Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all 317 articles
Browse latest View live

[FREELANCE] Post Hoc, Propter Hoc (Chapter 1)

$
0
0

Post Hoc, Propter Hoc Verse 2

Title : Post Hoc, Propter Hoc (Chapter 1)

Author : Hyuuga Ace (@dioxing_0307)

Genre : Drama, Hurt, Comfort, Romance, School Life, Family

Length : Multichapter

Rate : PG-15

Main Cast :

  • Park Gaemi (OC)
  • Oh Sehun (EXO)
  • Kim Junmyun / Suho  (EXO)
  • Oh Senna  (OC)

Other Cast :

  • EXO, some member of Boyfriend and BEAST
  • Yang Chiya, Lee Heyoung, Im Jaelim, Hong Pulip,  Yang Choyun,  Baek Regi (OC)

Disclaimer :  OC and the plot of story are mine and pure from my idea. Don’t plagiarism. Thank you.

Author’s note :

Annyeong, udh pd baca Prolog dari FF ini kan? Dan ini dia chapter 1 nyaaa! *lempar confetti (?) semoga ga mengecewakan.. Mungkin di chapter 1 masih pada bingung sama ceritanya, tapi tenang ajah bakal diungkap secara tajam setajam silet (??) di chapter- chapter selanjutnya..  Gomawo buat admin yang udh ngepost FF ini :D

Sekian dari author’s note versi chapter 1 (?) skrg langsung caw ke cerita sajaaa..

HAPPY READING ^^

 

Summary :

“Masa lalu adalah sesuatu yang membentuk dirimu saat ini. Masa lalu terjadi lebih dahulu dibanding hari ini, sehingga hari ini ada karena disebabkan masa lalu. Post Hoc, Propter Hoc. Tapi hanya orang- orang yang memiliki keberanian untuk menatap masa depanlah yang berani untuk melepaskan masa lalu. Dan hidup karena hari ini, dan masa depan.”

Recommended Song : Westlife –Fragile Heart, Westlife –The Rose

 

***

(Gaemi’s PoV)

“Ish! Oh Sehun! Namja itu benar- benar!” Guntingan zigzag yang sedang kukerjakan terhenti, gerutuan Lee Heyoung benar- benar menarik perhatianku. Terutama karena nama namja itu yang disebut- sebut.

Wae ddo?” Tanya Im Jaelim di sebelahnya dengan nada malas. Aku memasang telingaku dengan kondisi siaga satu. Berusaha menguping pembicaraan mereka.

“Si bodoh itu menutup panggilan teleponku di detik pertama ia mengetahui aku yang menelponnya. Nappeun namja!” Untuk apa Heyoung menelpon Sehun?

“Kau menelponnya? Ada apa?” Nah! Ternyata Jaelim juga memikirkan pertanyaan yang sama.

“Sebelum itu, kau ingat ‘kan kalau dia itu ketua kordinator bagian perlengkapan untuk open class kita? Dia yang memegang kunci lemari, dan Kyungsoo sedang membutuhkan speaker di dalam lemari itu. Aku hanya sedang membantu Kyungsoo mengingatkannya untuk segera datang ke sekolah. Tapi dia hanya berujar ‘Nuguseyo’?  Baiklah dia tidak mungkin menyimpan nomorku sehingga aku memperkenalkan diri, namun setelah mengetahui dengan siapa dia berbicara, dia langsung menutup teleponnya tanpa basa- basi! Coba bayangkan Jaelim-ah!”

Aku menarik napas panjang setelah rentetan kalimat Heyoung telah selesai diucapkan. Whoo, panjang sekali.

Kulirik dengan ujung mataku reaksi Jaelim, ternyata tepat dengan dugaanku. Dia sedang menahan untuk tidak tertawa, karena bagaimana pun dia akan menyinggung perasaan Jaelim jika dia tertawa terbahak- bahak.

“Kau tahu sendiri Jaelim-ah, ini hari terakhir kita untuk mempersiapkan kelas sebaik mungkin untuk acara besok. Kau tidak mau kan kelas kita kalah gara- gara perlengkapan kelasnya tidak dipersiapkan dengan baik? Lihat bidang dekor dan yang lainnya telah berusaha dengan sangat baik.” Oke, si perfeksionis dan penuh integritas Park Heyoung. Dia memang tidak menyukai ada bagian yang tidak bekerja dalam suatu kelompok di mana bagian lain kewalahan dan bekerja keras. Tidak adil menurutnya, dan memang benar. Aku setuju akan hal ini.

“Ya! Adakah di antara kalian yang mau menyediakan waktu untuk menjemput wangjanim kesayangan kelas kita?” Jaelim yang notabene juga merupakan ketua kelas 10-F bangkit berdiri dan mencoba membantu mencari solusi untuk memunculkan seorang Oh Sehun di kelas ini –menurutku sekaligus untuk menghentikan omelan dan gerutuan panjang lebar Heyoung.

Wangjanim? Memangnya di kelas kita ada yang memiliki darah biru?” Aku tersenyum kecil melihat Pulip bertanya dengan wajah dan nada kelewat polos. Ah catatan, dia itu bukannya polos, dia hanya sedikit lemot. Dari kalimatku, aku terdengar begitu kejam pada Pulip. Mian, Pulip-ah.

“Memangnya siapa ‘wangjanim’ kesayangan kelas ini, huh?” Teman sekelasku yang lain Yang Choyun yang memiliki rambut super panjang namun otaknya super encer bertanya dengan nada sarkasme.

“Biar kutebak, Oh Sehun?” Regi, temanku yang lain dengan ‘cerdasnya’ menebak.

Tunggu, jika kau perhatikan semua yang bersuara adalah jenis- jenis dari kaumku. Lalu bagaimana dengan lawan jenis kami? Itulah yang lucu, 10-F dihuni oleh yeoja- yeoja yang kelewat aktif dan ‘sedikit berisik’. Namun mayoritas namja di kelas ini sangatlah diam, penurut, dan baik hati. Tapi anehnya namja di kelas kami selalu menjuarai pertandingan basket antar kelas. Bahkan melawan sunbae kelas 11 maupun 12 pun kami tetap unggul. Padahal kami baru dipertemukan kurang dari 8 bulan.

Apakah diam, penurut, dan baik hati ada hubungannya dengan jago bermain basket? Entahlah, mungkin tidak. Tapi menurutku hal itu tetaplah unik. Karena yang selama ini selalu ada di bayanganku, anak basket adalah orang- orang yang cool dan terkesan jaim.

Ah, tentu saja. Seorang Oh Sehun tidak masuk dalam kategori mayoritas mengingat betapa menyebalkan dirinya.

Bingo! 100 untuk Baek Regi!” Jaelim kembali bersuara dengan nada heboh yang benar- benar terlihat dibuat- buatnya.

“Biar aku yang menjemputnya.” Youngmin, kaum namja yang akhirnya bersuara, lalu dia bangkit berdiri dan hendak melangkah keluar kelas namun suara Jaelim menghentikannya.

Ani, jangan namja yang menjemputnya. Ah, lagipula belahan jiwamu sepertinya sedang mencarimu karena dia sedang berjalan ke sini.” Aku dan yang lainnya segera menolehkan kepala ke arah luar –catatan, kelasku dikelilingi oleh kaca sehingga keadaan di luar kelas pastilah terlihat jelas– dan benar saja belahan jiwa Youngmin dengan cengiran lebar –terlalu lebar- nya tengah berjalan santai ke arah pintu kelas kami.

Belahan jiwa Jo Youngmin sayangnya bukan yeoja chingunya, melainkan seseorang yang telah menemaninya bahkan sebelum ia dilahirkan kedunia. Saudara kembarnya, Jo Kwangmin yang dipisahkan 20 meter –hanya menebak, dari Youngmin selama di sekolah, namja itu penghuni kelas 10-A. Kwangmin itu merupakan sisi berlawanan dari diri Youngmin yang kalem dan tenang. Kwangmin itu setahuku sangat berisik dan hiperaktif, pantas saja ia disebut si 4D.

Hyunggggg, pinjamkan aku kunci rumah.” Namja yang menurutku cukup tinggi itu langsung saja berteriak sesampainya a di kelasku.

“Kau mau pulang?”

Eoh. Minwoo menantangku bermain PES.” Jawabnya santai.

“Haaa. Kunci kusimpan di lokerku.” Lalu dua makhluk kembar identik yang tidak ada kembar- kembarnya dalam hal perilaku itu menghilang begitu saja. Loker semua siswa berada di depan ruang guru –sebenarnya ini merepotkan, tapi guru- guru selalu saja mempunyai alibi untuk menyimpan loker di sana, antara lain : memudahkan memantau ketertiban siswa -, karena keadaan itu otomatis Youngmin tidak akan kembali secepat yang diharapkan.

Lalu perihal menjemput Sehun itu bagaimana?

“Eung, mari kita lanjutkan.. sebenarnya aku ingin meminta satu di antara yeoja disini untuk menjemputnya.” Ketua kelas kembali melanjutkan diskusi kecil ini.

“Kenapa harus yeoja?” Namhyun namja kedua setelah Youngmin bersuara.

“Kurasa kalau namja yang menjemputnya, tidak akan berakhir baik. Keduanya tidak akan kembali lagi ke sekolah.” Ah, aku mengerti jalan pikir Jaelim.

“Padahal itu belum tentu.” Dengus Kai, ah makhluk ini juga masuk dalam kelompok minoritas. Walaupun dia diam dan sedikit lebih rajin daripada Sehun. Dia benar- benar menyebalkan, terutama mulutnya, kata- katanya tajam sekali.

Dwaesseo. Sekertaris! Kau saja yah yang menjemputnya..”

Sekertaris?…  NA?!

“Aku? Wae?!” Baiklah kuakui aku tidak siap dengan semua mata yang mengarah padaku, karena aku bukanlah tipe yang sering disorot dari kelas ini. Aku lebih suka mendengarkan pembicaraan orang lain dan melihat mereka daripada dilihat dan didengarkan mereka.

“Kau menyimpan semua data murid kan? Lagipula seingatku rumah namja itu dekat sekali dengan sekolah sehingga kau tidak perlu repot- repot mengeluarkan biaya transportasi untuk menjemputnya. Ayolah Gaemi.” Duh, terlebih ketika namaku disebut, rasanya aku merinding.

“Eung.. eoh. Baiklah.” Aku harus menyelamatkan diri dari tatapan mereka dengan menyetujui hal ini. Lalu teman- temanku menarik napas lega dan kembali pada pekerjaan mereka, kecuali Chiya sahabatku yang menatapku seakan- akan arti tatapannya adalah kalimat- kalimat penyemangat.

***

Aku tidak perlu repot- repot mencari buku data siswa di lokerku hanya untuk mencari alamat rumahnya. Sama halnya dengan nomor teleponnya, aku hanya perlu mengetikan nomornya dan menekan tombol hijau untuk panggilan. Semua dikarenakan, aku hafal diluar kepala segala tentang namja bernama Oh Sehun.

Sial, Chiya bahkan pernah memanggilku sebagai stalker seorang Oh Sehun. Karena aku hobi mencari tahu hal- hal tentang diri Oh Sehun.

Baiklah biar kuluruskan, sebenarnya alasanku merasa tidak nyaman saat Jaelim memintaku untuk menjemput Sehun bukan hanya karena tiba- tiba aku menjadi sorotan teman- teman sekelasku. Melainkan karena aku harus menemui Sehun, terlebih datang ke rumahnya!

YA! Aku memang menyukai namja itu! Semenjak pertama kali aku menjadi murid High School dan memasuki kelas 10-F dan melihat ia duduk di belakangku dan menatapku dengan tatapan aneh. Dia terlalu banyak membuatku penasaran pada awalnya, sehingga aku terus- menerus mencari tahu tentangnya. Yang berakibat fatal bagi diriku yang pada akhirnya mengaku kalah, bahwa aku lama kelamaan memiliki perasaan yang cukup rumit padanya.

Kami hanya teman sekelas, dia mengenalku hanya sebatas nama dan biodataku yang semua orang juga tahu. Dia tidak pernah berbicara denganku diluar permasalahan sekolah seperti ‘Hey besok ada tugas apa saja?’, ‘Biodata pribadi harus kuserahkan pada sekertaris, kau kan sekertarisnya?’, dan yang paling tidak penting dia pernah iseng bertanya padaku hal semacam ‘Hey, kau tahu mengapa Huan songsaengnim itu botak? Itu semua karena dia terlalu banyak memikirkan Negara.’ Huan Songsaengnim guru Tata Negaraku yang malang. Dan biasanya percakapan kami akan berakhir ketika aku menjawab dan dia mengangguk. Selesai sudah.

Sementara aku, jangan harap aku mau berbicara dulu padanya. Aku terlalu malu dan bingung ketika berhadapan langsung dengannya.

Dan sekarang aku harus menelponnya dan menyuruhnya untuk keluar dari rumahnya. Jebal, ini benar- benar menyiksaku!

Lalu bagaimana jika ia langsung menutup panggilanku ketika ia mengetahui bahwa aku yang menelponnya, sama seperti yang ia lakukan kepada Heyoung. Membayangkannya saja sudah membuatku sedih. Tapi! Kau harus professional, bodoh! Kau disini diutus ketua sebagai sekertaris yang mengetahui data murid untuk menjemput murid yang paling tidak niat dan malas di kelas untuk datang ke sekolah dan membuka lemari yang beirisi speaker untuk digunakan Kyungsoo.

