suara klakson dari kendaraan di belakang motor itu semakin keras. Namun karena tak terlihat pergerakan dari motor mewah dan mahal di depannya, berbagai kendaraan segera menyalip sehingga membuat jalanan sedikit padat.

“Kau membuat masalah denganku nona. Aku tak melakukan apapun padamu.” Kata laki-laki itu dengan suara datar. Wajahnya masih tertutup dengan helm full face, dan Rae Woo meyakini laki-laki yang memakai helm full face semacam itu akan sangat tampan dan mirip dengan para pembalap atau satria baja hitam.

“Kau mengemudikan motor dengan sangat cepat sehingga saat kau melewati kubangan air tadi, air itu mengenaiku! Dan seluruh tubuhku basah dengan air kotor!” Kata Rae Woo sebal.

“Lalu?”

Argggghhh! Rae Woo tak tahan lagi! Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. Hari yang panas, amarah yang membakar dan laki-laki menyebalkan juga seluruh kondisi yang menimpanya membawa Rae Woo melangkah maju mendekati laki-laki itu lalu dengan cepat menarik helm yang di kenakan sang pengendara. Ini dia! Rencana terhebat dalam seumur hidup seorang gadis bernama Jung Rae Woo.

BYURRR

Isi bubble tea di tangannya kini sudah berpindah tempat. Kini isi minuman itu sudah membasahi kepala sampai tubuh sang pengendara yang tak lagi mengenakan helm. Pengendara itu menunduk, telinganya sudah berwarna merah menunjukan emosi yang meluap-luap.

“APA-APAAN KAU INI!” Teriak laki-laki itu yang segera mengangkat wajahnya dan menatap Rae Woo kesal. Suaranya yang besar itu membuat beberapa pejalan kaki terkaget-kaget. Bahkan anak sekolah yang tadi ingin mengambil minumannya di tangan Rae Woo berhenti seketika dan melihat kejadian itu.

“Ya Tuhan, kau menurunkan malaikat tampan padaku. Sungguh laki-laki ini tampan sekali Ya Tuhan.”

Rae Woo menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran gila itu dan menatap laki-laki berambut kecoklatan yang terlihat sangat keren. Deskripsi! Harus di deskripsikan!

Laki-laki itu berkulit putih dan Rae Woo yakin pasti sangat lembut. Hidungnya sangat mancung. Bibirnya tidak terlalu besar namun terlihat cukup tebal di bagian atas. Rae Woo ingin sekali mencium laki-laki itu jika ia kekasihnya. Matanya terlihat tajam, alisnya juga tebal. Lalu suaranya berat dan dalam. Dan tinggi laki-laki itu tak perlu di pertanyakan. Sangat tinggi. Jaket biru yang melekat di tubuhnya membuat laki-laki di depannya semakin tampan walau sudah kotor akibat tumpahan bubble tea gratis hasil rampasan Rae Woo.

“Mi-mi-minta maaf padaku!” Lajut Rae Woo dengan suara tergagap karena gugup.

“Bukan urusanku! Minggir sana!” Teriak laki-laki itu kesal. Ia menekan klakson motornya keras. Namun Rae Woo yang mempunyai suara teriakan lebih besar daripada klakson itu hanya tertawa kecil dan dengan cepat melangkah semakin mendekati laki-laki itu.

Rae Woo mencium bau alkohol dari mulut laki-laki itu yang membuatnya teringat pada ayahnya sendiri yang bahkan minggu ini belum menginjakan kaki kembali di rumahnya.

Laki-laki itu hanya menatap Rae Woo kesal lalu mengabil kembali helmnya di tangan Rae Woo dan segera memacu motornya.

“YAK! DASAR NAMJA GILA! AWAS KALAU AKU BERTEMU DENGANMU LAGI!” Teriak Rae Woo yang sungguh memekakan telinga siapapun.

~***~

Rumah bergaya Eropa seperti istana yang luasnya hampir berhektar-hektar dengan lapangan golf sendiri dan berbagai fasilitas lainnya mungkin hanya akan kalian semua temui pada drama-drama Korea yang selalu di tampilkan di TV dan menjadi favorit para remaja. Tapi kini rumah itu memang benar-benar ada. Dan rumah itu memang di huni oleh seorang laki-laki angkuh yang tak berperasaan. Yang membuat hampir puluhan pelayan rumah itu berlarian panik seperti hama tanaman yang sebentar lagi akan di basmi oleh insektisida atau sejenisnya.

Suara khas dari sebuah motor sport hitam yang mewah dan di ketahui sebagai keluaran terbaru merek terkenal yang pernah di sebutkan di salah satu bagian pada cerita ini terlihat memasuki rumah tersebut yang mempunyai gerbang super besar dan tinggi. Bahkan kalian harus menempuh kurang lebih lima ratus meter sebelum kalian berhasil memasuki dan melihat rumah maha besar itu.

Beberapa pria yang lebih tepat di sebuat dengan bodyguard terlihat sedang berlarian sambil berbicara melalui microphone kecil pada kerah jas hitam mereka yang tersambung secara otomatis pada kepala pelayan di rumah itu dan ke sebuah ruangan operator. Bahkan rumah itu punya ruangan operator?

“Tuan muda sudah tiba! Bersiaplah,” kata-kata itulah yang kebanyakan terdengar dari para bodyguard. Terlalu berlebihan untuk kepulangan seorang anak dari pemilik rumah itu. Tapi berbeda jika kalian membaca cerita ini. Anak itu bukanlah anak biasa yang mudah di kendalikan. Karena jika anak itu mudah di kendalikan, aku tak akan menceritakan cerita ini pada kalian. Aku harap kalian bisa mengerti bagaimana anak pemilik rumah itu disini.

Di sisi rumah maha besar ini, hampir puluhan pelayan lain yang terdiri dari pria dan wanita dengan jumlah yang sebanding terlihat sedang merapihkan seragam mereka dan berbaris memanjang di samping kedua sisi pintu utama yang memiliki sensor akurat.

Bukan. Pelayan-pelayan itu bukan mengantri untuk mendapatkan uang bulanan. Melainkan untuk menunggu kedatangan tuan muda itu. Seorang pria paruh baya yang hampir seluruh rambutnya memutih karena terlalu banyak berpikir menanti cemas di depan pintusebelum sebuah motor yang tak perlu di jelaskan lagi bagaimana ciri-cirinya berhenti. Pengemudi itu turun dengan cepat dan berjalan masuk. Pria paruh baya yang berpangkatkan kepala pelayan itu segera membungkukan kepalanya diikuti oleh puluhan pelayan lain di balik pintu.

Laki-laki yang masih mengenakan helm full face itu terlihat bagaikan raja. Ia terus berjalan di saat para pelayan masih membungkuk dan ketika ia melihat pelayan yang mengantri di barisan paling akhir, ia melepaskan helm yang ia kenakan dan melemparnya kasar pada pelayan laki-laki di sampingnya yang dengan sigap segera menangkapnya sampai harus tersungkur.

Wajah tampan laki-laki itu kini dengan mudah terlihat. Membuat kita teringat pada sebuah kejadian sebelumnya. Kepala pelayan yang tadinya berdiri di depan pintu kini berlari cepat menuju tempat tuan mudanya berada.

Kepala pelayan itu mencoba mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki tampan namun angkuh itu. Meneguk ludahnya sendiri untuk berbicara.

“Tuan. Anda mendapatkan teguran lagi dari Nyonya besar karena selalu pulang terlambat. Bahkan dua hari yang lalu Anda tak pulang sama sekali.” Kata kepala pelayan yang sering di panggil dengan sebutan Pak Lee.

“Katakan padanya aku juga mempunyai urusanku sendiri. Jangan mengganggu.” Jawab laki-laki ini. Datar, dingin, dan angkuh. Ia melepas jaket biru tuanya dengan kesal dan menunjukan kaus putihnya yang kini sudah terkotori dengan bekas minuman aneh. Pak Lee menatap kaget baju laki-laki yang berstatus sebagai majikannya itu.

“Tuan,” belum sempat Pak Lee bertanya laki-laki tampan ini sudah menyelanya.

“Ada gadis aneh di jalan tadi yang tiba-tiba menumpahkan sebuah minuman padaku.” Jawabnya. Ia berjalan meninggalkan Pak Lee dan menaiki tangga memutar seperti yang tervisualisasikan pada film-film dongeng.

Pelayan-pelayan lain yang tadinya berbaris di ruangan depan berjalan mendekati Pak Lee dan mencoba menenangkannya. Kasihan Pak Lee. Ia harus mengabdikan hidupnya mengasuh laki-laki itu.

“Dia memang keterlaluan. Aku heran kenapa ia bisa seperti itu. Menjijikan.” Kata salah satu pelayan laki-laki yang berpenampilan sangat rapih. Pelayan lain hanya mengangguk dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sepertinya Tuan muda Kris memerlukan pelayan pribadi. Aku tak sanggup jika harus mengurusinya juga.” Kata Pak Lee.

“Pak Lee. Serahkan padaku masalah itu. Kita akan mencari pengasuh untuk tuan muda. Secepatnya.” Kata seorang pelayan perempuan bernama Shin Young yang terkenal banyak berbicara namun memiliki ide-ide cemerlang.

“Benarkah?” Tanya semua pelayan kecuali Pak Lee dan Shin Young sendiri.

Shin Young tersenyum yakin.

“Benar. Seluruh orang di Seoul akan mengetahui dan berdatangan ke rumah ini. Lalu, kita akan memilih seseorang yang pantas untuk tuan muda.” Kata Shin Young dengan senyum liciknya yang menakutkan.

~***~

Hari kedua.

Rae Woo berjalan lesu di trotoar sambil menendang sebuah kaleng minuman ringan secara asal-asalan. Sebenarnya ia ingin sekali meminum sesuatu yang manis dan menyegarkan saat ini. Bukan hanya air putih. Tapi ia takut jika uangnya tak cukup untuk membayar makan malamnya sendiri hari ini dengan Ibunya. Catat. Rae Woo tak ingin membiayai Ayahnya yang pemabuk itu makanan. Ia sedikit tidak sudi.

Kini ia belum bisa kembali ke rumahnya yang nyaman itu karena ia sendiri harus mencari sebuah pekerjaan tetap yang dapat menghasilkan uang setidaknya untuk satu minggu ini. Tapi apa? Sekarang ini mencari pekerjaan untuk seorang perempuan yang bahkan belum lulus menempuh perguruan tinggi sepertinya diibaratkan mencari jarum di tumpukan jerami yang kini sedang di bakar oleh seorang kakek tua. Hampir mustahil.

“Ahhhhh! Kenapa ini semua terjadi padaku? Memangnya apa salahku sampai-sampai aku harus menderita seperti ini!” Teriak Rae Woo kesal. Dua hari ini ia sudah sering berteriak di tengah-tengah jalan. Ia berharap ada seseorang yang mengasihaninya dan memberikan banyak uang setelah itu. Bukannya menyimpratkan air kotor padanya seperti kemarin.

Mata Rae Woo memandang datar jalan di depannya sebelum ia merasakan kakinya menginjak sebuah selebaran berwarna yang terlihat sangat penting. Kenapa selebaran itu penting? Apa selebaran itu menginformasikan tentang keadaan Korea sekarang? Atau apakah selebaran itu akan menginformasikan konser Super Junior yang terbaru hingga hampir seluruh dinding-dinding di Kota Seoul di penuhi oleh selebaran ini? Rae Woo sendiri baru menyadarinya dan tak habis pikir dengan hal ini. Selebaran ini terlalu banyak. Bahkan ada beberapa selebaran yang tertiup oleh angin secara sia-sia. Mengotori Kota Seoul tercintanya.

Rae Woo mengambil salah satu selebaran yang tertempel di dinding sebelahnya dan membaca selebaran itu seksama.

“Pengasuh? Selebaran ini tertempel di hampir seluruh Kota Seoul dan hanya berisikan informasi ini? Dasar gila.” Kata Rae Woo tak habis pikir. Ia ingin membuang selebaran itu sebelum ia menancapkan pandangannya kembali dan melanjutkan aktivitas membacanya.

“Apa ini? Bayaran menjadi seorang pengasuh besar sekali!”

Teriak Rae Woo tak percaya. Matanya membulat seperti bola. Tapi yang harus kalian tahu tak seperti bola juga. Tak mungkin Rae Woo memiliki mata sebesar bola sepak atau basket jika kepalanya saja tidak lebih besar daripada benda itu.

“Bayarannya bisa melunasi hutang sewa rumah! Kyaaaaa! Aku harus mendapatkan pekerjaan ini!” Kata Rae Woo sambil melompat-lompat senang. Jika kemarin ia sangat sial, berarti kini ia sangat beruntung. Catat sekali lagi. Terlalu beruntung hingga ia menganggap ia hanya harus mengasuh seorang bayi.

“Aku suka anak kecil! Aku pasti bisa mengasuhnya!” Kata Rae Woo senang. Kini wajah lesunya berubah sangat ceria bahkan bisa-bisa menjadi sangat cerah mengalahkan sinar mentari.

Rae Woo kembali membaca selebaran itu dan berusaha mencerna di mana ia harus mendaftar dan kapan. Rae Woo membaca informasi yang terdapat di selebaran itu dan terkejut ketika ia mendapati bahwa pekerjaan itu bisa di dapatkan setelah seleksi ketat! Dan seleksi itu di lakukan besok pukul empat sore.

Sial! Ia punya mata kuliah pada jam itu! Dan ia tak mungkin membolos! Ia tak mau di keluarkan dari perguruan tingginya yang sangat terkenal dan biasanya hanya di tempati oleh anak-anak dari kalangan atas. Ia mendapatkan beasiswanya dengan susah payah!

“Tenang Rae Woo. Yakinlah. Jam kuliahmu di mulai pukul tiga dan selesai pukul lima. Kau bisa langsung pergi ke tempat itu dan mendapatkan pekerjaannya! Jung Rae Woo Fighting!” Kata Rae Woo dengan suara yakin sambil melompat-lompat menyemangati dirinya sendiri. Rae Woo segera memasukan selebaran berharga itu ke dalam tasnya yang sudah sangat lusuh dan berjalan pulang. Ternyata hidup masih berpihak padanya yang ceroboh ini.

Ya, sangat ceroboh hingga ia tak membaca salah satu pemberitahuan yang terletak di bagian paling bawah selebaran itu.

*Kami mengharapkan pengasuh yang mempunyai tingkat kesabaran dan tingkat pemikiran yang tinggi untuk mengasuh seorang laki-laki berumur 22 tahun.*

~***~

“APA? TIDAK!”, suara berat, dalam dan kencang milik seorang laki-laki itu benar-benar memekakan seisi rumah megah itu. Lee Shin Young, seorang pelayan perempuan di rumah itu berdiri sambil mengernyit takut. Ia tak berani menatap wajah majikannya sendiri yang kini sedang menancapkan tatapan menyeramkannya yang dapat membuat jantung seseorang berhenti berdetak selama satu detik.

“Tapi kami sudah menempelkan selebaran-selebaran itu di seluruh kota Tuan Muda.” Jawab Shin Young takut.

“Yak Ahjumma! Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya bahwa aku bisa mengurus diriku sendiri! Aku tak perlu pengasuh! Kau ingin ke pecat huh? Lagipula Ibu-ku tak akan setuju dengan hal konyol ini!” Laki-laki yang sebenarnya sangat tampan dan sering di panggil dengan sebutan Tuan Muda itu masih berteriak dan memaki dengan segenap hatinya.

“Maafkan saya Tuan Muda. Tapi nyonya besar sudah menyetujui hal ini. Kami tidak bisa membiarkan anda pergi kemanapun hari ini dan besok karena kami akan meminta anda untuk ikut serta memilih pengasuh untuk anda sendiri.” Kata Shin Young.

Fine! You make all my day ruined! Great!” Laki-laki ini berbicara dengan kesal dan dalam nada sarkastik yang sebenarnya tak di mengerti oleh Shin Young. Pelayan itu hanya tersenyum dan berjalan meninggalkan laki-laki tampan ini. Membiarkannya sendiri.

Suasana hening di dalam kamar yang sangat mewah dengan tempat tidur King Size dan berbagai pernak-pernik lain yang menunjukan betapa nikmatnya hidup laki-laki yang persis seperti pangeran ini terpecah ketika suara ponselnya berdering.

Laki-laki itu berjalan mendekati sebuah meja kecil di samping tempat tidurnya dan mendapati sebuah pesan.

From: Yi Xing

Subject: <No Subject>

Kris! Aku melihat selebaran aneh di seluruh kota. Kau membutuhkan pengasuh? Alamat yang tertera menunjukan rumahmu. Kalau kau perlu aku bisa memberikan pengasuhku sewaktu kecil untukmu. Bagaimana kau mau? Oh ya, kami akan datang ke rumahmu besok. Pukul empat. Kami juga ingin mendapatkan pekerjaan itu ><

Laki-laki yang di panggil dengan sebutan Kris itu mengerutkan dahinya dan membanting ponselnya ke samping. Bahkan sahabatnya sendiri tertawa di atas penderitaannya? Dan di sini, sahabatnya bukan hanya satu. Lihat bukan? Kami. Berarti masih banyak sahabat-sahabatnya yang akan muncul. Sial.

~***~

 “Tuan Muda.” Suara seorang pria paruh baya di sampingnya membuat laki-laki tampan ini menoleh.

“Ada apa Pak Lee?” Tanya Kris dengan kesal. Ia menatap kosong Smart TV di depannya dan hanya sibuk mengganti channel satu persatu secara berurut.

“Ini sudah pukul empat sore. Dan sudah banyak orang yang mengantri di bawah. Anda harus turun untuk memilih pengasuh anda sendiri.” Kata Pak Lee.

“Pilih saja sesukamu Pak. Aku hanya tinggal memecatnya jika tak suka.” Jawab Kris.

“Tidak bisa Tuan, Anda harus memilihnya dan Anda tak bisa memecatnya karena hanya nyonya besar yang berwenang melakukan itu.” Kata Pak Lee.

Kris membanting remote TV-nya lalu bangkit dari kursi dan keluar dari kamarnya yang sangat nyaman. Kaus putih berlengan panjang yang simple namun sangat mahal dengan merek fashion ternama yang terlihat jelas dari design baju itu beserta celana sepanjang lutut yang berwarna coklat menambah ketampanan laki-laki berambut kecoklatan ini.

Kris menuruni tangga rumahnya. Ia sungguh terlihat seperti pangeran kini. Sangat tampan. Kris menunduk dengan malas lalu berjalan ke sofa empuk yang berada di sisi lain ruangan itu. Beberapa calon pengasuhnya yang berdiri di sisi pintu masuk ruangan tengah terperangah dan saling membisik dengan wajah gembira atau bisa dibilang senang. Bagaimana tidak? Mereka akan mengasuh pria setampan Kris.

Kris menatap risih antrian panjang itu dan segera mengalihkan pandangan kepada Pak Lee.

“Bagimana aku memilihnya?” Tanya Kris.

“Kami akan meminta mereka untuk meyakinkan Anda Tuan Muda.” Kata Pak Lee.

Kris menghembuskan napasnya kesal. Mari kita mulai.

~***~

Kris menatap calon pengasuhnya yang pertama kini. Calon pengasuhnya terlihat masih sangat muda. Terlihat dari Flowery Dress yang di kenakan perempuan berkepang dua itu. Manis, tapi terlalu polos. Hey! Siapa yang memperdulikan fisik? Tak ada!

“Berapa umurmu?” Tanya Kris.

“Sembilan belas tahun.” Jawab anak perempuan itu.

“Apa? Sembilan belas? Maaf aku tak menerima pengasuh yang lebih muda dariku. Minimal kau harus sebaya denganku.” Ia menggerakkan pergelangan tangannya ke arah pintu keluar dengan wajah angkuh. Perempuan itu menunduk dan mengangguk sedih lalu berjalan meninggalkan ruangan itu.

Kedua!

“Berapa umurmu Ahjumma? Tanya Kris tak yakin. Perempuan di depannya ini sangat bersemangat. Tapi Kris sendiri merasa takut saat melihat Ahjumma itu mengedipkan sebelah matanya. Oh Tuhan! Ia sedang tidak mencari pasangan! Ia mencari pengasuh!

“Empat puluh tahun. Belum menikah.” Lanjut Ahjumma itu dengan lantang. Kris bergidik geli dan menatap Pak Lee yang sedang menahan tawanya. Kris menggeleng dan lagi-lagi menggerakan tangannya ke arah pintu keluar.

“Maaf. Sepertinya lebih baik aku mencari pangasuh yang sudah berkeluarga atau semacamnya.” Kata Kris. Ahjumma genit itu kelihatan kecewa dan segera berjalan keluar. Belum sempat calon pengasuh berikutnya di panggil ponsel Kris berbunyi. Ia menatap layar ponselnya dan menghembuskan napas lega ketika Zhang Yi Xing sahabatnya mengatakan ia dan teman-temannya tak jadi datang karena ada urusan mendadak. Baguslah. Kris tak ingin menjadi bahan ejekan selama satu tahun penuh.

Kali ini Kris segera menggelengkan kepalanya karena yang ia lihat adalah seorang nenek tua. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nenek itu mengasuhnya. Tidak. Lebih baik ibunya yang melakukan itu.

Astaga kali ini laki-laki? Kalian pasti tahu bukan apa yang akan Kris katakan? Tidak! Ia tak ingin di asuh oleh laki-laki! Apalagi laki-laki itu sangat lemah gemulai. Ia takut laki-laki itu akan membahayakan dirinya. Mulai fisik maupun mental dan batinnya.

Kelima! Mungkin ini yang terburuk!

Seorang perempuan berjalan ke hadapan Kris. Dengan dress super pendek tanpa lengan berwarna merah dan high heels senada yang cocok di kenakan perempuan berambut pendek itu. Kris meneguk ludahnya sendiri. Gila. Ia tak mungkin memiliki pengasuh seperti itu. Namun belum sempat Kris mengucapkan sesuatu, perempuan itu sudah duduk tepat di pangkuannya dan menghalangi kata-kata yang akan keluar dari mulut Kris dengan meletakan jarinya pada mulut Kris.

“Emmm… Mungkin selain pengasuh aku juga bisa memberikan lebih?” Tanya perempuan itu dengan wajah yang…Kris segera menggelengkan kepalanya dan bergidik ngeri lalu mendorong tubuh perempuan itu menjauh.

“Aku mencari pengasuh yang baik. Maaf menyinggung.” Kata Kris masih dengan nada jijik. Ia membersihkan pakaiannya sendiri atau apapun yang sempat tersentuh oleh perempuan itu. Kris menyuruh perempuan itu keluar dan dengan frustasi, Kris menundukan kepala dan mengacak-acak rambutnya kesal.

Masih banyak pengasuh yang harus ia pilih. Bahkan antriannya sangat panjang dan terus bertambah. Tapi tak ada satupun yang benar dan normal disini!

~***~

Rae Woo menghentikan laju larinya ketika ia merasa kedua kakinya sudah keram dan jantung kecilnya itu sudah tidak sanggup memompa darah dengan keadaan terburu-buru yang di salurkan Rae Woo dengan terus berlari dari kampusnya sampai kemari (Sebenarnya tidak sepenuhnya berlari, Rae Woo sempat menaiki bus hanya saja sebagian perjalanan tanpa kendaraannya ia habiskan dengan berlari.)

Tangan putih Rae Woo ia gerakkan masuk ke dalam tas punggung lusuhnya dan meraba-raba dengan maksud mencari sebuah kertas.

Aha!

Rae Woo merasakan benda itu dan menariknya keluar. Sekali lihat, Rae Woo segera mencocokkan alamat pada kertas itu dengan daerah sekitarnya. Mata Rae Woo ia alihkan ke depan dan mendapati gerbang megah yang dijaga ketat oleh beberapa Bodyguard, tanpa pikir panjang Rae Woo segera menjajakan kakinya memasuki gerbang besar itu, melintasi jalan yang cukup besar dengan pohon-pohon teratur berbagai bentuk di sampingnya. Tak perlu ragu lagi Rae Woo pasti yakin bahwa jalan besar yang cukup jauh ini akan membawanya pada tempat tujuan di selebaran itu.

Baru berjalan sejauh empat ratus meter, Rae Woo sudah melihat antrian yang sangat panjang dan tak tahu di mana ujungnya.

“Astaga! Panjang sekali! Bagaimana mungkin nanti aku akan diterima dengan kondisi pendaftar sebanyak ini?” Ucapan Rae Woo yang cukup lantang membuat seorang laki-laki paruh baya di depannya menoleh ke belakang dan tersenyum.

“Tenang Nona, sudah banyak pendaftar lain yang ku lihat berjalan dengan lesu keluar dari tempat ini. Berarti seleksi yang di lakukan cukup ketat dan kita mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.”

Suara paman yang membuat Rae Woo lebih tenang itu membawa senyuman ramah dari Rae Woo. Mereka berdua terlihat mengobrol bersama sedikit dan berbagi cerita juga alasan mereka mendaftar.

Tak lama ketika mereka menghabiskan menit berikutnya dengan mengobrol dan sesekali maju beberapa langkah mengikuti antrian, seorang perempuan bertubuh cukup besar bernama Shin Young yang menjadi pelayan di tempat itu lewat di hadapan Rae Woo dan menyampaikan sesuatu pada Bodyguard di belakangnya dengan lantang.

“Kunci gerbang ini dan jangan biarkan siapapun masuk lagi untuk mendaftar! Kita harus menekan peserta sehingga memudahkan dalam pemillihan!”

Rae Woo meneguk ludahnya ngeri mendengar kata-kata Shin Young yang sangat serius. Beruntung ia datang pada waktu yang tepat dan menjadi peserta terakhir. Tapi Rae Woo bisa merasakan kesabarannya diuji ketat karena antrian di depannya masih harus menunggu untuk usai.

~***~

 Sudah pukul berapa ini? Matahari tak terlihat lagi dan langit sudah berubah menjadi hitam kelam seperti suasana hati Kris. Ratusan lebih orang-orang aneh yang Kris hadapi setiap menitnya namun tak ada satupun yang sesuai dengan apa yang ia harapkan walau Kris tahu bahwa sebenarnya apa yang ia harapkan itu tidak ia inginkan. Siapa yang ingin mempunyai pengasuh di usia 22 tahun? Memalukan.

“Tuan Muda. Ini adalah pendaftar terakhir kita. Kami harap anda bisa mempertimbangkannya. Kami mohon.” Pak Lee membisikan kalimat itu pada telinga Kris yang hanya ia tanggapi dengan anggukan tak acuh.

Sementara itu, Rae Woo sedang ternganga lebar di depan rumah megah yang ia tapaki kini. Mengagumi setiap arsiterktur rumah itu dan membayangkan dirinya tinggal di sini. Beberapa orang membawa Rae Woo masuk ke dalam rumah dan berjalan sedikit lagi hingga Rae Woo menemukan sesuatu.

Kini ia sampai pada sebuah tempat seperti ruang tamu yang di tata sedemikian rupa seperti di kastil dongeng. Mata Rae Woo belum sempat melihat apapun lagi selain penataan ruangan itu yang sedikit di dominasi dengan warna emas dan putih.

“APA?” Teriakan seseorang yang takasing di telinganya membuat Rae Woo tertegun dan baru menatap ke depan. Melihat laki-laki tertampan yang pernah ia temui kemarin kini sedang terduduk jelas pada sebuah sofa empuk di depannya. Memandang Rae Woo dengan tatapan kesal dan dingin.

“Kau?” Hanya kata itu yang berhasil dilontarkan Rae Woo. Ia menggeleng dengan tak percaya dan memejamkan mata sebentar mencoba memastikan apa dia sedang bermimpi.

“Mau apa kau kesini? Dasar gadis tak waras.” Kris segera mengeluarkan kata-kata menusuknya itu yang sudah biasa bagi Pak Lee dan pelayan-pelayan lain.

“Aku ingin mendaftar jadi pengasuh. Lalu kenapa kau di sini? Dengar ya kau belum meminta maaf padaku!” Rae Woo membalas perkataan Kris lagi tanpa takut dan menjadi tontonan langsung bagi para pelayan juga Pak Lee.

“Pengasuh? Maaf tidak jadi. Kau bisa pergi dan aku tak akan pernah mengucapkan kata maaf jika aku tak melakukan apapun padamu. Justru kau yang harus minta maaf!”

“Enak saja! Kau jelas-jelas tak bisa berkendara dengan baik ya Tuan! Aku heran kenapa kau membutuhkan pengasuh? Memang siapa yang masu di asuh? Anakmu? Sungguh kasihan ia mempunyai Ayah sepertimu!”

“YAK! Kau!”

Pak Lee yang merasakan hawa sengit di antara dua manusia ini segera menengahi hal itu dan berjalan mendekat kepada Kris.

“Tuan. Anda tak bisa menolak pendaftar kali ini. Seperti yang sudah saya katakan dia adalah orang terakhir. Jadi anda harus menerimanya.”

Hari ini sungguh menyebalkan. Dalam hidupnya, Kris adalah orang yang sangat dingin, berlindung di balik karisma dan wajah cool  yang di puja-puja setiap wanita. Tapi sekarang, image yang ia bangun sejak dulu itu hancur sudah dengan pertengkaran pertama kalinya bersama seorang gadis.

“Tidak. Kalian bisa mengusahakan untuk membuka pendaftaran di lain hari! Pokoknya aku tak mau menerima gadis ini!”

Rae Woo mengerutkan dahinya sebentar dan menatap marah wajah Kris. Ia sudah mengantri sangat panjang sejak sore hingga sekarang dan dengan seenak mulutnya saja ia bisa dianggap gugur? Sungguh ia baru menyadari sesulit ini menjadi seorang pengasuh. Rasanya ia seperti sedang mengalami audisi acara menyanyi!

“Tunggu. Aku sudah mengantri dari tadi untuk mendapatkan pekerjaan ini dan sekarang kau mengusirku? Yak! Apa hakmu! Lagipula kau ini siapa? Sehingga bisa menentukan aku pantas bekerja atau tidak? Lebih baik kau keluarkan anakmu dan biarkan ia melihatku! Siapa tahu ia suka denganku?” Mulut Rae Woo sudah mengeluarkan bisanya dan tentu saja kata-kata itu menohok Kris. Penghinaan.

“Maaf Nona, tapi tak ada anak kecil yang akan anda asuh di sini. Anda sudah membaca selebarannya bukan?” Pak Lee bertanya dengan sopan. Rae Woo mengangguk.

“Tuan muda kami ini yang akan anda asuh Nona.”

Dua.

Dan…

Detik berikutnya Rae Woo hanya bisa membungkukan tubuhnya dan sebuah suara tawa kemenangan terdengar dari sana. Astaga! Pria sebesar ia masih membutuhkan pengasuh? Jangan bercanda! Rae Woo sungguh tak habis pikir.

“Lihat kan? Ia bahkan tak berkompeten untuk menjadi seorang pengasuh. Batalkan.” Kris segera berdiri karena merasa terhina dan hendak melangkah menuju tangga sebelum suara Shin Young terdengar.

“Nona. Selamat. Anda akan menjadi pengasuh Tuan Muda mulai besok.” Shin Young menjabat tangan Rae Woo ketika gadis itu berhasil menghentikan tawanya.

Ahjumma apa hak mu?” Tanya Kris tak percaya.

“MaafTuan. Anda tak bisa menolaknya.” Shin Young tersenyum dan menarik Rae Woo mendekat kepada Kris.

“Mulai besok anda akan mendapatkan pengasuh baru Tuan.”

Rae Woo hanya dapat membuka mulutnya lebar tak percaya namun dengan cepat ia bersikap normal dan berdeham. Demi ibunya ia akan melakukan apapun.

“Perkenalkan. Namaku Jung Rae Woo, usiaku 22 tahun, dan aku akan menjadi pengasuhmu mulai besok.” Rae Woo menjulurkan tangannya hendak menjabat tangan Kris tetapi dengan cepat Kris segera membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah lain. Meninggalkan Rae Woo, Shin Young dan Pak Lee di sana.

“Selamat Nona. Besok kami menunggu anda pukul enam pagi di rumah ini dan akan menjelaskan semua hal yang perlu anda ketahui. Semoga anda di berkati.” Kata Pak Lee yang kemudian menjabat tangan Rae Woo.

–To Be Continued–

Author’s Note: Hola! This is me! Dreamcreampiggy! Ini adalah FF Chapter keduaku setelah “Saranghaeyo Ahjussi” yang Thanks God ternyata lumayan banyak peminatnyadan akhirnya tamat. Ngomong-ngomong cerita itu, Terima Kasih untuk siapapun yang sudah baca dan comment, like atau tetap menjadi Silent Readers. Btw, FF ini masih dengan Kris yang sebagai Author aku merasa belum puas menggali wataknya yang un-pre-dict-able. Maksudku Kris itu bisa jadi apapun kan? Bad Boy, Orang yang bijak dan banyak lagi… Jadi mudah-mudahan di FF ini semua yang baca akan suka, banyak yang comment dan RCL! Tolong ya T.T Huhuhu~ Thanks for reading guys and let your soul shouted their voice by fill the comment box below~ Kalian kan masih harus tahu banyak lagi tentang latar belakang Kris dan semua hal tentang cerita ini jadi jangan bosan nunggu kelanjutannya ya^^

Oiya please kindly check my blog! Imagine Piggy! Just Click here.

*Psss, aku belum akan lanjutin part berikutnya kalau aku belum lihat minimal sepuluh comment… Gimana? Hahaha ditunggu ya~

-XOXO Dreamcreampiggy-


“Love Care”– Chapter 2

$
0
0

--love care--

Chapter 2:

Under Pressure

Love Care Cover 2 Picture

 

Summary:

Siapa bilang pria berusia 22 tahun tidak memerlukan pengasuh? Wu Yi Fan, pria tampan, kaya raya, egois, pendiam, sombong dan segala hal menyebalkan itu sangat membutuhkannya. Dan setelah berhasil mendapatkan seorang pengasuh baru, Wu Yi Fan akan berusaha membuat pengasuhnya itu pergi dan jera untuk mengurusnya.

Tapi, benarkah Rae Woo akan kalah dan pergi begitu saja?

Atau jangan-jangan sesuatu akan terjadi di antara mereka?

Author: Dreamcreampiggy || Length: Chapter || Genre: Romance, Familiy, Drama, Little bit Comedy, AU || Rating: Teen, Parents Strongly Cautioned-13, || Cast: Wu Yi Fan/Kevin Li/Kris (EXO-M)|Jung Rae Woo (OC)|Kim Joon Myun/Suho (EXO-K)|Oh Se Hun/Sehun (EXO-K)|EXO Members|And another Cast.

Disclaimer:

Casts are belongs to God, their self, and their parents, except Original Character. They are fake cast made by myself as a Writer. Stories are mine. NO ONE allowed to PLAGIARIZE, copy-paste, translate, edit, and change half or this entire story without my permission.

~***~

I’m in pressure.

Hal pertama yang akan dipaparkan dalam bagian ini adalah sebuah penjelasan. Kalian pasti belum mengetahui sesuatu yang penting dalam cerita ini kan? Tapi tak perlu berkecil hati, bukan hanya kalian yang belum mengetahuinya. Buktinya kini seorang gadis dengan rambut yang ia ikat berantakan bernama Jung Rae Woo sedang fokus menancapkan tatapannya pada layar laptop usang di hadapannya. Berselancar di internet dengan biaya terakhir kartu internetnya dan berusaha mengorek informasi paling faktual dan aktual yang ada tentang tempat ia bekerja kini yaitu rumah keluarga pemilik “Lionof  World Wide Corporation” sebagai pengasuh di sana.

Rae Woo mengetikkan keyword itu pada sebuah kotak transparan di situs Google dan mulai mencari setiap berita di sana.

Ia menggerakan kursornya ke sebuah alamat situs dan menunggu hingga internetnya sudah terproses secara sempurna dan membaca beberapa fakta.

Mari kita rangkum semua fakta tentang perusahaan Lionof  yang berhasil ia kumpulkan.

Yang paling awal adalah fakta bahwa perusahaan itu sangat pantas menyandang nama World Wide dengan jaringan perusahaan dan usaha di hampir seluruh negara besar di dunia. Namun yang paling menonjol adalah Cina, Korea Selatan, Amerika, dan Dubai. Lionof  yang pertama kali dirintis pada sebuah negara dengan julukan tirai bambu atau Cina itu menguasai hampir setengah dari sistem perdagangan gadget  dan sudah di angkat menjadi perusahaan terpenting yang menjadi penggerak utama perekonomian Cina.

Selain di Cina, Lionof  juga cukup aktif dalam menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan tas, baju, alat rumah tangga, makanan ringan atau cepat saji bermerek dunia. Di Korea Selatan sendiri, perusahaan ini lebih banyak bergerak pada bidang otomotif, perhotelan dan yang terakhir hiburan masyarakat seperti stasiun TV kabel ternama. Bahkan di Dubai perusahaan ini tak mau ketinggalan andil dalam kerja sama pertambangan minyak beserta pengembangan mall  terbesar di dunia itu.

Tidak hanya di Asia, Lionof  juga mengibarkan sayap ke Amerika sebagai sponsor tahunan terbesar NBA dan mempunyai merek sendiri bagi alat-alat olahraga yang terjamin mutu dan kualitasnya. Sesekali mereka juga ikut dalam membangun usaha penerbitan majalah ataupun buku.

“Wow…” Rae Woo benar-benar tak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Semuanya terlalu sempurna dan bisa dibilang tidak masuk akal. Berapa banyak pemasukan yang perusahaan itu dapatkan perhari? Suduh cukup Rae Woo mengagumi perusahaan itu. Kini ia beralih pada hal yang lebih pribadi. Kehidupan Keluarga.

Rae Woo mulai mencari informasi tentang anak dari pemilik perusahaan itu yang kini harus diasuhnya. Wu Yi Fan, alias Kevin Li, atau biasa dipanggil dengan Kris. Rae Woo sempat pusing dengan nama yang begitu banyak. Tetapi yang ia ingin ketahui hanyalah kepribadian orang itu.

Pertama-tama ia hanya mengetahui kesempurnaan seorang Wu Yi Fan dari fisiknya. Maka dari itu Rae Woo sempat menemukan banyak majalah ternama yang mewawancarainya juga berbagai merek fashion seperti Elle, Burberry Gingham, Zara, Dolce & Gabbana, bahkan Gucci menjadikan Wu Yi Fan sebagai icon brand mereka.

Foto-foto yang menjadikan Wu Yi Fan modelnya memang sangat fantastis. Menghipnotis setiap wanita sehingga tidak bisa berhenti memandangi gambar itu dan membuat iri banyak kaum pria sehingga mereka ingin membeli apa yang dipakainya. Beberapa foto Wu Yi Fan juga ada yang membuat Rae Woo ternganga dan tak bisa bernapas karena tubuhnya yang shirtless dan sangat proporsionalbanyak tersebar di internet dan menjadi sampul depan majalah. Beberapa ada yang menunjukan tato-nya dan itu terlihat sangat keren bagi Rae Woo. Padahal Rae Woo biasanya membenci laki-laki bertato. Singkatnya, mungkin pria ini memang cocok menjadi model. Tubuh tinggi, tegap, tampan, berkulit putih dan hampir sempurna itu sangat sayang jika tidak digunakan dengan baik.

“Ya Tuhan… Aku tak menyangka bisa bekerja dengan orang sebesar ini!” Gerutu Rae Woo yang kemudian menjambak rambutnya sendiri dan membenturkan kepalanya ke meja.

Setelah mengusap dahinya yang sedikit sakit, Rae Woo dengan cepat segera mematikan laptopnya dan bergegas pergi ketika menyadari sudah pukul enam pagi dan seharusnya ia sudah tiba di rumah majikannya.

~***~

Rae Woo mengira bahwa dirinya akan habis diceramahi juga diberikan teguran oleh Pak Lee di hari pertamanya. Namun, ternyata tidak terjadi karena tuan muda yang harus dia asuh pun belum bangun hari itu, maka Rae Woo hanya menghabiskan waktunya untuk mendengarkan berbagai hal yang harus ia lakukan dan bagaimana kebiasaan tuan mudanya yang masih kekanakan.

Rae Woo melangkah ke atas lewat tangga memutar yang pernah ia lihat dinaiki oleh Kris kemarin. Rae Woo yang berpakaian seadanya dengan kaus putih lusuh berlapis cardigan hijau lumut dan jeans memutuskan untuk berhenti di depan lorong lantai tiga dimana kamar Kris terletak. Mungkin karena tak terbiasa menaiki tangga terlalu banyak, Rae Woo sempat merasakan pernapasannya hampir habis dan keringatnya bercucuran.

“Sepertinya aku harus merapikan penampilanku dulu.” Rae Woo menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Matanya menatap setiap inci lorong yang luas itu dan menemukan kaca yang berada di ujung sana. Rae Woo berlari kencang dan tak mengetahui suara langkahnya yang menggema ke seluruh lantai tiga. Setelah merapikan sebentar penampilannya, kini Rae Woo siap untuk memasuki kamar Kris dan membangunkan laki-laki itu.

Entah dorongan apa yang membuat Rae Woo jadi semangat seperti ini. Apakah mungkin tentang tawaran Pak Lee yang mengatakan bahwa ia akan memberikan Rae Woo gaji pertamanya hari ini jika ia bekerja dengan baik? Rae Woo sendiri belum yakin namun sebelum memikirkannya terlalu lama, ia akhirnya memasuki kamar Kris yang memiliki pintu paling besar. Bayangkan saja kamar itu memiliki dua daun pintu seperti ruangan istana. Rae Woo menggenggam kedua gagang pintu yang dingin karena terbuat dari batu marmer dan berusaha mendorongnya ke dalam.

“Urggghhh! Kenapa susah?” Dahi Rae Woo berkerut ketika mendapati pintu itu tak bergerak sama sekali.

Apa dia mengunci pintunya?

Rae Woo akhirnya tersenyum licik dan menepuk kantung belakang celananya dan mendengar suara gemerincing kunci yang saling beradu. Baru beberapa menit yang lalu sebelum Rae Woo tiba di lantai ini, Shin Young memberikannya serenceng kunci yang dapat Rae Woo gunakkan jika ia kesusahan. Walaupun Shin Youg pernah mengingatkan bahwa Rae Woo tetap tidak boleh seenaknya membuka pintu apalagi kamar Kris, namun sepertinya gadis itu tak menghiraukkan lagi kata-kata Shin Young. Menurutnya lebih susah lagi jika ia mengetuk pintu dan menunggu. Maka dengan sigap Rae Woo mengambil rencengan kunci dari saku belakangnya dan memilih kunci yang bertuliskan “Kamar Tuan Muda”. Rae Woo memasukkan kunci itu ke dalam lubang dan memutarnya beberapa kali hingga menimbulkan suara ‘klik’ yang enak didengar. Setelah memastikan bahwa pintu sudah terbuka, Rae Woo kembali mendorong gagang pintu kedalam dan wewangian khas memasuki indera penciumannya.

Bau maskulin yang menyegarkan menghinggapi indera penciuman Rae Woo dengan lembut. Mata Rae Woo pun tak habis-habisnya menatap seisi kamar yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Sungguh seperti kamar seorang pangeran. Berbeda dengan kamarnya yang hanya berbentuk segi empat dan memiliki benda-benda terbatas karena hampir seluruh bendanya Rae Woo jual untuk membeli obat bagi Ibunya.

Kini, setelah selesai memperhatikkan ruangan, Rae Woo berjalan melewati kamar yang memiliki ruang tengah sendiri itu dan memasuki sekat pembatas menuju ruangan lain. Sebuah tempat tidur yang megah dengan empat tiang yang memiliki kain penutup setiap sisinya membuat Rae Woo terkesima. Ia menyipitkan mata dan menyadari bahwa empat sisi tirai itu semuanya tertutup dan ia tak tahu apakah Kris berada di tempat tidurnya ataukah tidak.

Perlahan Rae Woo berjingkat mendekati tempat tidur dan menggeser tirai ke samping sedikit hingga hanya meninggalkan celah kecil untuknya agar bisa masuk. Baru saja Rae Woo memperhatikan bagian atas tempat tidur, dirinya buru-buru membekap mulut dengan tangannya dan menutup mata. Ia sungguh terkejut melihat Kris yang tertidur hanya menggunakan celana pendek. Aduh! Sungguh naas nasibnya! Walaupun ini bisa menjadi bonus baginya di hari pertama bekerja, tetap saja Rae Woo tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Jika diingat-ingat ini tetap bukan kali pertamanya melihat Kris bertelanjang dada jika kejadian tadi sebelum ia datang kemari terhitung. Ketika ia mencari informasi tentang Kris dan tidak sengaja menemukan photoshoot laki-laki itu tanpa memakai baju atasan.

Rae Woo berpikir sejenak dan menenangkan pikirannya. Ia baru menyadari bahwa harusnya ia bisa sedikit lebih tenang. Kris saja bisa dengan mudah berfoto seperti itu dan nyatanya akan lebih banyak orang yang melihatnya, jadi kenapa ia harus takut jika dirinya tertangkap basah membangunkan Kris pagi ini.

Rae Woo yang berdiri di bagian depan tempat tidur melangkah ke sisi samping masih dengan jingkatan kecil tanpa suara. Ia yang terlalu serius memperhatikan Kris dan bisa dibilang sudah terkesima tak menyadari ketika kakinya membentur sesuatu dan membuat suara dentingan botol kaca beberapa kali. Rae Woo segera menjatuhkan tubuhnya hingga berposisi telungkup. Bodoh! Sepertinya Kris sempat membuka matanya tadi samar-samar. Sungguh aneh. Rae Woo tak bisa melakukan apapun dan hanya terdiam dengan posisinya. Matanya sedikit membelalak ketika menemukan sumber suara berisik tadi. Ia cukup terkejut melihat tiga botol wine kosongyang sangat mahal karena tercetak jelas dengan tahun pembuatannya yang sepertinya lebih dari sepuluh tahun itu. Rae Woo mengira-ngira bahwa sepertinya Kris memiliki ketergantungan dengan alkohol. Semenjak mereka pertama kali bertemu pun Rae Woo bisa mencium bau alkohol menguar dari tubuh Kris saat ia mendekat di jalan raya.

Noona.” sepertinya Rae Woo hampir tersedak ketika mendengar suara Kris tadi. Apakah pria itu mengigau? Rasa penasaran Rae Woo yang sudah meluap-luap akhirnya tanpa sadar menggerakkan kakinya untuk berdiri dan melihat ke atas tempat tidur. Kris masih berada disana walupun sudah berganti posisi menjadi telentang. Laki-laki itu menggerakkan tangannya menyentuh wajahnya dan Rae Woo benar-benar membeku di tempat. Rasa ingin tahunya membuat ia tak lagi bersembunyi di samping tempat tidur.

Rae Woo memejamkan mata dan memutuskan untuk membangunkan Kris sekarang. Sepertinya percuma juga jika ia menunggu beberapa saat lagi karena ini sudah menjadi kewajibannya dan harus ia lakukan. Maka tanpa berlama-lama, Rae Woo segera membungkukan tubuhnya mendekat dan mencoba untuk mengeluarkan suara yang sedikit berwibawa. Bukannya terdengar cempreng seperti biasa.

“Tuan muda… Tuan muda?” Rae Woo kini mulai berani mengguncangkan tubuh Kris hingga membuat laki-laki itu menggeram. Ia mengusap lagi wajahnya dan menangkis tangan Rae Woo. Sepertinya laki-laki ini sering tidur larut jika dilihat dari kantung mata yang membekas.