Entah untuk alasan apa –secara rasional, aku merasa sangat malu! MEMALUKANNN!!! –

“Park Gaemi?”

HEOK!

Aku melihat ke atas, di balkon lantai satu, dan Sehun ada disitu. Sedang bersandar di balkon kamarnya –asumsiku- dan menatapku dengan tatapan datar.

Duh, aku harus melakukan apa? Berbicara Gaemi! Setidaknya kau harus berbicara!

An.. nyeong.. Sehun-ssi…” Sial suaraku gemetar. Dia hanya menatapku datar, dan rasanya aku ingin menangis hanya karena tatapannya. Baiklah aku memang cengeng, tapi aku tidak boleh menangis di hadapannya!

“Eung.. aku diminta untuk mendatangi rumahmu memintamu untuk pergi ke sekolah, teman- teman sekelas menunggumu.”  Huftt.. berhasil. Setidaknya aku telah mengucapkan maksud dari kedatanganku.

“Mereka menyuruhmu?” Nada suaranya.. sangsi. Hey! Aku bahkan tidak bisa memikirkan kata- kata untuk berbohong di saat seperti ini!

“Tentu saja. Memangnya kau kira aku datang karena apa?” Ups! Ya, ya! Park Gaemi, nada suaramu.. tunggu kok bisa? Kok bisa aku mengeluarkan suara sekesal itu pada Sehun? Daebak, aku bahkan tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi saat ini.

“Kukira karena kau merindukanku.”

YA!!” dan sekarang kau membentaknya?!

Arrasseo. Karena kau sudah bersusah payah datang kesini aku akan berangkat ke sekolah.” Sehun tersenyum singkat dan menghilang, aku tidak bisa melihatnya lagi dari sini. Mungkin ia telah masuk ke kamarnya dan bersiap turun ke bawah.

Jinjja aku ini aneh. Mungkinkah karena gugup dan mungkin salah tingkah, apa yang kuucapkan ini jadi aneh dan tidak bisa kukontrol? Heoooool.

Atau mungkin ini pengaruh dari perbincangan kami yang lebih dari 3 kalimat? Astaga aku baru menyadari bahwa ini adalah pembicaraan terpanjang kami! Ini perlu dicatat dalam buku rekorku!

“Kau ingin menelponku?” Aku membelalakan mata saat Sehun sudah berada di depanku, bahkan gerbang rumahnya telah ia buka. Rumah Sehun itu.. minimalis namun kelihatan sangat nyaman.

Dan sekarang khayalan gilaku mengajakku untuk menerawang sisi dalam rumah ini.

“Kau ingin menelponku?” OH?? Sehun mengulangi pertanyaannya sekali lagi.

“Ah ne, tadi untuk memanggilmu keluar rumah. Tapi kau telah memunculkan dirimu dari atas sana.” Aku menunjuk ke balkon lantai satu rumahnya. Lalu bola mataku menangkap tangan Sehun yang kini tengah merebut ponsel dari tanganku.

“Mau apa kau?”

Sehun tersenyum tipis, astaga dia tersenyum karenaku?!

“Kukira kau itu pendiam. Ternyata kau galak juga yah..” Aku ingin membalas ucapannya namun jari- jarinya menekan sesuatu di ponselku yang telah berhasil ia rebut. Dan baru kusadari sedetik kemudian jika itu adalah tombol hijau. Lalu dia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ponselnya bergetar, rentetan nomor yang sangat kukenali karena itu nomorku sendiri tertera disana. Panggilan masuk.

Lalu dia menekan tombol merah di ponselku. Sebenarnya apa maksudnya sih?

“Kau satu- satunya yeoja dari sekolah kita yang akan ku save nomornya di ponselku. Kau patut bersyukur.” Ujarnya dengan nada santai, tapi debaran di hatiku benar- benar tidak santai.

Sehun menyimpan nomorku? Oh, astaga. Aku bahkan bisa sangat bahagia hanya karena hal seperti ini?

“Kalau begitu, gomawo.”

***

(Sehun’s PoV)

“Kalau begitu, gomawo.”

Aku terdiam, sebenarnya alasanku menyimpan nomornya hanya karena dia adalah sekertaris. Dan dia terlihat rajin sehingga akan mudah bagiku untuk menanyakan tugas padanya di luar sekolah. Tapi dia yang sedang menunduk dan mengatakan terima kasih membuatku sedikit terkekeh. Dia lucu juga.

Namun disaat aku baru saja berpikir bahwa dia itu lucu, dia menegakan tubuhnya dan menatapku galak.

“Kalau begitu jangan terlalu lama basa- basi, ayo pergi. Kau tahu teman- teman kerepotan karena dirimu yang missing in action!” Lalu dia membalikan tubuhnya dan mulai berjalan.

Aku tertawa sekali lagi, jalannya terlalu cepat untuk disebut berjalan. Mungkin setengah berlari lebih tepat untuk keadaannya. Aku menutup gerbang dan segera menyusulnya.

“Gaemi-ya, tunggu!”

Hening. Tidak ada yang menyaut ucapanku. Cara ia berjalan bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Sebenarnya aku sanggup menyusulnya, namun melihat punggungnya yang berjalan tergesa- gesa seakan- akan dia sedang menghindariku membuatku lebih tertarik.

“Hey semut! Jangan abaikan aku!”

Aku melihatnya berhenti sejenak sebelum mulai melangkah lagi.

“Terima kasih karena mengingatkanku bahwa namaku memang memiliki arti semut.” Ucapnya sinis. “Dan satu hal Sehun-ssi, kukira kita tidak sedekat itu sehingga kau harus memanggilku dengan sapaan dekat.” Ucapnya perlahan.

Ah, jadi dia mempermasalahkan caraku memanggil namanya sebelum aku memanggilnya semut. Namun entah karena alasan apa, aku merasa sedikit kesal. Baiklah jika ia menganggap hubunganku dengannya tidak dekat, padahal kukira teman sekelas itu sudah termasuk tahap dekat.

“Ah, benar juga. Kita tidak dekat. Baiklah kalau begitu Gaemi-ssi.”

Lalu aku melangkah menyusulnya dan berjalan di depannya.

***

(Author’s PoV)

Seorang namja tergopoh- gopoh menjauhi gerombolannya. Wajahnya penuh kerutan kecemasan, dia sedang menghawatirkan sesuatu. Sesuatu yang berasal dari nama yang tertera di ponselnya sekarang, nama seseorang yang mencoba menghubunginya lewat ponselnya.

Yeobseo.” Dia berusaha tenang, namun tangannya yang menggenggam ponselnya gemetar.

Namja itu Suho.

“Junmyun, kau masih mengingatku, kan? Kurasa 1 tahunmu itu cukup untuk membuatmu merasa sedikit ‘terbebas’. Tapi kau masih tidak melupakanku, kan?” Suho mencoba mendengus, namun dengusannya ia tahan. Karena ia tahu hal itu akan memperburuk suasana.

Master.”

Suho menutup kedua matanya saat ia mendengar tawa menggelegar dari ujung sambungan telepon.

“Bagus Junmyun-ah, dari caramu memanggilku aku bisa mengetahui bahwa kau belum melupakan siapa diriku.”

Mianhamnida, master. Tapi saya masih berada di sekolah, bisa kau –“ Belum sempat Suho menyelesaikan ucapannya, ‘master’ telah memotongnya terlebih dahulu.

“To the point?”

Ne.” sahut namja bermarga Kim itu mantap. Ia mendapat firasat yang buruk akan hal ini.

“Sudah  1 tahun kau mencoba melarikan diri dari dirimu yang sebenarnya. Sampai kapanpun kau hanya seorang pesuruh yang mengikuti kemauan orang lain. Dan inilah saatnya kau kembali.” Dan benar, inilah jawaban akan firasat buruknya.

Suho dia tidak bisa mengendalikan perasaannya, ia gemetar hebat. Hingga- hingga ia tidak sadar bahwa ia telah mematikan sambungan telepon. Tidak sopan? Ia tidak peduli lagi. Lututnya lemas, sehingga gravitasi membawanya terjatuh ke lantai aula yang dingin.

Suho, dia ingin berteriak, ingin memaki, ingin menyalahkan kehidupan tapi ia hanya tidak mampu. Ia tidak ingin dirinya yang lama. Ia mencintai dirinya sebagai Suho. Ia tidak ingin menjadi Kim Junmyun. Tapi segala sesuatu memiliki limitnya masing- masing, bukan? Dan inilah limit yang telah menjumpai dirinya. Dia harus kembali. Walaupun ia tidak mau.

Tangan kanannya yang menggenggam ponselnya bergetar, ia melirik sekilas ponselnya yang menunjukan adanya pesan masuk.

From : Master

Kau selalu tahu kan aku memiliki seribu cara untuk membuatmu kembali, KIM JUN MYUN.

Pesan itu adalah climax dari rasa frustasi dan tertekan yang sekarang dirasakan namja bernama Suho.

***

Ya! Kau memiliki masalah dengan eomma mu, huh?”

“Wae geurrae?”

“Dia datang menemuiku dan dia menyuruhku membantunya. Dia mengenalku?”

“Maybe.”

“Ya ya, mengapa harus aku?”

“Mungkin karena eomma tahu kau adalah orang yang paling kusukai, Gaemi-ya.”

Haa…HAH?!

Dan semua kembali kepada tembok kamar yang berwarna kuning pucat. Yeoja itu, Park Gaemi mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali.

Dia menarik nafas perlahan- lahan. Mencoba menjernihkan otaknya, lalu melongokan kepalanya untuk melihat jam dinding di sudut kiri kamarnya. Sekarang baru pukul 3 pagi.

Ya, benar. Gaemi, memimpikan seorang Oh Sehun pada jam 3 pagi. Bagus, mimpi yang terlalu bagus untuk bangun di pagi hari. Terlalu bagus.

Dia ingin mencoba tidur kembali tapi hatinya merasa sedikit takut. Mengingat menurut fakta orang akan melupakan mimpinya beberapa saat setelah ia bangun.  Bagaimana jika dia melupakan mimpi sebagus itu jika yeoja itu bangun pada pukul 5.30 dan segera menyiapkan diri berangkat ke sekolah? Setidaknya, dia merasa senang bertemu dengan Sehun, walau hanya lewat mimpi.

Beberapa kemungkinan muncul dalam benaknya. Kemungkinan bahwa mungkin saja mimpi itu datang karena baru tadi siang dia ‘diutus’ teman- temannya untuk menjemput Sehun di rumahnya, lalu berbincang- bincang dengan namja itu?

Lalu seorang Oh Sehun memanggilnya dengan sapaan dekat?

Gaemi mencoba untuk merapatkan lagi kedua kelopak matanya, mencoba menafsirkan mimpi aneh itu. Ya, memang aneh. Tapi dia sama sekali tidak keberatan untuk memimpikan hal semacam itu lagi.

Baiklah, Park Gaemi. Dia mengakui bahwa memang dirinya menyukai namja itu, entah untuk alasan apa. Tapi dia tahu, bahwa dirinya tidak terobsesi dengan namja itu. Chiya mungkin akan menertawai pemikiran ini, mengingat dia selalu menganggap Gaemi adalah stalker seorang Oh Sehun. Tapi menurut pandangannya, Gaemi hanya terlalu penasaran dengan orang itu, bukan terobsesi. Karena menurutnya jika yeoja bermarga Park itu terobsesi dengan Oh Sehun, mungkin dia sudah menjadi yeoja genit yang secara agresif dan terang- terangan mendekati namja yang disukainya. Tapi dia bahkan tidak sudi untuk merencanakan hal semacam itu.

Dan karena dia tidak terobsesi dengan Sehun, seingatnya dia tidak pernah merasa Sehun pernah hadir dalam mimpinya sebelum ini.

Dan ini membuatnya penasaran. Baiklah Gaemi akui jika dia adalah orang yang sangat mudah penasaran. Tapi ini lucu.. kali ini dia penasaran akan sebuah mimpi.

Lalu seingatnya tadi, dia bertemu dengan Sehun eomma. Yang walaupun tidak jelas rupanya seperti apa –karena bagaimanapun ini semua hanya mimpi. Tapi dia mendapat feeling yang cukup aneh tentang ini.

Apa hubungan Sehun dan eomma nya tidak baik yah? Atau? Atau lebih baik kau lupakan saja Park Gaemi. Karena ini semua hanyalah mimpi, yang nama lainnya bunga tidur.

Tandasnya dan sebisa mungkin memejamkan matanya lebih dalam untuk melanjutkan tidurnya.

Tapi sepertinya itu tidak mudah karena kenyataannya dia benar- benar tidak bisa tidur sampai bekernya berbunyi untuk membangunkannya setiap hari pada pukul 5.30.

Ini menyebalkan. Dan oh! Dia melupakan bahwa hari ini adalah hari H. Festival musim dingin yang diadakan Wanbaek Senior High School! Yap, sekolahnya.

Seharian kemarin ia dan teman- teman di kelasnya telah benar- benar bekerja keras untuk bersaing dengan kelas- kelas lainnya dalam mencoba mendekor kelasnya sebaik mungkin agar menarik banyak pengunjung yang datang agar mendapatkan gelar The Best Class dalam even Festival Musim Dingin tahun ini.

Tidak, dia tidak ingin mengacaukan semua itu hanya karena ia kurang tidur!

Lalu Gaemi meninjukan tangannya ke udara, dan bangkit dari kasurnya dengan semangat penuh. Bersiap menyambut hari.

 

***

Sehun baru saja menutup pagar rumahnya ketika dia melihat siluet seseorang yang berjalan ke arahnya, dan itu yeoja. Dia memicingkan matanya, lalu ketika retinanya bisa menangkap dengan jelas siapa yeoja itu dia hanya mendengus lalu melanjutkan aktifitasnya –menggembok pagarnya.

Oppa!Orenmaniya!” Suara yeoja itu melengking tinggi dan menyakiti gendang telinga Oh Sehun. Ketika dia berbalik, tepatlah dugaannya. Yeoja itu tepat berada di belakangnya.

Mwohae?” Yeoja itu memberenggut ketika mendengar nada suara Sehun yang amat datar dan sedikit terkesan malas.

“Kau tidak merindukanku?” Tanya yeoja itu dengan mata berharap, namun Sehun hanya menghembuskan napasnya.

“Ya, aku merindukanmu Oh Senna. Dan, long time no see. Bagaimana dengan lombanya? Swiss tentu saja menyenangkan. Oh gomawo, tapi aku tidak ingin makan coklat oleh- olehmu dari Swiss. Karena aku alergi gula dan hal yang rasanya manis. Sekian.” Sehun lalu berlalu begitu saja setelah ia yakin ia telah merangkum semua pembicaraan yang mungkin saja akan dimulai ‘yeodongsaengnya’ ini. Yeodongsaengnya yang seingatnya baru saja pulang dari Swiss untuk mengikuti lomba ice skating. Salahkan mengapa ia mengikuti kursus ice skating dan anehnya ia berbakat di bidang ini sehingga ia sering berkeliling dunia mengikuti lomba. Tapi sesungguhnya, Sehun tidak peduli sama sekali.

“Ya! Oppa aku baru saja pulang dari Prancis!” Yeoja yang dipanggil Senna itu lalu melangkahkan kakinya untuk menyusul Sehun.

“Ah matta.” Balas Sehun dengan nada yang semua orang yang mendengarnya juga akan tahu jika dia sangat tidak tertarik berbicara dengan Senna.

“Oppa, eomma bilang hari ini sekolahmu akan mengadakan festival musim dingin. Boleh aku ikut?” Sehun memutar bola matanya. Apakah yeoja itu tidak mengerti jika dia tidak mau berbicara dengannya?

“Lakukan apapun yang kau mau Oh Senna, aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya satu, jangan mengikutiku. Aku membenci hal itu.” Sehun mengatakannya dengan nada tenang, namun Senna bisa mendengar ultimatum di baliknya. Sebenarnya Senna merasa sedih karena perlakuan Sehun yang selalu dingin padanya tapi ia terlalu menyukai Sehun sehingga terkadang ia tidak peduli lagi dengan hal itu selama ia bisa mendekati ‘oppanya’.

“Geurrae. Tapi bisa kau terima oleh- olehku kali ini?” Sehun berhenti berjalan dan membalikan tubuhnya, salah satu alisnya tertarik ke atas. Mungkin jika dia menerima hadiah Senna, yeoja itu akan pergi.

Senna tersenyum ketika melihat Sehun berbalik, lalu dengan cepat ia merogoh isi tas tangannya dan menemukan benda itu. “Igo.” Ia menjulurkan tangannya ke depan menunggu Sehun menerima benda yang berada di telapaknya itu.

“Ya. Kau bercanda? Itu gelang untuk yeoja.” Walaupun Sehun tidak peduli akan bentuk hadiah itu, tapi ia tetap risih melihat gelang berwarna perak yang sepertinya hanya cocok jika diberikan kepada yeoja. Sementara dirinya adalah seorang namja yang tidak mungkin membawa benda seperti itu.

Aniya. Ahjumma yang menjual ini padaku saat di Prancis mengatakan bahwa gelang perak ini sedang menjadi trend disana. Katanya jika memberikan gelang ini untuk seseorang, tandanya orang itu begitu spesial  sehingga si pemberi selalu berharap bahwa orang spesial itu akan selalu bahagia. Lagipula ini gelang untuk transgender. Kau juga cocok menggunakannya, oppa.” Senna mencoba mengungkapkan perasaannya untuk Sehun ketika itu, dia berharap Sehun mengerti jika adalah orang yang sangat berharga untuk Senna. Tapi Sehun tidak terlihat menerima hal itu karena dia hanya menarik napas panjang dan membuangnya dengan malas.

Sehun, dia merasa harus menerima gelang itu walaupun dia tidak ingin. Karena jika tidak Senna akan memaksanya –dengan merengek, sampai ia mau menerima gelang itu.

Sehun mengulurkan tangannya ke depan, dan dalam gerakan cepat gelang itu sudah berada di genggaman Sehun.

Gomawo.” Sehun berbalik cepat dan mulai melangkah meninggalkan Senna yang sekarang tersenyum kegirangan karena akhirnya Sehun mau menerima hadiahnya tanpa berdebat.

Lalu dengan hati yang puas Senna berbalik dan menyetop taxi untuk pulang ke rumah.

Sehun yang masih terus berjalan dan menyadari bahwa Senna tidak lagi mengikutinya menghembuskan napas lega.

Terkadang Sehun berpikir, tidak. 3 tahun telah cukup. Cukup untuk membuat Senna tersadar bahwa ia tidak pernah menyukai yeoja itu. Baik sebagai Oh Senna ‘yeodongsaengnya’ maupun Baek Senna –yeoja kecil yang ia temui 3 tahun lalu.

3 tahun lalu, juga mengingatkannya akan suatu kejadian yang membuatnya sangat marah hingga ia berani  untuk memutuskan hubungan keluarganya. Kejadian yang sangat tidak adil untuk namja yang saat itu baru memasuki Middle School nya.

Dan kejadian yang membuatnya merindukan eommanya lebih dari apapun.

Eomma, mengapa kau membiarkanku hidup seperti ini?

Mungkin itu adalah pertanyaan yang selalu terngiang dalam benak seorang Oh Sehun jika ia mengingat kata eomma.

Kepalanya panas, dan dia mencoba untuk mengubur dalam- dalam ingatannya untuk saat ini jika ia tidak mau moody seharian. Lalu retinanya menangkap seseorang yang baru saja memasuki gerbang tinggi Wanbaek High School. Senyuman terukir di sudut bibirnya.

“Oi! Park Gaemi! Semut!”

Gaemi yang baru saja memasuki kawasan Wanbaek terkejut bukan main ketika mendengar seseorang memanggil namanya dengan suara yang sangat keras ditambah panggilan semut yang sangat familiar. Dia tidak perlu membalikan tubuhnya untuk melihat orang itu karena ia sudah sangat hapal dengan suaranya.

Lalu tangan besar namja itu mencengkram pundak kirinya, membuatnya melongo dengan aksi itu.

Astaga, Oh Sehun! Mengapa namja ini jadi sok dekat denganku?

Sebenarnya Gaemi sangatlah panik, dia ingin kabur dari tempat itu saat itu juga. Namun tatapan mata Sehun yang menatap tenang namun juga ada intimidasi di baliknya menyuruhnya untuk tetap diam.

“Ada apa Sehun-ssi?” Gaemi  mencoba bersikap tenang, dan sejauh ini dia kelihatan berhasil.

“Aku ingin memberimu sesuatu.” Jawab namja itu santai sambil memasukan tangan kirinya ke dalam saku celananya. Lalu mulai melanjutkan langkahnya, mau tidak mau Gaemi juga ikut melangkah karena pundak kirinya masih dicengkram oleh namja itu.

“Aku tidak sedang berulang tahun.” Jawab Gaemi polos yang membuat Sehun terkekeh.

“Memangnya hanya orang yang sedang berulang tahun yang berhak mendapat hadiah, huh?” tanyanya dengan nada geli.

“Tidak juga sih.. tapi bukankah mencurigakan jika seseorang memberimu sesuatu tanpa sebab?” Gaemi sudah merutuki dirinya sendiri.

Astaga bahkan ia telah menjadi orang lain jika sudah berada di dekat Oh Sehun, dia rasa dia bukan tipe orang yang mendebatkan hal tidak penting seperti itu sampai Sehun mengajaknya berbicara.

“Kau benar juga, anggap saja ini hadiah karena kau sudah ‘menjemputku’ kemarin.” Sehun lalu mengeluarkan sesuatu yang mengkilat di bawah sinar matahari pagi dan langsung mengaitkan benda itu di tangan kiri Gaemi tanpa menanyakan apakah Gaemi keberatan atau tidak. Lalu berlalu begitu saja.

Bukan hanya matanya yang terbelalak, sekarang mulutnya mungkin telah menganga karena hal ini. Lalu Gaemi menjatuhkan pandangannya ke tangan kirinya yang terlilit gelang berwarna perak. Dia memperhatikan gelang itu dengan cermat, hanya gelang sederhana berwarna perak. Tapi  menurut pandangannya, gelang itu juga terlihat sebagai rantai yang disatu-satukan oleh manik berwarna biru-hijau.

Dia menggeleng tidak mengerti, lalu mencoba melanjutkan langkahnya dengan isi kepalanya yang sedang mengasumsikan banyak hal mengapa Sehun perlu melakukan hal ini. Tapi tidak ada asumsinya yang terdengar nyata. Namun, tidak bisa dipungkiri ia merasa senang karena memiliki sebuah barang yang berasal dari namja bernama Oh Sehun.

***

Wanbaek High School  yang pada dasarnya memanglah sekolah yang cukup populer berhasil menarik banyak sekali pengunjung dari berbagai kalangan untuk datang pada festival musim dinginnya. Mulai dari anak- anak, siswa-siswi dari sekolah lain yang jumlahnya sangat banyak, hingga orang tua yang kebanyakan merupakan orang tua murid dari siswa yang bersekolah di Wanbaek maupun sekolah lain yang penasaran akan sekolah ini.

Tentu saja, 10-F juga mendapat kesibukan yang luar biasa. Mereka yang mengusung tema Winter Café untuk open class mereka, mulai dipenuhi pengunjung mulai dari pagi.

***

(Gaemi’s PoV)

Sepanjang hari aku hanya merasa lelah, mengantuk, dan sedikit pusing. Rasanya sulit untuk berkonsentrasi, namun karena janjiku pada diriku sendiri untuk tidak mengacaukan acara. Aku mencoba untuk terlihat riang. Namun sepertinya Chiya menyadari ada sesuatu yang aneh denganku, karena ia terus mengatakan bahwa wajahku pucat. Semua pasti karena aku kurang tidur setelah memikirkan namja yang masuk ke dalam mimpi aneh itu lalu kemudian di pagi harinya memberikanku gelang begitu saja tanpa alasan yang jelas.

“Gaemi, tolong antarkan tiramisu ini untuk meja 5 yah..”  Youngmin dengan senyum malaikatnya menegurku. Aku tersenyum tipis lalu mengangkat pesanan meja 5 dan mulai berjalan meninggalkan standku. Ah, aku jadi teringat bahwa kelasku juga telah menyulap diri mereka menjadi pelayan café dengan baju yang sangat lucu. Aku memakai bando pita berwarna putih, dan pakaian ala waitress.

Entah dari mana Miyeon –temanku yang ditunjuk sebagai seksi kostum– mendapatkan baju- baju ini, tapi ini sangat menggemaskan.

Aku baru melangkah 3 langkah, namun aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku dan aku takut jika aku terjatuh sebentar lagi. Aku bahkan telah menutup mataku karena aku tidak mungkin menjaga keseimbanganku karena aku merasa seperti tengah dipukul oleh balok kayu dari belakang. Namun setelah 3 detik aku tidak merasakan kepalaku yang membentur ubin, melainkan ada tangan besar yang melingkari pinggangku. Aku mencoba membuka mataku, tapi baru saja aku merasakan sinar matahari masuk ke dalam mataku. Semuanya menjadi gelap kembali.

Tapi aku tidak pingsan, aku masih sadar. Namun terlalu berat untuk membuka mataku. Orang- orang di sekelilingku mulai meneriaki namaku. Ah, sepertinya aku benar- benar jadi pengacau.

Lalu aku merasa seakan diangkat, ada seseorang yang menggendongku.
“Aku akan membawanya ke UKS.” Suara berat seseorang memaksa membuat otakku menebak suara itu.

Itu seperti suara.. Kim Suho. Dalam diam aku sempat berpikir sejenak, mengingat bahwa Suho adalah teman sekelasku. Namun dibandingkan aku dan yang lainnya, ia lebih tua hampir 3 tahun. Sehingga aku terkadang bingung mau memanggilnya dengan sebutan Suho-ssi, Suho saja, atau Suho oppa?

Tapi Suho bukan orang yang bodoh, yang memungkinkan dia tidak naik kelas 3 kali. Karena dari rapor yang kuterima sebelum libur musim dinginku kemarin. Suho ada di bawah Choyun, dia peringkat 2.