Rae Woo mulai mencondongkan tubuhnya lebih mendekat lagi ketengah sambil tangan kanannya menjadi pertahanan kokoh di atas tempat tidur. Begitu juga kakinya yang ia usahakkan tertancap ke dalam karpet berbulu yang ada di sekeliling tempat tidur dengan benar. Rae Woo tak ingin jika ia jatuh ke atas tubuh Kris.

“Tuan muda? Anda harus bangun. Sarapan sudah siap.” Rae Woo lagi-lagi menggoyangkan tubuh Kris hingga laki-laki itu menggeram kesal. Kali ini justru laki-laki itu mendecak kesal dan merubah posisi menjadi telungkup. Tanduk sepertinya sudah muncul di kepala Rae Woo dan ia dengan kesal menghembuskan napas.

“Yak! Kris! Kevin Li! Wu Yi Fan!” Rae Woo kini tersentak. Ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh tepat ke atas tubuh Kris karena laki-laki itu benar-benar berbalik dan menarik Rae Woo ke bawah lalu memeluknya erat.

Jantung Rae Woo berdegup kencang kini. Ia tak bisa bergerak karena Kris memeluknya dengan sangat erat. Bahkan laki-laki itu mengusap punggungnya.

AAA! Ini pelecehan seksual namanya!

Rae Woo ingin sekali memukul laki-laki ini dan menendangnya sebelum sesuatu terucap dari bibir Kris.

“Su Jin noona…” Rae Woo mengerutkan dahinya ketika nama itu terucap jelas dari mulut Kris. Astaga! Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan laki-laki ini! Jelas sekali terlihat bahwa laki-laki yang mempunyai banyak nama itu mabuk berat setelah menghabiskan tiga botol anggur mahal. Rae Woo terdiam dan tiba-tiba bayangan Ayahnya berkelebat di dalam benaknya. Rae Woo benar-benar belum melihat Ayahnya lagi. Laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas ia dan Ibunya seperti menghilang begitu saja. Ia tahu Ayahnya bekerja di bar malam yang cukup mewah dan terkenal didatangi oleh kalangan atas di Seoul selama ini. Namun tidak ada sepeser pun uang yang Ayahnya berikan untuk Rae Woo.

Tanpa terasa mata Rae Woo berkaca-kaca dan ia segera menggelengkkan kepalanya kesal dan kembali sadar bahwa Kris masih memeluknya erat.

Rae Woo tak tahu apakah dengan melakukan ini dirinya akan dipecat begitu saja atau tidak tapi yang pasti Rae Woo ingin sekali cepat-cepat menyelesaikan hal menyebalkan ini dan mengerjakkan hal lain yang lebih berharga.

“Tuan muda! Bangun!” Rae Woo tanpa berpikir lebih panjang lagi segera mendaratkan pukulannya dengan keras di pipi Kris yang mulus. Beberapa detik kemudian laki-laki itu mulai membuka matanya dan membuat jantung Rae Woo justru berdegup lebih cepat lagi.

Perlahan namun pasti Kris mulai melihat cahaya dan sesuatu terasa hangat di dekatnya. Kris mulai memfokuskan penglihatannya dan mencoba untuk melihat benda apa yang ia peluk dan…

“WAAAAA!”

~***~

Shin Young dan Pak Lee sedang menunggu cemas di bawah tangga ruang tengah. Hampir setengah jam Rae Woo berada di atas sana dan belum ada satupun tanda bahwa gadis itu masih hidup. Yang mereka berdua dengar tadi hanyalah suara teriakan Kris yang benar-benar mengagetkan seisi rumah megah itu. Shin Young dan Pak Lee sempat berpikir apakah mungkin tuan mudanya melakukan sesuatu yang aneh pada Rae Woo atau sebaliknya, tapi yang kini mereka harapkan adalah semuanya dapat berjalan dengan baik.

Suara derap langkah dua orang yang terdengar beriringan dari atas membuat jantung Pak Lee dan Shin Young semakin tak karuan. Mereka menunggu dua orang itu turun dan ingin melihat rupa mereka berdua.

Tak berapa lama, Kris dengan wajah masamnya sudah terlihat di mata dua orang pelayannya dari bawah. Kris hanya mengenakkan kaus tanpa lengan dan celana yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Sedangkan itu, tepat di belakang Kris, Rae Woo sedang tersenyum penuh kemenangan dan mengacungkan dua jempolnya pada Pak Lee juga Shin Young yang sedang tertawa kecil.

Mereka berdua tak tahu apa yang dilakukan Rae Woo pada Kris hingga laki-laki itu bisa turun dengan waktu yang cepat. Sebelum Rae Woo bekerja di rumah itu, semua pelayan membutuhkan waktu hampir tiga jam untuk membangunkan Kris.

Kris memberikan tatapan mematikan pada Pak Lee dan Shin Young. Menyuruh dua orang itu berhenti tersenyum. Sepertinya Kris tahu bahwa dirinya sedang ditertawakan. Maka laki-laki itu segera berjalan dengan langkah lebar menuju ruangan yang berada di samping ruang makan. Kris membuka pintu ruangan itu dan masuk ke dalam sedangkan Rae Woo segera melanjutkan tugas berikutnya untuk menata sarapan bagi tuan muda asuhannya.

Langkah kaki yang terasa familiar sudah mendekat dan Rae Woo menggelengkan kepala tak percaya ketika melihat Kris membawa botol anggur.

“Aku tidak mau sarapan.” Kris meletakkan botol anggurnya ke atas meja makan panjang yang terbuat dari kayu kualitas terbaik dengan keras hingga meninggalkan suara yang membuat Rae Woo mengernyit.

“Setidaknya Anda meminum susu pagi ini dan menaruh kembali anggur itu.” Rae Woo mengambil anggur Kris dan memberikannya pada salah satu pelayan dari lima pelayan lain yang berbaris rapih di belakang meja makan.

“Apa hakmu?”

“Aku pengasuhmu.” Rae Woo membelalakan matanya dengan kesal dan menarik tangan Kris. Rae Woo mengambil segelas susu yang telah ia persiapkan dan menaruhnya di genggaman Kris. Senyuman Rae Woo membuat Kris sungguh ingin mencekiknya. Ia tak bisa percaya bahwa dengan mudah dirinya ditindas oleh pengasuk baru yang ia kira bisa ia kalahkan dan dibuat tidak nyaman dirumahnya sendiri.

“Aku tidak mau.” Kris mengerutkan dahi dan menaruh lagi gelas susu di meja.

“Tuan muda ingin meminum susu ini atau aku akan mencekoki semua ini ke dalam mulutmu beserta gelasnya?” Rae Woo yang tak pernah kehabisan akal memberikan eye smile yang memuakkan bagi Kris.

“Kau akan tahu rasa nanti!” Kris menggeram dan menyambar kasar gelas susu yang ada di hadapannya. Rae Woo hanya tertawa kecil dan berusaha menyembunyikan itu dengan menangkupkan tangannya di depan wajah. Ia tak menyangka bahwa pekerjaannya terasa sedikit lebih mudah dengan keberanian dan tekadnya yang sudah kuat. Ia tak tahu apakah pekerjaan ini bisa dibilang mengasyikan atau tidak namun kesehatan ibunya adalah prioritas paling penting bahkan melebihi kesehatannya sendiri. Selepas bekerja saja ia akan secepatnya pulang dan membeli obat lagi untuk ibunya. Untung saja hari ini ia tak memiliki jadwal kuliah.

Lamunan Rae Woo pecah begitu saja ketika ia mendengar suara gelas yang beradu dengan meja. Ternyata Kris sudah menenggak habis susu yang telah disediakan dan dengan angkuh berdiri dari kursi, merampas setangkup roti dan melangkah menuju kamarnya setelah memberikan tatapan yang penuh dengan kebencian pada Rae Woo.

~***~

Pekerjaan Rae Woo hari ini berakhir sangat cepat. Kris tidak terlalu banyak keluar dari kamarnya dan tak ada yang berkunjung. Pak Lee berpendapat bahwa hal ini cukup langka karena biasanya akan ada banyak teman Kris yang berkunjung. Walaupun masih ada beberapa pertengkaran antara Rae Woo dan Kris setelah kejadian pagi tadi, Rae Woo masih merasa kuat dan sanggup melanjutkan pekerjaan ini.

Ia hanya masih memikirkan banyak hal sehingga tak menyadari ketika bus yang ia tumpangi sudah berhenti di tempat tujuannya. Rae Woo segera berlari turun dari bus sambil membawa kantung berisi obat yang telah ia beli untuk ibunya. Janji Pak Lee untuk memberikan gaji di hari pertama telah ia tepati sehingga Rae Woo bisa bernapas lebih lega. Ia tak lagi merasa dadanya diikat dengan tali yang sangat kuat dan menyesakkan hingga membuatnya harus menangis setiap malam.

Rae Woo berjalan pelan dan menanjak untuk menuju rumahnya. Semakin lama ia berusaha untuk mempercepat langkah ketika ia merasa perasaannya sedikit aneh. Entah apakah ayahnya akan pulang hari ini atau menghilang seperti biasa. Ia tidak peduli.

Rumahnya sudah tampak di depan dan Rae Woo berhenti tepat di depan pagar coklat rumahnya. Ia segera mengeluarkan kunci dan terdiam ketika mengetahui pagar rumahnya tidak terkunci. Rae Woo sedikit panik dan berjalan secepat mungkin menuju pintu depan, namun ia segera menahan napasnya ketika melihat sepatu ayahnya di atas rak. Ia tanpa basa-basi lagi segera melepas sepatunya sendiri dan berlari kecil menuju kamar ibunya dengan hati yang penuh kegelisahan. Tangannya hanya berjarak beberapa inci dari pintu dan bersiap menggesernya kesamping sebelum pintu itu bergeser sendiri dan ayahnya yang sudah cukup lama menghilang muncul di hadapannya.

Hati Rae Woo remuk dan air mata bersiap keluar begitu saja. Tidak. Ia harus menahannya. Ia tak ingin ayahnya menganggap dirinya sebagai anak kecil. Kini ia sudah berumur 22 tahun dan bukan anak kecil lagi yang bisa menangis di mana saja. Kali ini ia akan membuktikan pada ayahnya bahwa ia sanggup menghadapi hidup sendiri tanpa bantuan laki-laki itu.

Mata Rae Woo bergerak dan melirik tangan kanan ayahnya yang menggenggam cukup banyak uang. Astaga! Itu uangnya dan ibunya!

Appa! Kembalikan uang itu,” Rae Woo tanpa pikir panjang segera menarik tangan ayahnya. Tapi ayahnya justru mendorong Rae Woo kesamping dan berjalan menuju pintu keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Apakah orang ini bisu? Atau kerongkongan ayahnya itu kini hanya bisa digunakan untuk menjadi jalan masuk alkohol saja kedalam lambungnya?

Appa!” Rae Woo kali ini berteriak lebih keras lagi. Wajahnya memerah dan ia sudah berlari menyusul ayahnya. Ia tidak peduli seberapa dinginnya udara malam di luar sana dan dengan berani melangkah dengan kaki telanjang. Pikirannya sudah kacau bahkan ia tak bisa mengingat untuk memakai sepatu lagi.

Appa! Aku membenci mu! Jangan pernah kembali lagi! Jangan pernah menampakkan wajahmu jika kau hanya ingin menghancurkan hidupku dan Eomma! Dan jangan pernah mengambil uang kami lagi!!!” Rae Woo berteriak sekuat tenaganya lebih keras lagi hingga air mata yang sedari tadi ia tahan kini tumpah begitu saja.

“Terserah apa katamu.” Hati Rae Woo sepertinya sudah tak berbentuk lagi. Hanya berupa serpihan kecil ketika ayahnya mengucapkan tiga kata hina itu dengan tatapan datar dan berjalan lurus pergi. Ia bahkan tak menoleh. Masih dengan uang gaji Rae Woo di tempat kerjanya yang terakhir bulan lalu.

Sungguh malang nasibnya. Ia benar-benar tak tahu harus bersandar dan menangis pada siapa. Ibunya terlalu tua dan sakit untuk bisa menghiburnya atau setidaknya memeluk sambil mengusap kepalanya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Tangis Rae Woo semakin membesar dan ia jatuh begitu saja. Tenggelam dalam perasaannya. Ia terduduk sambil memeluk kedua kakinya dan menguburkan wajahnya yang sangat menyedihkan. Jika Tuhan mendengar doanya saat ini, Rae Woo ingin sedikit saja bebannya menguap. Ia terlalu kecil dan rentan untuk menjalanai hidup serumit dan sekejam ini.

Noona!” Suara yang ia kenal membuat Rae Woo mendongak dan mendapati sepupunya Chanyeol berjalan cepat menujunya. Sepupunya itu sepertinya baru saja datang. Terlihat dari helm yang masih dikenakan dengan rapih.

“Ada apa?” Chanyeol segera membantu Rae Woo untuk berdiri dan memeluk sepupunya itu. Chanyeol adalah keponakan dari ibunya dan selalu menengok Rae Woo setidaknya tiga kali setiap minggu. Selain jarak rumah mereka yang tidak begitu jauh, Chanyeol juga sering merasa khawatir dan was-was terlebih lagi ia sudah kenal dengan tabiat ayah sepupunya ini.

Appa kem-kembali dan mengam-bil u-uang kami,” sambil terbata karena tangis Rae Woo berusaha untuk menjelaskan keadaan yang terjadi pada Chanyeol.

“Benarkah?” Rae Woo hanya mengangguk dan Chanyeol semakin mengeratkan pelukannya. Ia mengusap kepala Rae Woo dan menuntunnya menuju rumah.

“Tak perlu khawatir. Aku di sini. Noona bisa mengandalkanku kapan pun Noona mau.”

~***~

Kris duduk terdiam di bangku belakang mobil hitam mewahnya. Matanya menatap serius sebuah rumah. Di sana ia bisa melihat jelas seorang gadis berlari keluar mengejar seorang laki-laki paruh baya yang sangat mirip dengan sang gadis. Mereka tampak sedang bertengkar dan sang gadis tak berhenti berteriak. Tak lama ketika laki-laki paruh baya yang tampak masa bodo itu pergi, sang gadis jatuh terduduk dan menenggelamkan wajah di antara lututnya. Siapa lagi kalau bukan Jung Rae Woo.

Sedari tadi Kris telah mengikutinya karena rasa ingin tahu yang menyerangnya. Ia tak tahu bahwa hidup gadis ini cukup menyedihkan. Mungkin Kris tak tahu pasti hal apa yang terjadi, tapi ia bukan orang bodoh yang tak bisa menyimpulkan masalah dengan satu kali lihat.

Ia tadinya ingin menyuruh supirnya untuk mengantarkannya kembali lagi ke rumah saat itu juga sebelum laki-laki datang menghampiri Rae Woo dan memeluknya. Mata Kris semakin tajam mengamati. Ah, ternyata itu kekasihnya? Batin Kris sambil bersedekap. Kini dua orang itu sudah berjalan memasuki rumah dan keadaan menjadi sepi.

“Tuan muda, apa kita sudah bisa kembali? Pak Lee baru saja menelpon,” supirnya menoleh kebelakang dan menunggu jawaban Kris yang hanya berupa anggukan. Supirnya tidak lagi menunggu untuk menjalankan mobil sebelum Kris menyuruhnya berhenti.

“Stop! Sebentar.”

Ia penasaran sekali ketika Rae Woo dan laki-laki yang ia duga sebagai kekasihnya berlari keluar sambil menggendong seorang wanita. Kris tak bisa menerka-nerka siapa wanita itu. Yang jelas mereka tampak kesulitan dan berlari menuju rumah salah satu tetangga mereka dan tidak lama kemudian sebuah mobil sudah meluncur keluar dan berjalan menjauh.

“Kita pulang sekarang.” Kris segera memerintahkan supirnya dan mobilnya bergerak di jalanan yang sudah sepi kembali menuju rumahnya.

Sepanjang perjalanan Kris tak bisa berhenti memikirkan Rae Woo. Awalnya ia hanya ingin tahu dimana gadis itu tinggal dan sudah terkejut ketika melihat lingkungan ia tinggal. Tetapi ketika Kris menyaksikan sendiri bagaimana Rae Woo menghadapi laki-laki paruh baya yang pasti adalah ayahnya itu, Kris sedikit yakin bahwa hidupnya tidak sebahagia yang ia lihat terpancar dari wajah gadis itu.

“Mungkin hidupmu tidak sesuai dugaanku sebelumnya Jung Rae Woo. Tetapi bukan berarti aku dengan mudah mengasihanimu,” sambil bergumam Kris menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Ia tak akan pulang malam ini. Ia akan menelpon Pak Lee dan menyuruh sopirnya untuk mengemudikan mobil menuju klub malam tempat ia biasa menghabiskan waktu. Kepalanya penat sekali. Apalagi ketika ia melihat sebuah surat dialamatkan untuk ibunya datang ke rumah. Tidak biasanya itu terjadi. Biasanya ibunya hanya akan mengalamatkan segala surat menuju kantor. Dan ketika ia membuka surat yang datang dan ditinggalkan Pak Lee di meja ruang tengah, Kris mendapati emosinya naik begitu saja saat menemukan itu adalah surat cerai orang tuanya.

~***~

 “Yak! Baek! Kembalikan!” Rae Woo menyambar cepat ayamnya yang direbut begitu saja oleh Baekhyun. Ia tahu sebenarnya Baekhyun hanya ingin menggodanya, tetapi entah mengapa Rae Woo merasakan dirinya sedikit sensitive hari itu. Kemarin malam dokter menekankan bahwa ibunya harus dirawat bagaimanapun caranya. Dan kini Rae Woo harus kembali mengucapkan terima kasih dan maaf sebesar-besarnya pada orang tua Chanyeol yang rela membiayai perawatan ibunya. Rasanya Rae Woo ingin mati saja sekarang.

“Sudahlah tak perlu dipikirkan, kau kan masih punya aku dan Yeon Hee!” Baekhyun menggenggam tangan Rae Woo dan mengusapnya. Sahabatnya itu sangat perhatian dan selalu membantu dirinya.

Yeon Hee yang sedari tadi berdiam diri di sebelah Rae Woo menyenggol pundak temannya keras-keras hingga Rae Woo mengernyit sebal.

“Kau ini kenapa sih?” Rae Woo menggerutu sebelum matanya menangkap laki-laki paling tampan versinya melintas. Bahkan menurutnya Kris masih belum bisa menandingi ketampanan dan kebaikan laki-laki bagaikan malaikat ini. Kim Joon Myun, Hah, kenapa Rae Woo selalu gelisah tiap melihatnya? Rasanya ia menyesal tidak ke toilet dulu sebelumnya dan melihat penampilannya sendiri di kaca.

“Suho lagi, Suho lagi! Ia belum ada apa-apanya dibanding aku!” Baekhyun berdecak. Ia memang berteman cukup baik dengan Suho yang merupakan laki-laki paling pintar di fakultasnya. Bukan hanya pintar tapi laki-laki ini juga sangat sopan berbanding terbalik dengan Kris. Maka dari itu ia dipanggil Suho atau guardian karena setiap wanita percaya kebaikannya telah melindungi satu fakultas ini.

“Sudah makan ayamku saja! Ini!” Rae Woo menggeser piringnya ke depan wajah Baekhyun dan kembali memandangi Suho. Kapan mereka bisa berbicara lagi?

“Lihat! Sepertinya dia akan kemari!” Yeon Hee mengguncangkan lengan Rae Woo yang berada di atas meja dengan penuh semangat dan antusias hingga sepertinya lengan itu akan copot sebentar lagi.

Biasanya Rae Woo akan segera terbirit lari atau keringat pasti akan mengucur deras dari dahinya. Tapi kini sedikit berbeda. Apa yang ia rasakan justru sebuah keberanian yang menggebu-gebu. Rae Woo tak akan membuang kesempatan seperti ini lagi dalam sejarah hidupnya.

Annyeong ha-“ Rae Woo tersenyum begitu Suho sudah berada di sampingnya dan mengucapkan salam penuh keramahan sebelum suara ponselnya yang keras dan mengganggu menghancurkan suasana. Sial.

Rae Woo buru-buru membuka tas dan melihat sebuah nomor tidak dikenal menghubunginya. Tanpa rasa ingin tahu dari dalam dirinya, Rae Woo kembali memasukkan ponsel itu ke dalam tas sebelum benda menyebalkan itu berbunyi lagi.

“Ah, aku permisi dulu.” Mata Rae Woo bertatapan dengan Suho dan rasanya gadis itu ingin membunuh dirinya sendiri karena membuang kesempatan paling berharga ini.

Sambil berlari kecil Rae Woo melihat layar ponselnya yang kini sudah berhenti berbunyi dan menghubungi kembali nomor itu. Sejujurnya ia sedikit gelisah kalau-kalau itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan kondisi ibunya.

Yoboseyo-“

“Yak! Kenapa lama sekali? Kau tahu rasanya sudah seribu tahun aku menunggu agar kau mengangkat teleponmu? Kau sedang apa sih?” Rae Woo mengernyitkan dahinya. Jantungnya berdebar keras. Jangan-jangan laki-laki yang menghubunginya ini gila! Buktinya ia langsung mencecar Rae Woo. Padahal gadis itu baru mengucapkan salam.

“Maaf, Anda siapa ya?”

“Siapa? Kau masih ingin bekerja atau tidak sih di rumahku?”

Rae Woo sontak tertawa ketika menyadari panggilan itu dari Kris. Dasar bayi besar! Menyebalkan sekali sih orang ini! Ia membatin. Walaupun begitu tetap saja ia sulit memberhentikan tawanya. Bagaimana bisa ia tidak mengenali suara orang jahat ini dan justru mengira bahwa laki-laki yang menelponnya adalah orang gila.

Hey! Siapa yang menyuruhmu tertawa? Kau masih di sana atau tidak sih? Aku serius!”

“Hahahaha, iya aku masih di sini. Maaf ya, aku kira kau orang gila. Ternyata Tuan Bayi Besar!” Tawa Rae Woo kembali meledak dan beberapa orang sudah memperhatikannya sangsi.

“Apa kau bilang? Kau mau ku pecat ya?”

“Jangan! Oke oke, aku mendengarkan. Maaf ya. Memangnya ada apa sih? Lalu bagaimana kau bisa tahu nomor ponselku? Kita kan sudah memiliki perjanjian bahwa jam kerjaku hanya berlaku setelah kelas ku selesai.”

“Pak Lee yang memberikan nomormu padaku. Dan aku tidak peduli apakah ini adalah jam kerjamu atau tidak! Aku membutuhkanmu sekarang juga. Kau harus segera kesini! Akan ku kirimkan alamatnya melalui pesan. Cepat ya! Kalau tidak kau ku pecat!” Rae Woo belum sempat berkata apapun namun telepon itu sudah dimatikan.

URGH DASAR BAYI BESAR!” Rae Woo berteriak kesal lalu membalikan tubuhnya sambil mengumpat. Ia berjalan dengan wajah kusut sampai ia melihat Suho dan senyuman kembali mengembang di sana. Ia sungguh memuji kemampuan Suho yang dapat mengubah suasana hatinya begitu saja.

“Ada apa?” Baekhyun bertanya. Kini Suho sudah duduk di sebelahnya sambil memakan bulgogi yang ia pesan tadi. Rae Woo rasanya ingin menangis. Harusnya ia bisa makan bersama Suho saat ini. Bukannya pergi menemui si Bayi Besar itu!

“Ada urusan mendadak. Setelah ini sudah tidak ada kelas kan? Aku pergi dulu ya!” Rae Woo merapikan tasnya dan memberikan salam. Gadis itu hendak pergi sebelum Suho menghampirinya.

“Rae Woo-ssi, boleh aku memita nomor ponsel mu?” Tunggu, Suho meminta nomornya? Astaga! Ini bukan mimpi kan?

“Ah, tentu!” Rae Woo segera memberikan nomor ponselnya dan mengucapkan salam sekali lagi lalu berlari kecil menjauh sambil tersenyum senang. Yuhuuu! Ini bonus namanya! Ucap Rae Woo dalam hati sebelum ia kembali terdiam dan bertanya-tanya. Aku harus kemana ya?

~***~

“Menyebalkan! Ternyata si Bayi Besar itu juga belajar di universitas ini!” Rae Woo menghentakkan kakinya sebal sambil membayangkan dirinya mengikat Kris ditiang dan memukulinya. Rae Woo merasa dirinya jadi terancam. Ia lebih baik berjalan sepuluh kilometer untuk mencapai tempat si Bayi Besar itu daripada menerima kenyataan ini!

Pantas saja dia menyuruh Rae Woo pergi kesana secepatnya! Rupanya ia sudah tahu Rae Woo juga belajar di universitas ini. Untung saja mereka tidak satu fakultas.

“Masa aku harus setiap hari mengurusnya di mana saja? Menyebalkan! Untung saja Suho-ssi membuat hari ini lebih baik!” Di pikiran Rae Woo, hanya pesan dari Kris yang ia ingat. Bagaimana ia memberi tahu Rae Woo tempat keberadaannya dan meninggalkan beberapa baris kalimat yang menjengkelkan dibawahnya, “Kita satu universitas kan? Selamat menjalani rutinitas seperti ini ya!”

“Bisa-bisanya ia mengirimiku pesan mengejek seperti itu! Rutinitas? Ini siksaan namanya!” Sekali menggerutu Rae Woo tak bisa menghentikannya. Satu hal selain Suho yang bisa Rae Woo syukuri adalah bahwa pohon-pohon rindang di samping jalan setapak yang kini ia lalui melintasi kebun dan beberapa gedung-gedung universitasnya dapat menghalau sinar matahari yang terik.

“Gedung fakultasnya kan diujung sana! Dasar gila! Seharusnya aku menyuruh Baekhyun saja mengantarku dengan mobilnya agar cepat! Ah tidak! Jangan! Nanti Yeon Hee malah berduaan dengan Suho! Tidak boleh!”

TIN

“Rae Woo-ssi” Rae Woo sontak menoleh kebelakang dan…

“Suho-ssi! Bagaimana bisa di sini?” Tampak jelas Suho kini sudah menghentikan motor skuter putihnya dan melepas helmdengan warna senada yang tadinya ia kenakan.

“Ah, tadinya aku mau pulang juga, lalu saat melihatmu berjalan ke bagian dalam universitas, jadi kuikuti saja. Rae Woo-ssi butuh tumpangan tidak?” Ya Tuhan, rasanya Rae Woo bisa meleleh saat itu juga saat Suho menawarkan tumpangan untuknya. Tidak Rae Woo! Jangan seperti gadis gampangan! Kau harus menolak dulu lalu baru menerimanya ketika ia memaksa.

“Tidak usah Suho-ssi. Nanti merepotkan.”

“Tidak. Sungguh! Ayo naik!” Suho tersenyum dan Rae Woo tak dapat menolak lagi. Ia menaiki motor Suho dengan semburat merah yang tertera jelas di kedua pipinya.

“Pegangan yang erat ya!”

~***~

Gomawo Suho-ssi.” Rae Woo membungkukan tubuhnya begitu ia turun dari motor Suho. Tampak jelas wajahnya terlihat makin memerah.

“Kau ada urusan di sini Rae Woo-ssi? Apa perlu ku tunggu?”

“Ah jangan Suho-ssi. Tidak apa-apa.”

“Sungguh?”

“Ya.”

Setelah berbincang sebentar akhirnya mereka berdua mengucapkan salam perpisahan dan Rae Woo melangkah memasuki gedung. Ia mencari-cari kafetaria dan segera menemukannya. Dengan tergesa Rae Woo mencari keberadaan si Bayi Besar itu dan melihat Kris sedang duduk dengan dua temannya di meja besar paling pojok. Ia mudah sekali menemukan Kris walaupun laki-laki itu sedang menghadap ke arah sebaliknya jika melihat hanya ada sedikit orang di kafetaria itu. Meja yang diduduki Kris sangat berbeda dari meja-meja yang lain. Jangan-jangan itu khusus untuk dirinya dan teman-temannya. Rae Woo berdecak kesal.

Annyeong, maaf terlambat.” Rae Woo menyapa teman-teman Kris dengan ramah namun senyumannya segera hilang begitu ia melihat wajah Kris.

“Kau ini lama sekali sih? Aku sepertinya sudah membatu di sini dan-HAHAHAHAHA ada apa dengan wajahmu? Merah sekali! Kau habis memakan cabai satu kaleng ya?” Kris tertawa sangat kencang hingga satu kafetaria memperhatikannya. Rae Woo mendengus sebal. Ia melihat beberapa wanita sedang melihatnya dengan tatapan membunuh. Cih, jangan-jangan mereka fans si Bayi Besar ini.

“Sudah cepat katakan saja kau mau apa.”

Rae Woo mengeryit ketika melihat Kris tiba-tiba terdiam dan tidak menjawab. Laki-laki itu hanya bersedekap dan tidak lama kemudian temannya membuka suara. Ia terlebih dahulu mengatakan namanya adalah Zhang Yi Xing dan meminta agar dipanggil dengan sebutan Lay saja.

“Begini nona-“

“Rae Woo. Rae Woo saja.” Sela Rae Woo cepat.

“Baiklah Rae Woo, kebetulan sore ini kami bertiga dan beberapa teman akan berkumpul, jadi Kris menyuruh mu untuk membeli beberapa hal penting.” Rae Woo cukup menyukai Lay. Tidak seperti Kris yang sangat menyebalkan, sepertinya laki-laki ini lebih baik dan ramah.

“Ini daftar belanjanya.” Lay menyerahkan secarik kertas dengan tulisan tangan yang baginya sangat jelek. Lay dan temannya yang memiliki wajah sangat cantik, imut dan berambut coklat terang tertawa begitu melihat Rae Woo kesusahan membaca tulisan itu.

“Kau bisa membacanya?” Lay bertanya lagi dan Rae Woo menggeleng.

“Baiklah tidak apa-apa. Biar Luhan yang menyalinkan daftar ini untukmu. Maaf ya, tulisan Kris memang jelek.” Lay mengambil daftar itu lagi dan menyerahkannya pada temannya yang ternyata bernama Luhan. Kris sempat membelalakan matanya pada Lay begitu ia mendengar bahwa tulisannya jelek.

“Pantas saja.” Rae Woo bergumam dan Kris segera memperhatikannya dengan tatapan membunuh.

“Oh iya, setelah itu, belanjaan ini akan dibawa kemana? Dan pukul berapa harus ada di tempat?” Lay hendak berbicara lagi sebelum Kris sudah memotongnya.

“Pukul tiga sudah harus ada di alamat yang akan Luhan tuliskan untukmu.”

Rae Woo hanya menghembuskan napas kesal dan mengangguk.

“Ini dia daftarnya.” Luhan menyodorkan daftar itu dan Rae Woo tersenyum begitu mendapati tulisannya yang jelas. Namun matanya membesar dua kali lipat ketika melihat barang apa saja yang harus ia beli.

“Lima belas botol soju, lima bungkus cumi kering, enam porsi tteopokki, sepuluh botol air mineral, dan makanan ringan lainnya? Yak! Kalian gila? Aku harus membeli ini sendirian? Yak! Bayi Besar! Kau ini punya belas kasihan tidak sih?” Rae Woo menggebrak meja dengan penuh amarah dan bersedekap. Melihat raut wajah Kris yang tidak berubah sama sekali semakin membuat emosinya memuncak. Justru kini malah dua temannya yang tertawa kecil.

“Beli saja. Jika kau kesusahan hubungi supir ku.” Dengan isyarat matanya Kris menyuruh teman-temanya bangkit berdiri. Ia sendiri segera bergegas pergi meninggalkan Rae Woo yang masih bersedekap.

Ketika kawanan itu sudah menjauh Rae Woo menyadari bahwa ponselnya berbunyi. Ia mendapat pesan ternyata.

From: Bayi Besar

Aku menang kali ini.

“HAISH! Menyebalkan!” Rae Woo berjalan dengan lemas menuju pintu keluar sebelum ia menyadari sesuatu.

“Uang! Mereka belum memberiku uang! Sial!”

~***~

Rae Woo turun dari bus dengan tergesa dan rasa lelah yang masih menyelubunginya. Bayangkan saja ia sempat harus mengejar Kris karena laki-laki itu lupa memberikan uang padanya. Untung saja larinya sangat cepat. Jika memikirkan tentang larinya, Rae Woo baru sadar bahwa ia berada di daerah tempat ia pertama kali bertemu dengan Kris. Tepatnya jalanan ketika motor Kris melintasi genangan air dan mencimpratkan air kotor itu ke tubuhnya.

“Seharusnya aku tidak ke sini. Hanya mengingatkanku dengan Bayi Besar itu saja!” super market yang kini dimasuki dirinya juga adalah tempat dua hari lalu ia diejek oleh anak kecil tersebut. Sungguh banyak kejadian mengejutkan yang terjadi di hidupnya hanya dalam lima hari ternyata.

Begitu selesai berbelanja, Rae Woo segera membawa trolinya menuju kasir.

“Anda berbelanja untuk siapa? Banyak sekali.” Wanita di hadapannya yang bertugas sebagai kasir tersenyum ramah dan memindai belanjaan Rae Woo sambil melontarkan berbagai bahan pembicaraan ringan.

“Terima kasih. Silahkan datang kembali.” Wanita itu tersenyum ramah namun sedikit kasihan ketika melihat Rae Woo harus membawa satu kardus dan dua plastik besar. Jangan tanyakan seberapa berat beban yang harus Rae Woo bawa karena itu berarti kalian siap menjadi bulan-bulanan gadis yang sudah terbakar amarah itu. Rae Woo keluar dari super market dan berjalan sedikit menuju halte bus untuk mencari tempat duduk di sana. Kebetulan sekali halte bus itu sedang kosong sehingga tersisa banyak tempat untuk Rae Woo dan barang belanjaannya.

Pukul dua. Satu jam tersisa dari waktu yang Kris tentukan dan Rae Woo hanya mendesah pelan. Ia bersumpah tak akan mau disuruh lagi oleh Bayi Besar itu setelah ini karena ia harus menjenguk ibunya.

“Sepertinya aku tak akan bisa membawa ini sendiri. Lebih baik aku menelpon supir si Bayi Besar itu.” Rae Woo mengeluarkan ponselnya dan menelpon Pak Lee untuk membantunya. Setelah memberikan letak posisinya dengan akurat, Rae Woo segera berterima kasih dan menutup telepon. Kurang lebih dua bus telah melewatinya dan Rae Woo masih berada di sana. Ia sedikit panik ketika kurang lebih hampir setengah jam ia menunggu. Namun ketika ia berpikir waktu masih akan berjalan dengan lambat, sebuah mobil hitam dan kelihatan sangat mewah berhenti tepat di depannya.

Pintu sisi pengemudi terbuka dan laki-laki berpakaian rapi segera berlari menujunya lalu mengambil kardus beserta barang belanjaan Rae Woo untuk diletakkan di bagasi. Rae Woo mengucapkan salam yang dibalas dengan ramah dan membuka pintu mobil. Ia sudah memasuki mobil dan hendak menutup pintu sebelum sebuah tangan terlihat menahan pintunya dan wajah yang tidak asing terlihat.

Noona! Kembalikan bubble tea milikku.”

ASTAGA! ANAK INI KAN…

–To Be Continued–

Author’s Note: Chapter 2! Semoga suka ya ^^ Aku banyak banget ambil kritik dan saran dari kalian terus coba buat FF ini lebih baik lagi! Maaf juga karena gak bisa balas comment kalian satu-persatu~ Tapi selalu aku baca kok! Jangan lupa leave comment sama kasih like-nya :) Kalau comment sedikit gak lanjut ah~ HAHAHA ><

Oiya visit blog pribadiku juga ya, aku suka post chapter berikutnya lebih cepat di sana kadang… Jadi stay tune di blog-ku juga ya :D Imagine Piggy

-XOXO, Dreamcreampiggy


Nice Guy (Chapter 1)

$
0
0

wpid-photogrid_1406974984575

Nice Guy

Tittle : Nice Guy (Chapter 1)
Author : Jellokey
Main Cast :
Lu Han (Lu Han of EXO)
Choi Ji-seul (OC)
Byun Baek-hyun (Baekhyun of EXO)
Support Cast :
Kim Jong In (Kai of EXO)
Oh Sehoon (Se Hun of EXO)
Kang Jeo Rin(OC)
Shin Min Young(OC)
Cho Yeon-sa (OC)
EXO members
Length : Chaptered
Genre : Romance, School Life, Family, Friendship
Rating : PG-17
Disclaimer : This story is pure mine. Don’t plagiat and copy paste.

 

“Kita putus.” Seorang gadis merasa waktu berhenti saat dua kata itu keluar dari mulut kekasihnya. Suasana kafe yang ramai menjadi hening untuknya. Ia menatap kosong pria yang duduk di hadapannya. Dia tidak percaya. Ini seperti mimpi. Tidak. Dia bahkan takut memimpikan itu. Dia sangat menyukai pria yang berstatus sebagai kekasihnya selama empat tahun ini.
“Ji Seul,” Pria itu bersuara.
“Apa?” Ji Seul tersadar. Ini bukan mimpi. Pria berambut pirang itu kembali bersuara.
“Aku mau kita putus.”
“Kris..” Bukan putus yang ingin Jiseul dengar saat pria itu kembali. Jiseul tidak merasa ada yang salah dengan hubungan mereka. Semua baik-baik saja. Mereka tetap berkomunikasi selama Kris melanjutkan studinya di Kanada.
“Aku tidak menyukaimu lagi.” Ucap pria yang tiga tahun lebih tua dari Jiseul.
“Oppa,” Kris menatap Jiseul tajam. Ia tidak suka dipanggil dengan oppa. Terdengar menjijikkan di telinganya. Kecuali untuk wanita itu.
“Aku tidak mau putus!” Suara kuat Jiseul menarik perhatian pengunjung kafe.
“Pelankan suaramu,” Kris menggeram.
“Op, Kris, aku tidak mau putus.” Mata Jiseul berkaca-kaca.
“Jiseul, maafkan aku. Aku sudah menganggap hubungan kita berakhir sejak aku tinggal di Kanada selama tiga bulan.” Ada penyesalan di nada suara Kris.
“Aku menemukan wanita yang kucintai di sana. Aku akan menikahinya.” Sambung Kris. Air mata Jiseul mengalir. Apa selama ini Kris selingkuh?
“Maafkan aku.” Kris beranjak dari duduknya.
“Oppa,” Lirih Jiseul. Dia tidak mau berpisah dengan pria itu.
“Oppa!” Jiseul mengejar Kris sebelum pria itu keluar dari cafe.
“Kris Wu!” Jiseul menggenggam pergelangan tangan Kris, membuat Kris berhenti.
“Kau tidak boleh memutuskanku!” Teriak Jiseul. Mereka benar-benar diperhatikan sekarang. Para pengunjung kafe seperti menonton drama.
“Lepas, Jiseul.” Suara Kris datar. Sikap Jiseul membuatnya malu. Kris selalu terlihat cool di manapun ia berada.
“Aku tidak mau putus! Aku tidak mau! Aku mencintaimu, Kris.” Kris terhenyak. Ia menatap Jiseul dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aku tidak mencintaimu, Jiseul. Maaf.” Kris melepas genggaman tangan Jiseul. Jiseul menundukkan kepalanya. Hubungannya dengan Kris berakhir. Sebenarnya Kris tidak sanggup melihat Jiseul menangis. Bagaimanapun ia pernah bersama gadis itu walaupun sebentar. Hubungan jarak jauh membuat perasaan Kris pada Jiseul hilang. Ia berharap Jiseul menemukan pria yang lebih baik darinya.

—————

Choi Jiseul berjalan pelan di trotoar. Dia belum berniat pulang. Gadis berusia tujuh belas tahun itu masih belum percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya hari ini. Choi Jiseul diputuskan kekasihnya di kafe, tempat Kris menyatakan perasaannya. Jiseul menghela nafas. Kenapa dia tidak rela diputuskan Kris? Jelas-jelas pria itu selingkuh. Seharusnya ia memukul Kris tadi bukan mengemis, meminta Kris untuk tidak memutuskannya. Bagaimana aku melupakan Kris? Batin Jiseul. Ia melihat tempat di mana kakinya berhenti. Tempat yang serba hijau. Taman kota. Mungkin Jiseul bisa menenangkan dirinya di sini. Jiseul berjalan menuju bangku taman dan duduk di sana.
“Kris,” Ucap Jiseul pelan. Apa dia sanggup menghapus Kris dari hidupnya? Senior yang sangat ia sukai? Ditambah Kris adalah kekasih pertamanya. Benar kata orang-orang. Perasaan bisa berubah. Baiklah. Kau mengkhianatiku, Kris. Aku harus melupakanmu. Batin Jiseul semangat.
“Oppa, bukankah itu gadis yang diputuskan kekasihnya di kafe?” Pendengaran Jiseul yang tajam menangkap seseorang membicarakannya. Jiseul tidak mungkin salah. Ucapan itu pasti ditujukan padanya.
“Kau benar.” Suara lembut seorang laki-laki menyahut.
“Kasihan sekali dia.” Hati Jiseul memanas. Dia bukan orang menyedihkan yang harus dikasihani.
“Sudahlah. Jangan pedulikan dia. Ada yang kuinginkan darimu.” Jiseul bergidik ngeri mendengar kalimat terakhir pria itu. Dia tidak tahu, ia merasa ada makna terselubung dalam ucapannya.
“Tapi op—“ Kalimat terputus gadis itu membuat Jiseul menoleh ke kiri. Matanya membulat melihat pemandangan yang ia saksikan. Rahangnya seperti lepas. Dua orang yang baru saja membicarakannya sedang berciuman. Di taman kota?! Apa yang mereka pikirkan? Jiseul semakin shock karena gadis itu mengenakan seragam JHS-nya. Mereka lebih mudah darinya tapi sudah berani berbuat mesum di tempat umum! Dan yang lebih parah, di bangku yang sama dengannya. Benar-benar.
“Ya!!” Teriak Jiseul, tapi tidak memberi pengaruh pada mereka. Ciuman mereka semakin memanas. Mata Jiseul seperti mau keluar melihat tangan di laki-laki mengeksplor tubuh si gadis.
“Ya! Berhenti!” Si gadis merespon. Dia menjauhkan tubuhnya dari si pria. Jiseul bisa melihat rona merah di pipi gadis itu. Malu atau kesal?
“Ini karena kau membicarakan gadis itu. Dia jadi mengganggu kita.” Kalau mungkin, telinga dan hidung Jiseul pasti mengeluarkan asap karena ucapan laki-laki itu.
“Ya! Dasar anak tidak tahu malu!!” Jiseul meledak. Ia marah, merasa dipermainkan oleh anak yang lebih muda darinya.
“Kalian masih kecil. Bisa-bisanya kalian berbuat mesum di tempat umum!” Jiseul melihat mereka bergantian. Untuk beberapa saat, dia fokus melihat si laki-laki. Tatapan apa itu? Si ‘young man’ menatapnya, polos? Seperti apa yang ia lakukan tidak salah.
“Kau!” Jiseul menunjuk si gadis.
“Bisa-bisanya kau membiarkan tubuhnya disentuh laki-laki sepertinya. Jaga harga dirimu!” Si laki-laki memutar bola matanya. Sepertinya gadis itu akan memberikan nasihat tidak berguna. Batinnya.
“Kau kolot sekali.” Suara pria itu pelan tapi masih bisa didengar Jiseul.
“Apa?!” Dia menatap pria itu tajam. Detik ini, Jiseul merasa Tuhan tidak adil. Kenapa laki-laki itu harus punya wajah yang cute? Tidak cocok dengan kelakuannya.
“Noona, kau tahu? Kau kolot sekali.” Dia mencemooh Jiseul dilengkapi dengan tatapan mengejeknya.
“Ya!!”
“Aku jadi mengerti kenapa kau diputuskan kekasihmu.” Jiseul mengepalkan tangannya. Mulut laki-laki itu tajam sekali.
“Aku yakin dia tidak pernah menciummu. Kau mau kuajari?” Laki-laki itu menyeringai.
“Anak kecil,” Jiseul menggertakkan giginya.
“Kau mau mati?!!” Dengan suara melengking keluar dari mulut Jiseul, si laki-laki menarik si gadis menjauh dari Jiseul.
“Dasar gila! Gadis jadi-jadian!” Teriak laki-laki itu.
“Argh! Ini semua karenamu, Kris! Aku diejek anak kecil. Aku membencimu!”

——————

Ini hari kedua tahun ajaran baru. Jiseul berjalan di koridor sekolah tidak semangat. Dia ingin bolos seperti semalam. Tapi hari ini proses belajar mengajar dimulai. Jiseul menghela nafas sebelum memasuki kelas barunya. Dia harus menikmati tahun terakhirnya di SHS. Jiseul menuju meja ketiga baris pertama dari pintu. Dia suka tempat duduk yang merapat ke dinding. Jiseul melihat murid-murid di kelasnya. Hanya beberapa orang yang wajahnya familiar. Setiap pergantian kelas, muridnya juga diganti. Jiseul mengambil handphonenya yang bergetar dari saku blazernya. Wajahnya berubah begitu melihat wallpaper handphonenya. Fotonya bersama Kris. Ia memandangi foto itu sampai sebuah pesan menyadarkannya.
From: Yeon-sa
Kita sekelas lagi.

Jiseul mengangkat kepalanya dan mendapati Yeon-sa yang berdiri di ambang pintu bersama seorang pria. Ia tersenyum pada Yeon-sa. Dia benar-benar sebangku dengan kekasih barunya. Batin Jiseul. Bel sekolah berbunyi. Jiseul melihat kursi di sebelah kirinya. Kosong. Apa dia tidak punya teman sebangku?
“Teman-teman!” Seorang pria ber-eyeliner menarik perhatian seluruh murid termasuk Jiseul.
“Selamat pagi!” Sapa pria itu lalu tersenyum, membuat para gadis di kelas itu terpesona kecuali Jiseul dan teman wanita pria itu.
“Karena guru belum masuk, aku ingin memperkenalkan diri pada kalian.”
“Kami sudah tahu dirimu, Oppa!” Suara ala fangirls itu membuat si pria tersenyum tipis.
“Bukan itu. Aku ingin memperkenalkan diri sebagai ketua kelas di kelas XII-A. Namaku Byun Baek-hyun. Salam kenal.” Sikap Baek-hyun hanya membuat fansnya semakin mengaguminya. Ya, Baek-hyun adalah salah satu pria populer di sekolah Jiseul, Seoul High School. Tapi Jiseul tidak tahu itu. Ia tidak peduli dengan pria-pria populer dan kaya di sekolahnya. Jika Yeon-sa tidak menjalin hubungan dengan Chanyeol, dia tidak akan tahu kalau Chanyeol populer. Jiseul mengambil alat tulis dan buku dari tasnya. Saat itu, ia merasakan ada orang yang duduk di sebelahnya. Ia menoleh. Seorang laki-laki berambut blonde dengan wajah cute menatap malas Baekhyun. Aku pernah melihatnya. Matanya membulat begitu kejadian semalam melintas di kepalanya.
“You!!”

TBC…

Heem, bagaimana menurut kalian? Leave your comment guys.