Tidak bisa memusingkannya lebih lama –karena memang kepalaku sudah sangat pusing sekarang. Aku hanya menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Dan aku tahu jika sebentar lagi aku akan tertidur.

***

Aku terbangun ketika matahari sudah hampir terbenam. Mungkin sekarang sekitar pukul 5. Sepertinya festival belum berakhir karena suara orang- orang masih terus terdengar, bahkan dari ruang UKS. Tentu saja aku mengenali ruangan yang penuh tirai dan bau obat ini. Yang membuatku terkejut adalah ketika aku menoleh ke kanan aku menemukan Suho masih bersamaku, menatapku khawatir.

“Suho…” Aku tidak sengaja menggantungkan kataku, karena aku hanya sedang kebingungan memanggilnya apa. “Suho-ssi.” Akhirnya aku memilih memasang embel- embel –ssi di belakang namanya. “Kenapa kau masih disini?”

Dia tersenyum dan menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kubaca. “Aku hanya menunggumu untuk hingga kau siuman. Kata Yuk Songsaengnim (Guru UKS Wanbaek) kau kelelahan, kurang tidur, dan darahmu sedang rendah. Apa kau baik- baik saja?” Aku bukannya geer, atau apapun. Tadi dari nada suaranya, dia terdengar sangat khawatir.

Aku memang memiliki darah rendah, tapi kurasa hal itu tidak parah sehingga aku sendiri bahkan tidak pernah menghawatirkannya. Tapi sepertinya itu tindakan yang salah.

Ne. Gomawo karena sudah menolongku.” Ucapku tulus sambil berusaha tersenyum.

“Kau adalah temanku, tentu saja aku harus menolongmu.” Ya, Suho memang salah satu temanku walau terkadang aku masih canggung dengannya. Apalagi jika mengingat masalah umur. Namun, aku dan dia adalah satu tim dalam regu piket. Sehingga aku cukup sering mengobrol dengannya.

Tapi, aku merasakan sesuatu yang janggal dalam kalimatnya. Seakan ada makna lain dalam kalimat itu.

“Kau harus menjaga dirimu sendiri, ne?”

Aku mengangguk. “Oh ya, satu lagi. Aku risih mendengarmu memanggil namaku dengan embel- embel ssi. Mulai sekarang tolong panggil aku Suho saja.”

“Tapi itu membuatku risih.” Ungkapku jujur.

“Ah, masalah usia yah? Kalau begitu kau mau memanggilku dengan… oppa?” Dari suaranya aku bisa mendengar ia ingin tertawa sebelum mengucapkan kata oppa.

“EH?”

Lalu aku melihat ekspresi geli muncul dari wajah tampan teman sekelasku ini. Ketika dia bisa mengontrol ekspresinya, dia berkata sambil tersenyum, “Aku ingin berteman dekat denganmu, Gaemi-ya.”

Aku baru saja ingin mengatakan, ‘Aku juga ingin mempunyai teman dekat secerdas dirimu Kim Suho’ dengan nada jahil. Namun retinaku menangkap perubahan mimik wajah Suho. Sehingga aku menelan kembali kalimatku dan menunggu Suho mengatakan sesuatu.

“Gaemi-ya, aku ingin menanyakan sesuatu.” Wajah Suho menegang saat mengatakan hal ini sehingga aku curiga akan sesuatu. Entah apa.

“Kau memang terlahir dengan marga Park, kan?”

TBC

 

Nah, bingung ga? Semoga banyak yang bingung dan jadi penasaran sama chapter selanjutnya hehehe… btw Sehun cute yah di FF ini? #pletak

COMMENT JUSEYOOOO :D

Sampai bertemu di Chapter 2…



Baby, I’m Sorry (Chapter 7)

$
0
0

baby-imsorry1

 

Baby, I’m Sorry

 

Tittle                           : Baby, I’m Sorry (Chapter 7)

Author                       : Jellokey

Main Cast                  :

Kim Jong In (Kai of EXO)

Kang Jeo Rin(OC)

Support Cast            :

Kim Taehyung (V of BTS)

Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)

Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)

Lu Han (Lu Han of EXO)

Park Chan-yeol (Chan Yeol of EXO)

Park Jimin (Jimin of BTS)

And others

Length                        : Chaptered

Genre                         : Romance

Rating                         : PG-17

Disclaimer                 : Cerita ini milik saya. Dilarang plagiat dan copy paste. Don’t bash!

Poster   : G.Lin by http://cafeposterart.wordpress.com

“Kalau begitu hubungan kita berakhir.” Jeo Rin membulatkan matanya. Ia sudah menetapkan hatinya untuk Kai, tapi sekarang hubungan mereka berakhir?

“Dan aku mau kau tidur denganku.” Tanpa memikirkan reaksi Jeo Rin, Kai langsung menciumnya. Ia melumat bibir Jeo Rin kasar. Nafsu? Bukan, Kai marah. Dia sudah menahan diri melihat Jeo Rin dekat dengan Taehyung. Kesiswaan? Itu hanya alasan. Kai tahu apa yang terjadi dengan dua orang itu. Mereka sempat digosipkan berpacaran. Tidak, orang selalu menganggap mereka punya hubungan khusus karena kedekatan mereka. Dan yang ia lihat di ruangan Taehyung, sangat menyakitinya. Jeo Rin bermain di belakangnya. Menurut Kai, dia sudah sangat sabar, ia mencoba memahami Jeo Rin. Kai selalu berusaha memenuhi apa yang Jeo Rin inginkan. Termasuk perubahan dirinya. Susah payah Kai meninggalkan kegiatan party-nya, tapi apa yang dia dapat?

“Mmphh—“ Jeo Rin memukul dada Kai. Sesak. Ia takut, bahkan Jeo Rin sudah menangis. Kai yang berada di atasnya sangat menyeramkan. Mata Jeo Rin membulat saat tangan Kai masuk ke tanktop-nya. Apa yang Kai lakukan? Yang pasti itu menyakiti Jeo Rin. Jeo Rin mengeluarkan semua tenaga yang ia punya untuk mendorong Kai. Berhasil. Kai terduduk dengan nafas terengah. Emosi masih menguasainya.

“Maafkan aku..” Jeo Rin mendudukkan dirinya. Ia meraih tangan Kai tapi lagi-lagi penolakan yang ia dapat.

“Tanda itu harus hilang.” Desis Kai. Ia menarik pinggang Jeo Rin, mendaratkan bibirnya di leher Jeo Rin. Kai seperti kesetanan membuat kissmark di leher Jeo Rin. Ia bahkan tidak mempedulikan rintihan kesakitan Jeo Rin karena gigitannya.

“Hen..ti..kan..” Jeo Rin terisak. Kai boleh menghukumnya, tapi bukan seperti ini. Kai seperti mau, entahlah. Jeo Rin tidak menyangka Kai bisa sekasar ini.

“Kai..” Jeo Rin memukul kepala Kai saat Kai berusaha melepas tanktopnya, membuat Kai berhenti. Jeo Rin menatap namja itu marah.

“Kau keterlaluan! Aku sudah minta maaf. Apa kau tidak bisa memaafkanku?!” Bentak Jeo Rin. Dia diambang emosinya. Kai tersenyum sinis.

“Apa menurutmu kata maaf cukup??” Jeo Rin tertegun.

“Selama ini kau menjadikan kesiswaan sebagai alasanmu untuk bertemu dengan Taehyung. Kau tidak punya waktu untukku karena sibuk bermesraan dengannya!!”

“Kai!!” Teriak Jeo Rin. Itu tidak benar.

“Kau selalu bersikap manis padanya, tapi denganku tidak! Kau memperlakukannya dengan istimewa. Kau mengkhianatiku, Jeo Rin!!” Tangan Kai mencengkeram bed cover kuat. Akal sehatnya masih ada. Ia tidak mau tangannya menyakiti Jeo Rin.

“Aku tidak mengkhianatimu!” Jeo Rin membela diri.

“Lalu apa namanya?! Kau terang-terangan selingkuh di depanku!!” Suara tinggi Kai menandakan kalau dia sudah lepas kendali. Ia mencengkengram baru Jeo Rin kuat. Tatapan tajam itu sangat menusuk dan menyakitkan.

“Aku tidak akan tenang sebelum kau menjadi milikku.. seutuhnya.” Jeo Rin sudah melayangkan tamparan sebelum Kai menciumnya. Kai memegang bekas tamparan Jeo Rin di pipi kirinya.

“Keluar.” Suara Jeo Rin bergetar.

“Kau bahkan sanggup menamparku, Kang Jeo Rin.” Bisik Kai.

“Keluar, keluar dari kamarku!!” Teriak Jeo Rin. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Baru Kai namja yang memperlakukannya dengan kasar. Ke mana kelakukan polos Kai selama ini? Tanpa mengatakan apa pun Kai keluar dari kamar Jeo Rin.

—————

“Akhirnya anak eomma turun juga.” Kai terkejut mendapati eommanya sedang menata makanan di meja makan. Kapan eomma dan appanya pulang? Kenapa tidak ada yang memberitahunya?

“Omo! Wajahmu kenapa, nak?” Nyonya Kim melihat Kai khawatir.

“Aku baik-baik saja, eomma.” Kai langsung mengambil tempat duduk saat Nyonya Kim hendak menyentuh wajahnya.

“Kapan appa dan eomma pulang?”

“Dua jam yang lalu. Eomma hendak masuk ke kamarmu tapi dikunci. Eomma memanggilmu tapi tidak ada sahutan. Jadi, eomma berpikir kau tidur. Jeo Rin juga begitu.” Nyonya Kim benar. Kai memang tidur dengan headset menyumpal telinganya.

“Wah.. Masakannya sudah jadi.” Tuan Kim duduk di kursi yang berada di tengah meja, tempat kepala keluarga duduk.

“Kai, kau berkelahi?” Tanya Tuan Kim yang melihat lebam di wajah Kai.

“Ne.” Jawab Kai pelan. Tadi, Kai hanya beruntung karena Nyonya Kim tidak bertanya lagi.

“Kau membuat onar di sekolah?” Awas saja. Aku akan menghukummu, Kim Jongin. Batin Tuan Kim. Ia tidak mau anaknya jadi berandalan.

“Aniyo.” Sanggah Kai.

“Lalu kenapa?” Tuan dan Nyonya Kim melihat Kai. Sama-sama berharap Kai tidak menghajar anak orang.

“Aku begini karena mempertahankan Jeo Rin. Di sekolah, ada namja yang berusaha merebutnya dariku. Seharusnya aku membunuhnya tadi.” Jawaban polos yang sadis. Kai kembali emosi.

“Kim Jongin, jaga kelakuanmu!” Tuan Kim tidak menyangka anaknya bisa berniat membunuh orang.

“Appa pasti sepertiku kalalau ada namja yang hendak merebut eomma dari appa.” Tuan Kim terdiam. Kai benar. Seorang namja pasti akan mempertahankan yeojanya. Menjaga yeojanya agar tidak didekati namja lain.

“Sudah. Kai, panggil Jeo Rin untuk makan malam.” Suruh Nyonya Kim.

“Eomma saja.” Nyonya Kim menatap anaknya bingung.

“Dia pasti sedang tidur. Lagipula, dia pasti turun kalau lapar.” Kai masih marah pada Jeo Rin.

“Yi Eun, panggilkan Jeo Rin.” Suruh Nyonya Kim pada salah satu pelayannya.

“Baik, Nyonya.”

“Bisakah aku makan duluan? Aku sudah lapar, eomma.” Kai beralasan. Dia tidak mau bertemu Jeo Rin sekarang.

“Kita harus makan malam bersama.” Suara Tuan Kim membuat Kai bungkam. Ia memainkan sendok dan garpunya tidak semangat.

“Jeo Rin, ayo makan, nak.” Jeo Rin sudah berada di ruang makan.

“Kapan ajjushi dan ahjumma pulang?” Dengan enggan Jeo Rin duduk di samping Kai.

“Dua jam yang lalu. Mari makan.” Setelah itu tidak ada yang bersuara. Yang terdengar hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu milik Kai.

“Besok aku akan kembali ke rumahku, ahjumma.” Ucap Jeo Rin setelah selesai makan. Membuat Kai menoleh padanya.

“Renovasinya sudah selesai?”

“Ne. Terima kasih karena ahjumma dan ajjushi sudah mengizinkanku tinggal di sini.”

“Tidak usah sungkan, Jeo Rin. Kau tinggal di sini lebih lama lagi juga tidak apa-apa.” Kata Nyonya Kim.

“Kapan orang tuamu kembali dari Singapura, Jeo Rin?” Tanya Tuan Kim.

“Kalau tidak ada halangan dua hari lagi, ajjushi.” Tuan Kim mengangguk.

“Ada yang harus kami bicarakan dengan orangtuamu.”

“Eum.. Aku permisi ahjumma, ajjushi.” Tuan dan Nyonya Kim tersenyum menanggapi Jeo Rin. Mereka merasa ada yang aneh pada Kai dan Jeo Rin. Tidak biasanya Kai diam kalau ada Jeo Rin di dekatnya.

“Apa terjadi sesuatu selama appa dan eomma pergi?”

“Maksud eomma? Kami tidak melakukan yang aneh-aneh.” Jawab Kai lari dari dari topik.

“Bukan itu. Kau ini. Apa kalian bertengkar?”

“Tidak. Jeo Rin memang seperti itu. Mungkin dia terlalu pusing dengan organisasinya.” Kai berlalu meninggalkan ruang makan, membuat orang tuanya bertanya-tanya.

———————

Kai serius melihat tayangan di tv. Beberapa menit yang lalu Jeo Rin datang ke rumah Kai dengan dua orang pembantu untuk mengambil barang-barangnya. Mereka belum berkomunikasi sejak kejadian di kamar Jeo Rin. Kai meraih remote dan mematikan tv. Jeo Rin baru saja keluar dari rumah tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Kai. Kai tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Yang pasti dia masih marah pada Jeo Rin. Tapi Kai tidak tahan kalau mereka saling diam. Apa ia harus minta maaf pada Jeo Rin? Lagi? Kenapa selalu Kai yang minta maaf? Kai mengacak rambutnya frustasi. Ia mengambil handphone dari saku jeansnya. Menelepon seseorang.

“Yeoboseyo.”

“Jimin, adakan party di apartemenmu.” Kata Kai to the point.

“Di club saja, Kai. Atau lebih baik di rumahmu.” Suara Jimin terdengar antusias di kalimat terakhirnya.

“Orang tuaku ada di rumah. Aku sudah bosan di club. Di apartemenmu saja. Aku yang biayai semuanya.”

“Tapi—“

“Jangan lupa yeoja.” Kai memutus sambungan telepon. Dia pasti sudah gila. Party? Yeoja? Semua karena Jeo Rin.

—————

Chanyeol bergerak gelisah di depan gerbang sekolah. Jalan mondar-mandir, memainkan jarinya, terkadang menggigit kukunya, menghentakkan kakinya, singkat kata dia seperti orang gila. Dan semua itu karena namja yang berdiri di hadapannya.

“Kau terlambat di hari yang tidak tepat, Kai.” Suara Chanyeol pelan, takut Jeo Rin yang berada di pos penjaga satpam mendengarnya.

“Kali ini kau tidak bisa lepas dari hukuman.” Kai hanya menatap Chanyeol datar.

“Sunbae, kita terlambat lagi.” Dua namja kembar berdiri di samping Kai.

“Youngmin-ah, ada Jeo Rin noona.” Kwangmin berkata tidak semangat.

“Ne. Dia pasti menghukum kita lagi.” Balas Youngmin.

“Noona!” Seru Jo twins begitu Jeo Rin membuka pintu gerbang.

“Jeo Rin, yang terlambat hanya tiga orang. Apa hukuman mereka?” Tanya Chanyeol.

“Noona, jangan hukum kami.” Kata Jo twins kompak. Jeo Rin melihat Jo twins yang sibuk beragyeo sebentar lalu menatap Kai yang sedari tadi diam.

“Biarkan mereka masuk. Jangan pernah hukum mereka, apalagi Kim Jongin. Kau bisa dikeluarkan dari sekolah kalau melakukan hal yang menyinggung seorang Kim Jongin, Chanyeol.” Ucapan Jeo Rin yang pedas tidak berpengaruh pada Kai. Chanyeol mencubit pipinya. Pasti ada yang salah dengan Jeo Rin.

“Auww!!” Nyata. Jeo Rin sudah berjalan menuju gedung sekolah.

“Noona kenapa?” Tanya Kwangmin.

“Molla. Mungkin noona sedang bahagia. Sunbae, kami duluan.” Jo twins masuk ke sekolah dengan riang.

“Sepertinya ini hari keberuntunganmu, Kai. Cepat masuk. Pelajaran sudah dimulai.” Chanyeol menatap bingung Kai yang berwajah datar. Ada apa dengannya? Apa Kai kerasukan?

“Kang Jeo Rin, kau tidak berniat minta maaf padaku.” Bisik Kai pada dirinya sendiri.

——————

“Jeo Rin!” Jeo Rin menoleh ke belakang karena panggilan seseorang. Orang itu Oh Se-hoon, ketua kelasnya.

“Ada apa?” Tanya Jeo Rin pada Sehun yang sudah ada di hadapannya.

“Bisa tolong berikan buku ini pada Kai?” Sehun menunjukkan buku tugas fisika Kai padanya.

“Kenapa tidak kau berikan padanya tadi?” Sahun Jeo Rin tidak peduli.

“Kai langsung pulang begitu bel pulang sekolah berbunyi, padahal sudah kubilang untuk berada di kelas sebentar. Bisa kan?” Tanya Sehun lagi.

“Kenapa tidak besok saja kau berikan?”

“Apa kau lupa? Besok ada tugas fisika. Buku ini harus ada padanya hari ini.”

“Kau bisa ke rumahnya.” Untuk saat ini Jeo Rin tidak mau bertemu Kai.

“Aku ada kencan. Apa susahnya menyerahkan buku ini pada Kai? Kalian tinggal serumah.” Suara Sehun memaksa.

“Kami tidak tinggal serumah lagi.” Ucap Jeo Rin datar. Kalian bertetangga.

“Ayolah, Jeo Rin. Aku buru-buru.” Sehun mengejar Jeo Rin yang berjalan mengabaikannya.

“Apa kau mau Kai dihukum karena tidak mengerjakan pr?” Jeo Rin berhenti. Dia menghela nafas.

“Sini bukunya.” Sehun menyerahkan buku Kai pada Jeo Rin.

“Gomawo, Jeorin-ah.” Sehun langsung lari setelah mengatakan itu. Jeo Rin melihat buku Kai yang ia pegang. Semoga ia tidak bertemu dengan Kai.

——————-

Jeo Rin melangkah cepat menuju meja belajar Kai. Ia beruntung karena Kai tidak berada di rumah. Lee ahjumma bilang, Kai belum pulang dari sekolah. Niat Jeo Rin untuk segera keluar dari kamar Kai terurungkan begitu matanya menangkap benda asing yang belum pernah ia lihat. Buku, majalah dengan cover yeoja berbikini. Jeo Rin meraih majalah itu. Tidak perlu melihat isinya, Jeo Rin bisa menebak majalah apa itu. Jeo Rin tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Apalagi setelah ia mendapati DVD dengan title, The Best Styles of Making Love.

“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Suara itu membuat Jeo Rin berbalik. Ia mendapati Kai berdiri di ambang pintu. Kai berjalan mendekati Jeo Rin dengan wajah datarnya. Kalau Jeo Rin mau minta maaf padanya sekarang, memang berniat dan menyadari kesalahannya, Kai akan memaafkan Jeo Rin. Kai mengernyit karena tatapan sengit Jeo Rin. Ada apa dengan Jeo Rin?

“Aku tidak menyangka kau semesum ini.” Kai semakin bingung karena ucapan Jeo Rin.

“Maniak!”

“Apa maksudmu?” Kai balas menatap Jeo Rin. Dia tidak mengerti. Jeo Rin melemparkan benda-benda bermateri dewasa itu tepat mengenai dada Kai. Kai baru mengerti setelah melihat benda keramatnya jatuh di lantai.

“Yang kau lakukan padaku tempo hari karena benda itu kan?!” Teriak Jeo Rin pada Kai yang malah terlihat tenang.

“Aku sudah dewasa, Jeo Rin.” Balas Kai santai.

“Oh, kau sudah dewasa?” Ucap Jeo Rin sinis.

“Karena itu kau mau mempraktekkannya padaku?! Kau hampir memperkosaku, Jongin!!” Bentak Jeo Rin emosi. Dia tidak bisa mentolerir namja yang punya pikiran kotor seperti Kai.

“Memperkosamu?? Ya! Aku namjachingumu!! Aku melakukan hal yang wajar!” Balas Kai keras. Dua anak manusia itu terlibat pertengkaran hebat.

“Aku tidak pernah mau punya namjachingu mesum sepertimu!!” Cukup. Kai tidak tahan lagi dengan kata-kata Jeo Rin. Ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Jeo Rin, mencium yeoja itu kasar. Jangan salahkan Kai karena Jeo Rin yang memancingnya melakukan itu. Ciuman Kai menuntut. Ia mencoba melesakkan lidahnya ke mulut Jeo Rin.

Plak!

Kai memegang pipi kirinya yang baru ditampar Jeo Rin. Sudah tiga kali ia ditampar.

“Bahkan disaat seperti ini pun kau masih bisa berpikir untuk menciumku? Aku telah salah memilih namja.” Apa Jeo Rin menyesal berpacaran dengan Kai?

“Kita putus!” Kai menatap Jeo Rin tidak percaya. Jeo Rin serius. Kai menarik Jeo Rin yang baru melewatinya untuk kembali menghadapnya.

“Jangan jadikan benda keramatku sebagai alasan kita putus!”

“Aku tidak hanya menyalahkan benda keramatmu, Kai. Kau juga salah. Otakmu sudah rusak. Kau namja terburuk yang pernah kutemui!” Jeo Rin menghempaskan tangan Kai.

“Kau tidak bisa mengakhiri hubungan kita secara sepihak!” Kai menyesal. Hal yang paling ia takuti adalah berpisah dengan Jeo Rin. Jeo Rin berhenti.

“Keputusan ini tidak sepihak. Kau yang lebih dulu mengakhiri dan sekarang aku menyetujuinya.” Sahut Jeo Rin tanpa berbalik. Tubuh Kai merosot ke lantai. Ia tidak pernah sungguh-sungguh untuk mengakhiri hubungan mereka. Apa aku salah memiliki benda-benda itu? Kai sudah berumur tujuh belas tahun. Bahkan beberapa bulan lagi dia akan berusia delapan belas tahun. Kai melihat benda keramat yang berada di depannya. Ia mengambil CDnya. Bahkan ia belum menonton itu sampai habis. Yang Kai lakukan tempo hari adalah wujud emosinya. Mengakhiri hubungan mereka, Kai tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Dan sekarang hubungan mereka resmi berakhir.

TBC…

Note: Jeo Rin benci namja mesum. Maaf lama ^^. Komen kalian sangat aku tunggu ^^ Oh, iya. Ff ini end di chapter 8. See you in the END!


[FREELANCE] New Friend

$
0
0

request-spark-new-friend

Title : New Friend

Author : Spark (@shazapark)

Cast(s) : Choi Sulli – f(x) & Park Chan Yeol – EXO

Genre  :  Friendship

Rate : PG13

Length : Vignette (1000+)

Disclaimer : GOD (The casts are belong to God, but the fic is mine. Even if this fic is so absurd, but the FF still MINE. Everything is just my imagination.)

Credit poster : Rindra (icesehun.wordpress.com)<– Invite her!

Summary  : Jin Ri didekati oleh seorang pria bermata bulat dengan seyum konyol? Tiba-tiba saja Jin Ri mulai menganggap pria itu sebagai teman barunya. Siapakah dia? Mari kita lihat!

© Spark . 2014

I already publish this fict in another blog with the same title and author.
No plagiarism please. If you don’t like the casts, just don’t read it. Ok?

This fict is dedicated for all Giant Babies. Hope you like it!

.

Can i be your best friend?

.

Gadis bersurai hitam itu merapatkan jaket tebalnya sebelum melangkah keluar dari gedung apartemen. Sepasang kaki jangkung yang dilapisi dengan sepatu bot itu mulai menapak di atas tanah. Tanah yang sedikit tertutup oleh genangan air hujan.

Gadis itu sempat terdiam sejenak ketika merasakan setetes air mendarat tepat di atas hidungnya. Dengan gerakan cepat, tangannya segera membersihkan bekas air itu.

“Apa aku harus membawa payung hari ini?” pikirnya sembari menengadah. Ia lantas segera menaungi kepalanya dengan telapak tangan, berharap telapak tangan itu dapat melindungi kepalanya dari tetesan air hujan yang terus turun dari langit.

Gadis bermata besar itu mengangkat bahunya acuh tak acuh. Ia pikir membawa payung hanya akan menambah beban di dalam tas selempangnya, jadi …

Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju sebuah tempat. Perpustakaan.

***

Jin Ri. Nama gadis yang saat ini sedang membaca buku di Perpustakaan itu. Matanya sudah cukup lelah membaca deretan kalimat yang tertera pada sebuah buku tebal di tangannya, namun hal itu sama sekali tidak mengganggunya. Justru ini lah yang paling ia sukai. Selama tidak ada siapapun yang mengganggunya, maka ia akan senang.

Tanpa sadar, Jin Ri tersenyum tipis. Mengingat satu fakta bahwa dirinya terbebas dari teriakan kedua orangtuanya yang tak pernah bosan bertengkar itu, dapat membuat senyumnya mengembang. Gadis itu kembali membaca beberapa deret kalimat yang ada pada bukunya.

“Jin Ri!” Jin Ri mendengar seruan dari arah belakang. Yah, mengundang perhatian orang-orang di perpustakaan yang sedang serius membaca buku tentunya. Manik cokelat milik Jin Ri mulai mengamati sosok pria yang sedang menghampirinya.

Sedetik kemudian, Jin Ri langsung mengerutkan kening. Wajahnya menampilkan ekspresi tak suka. Pria yang baru saja memanggilnya itu melambai ke arah Jin Ri. Jin Ri merasa akan menjadi orang gila jika harus membalas lambaian orang itu, well, apakah kalian masih ingat jika saat ini ia masih berada di perpustakaan? Baik, melambaikan tangan mungkin tidak akan terlihat begitu aneh, tapi … Apakah melambai dengan tangan terangkat tinggi itu tidak terlihat konyol? Apa lagi saat ini mereka sedang berada di perpustakaan?