Nice Guy (Chapter 2)

$
0
0

luhan-poster-request-copy1

 

Nice Guy

Tittle : Nice Guy (Chapter 2)
Author : Jellokey
Main Cast :
Lu Han (Luhan of EXO)
Choi Ji-seul (OC)
Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)
Support Cast :
Kim Jong-in (Kai of EXO)
Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)
Kang Jeo-rin (OC)
Shin Min-young (OC)
Cho Yeon-sa OC)
And others
Length : Chaptered
Genre : romance, arranged marriage, school life, family, friendship
Rating : PG-17
Disclaimer : This story is pure MINE. Don’t plagiat or copy paste without my permission.

Chapter 1 || Chapter 2

“You!!” Suara Jiseul membuat perhatian murid-murid terpusat padanya. Laki-laki itu menoleh pada Jiseul, mengedipkan matanya beberapa kali berusaha mengingat Jiseul. Ia merasa pernah bertemu dengan gadis itu.
“Ah, gadis jadi-jadian.” Ucapnya datar.
“Tidak usah sok berbahasa Inggris hanya karena kekasihmu orang bule.” Sambungnya.
“Ouups.. Maaf. Mantan kekasihmu. Hahaha…” Tawanya membahana di kelas. Anehnya, itu membuat siswi di kelasnya terpesona.
“Ketua!” Jiseul mengangkat tangannya.
“Usir anak kecil ini. Dia pasti kabur dari kelasnya karena tidak sabar masuk SMA.” Semua orang tercengang mendengar Jiseul. Tak lama terdengar bisikan dari siswi di kelasnya.
“Apa dia gila?”
“Aku tahu dia gadis biasa, tapi bukan berarti dia tidak mengenal Lu Han.”
“Dasar gadis aneh.” Jiseul mengabaikan bisikan gadis-gadis centil di kelasnya. Dia terus menatap Baekhyun seolah menyuruh Baekhyun untuk segera mengusir laki-laki yang duduk di sebelahnya.
“Maaf, tapi dia murid di kelas ini. Namanya Lu Han.” Jiseul melihat Lu Han. ‘Lu Han?’ Entah kenapa Lu Han tidak nyaman dipandangi Jiseul tapi dia tidak menampakkan itu.
“Aku tahu aku tampan. Tapi, maaf. Kau bukan tipeku.” Ucapan Lu Han menyadarkan Jiseul . Ia bangkit dari duduknya.
“Jangan tertipu dengannya. Dia pasti mencuri seragam kakaknya.” Lagi-lagi ucapan Jiseul membuat murid-murid di kelas itu tercengang. Apa yang salah dengan gadis itu? Baekhyun menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum tipis.
“Dia teman sekelas kita. Dia sudah bersekolah di sini selama dua tahun. Kalau kau tidak percaya, kau bisa buka blog sekolah. Cari nama Lu Han.” Lu Han tersenyum miring melihat Jiseul yang kembali duduk di bangkunya.
“Dasar makhluk jadi-jadian.” Jiseul menatap Lu Han tajam.
“Apa? Aku tidak takut dengan tatapanmu.. noona.” Ejek Lu Han.
“Pindah. Aku tidak mau sebangku denganmu.” Ucap Jiseul tanpa melihat Lu Han.
“Siapa kau berani mengaturku?” Darah Jiseul mendidih. Dia mengepalkan tangannya.
“Kau—“
“Morning, class.” Niat Jiseul untuk membalas ucapan Lu Han tidak terwujud karena gurunya sudah masuk. ‘God, kenapa aku harus sebangku dengan orang ini?’
==================
“Hey, brothers! Long time no see.” Ucap Kai begitu masuk ke ruangan khusus milik EXO. Ruangan itu didesain seperti apartemen mewah. Bagaimana mereka membuatnya? Tidak ada yang mustahil bagi mereka. Sekolah ini milik keluarga Kai.
“Bagaimana liburan kalian?” Tanya Kai dengan wajah cerahnya.
“Lihat di blog EXO.” Sahut Sehun datar.
“Aku mau dengar langsung dari kalian.” Balas Kai.
“Aku hampir berhasil membuat eyeliner yang tahan dua puluh empat jam.” Kata Baekhyun antusias. Kai memutar bola matanya. ‘Dasar maniak.’
“Aku sudah jadian dengan Cho Yeon-sa.” Ujar Chanyeol senang.
“Congratulations!” Koor anak EXO.
“Aku—“
“Aku tahu apa yang kalian berdua lakukan.” Kai menatap Suho dan Dyo bergantian dengan ekspresi bangganya.
“Kau pasti bermain CEO-CEOan di kantor ayahmu.” Suho menatap tajam Kai yang tersenyum polos padanya.
“Aku bukan bermain, aku bekerja di sana.” Suho tidak terima.
“Oke, aku mengerti. Maaf.” Suho mengangguk.
“Sensitif sekali. Aku kan hanya bercanda.” Kai beralih pada Dyo sebelum Suho sempat membalas ucapannya.
“Hyung pasti berhasil menciptakan resep baru.”
“Eem.” Balas Dyo. Kai pasti ada maunya kalau sudah memanggilnya ‘hyung’.
“Hyung tolong buatkan kue spesial.” Betul kan?
“Besok anniversary ketiga hubunganku dan Jeo Rin. Aku ingin memberinya kejutan.”
“Aku sibuk.” Kai mengerucutkan bibirnya.
“Dyo hyung, aku mohon. Jeo Rin sangat menyukai makanan-makanan yang kau buat. Dia pasti bahagia sekali besok.” Kai mengeluarkan puppy eyes andalannya, membuat Dyo tidak tahan, tidak tahan untuk mengabulkan permintaan Kai.
“Baiklah, baiklah. Jangan pasang wajah seperti itu di depanku. Aku bukan Jeorin.” Kai tersenyum senang. Ia beralih pada Sehun.
“Hei, bagaimana denganmu?” Sehun menatap Kai sebal. Semua temannya mengalami liburan yang menyenangkan. Apalagi Kai. Pria itu menghabiskan liburan sekolahnya dengan Jeo Rin di Pulau Jeju.
“Tidak usah dijawab. Aku akan lihat di blog EXO, magnae.”
“Menyebalkan. Min Young benar-benar menyebalkan.” Kai menatap Sehun prihatin. Tapi di dalam hati dia kasihan pada Min Young. ‘Sehun sedikit childish, Min Young tidak mengalami kesulitan menghadapi itu. Sehun yang temperamen, aku tidak tahu. Semoga ini tidak ada kaitannya dengan Lu Han.’
“Jeo Rin’s home.” Suara Lu Han mengalihkan perhatian anak EXO. Mereka melihat Lu Han memasuki ruangan diikuti oleh Jeo Rin.
“Kau mengerikan, Kai.” Ucap Dyo. Sehun geleng-geleng kepala melihat cara berjalan Jeo Rin.
“Dasar gila. Kau membuat adikku sakit.” Baekhyun menghampiri Jeo Rin. Dia melihat Jeo Rin khawatir.
“Oppa, aku tidak apa-apa.” Jeo Rin menghampiri Kai, duduk di sebelah pria itu.
“Baby, seharusnya kita bersama-sama kemari tadi.” Kai mencium puncak kepala Jeo Rin.
“Kasihan Jeo Rin. Kau harus bisa mengendalikan nafsumu, Kkamjong.” Lu Han buka suara. ‘Beruntung sekali Kai punya kekasih seperti Jeo Rin. Mungkin kalau aku masih bersama Min Young, hubungan kami bisa seperti Kai dan Jeo Rin.’ ‘ Itu karena kau bodoh. Baru lihat wanita sexy langsung tergoda.’ Lu Han menggelengkan kepalanya, menghentikan dua sisi dirinya yang berargumen.
“Aku tidak nafsu, aku mencintai Jeo Rin.” Kai membela diri.
“Cinta bukan berarti bercin—“
“Hentikan! Aku mau tidur.” Ucap Jeo Rin dengan mata terpejam.
“Lihat. Jeo Rin ingin tidur di pelukanku.” Tidak ada yang bersuara setelah itu. EXO tahu seperti apa gaya pacaran Kai. Skinship is important.
“Sehun!” Pintu ruangan EXO terbuka dengan keras. Lu Han langsung berdiri begitu melihat siapa yang membuka pintu.
“Hei, Young. Apa kabar?” Lu Han memeluk Min Young lalu mengecup pipi gadis itu. Membuat orang-orang yang berada di ruangan itu menahan nafas kecuali Jeo Rin yang hampir tidur. Apalagi Sehun, matanya seperti mau keluar.
“Tsk!” Sehun beranjak dari duduknya, melewati Lu Han dan Min Young begitu saja.
“Kau mau kembali denganku?” Tanya Lu Han polos mengabaikan ekspresi marah Min Young.
“Aku akan memberi pelajaran padamu, Lu Han.” Kata Min Young sebelum mengejar Sehun. Lu Han kembali ke tempat duduknya sambil terkekeh. ‘Cuma Min Young yang berani menolakku.’
“Kau masih menyukai Min Young?” Tanya Chanyeol.
“Menurutmu?”
“Aku tidak percaya aku punya dua teman gila seperti kalian. Hah! Eyeliner ku rusak.” Baekhyun frustasi.
“Aku hanya ingin menggoda Sehun. Dia mudah sekali panas. Tapi kembali dengan Min Young bukan ide yang buruk.” Dyo menggelengkan kepalanya mendengarkan ucapan Lu Han. Ia berpikir, Lu Han tidak pernah menganggap serius tindakannya. Oh, Lu Han sudah seperti itu sejak ia mengenal pria itu. Childish? Nah, itu juga.
“Kau tahu seperti apa Sehun. Aissh.. Lu Han, kau bisa menghancurkan hubungan mereka.” Suho memperingatkan Lu Han.
“Tenang, brothers. Aku yakin Min Young bisa menenangkan Sehun.” Sahut Lu Han santai.
“Ngomong-ngomong, teman sebangkumu lucu sekali.” Baekhyun ingin mengucapkan itu sejak Lu Han masuk ke ruangan EXO.
“Dia wanita gila.” Balas Lu Han enteng.
“Gila?” Baekhyun menatap penuh tanya pada Lu Han.
“Dia baru diputuskan kekasihnya semalam.” Lu Han tertawa kecil.
“Kau mengenalnya?” Tanya Dyo. Dia cukup tertarik dengan Jiseul, bukan dalam arti suka. Baru Jiseul gadis yang tidak mengenal Lu Han.
“Tidak penting mengenal orang sepertinya. Tapi dia hebat bisa pacaran dengan bule.” Kata Lu Han remeh. Anggota EXO membulatkan mulut mereka.
“Tidak heran, dia punya tubuh yang indah.” Komentar Suho.
“Sayangnya dia memakai seragam yang jauh dari kata normal untuk siswi di sekolah ini.” Kalau Kai tidak sedang menidurkan Jeo Rin, dia pasti ikut berkomentar.
“Killer body?? Biasa saja. Aku bisa mendapatkan seratus gadis sepertinya dalam satu hari.” Ujar Lu Han sombong. Kalau sudah seperti ini, anggota EXO malas menanggapi Lu Han.
“Namanya siapa?” Ucap Baekhyun dengan rona merah di pipinya.
“Byun, kau menyukai gadis sepertinya?” Tanya Lu Han tidak percaya. Baekhyun menggaruk pipinya.
“Hanya penasaran.”
“Namanya Choi Ji-seul. Dia teman Yeon-sa. Aku bisa membantumu, Baek.” Chanyeol semangat. Dia ingin semua anggota EXO punya kekasih agar mereka tidak diikuti wanita yang tidak mereka kenal ke mana pun mereka pergi.
“Bukan seperti itu, Yeollie.” Baekhyun berusaha menyembunyikan faktanya yang baru muncul hari ini.
“Tapi, sepertinya dia tidak mengenal EXO.” Kai buka suara setelah yakin Jeo Rin sudah tidur.
“Aku yakin dia tidak kenal EXO.” Kai menjentikkan jarinya tanda ia setuju dengan Dyo.
“Kita harus membuat dia menyesal karena tidak mengenal EXO.” Ucap Kai yang tidak ditanggapi Chanyeol, Dyo, Suho, dan Baekhyun. Mereka punya alasan untuk itu. Sedangkan Lu Han, dia masih memproses ucapan Kai.
“Baiklah. Aku rasa hanya kau yang mau, Lu Han. Kalau kau tidak mau, aku bisa melakukannya. Ouch!” Kai mengaduh merasakan sakit di perutnya. Jeo Rin baru saja mencubitnya.
“Baby, kau belum tidur?” Ucap Kai cemas. Ia takut Jeo Rin mendengar ucapannya.
“Jangan macam-macam, Kim Jong-in.” Kata Jeo Rin tanpa membuka matanya.
“Baby, aku tidak punya maksud apa-apa. Aku hanya sayang dan cinta padamu.” Kai mengelus rambut Jeo Rin lembut.
“Aku tahu.” Jeo Rin membuka matanya mendapati Kai yang menatapnya penuh cinta. ‘Oke. Siap-siap melihat adegan romantis ala Kim Childish Kai.’ Lu Han memutar matanya dibalik kepalanya.
“Aku sangat mencintaimu, Kang Jeo-rin.” Kai mencium kening Jeo Rin.
“Aku rasa kalian lebih membutuhkan ruangan ini.” Kata Baekhyun pelan tapi sangat ampuh untuk menghentikan Kai yang hendak mencium Jeo Rin.
“Kau seperti tidak pernah melihatku mencium Jeo Rin saja.” Ucap Kai kesal. Dia membenarkan posisi duduknya. Tidak memeluk Jeo Rin lagi.
“Ehem,” Jeo Rin berdeham, entah untuk memperingatkan Kai atau karena ia merasa malu.
“Lupakan yang kalian lihat tadi.” ‘Masalahnya kami sudah terbiasa melihat itu, Jeo Rin.’ Batin Lu Han menyahut.
“Dan lupakan apa yang dikatakan Jongin tadi, tentang Choi Ji-seul.” Dari ekspresi Kai, EXO tahu pria itu hendak protes.
“Dia tidak punya masalah apa pun dengan kalian, jadi jangan melakukan hal-hal yang konyol padanya.” Tidak ada yang mengomentari ucapan Jeo Rin. ‘Tapi dia bermasalah denganku.’ Lu Han menyeringai. Tidak ada satu orang pun yang menyadarinya. ‘Choi Ji-seul, kita lihat apa yang bisa kulakukan padamu.’
“Lu Han, kau serius ingin pacaran dengan Jung Se-jin?” Chanyeol membuka topik baru walaupun ia tidak menyukai nona Sejin ini.
“Tentu saja. Kalau bisa kami jadian hari ini.” Ucap Lu Han, tapi itu tidak mungkin. Sudah dua bulan ia berusaha mendekati Sejin tapi tidak ada hasilnya. Itu kenapa Chanyeol tidak menyukai Sejin. Menurutnya, gadis itu jual mahal. Tapi, demi misinya, Chanyeol akan memberi tahu sesuatu yang membuat Lu Han senang.
“Aku punya kabar baik untukmu. Dia selalu ke club kakakku yang ada di Gangnam setiap Selasa dan Sabtu.” Itu membuat Lu Han senang tapi hanya sebentar.
“Aku tidak bisa ke club malam ini.”
“Kenapa?” Tanya Kai. Hal yang sangat mustahil, club adalah tempat yang sangat disukai Lu Han.
“Aku harus menghadiri acara makan malam penting ayahku dengan temannya. Kalau aku tidak ikut, aku akan ‘ditendang’ dari rumah.” Ucap Lu Han frustasi. Kenapa ayahnya tidak seperti ibunya yang selalu memberikan apa yang ia inginkan? Ia hanya ingin mobil baru, tapi ayahnya malah membekukan semua fasilitasnya. ‘Berhenti berhura-hura, Lu Han.’ Suara itu datang entah dari mana. ‘Ayahku kolot sekali.’ Dia pasti sudah merasakan neraka dunia kalau tidak ada teman-temannya.
“Kau harus menuruti ayahmu, Lu Han. Hanya dengan itu kau bisa membayar hutangmu padaku.” Suho mengingatkan Lu Han. Ia bisa mengerti kenapa fasilitas Lu Han dibekukan. Orang tua mana yang tidak stress kalau anaknya menghabiskan tiga juta won dalam satu hari?
“Aku ingat, Suho. Aku pasti langsung membayarnya kalau fasilitasku sudah kembali.” Sahut Lu Han malas.

====================

“Akhirnya kau pulang, nak.” Nyonya Choi menyambut anaknya. Ia sudah lama menunggu Jiseul di teras rumah mereka.
“Eomma menungguku?” Jiseul heran. Tidak biasanya Nyonya Choi menunggu Jiseul. Nyonya Choi membimbing Jiseul masuk ke dalam rumah. Menaiki tangga, menuju kamar Jiseul.
“Cepat mandi, sayang. Sebentar lagi teman appa datang.” Nyonya Choi melepaskan tas Jiseul dari punggungnya.
“Teman appa?” Ini pertama kali Appa mengundang temannya ke rumah.
“Nanti eomma jelaskan.” Nyonya Choi mendorong Jiseul ke dalam kamar mandi. Sementara Jiseul mandi, Nyonya Choi memilih dress untuk dipakai Jiseul. Semua dress yang ada di lemari Jiseul indah. Putrinya memiliki selera fashion yang bagus, Jiseul selalu mengikuti perkembangan dunia fashion. Tapi yang Nyonya Choi tidak mengerti, penampilan Jiseul di sekolah berbeda dengan penampilannya sehari-hari. Siswi di Seoul High School memakai seragam yang pas di tubuh atau bahkan sempit untuk memperlihatkan lekuk tubuh mereka. Nyonya Choi menggeleng. Hanya Jiseul yang tahu kenapa ia memakai seragam longgar ke sekolah. Nyonya mengambil dress berwarna pink. Ia tersenyum begitu melihat Jiseul keluar dari kamar mandi.
“Pakai, sayang.”
“Eomma, sebenarnya ada apa?” Jiseul mengambil dress dari tangan ibunya ragu.
“Appa mengundang temannya untuk makan malam di rumah. Pakai make up sedikit, Jiseul.” Lagi-lagi Nyonya Choi membuat Jiseul bingung. Hanya makan malam, kenapa ia harus dandan?
“Kau harus tampil cantik.” Nyonya Choi menghela nafas melihat wajah bingung anaknya.
“Sayang, ini bukan sekedar makan malam. Makan malam ini membicarakan.. perjodohanmu dengan anak teman appa.”
“Apa?!” Reaksi Jiseul sesuai dengan dugaan Nyonya Choi.
“Kau dijodohkan, sayang.” Ulang Nyonya Choi.
“Dijodohkan?” Suara Jiseul pelan. Ia sedang mencerna apa yang dikatakan ibunya. ‘Dijodohkan? Aku dijodohkan?’
“Kau sudah putus dengan Kris kan? Jadi eomma pikir tidak masalah.”
“Aku tidak mau, eomma.” Tolak Jiseul mentah.
“Jiseul,”
“Kenapa kalian tiba-tiba ingin menjodohkanku? Kalau kalian menjodohkanku karena aku putus dengan Kris, aku bisa mencari kekasih baru. Tidak perlu sampai dijodohkan.” Ucapan itu keluar karena Jiseul tidak mengerti kenapa orang tuanya mengatur perjodohan untuknya.
“Jiseul, bukan karena itu. Kami tidak mungkin menjodohkanmu hanya karena kau putus dengan Kris. Ini lebih dari itu.” Jiseul hanya menatap eommanya.
“Kami juga tidak mau menjodohkanmu, Jiseul. Tapi, kami tidak punya pilihan.” Ucap Nyonya Choi lembut.
“Apa maksud eomma?”
“Kau masih ingat Tuan Lu?”
“Lu ajjushi?” Nyonya Choi mengangguk. Jiseul ingat. Ia pernah bertemu dengan pria berdarah Cina itu saat berkunjung ke perusahaan appanya. Mungkin empat bulan yang lalu.
“Kau tahu apa yang sudah dia lakukan pada keluarga kita?” Jiseul menggangguk. Tuan Lu adalah orang yang menyelamatkan perusahaan appanya dari kebangkrutan.
“Ide perjodohan ini datang darinya. Dia dan appa sudah berteman sejak lama. Lu ajjushi ingin menjodohkan anaknya denganmu agar bisa menjadi keluarga dengan kita. Dia juga menyukaimu, nak. Dia mengatakan kau sangat cocok dengan anaknya.” Nyonya Choi terdiam melihat wajah kosong Jiseul. Dia terlalu senang mengenai perjodohan anaknya sampai-sampai tidak menyadari ekspresi wajah anaknya.
“Jiseul, eomma tahu kau tidak mau dijodohkan. Tapi, kau tahu, appa tidak bisa menolak. Lu ajjushi teman baik appa, dia juga sudah banyak membantu keluarga kita.” ‘Apa yang harus kulakukan? Kalau bukan karena teman appa, aku tidak akan bisa terus belajar di Seoul High School.’ Perusahaan appanya bangkrut dan mereka pasti tidak memiliki rumah. ‘Tapi, dijodohkan tidak ada dalam daftar keinginanku.’
“Jiseul,” Jiseul menghela nafas.
“Aku.. mau, eomma.” Nyonya Choi terkejut. Ia tidak menyangka Jiseul akan menerima perjodohan ini.
“Jiseul, putriku,” Nyonya Choi memeluk Jiseul.
“Terima kasih, nak. Kau menyelamatkan keluarga kita.” Nyonya Choi melepaskan pelukannya.
“Berdandanlah. Eomma akan menunggumu di bawah.” Jiseul mengangguk. Ia mendesah berat begitu ibunya keluar dari kamarnya.
“Keputusanku tidak salah kan?” Jiseul menggelengkan kepalanya. Dia tidak punya pilihan. Orang tuanya sudah berhutang, entah budi atau materi. Ini yang bisa ia lakukan untuk membantu orang tuanya. Saat ini.

============

Lu Han melihat rumah minimalis di depannya.
“Buat apa kita ke sini?” Pertanyaan itu keluar dengan sendirinya dari mulut Lu Han. Ia pikir acara makan malam penting ayahnya berlangsung di restoran mewah.
“Jangan banyak tanya. Kau hanya perlu menjaga sikapmu.” Ucap Tuan Lu tanpa melihat anaknya. Ia menekan bel rumah. Tak lama pintu terbuka menampakkan pasangan yang Lu Han yakini sebagai kerabat bisnis ayahnya. Lu Han menatap datar pertukaran salam kedua pasangan di depannya. Ia tersenyum kecil saat menyadari istri teman ayahnya melihatnya dengan.. kagum?
“Ini pasti Lu Han.”
“Annyeonghaseyo, ahjumma, ajjushi.” Lu Han membungkuk hormat.
“Aigoo, kau tampan sekali.” Lu Han tersenyum. ‘Seluruh dunia tahu aku tampan. Tidak usah mengingatkanku, ahjumma.’ Sang tuan rumah mempersilahkan keluarga Lu masuk ke rumahnya.
“Di mana Jiseul?” Tanya tuan Lu begitu berada di ruang tamu. Lu Han tidak peduli dengan suasana di dekatnya. Ia hanya melakukan apa yang dikatakan ayahnya. Jaga sikap.
“Saya akan panggilkan Jiseul sebentar.” Sebelum Nyonya Choi beranjak, Jiseul sudah muncul.
“Annyeonghaseyo, ajjushi, ahjumma.” Jiseul melakukan hal yang dilakukan Lu Han pada orang tuanya. Tangan Lu Han yang hendak mengambil tehnya, terhenti di udara. Ia menatap gadis cantik yang berdiri di dekat orang tuanya.
“Ini Jiseul?” Nyonya Lu berdiri. Ia memeluk Jiseul.
“Ahjumma sudah lama ingin bertemu denganmu.” Nyonya Lu melepaskan pelukannya. Ia menatap Lu Han.
“Nak, kenalkan dirimu.” Lu Han berdeham. Kalau bukan karena ibunya ia pasti terus menatap Jiseul. Lu Han mendekati ibunya dan Jiseul.
“Lu Han.” Lu Han mengulurkan tangannya. Jiseul tidak bergerak. Ia masih menenangkan dirinya. Ia tidak percaya kalau Lu Han adalah laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Lu Han berdeham membuat Jiseul mengulurkan tangannya perlahan.
“Choi Jiseul.” Ucap Jiseul pelan.
“Choi Jiseul?” Lu Han mengeratkan jabatan tangannya sebelum Jiseul menarik tangannya. Ia menatap wajah Jiseul. Tak lama ia menyeringai kecil. Hanya Jiseul yang menyadari itu. Ini malam yang buruk untuk Jiseul. Benar-benar buruk.

=================

Jiseul akan selalu mengingat malam ini. Malam di mana ia resmi dijodohkan dengan Lu Han, tipe laki-laki yang sangat ia hindari. Ia berbahaya. Kesan itu ia temukan saat mereka sedang makan malam.
FLASBACK
“Ajjushi dengar kalian satu sekolah?” Tuan Lu buka suara disela makannya. ‘Dia benar-benar si gadis gila.’ Batin Lu Han masih tidak percaya. Jiseul hendak menjawab tapi Lu Han mendahuluinya.
“Ne, appa. Kami juga sekelas.” Tuan Lu tidak menduga Lu Han akan membalas ucapannya.
“Ah, bagus sekali.” Sahut Nyonya Lu.
“Jiseul, apa kau yang memasak semua makanan ini? Rasanya enak.”
“Tidak, ahjumma. Aku hanya membantu eomma sedikit.” Jiseul tersenyum canggung.
“Benar-benar menantu idaman.”
“Uhuk!!”
“Jiseul, kau baik-baik saja?” Semua orang di ruangan itu menatap Jiseul khawatir, kecuali Lu Han tentunya. Jiseul tersedak bukan karena ucapan Nyonya Lu. Tapi karena satu tangan yang berani mengelus paha kirinya. Dan sekarang tangan itu meremas pahanya. Lu Han menyeringai kecil. Tangan kanannya kembali memegang sendok.
“Eomma ingin punya menantu sepertinya?” Tanya Lu Han tidak menganggap serius ucapan ibunya.
“Dia memang menantu eomma. Sebentar lagi kalian akan menikah.”
“Bursst!!” Lu Han menyemburkan air yang baru ia minum, membuat tuan Lu menatapnya tajam karena sikap tidak sopan Lu Han di meja makan.
“Apa kalian berencana menjodohkanku dengannya?!” Lu Han menatap kedua orang tuanya, berusaha tenang.
“Ya.” Lu Han menatap ayahnya tidak percaya. Apa ayahnya serius? Apa tidak cukup pembekuan fasilitasnya selama dua bulan ini?
“Lu Han, kami ingin menjodohkanmu dengan Jiseul. Jiseul anak yang baik. Dia cocok untukmu, nak.” Lu Han mengepalkan tangannya di pahanya. Kenapa dia baru diberitahu sekarang?
“Lu Han,”
“Apa aku tidak terlalu muda untuk ini?” Lu Han memotong ucapan ibunya.
“Tidak, kau sudah cukup umur.” Ucapan tuan Lu membuat Lu Han tidak bisa berkomentar. Lu Han jadi mengerti makna jaga sikap yang dimaksud ayahnya.
“Aku tidak punya pilihan bukan?” Gumam Lu Han.
“Jadi, kita akan segera menjadi keluarga. Besok kalian menikah.” Lu Han dan Jiseul terkejut.
“Ajjushi, apa itu tidak terlalu cepat?” Tuan Lu menggeleng. Ia tersenyum lembut pada Jiseul.
“Tidak, nak. Kami sudah merencanakan semuanya. Kalian hanya melakukan pemberkatan besok.” Jiseul membuang nafasnya kasar.
“Tidak ada resepsi pernikahan?”
“Tidak. Kalian pasti sibuk di tahun terakhir kalian sekolah. Jadi, resepsi kalian diadakan setelah kalian lulus sekolah.” Terang tuan Lu.
“Aku tidak peduli apa yang kalian rencanakan selama statusku dirahasiakan. Aku ingin bicara dengan calon istriku.” Lu Han menarik Jiseul dari ruang makan. Tidak peduli dengan jaga sikap ayahnya.
“Kenapa kau menarikku kemari?!” Jiseul menarik tangannya dari genggaman Lu Han. Mereka berada di teras rumah Jiseul. Lu Han berbalik.
“Kau sudah tahu kalau kita dijodohkan?” Jiseul mengangguk.
“Kenapa kau menerima perjodohan ini?”
“Aku tidak punya pilihan.” Jawab Jiseul tanpa menatap Lu Han. Lu Han berdecak.
“Kenapa kau tidak punya pilihan?” Tanya Lu Han masih tidak puas dengan jawaban Jiseul sebelumnya.
“Kenapa kau peduli? Bagaimana denganmu? Aku yakin kau tidak mau dijodohkan.”
“Bukan urusanmu.” ‘Perempuan gila ini juga cerewet.’ Lu Han mengacak rambutnya frustrasi. Ia menatap Jiseul yang sama sekali tidak melihatnya.
“By the way, you’re hot.” Lu Han meneliti Jiseul dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Sexy.” Lu Han menjilat bibir bawahnya. Jiseul hendak masuk kembali ke rumahnya, tapi Lu Han sudah menariknya sebelum ia masuk. Jiseul membulatkan matanya. Ia meletakkan kedua tangannya di dada Lu Han, memberi jarak tubuh mereka. ‘Mungkin perjodohan ini tidak seburuk yang kupikirkan.’ Lu Han tersenyum miring. Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Jiseul.
“Lu.. Lu Han.” Jiseul berusaha mendorong Lu Han tapi sia-sia karena Lu Han memeluknya erat. Jiseul memejamkan matanya. Dia tidak mau ciuman pertamanya diambil oleh Lu Han. Jiseul membuka matanya karena tidak merasakan apapun di bibirnya. Tangannya malah mencengkeram kemeja Lu Han karena pria itu mencium lehernya.
“Tenang saja. Kupastikan kau akan menikmati ciuman pertamamu besok.” Lu Han menghisap leher Jiseul. Jiseul menahan nafasnya. Kenapa dia tidak bisa melakukan apa-apa? Kenapa Lu Han harus lebih kuat darinya?
“Katakan pada orang tuaku aku pulang lebih dulu.” Bisik Lu Han ditelinga Jiseul.
“Bye, honey.” Ucap Lu Han sebelum menggigit kecil telinga Jiseul. Lu Han menyeringai melihat Jiseul yang tidak berdaya di depannya. Kecupan dari Lu Han di pipinya menyadarkan Jiseul.
“Jangan rindukan sentuhanku.” Kata Lu Han lalu pergi. Jiseul memegang dadanya. Apa yang baru saja terjadi? Jiseul menggelengkan kepalanya. Ia menyesali keputusannya. Tapi, ia tidak bisa menarik kembali kata-katanya.

TBC…

Thanks to shinyunseong @syrfhdy15 yang udah mau buatin poster untuk ff ini. *dapat flying kiss dari Lu Han*. Makasih banget, saeng.
Leave your komen guys…


Nice Guy (Chapter 3)

$
0
0

luhan-poster-request-copy1

Nice Guy

Tittle : Nice Guy (Chapter 3)
Author : Jellokey
Main Cast :
Lu Han (Luhan of EXO)
Choi Ji-seul (OC)
Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)
Support Cast :
Yoon Se-jin (OC)
Kim Jong-in (Kai of EXO)
Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)
Kang Jeo-rin (OC)
Shin Min-young (OC)
Cho Yeon-sa OC)
And others
Length : Chaptered
Genre : romance, arranged marriage, school life, family, friendship
Rating : PG-17
Poster : @syrfhdy15
Disclaimer : This story is pure MINE. Don’t plagiat or copy paste without my permission.

Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4

“Ternyata pernikahan itu melelahkan.” Kata Lu Han begitu ia duduk di sofa. Jiseul tidak menanggapi Lu Han. Ia menyibukkan diri melihat-lihat rumah barunya. Mertuanya menghadiahkan rumah mewah pada mereka. Lu Han memandangi Jiseul yang mengelilingi ruang tamu dengan tatapan mematikannya sampai gadis itu menghilang dari pandangannya. Lu Han melepas jas dan melonggarkan dasinya. ‘Pernikahan ini bukan hal yang penting. Aku berstatus sebagai laki-laki yang sudah menikah hanya di depan keluargaku dan keluarga Jiseul. Pernikahan ini tidak akan bias menghalangiku melakukan apapun yang kusuka.’ Lu Han menganggukkan kepalanya membenarkan pikirannya. Lu Han juga tidak bias menampik fakta ini. Pernikahannya sama sekali tidak merugikan. Kenapa? Fasilitasnya kembali begitu ia resmi menikah dengan Jiseul. Karena ia sudah punya rumah sendiri, ia tidak perlu lagi menjaga sikap di depan ayahnya. ‘I’m a free man now.’ Dari pemikiran Lu Han, kalian pasti tahu dia pria seperti apa. Lu Han tidak suka diatur. Sebelumnya Lu Han juga mempunyai sebuah apartemen mewah di Gangnam. Ia tinggal setahun di sana.. bagaimana bias ia tidak tinggal di sana lagi? Salahkan asisten pribadi ayahnya yang mendapati Lu Han clubbing. Pria yang Lu Han ketahui bernama Yoon Doo-joon itu memberitahu ayahnya bukan hanya soal clubbing, tapi juga ia yang keluar dari club bersama seorang wanita. Bencana Lu Han dimulai dari situ. Satu per satru fasilitas Lu Han ditarik ayahnya. Mulai dari kartu kredit, mobil, motor, dan terakhir apartemennya.mungkin kalau Tuan Lu tidak mendapati wanita di apartemen Lu Han, pria itu masih memiliki apartemen sekarang. Ia masih ingat apa yang terjadi sebulan yang lalu.

FLASHBACK

Tuan Lu berdiri di depan pintu apartemen Lu Han bersama istrinya. Kalau bukan karena paksaan Nyonya Lu, Tuan Lu tidak akan mau kemari. Sejak Lu Han tidak memiliki apa-apa, Lu Han tidak pernah pulang ke rumah. Lu Han juga tidak mau bertemu dengan ibunya. Hal itu membuat Nyonya Lu yang sangat memanjakan anaknya berpikir kalau Lu Han marah pada mereka, tidak mau pulang karena suaminya membekukan fasilitas anaknya. Nyonya Lu berusaha keras membujuk suaminya untuk menemui Lu Han. Iatidak tahu bagaiman Lu Han bertahan hidup. Setiap ia menelepon Lu Han, menanyakan kabar pria itu, ia selalu menjawab, ‘aku baik-baik saja’. Saat ia minta bertemu dengan Lu Han, pria itu menolak. Bahkan alasan Nyonya Lu yang ingin memberinya uang Lu Han tolak. Hal itu semakin membuat Nyonya Lu khawatir. Ia tahu Lu Han. Anak itu tidak bisa hidup susah. Kekhawatiran itu membuatnya lupa kalau Lu Han memiliki teman-teman yang kaya.
“Kita pulang.” Ucap Tuan Lu sebelum istrinya menekan bel apartemen Lu Han.
“Yeobo, kau sudah janji mau menemui Lu Han. Apakah kau tidak merindukan anak kita? Sudah satu bulan kita tidak bertemu dengannya.” Ucap Nyonya Lu sambil menekan bel apartemen Lu Han berkali-kali.
“Dia tidak ada. Ayo pulang.” Balas tuan Lu.
“Tidak. Dia pasti sedang tidur.” Nyonya Lu masih bertahan karena ia tahu Lu Han selalu tidur lama saat sedang libur.
“Apa dia sakit?” Tuan Lu menggelengkan kepalanya melihat kekhawatiran istrinya. Lu Han bukan anak kecil lagi. Nyonya Lu terus menekan bel sampai pintu terbuka, menampakkanLu Han yang mengusap matanya,hanya memakai boxer.
“Lu Han!” Nyonya Lu langsung memeluk Lu Han.
“Mama!” Lu Han terkejut. Ia tahu orang tuanya pasti memintanya pulang, cepat atau lambat. Tapi sekarang bukan saat yang tepat. Tuan Lu mengernyitkan dahinya. Ia kenal Lu Han. Anak itu akan memanggil ayah dan ibunya dengan bahasa mandarin dalam beberapa kondisi, seperti, terkejut,saat ia tidak sependapat dengan orang tuanya, saat ia sedang manja (lebih sering dengan Nyonya Lu).
“Terima kasih kau menjaga kesehatanmu, nak.” Ucap Nyonya Lu setelah mengecek tubuh Lu Han. Nyonya dan Tuan Lu masuk ke apartemen Lu Han tanpa menunggu Lu Hanmempersilahkan mereka masuk.
“Kenapa eomma dan appa datang kemari?” Lu Han berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Apa kau selalu tidur seperti itu? Hanya memakai boxer?” Tanya tuan Lu datar.
“Uum.. Aku—“
“Oppa..” Suara itu sontak menarik perhatian Tuan dan Nyonya Lu.
“Yeobo,” Nyonya Lu menyentuh tangan suaminya. Ia menatap horor wanita yang keluar dari kamar anaknya hanya dengan dibalut selimut.
“O.. Oppa,” Gadis itu sepertinya tahu siapa yang sedang bersama Lu Han. Seolah sadar, Lu Han langsung menuju gadis yang mematung di depan pintu kamarnya, lalu menarik menarik gadis itu masuk ke kamarnya.
“Apa itu? Anakku..Tidak mungkin..” Tuan Lu memijit pelipisnya, ia juga shock sama seperti Nyonya Lu. Tak lama Lu Han keluar dari kamarnya dengan gadis yang tadi-sudah berpakaian. Lu Han menarik gadis itu keluar dari apartemennya. ‘Aku dalam masalah besar.’ Lu Han kembali ke ruang tamu. Ia duduk di hadapan orang tuanya. Jantungnya berdetak kencang. Keheningan di ruangan itu semakin membuat Lu Han gugup.
“Lu Han,” suara Nyonya Lu pelan, masiih shock.
“Apa yang dilakukan perempuan itu di apartemenmu, kamarmu?” Lu Han tidak menjawab, ia menunduk.
“Kau tidak tidur dengan wanita itu kan?” lagi-lagi Lu Han diam. Ia merasa sedikit bersalah. Selama ini, ia begitu menikmati rutinitas malamnya sampai-sampai ia tidak memikirkan perasaan orangtuanya.
“Oh, Lu Han,” Nyonya Lu mengalihkan pandangannya dari Lu Han. Ia tidak menyangka anaknya sudah melakukan itu.
“Sejak kapan?” Lu Han memberanikan diri menatap ayahnya.
“Sejak aku duduk di kelas dua.”
“Sudah berapa wanta jalang yang kau bawa kemari?”
“Baba—“
“Jawab, Lu Han.” Tuan Lu menatap Lu Han tajam. Ia mengepalkan kedua tangannya. Ingin sekali ia memukul anaknya.tapi ia tidak bisa, inikesalahannya karena ia tidak bisa mengawasi anaknya.
“Aku tidak tahu.”
“Kau tidak tahu?!” Tuan Lu menaikkan suaranya, membuat istri dan anaknya tersentak.
“Pasti sangat banyak sampai-sampai kau tidak tahu.” Kata Tuan Lu tajam.
“Kau tahu kenapa kami kemari?” Lu Han bungkam.
“Kami ingin mengembalikan semua fasilitasmu.” Sambung Tuan Lu melihat Lu Han yang menunduk.
“Tapi setelah mengetahui apa yang membuatmu boros, lebih baik kau tidak memiliki fasilitas sama sekali.” Lu Han mengangkat kepalanya.
“Baba,” Dia bisa bersenang-senang selama sebulan ini bukan pakai uangnya, tapi hutang.
“Pastikan kau pulang ke rumah hari ini. Kalau tidak, aku tidak akan mewariskan apa-apa padamu.”Tuan Lu bangkit dari duduknya.
“Appa tidak akan melakukan itu. Aku anak appa satu-satunya.” Tuan Lu tersenyum sinis.
“Percaya, anakku. Aku akan dengan senang hati memberikan hartaku pada instansi-instansi sosial daripada memberikannya pada anakku yang pasti menghancurkan usahaku tidak sampai satu minggu hanya demi tidur dengan wanita liar.” Dengan itu Tuan Lu keluar dari apartemen Lu Han diikuti istrinya.
“Mama,” Lu Han mengikuti ibunya,berharap ibunya mau membujuk ayahnya. Nyonya Lu berhenti. Ia menatap Lu Han sendu.
“Kau mengecewakan Mama, Lu Han.”

FLASBACK END

Kebiasaannya yang membawa pulang wanita ke rumah itu juga yang menyebabkan ia putus dengan Min Young. Lu Han menghela nafas. ‘Itu sudah berlalu.’ Lu Han merasakan handphonenya bergetar di saku celananya. Ia mengambil handphonenya.
“Sejin?” lu Han menautkan alisnya. Tumben. Biasanya Lu Han yang lebih dulu menghubungi gadis itu.
“Halo?”
“Lu Han.. kau sedang apa?” Suara Se-jin terdengar ragu.
“Sedang memikirkan gadis yang merajai hatiku.” Lu Han tersenyum miring karena Se-jin tidak langsung membalas ucapannya.
“Siapa?”
“Seorang gadis yang bernama Yoon Se-jin.” Lu Han tertawa dalam hati. Semua gadis akan meleleh kalau suah mendengar kata-kata manis Lu Han. Apalagi gadis seperti Se-jin. Wajahnya pasti memerah sekarang.
“Em, tadi aku tidak melihatmu di sekolah.”
“Aku ada urusan keluarga.” Lu Han terdengar serius.
“Oh.” Hening. Lu Han sedang malas merayu Se-jin. Ia menunggu gadis itu membuka topik pembicaraan.
“Se-jin, kau masih di sana?”
“I.. iya. Eum, Lu Han. Tentang yang waktu itu.. Aku mau jadi kekasihmu.” Lu Han terdiam. Ia sedikit kesal karena Se-jin membalas pernyataan perasaannya melalui telepon. Tapi dia tetap melanjutkan permainannya.
“Aku tidak salah dengar kan?” Lu Han pura-pura tidak percaya.
“Tidak. Aku mau jadi kekasihmu, Lu Han.”
“Aku ingin bertemu denganmu, Se-jin.” Suara Lu Han manja. Akting pastinya.
“Kau bisa datang ke apartemenku.”
“Tapi aku lelah. Kita bertemu di sekolah saja. Bye, honey.” Lu Han memutus sambungan teleponnya tanpa menunggu balasan dari Se-jin.
“Bitch. Kalau kau tidak menerima ‘tawaran’ menjadi kekasihku sekarang, besok pasti kau sudah kehilangan popularitasmu, Se-jin.” Se-jin cukup populer. Ia mendapat predikat gadis tercantik ketiga setelah Jeo-rin dan Min-young. Tapi, popularitasnya semakin naik setelah majalah sekolah memberitakan pendekatan dengannya. Lu Han hanya main-main dengan Se-jin. Mungkin minggu depan ia sudah memutuskan Se-jin. Lu Han bangkit dari duduknya. Ia mengelilingi rumahnya yang luas sampai ia menemukan kamar dengan kertas yang menempel di pintu bertuliskan Lu Han  Ji-seul. Lu Han menggelengkan kepalanya. Ibunya tidak terduga.ia masuk ke kamar, mendapati Ji-seul menyelimuti dirinya.
“Kau tidur di sini?” Tanya Lu Han sambil membuka kancing kemejanya satu per satu.
“Em.” Sahut Ji-seul malas. Gadis itu memejamkan matanya. Lu Han menautkan alisnya. Sikap Ji-seul tidak seperti saat ia mencium gadis itu di rumah keluarga Choi, atau saat ia mencium Ji-seul di pemberkatan pernikahan mereka. Menurut Lu Han, gadis itu selalu takut kalau berada di dekatnya. Ji-seul tidak takut dengan Lu Han, tindakan Lu han yang tidak bisa diprediksilah yang membuat Ji-seul gugup. Tapi karena mereka sudah menikah, Ji-seul akan menunjukkan kalau ia tidak akan terpengaruh dengan apapun yang Lu Han lakukan.
“Kau yakin? Kau tidak takut—“ Lu Han menggantung ucapannya. Ji-seul mendudukkan dirinya.
“Apa? Kau mau melakukan apa padaku?” Lu Han tidak menduga akan memdapat balasan seperti ini dari Ji-seul.
“Kau tahu, hal yang biasa dilakukan pasangan suami-istri.” Ji-seul mengedipkan matanya berkali-kali. Baru menyadari Lu Han topless. Lu Han berjalan menuju tempat tidur.
“Malam pertama,” Lu Han mendekatkan wajahnya ke telinga Ji-seul.
“Sex.” Sambung Lu Han seduktif. Ji-seul bangkit tiba-tiba, kalau Lu Han tidak punyarefleks yangbagus, ia pasti sudah terduduk di lantai.
“Kau tahu, Lu Han? Ucap Ji-seul sambil mengambil bantal dan selimut.
“Aku tidak akan tidur di sini kalau ibu tidak mengunci semua kamar di rumah ini.” Ji-seul berjalan menuju sofa tidur. Paling tidak tubuhnya tidak sakit tidur di situ.
“Kau munafik sekali.” Ji-seul yang sedang menyusun bantal sofa langsung menatap tajam Lu Han.
“Semua wanita menginginkanku.” Lu han mengelus perut six packnya seduktif. Ji-seul memutar bola matanya malas. Ia merebahkan diri di sofa tidur dan meyelimuti dirinya.
“Aku pernah lihat yang lebih bagus dari itu.” Lu Han membulatkan matanya. ‘Dia pasti mengarang.’ Lu Han berdeham.
“Maksudmu si bule? Kau yakin?” Ji-seul memnutup kedua telinganya, berusaha mengabaikan Lu Han.
“Dari reaksimu saat kucium, aku yakin kau tidak pernah disentuh laki-laki kecuali berpegangan tangan.” Lu han menunggu reaksi Ji-seul. ‘Dia sudah tidur?’ Lu han mendudukkan dirinya di tempat tidur. Ia mendesah berat. ‘Aku lelah.ternyata berdebat dengan gadis jadi-jadian menguras tenaga.’ Lu Han menggelengkan kepalanya. ‘Kalau begini setiap hari, aku bisa cepat tua. Wajahku tidak bersinar lagi. Keriput!’ Lu han memegang wajahnya horor. Ia tidak mau itu terjadi. Lu Han merebahkan dirinya. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil berpikir. Setiap ia berinteraksi dengan Ji-seul, ia pasti naik darah. ‘Mungkin sebaiknya aku tidak usah melanjutukan rencanaku untuk mengerjai Ji-seul.’ Lu Han menguap. ‘Berterimakasihlah padaku karena aku berbaik hati padamu, Ji-seul.’
———————
Ji-seul mengambil kopernya begitu ia selesai memakai sepatunya. Ia tidak sempat memindahkan pakaian semalam karena lelah. Ji-seul melihat pakaiannya satu per satu, mencari pakaian olahraganya.
“Jangan bilang eomma lupa memasukkannya.”Gumam Ji-seul. Ia mengambil handphone dan menelepon ibunya.
“Bagaimana malam pertamamu dengan Lu Han, nak?” Ji-seul tidak menyangka akan mendengar itu begitu ibunya menjawab panggilannya. Ia menghela nafas.
“Eomma tidak memasukkan pakaian olahragaku.”
“Apa?”
“Aku tidak menemukan pakaian olahragaku di dalam koper, eomma.” Suara Ji-seul seperti anak kecil yang merajuk. Jarang sekali Ji-seul seperti ini.
“Benarkah? Maaf, sayang. Eomma lupa. Eomma terlalu bahagia dengan pernikahanmu.” Ji-seul mendesah berat.
“Eomma akan mengantar pakaianmu sekarang.”
“Tidak usah, eomma.” Ia tidak akan sempat menunggu pakaian olahraganya karena dua puluh menit lagi bel sekolahnya berbunyi. Sedangkan waktu yang dibutuhkan ibu untuk sampai adalah tiga puluh menit.
“Bagaimana kau olahraga nanti?” Ibunya merasa bersalah.
“Aku menyimpan pakaian cadangan di lokerku. Aku harus berangkat, eomma.”
“Maaf, sayang.”
“Aku akan mengunjungi eomma nanti.” Ji-seul mendesah berat. Ia tidak mau memakai pakaian yang ada di lokernya.
“Kau kenapa?” Ji-seul mendapati Lu Han yang sudah bangun tidur menatapnya aneh.
“Bukan urusanmu.” Lu Han memejamkan matanya. ‘Ini masih pagi dan dia sudah berhasil membuatku emosi.’
“Pastikan kau merahasiakan pernikahan ini.” Ji-seul memutar bola matanya. Ia berjalan menuju pintu. ‘Aku pasti sudah gila kalau melakukan itu. Aku masih belum bisa menerima kalau aku menikah dengan pria brengsek sepertimu.’

—————

Kabar Lu Han yang menjalin hubungan dengan Se-jin menyebar begitu cepat di sekolahnya. Chanyeol yang memberitahu Lu Han saat pria itu sedang dalam perjalanan menuju sekolah. ‘Sepertinya Se-jin sangat antusias dengan hubungan ini. Dia hanya ingin terkenal, Lu Han.’ Pria itu melihat wajahnya di kaca mobil sebelum keluar dari mobilnya.
“Lu Han!” Lu Han memegang dadanya karena suara yang tiba-tiba memanggilnya. Ia berbalik, mendapati Se-jin yang tersenyum manis padanya.
“Kau mengagetkanku, Se-jin.” Lu Han memeluk Se-jin.
“Kau lama sekali, Lu Han. Kau pasti dihukum kalau—“
“Itu tidak akan terjadi.” Lu Han melepas pelukannya. Se-jin menganggukkan kepalanya mengerti. Orang tua Lu Han salah satu donatur penting di sekolah ini.
“Kau mengkhawatirkanku?” Se-jin mengangguk. Lu Han tersenyum.
“Aku semakin menyukaimu, honey. Ayo.” Lu Han dan Se-jin bergandengan tangan menuju gedung sekolah.
Sementara itu, Ji-seul menatap kosong pakaian olahraga yang ada di lokernya. Ia pikir ia tidak akan pernah menggunakan pakaian itu. Pandangan orang pasti berubah setelah ia memakainya. Ia akan diperhatikan siswa di sekolahnya. ‘Ugh. . I hate this.’ Di luar sekolah Ji-seul terbiasa mendapatkan perhatian dari orang-orang, tapi kalau di sekolah, Ji-seul tidak tahu. Dua tahun ia memakai seragam longgar hanya karena seorang pria yang meninggalkannya. Walaupun begitu ia tidak menyesal. Ia nyaman dengan seragam longgarnya. Dan lagi, lokernya bersih dari surat cinta.
“Jiseul-ssi,” Seseorang menarik Ji-seul dari pikirannya.
“Oh? Selamat pagi, ketua.” Baekhyun tersenyum tipis.
“Kau terus memanggilku ketua sejak hari kedua sekolah.” Baekhyun mengulurkan tangannya.
“Byun Baek-hyun.” Ji-seul menjabat tangan Baekhyun.
“Choi Ji-seul.”
“Apa yang kau lakukan di depan lokermu?” Ji-seul menautkan alisnya. Baekhyun menggaruk tengkuknya. ‘Apa yang kau lakukan, Baek? Kalian baru kenal. Apa yang Ji-seul lakukan bukan urusanmu.’
“Maksudku, kau sudah berdiri di depan lokermu sekitar delapan menit tanpa melakukan apa pun.”
“Aku bingung.” Baekhyun menutup lokernya, tertarik dengan ucapan Ji-seul. Apa yang dibingungkan gadis itu?
“Kenapa?” Ji-seul menunjuk pakaian olahraganya. Sekarang giliran Baekhyun yang bingung.
“Apa pakaianmu koyak atau kotor?” Ji seul menggeleng.
“Pakaian ini pas di tubuhku. Aku terbiasa memakai pakaian longgar.” Baekhyun menggelengkan kepalanya. Itu bukan hal yang serius.
“Kau tahu?” Baekhyun tersenyum. Sikap Ji-seul yang membingungkan pakaian olahraganya manis, membuat ia semakin menyukai Ji-seul. Ji-seul menatap Baekhyun.
“Apa pun yang kau pakai, kau akan tetap terlihat cantik.” Ji-seul mengedipkan matanya berkali-kali. Sedangkan Baekhyun merasakan pipinya memanas. ‘Kau terlalu jujur, Baekhyun.’
“Um.. Aku duluan. Jangan terlalu lama si sini, Jiseul-ssi. Kau tahu Mr. Ok seperti apa.” Baekhyun tersenyum pada Ji-seul sebelum ia melewati gadis itu. Ji-seul berbalik, melihat Baekhyun yang berjalan menuju kelas mereka. Baekhyun orang kedua yang mengatakan itu setelah Kris. Ji-seul menghela nafas. Ia mengambil pakaian olahraganya, menutup loker, lalu berjalan menuju kelasnya.

—————–

“Kenapa kau memakai pakaian originalmu hari ini?” Tanya Yeon-sa begitu ia duduk di kafetaria. Ia baru sempat menanyakannya sekarang karena Chanyeol terus menempel dengannya saat pelajaran olahraga. Bahkan sekarang pria itu bergabung dengan mereka.
“Eomma-ku.. aku lupa kalau kita ada pelajaran olahraga hari ini.” Ralat Ji-seul. Hampir saja ia membongkar rahasianya sendiri. Yeon-sa menatap Jiseul penuh selidik.
“Kau yakin karena itu?” Jiseul mengangguk sambik meminum strawberry milknya.
“Aku pikir karena kau sudah move on.” Chanyeol hanya jadi pendengar yang baik sambil memakan kentang gorengnya.
“Move on?”
“Kau memakai seragam longgar karena Kris.” Yeonsa mengingatkan. Chanyeol menyentuh lengan Yeonsa.
“Siapa Kris?”
“Aku akan jelaskannya nanti, Yeol.” Balas Yeonsa.
“Aku pikir kau memutuskan untuk tidak memakai seragam longgar lagi.”
“Kenapa aku harus melakukan itu?” Sahut Jiseul sedikit kesal Karena Yeonsa menyinggung tentang Kris.
“Sebagai tanda kalau kau sudah move on dari Kris. Kau akan cepat mendapatkan pengganti Kris kalau kau menjadi dirimu yang sebenarnya. Kau tahu, saat pelajaran olahraga tadi murid-murid sekelas kita memperhatikanmu. Dan murid yang kumaksud disini adalah murid laki-laki.”
“Apa termasuk Chanyeol?” Jiseul menghela nafas. Ia mengerti maksud Yeonsa. Tapi ia punya pendapat yang tidak bisa diganggu gugat orang lain.
“Tidak masalah kalau aku memakai pakaian longgar atau tidak. Kalau ada laki-laki yang benar-benar menyukaiku, dia pasti tidak mempermasalahkan penampilanku.”
“Aku tahu siapa orang itu.” Ucap Chanyeol semangat yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Yeonsa. Sekarang bukan saatnya mereka memberitahu Baekhyun pada Jiseul.
“Aku tahu, Jiseul. Tapi kalau kau tidak memakai pakaian longgarmu, laki-laki yang mendekatimu pasti banyak.” Tentang move on, Jiseul sedang berusaha melakukan itu. Tapi kalau kekasih baru? Biar waktu yang menjawab.
Di bagian kafetaria yang lain, EXO juga sedang menikmati makanan mereka sambil mengobrol.
“Sehun mana?” Tanya Luhan karena ia tidak mendapati pria itu di meja mereka.
“Min Young memutuskan untuk menjauhkan Sehun darimu sebentar.” Sahut Kyungsoo datar.
“Kau menyulitkan Minyoung, Luhan. Kau mau tahu berapa lama Sehun mendiamkan Minyoung?”
“Tidak sampai satu hari kan?” Kai menggelengkan kepalanya mendengar sahutan Luhan yang tidak peduli.
“Tapi Minyoung tidak layak menerima tingkah laku Sehun yang dingin.” Kata Suho.
“Kenapa kalian membahas ini denganku? Mereka tidak putus kan? Kalian juga tahu kalau Minyoung dan aku hanya berteman. Ciuman itu bukan apa-apa.” Kai, Suho, Kyungsoo, hanya bisa menatap pasrah Luhan. Entah kapan Luhan bisa menganggap serius apa yang terjadi di sekitarnya.
“Aku mau bergabung dengan Chanyeol.” Baekhyun beranjak dari duduknya. Dia tidak mau berkomentar karena komentarnya tidak akan didengarkan Luhan.
“Hei, Kai.” Kai mengalihkan pandangannya dari meja Jiseul.
“Kau masih berencana mengerjai Jiseul?” Tanya Luhan.
“Tidak. Kau dengar apa yang dikatakan Jeorin kan?” Luhan menganggukkan kepalanya.
“Aku membenarkan ucapan Jeorin. Dan lagi, Baekhyun sudah mulai melakukan pendekatan dengan Jiseul.” Luhan, Suho, Kyungsoo, Kai, melihat meja Jiseul, mendapati teman-teman mereka saling bercanda.
“Baekhyun pintar memilih wanita.” Luhan, Kyungsoo, Suho menatap Kai, menunggu penjelasan pria itu.
“Saat olahraga tadi, Jiseul terlihat beda. Di balik seragam longgar itu terdapat tubuh yang indah.” Kyungsoo dan Suho menggelengkan kepala mereka.
“Ingat Jeorin, Kai.” Tegur Kyungsoo.
“Kalian pikir aku apa? Aku hanya ingin membenarkan ucapan Suho tempo hari.” Kai sedikit tersinggung. Dia setia pada Jeorin.
“Hanya mengingatkan, Kai.” Sambung Kyungsoo.
“Aku tidak akan melakukan hal bodoh yang bisa menyebabkan Jeorin meninggalkanku. Kalian tahu sendiri bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan Jeorin.”
“Kami mengerti. Kau seperti mau memakan kami, Kai.” Kata Suho. Mereka terus mengobrol. Tidak menyadari kalau sedari tadi Luhan tidak mendengarkan mereka. Ia hanya melihat Jiseul. Gadis yang berstatus istrinya itu memang cantik. Hal itu yang membuat Luhan mencium Jiseul di rumah keluarga Choi. Apa jadinya kalau teman-temannya tahu kalau ia menikah dengan Jiseul? Pandangan Luhan beralih pada Baekhyun yang terus tersenyum sambil mendengarkan cerita Jiseul.
“Luhan.” Suara Sejin mengalihkan perhatian EXO. Mereka menatap Sejin yang tersenyum pada mereka.
“Sejin,” Luhan berdeham. Ia menatap teman-temannya satu per satu.
“Kenalkan, dia Sejin, kekasihku sekarang.” Kai, Suho, Kyungsoo mengangguk.
“Hallo, aku—“
“Kami mengenalmu, Sejin. Semoga hubunganmu bertahan lama dengan Luhan.” Potong Kai membuat senyum Sejin menghilang. Dia tidak suka penyambutan Kai.
“Aku mau menemui Jeorin.” Kai bangkit dari duduknya.
“Um.. Kami ke kelas, Luhan.” Ucap Suho. Tanpa melihat Sejin, Suho dan Kyungsoo meninggalkan meja mereka. Luhan menggelengkan kepalanya. Ada apa dengan teman-temannya? Beberapa hari yang lalu mereka begitu mendukung pendekatannya dengan Sejin. Tapi setelah ia bersama Sejin, mereka seperti menolak gadis itu.
“Duduk, Sejin.” Luhan menarik Sejin untuk duduk di sebelahnya.
“Kau mau makan apa?” Luhan mengelus rambut Sejin lembut.
“Aku mau orange juice-mu.” Luhan tersenyum. Ia meletakkan orange juice-nya di depan Sejin.
“Kau yakin tidak mau makan?” Sejin menggeleng.
“Oke.” Luhan memakan sandwich-nya yang terlupakan. Sesekali ia mencuri pandang ke meja Jiseul. Ia tidak tahu kenapa ia melakukan itu.
“Luhan,” Saat Sejin memanggilnya, Luhan sudah selesai makan. Ia mengambil orange juice-nya lalu meminumnya sampai habis.
“Apa EXO tidak menyukaiku?” Luhan menatap Sejin bingung.
“Kenapa kau berkata seperti itu?” Sejin mengangkat kedua bahunya.
Ucapan Kai. Dia bahkan memotong perkenalanku.” Luhan menggenggam tangan Sejin membuat gadis itu menatapnya.
“Jangan dianggap serius. Tadi Kai sedang kesal dengan Dyo.”
“Kau yakin?” Luhan mengangguk.
“Mereka akan menyukaimu sama sepertiku.” Luhan berdiri. Ia mengulurkan tangannya pada Sejin.
“Ayo.” Sebelum meninggalkan kafetaria, Luhan melihat meja Jiseul. Sesuatu mengejutkan Luhan. Matanya membulat melihat Baekhyun yang mengusap sudut bibir Jiseul.

TBC…

Hai.. hai.. adakah yang merindukanku? Maaf ya baru muncul. Tiga/empat bulan terakhir aku sibuk. Nah, dari sekarang aku usahai untuk update terus tiap bulan. Komen chingus ^^



Nice Guy (Chapter 4)

$
0
0

luhan-poster-request-copy1

Nice Guy

Tittle : Nice Guy (Chapter 4)
Author : Jellokey
Main Cast :
Lu Han (Luhan of EXO)
Choi Ji-seul (OC)
Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)
Support Cast :
Yoon Se-jin (OC)
Kim Jong-in (Kai of EXO)
Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)
Kang Jeo-rin (OC)
Shin Min-young (OC)
Cho Yeon-sa OC)
And others
Length : Chaptered
Genre : romance, arranged marriage, school life, family, friendship
Rating : PG-17
Poster : @syrfhdy15
Disclaimer : This story is pure MINE. Don’t plagiat or copy paste without my permission.

Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4

 

“Jadi, siapa Kris?” Tanya Chanyeol pada kekasihnya. Mrs. Ahn, guru kesenian mereka belum masuk ke kelas. Karena rasa penasarannya, Chanyeol tidak bisa menahan mulutnya untuk mengucapkan itu.
“Dia mantan kekasih Jiseul.” Nama Jiseul sontak membuat Baekhyun membalikkan tubuhnya ke meja Chanyeol.
“Dia alumni yayasan ini. Saat Jiseul kelas satu SMP, Kris kelas satu SMA.”
“Bagaimana mereka bisa menjadi sepasang kekasih?” Chanyeol mengerti mereka sekolah di yayasan yang sama, tapi kemungkinan mereka untuk bertemu sangat kecil karena lokasi sekolah mereka berbeda.
“Kau tahu, Kris adalah idola semua murid di yayasan ini. Baik itu junior maupun junior karena dia adalah sosok sempurna yang diinginkan semua orang, terutama perempuan.”
“Apa termasuk dirimu?” Suara Chanyeol terdengar jealous.
“Walaupun dia sempurna, ada satu yang tidak kusukai dari Kris. Wajahnya selalu datar.” ‘Berarti aku lebih tampan darinya.’ Batin Chanyeol. Menurutnya, orang yang tidak memiliki ekspresi wajah adalah orang yang paling jelek di dunia.
“Jadi, bagaimana Jiseul bisa pacaran dengan Kris?” Baekhyun mengulang pertanyaan Chanyeol.
“Saat masih berada di SMP, Kris menjadi ketua di dua klub.”
“Bagaimana bisa?” Baru kali ini Chanyeol mendengar seseorang menjadi ketua dua klub sekaligus.
“Karena dia pintar, Yeol. Kris menjadi ketua klub basket dan klub seni. Dari situ cerita Jiseul dimulai. Untuk mengisi kegiatannya di sekolah, Jiseul memilih klub seni. Saat penerimaan anggota baru, Jongdae, ketua klub saat itu, mengundang ketua terdahulunya, Kris. Aku rasa hari itu kepala Jongdae terbentur sesuatu.” Chanyeol dan Baekhyun menatap Yeonsa bingung.
“Kenapa kau berkata seperti itu?” Tanya Chanyeol.
“Karena dia menyuruh kami menggambar wajah datar Kris.” Yeonsa sebal mengingatnya. Saat itu adalah saat di mana ia gagal menggambar wajah orang pertama kalinya. Ia sangat ahli menggambar wajah manusia.
“Kris berkata semua gambar kami ‘bagus’. Tapi Kris menunjukkan satu gambar yang berbeda, gambar yang ia nilai memiliki nilai seni yang tinggi. Di gambar itu, wajah Kris tidak datar tapi tersenyum. Gambar itu milik Jiseul.” Yeonsa tidak tahu bagaimana bisa Jiseul menggambar Kris dengan senyum sedangkan objek yang mereka gambar berwajah datar. Ia masih penasaran sampai sekarang.
“Aku rasa sejak saat itu mereka mulai dekat.”
“Jadi, itu awalnya. Terus masalah pakaian?” Chanyeol tidak mengerti di bagian itu.
“Dia terlalu posesif. Hanya karena dia tidak suka Jiseul mendapat perhatian dari laki-laki, dia menyuruh Jiseul untuk memakai pakaian longgar.”
“Kenapa mereka putus?” Tanya Baekhyun. Mereka menjalin hubungan cukup lama, sangat disayangkan sekali.
“Jiseul dan Kris menjalani hubungan jarak jauh karena Kris melanjutkan studinya di Kanada. Di sana Kris menjalin hubungan dengan wanita lain.”
“Dia selingkuh?!” Chanyeol terkejut, tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang di-cap sempurna oleh banyak orang bisa melakukan itu?
“Kata Jiseul, dalam waktu dekat ini Kris akan menikah dengan wanita itu. Hanya itu yang kutahu. Sudah puas Mr. Park?” Chanyeol mengangguk lalu menepuk pundak Baekhyun. Gerakannya seperti seorang kakak yang menyuruh adiknya untuk segera mendekati gadis yang disukainya.
“Jiseul, single, Bro. Jangan lewatkan kesempatan ini.” Baekhyun menoleh ke kiri. Ia melihat Jiseul. Dia ingin tahu lebih banyak lagi tentang gadis itu. ‘Bahkan di saat membaca pun dia terlihat manis.’ Batin Baekhyun.

———————–

“Choi Jiseul?” Jiseul mengangkat kepalanya, melihat siapa yang mengganggu konsentrasi membacanya.
“Jung-kook? Kau sekolah di sini?”
“Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau sekolah di sini? Tahu begitu, aku tidak perlu memusingkan kepalaku dengan sekolah-sekolah bagus yang ada di Seoul.” Jiseul tersenyum kecil. Jung-kook adalah adik seniornya di klub seni dulu.
“Kau menetap di Seoul?” Jiseul sudah mengetahui rencana kepindahan Jung-kook dari Jeon-ha, seniornya. Tapi ia tidak menyangka secepat ini. Jung-kook mengangguk.
“Hari ini kau ada pemotretan untuk koleksi Spring Summer kakakku kan?” Jiseul membalas Jung-kook dengan gumaman. Sudah dua bulan ia menjadi model, tidak bisa dibilang model profesional. Ia hanya membantu seniornya.
“Apa kau sibuk setelah pemotretan?” Jiseul mengangguk. Jiseul tidak tahu berapa lama pemotretannya akan berlangsung, tapi setelah itu ia harus ke rumah mertuanya. Ibunya memberitahunya kalau mereka akan makan malam bersama di kediaman keluarga Lu.
“Aku pikir kau bisa menemaniku jalan-jalan di Seoul setelah pemotretan.” Ucap Jung-kook lemah.
“Lain kali kau mau menemaniku kan?” Ucap Jung-kook penuh harap. Jiseul mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia tahu Jung-kook memiliki rasa padanya. Jeon-ha yang memberitahunya. Tapi ia tidak mau menanggapi lebih lanjut karena ia hanya menganggap Jung-kook sebagai teman.
“Sampai jumpa, Jiseul.”
“Sampai jumpa, Jung-kook.” Jiseul melanjutkan bacaannya lagi. Ini salah satu cara Jiseul untuk menghabiskan waktunya. Ia masih punya waktu satu jam sebelum ia pergi ke butik Jeon-ha. Merasa tidak tertarik lagi dengan buku yang ia baca, Jiseul bangkit dari duduknya, berniat mencari buku lagi, novel lebih tepatnya. Ia berjalan melewati rak-rak yang berhubungan dengan buku-buku pelajaran, menuju sudut perpustakaan yang terisolasi. Semakin dekat dengan tujuannya, Jiseul merasa mendengar suara aneh. Erangan? Desahan? Jiseul tidak yakin. Apa dia berhalusinasi? Langkah Jiseul kecil dan lambat. Ia ragu untuk melanjutkan langkahnya.
“Lu… aah… Han..” Jiseul menghentikan langkahnya. Lu Han? Apa itu Lu Han sebangkunya? Gadis itu ingin berbalik, tidak mau melihat tindakan tidak senonoh di perpustakaan.
“Faster… ah.. Lu!” Jiseul mematung di tempatnya. Di depannya, seorang pria sedang mencium ganas seorang wanita yang punggungnya menempel di dinding dan kedua kakinya yang melingkar di pinggang si pria.
“Hmmph..!” Kejadiannya begitu cepat. Jiseul tidak bisa melihat scene erotis itu lagi karena seseorang menutup mata dan mulutnya, menyeretnya menjauh dari tempat itu. Jiseul berusaha berontak tapi tidak bisa.
“Ini aku, Baekhyun.” Mendengar itu, Jiseul berhenti meronta. Baekhyun melepas tangannya dari mulut dan mata Jiseul.
“Seharusnya kau langsung pergi dari situ.” Baekhyun menarik tangan Jiseul kembali ke mejanya. Bagaimana Baekhyun bisa tahu tempat Jiseul membaca? Sederhana, Baekhyun mengikuti Jiseul sejak gadis itu keluar dari kelas. Aneh? Begitulah cara Baekhyun untuk lebih mengenal Jiseul. Perasaannya tidak enak saat ia melihat seorang pria menghampiri gadis yang ia sukai. Ya, Baekhyun mempertegas perasaannya. Ia menyukai Jiseul. Ia tidak bisa menghapus wajah Jiseul dari ingatannya sejak pertama kali ia melihat gadis itu. Fakta yang ia dapat dari Yeonsa semakin membuat ia menyukai Jiseul. Ia yakin perempuan itu tipe setia dari hubungannya dan Kris.
“Aku terkejut. Aku tidak bisa berpikir.” Ini pertama kali Jiseul melihat adegan dewasa dan Jiseul tidak mau melihatnya secara langsung maupun tidak langsung.
“Jangan pikirkan itu.” ‘Aku harus bicara pada Lu Han. Sudah cukup ia bertindak sesukanya.’ Batin Baekhyun.
“Apa itu Lu Han?” Baekhyun mengangguk. Ia menatap Jiseul yang sudah lama menatapnya. Pandangan gadis beralih pada tangan Baekhyun yang masih menggenggam pergelangan tangannya.
“Maaf.” Baekhyun menggaruk tengkuknya, malu.
“Aku tidak percaya itu Lu Han.” Ia jadi ingat pertemuan pertamanya dengan Lu Han di taman. Ia pikir Lu Han hanya mesum, tapi setelah melihat Lu Han melakukan ‘itu’, Lu Han berubah menjadi pria yang brengsek di matanya. ‘Buat apa aku memikirkan itu?’ Jiseul mengambil tasnya. ‘Jiseul benar-benar tidak tahu tentang EXO. Hal itu sudah biasa untuk Lu Han, Jiseul.’ Pikir Baekhyun.
“Apa kau mau pulang?” Mereka berjalan keluar perpustakaan.
“Tidak.” Jiseul tersenyum.
“Aku harus ke suatu tempat, Baekhyun. Sampai jumpa.” Jiseul berjalan cepat meninggalkannya. Baekhyun hendak bersuara tapi suaranya tertahan di tenggorokannya. Bahkan Jiseul tidak menoleh ke belakang untuk melihatnya. Baekhyun tersenyum kecil. ‘Take it slow, Baek.’

———————

“Noona, apa kita mau pulang?” Jaehyun bertanya pada kakaknya saat mereka berjalan menuju gerbang taman bermain.
“Iya, Jae. Ini sudah malam.” Jawaban Jeorin membuat Jaehyun cemberut. Taman bermain sangat indah di malam hari. Lampu warna-warninya membuat Jaehyun merasa melihat bintang dari jarak dekat.
“Tapi, aku masih ingin bermain. Hyung, ayo main lagi.” Jaehyun melihat Kai yang berada di sebelah kanannya dengan mata lebarnya yang berkaca-kaca. Bocah ini benar-benar tahu kapan menggunakan senjata andalannya. ‘Apa Jongin akan luluh lagi?’ Jeorin bertanya dalam hati.
“Kakakmu benar, Jaehyun. Kita sambung lain kali, oke?” Jeorin tersenyum melihat interaksi Kai dan adiknya. Awalnya, Jeorin tidak menyangka kalau Kai memiliki hati yang lembut. Ia pikir Kai akan menyerah begitu bertemu Jaehyun, sama seperti yang dilakukan laki-laki yang pernah mendekatinya. Tapi ternyata tidak. Baru Kai—pria yang dengan maksud menjadikannya kekasih yang berhasil mengatasi kejahilan Jaehyun.
“Tapi, hyung—“
“Kau mau makan ayam goreng?” Jeorin tersenyum geli. Bahkan Kai bisa membuat Jaehyun sama maniaknya seperti Kai terhadap ayam goreng. Terang saja wajah Jaehyun langsung sumringah. Jeorin menggenggam tangan kiri Kai setelah pria itu menggendong Jaehyun yang sedang mengoceh tentang rencananya besok bersama Kai.
“Kau berhasil menggantikan posisiku sebagai kakak Jaehyun.” Canda Jeorin.
“Aku tidak menggantikanmu, Baby. Aku memang kakak ipar Jaehyun bukan?” Kai menatap Jeorin jahil.
“Hyung mau menikah dengan noona?” Celetuk Jaehyun membuat pasangan itu terkejut. Walaupun Jaehyun baru berusia lima tahun, tapi tingkahnya seperti orang dewasa di saat-saat tertentu. Kai tersenyum.
“Eum. Kau senang?” Jaehyun mengangguk antusias.
“Kalau kalian sudah menikah, aku bisa bermain dengan hyung setiap hari.” Kai tertawa kecil. Jiwa anak-anak Jaehyun masih ada ternyata.
“Jadi, kita makan di mana?” Tanya Jeorin, menghentikan percakapan tentang pernikahannya dan Kai yang sangat didukung Jaehyun.
“Mc Donald.” Sahut Jaehyun semangat.
“Tidak, Jaehyun. Kau terlalu sering makan di sana.” Ucap Jeorin tegas. Bukan Jeorin tidak suka mereka makan di sana, tapi terlalu sering makan makanan cepat saji tidak baik buat kesehatan, bukan?
“Jongin hyung,” Jaehyun memeluk leher Kai, tidak mau melihat Jeorin.
“Aku tidak akan membawa kalian ke sana.” Bisik Kai di telinga Jeorin.
“Hyung, kita ke Mc Donald kan?” Jeorin mendesah berat karena Jaehyun yang masih bersikeras. Sejak ia akrab dengan Kai, Jaehyun selalu mencari pembelaan dari Kai kalau ada hal yang tidak disukai bocah itu dari Jeorin. Dan Kai terlalu memanjakan Jaehyun. Pria itu lebih sering mengabulkan permintaan Jaehyun daripada mengabaikannya.
“Hyung tahu sebuah restoran,” Kai melihat Jaehyun dengan tatapan misteriusnya, membuat Jaehyun mendengarkannya dengan seksama.
“Restoran ini, ayam gorengnya enaaak sekali.”
“Benarkah?” Jaehyun menatap Kai dengan mata berbinar. Kai mengedipkan sebelah matanya pada Jeorin yang dibalas tatapan tajam dari Jeorin. Detik berikutnya Jeorin tersenyum. Selalu seperti itu. Hanya satu kalimat dari Kai dan Jaehyun langsung menurutinya.

——————

“Hyung, aku bosan.” Kai dan Jaehyun sedang duduk di sofa sebuah butik di Gangnam, menunggu Jeorin mengambil dress pesanannya. Tiga puluh menit, Kai rasa kalau hanya mengambil pesanan tidak memakan waktu sebanyak itu. Yang Kai tidak tahu, Jeorin melihat-lihat dress lagi.
“Ini koleksi terbaru butik kami, Nona.” Ucap pelayan yang mendampingi Jeorin. Jeorin mengamati dress merah yang ia pegang.
“Ini bukan desain Jeon-ha.” Jeorin sangat mengenal pemilik butik yang menjadi designer pribadinya selama dua tahun. Pelayan itu pergi sebentar lalu kembali dengan membawa sebuah album.
“Nona benar. Dress ini didesain oleh junior dan model untuk koleksi S/S Presdir Jeon-ha.” Wanita itu membuka album yang ia pegang.
“Ini orang yang mendesain dress ini, Nona.” Mata Jeorin membulat melihat foto di album itu. ‘Ini Choi Jiseul, gadis yang disukai Baekhyun.’
“Saya membeli dress ini.” Jeorin menyerahkan dress yang ia pegang dan mengambil album foto dari si pelayan. Ia membawa album itu ke tempat Kai menunggu.
“Kau sudah selesai?” Alis Kai bertaut melihat wajah terkejut Jeorin.
“Ada apa, Baby?” Tanya Kai pada Jeorin yang sudah duduk di sampingnya. Jeorin tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan album yang ia bawa pada Kai. Walaupun bingung, Kai tetap membuka album itu. Sama seperti Jeorin ia juga terkejut, tapi hanya sedikit.
“Choi Jiseul?” Jeorin mengangguk.
“Dia model untuk koleksi Jeon-ha.” Jeorin diam. Dahinya berkerut, ia berpikir keras. Bagaimana model seperti Jiseul tidak pernah terekspos di sekolah sekalipun? Jiseul benar-benar pintar menutupi jati dirinya.
“Kita harus memberitahu Baekhyun.” Sambil melihat-lihat foto Jiseul, Kai menelepon Baekhyun.
“Byun, kemari sekarang.” Kai mengatakan alamat di mana ia berada lalu menutup sambungan telepon.
“Baekhyun tidak akan kemari kalau kau meneleponnya seperti itu, Jongin.” Kata Jeorin sedikit kesal.
“Dia pasti kemari.” Kai menutup album itu lalu mengelus kepala Jaehyun yang tidur di pangkuannya.
“Kenapa aku tidak pernah menyadari keberadaannya?” Gumam Jeorin. Kai tersenyum penuh arti lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Jeorin.
“Karena kau sibuk memperhatikanku.” Bisik Kai lalu mencium pipi kekasihnya.
“Ugh.. Sekarang bukan saat yang tepat untuk merayuku, Jongin.”
“Kau selalu suka rayuanku.” Balas Kai. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Jeorin.
“Kapan kau pindah ke apartemenku, Baby?” Kai mengalihkan pembicaraan. ‘Tidak ini lagi.’ Jeorin menghela nafas.
“Jongin, kita sudah sering membahas ini.”
“Aku tahu. Aku hanya ingin mencoba keberuntunganku. Mungkin kau berubah pikiran.” Suara Kai manja, salah satu kartu andalannya untuk meluluhkan kekasihnya.
“Tidak, Jongin.” Sahut Jeorin setelah terdiam cukup lama.
“Oke. Aku tidak akan menanyakannya lagi.” Suara Kai pelan, masih belum terbiasa dengan penolakan Jeorin tentang masalah yang satu itu.
“Kalau saatnya tiba, aku pasti pindah ke apartemenmu.” Jawaban yang sama seperti sebelumnya. Kai tidak mengerti tujuan dari jawaban Jeorin. Hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun. Orang tua mereka juga tahu kalau mereka menjalin hubungan spesial. Ia juga sudah memanggil orang tua Jeorin dengan sebutan ayah dan ibu, begitu juga sebaliknya. Tindakan mereka juga sudah jauh dari batas pacaran. Itu poin yang paling penting. Jadi, tidak masalah kalau mereka tinggal bersama. Kai selalu berpikir seperti itu.
“Kita pulang kalau Baekhyun tidak tiba di sini dalam waktu sepuluh menit.” Kai mengangkat kepalanya dari bahu Jeorin. Merasa Kai tidak mau bicara lagi dengannya, Jeorin pun menoel pinggang Kai.
“Kau tidak merajuk kan?”
“Tidak.” Jawab Kai tanpa menatap Jeorin. Jeorin tahu betul kalau Kai merajuk. Pria itu akan melihat ke mana saja asalkan bukan Jeorin.
“Apa yang terjadi kalau fans-mu tahu kau suka merajuk dan manja?”
“Mereka akan semakin mencintaiku.” Balas Kai tidak peduli. Jeorin mengetukkan telunjuknya di dagunya, pura-pura berpikir keras.
“Kalau begitu cintaku padamu akan berkurang sedikit demi sedikit.” Kai langsung menoleh, melihat Jeorin dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa Jeorin mengatakan itu tanpa mengalami kesulitan? Jeorin menatap Kai lembut, pria yang tidak ia sangka bisa mencintai dengan sangat tulus dan dalam. Her man.
“Aku bercanda, Jongin.”
“Tidak lucu, Jeorin.” Kai membuang nafasnya kesal. Satu yang harus kalian tahu tentang mantan playboy ini, dia sangat sensitif.
“Jangan marah.” Jeorin menangkupkan tangannya di wajah Kai. Ia tersenyum begitu Kai menatapnya sama seperti ia menatap pria itu.
“Aku mencintaimu, Jongin. Sangat, sangat mencintaimu.” Seolah tidak peduli dengan sekitarnya, mereka saling mendekatkan wajah mereka. Tangan Jeorin yang tadinya berada di wajah Kai sekarang sudah berada di leher pria itu. Ia memejamkan matanya saat bibir Kai sudah menempel di bibirnya.
“Aku kemari bukan untuk melihat kalian berciuman.” Suara berat itu menghentikan ciuman mereka. Baekhyun berdecak melihat keduanya saling menjauhkan wajah mereka. Gerakan Kai jelas mengganggu tidur Jaehyun.
“Tidur, Jae. Sebentar lagi kita pulang.” Kai mengelus rambut Jaehyun, membuat bocah yang berstatus sebagai calon adik iparnya nyenyak kembali.
“Ada apa? Aku harap kau menyuruhku kemari karena hal yang penting.” Kata Baekhyun sedikit kesal.
“Lihat album itu, Baek.” Kai berucap pelan, tidak ingin suaranya membangunkan Jaehyun. Baekhyun menggelengkan kepalanya melihat pemandangan itu. Kalau orang yang tidak kenal Kai dan Jeorin melihat ini, mereka pasti mengira kalau Kai dan Jeorin adalah pasangan muda dengan Jaehyun sebagai anak mereka. Baekhyun mengabaikan pemikirannya. Ia membuka album itu, mendapati foto Jiseul dengan berbagai pose dan ekspresi wajah. Jiseul memang cantik, baik di sekolah maupun di foto yang ia lihat. Itu menurut Baekhyun, salah satu orang yang bisa melihat siapa Jiseul sebenarnya.
“Ini Jiseul.” Kai dan Jeorin saling menatap, bingung melihat reaksi Baekhyun yang biasa saja.
“Hanya itu? Aku pikir kau akan berkata, ‘dia cantik sekali’.” Baekhyun tertawa mendengar Kai.
“Dia sama saja seperti di sekolah. Yang berbeda hanya pakaian yang ia pakai. Dan poin yang paling penting dia tidak begitu mencolok di sekolah.” Terang Baekhyun membuat Kai terperangah.
“Dia sangat menyenangkan. Sekali kau mengobrol dengannya, kau pasti langsung cocok dengannya, Jeorin.” Baekhyun menatap Jeorin. Kekasih temannya itu sangat berhati-hati dalam memilih teman.
“Kau bicara seperti sudah lama mengenal Jiseul.” Pria yang suka menggunakan eyeliner itu tersenyum. Pikirannya kembali pada saat ia bersama Jiseul di perpustakaan tadi sore.
“Aku ingin lebih mengenalnya lagi.” Baekhyun menutup album yang ia pegang.
“Aku pulang.” Pria itu berdiri, melihat sebentar Jaehyun yang tidur di paha Kai.
“Dan berhenti membawa Jaehyun kencan bersama kalian.” Ucap Baekhyun sebelum meninggalkan Kai yang tidak mendengar nasehatnya karena pria itu menatap Baekhyun takjub.
“Dia benar-benar jatuh cinta.” Kai tersenyum. Melihat sikap Baekhyun, ia sangat yakin kalau Jiseul gadis yang baik. Tapi, senyum Kai menghilang begitu mengingat temannya yang lain. Lu Han.

——————

“Mama!” Lu Han mencium pipi kiri dan kanan ibunya lalu duduk di samping ibunya. Ia terlambat datang ke acara makan malam keluarganya. Acara makan malam pertama setelah ia menikah dengan Jiseul. “Ayah, Ibu.” Lu Han menganggukkan kepalanya kepada mertuanya yang dibalas senyuman dari keduanya.
“Kenapa kau tidak bersama Jiseul, Lu Han?” Tanya Nyonya Lu.
“Uh..” Lu Han terdiam. Ia tidak terpikir untuk memberitahu Jiseul karena ia terlalu ‘sibuk’ dengan Sejin.
“Sebentar lagi Jiseul akan datang.” Ucapan Nyonya Lu membuat Lu Han lega.
“Dia ada urusan, Ibu. Jadi, dia menyuruhku duluan kemari.” Sambung Lu Han yang tentu saja bohong. Ia tidak tahu di mana Jiseul berada. ‘Apa Jiseul tahu tentang makan malam ini?’ Lu Han merasa tidak yakin dengan ucapan ibu mertuanya yang mengatakan Jiseul akan datang.
“Bagaimana rasanya jadi pengantin baru, Lu Han?” Tanya Nyonya Lu menunggu kedatangan Jiseul.
“Bagaimana malam pertama kalian?” Sambung Nyonya Lu membuat anaknya terkejut. Ia melihat kedua mertuanya. Apa-apaan ibunya, membicarakan hal seperti itu di depan mertuanya. Tidak sopan! Ini pertama kalinya Lu Han berpikir kalau berbicara tentang seks (malam pertama) tidak sopan.
“Um.. Lancar.. aku rasa.” Ucap Lu Han pelan sambil menunduk.
“Aww.. apa putraku malu?” Nyonya Lu mencubit pipi Lu Han gemas.
“Mama!” Tuan Lu memperhatikan Lu Han lekat. Ia yakin anaknya belum berubah walaupun sudah menikah. Apa yang Tuan Lu pikirkan? Lu Han tidak mungkin berubah secepat itu. Pernikahan anaknya bahkan belum ada satu minggu.
“Ibu hanya ingin mengingatkanmu, Nak. Kalau kalian berhubungan intim, jangan lupa pakai pengaman.” Lagi-lagi Lu Han dikejutkan oleh kefrontalan ibunya. Lu Han mengabaikan ucapan ibunya. Lu Han tidak perlu diingatkan, ia sangat ahli dalam hal itu.
“Mama tidak melarang kalian untuk memberikan kami cucu,” Cucu? Bagaimana bisa pembicaraan ini sampai sejauh itu? Lu Han akui ia sangat ingin tidur dengan Jiseul. Siapa yang tidak mau? She is perfect. Definitely, Lu Han type of girl. Tapi, kalau sampai punya anak? Lu Han tidak pernah memikirkan itu. Kalau bukan karena perjodohan ini, Lu Han juga tidak pernah memikirkan pernikahan.
“Tapi, kalian harus memikirkan sekolah kalian terlebih dahulu.” Lu Han mengangguk mengerti.
“Lu Han,”
“Ya, Baba.” Lu Han melihat ayahnya. Ayahnya hanya bicara padanya kalau penting saja.
“Ayah harap kau bisa lebih serius. Kau sudah menikah. Kau harus bisa berpikir dewasa, Lu Han. Berpikir dua kalinya sebelum bertindak. Mungkin sekarang kebutuhanmu masih kami yang memenuhi. Tapi, kalau kau sudah selesai sekolah, kau sendiri yang akan memenuhi kebutuhanmu dan Jiseul.” Tuan Lu melihat putranya serius.
“Dan perlakukan Jiseul dengan baik.” Lu Han menautkan alisnya. Apa maksud ayahnya?
“Maaf, aku terlambat Ayah, Ibu.”

—————

“Bagaimana kabar anak Ibu setelah tinggal dengan suaminya?” Tanya ibu Jiseul saat mereka berada di dapur menyiapkan teh untuk keluarga mereka yang sedang mengobrol di ruang keluarga.
“Baik, Ibu.” Jawab Jiseul sambil menuangkan teh ke dalam gelas.
“Ibu yakin kalau kalian belum bisa menerima pernikahan ini.” Nyonya Choi terdengar serius, berbeda sekali dengan saat ia mengobrol dengan Jiseul di telepon.
“Tapi, Ibu harap kalian mau saling membuka diri satu sama lain.” Sambung Nyonya Choi. ‘Itu tidak mungkin terjadi.’ Batin Jiseul.
“Aku akan mencobanya, Eomma.” Jiseul mengangkat nampan, membawa teh dan cemilan yang ia siapkan ke ruang keluarga. Ia tidak bisa melakukan apa yang dikatakan ibunya. Tapi, ia juga tidak bisa mengecewakan orang tua yang sudah memberikan kebahagiaan padanya, melengkapi kebutuhannya sampai ia sebesar ini. Nyonya Choi hanya bisa memandangi punggung putrinya. Ia juga tidak mau anaknya menikah semuda ini. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Membayar hutang budi lebih sulit daripada hutang materi. Hanya Jiseul yang bisa membuat hutang budi keluarga mereka kepada keluarga Lu lunas. Nyonya Choi berharap Jiseul bisa bahagia dengan Lu Han.

——————

“Kalian yakin tidak mau menginap di sini?” Nyonya Lu menatap Lu Han dan Jiseul penuh harap. Sudah tiga kali ia menanyakan itu tapi jawaban anaknya tetap saja tidak sesuai harapannya.
“Lu Han, Ibu merindukanmu, nak.” Tuan Lu melihat istrinya. Bagaimana anaknya bisa mandiri kalau istrinya berkata seperti itu?
“Aku lebih menyukai rumah kami.” Lu Han melingkarkan tangan kirinya di pinggang Jiseul yang berdiri di sampingnya. Tindakan akting Lu Han membuat Jiseul tersentak.
“Lagipula, sudah ada istriku yang selalu memanjakanku setiap saat.” Jiseul bergidik ngeri mendengar ucapan Lu Han. Apa yang direncanakan pria ini?
“Yang pengantin baru.” Nyonya Lu memeluk suaminya. Lu Han tersenyum mendapati ayahnya yang terkejut karena tindakan ibunya. Terkadang Lu Han berpikir, Bagaimana bisa ibunya, seorang wanita yang ceria, menikah dengan ayahnya, pria yang dingin dan kaku.
“Sayang, aku iri pada mereka.” Jiseul menatap kagum mertuanya. Walaupun mereka sudah tua, mereka terlihat seperti pasangan muda yang selalu mesra.
“Pulanglah, nak. Ini sudah malam dan besok kalian harus sekolah. Kalau ada waktu datanglah kemari.” Ucap Tuan Lu. Lu Han mengangguk.
“Aku pulang, ayah.” Lu Han membungkuk hormat pada ayahnya, membuat Jiseul heran. Kenapa Lu Han seformal itu pada ayahnya?
“Mama,” Lu Han memeluk ibunya. Mata Nyonya Lu berkaca-kaca. Ia masih tidak percaya kalau anak laki-lakinya sudah menikah.
“Aku juga merindukan, Mama.” Ucap Lu Han pelan.
“Oh, Lu Han. Kau masih anakku ternyata.” Lu Han terkekeh mendengar ibunya.
“Tentu saja aku anakmu, Ma.” Lu Han melepas pelukannya.
“Aku akan mengunjungi ibu lagi.” Nyonya Lu mengangguk.
“Kami pulang, ayah, ibu.” Jiseul memeluk ayah dan ibu mertuanya bergantian.
“Hati-hati di jalan, nak.” Lu Han membunyikan klakson mobilnya sebelum meninggalkan rumah orangtuanya.
“Apa yang kau lihat dari Lu Han saat makan malam tadi?” Tanya Tuan Lu pada istrinya, mereka masuk ke dalam rumah.
“Dia belum berubah. Tapi dia sangat sopan di hadapan mertuanya tadi. Kita tidak salah menikahkan Lu Han dengan Jiseul.” Jawab Nyonya Lu, lalu berpikir.
“Sayang, apa menurutmu Lu Han akan berperilaku sama seperti sekarang kalau kita menikahkannya dengan gadis lain?” Nyonya Lu melihat suaminya yang berpikir keras. Lu Han pasti langsung pergi dari acara makan malam kalau ia tidak menyukai Jiseul. Bukan duduk manis, berakting seolah-olah ia tidak tahu tentang perjodohan yang sudah direncanakan orang tuanya. Lu Han sudah sering kabur dari pertemuan perjodohan yang Tuan Lu rencanakan.
“Aku tidak tahu. Tapi aku sangat menyukai Jiseul sebagai pendamping Lu Han.”