“Jin Ri!” pria itu kembali berseru ketika ia sudah duduk di sebelah Jin Ri. Jin Ri tak berniat membalas sapaan, ah … atau lebih tepatnya, ‘teriakan’ dari pria itu. Ia kembali melanjutkan kegiatannya membaca buku.

“Jin Ri. Kau kenapa, sih?” pria bermata bulat yang baru saja memanggil Jin Ri itu mulai bertanya. Ia mengguncang bahu Jin Ri dengan sedikit keras. Jin Ri yang merasa kegiatan membacanya terusik itu akhirnya menoleh.

“Kau mau apa, Chan Yeol?” Jin Ri bertanya dengan nada ketus.

Chan Yeol. Ya, Park Chan Yeol namanya. Dia adalah murid baru di kelas Jin Ri. Sejak awal, gadis itu sudah tidak menyukainya. Kenapa? Selain karena wajahnya yang konyol, Jin Ri juga sering diganggu olehnya. Diganggu seperti apa? Yah, seperti saat ini. Apa ia sudah tak punya mata? Jelas-jelas orang sedang membaca, kenapa ia harus berteriak menyerukan namaku di tempat seperti ini? Batinnya kesal.Jin Ri tak menyangka akan bertemu dengan teman barunya itu di perpustakaan.

Pria yang ternyata bernama Chan Yeol itu melebarkan senyumnya, menampilkan gigi rapi yang sering dijuluki ‘gigi kelinci’ oleh teman-temannya di sekolah.

“Kau sedang apa?” mendengar pertanyaan singkat itu, Jin Ri seketika mendengus sebal. Ia memutar kedua bola mata sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatannya membaca buku. Chan Yeol mengerjapkan mata bulatnya ketika melihat reaksi yang diberikan oleh temannya, Jin Ri.

“Jin Ri, kau itu kenapa, sih? Aku salah apa?” pria bernama Chan Yeol itu kembali bertanya, kali ini dengan nada memohon, yang mana hal itu malah terasa aneh, mengingat suaranya yang sedikit berat. Jin Ri mulai terganggu. Ah, sebenarnya sejak kedatangan pria itu, Jin Ri yakin ia sudah merasa terganggu.

“Sudah kubilang, kau mau apa?” Jin Ri menutup buku novel yang tengah ia baca dengan keras. Chan Yeol mengerjapkan matanya. “Aku ‘kan tadi juga sudah bilang, kau sedang apa?” ulang Chan Yeol, semakin membuat Jin Ri kesal.

Jin Ri pikir, mendengarkan celotehan dan pertanyaan dari ‘teman barunya di sekolah’ itu sama sekali tidak penting, jadi, gadis itu segera beranjak dari tempat duduknya. Ia mengayunkan tungkai kakinya ke arah meja penjaga. Chan Yeol yang melihat itu seketika mengekor.

“Kau mau kemana? Aku ikut dong.” Jin Ri berusaha menulikan indera pendengarannya ketika suara Chan Yeol mulai terdengar lagi.

Mr. Jung, aku pinjam buku ini. Besok akan segera kukembalikan.” Gadis itu menunjukkan buku novel tebal kepada seorang pria yang duduk di balik meja penjaga. Pria paruh baya itu membalas perkataan Jin Ri dengan ulasan senyum ramah. Setelah mendapat izin, gadis itu segera melangkah lagi. Kali ini menuju pintu utama perpustakaan kota itu.

“Hey, kau mau kemana?”

Ah. Jin Ri hampir lupa kalau pria berwajah bodoh itu masih mengekorinya. Jin Ri tak mau mendengarnya, jadi … Ia kembali melanjutkan langkah kakinya ke arah pintu kaca itu.

Gadis itu membuka pintu. Suara berisik air yang bertubrukan dengan tanah itu menyapa telinganya. Jin Ri masih belum bereaksi apapun, matanya memandang ke arah tetesan air yang jatuh dari langit. Sampai kedua kelopak matanya melebar.

Payung! Bagaimana aku bisa pulang sekarang?” Jin Ri sadar, ia tidak akan bisa pulang jika saat ini keadaannya hujan. Gadis itu menoleh ke belakang, ia mendapati sosok Chan Yeol yang sedang berdiri dengan senyum aneh andalannya.

Tanpa aba-aba, Chan Yeol berjalan satu langkah mendekati Jin Ri. Ia mengulurkan tangannya, sepertinya ia sedang menyodorkan sesuatu. Jin Ri memandang ke arah tangan Chan Yeol.

“A–apa?” Jin Ri mengerjap begitu menyadari benda apa yang sedang disodorkan oleh pria bermata bulat itu. Payung.

“Pulanglah. Aku tahu kau tidak membawa payung, bukan?” tuturnya diikuti dengan senyuman konyol. Jin Ri memandangnya ragu, sepertinya ia sedang menimbang-nimbang apakah ia harus menerima payung itu?

Chan Yeol menyadari raut wajah Jin Ri. “Anggaplah ini sebagai tanda perkenalan kita, bagaimana?” lanjutnya, justru terdengar seperti paksaan. Jin Ri tersenyum sekilas, kemudian menerima payung di tangan pria bermata bulat itu.

Well, aku pulang dulu, oke? Sampai jumpa di sekolah.” Chan Yeol membalikan badannya, berjalan perlahan menyusuri trotoar. Jin Ri memandang punggung lebar Chan Yeol yang kian mengecil seiring dengan langkah kaki pria itu. Di atas kesadarannya, Jin Ri mulai mengulas senyum simpul.

Ia membuka payung lipat yang baru saja dipinjamkan oleh teman barunya itu, kemudian segera melangkah melewati jalanan setapak yang akan membawanya pulang ke apartemen. Merasa bosan dengan perjalanannya menuju rumah, akhirnya Jin Ri kembali membaca novel yang ia pinjam dari perpustakaan kota. Matanya melebar begitu melihat secarik kertas yang terselip di halaman buku tersebut.

Secarik kertas yang dihias dengan tulisan tangan rapi.

Hai, Jin Ri. Namaku Chan Yeol. Kau mau ‘kan menjadi temanku? Salam kenal.

Jin Ri yakin, tulisan itu milik teman barunya, Chan Yeol. Meski ia tidak tahu sejak kapan kertas itu sudah berada di dalam halaman bukunya, tapi … Itu sama sekali tidak penting. Yang ia tahu sekarang adalah, Chan Yeol bukanlah seorang pengganggu, ia memang orang baik.

Jin Ri mengulum senyum. Ia pikir, inilah saatnya untuk menjadikan pria itu sebagai sahabat. “Aku akan membalas surat ini, haha.” Tawa renyah itu meluncur dari bibir Jin Ri, seiring dengan senyumnya yang kian melebar.

END

***

Hanya sebuah fict singkat yang saya buat secara dadakan. Mohon kritik, saran, dan komentarnya!
Giant Babies, Shaza – Spark


[FREELANCE] Excessive

$
0
0

request-spark-excessive-ver2

Title : Excessive

Author : Spark (@shazapark)

Cast(s) : Choi Sulli – f(x)& Park Chan Yeol – EXO

Other cast : Im Nana (only mentioned)

Genre  : Romance, Fluff

Rate : PG13

Length : Oneshot (3000+)

Disclaimer : GOD (The casts are belong to God, but the fic is mine. Even if this fic is so absurd, but the FF still MINE. Everything is just my imagination.)

Credit poster : Rindra (icesehun.wordpress.com)<– Invite her!

Summary  : “Nana itu wanita yang menakjubkan. Berbakat, tubuhnya tinggi, dan dia juga sangat anggun. Aish~ aku suka sekali.” –Park Chan Yeol.
Lantas apa reaksi Jin Ri ketika mendengar kalimat itu dari kekasihnya, Chan Yeol? Mari kita lihat!

© Spark . 2014

I already publish this fict in another blog with the same title and author.
No plagiarism please. If you don’t like the casts, just don’t read it. Ok?

This fict is dedicated for all Giant Babies. Hope you like it!

.

You don’t have to do this again. Because, you’re beautiful.

.

Jin Ri tersenyum puas melihat refleksi dirinya dari cermin. Ia sangat cantik hari ini, dengan balutan gaun putih yang cukup tipis, serta highheels yang baru ia pesan dari temannya.

High heels berwarna perak itu tampak begitu cantik jika merekat di telapak kaki milik Jin Ri yang putih. Heels-nya setinggi 15 cm, dan itu membuatnya jadi sulit berjalan, kuku-kukunya telah dipoles dengan cat warna, sedangkan rambut kecokelatannya ia rubah total menjadi hitam bergelombang.

Jin Ri benar-benar tampil memukau pagi ini. Bahkan ia mengenakan parfume yang sangat menyengat. Tapi, tunggu–

Sebenarnya apa yang ingin ia lakukan, sih? Sampai tampil secantik itu?
Ke pesta pernikahan? Ada acara pertunangan? Makan malam keluarga besar? Atau apa?

Hm, sebenarnya gadis ini hanya ingin berkencan dengan kekasihnya, Park Chan Yeol. Baru-baru ini ia mendengar kabar bahwa kekasihnya itu sangat mengidolakan Im Nana, salah satu personil girlband After School yang sangat cantik.

Nana itu wanita yang menakjubkan. Berbakat, tubuhnya tinggi, dan dia juga sangat anggun. Aish~ aku suka sekali.” mengingat perkataan Chan Yeol saat itu, hanya dapat membuat hatinya semakin retak.

“Maaf aku bukanlah wanita yang menakjubkan, berbakat, bertubuh tinggi, ataupun anggun.” lirihnya, hampir terdengar seperti bisikan. Gadis bermarga Choi itu meraih tas glamour yang baru saja ia dapatkan dari temannya beberapa hari yang lalu. Kemudian memutuskan untuk segera pergi keluar, Chan Yeol baru saja mengiriminya pesan singkat.

Aku di Taman Kota.

***

Chan Yeol mengerjapkan matanya berkali-kali ketika melihat sosok Jin Ri yang sedang menghampirinya. Gadis itu tampaknya kesusahan berlari, makanya ia hanya berjalan pelan. Pemuda jangkung itu merasa ada yang aneh dengan gadisnya hari ini.

Setelah gadis kesayangannya itu berdiri tepat di hadapannya, Chan Yeol segera berrtanya. “Ada apa denganmu, Sayang?” pemuda itu menyentuh wajah Jin Ri menggunakan tangan kanannya, seperti sedang memastikan bahwa saat ini Jin Ri tidak sedang terserang penyakit.

“Apanya yang ada apa?” ketus Jin Ri sembari mengusap peluh yang menetes dari pelipisnya. Chan Yeol memiringkan kepalanya heran. Untuk beberapa detik, matanya mulai menyadari bahwa hari ini Jin Ri sangat …

“Kau sangat berbeda pagi ini,” Chan Yeol terkekeh pelan, membuat Jin Ri mengerutkan kening heran.

“Apa yang kau tertawakan? Oh, kau benar. Aku memang sangat berbeda hari ini. Kau lihat? Aku cantik, bukan?” Jin Ri merentangkan kedua tangannya, seolah sedang memperlihatkan segala yang ada pada dirinya. Chan Yeol memandang gadisnya dari atas hingga bawah.

Memang benar, Jin Ri sangat cantik hari ini. Wajahnya terpoles bedak yang sedikit tebal dari biasanya, matanya terhias eyeliner hitam pekat, sedangkan bibirnya  berwarna peach. Chan Yeol yakin bibir peach itu adalah warna palsu. Seperti yang Chan Yeol ketahui, warna asli bibir Jin Ri adalah pink dan bukan peach. Dengan ini Chan Yeol membatin curiga,

Jangan-jangan Jin Ri memakai lipstik? TapiLipstik kan benda yang paling Jin Ri benci.”

“Chan Yeol-ah. Kau dengar aku tidak?” suara Jin Ri membuyarkan lamunan Chan Yeol. Pemuda dengan kemeja putih yang menutupi tubuhnya itu menoleh, dan mendapati wajah kekasihnya yang sedang cemberut.

“Ah, ya? Tadi kau bilang apa?” Chan Yeol menyahut dengan wajah bodohnya. Jin Ri mengerang frustasi. “Aku bilang, aku ingin ke Lotte World.” Mendengar permintaan kekasihnya,  Chan Yeol segera menampilkan senyum menawannya, lantas jemari rampingnya menarik lengan Jin Ri.

***

Hari sudah mulai siang, pemuda dengan marga Park itu baru saja kembali setelah membeli tiket masuk Lotte World, sedangkan Jin Ri sedari tadi menunggu Chan Yeol di pinggir trotoar.

Ketika Chan Yeol sudah mendapatkan tiket masuknya, pemuda itu mulai merajut langkah ke arah Jin Ri dengan wajah sumringah, ia berharap kekasihnya akan tersenyum setelah melihat dua tiket masuk yang mereka inginkan sejak tadi pagi. Namun Chan Yeol malah mendapati kekasihnya itu sedang berjongkok di pinggir trotoar, kepalanya ia tundukkan dalam-dalam.