——————–

Jiseul masuk terlebih dahulu ke dalam rumah. Ia melepas sepatunya lalu menekan saklar membuat semua lampu yang ada di rumah itu menyala. Ia berjalan menuju kamar Lu Han. Ya, kamar Lu Han. Ia tidak akan tidur di kamar itu lagi. Jiseul berhasil mendapatkan kunci semua ruangan di rumah itu dari Nyonya Lu setelah berhasil meyakinkan ibu mertuanya kalau ia tidak akan tidur terpisah dengan Lu Han seperti yang ada di drama-drama. Kalau saja ibu mertuanya tahu, mereka sudah tidur terpisah sejak malam pertama walaupun mereka masih berada di ruangan yang sama. Jiseul merebahkan dirinya di sofa. Merilekskan tubuhnya sebentar. Ia memejamkan matanya. Ingatannya kembali saat ia mengobrol hanya berdua dengan ayah mertuanya.
Flasback
“Bagaimana kabarmu, Jiseul?” Tanya Tuan Lu saat ia mengajak Jiseul mengelilingi rumahnya.
“Baik, ayah.” Sahut Jiseul tanpa melihat ayah mertuanya.
“Kenapa aku merasa kau canggung padaku? Padahal dulu kau tidak pernah canggung pada ayah.” Jiseul tertawa kecil. Kelihatan sekali ternyata kalau ia canggung.
“Aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa setelah paman jadi ayah mertuaku. Apalagi kalau hanya ngobrol berdua begini.” Tuan Lu tersenyum menanggapi kejujuran Jiseul.
“Apa yang kau rasakan setelah kau tidak tinggal lagi dengan orang tuamu, nak?”
“Aneh, tidak nyaman.” Jawab Jiseul cepat.
“Mungkin akan sedikit berbeda dan menyenangkan kalau aku mengenal orang yang tinggal denganku.” Sambung Jiseul pelan.
“Jiseul, ayah akan memberitahumu kenapa ayah meminta ayahmu untuk menikahkanmu dengan Lu Han.” Tuan Lu menghentikan langkahnya membuat Jiseul juga berhenti.
“Lu Han, anakku itu, dia suka bermain dengan perempuan.” ‘Jadi, mereka juga tahu?’ Batin Jiseul terkejut.
“Ayah tidak tahu sejak kapan ia memiliki kebiasaan itu. Tapi yang jelas saat di Cina dia tidak seperti itu. Ia bahkan tidak memiliki kekasih di sana. Kami, terutama ibumu selalu menasehati Lu Han untuk menghentikan kebiasaan buruknya. Tapi, tidak pernah Lu Han dengarkan. Sampai di suatu saat—“ Tuan Lu tidak mengatakan kejadian yang satu itu, kejadian di mana ia dan istrinya mendapati wanita di apartemen Lu Han.
“Kami memutuskan untuk membekukan semua fasilitas Lu Han, tapi tetap saja ia tidak berubah. Pernikahan adalah cara terakhir yang kami pikir bisa menghentikan Lu Han. Ayah pikir pernikahan ini bisa membuat Lu Han berubah.” Jiseul berusaha mencerna ucapan Tuan Lu. Apa pernikahan ini bisa dianggap serius? Ia merasa seperti dijadikan alat untuk merubah Lu Han yang ia yakini tidak mungkin terjadi.
“Jangan berpikir kalau kami memanfaatkanmu, nak. Kami sangat menyukaimu sebagai menantu kami. Dan kami juga berharap agar pernikahan kalian bertahan sampai kalian tua.” Tuan Lu menatap Jiseul yang berdiri seperti patung di depannya.
“Terkadang Lu Han bisa sangat menyebalkan, Jiseul.”
“Dia anak yang manja.” Sambung Tuan Lu karena tidak mendapat balasan dari Jiseul.
“Ayah mempercayakan Lu Han padamu, Jiseul.”
“Aku tidak tahu, ayah. Aku bahkan tidak menginginkan pernikahan ini.” Jiseul tidak berusaha untuk menutupi fakta itu.Kami mengerti. Tapi, cobalah untuk mengenal Lu Han. Kau gadis yang tepat buat Lu Han.”
Flasback End
Jiseul membuka matanya. Peristiwa saat di perpustakaan melintas di kepalanya lalu beralih ke saat di mana Lu Han memeluk ibunya. Dua sikap yang bertolak belakang. Lu Han yang tidak peduli dan Lu Han yang lembut. Yang mana sebenarnya sisi asli Lu Han? Jiseul mendudukkan dirinya. Ini bukan saatnya untuk memikirkan ucapan Tuan Lu. Kalau Lu Han memang anak yang baik, laki-laki itu pasti bisa berubah tanpa bantuan siapapun. Jiseul mengernyitkan dahinya. Berdasarkan pengalamannya, untuk bisa melakukan perubahan yang baik, harus ada sesuatu yang memotivasi orang yang ingin berubah. ‘Ah, sudahlah. Biarkan waktu yang menjawab semuanya.’ Jiseul bangkit dari duduknya. Ia mengambil kopernya yang berada di samping lemari Lu Han.
“Kau mau ke mana?” Suara Lu Han menghentikan langkah Jiseul. Ia berbalik. Betapa terkejutnya Jiseul mendapati Lu Han berdiri tepat di depannya hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya.
“Pindah ke atas.” Sahut Jiseul datar. Lu Han menautkan alisnya. Bukankah semua ruangan kecuali kamarnya dikunci?
“Aku berhasil mendapatkan kunci dari ibu. Jadi, mulai sekarang aku tidur di atas.” Lu Han menahan tangan Jiseul sebelum gadis itu menjauh darinya.
“Bagaimana kalau ibu tahu kita tidak tidur bersama?” Jiseul tersentak. Tiba-tiba insiden di perpustakaan memenuhi kepalanya. Desahan-desahan itu terdengar jelas di telinga Jiseul. Jiseul melihat tangan Lu Han yang mencengkeram lengannya. Tangan itu adalah tangan yang sudah menyentuh seluruh bagian tubuh Sejin.
“Jangan sentuh aku.” Jiseul menggertakkan giginya. Mata Lu Han membulat, shock dengan reaksi Jiseul.
“Kau menjijikkan, Lu Han.” Bisik Jiseul. Ia menghela nafas melihat kebingungan Lu Han. Ya, pria itu bingung. Bagian mana dari dirinya yang menjijikkan?
“Aku ingin memperjelas kesepakatan kita.” Ucap Jiseul serius.
“A-aku mendengarkan.” Lu Han tidak tahu kenapa ia terbata dan menurut pada Jiseul. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya dia yang mendominasi Jiseul.
“Mulai sekarang anggap kita hanya orang asing yang tidak saling mengenal. Anggap pernikahan ini tidak ada. Jangan campuri urusanku begitu juga sebaliknya aku tidak akan mencampuri urusanmu. Lakukan apapun yang kau inginkan di rumah ini karena rumah ini rumahmu. Aku tidak peduli asalkan kau tidak mengganggu ketenanganku di atas.” Jiseul tidak peduli dengan permintaan Tuan Lu karena ia sangat yakin pernikahannya dengan Lu Han tidak akan berhasil. Pernikahan yang didasari dengan cinta saja bisa gagal, apalagi pernikahan yang tidak didasari cinta? Lagipula, Lu Han bukan tipe pria yang ingin ia jadikan suami. Jangankan suami, berteman pun tidak.
“Ini tidak ada bedanya dengan apa yang kukatakan padamu.” Balas Lu Han acuh tak acuh.
“Aku hanya ingin memastikan kau tidak lupa dengan apa yang sudah kau katakan.”
“Oh, satu lagi. Jangan pernah sentuh aku.” Ucap Jiseul penuh penekanan di setiap kata-katanya. Setelah memastikan kalau Lu Han menangkap pesannya, Jiseul menarik kopernya keluar kamar Lu Han. Suara pintu yang berdebam membuat Lu Han tersadar dari lamunannya. Apa yang terjadi pada Jiseul? Sejak mereka menikah sampai tadi pagi, ia berhasil mengintimidasi gadis itu. Dari mana Jiseul mendapatkan kepercayaan diri sebesar itu sampai ia dengan pasti berani menatap Lu Han tepat di matanya. Hal seperti itu jarang sekali terjadi.
“Apa peduliku? Ini bagus. Kami punya pendapat yang sama.” ‘Itu artinya kami cocok.’ Lu Han menggelengkan kepalanya.
“Apa yang kupikirkan? Aku rasa aku harus mencari boneka baru. Sejin membosankan.”

TBC…

Maaf lama  leave your comment please..


Nice Guy (Chapter 5)

$
0
0

Originally posted on JelloKey's World:

luhan-poster-request-copy1

Nice Guy

Tittle : Nice Guy (Chapter 5)
Author : Jellokey
Main Cast :
Lu Han (Luhan of EXO)
Choi Ji-seul (OC)
Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)
Support Cast :
Yoon Se-jin (OC)
Kim Jong-in (Kai of EXO)
Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)
Kang Jeo-rin (OC)
Shin Min-young (OC)
Cho Yeon-sa OC)
And others
Length : Chaptered
Genre : romance, arranged marriage, school life, family, friendship
Rating : PG-17
Poster : @syrfhdy15/ https://myelsexperience.wordpress.com/poster/
Disclaimer : This story is pure MINE. Don’t plagiat or copy paste without my permission.

Teaser || Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4  Chapter 5

Walaupun Lu Han punya rencana untuk mencari ‘boneka’ baru,dia tetap berangkat ke sekolah bersama Sejin pagi itu.

View original 3,534 more words


Nice Guy (Chapter 6)

$
0
0

Originally posted on JelloKey's World:

luhan-poster-request-copy1

Nice Guy

Tittle : Nice Guy (Chapter 6)
Author : Jellokey
Main Cast :
Lu Han
Choi Ji-seul (OC)
Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)
Support Cast :
Zhang Yi Xing (Lay of EXO)
Yoon Se-jin (OC)
Kim Jong-in (Kai of EXO)
Kang Jeo-rin
Oh Se-Hoon (Se Hun of EXO)
Shin Min-young (OC)
And others
Length : Chaptered
Genre : romance, arranged marriage, school life, family, friendship
Rating : PG-17
Poster : https://myelsexperience.wordpress.com/poster/
Disclaimer : This story is pure MINE. Don’t plagiat or copy paste without my permission

Teaser || Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4  Chapter 5  Chapter 6

“Lay,”

View original 4,281 more words


Nice Guy (Chapter 7)

$
0
0

JelloKey's World

LEentfHP

Nice Guy

Tittle : Nice Guy (Chapter 7)
Author : Jellokey
Main Cast :
Lu Han
Choi Ji-seul (OC)
Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)
Support Cast:
Zhang Yi Xing (Lay of EXO)
Yoon Se-jin (OC)
Kim Jong-in (Kai of EXO)
Kang Jeo-rin
Oh Se-Hoon (Se Hun of EXO)
Shin Min-young (OC)
And others
Length : Chaptered
Genre : romance, arranged marriage, school life, family, friendship
Rating : PG-17
Poster : https://myelsexperience.wordpress.com/poster/
Disclaimer : This story is pure MINE. Don’t plagiat or copy paste without my permission

—————————–

Teaser || Chapter 1 || Chapter 2 || Chapter 3 || Chapter 4  Chapter 5  Chapter 6  Chapter 7
Selesai makan malam, mereka berkumpul di ruang keluarga.
“Apa ayah tidak ikut?” Tanya Lu Han pada ibunya.
“Tidak, nak. Ayahmu masih berada di Cina.” Nyonya Lu tersenyum pada Jiseul yang meletakkan teh di hadapannya.

View original post 4,608 more words


[FREELANCE] Time Effect (Chapter 2)

$
0
0

poster copy

  TIME EFFECT (Chapter 2)

| Author : Shin Jaejae | Tittle : Time Effect (Chapter 2) |

| Genre : Romance, Marriage Life, Drama | Rate : PG-15| Length : Chaptered | Main Cast : Baekhyun EXO K, Shin Eunkyung (You) |

|Other cast : EXO K member’s, and find out more|

Summary       : Baekhyun, namja dingin dan acuh tak acuh terlahir dari keluarga kaya, bertemu dengan seorang yeoja mungil bernama Eunkyung yang sangat mandiri.Jangan harap pertemuan yang romantis atau bahagia, namun pertemuan konyol yang mengantarkan mereka ke kehidupan baru yang penuh lika-liku. Dapatkah Eunkyung mengubah sifat Baekhyun yang egois dan dingin?

 

Yeaaay‼Akhirnya Chapter 2 dataaang‼! Nggak usah basa-basi langsung baca aja deh 😀

Happy reading…

 

 

 

—-TIME EFFECT Chapter 2—–

“Aku—bersedia.”, kata Eunkyung dengan nada berat. Baekhyun tersenyum kecil. Semua hadirin bertepuk tangan. Tidak begitu riuh terdengar, karena hanya beberapa saja yang datang.

“Baiklah, kalian sah sebagai pasangan suami istri.”, kata penghulu pada akhirnya.

Acara pun berlanjut dengan penyematan cincin. Sehun sang pembawa cincin pun ke depan menyerahkan cincin kepada pasangan itu. Baekhyun mengambil cincin, lalu disematkan ke  jari manis Eunkyung. Semua hadirin bertepuk tangan lagi.

“Cium! Cium! Cium!”, terdengar seorang tamu berteriak, yang membuat tamu-tamu lain terprovokasi dan ikut-ikutan menyahut.

“Cium! Cium! Cium!”, teriak tamu serempak sambil tertawa-tawa.

Baekhyun yang masih tersenyum-senyum hanya mengangguk menanggapi permintaan para tamu. Eunkyung yang melihat ekspresi Baekhyun kemudian berbisik, “Ya! Jangan macam-macam! Yang satu itu tidak ada dalam perjanjian!”

Baekhyun menoleh kepada Eunkyung, kemudian tersenyum kecil. Dia pun berbisik, “Kau lihat orang tuaku mengawasi kita berdua. Kalau aku tidak melaksanakan -apa yang harusnya pengantin lakukan-  nanti mereka akan curiga dengan pernikahan ini!”

Eunkyung menoleh ke arah para tamu. Tampak kedua orang tua Baekhyun memandang ke arahnya. Eunkyung hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.

“Cium! Cium! Cium!”. Teriakan tamu semakin keras.

Baekhyun mulai mendekatkan kepalanya ke arah Eunkyung. Teriakan tamu menjadi semakin riuh. Dengan hati-hati dia berbisik, “Kau menurut saja, sudah terlanjur basah!”

Shi—“, ucapan Eunkyung terputus, karena bibir Baekhyun sudah mendarat di bibirnya. Mata Eunkyung membelalak. Tiba-tiba saja darahnya serasa berdesir kencang.

“Kau cepat berganti pakaian. Antarkan istrimu ke rumahnya untuk mengambil barang-barang yang diperlukannya!”, kata aboeji Baekhyun saat melihat Baekhyun sedang duduk di sofa tamu.

“Tapi—abeoji, aku masih lelah, acara pernikahan baru saja selesai, dan aku harus mengantarnya ke rumahnya?”, jawab Baekhyun dengan wajah malas. Dia masih mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang melingkar di kerahnya. Sepatunya pun belum sempat dia lepaskan.

“Kau menolak perintah abeojimu? Hah?”, ucap abeoji Baekhyun dengan nada meninggi. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapan Baekhyun. Akhir-akhir ini memang abeoji Baekhyun menjadi mudah naik darah, begitu pula dengan Baekhyun. Baekhyun sudah ingin menjawab perkataan abeojinya itu. Wajahnya merah menahan emosi.

Gwenchana—ahjusshi—umm…”, kata Eunkyung berusaha menengahi percakapan antara anak dan ayah itu. Eunkyung bangkit berdiri, dia tidak ingin mendengar perselisihan antara ayah dan anak, apalagi itu yang menyangkut tentang dirinya.

Abeoji. Panggil aku abeoji.”, jawab abeoji Baekhyun tanpa memandang ke arah Eunkyung. Kedua matanya membelelak, lalu mengerjap-ngerjap. Eunkyung terkejut dengan apa yang dikatakan abeoji Baekhyun. Kata-katanya yang tadi akan dikatakan pun seakan lenyap. Dia berusaha mencerna apa yang dikatakan abeoji Baekhyun tadi. Baekhyun pun merasa terkejut, sehingga dia tidak mengatakan apapun pada abeojinya. Sama terkejutnya dengan Eunkyung, dia tidak menyangka abeojinya mengatakan hal itu, mengingat orang tua Baekhyun yang sebenarnya sangat tidak suka dengan pernikahan Baekhyun ini. Abeoji Baekhyun menyadari suasana canggung di ruangan itu, kemudian berdehem kecil.

“Baiklah, kau istirahatlah dulu, baru nanti kau antarkan istrimu mengemasi barang-barangnya.”, kata abeoji Baekhyun dengan sangat tenang. Dia pun berlalu dari tempat itu.

Ya! Sampai kapan kau akan bersantai di situ terus? Ayo pindah!”, ajak Baekhyun dengan malas. Baekhyun segera beringsut dan berjalan menjauhi Eunkyung. Eunkyung yang duduk di sofa hanya memandang Baekhyun dengan malas, kemudian beranjak dari kursinya dan mengikuti Baekhyun. Baekhyun memimpin di depan, Eunkyung mengekor di belakangnya sambil berjalan terseok-seok. Kakinya sangat pegal karena seharian berdiri dengan high heels. Akhirnya mereka pun sampai di ruangan kamar Baekhyun, Baekhyun pun berhenti. Baekhyun mulai membuka pintu kamarnya dan menyuruh Eunkyung masuk.

Kamar Baekhyun sangat luas dengan nuansa biru laut. Ranjangnya sangat besar,  mungkin cukup untuk dimuati 3 orang. Ranjang itu menghadap ke jendela kaca yang cukup besar. Di dekat jendela terletak sebuah sofa warna merah maroon yang juga sangat besar. Berbagai koleksi miniatur tertata rapi di sebuah lemari kaca besar di sudut ruangan. Tak lupa dua buah lemari besar tempat baju-bajunya disimpan berada di sebelah lemari kaca itu.

“Aku tidur di situ.”, kata Baekhyun sambil menunjuk ranjang besarnya. “Kau tidur di sana.”, tambah Baekhyun lagi sambil menunjuk sofa besar berwarna merah maroon di dekat jendela. Sofa itu sangat besar, bahkan hampir seukuran tempat tidur. Eunkyung mengrenyitkan dahinya.

Mwo?? Kau suruh aku tidur di sana? Shireo!”, tolak Eunkyung mentah-mentah. Baru kali ini dia bertemu dengan namja yang tidak memiliki manner dengan seorang yeoja.

“Aku tidak suka berbagi tempat tidur!”, jawab Baekhyun cepat. Dia tak mau mengalah.

“Memangnya siapa juga yang mau berbagi tempat tidur denganmu? Sampai kapanpun aku tak akan mau!”, jawab Eunkyung bersungut-sungut. “Memangnya rumah sebesar iini tidak ada kamar yang lain?”, tanya Eunkyung menuntut. Pandangannya memutar ke sekeliling kamar. Dia benar-benar tampak jengkel dengan sikap Baekhyun. Kedua tangannya bahkan kini sudah berkacak di pinggangnya.

Abeoji yang menyuruh kita harus sekamar.”, jawab Baekhyun santai. Wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.

“Kalau begitu aku pulang saja ke rumahku sendiri.”, jawab Eunkyung tak mau kalah. Dia benar-benar tidak setuju dengan keputusan itu. Dia sudah akan berniat meninggalkan ruangan itu.

“Tidak bisa. Kau harus tetap di sini, sampai saatnya nanti waktu yang tepat kita berpisah. Sebelum semua itu kau harus menuruti kemauan orang tuaku.”, jawab Baekhyun ringan, kemudian menjatuhkan badannya ke ranjang. “Ingat perjanjian kita.”, kata Beakhyun sambil meraih ponselnya dan mulai mengutak-atiknya. Langkah Eunkyung seketika terhenti mendengar perkataan Baekhyun.

Mendengar itu Eunkyung hanya menghela nafas panjang. Perlahan dia beranjak ke arah sofa. Menjatuhkan badannya begitu saja, seperti dia sudah tak mampu lagi menopang berat badannya. Dia benar-benar harus menahan emosinya. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya beberapa hari ini. Semua itu terjadi begitu saja, bahkan tanpa pernah ia sadari. Dan hari ini, merupakan hari yang sangat melelahkan baginya, bukan hanya fisik, namun juga mentalnya. Namun ia sadar, ini baru permulaan. Masih banyak hal berat yang akan muncul di kehidupannya setelah ini.

Eunkyung hanya mencoba membaringkan badannya, matanya terpejam. Dia hanya berharap semoga ini semua cepat berlalu. Dia bahkan heran, mengapa dia bisa sampai masuk dan mengalami masalah seperti ini. Ingin rasanya dia kembali ke waktu saat dia belum bertemu Baekhyun. Dan saat dia membayangkan hal itu, tiba-tiba dirasakannya sebuah bantal menimpa kepalanya. Matanya seketika terbuka, badannya terbangun. Pandangannya teralih pada Baekhyun yang berbaring sambil menyilangkan kakinya. Belum sempat dia mengatakan sesuatu, sebuah selimut sudah menimpa badannya.

“Pakai itu, agar tidak kedinginan.”

Eunkyung tidak bersuara sama sekali. Emosinya semakin memuncak, namun dia memilih diam dan kembali berbaring. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Namun suara yang terakhir dia dengar itu benar-benar mengusik hatinya. Mengusik hatinya, seperti menorehkan sayatan kecil di hatinya itu. Perih memang.

Biasanya Eunkyung akan terbangun dengan suara-suara burung di pagi hari. Namun pagi ini berbeda, tidak ada satu pun suara burung yang terdengar. Mungkin saja itu karena rumah Baekhyun yang terlalu besar, atau memang Eunkyung yang terlalu lelah sehingga tak ada satu pun suara yang bisa didengarnya.

Namun tiba-tiba sebuah goncangan kecil mulai membangunkannya. Ingin Eunkyung mengabaikannya, namun semakin lama goncangan itu semakin kuat, disusul dengan suara-suara yang memekakkan telinganya.

Ya! Kau mau tidur sampai jam berapa? Ini sudah siang! Aku harus segera ke kampus hari ini!”, suara itu terus-terusan mengganggu telinganya. Suara yang sangat dikenalnya, ya, suara Baekhyun.

“Kau juga harus ke kampus hari ini! Izinmu untuk tidak masuk kuliah sudah habis! Hari ini kau harus ke kampus! Ppali ireonaa‼”, teriak Baekhyun lebih keras. Eunkyung perlahan mulai bangun, matanya dikejap-kejapkan.

“Cepat bangun dan mandi! Aku sudah hampir terlambat!”, teriak Baekhyun sambil memberikan sebuah handuk. Baekhyun pun bergegas ke mejanya untuk membereskan tasnya.

Eunkyung bangkit. Perlahan-lahan dia berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Matanya pun melirik ke sebuah jam dinding yang tergantung di dinding kamar. Pukul 8 pagi. Biasanya pada waktu seperti itu dia mendengar nyanyian merdu. Tapi bukannya nyanyian burung merdu yang ia dengar, namun nyanyian terberisik di dunia yang baru kali ini ia dengar.

Ppaliwaa! Cepat ambil helm itu, aku sudah sangat terlambat!”, kata Baekhyun. Dia sudah mengenakan kemeja warna biru dan jeans hitam. Sebuah tas ransel pun menghiasi punggungnya. Dia mulai melangkah keluar kamar.

Arra! Arra! Kenapa aku harus membawa helm?”, tanya Eunkyung bergegas membereskan tasnya serampangan.

“Sudah, bawa saja!! Cepat, kalau kau tidak mengikutiku, kau kutinggal!”, jawab Baekhyun. Eunkyung semakin tergesa-gesa. Baekhyun sudah menutup pintu kamar. Eunkyung semakin panik, langsung saja dia bergegas meraih tas yang belum sempat benar-benar dia rapikan, mengambil helm lalu berlari menyusul Baekhyun. Sampai di bawah, Baekhyun sudah menyalakan motor besarnya.

Saking tergesanya, Eunkyung bahkan tidak tahu sepatu apa yang dia pakai hari ini. Dia hanya cepat-cepat menuju motor yang sekarang ditumpangi Baekhyun. Dengan segera dia duduk di jok belakang. Belum selesai Eunkyung mengenakan helm, Baekhyun sudah melajukan motornya. Eunkyung yang kaget hanya reflek berpegangan pada pundak Baekhyun. Baru 10 menit Baekhyun mengendarai motornya, Eunkyung menepuk punggung Baekhyun dengan keras.

Ya! Ya! Tidak bisakah kau mengendarai lebih lambat sedikit? Sangat berbahaya, kau tahu?!”, teriak Eunkyung. Baekhyun berpura-pura tidak mendengar, malah semakin menambah kecepatan motornya. Eunkyung semakin ketakutan, pukulan di punggung Baekhyun semakin keras.

“Ya! Kalau kau tidak mau melambat, lebih baik turunkan aku di sini!” teriak Eunkyung. Mendengar itu, Baekhyun pun melambatkan motornya perlahan, namun motornya menepi. Motornya pun kemudian benar-benar berhenti.

As you wish. Sekarang turun dari motor ini. Kau berisik sekali.”, kata Baekhyun dingin. Eunkyung tersentak dengan kata-kata Baekhyun, dengan segera ia turun dari motor, mencopot helmnya kemudian memberikannya dengan kasar pada Baekhyun.

Geure! Pergi saja sendiri. Aku bisa ke kampus dengan usahau sendiri.”, jawab Eunkyung geram, dia masih menjaga harga dirinya.

Eo.”, jawab Baekhyun singkat, meletakkan helm Euknyung, kemudian segera melajukan motornya. Dia meninggalkan Eunkyung sendirian di pinggir jalan. Perjalanan menuju kampus Eunkyung masih setengah jalan. Sedangkan rumah Baekhyun juga sudah terlalu jauh. Eunkyung hanya bisa menghembuskan nafas panjang, menghadapi laki-laki seperti Baekhyun.

Eunkyung memeriksa tasnya, mencari uang untuknya naik bus. Betapa sialnya, dia tidak membawa dompetnya. Dia tidak membawa uang sama sekali. Dia pun mencari ponselnya, mencoba menghubungi temannya. Tetapi karena tadi pagi dia sangat tergesa-gesa, bahkan ponselnya pun ditinggalkannya di rumah Baekhyun. Dan baru disadarinya, dia memakai sepatu dengan hak lumayan tinggi. Dia benar-benar terburu-buru, sehingga dia lupa membawa barang-barang yang sangat penting, dan bahkan sepatu yang dipakainya pun salah. Ingin rasanya saat itu Eunkyung menangis, mengumpat, mencaci perbuatan Baekhyun. Karena Baekhyun, semua kesialan itu menimpa dirinya. Belum pernah dia merasa sesial ini. Tapi karena mencaci Baekhyun saat itu pun adalah hal yang sia-sia, akhirnya dia memutuskan untuk mulai berjalan. Berjalan entah ke mana dia juga tidak tahu. Tak peduli apa yang nanti akan terjadi dengan kakinya.

Omona, agashi. Apa yang terjadi? Kenapa agashi berjalan kaki?”, tanya ahjumma yang bekerja di rumah Baekhyun menyambut Eunkyung yang datang sempoyongan karena sakit yang luar biasa pada kakinya setelah berjalan sejauh 6 km. Eunkyung hanya meringis, tak berkata apa-apa. Ajuhmma pun segera menuntunnya menuju ruang tamu dan mendudukkan Eunkyung.

Eunkyung melepas sepatu dan tas yang melekat di badannya. Wajahnya memerah karena kelelahan. Keringatnya bercucuran. Nafasnya terengah-engah. Belum lagi tumitnya yang terasa berdenyut-denyut tak karuan. Tumit dan telapak kakinya pun berwarna kemerahan karena sepatu yang dipakainya. Terlihat memar di beberapa tempat.

Agashi duduk dulu saja, akan saya ambilkan air minum. Sebentar.”, kata ahjumma itu tergesa-gesa menuju dapur. Eunkyung hanya mengangguk. Dia terduduk lemas tanpa berkata apapun. Tak lama kemudian, ahjumma itu datang sambil membawa sebuah baskom dan handuk. Datang pula ahjumma yang lain membawa segelas air minum. Diberikannya air minum itu pada Eunkyung yang sangat kehausan. Segelas air dari ahjumma tadi langsung diteguk Eunkyung habis.  Ahjumma itu pun cepat-cepat berjongkok di depan Eunkyung dan membasuh kaki Eunkyung yang kemerahan.

Ani ahjumma. Biar nanti aku yang basuh kakiku sendiri.”, kata Eunkyung merasa tidak enak dengan perlakuan ahjumma itu. Eunkyung akhirnya bisa mengeluarkan suara setelah tadi dia merasa separuh nyawanya serasa menghilang.

Ani, gwenchana, agashi. Agashi terlihat kelelahan sekali. Memangnya apa yang terjadi, agasshi?”, tanya ahjumma itu sambil terus membasuh kaki Eunkyung dengan air es yang dibawanya tadi. Kaki Eunkyung seketika terasa segar. Eunkyung hanya sesekali mendesis kecil saat air itu mengenai kakinya yang agak memar.

“Ceritanya cukup panjang, Bi.”, kata Eunkyung. Wajahnya pun berubah kesal mengingat kejadian yang menimpanya tadi pagi. Ahjumma itu hanya mengangguk. Eunkyung pun menceritakan apa yang dialaminya sejak tadi pagi. Ahjumma itu mendengarkan sambil tersenyum dan sesekali mengangguk.

“Baekhyun orang yang sangat menyebalkan! Iya, kan Bi?”, tanya Eunkyung dengan kesal. Ahjumma itu hanya tersenyum, kemudian mengelap kaki Eunkyung dengan handuk lembut. Dilapya kaki Eunkyung dengan hati-hati dan telaten.

“Tuan muda orang yang sangat baik, Nona. Mungkin dia memang seperti itu, tapi sebenarnya dia orang yang perhatian.”, kata ahjumma itu dengan bijak. Dia pun segera beringsut pergi menyingkirkan baskom dan handuk yang digunakannya tadi. Kemudian dia berjalan ke dapur meninggalkan Eunkyung yang penuh tanda tanya. Eunkyung malah menjadi semakin bingung dengan apa yang dikatakan Bibi tadi, kemudian hanya melihat kedua kakinya yang sedikit merasa lebih baik. Warna kemerahan pun berkurang. Hanya mungkin masih bersisa perih memar akibat sepatu yang dipakainya tadi. Bibi itu kemudian datang lagi dengan membawa sepasang sandal bulu yang terlihat sangat empuk.

“Nona pakai ini saja. Sepertinya bisa mengurangi rasa sakit saat berjalan.”, kata Bibi itu ramah. Eunkyung menerima sepasang sandal bulu itu dan mulai memakainya. Kakinya menjadi terasa sangat nyaman karena menyentuh bulu yang sangat lembut.

Gamsahamnida”, kata Eunkyung. Bibi itu hanya tersenyum. Bibi itu pun pergi berlalu.

***

Baekhyun melangkah menuju rumahnya dengan headset yang terpasang di telinganya. Tanpa berkata apapun dia segera menuju ke kamarnya. Tas ransel di pundaknya ditanggalkannya. Dia melihat sekeliling kamarnya. Ada sesuatu yang janggal. Tanpa berpikir dua kali, dia kembali turun dan menuju ke ruang perpustakaan. Dia menebar pandangannya ke sekeliling perpustakaan, tetap tidak ditemukannya. Dia pun mulai melangkah ke ruang makan, tanpa sengaja berpapasan dengan salah satu ahjumma.

“Tuan muda sedang mencari apa?”, tanya ahjumma itu setelah membungkukkan badannya di hadapan Baekhyun.

“Umm, apa Bibi melihat di mana Eunkyung? Aku tidak melihatnya di manapun.”, jawab Baekhyun dengan wajah serius. “Apa dia belum pulang?”, tanya Baekhyun.

“Nona muda sudah pulang sejak tadi pagi Tuan muda. Kasihan sekali nona tadi, berjalan pulang sampai kakinya lecet.”, jawab Bibi itu sungguh-sungguh. Baekhyun menaikkan sebelah alisnya, heran. Namun dia segera mengubah ekspresinya menjadi senatural mungkin.

“Lalu sekarang dia di mana, Bi?”, tanya Baekhyun lagi. Pandangannya mulai menebar ke sekeliling. Di belakang dapur ada halaman belakang rumah Baekhyun yang penuh dengan tanaman hias dan sebuah air mancur. Namun tak ditangkapnya sosok Eunkyung di taman itu.

“Maaf Tuan muda, saya juga tidak tahu di mana nona muda sekarang. Karena yang saya tahu tadi nona muda hanya pergi ke ruangan, um, kamar Tuan muda.”, jawab Bibi itu, membungkukkan badannya lagi.

Ne, gomawo Bibi.”, jawab Baekhyun, kemudian segera berbalik arah menuju ke luar rumah. Diliriknya jam tangan yang dikenakannya. Pukul 3 sore. Tanpa berbicara dia segera menuju mobilnya di depan rumah. Mobilnya pun segera melaju kencang.

***

Noona. Kau di dalam?”, tanya seseorang sambil mengetuk pintu rumah seeorang. Sebentar kemudian seseorang dengan rambut coklat panjang membukakan pintu sambil tersenyum lebar. Kakinya penuh dengan warna obat merah. Lelaki yang mengetuk pintu itu tersenyum, namun memperhatikan kaki wanita itu.

“Lama sekali tak bertemu, Jongin. Masuklah.”, kata wanita itu. Senyumnya tak lepas dari wajahnya. Lelaki itu mengangguk, kemudian mulai mengikuti langkah wanita itu. Diperhatikannya wanita itu baik-baik. Caranya berjalan tidak seperti biasa, sedikit diseret langkahnya karena kakinya yang terlihat sakit. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah ruang tamu kecil, yang hanya terdiri dari sebuah meja kecil dan beberapa alas duduk. Dipersilakannya laki-laki itu duduk, kemudian wanita itu beranjak mengambil air minum untuk laki-laki itu.

Rumah wanita itu tidak besar, bahkan mungkin kecil. Ruang tamu bercampur jadi satu dengan dapur dan ruang makan. Tempat tidurnya pun mungkin juga bisa dibilang menjadi satu, jika saja tidak terhalang oleh sebuah papan kayu besar dan tinggi. Rumah wanita itu memang kecil, karena memang hanya rooftop sewaan.

“Kau mau minum apa, Jongin? Tapi maaf, aku hanya punya teh dan air putih saja.”, tanya wanita itu ramah.

Gwenchana. Tak perlu repot-repot Noona. Air putih saja.”, jawab laki-laki itu tersenyum. Wanita itu mengangguk, kemudian dituangkannya segelas air putih dingin dan dibawanya ke hadapan laki-laki itu. Wanita itu pun segera duduk di hadapan laki-laki itu.

“Ke mana saja kau selama ini Noona? Aku mencarimu seminggu ini, tapi kau tidak pernah ada di rumah. Aku sangat khawatir, kukira kau sudah pindah.’, tanya Jongin dengan wajah serius, tampak wajahnya penuh dengan banyak pertanyaan. Wanita itu menggeleng sambil tersenyum kaku. Dia mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tak tampak kaget.

“Aku tidak pindah, Jongin. Aku hanya berlibur sebentar. Mianhae, aku tak memberitahumu.”, jawab wanita itu serius. Jongin masih belum puas dengan jawaban wanita itu.

“Berlibur ke mana? Kenapa sampai ponselmu juga tak dapat kuhubungi?”, tanya Jongin lagi dengan wajah penasaran. Dilihatnya wanita itu, tak ada ekspresi yang memberitahunya bahwa wanita itu berbohong. Kemudian dilihatnya tangan wanita itu. sebuah cincin melingkar di jari manisnya.

“Aku berlibur ke Jepang. Maka dari itu kau tidak dapat menghubungiku.”, jawab wanita itu dengan nada datar. “Bagaimana keadaan cafe? Maaf aku tak bisa bekerja beberapa hari ini.”, tanay wanita itu mengalihkan pembicaraan.

“Memang agak kewalahan tanpa Noona. Namun Minseok dan Jongdae hyung ikut turun tangan, jadi semua lancar.”, jawab Jongin datar. “Tapi kapan kau akan bekerja lagi? Hari ini kau sudah pulang, kan?”, tanya Jongin penasaran.

“Aku jadi merasa bersalah. Meninggalkan pekerjaan tanpa setahu manajer. Bagaimana nanti kalau Minseon oppa marah?”, tanya wanita itu lagi. Jongin hanya meneguk air putih di hadapannya. Pundaknya diangkatnya ke atas, tanda bahwa dia tak mengerti. Wanita itu menghela nafas panjang.

“Sepertinya aku harus segera menelepon Oppa.”, kata wanita itu asal, sambil mengetik di ponselnya. Jongin hanya melihat apapun yang dilakukan wanita itu.

Belum usai wanita itu mengetik di ponselnya, tiba-tiba terdengar suara pintu rumahnya diketuk perlahan oleh seseorang. Wanita itu segera menghentikan kegiatannya, begitu pula Jongin. Kini kedua mata mereka terarah ke arah pintu.

“Hwaa. Mungkin itu Minseok hyung. Kebetulan sekali.”, celetuk Jongin sambil menyengir.

“Mungkin saja. Coba ku buka pintunya.”, jawab wanita itu sambil beranjak dari duduknya. Dia pun berjalan ke arah pintu. Dibuka pintunya perlahan. Saat pintu terbuka, betapa kaget dia melihat sosok di hadapannya itu

“Baek…hyun…kau..”, kata wanita itu terbata-bata karena kagetnya.

“Hm, benar dugaanku. Kau di sini ternyata Shin Eunkyung.”, kata Baekhyun tanpa melepas kacamata hitam yang dipakainya. Tanpa basa-basi, dia pun menarik lengan Eunkyung. Eunkyung menepis tangan Baekhyun. Kepala Baekhyun menoleh menatap Eunkyung. Dilepasnya kacamata hitam yang dipakainya.

Mwoyaa?!”, kata Baekhyun ketus. Dipandangnya Eunkyung dengan pandangan tak percaya.

Shireo!”, jawab Eunkyung, setengah berteriak. Jongin yang sejak tadi hanya memandang peristiwa itu kemudian bangkit berdiri mendekati Eunkyung.

Noona, ada apa ini? Siapa orang ini?”, tanya Jongin sambil memperhatikan lelaki di hadapannya itu dengan pandangan tidak suka. Baekhyun yang merasa diperhatikan mulai bersuara.

“Seharusnya aku yang tanya, kau ini siapa?”, Baekhyun balik bertanya, dengan nada yang tidak kalah tinggi. Jongin, laki-laki yang ada di hadapannya ini memang terlihat lebih tinggi dan lebih besar dari Baekhyun, namun itu semua tidak membuat Baekhyun gentar. Jongin yang mendengar kata-kata Baekhyun hanya melengos.

“Kenapa kau datang tiba-tiba menarik lengan noona? Kau tidak berhak melakukan itu!”, kata Jongin berteriak. Baekhyun berdecak.

Yak! Eunkyung! Siapa sebenarnya bocah ini?”, tanya Baekhyun memandang Eunkyung. Eunkyung sedari tadi diam mematung memperhatikan adegan di depannya itu.

“Kau! Tidak bisakah kau berkata lebih sopan kepada seorang yeoja? Dan—aku bukanlah seorang bocah!”, kata Jongin geram. Emosinya semakin memuncak. Tangan kanannya sudah mengepal erat, bersiap untuk memukul wajah Baekhyun, yang menurutnya sangat memuakkan.

Tangan Jongin sudah akan melayang menuju wajah Baekhyun, namun seketika terhenti karena tangan Eunkyung yang menahannya. Jongin memalingkan wajahnya ke arah Eunkyung. Wajah Eunkyung memerah, menahan emosi. Tangan dan badan Eunkyung terlihat bergetar. Mungkin emosinya sudah sangat memuncak.

“Kau, kau pergilah dulu Jongin. Tolong katakan pada oppa aku tidak bisa ke cafe hari ini.”, kata Eunkyung dengan suara bergetar. Kemarahan Jongin memudar, kepalan tangannya sudah terbuka. Namun kini perhatiannya teralih pada Eunkyung.

“Tapi noona..noona..”, kata Jongin khawatir. Eunkyung hanya mengangguk, dengan masih mencoba untuk tersenyum.

“Kau pergilah dulu. Nanti aku hubungi.”, kata Eunkyung dengan nada lembut. Jongin masih tak beranjak dari posisinya. Dia masih memandang Eunkyung dengan sangat teliti. Baekhyun yang melihat Jongin menjadi risih, kemudian dia berdecak bosan.

“Kau tidak dengar apa yang dikatakan Eunkyung? Cepat pergi!”, kata Baekhyun sambil memakai lagi kacamata hitamnya. Jongin hanya mendengus kesal, kemudian segera melangkah pergi. Didekatinya Baekhyun dengan pandangan benci.

“Aku pergi bukan karena kau yang suruh! Ini karena noona yang memintaku! Ingat, itu!”, kata Jongin geram. Baekhyun hanya tertawa kecil. Jongin mendengus.

“Aku tunggu kau menelepon.”, kata Jongin, kemudian segera pergi beranjak dari rumah Eunkyung. Eunkyung melambaikan tangan. Setelah punggung Jongin tak terlihat, baru dia fokus pada Baekhyun. Ditatapnya Baekhyun dengan pandangan sinis.

“Siapa bocah itu? Kenapa kau memperbolehkannya masuk ke rumahmu?”, tanya Baekhyun.

“Bukan urusanmu. Cepat, katakan maksudmu, mau apa kau ke sini?”, tanya Eunkyung ketus.

“Ayo cepat kita pulang. Abeoji dan eomma sebentar lagi akan pulang. Aku tidak mau mereka melihat kau tidak ada di rumah.”, kata Baekhyun datar. Eunkyung memandang Baekhyun dengan pandangan heran.

Shireo. Kau pulang saja sendiri.”, jawab Eunkyung, dia mencoba menutup kembali pintu rumahnya. Namun Baekhyun menahan pintu itu.

“Aku tidak mau pulang tanpa kau. Ayo cepat kita beresi barangmu, lalu kita pulang.”, kata Baekhyun lagi. Eunkyung semakin emosi mendengar perkataan Baekhyun.

“Apakah begini caramu memperlakukan orang? Kau bahkan tidak punya sopan sama sekali!”, kata Eunkyung kesal.

“Kau tidak perlu mengajariku cara memperlakukan orang. Kalau kau tidak mau memberesi barang-barangmu, baiklah. Biar besok para ahjussi yang membereskan rumahmu ini.”, kata Baekhyun.

Shireo. Kau kembali saja sendiri!”, tolak Eunkyung. Baekhyun yang merasa jengah hanya menarik napas panjang. Tak disangkanya Eunkyung adalah seorang wanita yang keras kepala. Dia mendongakkan kepalanya, memandang ke langit. Telunjuk kanannya memperbaiki letak kacamata hitamnya. Secara tak sengaja, pandangan matanya tertuju pada kaki Eunkyung yang berlumuran obat merah.

“Kenapa dengan kakimu?”, tanya Baekhyun penasaran. Eunkyung mendongak, dia malah menjadi semakin emosi.

“Kau habis dari mana? Kenapa kakimu bisa seperti itu?”, tanya Baekhyun lagi, karena pertanyaannya yang tadi tidak segera dijawab. Badannya agak dibungkukkan agar dia bisa mengamati kaki Eunkyung lebih jelas.

Kesabaran Eunkyung rasanya sudah habis. Dengan tenaga penuh, tangan kanannya menjitak kepala Baekhyun dengan keras. Baekhyun terkejut bukan main.

Yaaa‼ Apa yang kau lakukan? Kenapa kau jitak kepalaku?”, teriak Baekhyun sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit. Kacamatanya dengan serta merta dia buka. Sebelah matanya dia pejamkan, mulutnya meringis, tanda jitakan Eunkyung di kepala Baekhyun cukup keras.

“Itu balasan yang kau terima karena membuat kakiku jadi seperti ini!”, jawab Eunkyung bersungut-sungut.

Mwoya?! Apa hubungannya kepalaku dengan kakimu itu? Huh?”, jawab Baekhyun semakin tidak mengerti.

“Karena kepalamu yang kosong itu tak pernah berpikir akibat dari kau menurunkanku di tengah perjalanan tadi membuat kakiku jadi begini!”, jawab Eunkyung. Baekhyun menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, tanda dia kebingungan.

“Gara-gara kau menurunkanku di tengah perjalanan, aku harus berjalan kaki sampai ke rumah sampai kakiku lecet seperti ini, kau tahu!”, jelas Eunkyung lagi.

Wae? Kenapa kau menyalahkanku? Kau yang memintaku untuk menurunkanmu, kan?”, jawab Baekhyun membela diri.

“Jelas saja kau bersalah! Kau menurunkanku di tengah perjalanan, dan aku tidak membawa dompet atau uang sepeserpun…”

“Dan kau harus berjalan kaki sampai ke rumah, begitu, kan? Lalu apa hubungannya kakimu yang sakit dengan kau pergi dari rumah?”, sela Baekhyun dengan wajah tidak sabar. Eunkyung terdiam, sepertinya dia tersentak dengan apa yang baru saja dikatakan Baekhyun.

“Kau…kau! Ya!”, teriak Eunkyung yang kehabisan kata-kata. Ingin rasanya dia mencaci Baekhyun saat itu.

“Sudahlah, semua alasanmu itu tak ada hubungannya dengan pergi dari rumah! Sebagai ISTRI yang baik, kau sekarang harus pulang. Kau beruntung, aku masih berbaik hati padamu.”, kata Baekhyun, dengan memberikan penekanan pada kata ISTRI. Dia memperbaiki letak kacamatanya lagi.

Shireo! Kau pulang saja sendiri!”, kata Eunkyung lagi, kini dia membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah. Baekhyun semakin jengah, akhirnya menarik tangan Enkyung dengan mudah, kemudian membopong badan mungil Eunkyung dengan kedua tangannya. Eunkyung meronta, menolak dengan perlakuan Baekhyun. Namun dia tidak berdaya dengan tubuh kecilnya.

Berbagai kalimat dan perasaan berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya selama perjalanan kembali ke rumahnya. Begitu juga dengan Baekhyun yang terus saja berkonsentrasi menyetir. Hening menyelimuti, hanya suara deru mesin dan suara lirih radio yang dinyalakan Baekhyun sejak tadi. Radio yang memutar sebuah lagu, lagu kenangan Eunkyung saat kecil. Saat dia masih bersama dengan orang tuanya,saat kebebasan masih bersamanya. Saat dia belum mengenal semua permasalahan dunia, saat dirasanya dunia masih polos, tidak sekejam yang dia rasakan saat ini.

Malam itu kamar Baekhyun kedatangan barang-barangnya yang diambil dari rumahnya. Pakaian, jaket, sepatu, bahkan ponselnya yang tertinggal tadi pun diambil oleh ahjussi dan ahjumma suruhan Baekhyun. Semua dipak dengan rapi di kardus-kardus besar. Dengan kepala berbalut handuk, Eunkyung keluar dari kamar mandi dikejutkan dengan kardus-kardus bertumpuk di depannya. Dengan langkah gontai dia mendekati kardus-kardus itu dan membukanya satu per satu. Baju, foto, semuanya ada di situ. Eunkyung hanya mengambil ponselnya, dan keluar balkon untuk menghubungi Jongin.

Omo..omo..apa-apaan ini? Kenapa ada banyak kardus di sini?”, teriak Baekhyun kaget dengan pemandangan kardus yang ada di hadapannya. Dia sepertinya hilang ingatan, bahwa yang menyuruh mengambil barang-barang Eunkyung adalah dirinya sendiri. Karena penasaran, akhirnya dia membongkar sebuah kardus di hadapannya. Diambilnya barang-barang dari kardus itu.

Eunkyung yang mendengar keributan di dalam. Dia pun masuk ke dalam. Bersamaan dengan itu, dilihatnya Baekhyun dengan wajah kebingungan memegang gaun malamnya yang biasa dipakainya untuk tidur. Baekhyun dengan serius dan bingung mengamati baju itu, seperti dia baru pertama kali melihatnya. Eunkyung yang menyadari itu segera berlari menuju tempat Baekhyun membongkar kardus.

Ya! Kenapa kau bongkar barang-barangku? Kau tahu, itu melanggar hak pribadi!”, teriak Eunkyung sambil merebut gaun yang ada di tangan Baekhyun. Gaun itu kemudian disembunyikannya di balik punggungnya. Direbutnya lagi kardus ynag ada di depan Baekhyun. Baekhyun melihat tingkah Eunkyung itu semakin kebingungan.

“Kau! Kau pergilah! Aku ingin menata barang-barangku sendiri!”, kata Eunkyung menahan malu. Baekhyun mengangkat satu alisnya, kemudian tersenyum kecil. Dia berbalik ke luar kamar, namun baru beberapa langkah, dia berbalik lagi.

“Yakin kau tidak perlu bantuan?”, tanya Baekhyun sambil tersenyum. Entah senyum itu bermakna apa.

“Tak perlu. Aku bisa sendiri.”, kata Eunkyun sambil menggeleng. Kedua tangannya dia sembunyikan di balik punggungnya.

Baekhyun menahan tawa. Dia berbalik lagi melangkah ke luar kamarnya. Namun belum sempat dia melangkah, kepalanya menengok ke arah Eunkyung kembali. Eunkyung menjadi salah tingkah kembali.

“Sebentar lagi makan malam. Abeoji dan Eomma ingin berbicara denganmu.”, kata Baekhyun. Dia akhirnya melangkah pergi ke luar kamar. Kali ini benar-benar pergi ke luar.

“Apa kau senang tinggal di sini, Eunkyung?”, tanya abeoji sambil menyendokkan sup kepiting ke mulutnya, kemudian mengelap mulutnya.

Nde, abeoji.”, jawab Eunkyung malu-malu. Diliriknya Baekhyun yang duduk di sampingnya. Baekhyun nampak tenang, tanpa ekspresi menyendokkan sup kepiting sesendok demi sesendok ke mulutnya.

“Barang-barangmu sudah kau atur di kamar? Sepertinya barang-barangmu sudah sangat lama, kau harus punya yang baru. Bagaimana kalau besok kita berbelanja?”, tawar eomma Baekhyun. Kini dia sudah nampak sehat. Walaupun dia masih harus selalu minum obat dan suplemen lainnya, eomma Baekhyun nampak lebih sehat.

Aniya, tidak apa-apa eomma. Barang-barangku masih bisa saya pakai.”, kata Eunkyung kikuk. Dia tidak tahu harus berbuat apa di hadapan abeoji dan eomma Baekhyun.

Gwenchana. Aku juga ingin merasakan bagaimana berbelanja dengan anak perempuan. Pasti asyik sekali.”, kata eomma Baekhyun memaksa.

“Kau harus menemani eommamu, Eunkyung. Dia sudah sangat lama mendambakan anak perempuan agar bisa diajak berbelanja bersama.”, kata abeoji memaksa. Eunkyung mau tak mau hanya mengangguk.

“Nah, begitu. Kau harus betah di sini.”, kata eomma tersenyum.

“Kudengar kau juga berkuliah, Euknyung? Apa kampusmu sama dengan kampus Baekhyun?”, tanya abeoji dengan lembut.

Ani. Kampus kami berbeda.”, kata Eunkyung. Abeoji dan eomma Baekhyun mengangguk-angguk.

“Lalu, kau ambil jurusan apa?”, tanya eomma.

“Manajemen perusahaan.”, jawab Eunkyung singkat. Matanya melirik lagi ke arah Baekhyun. Tak tampak ekspresi apa pun yang berbeda dari wajah Baekhyun.

“Wah, bagus. Nanti setelah kau lulus kau bisa membantuku mengelola perusahaan.”, kata abeoji manggut-manggut. “Jangan seperti Baekhyun, dia mengambil jurusan yang tidak sesuai dengan apa yang abeoji kerjakan.”, tambah abeoji.

“Baekhyun ingin menjadi seorang arsitek, maka dari itu dia mengambil jurusan itu. Kau sudah lihat hasil kerjanya? Bagus dan rapi sekali.”, kata eomma bangga.

Eunkyung mengangguk, diliriknya Baekhyun kembali. Wajahnya tetap tak menampakkan perubahan ekspresi apapun. Dengan tenang Eunkyun pun memakan seekor udang.

“Bagaimana kalau kau pindah ke kampus ke kampus Baekhyun?”, tanya abeoji serius. Eunkyung tersentak, hingga udang yang tadi dimakannya tersangkut di tenggorokannya. Cepat-cepat diminumnya air yang ada di hadapannya.

“Iya, kau pindah saja. Lebih baik begitu. Agar kau tiap hari bersama Baekhyun.”, kata eomma.

Eomma.”, kata Baekhyun singkat. Wajahnya nampak tidak suka. Sementara itu Eunkyung berpikir, di rumah dia harus selalu bertemu Baekhyun. Jika dia pindah, itu berarti dia juga harus bertemu Baekhyun setiap hari. Memikirkan itu saja sudah membuat Eunkyung mual. Tapi abeoji dan eomma Baekhyun baik sekali.

“Bagaimana Eunkyung?, tanya abeoji pada Eunkyung.

 

(To be Continue…)

Hwaa..akhirnya chapter 2 datang..mian..mian..lama banget ya..lagi ngumpulin inspirasi inih..dan memang kemarin-kemarin masih dalam masa hiatus..makasih semua readers yang setia menunggu..chapter 3 akan segera dataaang 😀

[FREELANCE] What Should I Do? (Chapter 1)

$
0
0

What Should I Do (cov1)

Tittle               : What Should I Do? (Chapter 1)

Lenghth         : Chaptered

Main cast       : Nam Pyeo Jin (OC)
Kim Jong In a.k.a Kai
Byun Baekhyun

Support Cast  : EXO Member
Lee  Hye Rim
Pyeojin halmeoni

Genre              : School life, Friend Ship, Angst

Rating             : PG-15

Author            : ReiiSangYoo-PRHingee10

Disclaimer     : First Chapter. Dilarang mengendap-endap di ep ep saya ^^ Don’t forget to comment. Mianhae typo berterbangangan. Kl gk suka jgn di baca 😀 Happy Reading chingu 🙂

 

***

 

 

 

Seorang yeoja berlari  kedalam rumahnya yang tidak besar dengan sangat cepat, begitu melihat mobil jasa pindahan rumah sudah bertengger manis di depan rumahnya, “halmeoni” teriak yeoja itu saat memasuki rumahnya, “wae gaeure pyeojin-ah? Mengapa berteriak?” Tanya sang halmeoni yang sedang memasukan baju kedalam sebuah tas.

“kita akan pindah?” Tanya yeoja bernama Pyeojin itu. “ne, sekarang bereskan semua barang barang mu yang berada di kamar” perintah sang halmeoni, “aissshhh, mengapa halmeoni tidak memberitahuku sebelumnya?” pyeojin mengerang frustasi, sang halmeoni menghampiri cucu kesayangannya itu.

“ini kejutan!” ujar sang halmeoni, “mwo? Kejutan? Yang benar saja??” Tanya pyeojin kesal. “aissh sudahlah jangan banyak bicara, sekarang bereskan barang barang mu. Setelah itu kita berangkat” ujar halmeoni. “kita akan tinggal dimana?” Tanya pyeojin “halmeoni sudah mengurusnya, jangan khawatir” ujar halmeoni lembut “bagaimana dengan sekolahku?” Tanya pyeojin lagi “halmeoni sudah mengurusi kepindahanmu” ucap halmeoni sambil mengelus kepala pyeojin. “huhh, aku bahkan belum berpamitan pada teman temanku” ucap pyeojin sebelum meninggalkan halmeoninya

Sebenarnya Pyeojin tidak ingin meninggalkan tanah kelahirannya itu. Karena menurut Pyeojin, tempat itu menyimpan semua kenangan indah dan masa kecil bersama kedua orang tuanya yang tidak pernah ia lupakan.

***

“pyeojin-ah, cepatlah kesini. Palii!” teriak sang halmeoni. “chakkaman” balas pyeojin dari kamarnya. Tak lama kemudian pyeojin pun muncul dengan hanya menggunakan celana jeans dan sweater merah kesayangannya sambil membawa tas gendong yang cukup penuh.

“kajja pyeojin-ah, waktu kita sudah banyak terbuang” ucap halmeoni. “arra” jawab pyeojin malas, halmeoninya pun sudah keluar dari umah itu tetapi pyeojin masih diam menatap rumahnya itu. “pyeojin-ah, palli kajja” teriakan halmeoni membuyarkan tatapannya. Ia pun segera pergi keluar rumah.

“naiklah” suruh halmeoni pada pyeojin, pyeojin menarik nafasnya kemudian membuangnya perlahan sebelum ia masuk kedalam mobil jasa pindahan rumah tersebut, di susul dengan halmeoninya. “ahjumma, sekarang kami antar kalian kemana?” Tanya seorang petugas. “stasiun!” jawab halmeoni, “ne algaeseumnida” supir itu pun langsung menginjak gas mobilnya untuk menuju stasiun.

Selama di perjalanan Pyeojin hanya menatap keluar jendela di sampingnya, wajahnya lesu. Sang halmeoni yang menyadari perubahan wajah pyeojin sedikit merasa bersalah. “sudah sampai”  ucap petugas, “ohh ne gamsahamnida” ucap halmeoni kemudian turun dari mobil, di susul dengan pyeojin.  “ahjumma hati hati ne. hei kau, jaga halmeoni mu!” ucap sang petugas, “ne arraseo” ucap pyeojin dengan nada malas. “kami duluan” ucap petugas sebelum akhirnya meninggalkan pyeojin bersama halmeoninya di tengah keramaian stasiun.

“kajja kita cari tempat duduk Pyeojin-ah” ajak halmeoni sambil menarik tangan Pyeojin. Setelah mendapatkan tempat duduk Pyeojin mengambil ponsel dan headsetnya untuk mendengarkan lagu. “yak! Jangan mendengarkan lagu, nanti kau tidak dengar kalau keberangkatan ke seoul di panggil” ujar halmeoni “arraseo” jawab pyeojin tanpa melepas headset di telinganya, halmeoninya hanya mengendus kesal  melihat tingkah cucunya.

Setelah kurang lebih setengah jam duduk di stasiun, akhirnya keberangkatan menuju seoul pun di panggil. “kajja pyeojin-ah” halmeoni pun berdiri dari duduknya kemudian berjalan meninggalkan pyeojin yang masih duduk.

Pyeojin masih duduk, ia menatap lurus kedepan. Ada perasaan tidak rela untuk meninggalkan busan kota kelahirannya ini. “pyeojin-ah palli” terdengar suara sang halmeoni, pyeojin pun berdiri dari duduknya dan dengan langkah gontainya ia berjalan menghampiri halmeoninya.

“cepat masuk” halmeoni menyuruh pyeojin untuk masuk kedalam kereta api. Tetapi pyeojin diam tidak bergeming. “tunggu apa lagi? Cepat masuk” ucap halmeoni lagi dengan sedikit mendorong tubuh pyeojin. Pyeojin mengendus, kemudian melangkahkan kakinya yang terasa sangat berat ke dalam kereta api.

Selama di perjalanan menuju seoul pyeojin hanya mendengarkan lagu dari boy band Infinite kesukaannya dan menatap ke luar jendela. Sedangkan halmeoninya sudah terlelap. Sudah dua jam kereta dari busan menuju seoul berjalan dengan sangat cepat, dan sekarang stasiun di seoul sudah bisa terlihat. Pemberitahuan bahwa kereta akan berhenti pun sudah di umumkan.

“halmeoni, ireona. Sudah sampai” pyeojin menggoyang goyangkan tangan halmeoninya. Tepat saat halmeoni membuka matanya, kereta berhenti. “sudah sampai kah?” Tanya halmeoni sebelum menguap, Pyeojin hanya mengangguk sebagai jawaban. “kajja kita keluar”

***

“halmeoni, sekarang kita akan kemana?” Tanya pyeojin. Mereka sekarang sedang duduk di halte “kerumah baru kita” jawab halmeoni. “lalu sekarang kita sedang menunggu apa?” Tanya pyeojin lagi “tentu saja menunggu bus, kau sangat banyak bertanya!” keluh halmeoni, mendengar keluhan halmeoninya Pyeojin hanya mengerucutkan bibirnya.

“ahh, itu dia!”  halmeoni menunjuk kearah bus yang berjalan menuju mereka. Bus itu pun berhenti tepat di depan mereka. Mereka pun langsung masuk dan duduk. “rumah baru kita berada di daerah mana?” Tanya pyeojin “sudah kubilang jangan banyak bertanya!” keluh halmeoni.

Mereka memutuskan turun di salah satu halte di daerah gangnam. “rumah kita di daerah gangnam?” Tanya pyeojin sambil mengamati sekelilingnya. “hmm” pyeojin mencibir ketika mendengar jawaban dari halmeoninya yang hanya berupa dehaman.

“pyeojin-ah, kajja kita cari rumah baru kita” ajak sang halmeoni, “mwo? Jadi halmeoni belum tau rumahnya” Tanya pyeojin heran. Halmeoni nya pun hanya menggeleng.

Setelah lama mencari akhirnya pyeojin dan halmeoninya menemukan rumah barunya. “cih.. bahkan lebih kecil dari rumah kita yang di busan” cibir pyeojin. “jangan seperti itu” nasihat halmeoni. Mereka pun menemui pemilik rumah itu dan meminta kuncinya, setelah mendapatkan kuncinya mereka pun langsung masuk.

“bukankah ini bersih pyeojin-ah?” Tanya halmeoni di sertai dengan senyuman manisnya. “ne” jawab pyeojin. “kamarku dimana?” Tanya pyeojin pada halmeoninya. “igo, di sebelahnya kamar halmeoni” ucap halmeoni sambil menunjuk kamar yang berpintu warna putih. Pyeojin mengangguk.

“kau tidurlah, sudah malam. Besok kau harus datang kesekolah barumu untuk mendaftar dan mengambil seragam” ujar halmeoni. “arra” jawab pyeojin sebelum dia masuk kekamarnya.

***

Keesokan harinya

Di salah satu kamar di sebuah rumah yang sangat mewah, terbaring seorang namja yang sebenarnya sudah terlambat sekolah.

Tok tok tok

“tuan, sekarang sudah siang. Anda bisa telat sekolah” ucap salah satu pelayan rumahanya di depan pintu., tetapi tidak di gubris oleh tuan nya yang masih tidur dengan lelap. Hingga lewatlah yeoja dengan umur sekitar 20 tahun. Begitu melihat yeoja itu, pelayan tadi langsung membungkukan badannya.

“dia belum bangun?” Tanya yeoja itu, “belum nona” jawab pelayan. “dasar pemalas!” tanpa ragu yeoja itu langsung membuka pintu kamar tersebut. Begitu ia membuka, terlihatlah seorang namja yang masih tidur dengan sangat lelapnya.

Dengan wajah kesalnya ia mendekati namja yang tak lain adalah dongsaengnya. “yak! Kim kai! Palli ireona” teriaknya, namja yang di panggil kim kai itu perlahan membuka matanya. “sebentar lagi, jayoung noona” kai memohon. “aissh, sekarang sudah siang babo! Sudah pukul 6 lewat 5, kau bisa terlambat!” yeoja bernama jayoung itu menarik selimut yang dipakai dongasaengnya, tetapi kai sama sekali tidak menghiraukannya dan masih tetap tidur.

Jayoung meringis kesal “kalau kau tidak bangun sekarang, noona akan menyita kunci mobil mu!” ancam jayoung, mendengar ancaman itu pun mata kai langsung terbuka lebar. “mworago?” tanyanya bingung sambil mendudukan tubuhnya, “kunci mobil mu noona sita” jayoung memamerkan kunci mobil sport kai yang ia ambil di meja kai. “aisss arraseo aku bangun” kai menyibakan selimutnya kemudian bangun  berdiri.

“kembalikan kunci mobil ku!” kai merebut kunci mobil sport nya dari tangan jayoung. “cepat mandi, sarapan, lalu berangkat. Kau akan terlambat jika kau tidak cepat” saran jayoung. “arra, kalaupun aku telat mereka tidak akan menghukumku” ucap kai sebelum masuk kedalam kamar mandi.

Setelah keluar dari kamar mandi, kai segera memakai seragamnya yang sudah di siapkan. Ia memakai seragamnya tidak rapi. Kai tidak peduli dengan itu. Ia melihat jam di tangannya yang sudah menunnjukan pukul 7 kurang 10. Ia pun langsung keluar kamarnya. Turun menuju ruang makan.

Ia melihat noonanya yang sedang sarapan. “lain kali jangan pernah mengganggu tidurku” ucap kai dingin, “cih kita liat nanti saja” cibir jayoung. “kau tidak sarapan?” Tanya jayoung begitu melihat kai yang keluar dari rumah. “ani” jawab kai.

***

Sebuah mobil sport berwarna hitam memasuki sebuah parkiran gedung yang bertuliskan SHEKKAI HIGH SCHOOL. Sang pemilik mobil sport itu pun turun dengan gagahnya. Ia melihat sekelilingnya yang sudah sepi. Kai menyadari bahwa ia sudah telat. Tanpa berpikir panjang ia pun melangkahkan kakinya ke dalam gedung dengan santai.

Di dalam gedung tersebut sangat sepi. Hanya terdengar samar samar suara seosaengnim yang sedang mangajar. Kemudian ia masuk kedalam kelas yang bertuliskan XI B. “kim Jong In, kau terlambat lagi. Cepat duduk, lalu buka buku fisika halaman 127” ujar park seosangnim. “ne” jawabnya dan langsung menuju kearah tempat duduknya yang berada di sebelah Xiumin.

Xiumin terkejut saat kursi di sebelahnya bergerak. “kau mengagetkanku kai” ujar Xiumin sambil mengelus dadanya. Kai melirik kearah xiumin. Ia meliahat headet yang menggantung di telinganya. Dia pasti mendengarkan lagu ,itu sebabnya ia menjadi kaget. Dan  sudah pasti lagu milik sistar, girl band yang selama ini di idolakannya

Dengan gerakan malas kai mengambil buku fisika di tasnya dan membuka halaman 127. Kai paling kesal dengan pelajaran fisika, karena ia tidak akan mengerti pelajarannya meskipun park seosangnim sudah menerangkannya berulang-ulang kali.

***

Pyeojin berdiri didepan gedung sekolah SHEKKAI HIGH SCHOOL. “cih, halmeoni yakin akan menyekolahkan ku di sini? Walaupun masuk dengan beasiswa sosial, sepertinya aku tidak akan bisa mengimbanginya” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya masuk.

Pyeojin berjalan menuju ruang guru. Sebelum itu ia sempat bertanya pada security yang bertugas. Pyeojin pun menemukan ruang guru, ia mengetuk pintunya beberapakali sebelum membukanya. Ia pun melangkahkan kakinya masuk, kearah meja bertuliskan reseptionis. “chogiyo Agassi” panggil pyeojin pada salah satu petugas resptionis. “ne, ada yang bisa di bantu?” Tanya petugas tadi. “saya ingin mendaftar sekolah, di sebelah mana?” Tanya pyeojin, “ahh silahkan isi formulir ini. Setelah itu berikan kepada saya” jelas petugas.

Pyeojin mengisi formulir, setelah selesai ia langsung memberikan pada petugas tadi. “ige” pyeojin menyerahkan formulirnya. “hmmm beasiswa social ya? Kalau begitu anda bisa langsung mengambil seragam dan buku-buku pelajaran, silahkan saya antar”

***

Setelah mendapatkan seragam dan buku-bukunya Pyeojin memutuskan untuk pulang ke rumah. Di sepanjang koridor ia bertemu dengan beberapa murid SHEKKAI HIGH SCHOOL yang melihat sinis kearahnya. Menyadari itu, Pyeojin hanya membuang nafasnya kasar.

Saat Pyeojin sedang sibuk dengan barang bawaannya, ia pun mendengar suara celotehan yeoja yang sedang bergosip, Pyeojin memutuskan berhenti di belakang mereka dan berpura pura sibuk dengan ponselnya. “aigoooo, kai oppa benar-benar tampan” ujar yeoja berambut hitam, “bahkan ke dua belas exo oppadeul sangat tampan. kudengar sekarang kai oppa sedang tidak memiliki yeojachingu. Ini kesempatanmu” ucap temannya, “kajja kita lewat kelas  XI B “ ajak yeoja berambut hitam tadi. Dan kemudian meninggalkan tempat itu.

“EXO? XI B? Kai? igo mwoya?” pyeojin kembali berjalan. Saat berjalan matanya menangkap tulisan ‘XI B’ di salah satu pintu. Karena penasaran pyeojin pun memutuskan untuk melewati kelas itu. Pyeojin berjalan dengan menolehkan kepalanya kearah kelas itu. “aiss, begitu banyak namja di kelas itu bagaimana aku mengetahui yang mana exo?!” keluhnya begitu melewati kelas XI B.

Pyeojin melihat seorang yeoja yang berjalan sambil mamainkan ponselnya. Dengan ragu pyeojin pun bertanya pada yeoja itu, “chogiyo” panggil pyeojin. Yeoja itu menoleh, “ne?” jawabnya. “hmm bisahkah kau menunjukan exo?” Tanya pyeojin. “ahh.. igo. Mereka ber 7 yang duduk di deretan bangku barat” jawab yeoja itu. “tapi bukannya ada 12 orang?” Tanya pyeojin memastikan, “5 orang lainnya di kelas A” jawab yeoja itu, “perlu ku tunjukan juga?” tawarnya. “anio. Gamsahamnida” pyeojin membungkukkan badannya lalu pergi meninggalkan yeoja itu.

“cih, hanya sekelompok namja dengan wajah yang sok imut. Mengapa seluruh yeoja disini selalu memuja mereka?” gerutu pyeojin.

***

“halmeoni, na wasseo” teriak pyeojin yang masih melepas sepatunya. “pyeojin-ah, kenapa baru pulang?. Ini sudah malam” Tanya halmeoninya khawatir. “sangat lama mengurusi seragam ini” keluh pyeojin. “mana seragamnya? Biar halmeoni cuci. Kau makanlah” ujar halmeoni. “ige” setelah memberikan seragamnya pada halmeoni Pyeojin langsung menuju meja makan.

Setelah makan, pyeojin memutuskan untuk masuk kekamarnya. Pyeojin duduk di meja belajarnya. Menatap seragamnya yang baru saja kering setelah di cuci dan di gantung. “sepertinya aku tidak cocok menggenakkannya” ucap pyeojin pelan. Kemudian menghela nafasnya. “sebaiknya aku tidur. Dari pada telat di hari pertama, itu sangat memalukan” pyeoji merebahkan dirinya di kasur kecil miliknya. Memejamkan matanya berusaha masuk kedalam mimipi. Tak lama kemudian pyeojin pun sudah masuk kedalam mimpi.

***

Keesokan harinya

Pyeojin mematikan jam beker yang dari tadi sudah mengganggu tidurnya. Ia menyibakkan selimutnya dan berdiri. Meregangkan otot ototnya, kemudian ia menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi dan memakai seragammnya pyeojin berkaca sedikit merapihkan rambutnya. “apakah cocok?” gumamnya.

“pyeojin-ah, palli. Kau bisa terlambat di hari pertamamu!” teriak halmeoni dengan suara lantang. “arra!” jawab peyojin. Setelah mengikat rambutnya, Pyeojin mengambil backpack dan juga sweater merah kesayangannya. Kemudian Pyeojin keluar dari kamarnya itu. “aigooo aigoo cucu halmeoni neomu yeoppo” puji halmeoni. Pyeojin sama sekali tidak menggubrisnya, ia langsung duduk dan sarapan.

Setelah selesai sarapan, pyeojin pun berpamitan pada halmeoninya. Jarak rumah ke sekolah baru Pyeojin tidak terlalu jauh, ia cukup berjalan kaki menuju sekolah. Selama di perjalanan Pyeojin memikirkan dirinya sendiri, jika kehadirannya tidak akan di terima oleh murid murid SEKKAI HIGH SCHOOL.

Pyeojin hampir sampai di sekolah baru, tiba-tiba berkas-berkas pendaftaran miliknya terbang tertiup angin ke tengah jalan raya. “Aaisshh jinja, ada ada saja!” gerutu Pyeojin. Pyeojin langsung berlari untuk mengambil kertas tersebut. Tanpa Pyeojin sadari mobil sport hitam melaju dengan kecepatan penuh ke arahnya. “Aaaaaaaaaaahhh!!!!” teriak Pyeojin sambil menutup telinganya. Mobil Sport hitam langsung berhenti mendadak tepat di depan Pyeojin.

Tiba-tiba sesosok namja tinggi dengan penampilan yang sangat beratakan keluar dari mobil sport hitam. Pyeojin yang melihatnya langsung menghampiri namja tersebut. “Kyaa!!, apa kau tidak bisa menyetir mobil dengan benar?!. Bentak Pyeojin dengan kesal. “Aishh, kau yeoja gila, kenapa kau menyalahkanku? Jelas-jelas kau yang diam di tengah jalan. Kalau aku tidak cepat-cepat menginjak rem, nyawamu pasti sudah melayang, seharusnya kau berterimakasih kepadaku, dasar yeoja tidak tau terima kasih!! Ujar Kai panjang lebar. “Mwo?? Yeoja gila?? Kau yang gila!, seharusnya kau tidak perlu menyetir mobil mu ini dengan kecepatan yang sangat tinggi!!” gertak Pyeojin sambil menunjuk mobil sport hitam milik Kai. Namja dan yeoja tersebut beradu mulut layaknya para DPR yang sedang melakukan sidang.

“Huh, terserah apa mau mu, aku ada urusan yang lebih penting!” ucap Kai sambil meninggalkan yeoja itu dan masuk ke dalam mobil sport mewah miliknya. Setelah mobil Kai melaju dengan kencang, Pyeojin langsung mengambil berkas yang tadinya berada di tengah jalan. Ia pun mulai berjalan menuju sekolah. “Aisshh,, hari pertama sekolah saja aku sudah bertemu dengan orang yang sangat menyebalkan!” keluh Pyeojin sambil merapikan rambutnya.

***

Pukul 7 lebih 30 menit Pyeojin sampai di SEKKAI HIGH SCHOOL. Ia berlari menuju kelasnya kelas XI B. “hey, kau yang di sana cepat masuk!” ujar seosaengnim dari kejauhan. Pyeojin memasuki kelasnya itu. Dan tiba-tiba…

“kau….???” Ucap Pyeojin kesal sambil melihat sesosok namja yang tadi ia temui di jalan raya barusan. Kai yang sedang bercanda dengan teman-teman se-gengnya terkejut melihat yeoja yang kini ada di sebelah seosaengnim. “mwo?? Yeoja gila, sinting, dan tidak tau terimakasih, kenapa ia bisa ada disini?” celetuk Kai. “nuguya?” Tanya baekhyun yang mendengar celetukan kai tadi. “Ahh, ani”.

“Nah, sekarang perkenalkan namamu!” ucap seosaengnim. “Arraseo. Annyeong, Nam Pyeojin imnida, mannaseo bangapseumnida” kata pyeojin sambil membungkukkan badannya. “Nah, Pyeojin, silahkan mencari tempat duduk kosong”. “Ne seosaengnim”. “Heii, kau namja manis duduklah di sebelahku!” ujar baekhyun sambil menunjukkan senyum manisnya. “Aishh,, kalau dia duduk disini, aku duduk dimana? Dasar babo!” sahut Chanyeol. “duduklah di sebelahku” kata seorang yeoja yang pernah ia temui sebelumnya.

Pyeojin merasa sangat bingung. Bagaimana tidak , jika ia duduk di samping yeoja itu maka ia akan bersebelahan dengan namja yang sangat ia benci. “ahh, ya sudahlah daripada aku terus berdiri di depan kelas ini” pikir Pyeojin dalam hati. Dengan kesal, Pyeojin berjalan menuju tempat duduknya. “Yaa, anak-anak keluarkan buku matematika halaman 132!” perintah seosaengnim.

***

“Kring..Kring..!!” bel istirahat SEKKAI HIGH SCHOOL berbunyi. “Jangan lupa kerjakan tugas halaman 134” ucap seosangnim. “Ne..” jawab semua siswa bersamaan. “Ohh ya, kau yeoja yang waktu itu bertanya padaku kan?” Tanya yeoja yang duduk di sebelah Pyeojin ketika hendak merapikan buku-bukunya. “Ne.. aku hampir lupa, waktu itu kita belum sempat berkenalan, emmh Nam Pyeojin imnida”. “Lee Hye Rim imnida”. “Kajja kita ke kantin, perutku sudah sangat lapar!” ajak Hye Rim sambil menarik tangan Pyeojin. “Ahh, kajja!

Setelah sampai di kantin mereka duduk di bangku yang sama. Tanpa Pyeojin sadari, sekelompok namja terpopuler seantero sekolah juga duduk tidak jauh darinya. “Aishh, kenapa kumpulan namja sok imut selalu menghantuiku?” gerutu Pyeojin. “hahh, Chanyeol oppa kau benar-benar tampan..” kata Hye Rim.  Tanpa sengaja Pyeojin mendengar perkataan sahabat barunya itu. “Nuguya?” Tanya Pyeojin. “eemhh, Chanyeol oppa. Jawab Hye Rim sambil melirik kearah Chanyeol. “Aaah, kau menyukainya ya?” selidik Pyeojin. “Kau ingin tau sekali Pyeojin-ah!”. “Sudahlah, orang buta pun pasti tau kalau kau menyukainya, buktinya dari tadi kau tidak jadi memesan makanan karena sibuk memperhatikan Chanyeol” ejek Pyeojin. “Hye Rim-ah, tunggulah sebentar aku akan memesan makanan untuk kita berdua!”. “Nde..”

“Kyaa,, jangan mengambil bakpao ku!” kata Xiumin ketika bakpao yang ada di tangannya hilang seketika. “Hahahahah, kau seperti anak kecil hyung!” ledek Baekhyun sesudah mengerjai Xiumin. Tak hanya baekhyun, semua anggota EXO juga menertawakannya. “Huhh, lapar sekali!,pikir kai dalam hati. Kai baru ingat, tadi pagi ia tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan lagi. Kai memutuskan untuk memesan makanan ke salah satu kedai langganannya. “Ahjumma, tolong berikan aku chiken snack warp dan segelas soda!”. “Ne, tunggulah sebentar!”. Kata seorang ahjumma penjual makanan.

“Ini, pesananmu”. Ahjumma memberikan sebuah nampan yang berisi makanan yang di pesan Kai. “Ohh, ne gamsahabnida!” Kata kai sambil menyodorkan uangnya. “Cheonma..!”. Tepat saat ia membalikan badannya, lewatlah seorang yeoja yang tampaknya juga membawa makanan.”aww” teriak yeoja itu. “aisss saekki-ya!” bentak kai seraya membersihkan seragamnya yang kotor karena terkena makanan yang ia bawa. “mian, aku tidak sengaja” ujar yeoja itu.

Tadaaaaaaaaaaaaaaa..

See you next chapter ^,^

 

 

 

[FREELANCE] Three Minutes

$
0
0

tumblr_n2i0otSpDs1t07lczo6_r1_500

Three Minutes

Title : Three Minutes || Author : @ansabilna ||  Main Cast : Kim Jongin & Krystal Jung || Genre : Romance || Length : OneShot || Rating : T || Disclaimer : The story is pure mine! Don’t be plagiat! Inspired by someone’s real life tragedy. Enjoy it~

***

“Tiga menit memanglah bukan waktu yang lama. Tapi gadis asing itu sanggup membuatku tersadar dari kisah kelam yang menyelimutiku. Lewat dekapan yang terkesan dingin, yang sanggup membuat jantungku berdebar tak menentu.” – Kim Jongin.

***

Berjalan gontai dengan tatapan mata yang kosong. Rambut hitam legamnya yang tak karuan, kemeja kantornya yang lusuh dengan berbagai macam noda jalanan, memberikan isyarat tentang keadaannya saat ini. Kacau, sangat kacau. Semilir angin sore yang tak berarti terus mengiri langkahnya. Entah kemana langkah kakinya akan bertepi, ia-pun tak tahu.

Sekelebat bayangan yang Jongin tidak inginkan, justru hinggap menelusup hingga bagian terkecil sel otaknya.  Berhasil menghujam jantungnya dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Zhang Yixing—atasan Jongin yang tega memecatnya di depan halayak umum dengan kata kasar yang menghina, Ahn Yeon—kekasihnya yang kini lebih memilih meninggalkannya sesaat setelah ia menjadi pengangguran, dan yang terparah, Kim Jung Ah—ibu-nya yang kini terbaring lemah dirumah sakit akibat penyakit mematikan yang disebabkan oleh bakteri ecoli. Sungguh sebuah ironi memang.

Serentetan kejadian buruk yang menimpanya hari ini, sukses membuat satu harinya layaknya didalam neraka. Tersiksa dengan rasa sakit yang begitu menjadi. Ingin sekali rasanya ia berteriak, sangat ingin. Namun, sudut di ruang hati kecilnya menahan. Melampiaskannya pada kedua tangannya yang mengepal sebagai tumpuan akan luapan emosinya. Yang terhubung langsung dengan sudut matanya yang kini sesak menahan gejolak airmata. Begitu membuatnya mati rasa.

Tidak peduli dengan tatapan aneh yang disertai bisikan mencemooh dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia sudah merasa lelah, sangat lelah dengan semua ini. Di tengah keramaian kota Seoul, dengan puluhan orang yang memandangnya rendah, ia tetap berjalan lurus dengan arah yang tak pasti.

Sampai pada akhirnya, tungkai kaki Jongin menapaki tanah dengan posisi yang sejajar. Memandang jauh panorama jembatan penyebrangan dengan begitu banyak jiwa yang melewatinya. Pikiran Jongin tak terarah. Tak ada satu-pun hal positif yang menelusup masuk ke sel otaknya untuk saat ini. Membuat Jongin berpikir tidak karuan.

“Ini semua terlalu menyiksaku,” Begitu suara hati Jongin berbicara. Bagaimana nasibnya nanti tanpa sebuah pekerjaan? hutang disana-sini, pengobatan ibunya yang terlampau jauh dari kata murah. Tak terlebih dengan relung hatinya yang kini hampa tanpa adanya cinta. Itu sungguh membebaninya.

Dengan langkah pasti ia menaiki setiap anak tangga dengan detakan jantungnya yang mulai berdebar, bahkan sangat berdebar ketika ia sudah berhasil menyelesaikannya.

Perasaan ragu dalam hati sempat muncul sekejap, namun hilang dengan tiba-tiba ketika rayuan setan sudah berhasil menguasai jiwanya dengan sempurna. Kini posisi Jongin sudah berada tepat di pertengahan jembatan. Menatap indahnya kota Seoul pada ketinggian sepuluh meter. Tatapan nanar dari mata hazzle-nya dapat terbaca dengan jelas. Senyum miring tak biasa, lantas hinggap disudut bibir tebalnya. Memenuhi setiap lekuk ekspresi wajahnya yang tidak dapat dimengerti.

Frustasi, mungkin begitu, atau lebih tepatnya memang begitu. Jongin tidak punya pilihan lain. Bunuh diri adalah cara terbaik agar jiwanya kembali dalam keadaan tenang. Damai layaknya air sungai yang mengalir. Sebuah cara yang memang hina dimata Tuhan, namun tidak untuk-nya saat ini.

Jongin menarik kuat oksigen yang bisa ia hirup, dan menghembuskannya secara kasar. Meletekkan kedua lengan kekarnya tepat diatas pagar pembatas yang hanya seukuran tinggi pinggangnya. Hawa dingin dengan cepat merambat dari ujung jarinya, membuat bulu kuduknya meremang untuk sesaat. Memejamkan mata dan sedikit membayangkan apa yang akan terjadi setelah ia benar-benar loncat dari jembatan ini. Menghantam kerasnya aspal, dan bam! mati. Sekali lagi, mati. Ia akan mati dalam keadaan yang mengenaskan. Tidak peduli bagaimana akan bentuk mayatnya nanti, ketenangan yang abadi akan segera ia temui setelah ini. Terbebas dari semua kesengsaraan hidup yang Tuhan ujikan kepadanya.

Jongin mulai melangkahkan kaki kananya melewati pagar pembatas. Baru satu kaki saja, Jongin sudah mendapati sekerumunan warga Seoul yang berkumpul sambil menunjuk-nunjuk terkejut kearahnya dibawah sana. Bahkan, para pejalan kaki yang hendak menyebrang terhenti untuk naik, dan ikut bergerumul dibawah untuk melihatnya.

“Hey! Apa yang dia lakukan?! Dia akan bunuh diri! Segera hubungi polisi!” Jongin tidak tuli, jelas-jelas ia dapat mendengar suara-suara yang ia rasa menghawatirkan keselamatannya. Tidak peduli, anggap mereka hanya angin lalu, begitulah Jongin. Lanjut dengan kaki kirinya, kini Jongin benar-benar di luar batas. Nafasnya agak tersengal, namun tidak mengurungkan niatnya untuk segera merentangkan kedua tangannya.

“Ibu, aku mencintaimu.” Tak terbendung lagi, buliran airmata itu akhirnya jatuh juga. Menerobos kuatnya dinding pertahanan indra penglihatan Jongin yang kini sudah memerah.

***

Suara sirine mobil polisi begitu mendominasi suasana di pinggir jalan kota Seoul, tepat ketika seorang gadis hendak berjalan menuju sisi trotoar. Rambut merah panjang Krystal Jung berkibar begitu satu persatu mobil polisi melaju dengan cepatnya. Kedua alis tebalnya saling bertaut, keningnya berkerut, sama dengan ekspresi para pejalan kaki yang lain. Menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi, kenapa ada begitu banyak mobil polisi, kenapa lajunya begitu cepat, kurang lebih begitu.

Ia menggidikan kedua bahunya tidak tahu, memilih untuk merapatkan jaket kulit yang ia kenakan, menyisipkan rambut bagian depannya ke balik daun telinga kanannya, lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Ia dapat merasakan saku celananya bergetar, menandakan ada sebuah panggilan yang masuk ke ponsel bermodel touch screen miliknya.

“Maaf, aku sibuk. Akan kuhubungi lagi nanti,” Entah apa yang membuat Krystal begitu cepat mengakhiri perbincangan di ponselnya, bahkan itu tidak layak disebut sebagai sebuah perbincangan.

 “Aneh,” Gumamnya tanpa sadar. Alisnya kembali bertaut, sorot matanya memicing tajam objek didepannya. Baru seperempat jalan ia lewati dari posisinya barusan, ia sudah dapat melihat dengan jelas mobil polisi yang terpakir dibawah jembatan penyebrangan. Begitu banyak awak polisi yang berjaga disekitarnya. Ia juga bisa melihat begitu banyak warga yang berkerumun dibawahnya dengan berbagai ekspresi disetiap wajahnya.

Krystal berjalan dengan agak sedikit berlari menuju tempat kejadian, yang entah kejadian apa, sembari menaruh kembali ponsel disakunya.

“Ada apa ini?” Tanya Krystal pada seorang pemuda yang berdiri tepat disampingnya, disertai dengan nafas yang agak tersengal akibat aksi setengah berlarinya.

“Itu!” Yang ditanya-pun hanya mengacungkan jari telunjuk kananya sebagai jawaban. Mengarah pada jembatan penyebrangan, tidak, bukan kepada jembatan penyebrangan semata, melainkan seorang pemuda yang hendak meloncatinya.

“Bunuh diri?!” Krystal sontak membulatkan matanya kaget. Bibir pink palm-nya tak kuasa menahan hasratnya untuk tetap mengatup.

Pria itu—Kim Jongin, masih tetap pada posisi awalnya. Merentangkan kedua tangannya untuk  bersiap-siap meloncat. Para polisi yang terus berusaha mengingatkannya agar tidak terjun bebas dengan menggunakan alat pengeras suara-pun, tetap tidak menjadi acuannya untuk berhenti melakukan aksi gilanya.

“Tidak bisa dibiarkan,” Entah apa yang merasuki pikiran Krystal saat itu. Ia berlari menuju anak tangga yang berjarak hanya dua meter dari tempatnya berdiri. Tidak mudah memang, ketika seorang petugas kepolisian menghalangi aksi heroik Krystal dengan menahan sebelah tangannya.

“Nona, apa yang akan kau lakukan? Ini berbahaya!,”

“Dia kekasihku! Jadi lepaskan!,” Dengan sekuat tenaga Krystal menghempaskan tangan kekar sang polisi. Dan benar saja, Krystal berhasil. Berdusta dengan statusnya sebagai kekasih Kim Jongin. Pria berkulit tan yang sangat asing baginya, bahkan mengenalnya saja tidak. Krystal benar-benar tulus ingin menolong pemuda itu.

Dan disinilah Krystal berada. Berhadapan langsung dengan pelaku tunggal aksi bunuh diri, Kim Jongin. Sesekali ia menelan ludahnya untuk sekedar menghilangkan rasa gugup yang mendera. Dengan perlahan tapi pasti, ia melangkahkan kakinya lebih dekat pada Jongin. Dan berhenti tepat dibelakang punggung tegapnya.

“Lihat itu! Ada seorang gadis disana!,” Dan sekali lagi, Jongin tidak tuli. Ia bisa mendengar teriakkan seorang pemuda barusan. Lantas, ia membuka kedua kelopak matanya paksa, mengerutkan keningnya bersamaan dengan  kedua tangannya yang terhempas kembali kebawah.

“Apa yang kau lakukan hah?!” Hanya terdengar suara semilir angin yang masih setia menemani Jongin sampai saat ini. Tidak ada respon apapun. Diam, kaku, dan tidak bergerak.

“Hentikan! Kau bisa mati, kau tahu?!” Sekali lagi, hanya terdengar suara semilir angin yang berhembus. Jongin masih belum mau membuka mulutnya dan membungkamnya rapat-rapat.

“Itu yang kuinginkan,” Sedetik berlalu, suara berat nan parau itupun terdengar. Menelusup masuk indra pendengaran gadis yang Jongin rasa sok jagoan. Krystal memberanikan diri mengambil satu langkah lebih maju.

“Jika ini karena suatu masalah, yakinlah bahwa akan ada jalan keluarnya. Kau masih bisa memperbaikinya, membuatnya lebih baik.” Suara Krystal melembut layaknya butiran salju di musim dingin, sangat lembut. Bersamaan dengan jemari mungil-nya yang menyentuh lengan kekar milik Jongin.

Jongin tersentak. Luapan emosi Jongin kini mencapai puncak. “Kau ini siapa hah?! Jangan menghalangiku! Cepat pergi! Aku ingin loncat dan mati secepatnya!”Entah kekuatan dari mana Krystal dapat, ia sanggup menarik beban tubuh Jongin yang baru saja gagal meloncat, dan jatuh kedalam pelukannya. Ini memang di luar rencana.

Tepuk tangan dan seruan haru atas aksi heroic Krystal memuncah saat itu juga. Menjelma menggantikan sosok suasana mencekam yang hilang bagaikan asap.

“Sudah kubilang, kau masih bisa memperbaikinya. Tidak dengan cara seperti ini,” Kedua mata Jongin membulat dengan sempurna. Kedua bahunya merosot lemah. Ia pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Satu menit. Jongin dapat merasakan ketulusan menyeruak dari dekapan gadis asing ini. Menyebar keseluruh bagian tubuhnya layaknya virus. Memberikan rasa nyaman yang entah darimana asalnya. Membuat kedua matanya terpejam untuk beberapa saat. Merasakan detakan jantungnya yang mulai berdegup di luar batas normal.

Dua menit. Ia dapat merasakan relung hatinya yang berkecamuk tergenang oleh aliran air sungai yang mengalir. Begitu damai, jelas apa yang ia inginkan dari awal. Mengganti sel-sel otaknya yang sudah usang dan kembali berfungsi dengan normal. Memperkuat keyakinan, bahwa apa yang dikatakan gadis asing ini benar. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan sekarang salah, salah besar. Jongin masih bisa berusaha dan memperbaiki segalanya. Mulai mencari pekerjaan baru dengan modal usaha yang keras, mencari pendamping hidup yang benar-benar mencintainya dengan tulus. Dan terakhir, hal terbesar yang benar-benar Jongin inginkan. Ia benar-benar ingin Ibu-nya sembuh.

Tiga menit. Ia dapat merasakan beberapa pasang tangan kekar yang mengangkat kakinya melewati pagar pembatas. Para polisi itu sudah berhasil membuatnya kembali dalam lajur jembatan yang seharusnya, oleh kode-kode yang Krystal berikan sebelumnya itu tentu. Dan kali ini, gejolak didalam rongga dadanya bertambah hingga dua kali lipat lebih cepat.

Perasaan grogi bercampur gugup saat ia membuka matanya perlahan. Mendapati seorang gadis asing bersurai merah melepas pelukannya dengan agak begitu cepat. Tatapan mata mereka terkunci satu sama lain.

“Kau masih bisa memperbaikinya. Ingat itu,” Sang gadis melemparkan senyuman tipis seraya menepuk pundak kanan Jongin ringan. Yang membuatnya mematung layaknya terhipnotis. Bahkan, untuk mengeluarkan sepatah kata-pun saja ia sulit.

“Kami harus memeriksa pria muda ini. Terimakasih untukmu, Nona. Kau sangat membantu pekerjaan kami,” Ucap salah seorang anggota kepolisian, yang Krystal yakin adalah leader dalam tim kepolisian kali ini. Krystal hanya memberikan anggukan kecil disertai dengan cengiran khas miliknya.

“Aku harus segera pergi, permisi,” Krystal membungkukkan tubuhnya membentuk sudut sembilan puluh derajat, diikuti dengan balasan anggota kepolisian yang tepat berada disampingnya. Dan bisa ditebak, Jongin masih dalam posisi dimana ia mematung tanpa ekspresi.

Krystal mulai melangkahkan kaki jenjangnya menjauh. Berjalan santai dengan menampilkan deretan gigi seri-nya yang putih. Terlihat ia yang sedang memasukkan lengan seputih susu-nya kebalik saku jaket kulit berwarna lembut itu. Rasa lega yang mendera menyelimuti suasana hatinya kini.

Sementara Jongin, hanya dapat memandanginya dari kejauhan. Tetap dengan bibir yang terkatup rapat. Kedua matanya masih terlalu fokus menatap punggung Krystal yang berjalan jauh dari hadapannya. Entah, setiap langkah kaki gadis asing itu membuat jantungnya berdebar semakin kencang dan kencang. Membuat jemarinya merengkuh dalam bagian sisi kiri dadanya. Tetap berdebar dengan irama yang tak bisa dikontrol. Sampai saat dimana gadis itu mulai menuruni anak tangga dan sosoknya tak terlihat lagi.

 


“Love Care”– Chapter 1

$
0
0

-love care

Chapter 1:

I Have A New Nanny

Love Care Cover 1 Picture

Summary:

Siapa bilang pria berusia 22 tahun tidak memerlukan pengasuh? Wu Yi Fan, pria tampan, kaya raya, egois, pendiam, sombong dan segala hal menyebalkan itu sangat membutuhkannya. Namun dengan angkuh ia tak ingin itu terjadi dan mengakui bahwa dirinya baik-baik saja. Berbeda dengan Jung Rae Woo, gadis sederhana, pengkhayal yang sedang dilanda kebingungan sebelum ia melihat sebuah selebaran yang tertempel di seluruh dinding-dinding jalanan Kota Seoul, selebaran yang terlalu biasa bahkan membosankan bagi sebagian orang, namun sangat berarti bagi seorang Jung Rae Woo. Selebaran yang membawa hidupnya sedikit lebih baik juga berbalik menjadi mimpi buruk nantinya. Tapi, setiap mimpi buruk pasti mempunyai akhir bukan?

Lalu, apa akhir dari mimpi buruknya?

Author:Dreamcreampiggy ||Length:Chapter || Genre:Romance, Familiy, Drama, Little bit Comedy, AU || Rating:Teen, Parents Strongly Cautioned-13, || Cast:Wu Yi Fan/Kevin Li/Kris (EXO-M)|Jung Rae Woo (OC)|Kim Joon Myun/Suho (EXO-K)|Oh Se Hun/Sehun (EXO-K)|EXO Members|And another Cast.