Chan Yeol menatap kekasihnya khawatir. “Sayang, kau kenapa?” Chan Yeol menyimpan dua tiketnya ke dalam saku celana, kemudian ikut berjongkok di hadapan Jin Ri. Gadis itu sepertinya sedang memegangi kedua kaki. Chan Yeol mengikuti arah pandang Jin Ri.

Dilihatnya kaki putih Jin Ri yang memerah dan lecet. Chan Yeol melebarkan kedua kelopak matanya ketika melihat bahu gadis itu bergetar. Dengan gerakan cepat, pemuda itu segera menarik dagu Jin Ri, hendak melihat wajahanya.

Hati Chan Yeol mencelos, mendapati wajah sang kekasih yang basah terkena air mata. Kerumunan orang yang sedang berlalu-lalang di dekat mereka sama sekali tidak mengganggu  Chan Yeol. Justru air mata Jin Ri–lah yang membuatnya tidak tenang. Sebenarnya pemuda itu masih bingung, mengapa gadisnya menangis?

“Hiks … Aku tidak bisa berdiri, hiks … Chan Yeol-ah.” ketika menyadari bahwa seseorang yang berada di hadapannya adalah kekasihnya, Jin Ri segera memeluk leher Chan Yeol erat. Chan Yeol sedikit tidak nyaman dengan posisi mereka yang masih berjongkok sampai saat ini.

Chan Yeol mengerjapkan matanya berkali-kali ketika mendengar isakan tertahan yang berasal dari Jin Ri. Hatinya kini retak menjadi serpihan debu hanya karena mendengar isakan Jin Ri.

“Hiks … Sepatuku.” Mendengar kata itu, Chan Yeol segera mengalihkan pandangannya ke arah sepatu Jin Ri. Mata Chan Yeol melebar ketika melihat sepatu dengan heels tinggi itu seakan mengikat erat kaki putih Jin Ri.

“A–ada apa dengan sepatumu, Jin Ri?” tanya Chan Yeol dengan tergagap. Jin Ri melepas pelukannya, sedangkan isak tangisnya semakin keras. “Se–sepatuku, hiks … sempit.”

Chan Yeol membelalak ketika menyadari suatu hal. Ah, ternyata sepatu itu menyiksanya. Chan Yeol tak mau membuang-buang waktu, akhirnya dengan cekatan, pemuda itu menggendong Jin Ri di punggungnya. Hendak membawa gadis itu ke suatu tempat.

***

Chan Yeol duduk di atas sofa apartemen Jin Ri. Sekitar satu jam yang lalu, pemuda itu baru saja melihat kaki gadisnya yang dipenuhi luka merah dan lecet-lecet. Terpaksa, Chan Yeol harus mengantar gadis itu pulang ke apartemennya, karena tidak mau membuat kaki Jin Ri semakin tersiksa. Saat ini, ia sedang menunggu Jin Ri mengganti pakaian serta sepatunya di dalam kamar.

Ceklek.

Chan Yeol menatap puas ke arah Jin Ri yang baru saja keluar dari kamarnya. Gadis itu tampak lebih cantik sekarang, setidaknya itu menurut Chan Yeol. Yeah, menurut Chan Yeol. Tak ada lagi Choi Jin Ri yang lebih cantik dari sekarang. Lihatlah, saat ini wajahnya hanya terpoles bedak tipis.

Hanya bedak tipis? Of course. Tidak ada lagi yang namanya eyeliner hitam pekat dan lipstik berwarna peach, hanya ada bedak tipis yang menghiasi wajah cantiknya kali ini.
Tidak ada rambut bergelombang lagi, hanya ada rambut berwarna hitam kecokelatan khas milik Choi Jin Ri.
Tidak ada lagi high heels perak yang merekat di telapak kaki Jin Ri, hanya ada sepasang sepatu converse pemberian Chan Yeol.

Gaun putih tipis yang sebelumnya Jin Ri kenakan kini telah tergantikan oleh pakaian yang lebih simpel. Ia terlihat lebih manis saat ini. Kalian tidak akan tahu seberapa manisnya Jin Ri ketika tubuhnya dibalut dengan kaus tipis berwarna putih favoritnya. Ditambah dengan rok pendek berwarna hitam yang tampak cocok dikenakan olehnya.

Chan Yeol mengulas senyum ketika melihat Jin Ri yang sedang berjalan menghampirinya, gadis itu menyampirkan tas selempang yang –lagi-lagi– ia dapatkan dari Chan Yeol. Kemana tas glamour miliknya itu? Haih, tidak ada waktu untuk memikirkan tas mahal tersebut.

“Chan Yeol-ah, maaf kau harus menunggu.” Ujar gadis itu ketika sudah berdiri di hadapan Chan Yeol yang sedang duduk di sofa ruang tengah apartemen Jin Ri. Chan Yeol segera bangkit dari duduknya begitu melihat Jin Ri yang sudah berada di hadapannya.

Gwaenchana,” gumam Chan Yeol, namun dapat didengar oleh Jin Ri. Gadis itu sedikit mendongakkan kepalanya ketika ingin menatap wajah Chan Yeol.

“Kau terlihat lebih cantik, Jin Ri-ya.” Chan Yeol kembali berkata, diikuti oleh ulasan senyum lembut yang menghias wajah tampannya. Jin Ri kembali menundukkan kepala ketika mendengar ucapan Chan Yeol.

“Ya sudah. Ayo kita kembali ke Lotte World,” ujar Chan Yeol lagi, bermaksud untuk melanjutkan kencan mereka yang sempat tertunda satu jam.

***

Chan Yeol melirik wajah Jin Ri yang sedang memandang ke arah luar kaca gondola. Gadis itu tampak murung saat ini. Ah, lebih tepatnya … Gadis itu tampak murung setelah insiden sepatu heels yang menyiksa kakinya tadi siang itu. Dan kemurungan Jin Ri semakin menjadi, setelah Chan Yeol membawanya pulang ke rumah dan meminta gadis itu untuk berganti pakaian serta sepatu.

Chan Yeol mengusap kepalanya yang tidak gatal, kemudian membuang napas berat. Ia benar-benar bingung dengan kelakuan gadisnya hari ini. Ayolah, hari ini adalah hari kencan mereka. Chan Yeol hanya ingin bersenang-senang dengan Jin Ri.

Apa yang Chan Yeol dapatkan hari ini benar-benar membuatnya bingung setengah mati. Diawali dengan kejadian pagi ini, dimana ia menemukan sosok Jin Ri yang tampil berbeda. Terkesan lebih … elegance dari biasanya.
Kemudian siang ini ia mendapati kekasihnya yang sedang menangis dengan posisi berjongkok di pinggir trotoar sembari memegangi sepasang kakinya yang memerah dan lecet.

Lalu sekarang? Apa ia harus mendapat hal membingungkan lagi malam ini? Di kapsul gondola ini? Huft~ melihat wajah murung Jin Ri membuatnya seakan tersiksa. Sebenarnya apa yang membuat gadis itu tampak murung?

“Hey,” Chan Yeol menusuk-nusuk pipi chubby sebelah kiri milik Jin Ri dengan jari telunjuknya. Jin Ri tak menyahut, bahkan menoleh pun tidak ia lakukan. Chan Yeol menghela napasnya sejenak, kemudian kembali memanggil Jin Ri.

“Jin Ri-ya~” kali ini nada bicaranya merengek. Jin Ri akhirnya menoleh kearah sosok pemuda berwajah bayi yang sejak dulu ia cintai itu.

“Kau kenapa?” tanya Chan Yeol seraya mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Jin Ri. Pemuda itu mengusap kepalanya lembut. Jin Ri membiarkan tangan Chan Yeol bermain-main di atas kepalanya.

“Aku …” Jin Ri hampir saja berkata, jika saja lidahnya tidak terasa kelu saat ini. Gadis bermarga Choi itu menundukan kepalanya.

“Hm?” Chan Yeol menuntut kelanjutan dari satu kata yang diucapkan Jin Ri barusan. Pemuda itu tak menghentikan kegiatannya mengusap kepala Jin Ri.

“Kenapa Chan Yeol menyuruhku untuk mengganti pakaian dan sepatu yang aku kenakan tadi siang?” pertanyaan itu meluncur begitu cepat dari mulut Jin Ri, membuat pergerakan Chan Yeol terhenti seketika. Chan Yeol mendadak bungkam.

“Kenapa? A–apakah Chan Yeol tidak suka?” tanya gadis itu lagi. Mungkin sebelumnya gadis itu bertanya dengan kepala tertunduk. Namun kali ini tidak, gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap wajah Chan Yeol dalam. Memperlihatkan mata cokelat gadis itu yang selalu tampak berbinar.

Chan Yeol mengerjap beberapa kali. Tiba-tiba saja ia sedikit paham dengan alasan dari kemurungan Jin Ri malam ini.

“Chan Yeol-ah! Jawab aku,” suara Jin Ri sepertinya telah memecah lamunan Chan Yeol. Pemuda itu kembali menatap wajah Jin Ri. Wajah murung milik Jin Ri telah memenuhi pandangannya.

“M–mwo? Apa yang kau bicarakan? Aku sangat suka dengan penampilanmu tadi pagi, Sayang.” Chan Yeol kembali pada kesadarannya. “Lalu … Kenapa kau memintaku untuk pulang ke apartemen tadi?” tanya Jin Ri lagi, seolah sedang menginterogasi.

Chan Yeol membuang napas panjang sebelum menjawab, “Aku tahu kau tersiksa.” Balas Chan Yeol singkat. Jin Ri menaikkan alisnya bingung.

“Tersiksa apa …”

“Tersiksa karena pakaianmu, make up-mu, dan yang paling membuatmu tersiksa adalah … Sepatumu bukan?” sela Chan Yeol cepat. Jin Ri mengedip satu kali ketika mendengar perkataan Chan Yeol.

“…” Jin Ri membisu seketika. Batinnya memang mengatakan ‘YA’ akan tetapi tidak mungkin ia mengatakan hal tersebut bukan?

“Bagaimana mungkin aku …” Jin Ri tidak mau melanjutkan kalimatnya ketika merasakan pergerakan tangan Chan Yeol di atas kepalanya terhenti. Gadis itu memandang Chan Yeol yang sedang berdiri, tampaknya ia tidak peduli pada fakta bahwa saat ini mereka masih berada di dalam kapsul gondola.

“Apa yang kau lakukan?” pertanyaan Jin Ri tidak digubris oleh Chan Yeol sama sekali. Pemuda itu lantas berlutut di hadapan Jin Ri, yang sampai saat ini masih dalam posisi duduk. Hal itu mengakibatkan tinggi badan mereka tampak sejajar.

“Jin Ri-ya, sebenarnya … Kenapa kau melakukan ini semua?” Chan Yeol bertanya setelah ia menggenggam erat kedua tangan Jin Ri. Jin Ri mengerucutkan bibirnya ketika mendengar pertanyaan Chan Yeol.

“Yak! Kenapa kau bertanya seperti itu?” Jin Ri menarik sebelah tangannya yang masih digenggam oleh Chan Yeol, lantas segera menoyor dahi pemuda itu. Chan Yeol terkekeh pelan menerima perlakuan gadisnya.

“Hey. Aku tanya, kenapa kau melakukan ini semua, Sayang?” Chan Yeol beralih mengusap pipi Jin Ri.

“A–aku …” Jin Ri menundukkan kepalanya, tak mampu melihat ekspresi Chan Yeol saat ini.

“Ya? Katakan saja, aku tidak akan marah kok.” Kata Chan Yeol menenangkan. Setelah mendengar perkataan Chan Yeol barusan, gadis itu segera berkata dengan suara pelan.

“Aku … Ingin seperti Im Nana,”

Penuturan singkat yang diucapkan Jin Ri sontak membuat tubuh Chan Yeol kaku. Matanya membelalak seketika. Siapa itu Im Nana? Bahkan Chan Yeol sudah lupa dengan nama itu. Otaknya berputar-putar, seakan sedang mencari-cari jawaban yang tepat. Tunggu, Im Nana itu

“Chan Yeol bilang bahwa Nana itu cantik, tinggi, dan anggun.”

Lagi. Jin Ri kembali menjelaskan. Seakan membantu Chan Yeol yang sedang mengingat-ingat siapa itu Im Nana? Kali ini Chan Yeol tidak perlu memutar otaknya lagi. Yah, ia sudah paham semuanya, betapa ia mengenal sosok gadis di hadapannya ini.

“Dan … Aku ingin mencoba menjadi seperti Im …”

Jin Ri tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, begitu merasakan pinggangnya tertarik ke depan, sedangkan dagunya bertabrakan dengan bahu lebar Chan Yeol. Jin Ri tidak menyangka kalau Chan Yeol akan memeluknya saat ini.

“Apa yang kau lakukan? Kau ingin terlihat seperti Im Nana, hm?” tanya Chan Yeol. Pemuda itu mengistirahatkan kepalanya di atas pundak Jin Ri. Gadis bermata besar itu diam, merasakan embusan napas Chan Yeol yang hangat menerpa kulit lehernya.

“Kau pikir dengan begitu aku akan semakin jatuh cinta padamu?” tanya Chan Yeol lagi. Kali ini Jin Ri merespon dengan anggukan kecil yang dapat dirasakan oleh Chan Yeol. Pemuda itu tertawa ketika mendapat jawaban dari Jin Ri.