Disclaimer:

Casts are belongs to God, their self, and their parents, except Original Character. They are fake cast made by myself as a Writer. Stories are mine. NO ONE allowed to PLAGIARIZE, copy-paste, translate, edit, and change half or this entire story without my permission.

~***~

My first impressions about him? Please, don’t ask it. Bad. Really bad.

“Kalian itu sudah menunggak selama tiga bulan!” Suara seorang ahjumma paruh baya terdengar menukik tajam bagaikan pesawat tempur yang bersiap untuk lepas landas lalu menghantam seorang gadis di hadapannya. Gadis bernama Jung Rae Woo yang hanya bisa terdiam sambil terhanyut dalam seluruh khayalan gila yang pernah ia rasakan. Rae Woo bersumpah bahwa suara ahjumma di hadapannya ini sungguh memekakan dan membuat telinganya sakit. Berbanding terbalik dengan suara ibunya yang terdengar lembut dan merdu walaupun hanya berbicara. Namun sayang, kini ibunya sedang terbaring lemas karena sakit di rumahnya. Bukan rumah sakit. Memangnya siapa yang akan membiayai ibunya?

“Kau ini dengar tidak sih?!” Ahjumma itu lagi-lagi berbicara sambil berteriak. Rae Woo segera memfokuskan tatapannya yang tadinya terlihat kosong. Karena kini hanya otaknya saja yang mengembara ke sana kemari. Rae Woo mengernyit kesal saat itu. Rasanya ia ingin menyumpal mulut ahjumma ini dengan sepatunya lalu mengikatkan tubuh ahjumma di hadapannya pada sebuah pesawat rusak hingga pesawat itu jatuh. Tapi, biarlah khayalannya mengembara. Itu tak akan pernah terjadi. Bahkan sepatunya saja hanya satu. Bagaimana bisa ia sumpalkan dengan cuma-cuma? Mungkin nanti saat ada yang membelikannya sepatu lagi.

Mianhae ahjumma. Saat ini aku tidak punya uang. Kau harus mengerti kalau eommaku sedang sakit keras.” Kata Rae Woo sambil mengeluarkan puppy eyesnya yang percuma ia lakukan karena ahjumma itu belum tentu mengerti dan mempunyai belas kasihan.

“Mintalah pada appamu itu! Ia harus bertanggung jawab sebagai seorang ayah! Jangan hanya mabuk-mabukkan setiap hari! Membuat susah putri dan istrinya juga aku!” Kata ahjumma itu lagi. Kini ia mengambil kipas dari balik tasnya dan mengipaskan kipas itu ke wajahnya.

Aigoo cepatlah! Aku butuh uang!”

“Aku harus bagaimana? Uangku bahkan tak cukup untuk makan ahjumma. Berilah aku waktu satu minggu untuk mencari uang. Aku mohon…” Kata Rae Woo yang segera berlutut di depan ahjumma yang sebenarnya tak pantas di perlakukan seperti itu sambil membungkuk berkali-kali.

“Tidak bisa! Cepat! Aku butuh uang sekarang! Kalau kau tidak memberikan uang sewa rumah itu sekarang, aku akan mengusirmu, ayahmu yang pemabuk dan ibumu yang sakit-sakitan itu keluar!” Rae Woo menarik napas kesal. Ia sungguh tak bisa menahan amarahnya. Ia membiarkan ahjumma ini menghina ayahnya, lalu sekarang ibunya juga? Sungguh ahjumma ini telah membangkitkan singa yang tertidur di dalam tubuh Rae Woo.

“Cepat! Atau aku akan menyuruh orang-orangku untuk menyeret keluargamu keluar! Kau sudah sering sekali menunggak!”

Rae Woo menarik napasnya pelan. Senyum licik tergambar pada wajahnya. Salah besar jika orang-orang mengiranya polos bahkan tak bisa apa-apa. Salah besar. Dan sekarang singa yang sudah terbangun itu siap mengaum.

Satu, dua, dan tiga.

“YAK! KAU AHJUMMA CEREWET! PERGI! AKU SUDAH BILANG AKAN MEMBAYARNYA NANTI! KAU YANG MEMULAI! KAU MAU AKU APAKAN HUH? CEPAT KELUAR! DASAR CEREWET! AKU HERAN KENAPA SUAMIMU INGIN MENIKAHIMU! CEPAT PERGI! JANGAN PERNAH MENGHINA KELUARGAKU LAGI!!!!!” Teriak Rae Woo dengan suaranya yang keras dan bisa dibilang cempreng itu. Ia melepas sepatunya dan mengarahkan benda itu pada ahjumma di hadapannya. Ia sudah diambang batas kali ini. Ahjumma itu sudah berani menghina keluarganya sejak pertama kali datang kesini sepuluh menit yang lalu. Jadi, wajar jika Rae Woo melakukan hal ini di pagi hari yang cerah dan seharusnya berbahagia ini.

“Kau berani hah?” Tantang ahjumma tadi. Salah! Jangan pernah melawan Rae Woo yang sedang marah atau kau akan celaka!

“Berani? IYA!” Kata Rae Woo sambil melemparkan sepatunya ke arah  sang ahjumma berkali-kali.

“YAK! YAK! YAK! ANAK KURANG AJAR!” Kata ahjumma itu kesal.

“Aku tak perduli! Sana pergi!” Kata Rae Woo. Ia terus melempar dan mengambil sepatunya lalu melempar lagi sampai ahjumma itu mundur melewati gerbang rumahnya. Rae Woo segera menutup gerbang rumahnya dengan kencang dan menguncinya.

“Fiuh…” Rae Woo menghembuskan napasnya dan meniupkan sebagian napasnya ke atas hingga poni rambutnya terangkat.

“Kau! Awas! Minggu depan aku akan kembali!” Kata ahjumma menjengkelkan tadi yang ternyata baru akan pergi. Sungguh wajah ahjumma itu mirip sekali dengan wajah bibi menyebalkanpada salah satu drama yang baru ia tonton minggu lalu.

“Iya dasar cerewet! Bibi sepertimu memang menyebalkan! Dasar ahjumma aneh!” Teriak Rae Woo kesal. Ia menghentakkan kakinya dan menjambak-jambak rambutnya yang ia ikat satu. Semakin lama ia akan gila sepertinya. Ia semakin sulit membedakan dunia nyata dengan khayalan atau film. Ditambah ia harus mencari uang dan berkuliah. Lengkap sudah penderitaannya.

“Ah aku harap akan ada pangeran berkuda putih setampan Yoon Ji Hoo F4 datang menghampiri dan menikahiku… Ya Tuhan aku ingin sekali… Huhuhu…” Rae Woo memohon dan menatap ke atas langit. Berdoa agar pangeran itu jatuh begitu saja.

~***~

Matahari bersinar dengan sangat teganya siang hari ini. Membuat seluruh manusia yang berada di sebuah Kota bernama Seoul itu mandi dengan peluh mereka sendiri. Beruntunglah bagi mereka yang membawa mobil, menaiki motor ataupun bus dan segala kendaraan nyaman lainnya. Tapi Rae Woo? Untuk berangkat kuliah saja ia harus berjalan kaki.

Dan kini seperti anjing kelaparan, Rae Woo sedang berdiri di depan sebuah kaca Super Market yang besar sambil menatap dan meneguk ludahnya berkali-kali ketika melihat seorang anak laki-laki berumur lima tahun sedang memakan dengan lahap ramyeon dalam cup di hadapannya.

Rae Woo melihat sekeliling Super Market dari jendela dan menyadari ibu anak itu sedang berbelanja. Rae Woo mengetuk kaca jendela sampai anak itu melihatnya, Rae Woo tersenyum sambil menunjuk ramyeon di hadapan anak laki-laki itu. Siapa yang tahu kalau mungkin anak itu akan memberikannya satu?

Anak itu mengangkat wajahnya dan tertawa kecil melihat Rae Woo. Manisnya. Rae Woo yakin anak itu pasti akan memberikannya. Entah anak itu akan turun dari kursi itu lalu berlari ke depan untuk memberikannya ramyeon yang sedang ia makanatau justru menyuruh ibunya memberikan ramyeon baru untuknya. Dan Rae Woo akan mengambil pilihan ke dua. Namun bukannya khayalan Rae Woo yang menjadi kenyataan tetapi justru sebuah ejekan yang ia terima. Sial.

“Weeeek! Sana Jelek!” Rae Woo terkejut begitu anak laki-laki berwajah polos itu seketika berubah seperti setan kecil yang menggodanya dan merendahkannya! Bahkan ia memanggil Rae Woo jelek? Yak! Rae Woo ini cukup cantik bagi ibunya!

Rae Woo baru ingin membalas kata-kata anak itu lalu masuk ke dalam Super Market dan menyumpal mulut setan kecil itu dengan buku-bukunya sebelum ibu dari anak itu mendekat. Rae Woo dengan cepat menjulurkan lidahnya kesal lalu melenggang pergi.

“Ah! Semuanya menyebalkan! Aku mau makan! Aku belum sarapan! Aku harap awan bisa mengeluarkan makanan! Aaaaa! Siapa saja! Beri aku makanan!”

BRUSHHHHH

Rae Woo yang sudah menjadi perhatian berbagai orang karena teriakan dan gerutuannya, semakin mencolok ketika sebuah motor sport berwarna hitam yang kelihatan paling mahal dan salah satu keluaran terbaru merek ternama itu melintasi sebuah kubangan air hujan di tepi jalan dan mencipratkan air kotor yang terbilang cukup banyak itu ke tubuh Rae Woo.

“YAK! KAU! AISHHH! KENAPA AKU SIAL SEKALI SIH HARI INI! AWAS KAU!” Rae Woo yang tak sabar ingin melampiaskan kemarahannya, dengan cepat segera berlari menyusul motor itu.

Ia benar-benar gila. Ia harus mencari bahan pelampiasan kini. Ia lapar, ia di rendahkan oleh anak kecil, di tagih hutang oleh ahjumma menyebalkan tadi pagi dan kini terkotori oleh air kubangan? Dan orang yang telah membuatnya marah setengah mati itu harus menerima ganjarannya kini. Rae Woo akan mengejar orang itu!

Ternyata kemampuan berlarinya yang setara dengan atlet itu masih cukup bagus dan membantunya saat ini. Tas ransel di punggungnya terlihat bergoyang-goyang seiring laju larinya. Motor itu berhenti karena lampu merah. Kebetulan sekali!

Rae Woo masih berlari sebelum ia melihat seorang anak sekolah yang ia yakini sedang membolos sambil meminum sebuah minuman. Sepertinya bubble tea?  Rae Woo yang melintas di hadapan anak itu segera mengambil bubble tea dari tangan anak berwajah datar tetapi tampan itu  seperti seorang perampok dan berteriak.

“Maaf! Aku mintaminumanmu! Ikhlaskan ya!” Teriak Rae Woo mengabaikan teriakan anak sekolah yang terdengar marah itu.

Tidak! Lampu merah itu akan hijau! Ia harus mempercepat langkahnya untuk membalaskan dendamnya sendiri! Ayo Rae Woo! Yak! Tepat!

HAP!

Rae Woo berdiri di hadapan motor itu tepat ketika lampu berganti hijau. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar menghalangi motor sport hitam dan mahal itu yang akan melintas.

TIIIN!

“Minggir!” Teriakan bersuara berat dan dalam dari sang pengendara yang bertubuh tinggi walaupun sedang menunduk karena mengemudikan motornya tidak menghalangi niat Rae Woo untuk melakukan hal yang sudah ia rencanakan secara asal-asalan.

“Minta maaf padaku!” Teriak Rae Woo. Suara klakson dari kendaraan di belakang motor itu semakin keras. Namun karena tak terlihat pergerakan dari motor mewah dan mahal di depannya, berbagai kendaraan segera menyalip sehingga membuat jalanan sedikit padat.

“Kau membuat masalah denganku nona. Aku tak melakukan apapun padamu.” Kata laki-laki itu dengan suara datar. Wajahnya masih tertutup dengan helm full face, dan Rae Woo meyakini laki-laki yang memakai helm full face semacam itu akan sangat tampan dan mirip dengan para pembalap atau satria baja hitam.

“Kau mengemudikan motor dengan sangat cepat sehingga saat kau melewati kubangan air tadi, air itu mengenaiku! Dan seluruh tubuhku basah dengan air kotor!” Kata Rae Woo sebal.

“Lalu?”

Argggghhh! Rae Woo tak tahan lagi! Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. Hari yang panas, amarah yang membakar dan laki-laki menyebalkan juga seluruh kondisi yang menimpanya membawa Rae Woo melangkah maju mendekati laki-laki itu lalu dengan cepat menarik helm yang di kenakan sang pengendara. Ini dia! Rencana terhebat dalam seumur hidup seorang gadis bernama Jung Rae Woo.

BYURRR

Isi bubble tea di tangannya kini sudah berpindah tempat. Kini isi minuman itu sudah membasahi kepala sampai tubuh sang pengendara yang tak lagi mengenakan helm. Pengendara itu menunduk, telinganya sudah berwarna merah menunjukan emosi yang meluap-luap.

“APA-APAAN KAU INI!” Teriak laki-laki itu yang segera mengangkat wajahnya dan menatap Rae Woo kesal. Suaranya yang besar itu membuat beberapa pejalan kaki terkaget-kaget. Bahkan anak sekolah yang tadi ingin mengambil minumannya di tangan Rae Woo berhenti seketika dan melihat kejadian itu.

“Ya Tuhan, kau menurunkan malaikat tampan padaku. Sungguh laki-laki ini tampan sekali Ya Tuhan.”

Rae Woo menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran gila itu dan menatap laki-laki berambut kecoklatan yang terlihat sangat keren. Deskripsi! Harus di deskripsikan!

Laki-laki itu berkulit putih dan Rae Woo yakin pasti sangat lembut. Hidungnya sangat mancung. Bibirnya tidak terlalu besar namun terlihat cukup tebal di bagian atas. Rae Woo ingin sekali mencium laki-laki itu jika ia kekasihnya. Matanya terlihat tajam, alisnya juga tebal. Lalu suaranya berat dan dalam. Dan tinggi laki-laki itu tak perlu di pertanyakan. Sangat tinggi. Jaket biru yang melekat di tubuhnya membuat laki-laki di depannya semakin tampan walau sudah kotor akibat tumpahan bubble tea gratis hasil rampasan Rae Woo.

“Mi-mi-minta maaf padaku!” Lajut Rae Woo dengan suara tergagap karena gugup.

“Bukan urusanku! Minggir sana!” Teriak laki-laki itu kesal. Ia menekan klakson motornya keras. Namun Rae Woo yang mempunyai suara teriakan lebih besar daripada klakson itu hanya tertawa kecil dan dengan cepat melangkah semakin mendekati laki-laki itu.

Rae Woo mencium bau alkohol dari mulut laki-laki itu yang membuatnya teringat pada ayahnya sendiri yang bahkan minggu ini belum menginjakan kaki kembali di rumahnya.

Laki-laki itu hanya menatap Rae Woo kesal lalu mengabil kembali helmnya di tangan Rae Woo dan segera memacu motornya.

“YAK! DASAR NAMJA GILA! AWAS KALAU AKU BERTEMU DENGANMU LAGI!” Teriak Rae Woo yang sungguh memekakan telinga siapapun.

~***~

Rumah bergaya Eropa seperti istana yang luasnya hampir berhektar-hektar dengan lapangan golf sendiri dan berbagai fasilitas lainnya mungkin hanya akan kalian semua temui pada drama-drama Korea yang selalu di tampilkan di TV dan menjadi favorit para remaja. Tapi kini rumah itu memang benar-benar ada. Dan rumah itu memang di huni oleh seorang laki-laki angkuh yang tak berperasaan. Yang membuat hampir puluhan pelayan rumah itu berlarian panik seperti hama tanaman yang sebentar lagi akan di basmi oleh insektisida atau sejenisnya.

Suara khas dari sebuah motor sport hitam yang mewah dan di ketahui sebagai keluaran terbaru merek terkenal yang pernah di sebutkan di salah satu bagian pada cerita ini terlihat memasuki rumah tersebut yang mempunyai gerbang super besar dan tinggi. Bahkan kalian harus menempuh kurang lebih lima ratus meter sebelum kalian berhasil memasuki dan melihat rumah maha besar itu.

Beberapa pria yang lebih tepat di sebuat dengan bodyguard terlihat sedang berlarian sambil berbicara melalui microphone kecil pada kerah jas hitam mereka yang tersambung secara otomatis pada kepala pelayan di rumah itu dan ke sebuah ruangan operator. Bahkan rumah itu punya ruangan operator?

“Tuan muda sudah tiba! Bersiaplah,” kata-kata itulah yang kebanyakan terdengar dari para bodyguard. Terlalu berlebihan untuk kepulangan seorang anak dari pemilik rumah itu. Tapi berbeda jika kalian membaca cerita ini. Anak itu bukanlah anak biasa yang mudah di kendalikan. Karena jika anak itu mudah di kendalikan, aku tak akan menceritakan cerita ini pada kalian. Aku harap kalian bisa mengerti bagaimana anak pemilik rumah itu disini.

Di sisi rumah maha besar ini, hampir puluhan pelayan lain yang terdiri dari pria dan wanita dengan jumlah yang sebanding terlihat sedang merapihkan seragam mereka dan berbaris memanjang di samping kedua sisi pintu utama yang memiliki sensor akurat.

Bukan. Pelayan-pelayan itu bukan mengantri untuk mendapatkan uang bulanan. Melainkan untuk menunggu kedatangan tuan muda itu. Seorang pria paruh baya yang hampir seluruh rambutnya memutih karena terlalu banyak berpikir menanti cemas di depan pintusebelum sebuah motor yang tak perlu di jelaskan lagi bagaimana ciri-cirinya berhenti. Pengemudi itu turun dengan cepat dan berjalan masuk. Pria paruh baya yang berpangkatkan kepala pelayan itu segera membungkukan kepalanya diikuti oleh puluhan pelayan lain di balik pintu.

Laki-laki yang masih mengenakan helm full face itu terlihat bagaikan raja. Ia terus berjalan di saat para pelayan masih membungkuk dan ketika ia melihat pelayan yang mengantri di barisan paling akhir, ia melepaskan helm yang ia kenakan dan melemparnya kasar pada pelayan laki-laki di sampingnya yang dengan sigap segera menangkapnya sampai harus tersungkur.

Wajah tampan laki-laki itu kini dengan mudah terlihat. Membuat kita teringat pada sebuah kejadian sebelumnya. Kepala pelayan yang tadinya berdiri di depan pintu kini berlari cepat menuju tempat tuan mudanya berada.

Kepala pelayan itu mencoba mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki tampan namun angkuh itu. Meneguk ludahnya sendiri untuk berbicara.

“Tuan. Anda mendapatkan teguran lagi dari Nyonya besar karena selalu pulang terlambat. Bahkan dua hari yang lalu Anda tak pulang sama sekali.” Kata kepala pelayan yang sering di panggil dengan sebutan Pak Lee.

“Katakan padanya aku juga mempunyai urusanku sendiri. Jangan mengganggu.” Jawab laki-laki ini. Datar, dingin, dan angkuh. Ia melepas jaket biru tuanya dengan kesal dan menunjukan kaus putihnya yang kini sudah terkotori dengan bekas minuman aneh. Pak Lee menatap kaget baju laki-laki yang berstatus sebagai majikannya itu.

“Tuan,” belum sempat Pak Lee bertanya laki-laki tampan ini sudah menyelanya.

“Ada gadis aneh di jalan tadi yang tiba-tiba menumpahkan sebuah minuman padaku.” Jawabnya. Ia berjalan meninggalkan Pak Lee dan menaiki tangga memutar seperti yang tervisualisasikan pada film-film dongeng.

Pelayan-pelayan lain yang tadinya berbaris di ruangan depan berjalan mendekati Pak Lee dan mencoba menenangkannya. Kasihan Pak Lee. Ia harus mengabdikan hidupnya mengasuh laki-laki itu.

“Dia memang keterlaluan. Aku heran kenapa ia bisa seperti itu. Menjijikan.” Kata salah satu pelayan laki-laki yang berpenampilan sangat rapih. Pelayan lain hanya mengangguk dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sepertinya Tuan muda Kris memerlukan pelayan pribadi. Aku tak sanggup jika harus mengurusinya juga.” Kata Pak Lee.

“Pak Lee. Serahkan padaku masalah itu. Kita akan mencari pengasuh untuk tuan muda. Secepatnya.” Kata seorang pelayan perempuan bernama Shin Young yang terkenal banyak berbicara namun memiliki ide-ide cemerlang.

“Benarkah?” Tanya semua pelayan kecuali Pak Lee dan Shin Young sendiri.

Shin Young tersenyum yakin.

“Benar. Seluruh orang di Seoul akan mengetahui dan berdatangan ke rumah ini. Lalu, kita akan memilih seseorang yang pantas untuk tuan muda.” Kata Shin Young dengan senyum liciknya yang menakutkan.

~***~

Hari kedua.

Rae Woo berjalan lesu di trotoar sambil menendang sebuah kaleng minuman ringan secara asal-asalan. Sebenarnya ia ingin sekali meminum sesuatu yang manis dan menyegarkan saat ini. Bukan hanya air putih. Tapi ia takut jika uangnya tak cukup untuk membayar makan malamnya sendiri hari ini dengan Ibunya. Catat. Rae Woo tak ingin membiayai Ayahnya yang pemabuk itu makanan. Ia sedikit tidak sudi.

Kini ia belum bisa kembali ke rumahnya yang nyaman itu karena ia sendiri harus mencari sebuah pekerjaan tetap yang dapat menghasilkan uang setidaknya untuk satu minggu ini. Tapi apa? Sekarang ini mencari pekerjaan untuk seorang perempuan yang bahkan belum lulus menempuh perguruan tinggi sepertinya diibaratkan mencari jarum di tumpukan jerami yang kini sedang di bakar oleh seorang kakek tua. Hampir mustahil.

“Ahhhhh! Kenapa ini semua terjadi padaku? Memangnya apa salahku sampai-sampai aku harus menderita seperti ini!” Teriak Rae Woo kesal. Dua hari ini ia sudah sering berteriak di tengah-tengah jalan. Ia berharap ada seseorang yang mengasihaninya dan memberikan banyak uang setelah itu. Bukannya menyimpratkan air kotor padanya seperti kemarin.

Mata Rae Woo memandang datar jalan di depannya sebelum ia merasakan kakinya menginjak sebuah selebaran berwarna yang terlihat sangat penting. Kenapa selebaran itu penting? Apa selebaran itu menginformasikan tentang keadaan Korea sekarang? Atau apakah selebaran itu akan menginformasikan konser Super Junior yang terbaru hingga hampir seluruh dinding-dinding di Kota Seoul di penuhi oleh selebaran ini? Rae Woo sendiri baru menyadarinya dan tak habis pikir dengan hal ini. Selebaran ini terlalu banyak. Bahkan ada beberapa selebaran yang tertiup oleh angin secara sia-sia. Mengotori Kota Seoul tercintanya.

Rae Woo mengambil salah satu selebaran yang tertempel di dinding sebelahnya dan membaca selebaran itu seksama.

“Pengasuh? Selebaran ini tertempel di hampir seluruh Kota Seoul dan hanya berisikan informasi ini? Dasar gila.” Kata Rae Woo tak habis pikir. Ia ingin membuang selebaran itu sebelum ia menancapkan pandangannya kembali dan melanjutkan aktivitas membacanya.

“Apa ini? Bayaran menjadi seorang pengasuh besar sekali!”

Teriak Rae Woo tak percaya. Matanya membulat seperti bola. Tapi yang harus kalian tahu tak seperti bola juga. Tak mungkin Rae Woo memiliki mata sebesar bola sepak atau basket jika kepalanya saja tidak lebih besar daripada benda itu.

“Bayarannya bisa melunasi hutang sewa rumah! Kyaaaaa! Aku harus mendapatkan pekerjaan ini!” Kata Rae Woo sambil melompat-lompat senang. Jika kemarin ia sangat sial, berarti kini ia sangat beruntung. Catat sekali lagi. Terlalu beruntung hingga ia menganggap ia hanya harus mengasuh seorang bayi.

“Aku suka anak kecil! Aku pasti bisa mengasuhnya!” Kata Rae Woo senang. Kini wajah lesunya berubah sangat ceria bahkan bisa-bisa menjadi sangat cerah mengalahkan sinar mentari.

Rae Woo kembali membaca selebaran itu dan berusaha mencerna di mana ia harus mendaftar dan kapan. Rae Woo membaca informasi yang terdapat di selebaran itu dan terkejut ketika ia mendapati bahwa pekerjaan itu bisa di dapatkan setelah seleksi ketat! Dan seleksi itu di lakukan besok pukul empat sore.

Sial! Ia punya mata kuliah pada jam itu! Dan ia tak mungkin membolos! Ia tak mau di keluarkan dari perguruan tingginya yang sangat terkenal dan biasanya hanya di tempati oleh anak-anak dari kalangan atas. Ia mendapatkan beasiswanya dengan susah payah!

“Tenang Rae Woo. Yakinlah. Jam kuliahmu di mulai pukul tiga dan selesai pukul lima. Kau bisa langsung pergi ke tempat itu dan mendapatkan pekerjaannya! Jung Rae Woo Fighting!” Kata Rae Woo dengan suara yakin sambil melompat-lompat menyemangati dirinya sendiri. Rae Woo segera memasukan selebaran berharga itu ke dalam tasnya yang sudah sangat lusuh dan berjalan pulang. Ternyata hidup masih berpihak padanya yang ceroboh ini.

Ya, sangat ceroboh hingga ia tak membaca salah satu pemberitahuan yang terletak di bagian paling bawah selebaran itu.

*Kami mengharapkan pengasuh yang mempunyai tingkat kesabaran dan tingkat pemikiran yang tinggi untuk mengasuh seorang laki-laki berumur 22 tahun.*

~***~

“APA? TIDAK!”, suara berat, dalam dan kencang milik seorang laki-laki itu benar-benar memekakan seisi rumah megah itu. Lee Shin Young, seorang pelayan perempuan di rumah itu berdiri sambil mengernyit takut. Ia tak berani menatap wajah majikannya sendiri yang kini sedang menancapkan tatapan menyeramkannya yang dapat membuat jantung seseorang berhenti berdetak selama satu detik.

“Tapi kami sudah menempelkan selebaran-selebaran itu di seluruh kota Tuan Muda.” Jawab Shin Young takut.

“Yak Ahjumma! Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya bahwa aku bisa mengurus diriku sendiri! Aku tak perlu pengasuh! Kau ingin ke pecat huh? Lagipula Ibu-ku tak akan setuju dengan hal konyol ini!” Laki-laki yang sebenarnya sangat tampan dan sering di panggil dengan sebutan Tuan Muda itu masih berteriak dan memaki dengan segenap hatinya.

“Maafkan saya Tuan Muda. Tapi nyonya besar sudah menyetujui hal ini. Kami tidak bisa membiarkan anda pergi kemanapun hari ini dan besok karena kami akan meminta anda untuk ikut serta memilih pengasuh untuk anda sendiri.” Kata Shin Young.

Fine! You make all my day ruined! Great!” Laki-laki ini berbicara dengan kesal dan dalam nada sarkastik yang sebenarnya tak di mengerti oleh Shin Young. Pelayan itu hanya tersenyum dan berjalan meninggalkan laki-laki tampan ini. Membiarkannya sendiri.

Suasana hening di dalam kamar yang sangat mewah dengan tempat tidur King Size dan berbagai pernak-pernik lain yang menunjukan betapa nikmatnya hidup laki-laki yang persis seperti pangeran ini terpecah ketika suara ponselnya berdering.

Laki-laki itu berjalan mendekati sebuah meja kecil di samping tempat tidurnya dan mendapati sebuah pesan.

From: Yi Xing

Subject: <No Subject>

Kris! Aku melihat selebaran aneh di seluruh kota. Kau membutuhkan pengasuh? Alamat yang tertera menunjukan rumahmu. Kalau kau perlu aku bisa memberikan pengasuhku sewaktu kecil untukmu. Bagaimana kau mau? Oh ya, kami akan datang ke rumahmu besok. Pukul empat. Kami juga ingin mendapatkan pekerjaan itu ><

Laki-laki yang di panggil dengan sebutan Kris itu mengerutkan dahinya dan membanting ponselnya ke samping. Bahkan sahabatnya sendiri tertawa di atas penderitaannya? Dan di sini, sahabatnya bukan hanya satu. Lihat bukan? Kami. Berarti masih banyak sahabat-sahabatnya yang akan muncul. Sial.

~***~

 “Tuan Muda.” Suara seorang pria paruh baya di sampingnya membuat laki-laki tampan ini menoleh.

“Ada apa Pak Lee?” Tanya Kris dengan kesal. Ia menatap kosong Smart TV di depannya dan hanya sibuk mengganti channel satu persatu secara berurut.

“Ini sudah pukul empat sore. Dan sudah banyak orang yang mengantri di bawah. Anda harus turun untuk memilih pengasuh anda sendiri.” Kata Pak Lee.

“Pilih saja sesukamu Pak. Aku hanya tinggal memecatnya jika tak suka.” Jawab Kris.

“Tidak bisa Tuan, Anda harus memilihnya dan Anda tak bisa memecatnya karena hanya nyonya besar yang berwenang melakukan itu.” Kata Pak Lee.

Kris membanting remote TV-nya lalu bangkit dari kursi dan keluar dari kamarnya yang sangat nyaman. Kaus putih berlengan panjang yang simple namun sangat mahal dengan merek fashion ternama yang terlihat jelas dari design baju itu beserta celana sepanjang lutut yang berwarna coklat menambah ketampanan laki-laki berambut kecoklatan ini.

Kris menuruni tangga rumahnya. Ia sungguh terlihat seperti pangeran kini. Sangat tampan. Kris menunduk dengan malas lalu berjalan ke sofa empuk yang berada di sisi lain ruangan itu. Beberapa calon pengasuhnya yang berdiri di sisi pintu masuk ruangan tengah terperangah dan saling membisik dengan wajah gembira atau bisa dibilang senang. Bagaimana tidak? Mereka akan mengasuh pria setampan Kris.

Kris menatap risih antrian panjang itu dan segera mengalihkan pandangan kepada Pak Lee.

“Bagimana aku memilihnya?” Tanya Kris.

“Kami akan meminta mereka untuk meyakinkan Anda Tuan Muda.” Kata Pak Lee.

Kris menghembuskan napasnya kesal. Mari kita mulai.

~***~

Kris menatap calon pengasuhnya yang pertama kini. Calon pengasuhnya terlihat masih sangat muda. Terlihat dari Flowery Dress yang di kenakan perempuan berkepang dua itu. Manis, tapi terlalu polos. Hey! Siapa yang memperdulikan fisik? Tak ada!

“Berapa umurmu?” Tanya Kris.

“Sembilan belas tahun.” Jawab anak perempuan itu.

“Apa? Sembilan belas? Maaf aku tak menerima pengasuh yang lebih muda dariku. Minimal kau harus sebaya denganku.” Ia menggerakkan pergelangan tangannya ke arah pintu keluar dengan wajah angkuh. Perempuan itu menunduk dan mengangguk sedih lalu berjalan meninggalkan ruangan itu.

Kedua!

“Berapa umurmu Ahjumma? Tanya Kris tak yakin. Perempuan di depannya ini sangat bersemangat. Tapi Kris sendiri merasa takut saat melihat Ahjumma itu mengedipkan sebelah matanya. Oh Tuhan! Ia sedang tidak mencari pasangan! Ia mencari pengasuh!

“Empat puluh tahun. Belum menikah.” Lanjut Ahjumma itu dengan lantang. Kris bergidik geli dan menatap Pak Lee yang sedang menahan tawanya. Kris menggeleng dan lagi-lagi menggerakan tangannya ke arah pintu keluar.

“Maaf. Sepertinya lebih baik aku mencari pangasuh yang sudah berkeluarga atau semacamnya.” Kata Kris. Ahjumma genit itu kelihatan kecewa dan segera berjalan keluar. Belum sempat calon pengasuh berikutnya di panggil ponsel Kris berbunyi. Ia menatap layar ponselnya dan menghembuskan napas lega ketika Zhang Yi Xing sahabatnya mengatakan ia dan teman-temannya tak jadi datang karena ada urusan mendadak. Baguslah. Kris tak ingin menjadi bahan ejekan selama satu tahun penuh.

Kali ini Kris segera menggelengkan kepalanya karena yang ia lihat adalah seorang nenek tua. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nenek itu mengasuhnya. Tidak. Lebih baik ibunya yang melakukan itu.

Astaga kali ini laki-laki? Kalian pasti tahu bukan apa yang akan Kris katakan? Tidak! Ia tak ingin di asuh oleh laki-laki! Apalagi laki-laki itu sangat lemah gemulai. Ia takut laki-laki itu akan membahayakan dirinya. Mulai fisik maupun mental dan batinnya.

Kelima! Mungkin ini yang terburuk!

Seorang perempuan berjalan ke hadapan Kris. Dengan dress super pendek tanpa lengan berwarna merah dan high heels senada yang cocok di kenakan perempuan berambut pendek itu. Kris meneguk ludahnya sendiri. Gila. Ia tak mungkin memiliki pengasuh seperti itu. Namun belum sempat Kris mengucapkan sesuatu, perempuan itu sudah duduk tepat di pangkuannya dan menghalangi kata-kata yang akan keluar dari mulut Kris dengan meletakan jarinya pada mulut Kris.

“Emmm… Mungkin selain pengasuh aku juga bisa memberikan lebih?” Tanya perempuan itu dengan wajah yang…Kris segera menggelengkan kepalanya dan bergidik ngeri lalu mendorong tubuh perempuan itu menjauh.

“Aku mencari pengasuh yang baik. Maaf menyinggung.” Kata Kris masih dengan nada jijik. Ia membersihkan pakaiannya sendiri atau apapun yang sempat tersentuh oleh perempuan itu. Kris menyuruh perempuan itu keluar dan dengan frustasi, Kris menundukan kepala dan mengacak-acak rambutnya kesal.

Masih banyak pengasuh yang harus ia pilih. Bahkan antriannya sangat panjang dan terus bertambah. Tapi tak ada satupun yang benar dan normal disini!

~***~

Rae Woo menghentikan laju larinya ketika ia merasa kedua kakinya sudah keram dan jantung kecilnya itu sudah tidak sanggup memompa darah dengan keadaan terburu-buru yang di salurkan Rae Woo dengan terus berlari dari kampusnya sampai kemari (Sebenarnya tidak sepenuhnya berlari, Rae Woo sempat menaiki bus hanya saja sebagian perjalanan tanpa kendaraannya ia habiskan dengan berlari.)

Tangan putih Rae Woo ia gerakkan masuk ke dalam tas punggung lusuhnya dan meraba-raba dengan maksud mencari sebuah kertas.

Aha!

Rae Woo merasakan benda itu dan menariknya keluar. Sekali lihat, Rae Woo segera mencocokkan alamat pada kertas itu dengan daerah sekitarnya. Mata Rae Woo ia alihkan ke depan dan mendapati gerbang megah yang dijaga ketat oleh beberapa Bodyguard, tanpa pikir panjang Rae Woo segera menjajakan kakinya memasuki gerbang besar itu, melintasi jalan yang cukup besar dengan pohon-pohon teratur berbagai bentuk di sampingnya. Tak perlu ragu lagi Rae Woo pasti yakin bahwa jalan besar yang cukup jauh ini akan membawanya pada tempat tujuan di selebaran itu.

Baru berjalan sejauh empat ratus meter, Rae Woo sudah melihat antrian yang sangat panjang dan tak tahu di mana ujungnya.

“Astaga! Panjang sekali! Bagaimana mungkin nanti aku akan diterima dengan kondisi pendaftar sebanyak ini?” Ucapan Rae Woo yang cukup lantang membuat seorang laki-laki paruh baya di depannya menoleh ke belakang dan tersenyum.

“Tenang Nona, sudah banyak pendaftar lain yang ku lihat berjalan dengan lesu keluar dari tempat ini. Berarti seleksi yang di lakukan cukup ketat dan kita mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.”

Suara paman yang membuat Rae Woo lebih tenang itu membawa senyuman ramah dari Rae Woo. Mereka berdua terlihat mengobrol bersama sedikit dan berbagi cerita juga alasan mereka mendaftar.

Tak lama ketika mereka menghabiskan menit berikutnya dengan mengobrol dan sesekali maju beberapa langkah mengikuti antrian, seorang perempuan bertubuh cukup besar bernama Shin Young yang menjadi pelayan di tempat itu lewat di hadapan Rae Woo dan menyampaikan sesuatu pada Bodyguard di belakangnya dengan lantang.

“Kunci gerbang ini dan jangan biarkan siapapun masuk lagi untuk mendaftar! Kita harus menekan peserta sehingga memudahkan dalam pemillihan!”

Rae Woo meneguk ludahnya ngeri mendengar kata-kata Shin Young yang sangat serius. Beruntung ia datang pada waktu yang tepat dan menjadi peserta terakhir. Tapi Rae Woo bisa merasakan kesabarannya diuji ketat karena antrian di depannya masih harus menunggu untuk usai.

~***~

 Sudah pukul berapa ini? Matahari tak terlihat lagi dan langit sudah berubah menjadi hitam kelam seperti suasana hati Kris. Ratusan lebih orang-orang aneh yang Kris hadapi setiap menitnya namun tak ada satupun yang sesuai dengan apa yang ia harapkan walau Kris tahu bahwa sebenarnya apa yang ia harapkan itu tidak ia inginkan. Siapa yang ingin mempunyai pengasuh di usia 22 tahun? Memalukan.

“Tuan Muda. Ini adalah pendaftar terakhir kita. Kami harap anda bisa mempertimbangkannya. Kami mohon.” Pak Lee membisikan kalimat itu pada telinga Kris yang hanya ia tanggapi dengan anggukan tak acuh.

Sementara itu, Rae Woo sedang ternganga lebar di depan rumah megah yang ia tapaki kini. Mengagumi setiap arsiterktur rumah itu dan membayangkan dirinya tinggal di sini. Beberapa orang membawa Rae Woo masuk ke dalam rumah dan berjalan sedikit lagi hingga Rae Woo menemukan sesuatu.

Kini ia sampai pada sebuah tempat seperti ruang tamu yang di tata sedemikian rupa seperti di kastil dongeng. Mata Rae Woo belum sempat melihat apapun lagi selain penataan ruangan itu yang sedikit di dominasi dengan warna emas dan putih.

“APA?” Teriakan seseorang yang takasing di telinganya membuat Rae Woo tertegun dan baru menatap ke depan. Melihat laki-laki tertampan yang pernah ia temui kemarin kini sedang terduduk jelas pada sebuah sofa empuk di depannya. Memandang Rae Woo dengan tatapan kesal dan dingin.

“Kau?” Hanya kata itu yang berhasil dilontarkan Rae Woo. Ia menggeleng dengan tak percaya dan memejamkan mata sebentar mencoba memastikan apa dia sedang bermimpi.

“Mau apa kau kesini? Dasar gadis tak waras.” Kris segera mengeluarkan kata-kata menusuknya itu yang sudah biasa bagi Pak Lee dan pelayan-pelayan lain.

“Aku ingin mendaftar jadi pengasuh. Lalu kenapa kau di sini? Dengar ya kau belum meminta maaf padaku!” Rae Woo membalas perkataan Kris lagi tanpa takut dan menjadi tontonan langsung bagi para pelayan juga Pak Lee.

“Pengasuh? Maaf tidak jadi. Kau bisa pergi dan aku tak akan pernah mengucapkan kata maaf jika aku tak melakukan apapun padamu. Justru kau yang harus minta maaf!”

“Enak saja! Kau jelas-jelas tak bisa berkendara dengan baik ya Tuan! Aku heran kenapa kau membutuhkan pengasuh? Memang siapa yang masu di asuh? Anakmu? Sungguh kasihan ia mempunyai Ayah sepertimu!”

“YAK! Kau!”

Pak Lee yang merasakan hawa sengit di antara dua manusia ini segera menengahi hal itu dan berjalan mendekat kepada Kris.

“Tuan. Anda tak bisa menolak pendaftar kali ini. Seperti yang sudah saya katakan dia adalah orang terakhir. Jadi anda harus menerimanya.”

Hari ini sungguh menyebalkan. Dalam hidupnya, Kris adalah orang yang sangat dingin, berlindung di balik karisma dan wajah cool  yang di puja-puja setiap wanita. Tapi sekarang, image yang ia bangun sejak dulu itu hancur sudah dengan pertengkaran pertama kalinya bersama seorang gadis.

“Tidak. Kalian bisa mengusahakan untuk membuka pendaftaran di lain hari! Pokoknya aku tak mau menerima gadis ini!”

Rae Woo mengerutkan dahinya sebentar dan menatap marah wajah Kris. Ia sudah mengantri sangat panjang sejak sore hingga sekarang dan dengan seenak mulutnya saja ia bisa dianggap gugur? Sungguh ia baru menyadari sesulit ini menjadi seorang pengasuh. Rasanya ia seperti sedang mengalami audisi acara menyanyi!

“Tunggu. Aku sudah mengantri dari tadi untuk mendapatkan pekerjaan ini dan sekarang kau mengusirku? Yak! Apa hakmu! Lagipula kau ini siapa? Sehingga bisa menentukan aku pantas bekerja atau tidak? Lebih baik kau keluarkan anakmu dan biarkan ia melihatku! Siapa tahu ia suka denganku?” Mulut Rae Woo sudah mengeluarkan bisanya dan tentu saja kata-kata itu menohok Kris. Penghinaan.

“Maaf Nona, tapi tak ada anak kecil yang akan anda asuh di sini. Anda sudah membaca selebarannya bukan?” Pak Lee bertanya dengan sopan. Rae Woo mengangguk.

“Tuan muda kami ini yang akan anda asuh Nona.”

Dua.

Dan…

Detik berikutnya Rae Woo hanya bisa membungkukan tubuhnya dan sebuah suara tawa kemenangan terdengar dari sana. Astaga! Pria sebesar ia masih membutuhkan pengasuh? Jangan bercanda! Rae Woo sungguh tak habis pikir.

“Lihat kan? Ia bahkan tak berkompeten untuk menjadi seorang pengasuh. Batalkan.” Kris segera berdiri karena merasa terhina dan hendak melangkah menuju tangga sebelum suara Shin Young terdengar.

“Nona. Selamat. Anda akan menjadi pengasuh Tuan Muda mulai besok.” Shin Young menjabat tangan Rae Woo ketika gadis itu berhasil menghentikan tawanya.

Ahjumma apa hak mu?” Tanya Kris tak percaya.

“MaafTuan. Anda tak bisa menolaknya.” Shin Young tersenyum dan menarik Rae Woo mendekat kepada Kris.

“Mulai besok anda akan mendapatkan pengasuh baru Tuan.”

Rae Woo hanya dapat membuka mulutnya lebar tak percaya namun dengan cepat ia bersikap normal dan berdeham. Demi ibunya ia akan melakukan apapun.

“Perkenalkan. Namaku Jung Rae Woo, usiaku 22 tahun, dan aku akan menjadi pengasuhmu mulai besok.” Rae Woo menjulurkan tangannya hendak menjabat tangan Kris tetapi dengan cepat Kris segera membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah lain. Meninggalkan Rae Woo, Shin Young dan Pak Lee di sana.

“Selamat Nona. Besok kami menunggu anda pukul enam pagi di rumah ini dan akan menjelaskan semua hal yang perlu anda ketahui. Semoga anda di berkati.” Kata Pak Lee yang kemudian menjabat tangan Rae Woo.

–To Be Continued–

Author’s Note: Hola! This is me! Dreamcreampiggy! Ini adalah FF Chapter keduaku setelah “Saranghaeyo Ahjussi” yang Thanks God ternyata lumayan banyak peminatnyadan akhirnya tamat. Ngomong-ngomong cerita itu, Terima Kasih untuk siapapun yang sudah baca dan comment, like atau tetap menjadi Silent Readers. Btw, FF ini masih dengan Kris yang sebagai Author aku merasa belum puas menggali wataknya yang un-pre-dict-able. Maksudku Kris itu bisa jadi apapun kan? Bad Boy, Orang yang bijak dan banyak lagi… Jadi mudah-mudahan di FF ini semua yang baca akan suka, banyak yang comment dan RCL! Tolong ya T.T Huhuhu~ Thanks for reading guys and let your soul shouted their voice by fill the comment box below~ Kalian kan masih harus tahu banyak lagi tentang latar belakang Kris dan semua hal tentang cerita ini jadi jangan bosan nunggu kelanjutannya ya^^

Oiya please kindly check my blog! Imagine Piggy! Just Click here.

*Psss, aku belum akan lanjutin part berikutnya kalau aku belum lihat minimal sepuluh comment… Gimana? Hahaha ditunggu ya~

-XOXO Dreamcreampiggy-

“Love Care”– Chapter 2

$
0
0

-love care

Chapter 2:

Under Pressure

Love Care Cover 2 Picture

 

Summary:

Siapa bilang pria berusia 22 tahun tidak memerlukan pengasuh? Wu Yi Fan, pria tampan, kaya raya, egois, pendiam, sombong dan segala hal menyebalkan itu sangat membutuhkannya. Dan setelah berhasil mendapatkan seorang pengasuh baru, Wu Yi Fan akan berusaha membuat pengasuhnya itu pergi dan jera untuk mengurusnya.

Tapi, benarkah Rae Woo akan kalah dan pergi begitu saja?

Atau jangan-jangan sesuatu akan terjadi di antara mereka?

Author: Dreamcreampiggy || Length: Chapter || Genre: Romance, Familiy, Drama, Little bit Comedy, AU || Rating: Teen, Parents Strongly Cautioned-13, || Cast: Wu Yi Fan/Kevin Li/Kris (EXO-M)|Jung Rae Woo (OC)|Kim Joon Myun/Suho (EXO-K)|Oh Se Hun/Sehun (EXO-K)|EXO Members|And another Cast.

Disclaimer:

Casts are belongs to God, their self, and their parents, except Original Character. They are fake cast made by myself as a Writer. Stories are mine. NO ONE allowed to PLAGIARIZE, copy-paste, translate, edit, and change half or this entire story without my permission.

~***~

I’m in pressure.

Hal pertama yang akan dipaparkan dalam bagian ini adalah sebuah penjelasan. Kalian pasti belum mengetahui sesuatu yang penting dalam cerita ini kan? Tapi tak perlu berkecil hati, bukan hanya kalian yang belum mengetahuinya. Buktinya kini seorang gadis dengan rambut yang ia ikat berantakan bernama Jung Rae Woo sedang fokus menancapkan tatapannya pada layar laptop usang di hadapannya. Berselancar di internet dengan biaya terakhir kartu internetnya dan berusaha mengorek informasi paling faktual dan aktual yang ada tentang tempat ia bekerja kini yaitu rumah keluarga pemilik “Lionof  World Wide Corporation” sebagai pengasuh di sana.

Rae Woo mengetikkan keyword itu pada sebuah kotak transparan di situs Google dan mulai mencari setiap berita di sana.

Ia menggerakan kursornya ke sebuah alamat situs dan menunggu hingga internetnya sudah terproses secara sempurna dan membaca beberapa fakta.

Mari kita rangkum semua fakta tentang perusahaan Lionof  yang berhasil ia kumpulkan.

Yang paling awal adalah fakta bahwa perusahaan itu sangat pantas menyandang nama World Wide dengan jaringan perusahaan dan usaha di hampir seluruh negara besar di dunia. Namun yang paling menonjol adalah Cina, Korea Selatan, Amerika, dan Dubai. Lionof  yang pertama kali dirintis pada sebuah negara dengan julukan tirai bambu atau Cina itu menguasai hampir setengah dari sistem perdagangan gadget  dan sudah di angkat menjadi perusahaan terpenting yang menjadi penggerak utama perekonomian Cina.

Selain di Cina, Lionof  juga cukup aktif dalam menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan tas, baju, alat rumah tangga, makanan ringan atau cepat saji bermerek dunia. Di Korea Selatan sendiri, perusahaan ini lebih banyak bergerak pada bidang otomotif, perhotelan dan yang terakhir hiburan masyarakat seperti stasiun TV kabel ternama. Bahkan di Dubai perusahaan ini tak mau ketinggalan andil dalam kerja sama pertambangan minyak beserta pengembangan mall  terbesar di dunia itu.

Tidak hanya di Asia, Lionof  juga mengibarkan sayap ke Amerika sebagai sponsor tahunan terbesar NBA dan mempunyai merek sendiri bagi alat-alat olahraga yang terjamin mutu dan kualitasnya. Sesekali mereka juga ikut dalam membangun usaha penerbitan majalah ataupun buku.

“Wow…” Rae Woo benar-benar tak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Semuanya terlalu sempurna dan bisa dibilang tidak masuk akal. Berapa banyak pemasukan yang perusahaan itu dapatkan perhari? Suduh cukup Rae Woo mengagumi perusahaan itu. Kini ia beralih pada hal yang lebih pribadi. Kehidupan Keluarga.

Rae Woo mulai mencari informasi tentang anak dari pemilik perusahaan itu yang kini harus diasuhnya. Wu Yi Fan, alias Kevin Li, atau biasa dipanggil dengan Kris. Rae Woo sempat pusing dengan nama yang begitu banyak. Tetapi yang ia ingin ketahui hanyalah kepribadian orang itu.

Pertama-tama ia hanya mengetahui kesempurnaan seorang Wu Yi Fan dari fisiknya. Maka dari itu Rae Woo sempat menemukan banyak majalah ternama yang mewawancarainya juga berbagai merek fashion seperti Elle, Burberry Gingham, Zara, Dolce & Gabbana, bahkan Gucci menjadikan Wu Yi Fan sebagai icon brand mereka.

Foto-foto yang menjadikan Wu Yi Fan modelnya memang sangat fantastis. Menghipnotis setiap wanita sehingga tidak bisa berhenti memandangi gambar itu dan membuat iri banyak kaum pria sehingga mereka ingin membeli apa yang dipakainya. Beberapa foto Wu Yi Fan juga ada yang membuat Rae Woo ternganga dan tak bisa bernapas karena tubuhnya yang shirtless dan sangat proporsionalbanyak tersebar di internet dan menjadi sampul depan majalah. Beberapa ada yang menunjukan tato-nya dan itu terlihat sangat keren bagi Rae Woo. Padahal Rae Woo biasanya membenci laki-laki bertato. Singkatnya, mungkin pria ini memang cocok menjadi model. Tubuh tinggi, tegap, tampan, berkulit putih dan hampir sempurna itu sangat sayang jika tidak digunakan dengan baik.

“Ya Tuhan… Aku tak menyangka bisa bekerja dengan orang sebesar ini!” Gerutu Rae Woo yang kemudian menjambak rambutnya sendiri dan membenturkan kepalanya ke meja.

Setelah mengusap dahinya yang sedikit sakit, Rae Woo dengan cepat segera mematikan laptopnya dan bergegas pergi ketika menyadari sudah pukul enam pagi dan seharusnya ia sudah tiba di rumah majikannya.

~***~

Rae Woo mengira bahwa dirinya akan habis diceramahi juga diberikan teguran oleh Pak Lee di hari pertamanya. Namun, ternyata tidak terjadi karena tuan muda yang harus dia asuh pun belum bangun hari itu, maka Rae Woo hanya menghabiskan waktunya untuk mendengarkan berbagai hal yang harus ia lakukan dan bagaimana kebiasaan tuan mudanya yang masih kekanakan.

Rae Woo melangkah ke atas lewat tangga memutar yang pernah ia lihat dinaiki oleh Kris kemarin. Rae Woo yang berpakaian seadanya dengan kaus putih lusuh berlapis cardigan hijau lumut dan jeans memutuskan untuk berhenti di depan lorong lantai tiga dimana kamar Kris terletak. Mungkin karena tak terbiasa menaiki tangga terlalu banyak, Rae Woo sempat merasakan pernapasannya hampir habis dan keringatnya bercucuran.

“Sepertinya aku harus merapikan penampilanku dulu.” Rae Woo menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Matanya menatap setiap inci lorong yang luas itu dan menemukan kaca yang berada di ujung sana. Rae Woo berlari kencang dan tak mengetahui suara langkahnya yang menggema ke seluruh lantai tiga. Setelah merapikan sebentar penampilannya, kini Rae Woo siap untuk memasuki kamar Kris dan membangunkan laki-laki itu.

Entah dorongan apa yang membuat Rae Woo jadi semangat seperti ini. Apakah mungkin tentang tawaran Pak Lee yang mengatakan bahwa ia akan memberikan Rae Woo gaji pertamanya hari ini jika ia bekerja dengan baik? Rae Woo sendiri belum yakin namun sebelum memikirkannya terlalu lama, ia akhirnya memasuki kamar Kris yang memiliki pintu paling besar. Bayangkan saja kamar itu memiliki dua daun pintu seperti ruangan istana. Rae Woo menggenggam kedua gagang pintu yang dingin karena terbuat dari batu marmer dan berusaha mendorongnya ke dalam.

“Urggghhh! Kenapa susah?” Dahi Rae Woo berkerut ketika mendapati pintu itu tak bergerak sama sekali.

Apa dia mengunci pintunya?

Rae Woo akhirnya tersenyum licik dan menepuk kantung belakang celananya dan mendengar suara gemerincing kunci yang saling beradu. Baru beberapa menit yang lalu sebelum Rae Woo tiba di lantai ini, Shin Young memberikannya serenceng kunci yang dapat Rae Woo gunakkan jika ia kesusahan. Walaupun Shin Youg pernah mengingatkan bahwa Rae Woo tetap tidak boleh seenaknya membuka pintu apalagi kamar Kris, namun sepertinya gadis itu tak menghiraukkan lagi kata-kata Shin Young. Menurutnya lebih susah lagi jika ia mengetuk pintu dan menunggu. Maka dengan sigap Rae Woo mengambil rencengan kunci dari saku belakangnya dan memilih kunci yang bertuliskan “Kamar Tuan Muda”. Rae Woo memasukkan kunci itu ke dalam lubang dan memutarnya beberapa kali hingga menimbulkan suara ‘klik’ yang enak didengar. Setelah memastikan bahwa pintu sudah terbuka, Rae Woo kembali mendorong gagang pintu kedalam dan wewangian khas memasuki indera penciumannya.

Bau maskulin yang menyegarkan menghinggapi indera penciuman Rae Woo dengan lembut. Mata Rae Woo pun tak habis-habisnya menatap seisi kamar yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Sungguh seperti kamar seorang pangeran. Berbeda dengan kamarnya yang hanya berbentuk segi empat dan memiliki benda-benda terbatas karena hampir seluruh bendanya Rae Woo jual untuk membeli obat bagi Ibunya.

Kini, setelah selesai memperhatikkan ruangan, Rae Woo berjalan melewati kamar yang memiliki ruang tengah sendiri itu dan memasuki sekat pembatas menuju ruangan lain. Sebuah tempat tidur yang megah dengan empat tiang yang memiliki kain penutup setiap sisinya membuat Rae Woo terkesima. Ia menyipitkan mata dan menyadari bahwa empat sisi tirai itu semuanya tertutup dan ia tak tahu apakah Kris berada di tempat tidurnya ataukah tidak.

Perlahan Rae Woo berjingkat mendekati tempat tidur dan menggeser tirai ke samping sedikit hingga hanya meninggalkan celah kecil untuknya agar bisa masuk. Baru saja Rae Woo memperhatikan bagian atas tempat tidur, dirinya buru-buru membekap mulut dengan tangannya dan menutup mata. Ia sungguh terkejut melihat Kris yang tertidur hanya menggunakan celana pendek. Aduh! Sungguh naas nasibnya! Walaupun ini bisa menjadi bonus baginya di hari pertama bekerja, tetap saja Rae Woo tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Jika diingat-ingat ini tetap bukan kali pertamanya melihat Kris bertelanjang dada jika kejadian tadi sebelum ia datang kemari terhitung. Ketika ia mencari informasi tentang Kris dan tidak sengaja menemukan photoshoot laki-laki itu tanpa memakai baju atasan.

Rae Woo berpikir sejenak dan menenangkan pikirannya. Ia baru menyadari bahwa harusnya ia bisa sedikit lebih tenang. Kris saja bisa dengan mudah berfoto seperti itu dan nyatanya akan lebih banyak orang yang melihatnya, jadi kenapa ia harus takut jika dirinya tertangkap basah membangunkan Kris pagi ini.

Rae Woo yang berdiri di bagian depan tempat tidur melangkah ke sisi samping masih dengan jingkatan kecil tanpa suara. Ia yang terlalu serius memperhatikan Kris dan bisa dibilang sudah terkesima tak menyadari ketika kakinya membentur sesuatu dan membuat suara dentingan botol kaca beberapa kali. Rae Woo segera menjatuhkan tubuhnya hingga berposisi telungkup. Bodoh! Sepertinya Kris sempat membuka matanya tadi samar-samar. Sungguh aneh. Rae Woo tak bisa melakukan apapun dan hanya terdiam dengan posisinya. Matanya sedikit membelalak ketika menemukan sumber suara berisik tadi. Ia cukup terkejut melihat tiga botol wine kosongyang sangat mahal karena tercetak jelas dengan tahun pembuatannya yang sepertinya lebih dari sepuluh tahun itu. Rae Woo mengira-ngira bahwa sepertinya Kris memiliki ketergantungan dengan alkohol. Semenjak mereka pertama kali bertemu pun Rae Woo bisa mencium bau alkohol menguar dari tubuh Kris saat ia mendekat di jalan raya.

Noona.” sepertinya Rae Woo hampir tersedak ketika mendengar suara Kris tadi. Apakah pria itu mengigau? Rasa penasaran Rae Woo yang sudah meluap-luap akhirnya tanpa sadar menggerakkan kakinya untuk berdiri dan melihat ke atas tempat tidur. Kris masih berada disana walupun sudah berganti posisi menjadi telentang. Laki-laki itu menggerakkan tangannya menyentuh wajahnya dan Rae Woo benar-benar membeku di tempat. Rasa ingin tahunya membuat ia tak lagi bersembunyi di samping tempat tidur.

Rae Woo memejamkan mata dan memutuskan untuk membangunkan Kris sekarang. Sepertinya percuma juga jika ia menunggu beberapa saat lagi karena ini sudah menjadi kewajibannya dan harus ia lakukan. Maka tanpa berlama-lama, Rae Woo segera membungkukan tubuhnya mendekat dan mencoba untuk mengeluarkan suara yang sedikit berwibawa. Bukannya terdengar cempreng seperti biasa.

“Tuan muda… Tuan muda?” Rae Woo kini mulai berani mengguncangkan tubuh Kris hingga membuat laki-laki itu menggeram. Ia mengusap lagi wajahnya dan menangkis tangan Rae Woo. Sepertinya laki-laki ini sering tidur larut jika dilihat dari kantung mata yang membekas.

Rae Woo mulai mencondongkan tubuhnya lebih mendekat lagi ketengah sambil tangan kanannya menjadi pertahanan kokoh di atas tempat tidur. Begitu juga kakinya yang ia usahakkan tertancap ke dalam karpet berbulu yang ada di sekeliling tempat tidur dengan benar. Rae Woo tak ingin jika ia jatuh ke atas tubuh Kris.

“Tuan muda? Anda harus bangun. Sarapan sudah siap.” Rae Woo lagi-lagi menggoyangkan tubuh Kris hingga laki-laki itu menggeram kesal. Kali ini justru laki-laki itu mendecak kesal dan merubah posisi menjadi telungkup. Tanduk sepertinya sudah muncul di kepala Rae Woo dan ia dengan kesal menghembuskan napas.

“Yak! Kris! Kevin Li! Wu Yi Fan!” Rae Woo kini tersentak. Ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh tepat ke atas tubuh Kris karena laki-laki itu benar-benar berbalik dan menarik Rae Woo ke bawah lalu memeluknya erat.

Jantung Rae Woo berdegup kencang kini. Ia tak bisa bergerak karena Kris memeluknya dengan sangat erat. Bahkan laki-laki itu mengusap punggungnya.

AAA! Ini pelecehan seksual namanya!

Rae Woo ingin sekali memukul laki-laki ini dan menendangnya sebelum sesuatu terucap dari bibir Kris.

“Su Jin noona…” Rae Woo mengerutkan dahinya ketika nama itu terucap jelas dari mulut Kris. Astaga! Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan laki-laki ini! Jelas sekali terlihat bahwa laki-laki yang mempunyai banyak nama itu mabuk berat setelah menghabiskan tiga botol anggur mahal. Rae Woo terdiam dan tiba-tiba bayangan Ayahnya berkelebat di dalam benaknya. Rae Woo benar-benar belum melihat Ayahnya lagi. Laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas ia dan Ibunya seperti menghilang begitu saja. Ia tahu Ayahnya bekerja di bar malam yang cukup mewah dan terkenal didatangi oleh kalangan atas di Seoul selama ini. Namun tidak ada sepeser pun uang yang Ayahnya berikan untuk Rae Woo.

Tanpa terasa mata Rae Woo berkaca-kaca dan ia segera menggelengkkan kepalanya kesal dan kembali sadar bahwa Kris masih memeluknya erat.

Rae Woo tak tahu apakah dengan melakukan ini dirinya akan dipecat begitu saja atau tidak tapi yang pasti Rae Woo ingin sekali cepat-cepat menyelesaikan hal menyebalkan ini dan mengerjakkan hal lain yang lebih berharga.

“Tuan muda! Bangun!” Rae Woo tanpa berpikir lebih panjang lagi segera mendaratkan pukulannya dengan keras di pipi Kris yang mulus. Beberapa detik kemudian laki-laki itu mulai membuka matanya dan membuat jantung Rae Woo justru berdegup lebih cepat lagi.

Perlahan namun pasti Kris mulai melihat cahaya dan sesuatu terasa hangat di dekatnya. Kris mulai memfokuskan penglihatannya dan mencoba untuk melihat benda apa yang ia peluk dan…

“WAAAAA!”

~***~

Shin Young dan Pak Lee sedang menunggu cemas di bawah tangga ruang tengah. Hampir setengah jam Rae Woo berada di atas sana dan belum ada satupun tanda bahwa gadis itu masih hidup. Yang mereka berdua dengar tadi hanyalah suara teriakan Kris yang benar-benar mengagetkan seisi rumah megah itu. Shin Young dan Pak Lee sempat berpikir apakah mungkin tuan mudanya melakukan sesuatu yang aneh pada Rae Woo atau sebaliknya, tapi yang kini mereka harapkan adalah semuanya dapat berjalan dengan baik.

Suara derap langkah dua orang yang terdengar beriringan dari atas membuat jantung Pak Lee dan Shin Young semakin tak karuan. Mereka menunggu dua orang itu turun dan ingin melihat rupa mereka berdua.

Tak berapa lama, Kris dengan wajah masamnya sudah terlihat di mata dua orang pelayannya dari bawah. Kris hanya mengenakkan kaus tanpa lengan dan celana yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Sedangkan itu, tepat di belakang Kris, Rae Woo sedang tersenyum penuh kemenangan dan mengacungkan dua jempolnya pada Pak Lee juga Shin Young yang sedang tertawa kecil.

Mereka berdua tak tahu apa yang dilakukan Rae Woo pada Kris hingga laki-laki itu bisa turun dengan waktu yang cepat. Sebelum Rae Woo bekerja di rumah itu, semua pelayan membutuhkan waktu hampir tiga jam untuk membangunkan Kris.

Kris memberikan tatapan mematikan pada Pak Lee dan Shin Young. Menyuruh dua orang itu berhenti tersenyum. Sepertinya Kris tahu bahwa dirinya sedang ditertawakan. Maka laki-laki itu segera berjalan dengan langkah lebar menuju ruangan yang berada di samping ruang makan. Kris membuka pintu ruangan itu dan masuk ke dalam sedangkan Rae Woo segera melanjutkan tugas berikutnya untuk menata sarapan bagi tuan muda asuhannya.

Langkah kaki yang terasa familiar sudah mendekat dan Rae Woo menggelengkan kepala tak percaya ketika melihat Kris membawa botol anggur.

“Aku tidak mau sarapan.” Kris meletakkan botol anggurnya ke atas meja makan panjang yang terbuat dari kayu kualitas terbaik dengan keras hingga meninggalkan suara yang membuat Rae Woo mengernyit.

“Setidaknya Anda meminum susu pagi ini dan menaruh kembali anggur itu.” Rae Woo mengambil anggur Kris dan memberikannya pada salah satu pelayan dari lima pelayan lain yang berbaris rapih di belakang meja makan.

“Apa hakmu?”

“Aku pengasuhmu.” Rae Woo membelalakan matanya dengan kesal dan menarik tangan Kris. Rae Woo mengambil segelas susu yang telah ia persiapkan dan menaruhnya di genggaman Kris. Senyuman Rae Woo membuat Kris sungguh ingin mencekiknya. Ia tak bisa percaya bahwa dengan mudah dirinya ditindas oleh pengasuk baru yang ia kira bisa ia kalahkan dan dibuat tidak nyaman dirumahnya sendiri.

“Aku tidak mau.” Kris mengerutkan dahi dan menaruh lagi gelas susu di meja.

“Tuan muda ingin meminum susu ini atau aku akan mencekoki semua ini ke dalam mulutmu beserta gelasnya?” Rae Woo yang tak pernah kehabisan akal memberikan eye smile yang memuakkan bagi Kris.

“Kau akan tahu rasa nanti!” Kris menggeram dan menyambar kasar gelas susu yang ada di hadapannya. Rae Woo hanya tertawa kecil dan berusaha menyembunyikan itu dengan menangkupkan tangannya di depan wajah. Ia tak menyangka bahwa pekerjaannya terasa sedikit lebih mudah dengan keberanian dan tekadnya yang sudah kuat. Ia tak tahu apakah pekerjaan ini bisa dibilang mengasyikan atau tidak namun kesehatan ibunya adalah prioritas paling penting bahkan melebihi kesehatannya sendiri. Selepas bekerja saja ia akan secepatnya pulang dan membeli obat lagi untuk ibunya. Untung saja hari ini ia tak memiliki jadwal kuliah.

Lamunan Rae Woo pecah begitu saja ketika ia mendengar suara gelas yang beradu dengan meja. Ternyata Kris sudah menenggak habis susu yang telah disediakan dan dengan angkuh berdiri dari kursi, merampas setangkup roti dan melangkah menuju kamarnya setelah memberikan tatapan yang penuh dengan kebencian pada Rae Woo.

~***~

Pekerjaan Rae Woo hari ini berakhir sangat cepat. Kris tidak terlalu banyak keluar dari kamarnya dan tak ada yang berkunjung. Pak Lee berpendapat bahwa hal ini cukup langka karena biasanya akan ada banyak teman Kris yang berkunjung. Walaupun masih ada beberapa pertengkaran antara Rae Woo dan Kris setelah kejadian pagi tadi, Rae Woo masih merasa kuat dan sanggup melanjutkan pekerjaan ini.

Ia hanya masih memikirkan banyak hal sehingga tak menyadari ketika bus yang ia tumpangi sudah berhenti di tempat tujuannya. Rae Woo segera berlari turun dari bus sambil membawa kantung berisi obat yang telah ia beli untuk ibunya. Janji Pak Lee untuk memberikan gaji di hari pertama telah ia tepati sehingga Rae Woo bisa bernapas lebih lega. Ia tak lagi merasa dadanya diikat dengan tali yang sangat kuat dan menyesakkan hingga membuatnya harus menangis setiap malam.

Rae Woo berjalan pelan dan menanjak untuk menuju rumahnya. Semakin lama ia berusaha untuk mempercepat langkah ketika ia merasa perasaannya sedikit aneh. Entah apakah ayahnya akan pulang hari ini atau menghilang seperti biasa. Ia tidak peduli.

Rumahnya sudah tampak di depan dan Rae Woo berhenti tepat di depan pagar coklat rumahnya. Ia segera mengeluarkan kunci dan terdiam ketika mengetahui pagar rumahnya tidak terkunci. Rae Woo sedikit panik dan berjalan secepat mungkin menuju pintu depan, namun ia segera menahan napasnya ketika melihat sepatu ayahnya di atas rak. Ia tanpa basa-basi lagi segera melepas sepatunya sendiri dan berlari kecil menuju kamar ibunya dengan hati yang penuh kegelisahan. Tangannya hanya berjarak beberapa inci dari pintu dan bersiap menggesernya kesamping sebelum pintu itu bergeser sendiri dan ayahnya yang sudah cukup lama menghilang muncul di hadapannya.

Hati Rae Woo remuk dan air mata bersiap keluar begitu saja. Tidak. Ia harus menahannya. Ia tak ingin ayahnya menganggap dirinya sebagai anak kecil. Kini ia sudah berumur 22 tahun dan bukan anak kecil lagi yang bisa menangis di mana saja. Kali ini ia akan membuktikan pada ayahnya bahwa ia sanggup menghadapi hidup sendiri tanpa bantuan laki-laki itu.

Mata Rae Woo bergerak dan melirik tangan kanan ayahnya yang menggenggam cukup banyak uang. Astaga! Itu uangnya dan ibunya!

Appa! Kembalikan uang itu,” Rae Woo tanpa pikir panjang segera menarik tangan ayahnya. Tapi ayahnya justru mendorong Rae Woo kesamping dan berjalan menuju pintu keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Apakah orang ini bisu? Atau kerongkongan ayahnya itu kini hanya bisa digunakan untuk menjadi jalan masuk alkohol saja kedalam lambungnya?

Appa!” Rae Woo kali ini berteriak lebih keras lagi. Wajahnya memerah dan ia sudah berlari menyusul ayahnya. Ia tidak peduli seberapa dinginnya udara malam di luar sana dan dengan berani melangkah dengan kaki telanjang. Pikirannya sudah kacau bahkan ia tak bisa mengingat untuk memakai sepatu lagi.

Appa! Aku membenci mu! Jangan pernah kembali lagi! Jangan pernah menampakkan wajahmu jika kau hanya ingin menghancurkan hidupku dan Eomma! Dan jangan pernah mengambil uang kami lagi!!!” Rae Woo berteriak sekuat tenaganya lebih keras lagi hingga air mata yang sedari tadi ia tahan kini tumpah begitu saja.

“Terserah apa katamu.” Hati Rae Woo sepertinya sudah tak berbentuk lagi. Hanya berupa serpihan kecil ketika ayahnya mengucapkan tiga kata hina itu dengan tatapan datar dan berjalan lurus pergi. Ia bahkan tak menoleh. Masih dengan uang gaji Rae Woo di tempat kerjanya yang terakhir bulan lalu.

Sungguh malang nasibnya. Ia benar-benar tak tahu harus bersandar dan menangis pada siapa. Ibunya terlalu tua dan sakit untuk bisa menghiburnya atau setidaknya memeluk sambil mengusap kepalanya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Tangis Rae Woo semakin membesar dan ia jatuh begitu saja. Tenggelam dalam perasaannya. Ia terduduk sambil memeluk kedua kakinya dan menguburkan wajahnya yang sangat menyedihkan. Jika Tuhan mendengar doanya saat ini, Rae Woo ingin sedikit saja bebannya menguap. Ia terlalu kecil dan rentan untuk menjalanai hidup serumit dan sekejam ini.

Noona!” Suara yang ia kenal membuat Rae Woo mendongak dan mendapati sepupunya Chanyeol berjalan cepat menujunya. Sepupunya itu sepertinya baru saja datang. Terlihat dari helm yang masih dikenakan dengan rapih.

“Ada apa?” Chanyeol segera membantu Rae Woo untuk berdiri dan memeluk sepupunya itu. Chanyeol adalah keponakan dari ibunya dan selalu menengok Rae Woo setidaknya tiga kali setiap minggu. Selain jarak rumah mereka yang tidak begitu jauh, Chanyeol juga sering merasa khawatir dan was-was terlebih lagi ia sudah kenal dengan tabiat ayah sepupunya ini.

Appa kem-kembali dan mengam-bil u-uang kami,” sambil terbata karena tangis Rae Woo berusaha untuk menjelaskan keadaan yang terjadi pada Chanyeol.

“Benarkah?” Rae Woo hanya mengangguk dan Chanyeol semakin mengeratkan pelukannya. Ia mengusap kepala Rae Woo dan menuntunnya menuju rumah.

“Tak perlu khawatir. Aku di sini. Noona bisa mengandalkanku kapan pun Noona mau.”

~***~

Kris duduk terdiam di bangku belakang mobil hitam mewahnya. Matanya menatap serius sebuah rumah. Di sana ia bisa melihat jelas seorang gadis berlari keluar mengejar seorang laki-laki paruh baya yang sangat mirip dengan sang gadis. Mereka tampak sedang bertengkar dan sang gadis tak berhenti berteriak. Tak lama ketika laki-laki paruh baya yang tampak masa bodo itu pergi, sang gadis jatuh terduduk dan menenggelamkan wajah di antara lututnya. Siapa lagi kalau bukan Jung Rae Woo.

Sedari tadi Kris telah mengikutinya karena rasa ingin tahu yang menyerangnya. Ia tak tahu bahwa hidup gadis ini cukup menyedihkan. Mungkin Kris tak tahu pasti hal apa yang terjadi, tapi ia bukan orang bodoh yang tak bisa menyimpulkan masalah dengan satu kali lihat.

Ia tadinya ingin menyuruh supirnya untuk mengantarkannya kembali lagi ke rumah saat itu juga sebelum laki-laki datang menghampiri Rae Woo dan memeluknya. Mata Kris semakin tajam mengamati. Ah, ternyata itu kekasihnya? Batin Kris sambil bersedekap. Kini dua orang itu sudah berjalan memasuki rumah dan keadaan menjadi sepi.

“Tuan muda, apa kita sudah bisa kembali? Pak Lee baru saja menelpon,” supirnya menoleh kebelakang dan menunggu jawaban Kris yang hanya berupa anggukan. Supirnya tidak lagi menunggu untuk menjalankan mobil sebelum Kris menyuruhnya berhenti.

“Stop! Sebentar.”

Ia penasaran sekali ketika Rae Woo dan laki-laki yang ia duga sebagai kekasihnya berlari keluar sambil menggendong seorang wanita. Kris tak bisa menerka-nerka siapa wanita itu. Yang jelas mereka tampak kesulitan dan berlari menuju rumah salah satu tetangga mereka dan tidak lama kemudian sebuah mobil sudah meluncur keluar dan berjalan menjauh.

“Kita pulang sekarang.” Kris segera memerintahkan supirnya dan mobilnya bergerak di jalanan yang sudah sepi kembali menuju rumahnya.

Sepanjang perjalanan Kris tak bisa berhenti memikirkan Rae Woo. Awalnya ia hanya ingin tahu dimana gadis itu tinggal dan sudah terkejut ketika melihat lingkungan ia tinggal. Tetapi ketika Kris menyaksikan sendiri bagaimana Rae Woo menghadapi laki-laki paruh baya yang pasti adalah ayahnya itu, Kris sedikit yakin bahwa hidupnya tidak sebahagia yang ia lihat terpancar dari wajah gadis itu.

“Mungkin hidupmu tidak sesuai dugaanku sebelumnya Jung Rae Woo. Tetapi bukan berarti aku dengan mudah mengasihanimu,” sambil bergumam Kris menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Ia tak akan pulang malam ini. Ia akan menelpon Pak Lee dan menyuruh sopirnya untuk mengemudikan mobil menuju klub malam tempat ia biasa menghabiskan waktu. Kepalanya penat sekali. Apalagi ketika ia melihat sebuah surat dialamatkan untuk ibunya datang ke rumah. Tidak biasanya itu terjadi. Biasanya ibunya hanya akan mengalamatkan segala surat menuju kantor. Dan ketika ia membuka surat yang datang dan ditinggalkan Pak Lee di meja ruang tengah, Kris mendapati emosinya naik begitu saja saat menemukan itu adalah surat cerai orang tuanya.

~***~

 “Yak! Baek! Kembalikan!” Rae Woo menyambar cepat ayamnya yang direbut begitu saja oleh Baekhyun. Ia tahu sebenarnya Baekhyun hanya ingin menggodanya, tetapi entah mengapa Rae Woo merasakan dirinya sedikit sensitive hari itu. Kemarin malam dokter menekankan bahwa ibunya harus dirawat bagaimanapun caranya. Dan kini Rae Woo harus kembali mengucapkan terima kasih dan maaf sebesar-besarnya pada orang tua Chanyeol yang rela membiayai perawatan ibunya. Rasanya Rae Woo ingin mati saja sekarang.

“Sudahlah tak perlu dipikirkan, kau kan masih punya aku dan Yeon Hee!” Baekhyun menggenggam tangan Rae Woo dan mengusapnya. Sahabatnya itu sangat perhatian dan selalu membantu dirinya.

Yeon Hee yang sedari tadi berdiam diri di sebelah Rae Woo menyenggol pundak temannya keras-keras hingga Rae Woo mengernyit sebal.

“Kau ini kenapa sih?” Rae Woo menggerutu sebelum matanya menangkap laki-laki paling tampan versinya melintas. Bahkan menurutnya Kris masih belum bisa menandingi ketampanan dan kebaikan laki-laki bagaikan malaikat ini. Kim Joon Myun, Hah, kenapa Rae Woo selalu gelisah tiap melihatnya? Rasanya ia menyesal tidak ke toilet dulu sebelumnya dan melihat penampilannya sendiri di kaca.

“Suho lagi, Suho lagi! Ia belum ada apa-apanya dibanding aku!” Baekhyun berdecak. Ia memang berteman cukup baik dengan Suho yang merupakan laki-laki paling pintar di fakultasnya. Bukan hanya pintar tapi laki-laki ini juga sangat sopan berbanding terbalik dengan Kris. Maka dari itu ia dipanggil Suho atau guardian karena setiap wanita percaya kebaikannya telah melindungi satu fakultas ini.

“Sudah makan ayamku saja! Ini!” Rae Woo menggeser piringnya ke depan wajah Baekhyun dan kembali memandangi Suho. Kapan mereka bisa berbicara lagi?

“Lihat! Sepertinya dia akan kemari!” Yeon Hee mengguncangkan lengan Rae Woo yang berada di atas meja dengan penuh semangat dan antusias hingga sepertinya lengan itu akan copot sebentar lagi.

Biasanya Rae Woo akan segera terbirit lari atau keringat pasti akan mengucur deras dari dahinya. Tapi kini sedikit berbeda. Apa yang ia rasakan justru sebuah keberanian yang menggebu-gebu. Rae Woo tak akan membuang kesempatan seperti ini lagi dalam sejarah hidupnya.

Annyeong ha-“ Rae Woo tersenyum begitu Suho sudah berada di sampingnya dan mengucapkan salam penuh keramahan sebelum suara ponselnya yang keras dan mengganggu menghancurkan suasana. Sial.

Rae Woo buru-buru membuka tas dan melihat sebuah nomor tidak dikenal menghubunginya. Tanpa rasa ingin tahu dari dalam dirinya, Rae Woo kembali memasukkan ponsel itu ke dalam tas sebelum benda menyebalkan itu berbunyi lagi.

“Ah, aku permisi dulu.” Mata Rae Woo bertatapan dengan Suho dan rasanya gadis itu ingin membunuh dirinya sendiri karena membuang kesempatan paling berharga ini.

Sambil berlari kecil Rae Woo melihat layar ponselnya yang kini sudah berhenti berbunyi dan menghubungi kembali nomor itu. Sejujurnya ia sedikit gelisah kalau-kalau itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan kondisi ibunya.

Yoboseyo-“

“Yak! Kenapa lama sekali? Kau tahu rasanya sudah seribu tahun aku menunggu agar kau mengangkat teleponmu? Kau sedang apa sih?” Rae Woo mengernyitkan dahinya. Jantungnya berdebar keras. Jangan-jangan laki-laki yang menghubunginya ini gila! Buktinya ia langsung mencecar Rae Woo. Padahal gadis itu baru mengucapkan salam.

“Maaf, Anda siapa ya?”

“Siapa? Kau masih ingin bekerja atau tidak sih di rumahku?”

Rae Woo sontak tertawa ketika menyadari panggilan itu dari Kris. Dasar bayi besar! Menyebalkan sekali sih orang ini! Ia membatin. Walaupun begitu tetap saja ia sulit memberhentikan tawanya. Bagaimana bisa ia tidak mengenali suara orang jahat ini dan justru mengira bahwa laki-laki yang menelponnya adalah orang gila.

Hey! Siapa yang menyuruhmu tertawa? Kau masih di sana atau tidak sih? Aku serius!”

“Hahahaha, iya aku masih di sini. Maaf ya, aku kira kau orang gila. Ternyata Tuan Bayi Besar!” Tawa Rae Woo kembali meledak dan beberapa orang sudah memperhatikannya sangsi.

“Apa kau bilang? Kau mau ku pecat ya?”

“Jangan! Oke oke, aku mendengarkan. Maaf ya. Memangnya ada apa sih? Lalu bagaimana kau bisa tahu nomor ponselku? Kita kan sudah memiliki perjanjian bahwa jam kerjaku hanya berlaku setelah kelas ku selesai.”

“Pak Lee yang memberikan nomormu padaku. Dan aku tidak peduli apakah ini adalah jam kerjamu atau tidak! Aku membutuhkanmu sekarang juga. Kau harus segera kesini! Akan ku kirimkan alamatnya melalui pesan. Cepat ya! Kalau tidak kau ku pecat!” Rae Woo belum sempat berkata apapun namun telepon itu sudah dimatikan.

URGH DASAR BAYI BESAR!” Rae Woo berteriak kesal lalu membalikan tubuhnya sambil mengumpat. Ia berjalan dengan wajah kusut sampai ia melihat Suho dan senyuman kembali mengembang di sana. Ia sungguh memuji kemampuan Suho yang dapat mengubah suasana hatinya begitu saja.

“Ada apa?” Baekhyun bertanya. Kini Suho sudah duduk di sebelahnya sambil memakan bulgogi yang ia pesan tadi. Rae Woo rasanya ingin menangis. Harusnya ia bisa makan bersama Suho saat ini. Bukannya pergi menemui si Bayi Besar itu!

“Ada urusan mendadak. Setelah ini sudah tidak ada kelas kan? Aku pergi dulu ya!” Rae Woo merapikan tasnya dan memberikan salam. Gadis itu hendak pergi sebelum Suho menghampirinya.

“Rae Woo-ssi, boleh aku memita nomor ponsel mu?” Tunggu, Suho meminta nomornya? Astaga! Ini bukan mimpi kan?

“Ah, tentu!” Rae Woo segera memberikan nomor ponselnya dan mengucapkan salam sekali lagi lalu berlari kecil menjauh sambil tersenyum senang. Yuhuuu! Ini bonus namanya! Ucap Rae Woo dalam hati sebelum ia kembali terdiam dan bertanya-tanya. Aku harus kemana ya?

~***~

“Menyebalkan! Ternyata si Bayi Besar itu juga belajar di universitas ini!” Rae Woo menghentakkan kakinya sebal sambil membayangkan dirinya mengikat Kris ditiang dan memukulinya. Rae Woo merasa dirinya jadi terancam. Ia lebih baik berjalan sepuluh kilometer untuk mencapai tempat si Bayi Besar itu daripada menerima kenyataan ini!

Pantas saja dia menyuruh Rae Woo pergi kesana secepatnya! Rupanya ia sudah tahu Rae Woo juga belajar di universitas ini. Untung saja mereka tidak satu fakultas.

“Masa aku harus setiap hari mengurusnya di mana saja? Menyebalkan! Untung saja Suho-ssi membuat hari ini lebih baik!” Di pikiran Rae Woo, hanya pesan dari Kris yang ia ingat. Bagaimana ia memberi tahu Rae Woo tempat keberadaannya dan meninggalkan beberapa baris kalimat yang menjengkelkan dibawahnya, “Kita satu universitas kan? Selamat menjalani rutinitas seperti ini ya!”

“Bisa-bisanya ia mengirimiku pesan mengejek seperti itu! Rutinitas? Ini siksaan namanya!” Sekali menggerutu Rae Woo tak bisa menghentikannya. Satu hal selain Suho yang bisa Rae Woo syukuri adalah bahwa pohon-pohon rindang di samping jalan setapak yang kini ia lalui melintasi kebun dan beberapa gedung-gedung universitasnya dapat menghalau sinar matahari yang terik.

“Gedung fakultasnya kan diujung sana! Dasar gila! Seharusnya aku menyuruh Baekhyun saja mengantarku dengan mobilnya agar cepat! Ah tidak! Jangan! Nanti Yeon Hee malah berduaan dengan Suho! Tidak boleh!”

TIN

“Rae Woo-ssi” Rae Woo sontak menoleh kebelakang dan…

“Suho-ssi! Bagaimana bisa di sini?” Tampak jelas Suho kini sudah menghentikan motor skuter putihnya dan melepas helmdengan warna senada yang tadinya ia kenakan.

“Ah, tadinya aku mau pulang juga, lalu saat melihatmu berjalan ke bagian dalam universitas, jadi kuikuti saja. Rae Woo-ssi butuh tumpangan tidak?” Ya Tuhan, rasanya Rae Woo bisa meleleh saat itu juga saat Suho menawarkan tumpangan untuknya. Tidak Rae Woo! Jangan seperti gadis gampangan! Kau harus menolak dulu lalu baru menerimanya ketika ia memaksa.

“Tidak usah Suho-ssi. Nanti merepotkan.”

“Tidak. Sungguh! Ayo naik!” Suho tersenyum dan Rae Woo tak dapat menolak lagi. Ia menaiki motor Suho dengan semburat merah yang tertera jelas di kedua pipinya.

“Pegangan yang erat ya!”

~***~

Gomawo Suho-ssi.” Rae Woo membungkukan tubuhnya begitu ia turun dari motor Suho. Tampak jelas wajahnya terlihat makin memerah.

“Kau ada urusan di sini Rae Woo-ssi? Apa perlu ku tunggu?”

“Ah jangan Suho-ssi. Tidak apa-apa.”

“Sungguh?”

“Ya.”

Setelah berbincang sebentar akhirnya mereka berdua mengucapkan salam perpisahan dan Rae Woo melangkah memasuki gedung. Ia mencari-cari kafetaria dan segera menemukannya. Dengan tergesa Rae Woo mencari keberadaan si Bayi Besar itu dan melihat Kris sedang duduk dengan dua temannya di meja besar paling pojok. Ia mudah sekali menemukan Kris walaupun laki-laki itu sedang menghadap ke arah sebaliknya jika melihat hanya ada sedikit orang di kafetaria itu. Meja yang diduduki Kris sangat berbeda dari meja-meja yang lain. Jangan-jangan itu khusus untuk dirinya dan teman-temannya. Rae Woo berdecak kesal.

Annyeong, maaf terlambat.” Rae Woo menyapa teman-teman Kris dengan ramah namun senyumannya segera hilang begitu ia melihat wajah Kris.

“Kau ini lama sekali sih? Aku sepertinya sudah membatu di sini dan-HAHAHAHAHA ada apa dengan wajahmu? Merah sekali! Kau habis memakan cabai satu kaleng ya?” Kris tertawa sangat kencang hingga satu kafetaria memperhatikannya. Rae Woo mendengus sebal. Ia melihat beberapa wanita sedang melihatnya dengan tatapan membunuh. Cih, jangan-jangan mereka fans si Bayi Besar ini.

“Sudah cepat katakan saja kau mau apa.”

Rae Woo mengeryit ketika melihat Kris tiba-tiba terdiam dan tidak menjawab. Laki-laki itu hanya bersedekap dan tidak lama kemudian temannya membuka suara. Ia terlebih dahulu mengatakan namanya adalah Zhang Yi Xing dan meminta agar dipanggil dengan sebutan Lay saja.

“Begini nona-“

“Rae Woo. Rae Woo saja.” Sela Rae Woo cepat.

“Baiklah Rae Woo, kebetulan sore ini kami bertiga dan beberapa teman akan berkumpul, jadi Kris menyuruh mu untuk membeli beberapa hal penting.” Rae Woo cukup menyukai Lay. Tidak seperti Kris yang sangat menyebalkan, sepertinya laki-laki ini lebih baik dan ramah.

“Ini daftar belanjanya.” Lay menyerahkan secarik kertas dengan tulisan tangan yang baginya sangat jelek. Lay dan temannya yang memiliki wajah sangat cantik, imut dan berambut coklat terang tertawa begitu melihat Rae Woo kesusahan membaca tulisan itu.

“Kau bisa membacanya?” Lay bertanya lagi dan Rae Woo menggeleng.

“Baiklah tidak apa-apa. Biar Luhan yang menyalinkan daftar ini untukmu. Maaf ya, tulisan Kris memang jelek.” Lay mengambil daftar itu lagi dan menyerahkannya pada temannya yang ternyata bernama Luhan. Kris sempat membelalakan matanya pada Lay begitu ia mendengar bahwa tulisannya jelek.

“Pantas saja.” Rae Woo bergumam dan Kris segera memperhatikannya dengan tatapan membunuh.

“Oh iya, setelah itu, belanjaan ini akan dibawa kemana? Dan pukul berapa harus ada di tempat?” Lay hendak berbicara lagi sebelum Kris sudah memotongnya.

“Pukul tiga sudah harus ada di alamat yang akan Luhan tuliskan untukmu.”

Rae Woo hanya menghembuskan napas kesal dan mengangguk.

“Ini dia daftarnya.” Luhan menyodorkan daftar itu dan Rae Woo tersenyum begitu mendapati tulisannya yang jelas. Namun matanya membesar dua kali lipat ketika melihat barang apa saja yang harus ia beli.

“Lima belas botol soju, lima bungkus cumi kering, enam porsi tteopokki, sepuluh botol air mineral, dan makanan ringan lainnya? Yak! Kalian gila? Aku harus membeli ini sendirian? Yak! Bayi Besar! Kau ini punya belas kasihan tidak sih?” Rae Woo menggebrak meja dengan penuh amarah dan bersedekap. Melihat raut wajah Kris yang tidak berubah sama sekali semakin membuat emosinya memuncak. Justru kini malah dua temannya yang tertawa kecil.

“Beli saja. Jika kau kesusahan hubungi supir ku.” Dengan isyarat matanya Kris menyuruh teman-temanya bangkit berdiri. Ia sendiri segera bergegas pergi meninggalkan Rae Woo yang masih bersedekap.

Ketika kawanan itu sudah menjauh Rae Woo menyadari bahwa ponselnya berbunyi. Ia mendapat pesan ternyata.

From: Bayi Besar

Aku menang kali ini.

“HAISH! Menyebalkan!” Rae Woo berjalan dengan lemas menuju pintu keluar sebelum ia menyadari sesuatu.

“Uang! Mereka belum memberiku uang! Sial!”

~***~

Rae Woo turun dari bus dengan tergesa dan rasa lelah yang masih menyelubunginya. Bayangkan saja ia sempat harus mengejar Kris karena laki-laki itu lupa memberikan uang padanya. Untung saja larinya sangat cepat. Jika memikirkan tentang larinya, Rae Woo baru sadar bahwa ia berada di daerah tempat ia pertama kali bertemu dengan Kris. Tepatnya jalanan ketika motor Kris melintasi genangan air dan mencimpratkan air kotor itu ke tubuhnya.

“Seharusnya aku tidak ke sini. Hanya mengingatkanku dengan Bayi Besar itu saja!” super market yang kini dimasuki dirinya juga adalah tempat dua hari lalu ia diejek oleh anak kecil tersebut. Sungguh banyak kejadian mengejutkan yang terjadi di hidupnya hanya dalam lima hari ternyata.

Begitu selesai berbelanja, Rae Woo segera membawa trolinya menuju kasir.

“Anda berbelanja untuk siapa? Banyak sekali.” Wanita di hadapannya yang bertugas sebagai kasir tersenyum ramah dan memindai belanjaan Rae Woo sambil melontarkan berbagai bahan pembicaraan ringan.

“Terima kasih. Silahkan datang kembali.” Wanita itu tersenyum ramah namun sedikit kasihan ketika melihat Rae Woo harus membawa satu kardus dan dua plastik besar. Jangan tanyakan seberapa berat beban yang harus Rae Woo bawa karena itu berarti kalian siap menjadi bulan-bulanan gadis yang sudah terbakar amarah itu. Rae Woo keluar dari super market dan berjalan sedikit menuju halte bus untuk mencari tempat duduk di sana. Kebetulan sekali halte bus itu sedang kosong sehingga tersisa banyak tempat untuk Rae Woo dan barang belanjaannya.

Pukul dua. Satu jam tersisa dari waktu yang Kris tentukan dan Rae Woo hanya mendesah pelan. Ia bersumpah tak akan mau disuruh lagi oleh Bayi Besar itu setelah ini karena ia harus menjenguk ibunya.

“Sepertinya aku tak akan bisa membawa ini sendiri. Lebih baik aku menelpon supir si Bayi Besar itu.” Rae Woo mengeluarkan ponselnya dan menelpon Pak Lee untuk membantunya. Setelah memberikan letak posisinya dengan akurat, Rae Woo segera berterima kasih dan menutup telepon. Kurang lebih dua bus telah melewatinya dan Rae Woo masih berada di sana. Ia sedikit panik ketika kurang lebih hampir setengah jam ia menunggu. Namun ketika ia berpikir waktu masih akan berjalan dengan lambat, sebuah mobil hitam dan kelihatan sangat mewah berhenti tepat di depannya.

Pintu sisi pengemudi terbuka dan laki-laki berpakaian rapi segera berlari menujunya lalu mengambil kardus beserta barang belanjaan Rae Woo untuk diletakkan di bagasi. Rae Woo mengucapkan salam yang dibalas dengan ramah dan membuka pintu mobil. Ia sudah memasuki mobil dan hendak menutup pintu sebelum sebuah tangan terlihat menahan pintunya dan wajah yang tidak asing terlihat.

Noona! Kembalikan bubble tea milikku.”

ASTAGA! ANAK INI KAN…

–To Be Continued–

Author’s Note: Chapter 2! Semoga suka ya ^^ Aku banyak banget ambil kritik dan saran dari kalian terus coba buat FF ini lebih baik lagi! Maaf juga karena gak bisa balas comment kalian satu-persatu~ Tapi selalu aku baca kok! Jangan lupa leave comment sama kasih like-nya 🙂 Kalau comment sedikit gak lanjut ah~ HAHAHA ><

Oiya visit blog pribadiku juga ya, aku suka post chapter berikutnya lebih cepat di sana kadang… Jadi stay tune di blog-ku juga ya 😀 Imagine Piggy

-XOXO, Dreamcreampiggy

Viewing all 317 articles
Browse latest View live