So what? Chan Yeol bahkan harus bersusah payah memikirkan segala hal aneh yang terjadi pada gadisnya hari ini. Kembali ditekankan, keanehan pada hari iniyeah, sejak pagi tadi hingga malam ini. Well, semua keanehan itu tampaknya sudah terjawab sekarang.

Perlahan, Chan Yeol melepaskan pelukannya. Dan beralih menatap mata Jin Ri lekat-lekat. “Kau tahu … Apa yang membuatku jatuh cinta padamu, hm?” tanya Chan Yeol seraya menyelipkan jalinan rambut Jin Ri ke belakang telinga gadis itu. Jin Ri menggelengakan kepalanya sebagai respon.

Chan Yeol tersenyum kecil sebelum melanjutkan aktivitasnya. Jin Ri refleks memejamkan matanya ketika merasakan jemari ramping Chan Yeol menyentuh kelopak matanya.

“Mata ini … Selalu berbinar terang ketika melihat wajahku.” Chan Yeol kembali memulai perkataannya. Meski sebenarnya ia sedikit tidak nyaman dengan posisinya saat ini. Ayolah, siapa yang akan merasa nyaman jika kau berada di posisi Chan Yeol? Berlutut di hadapan sang kekasih mungkin merupakan posisi paling romantis yang pernah ada. But

Can you imagine it? Berlutut di dalam kapsul gondola yang sedang bergerak bukanlah hal yang menyenangkan bagi Park Chan Yeol, oke?

“Pipi ini,” Chan Yeol membawa tangan kanannya menuju pipi kiri Jin Ri. Diusapnya pipi milik kekasihnya itu perlahan. “Pipi ini sering memerah sendiri. Dan itu benar-benar manis menurutku.” Sambung Chan Yeol dengan senyum cerah.

Jin Ri tiba-tiba saja menundukkan kepalanya setelah mendengar ucapan Chan Yeol. Sedangkan Chan Yeol tertawa keras melihat rona merah yang memenuhi pipi Jin Ri. Seperti yang Chan Yeol bilang, bukan? Jin Ri memang sangat manis ketika sedang merona.

“Oh, dan apa lagi? Selain mata dan pipi? Ah~ aku hampir lupa! Tanganmu.” Chan Yeol memekik riang seraya menyatukan jemarinya dengan jemari ramping milik Jin Ri. “Tanganmu itu kecil, dan ukurannya jadi terasa sangat … pas di tanganku.” Tutur Chan Yeol menatap lekat tautan tangan mereka.

Jin Ri sadar, sejak tadi ia hanya dapat terdiam mendengarkan setiap kata yang dilontarkan oleh kekasihnya.

“Apa lagi, ya? Huft~ aku bingung, Sayang.” Chan Yeol bangkit dari posisinya, kemudian kembali ke tempat semula, duduk di sebelah Jin Ri. “Masih terlalu banyak yang aku suka dari Jin Ri. Kau tahu … Jin Ri tak memerlukan barang-barang mewah untuk mempercantik wajah ataupun gayanya.” Pemuda itu menatap ke arah luar jendela dalam kapsul gondola. Langit kota Seoul tampak indah dihias dengan sinar bintang. “Karena … Ia sudah lebih dari cantik ketika mengenakan pakaian casual, bedak, sepatu converse dan tas selempang.” Chan Yeol melanjutkan kalimatnya. “Ia sudah lebih cantik seperti itu. Sebagai Choi Jin Ri yang sebenarnya.”

“Chan Yeol.” Jin Ri memanggil nama kekasihnya setelah menaruh kepala di atas bahu pemuda tersebut. Chan Yeol menggumam kecil untuk menjawab panggilan Jin Ri.

“Maafkan aku karena sudah bertele-tele. Ah, aku lebih dari sekedar bertele-tele, tapi juga berlebih-lebihan. Maafkan aku.” gadis itu memejamkan matanya yang terasa berat. Chan Yeol melirik Jin Ri sebentar, kemudian mengulas senyum terbaiknya.

“Kau tidak salah, Sayang. Maafkan aku karena tidak mau menghargai kerja kerasmu.” Chan Yeol merangkul pundak Jin Ri ketika merasakan tangan gadis itu mulai melingkari pinggangnya.

Kekehan kecil meluncur dari mulut Jin Ri. Gadis itu membuka kelopak mata, dan segera mengarahkan lensa matanya ke luar jendela. “Aku bersumpah tidak akan berlebih-lebihan lagi setelah ini.” Jin Ri mengangkat sebelah tangannya, seolah sedang bersumpah.

Chan Yeol mengerjapkan matanya melihat sumpah dari sang kekasih. “Kau benar-benar bersumpah? Apa nanti saat kita menikah kau tidak mau mengenakan gaun, heels, dan make up? Lalu kau mau menikah dengan pakaian biasa, begitu?”

Mendengar pertanyaan beruntun dari Chan Yeol membuat Jin Ri mengerucutkan bibir. “Tadi katanya aku tidak memerlukan barang-barang mewah untuk …”

“Iya, Sayang. Tapi bukan berarti kau tidak boleh menggunakannya. Aku hanya bilang tidak perlu.” Sela Chan Yeol tanpa melepas rangkulannya di pundak Jin Ri. Gadis itu juga tampak enggan mengangkat kepalanya dari bahu Chan Yeol.

“Berarti kalau kita menikah, aku akan mengenakan heels lagi?” tiba-tiba Jin Ri bertanya dengan mata berbinar. Chan Yeol menggelengkan kepalanya menghadapi sifat labil Jin Ri.

Ne. Tapi pilihlah sepatu yang ukurannya pas, oke? Jangan sampai kesempitan lagi.” Chan Yeol mengingatkan seolah-olah pernikahan itu akan dilaksanakan lusa.

Jin Ri mengangguk riang. Semua beban, kemurungan, dan segala hal yang mengganjal hatinya kini sudah menguap entah kemana. Chan Yeol akan selalu membuatnya riang. Ia tahu itu.

Lewat kejadian ini … Jin Ri mendapat banyak pelajaran. Sangat banyak, bahkan sampai ia bingung harus memulai dari mana. Satu yang pasti selalu ia ingat adalah.

Sosok Park Chan Yeol selalu mencintai dirinya yang sebenarnya. Park Chan Yeol selalu mencintai Jin Ri sepenuh hati. Mengingat fakta ini hanya dapat membuat Jin Ri tersenyum. Ia tak dapat menggambarkan betapa bahagianya memiliki kekasih seperti Park Chan Yeol.

END

***

[A/N] : Hanya ingin meminta maaf apabila FF-nya sangat absurd dan jelek. Aku buatnya ekstra ngebut dan gak mikirin konfliknya. Yang penting ChanLi aja, pasti selalu jadi. Yaaa, meski jadinya aneh sih. Tapi biarin deh. Silakan komen jika berkenan ^^
Giant Babies, Shaza – Spark

 

 


Beauty & Beast – Chapter 15 [Final Chapter]

$
0
0

12345678932

Beauty & Beast – Chapter 15 [Final Chapter]

Author: Choi Seung Jin @kissthedeer

Genre: Fantasy, Historical, Supernatural, OOC, AU

Leght: Chaptered

Main Cast:

EXO in English Name

Other Cast:

Minho of SHINee as Minho

Sulli of f(x) as Sulli

Henry as Henry

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8 | Chapter 9 | Chapter 10 | Chapter 11 | Black Pearl | Chapter 12 | Chapter 13 | Chapter 14

Keterangan:

[Bold+Italic = bagian rencana sekaligus flashback]

****

Minho berdiri di tengah lahan lapang yang sangat luas di hutan. Dengan semua pasukannya yang telah siap diposisi mereka, menunggu saat-saat dimana para manusia serigala itu muncul di medan perang. Mungkin rencana pertamanya gagal, namun dia tidak akan membiarkan rencana-rencananya yang lain juga gagal. Dia harus mendapatkan apa yang dia mau hari ini juga karena dia yakin para Wolf Boys itu tidak bisa melawannya.

“Kepala sekolah mereka sudah mati. Apalagi yang mereka tunggu,” gumam Minho.

Semakin lama, semakin terasa sepi. Tak terdengar lagi suara-suara binatang hutan yang biasa memenuhi gendang telinga. Perang benar-benar akan dimulai tak lama lagi. Perang antara vampire dan werewolf yang terkenal epic dalam setiap dongeng lokal yang selalu dibaca.

“Jadi begini rencananya. Kita akan membuat serangan secara tak langsung. Kita hindari dulu kontak secara langsung. Kita tidak akan memakai strategi dari Paman George untuk permulaan,” kata Kevin. “Alex, apa kau bisa memproyeksikan kekuatanmu?”

“I think so,” jawab Alex yakin.

“Good. Kita juga butuh kekuatan petir Donald. Kita akan kirim mereka petir. Petir yang besar!”

Minho masih menunggu tanpa sedikitpun rasa bosan. Menunggu berberapa menit saja akan tergantikan dengan sejuta tahun memiliki kekuatan besar. Keinginannya memiliki 12 kekuatan terbesar di bumi ini sangat besar hingga dia tidak dapat menahan dirinya sendiri. Namun dia harus sedikit bersabar.

.

.

DUAAR!!

.

.

Petir besar muncul tiba-tiba dan menyambar berberapa vampire. Hal itu membuat Minho tersadar dari lamunannya dan terkejut bukan main. Perang sudah dimulai! Mata vampire Minho mencoba mencari asal dari petir besar barusan. Namun dia tidak menemukan apapun selain pepohonan besar yang mengelilingi lapang luas itu.

.

.

DUAAR!!

.

.

Serangan kedua! Minho mulai geram dengan serangan tak bertuan yang sudah dua kali menyerang pasukannya. Dia berusaha mencari dengan teliti kesetiap sudut hutan yang bisa ia jangkau dengan penglihatan vampirenya yang super. Lagi-lagi dia tidak menemukan apa-apa.

Tak kehabisan akal, Minho menggunakan sihirnya dengan sekali lambaian yang meluas yang mampu dijangkaunya. Dan sesuai dengan prediksinya, dia menemukan sebuah portal teleportasi yang tak bisa dilihat oleh mata biasa.

Licik, batin Minho dengan senyum sinis menatap portal itu.

“Bagaimana Minho menyadari kita menggunakan proyeksi portal teleportasi?” tanya Richard ragu.

“Jika Minho tahu dan sampai menyuruh pasukannya melewati portal itu, Alex akan mengubah arah teleportasinya tepat di atas mereka,” ujar Kevin.

“Maksudmu diatas mereka itu kau akan menjatuhkan mereka dari ketinggian bermeter-meter dengan cara menteleportasikan mereka?” tanya Will yang mulai menangkap maksud dari rencana Kevin.

“Tepat sekali!”

Minho menggerakkan tangannya ke arah portal sebagai signal kepada pasukan untuk pergi melewati portal itu, maka 5 dari mereka pergi melewati portal itu. Satu-persatu vampire itu hilang saat memasuki portal itu. Namun tak lama kemudian terdengar teriakkan dari atas yang membuat Minho menengol ke atas kepalanya. Kelima anggota pasukannya jatuh dari ketinggian sekitar 100 meter.

Minho menyadari portal itu hanya jebakan dan hal itu membuat marah. Bisa-bisanya dia dipermainkan oleh bocah 17 tahun dengan mudah dan konyol. No more play, kids!

“Karena aku yakin Minho pasti akan marah besar saat tahu kita pemainkan, saat itu kita mulai menyerah. Kita akan menggunakan strategi Paman George untuk meletakkan kekuatan terkuat di garis depan,” kata Kevin.

“Is that mean aku yang pertama maju?” tanya Richard.

“Yeah!” ucap Kevin semangat. “Setelah itu kita semua akan menyerang.”

“Let’s burn them!”

Secara serentak, 11 serigala raksasa berteleportasi dan muncul ditengah-tengah medan perang. Mereka berlari dan menyerang dengan dipimpin oleh The Hell Wolf yang sudah diselimuti oleh api yang sangat panas. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pasukan vampire juga menyerang sehingga terjadi sebuah pertarungan.

Richard menghantam setiap vampire yang menyerangnya dan membakar mereka hidup-hidup. Donald dan Thomas segera melanjutkan penyerangan Richard dengan menghancurkan vampire yang sudah terbakar. Sesuai dengan rencana, banyak vampire yang berhasil dilumpuhkan.

Minho mulai murka. Dia menyuruh Henry—orang yang paling ia percaya—untuk menangani para serigala. Banyak dari rencananya yang gagal total. Mungkin dia memang masih punya berberapa rencana cadangan yang pasti akan sangat berguna untukya.

Henry berhadapan langsung dengan Bernard dan Francis. Dua lawan satu. Seharusnya mudah bagi kedua serigala itu untuk mengalahkan Henry yang hanya sendiri. Namun jika mereka berpikir begitu, mereka salah.

Bernard menerkam Henry dengan sekali lompatan, namun Henry berhasil menghindar dari serangan mematika itu. Memanfaatkan kelengahan Henry, Francisn melanjutkan serangan dengan menerkam lagi. Henry terjatuh dengan seekor serigala raksasa putih diatasnya yang siap mencabik-cabiknya dengan taringnya yang tajam. Dengan segala kekuatannya, Henry berusaha menahan rahang besar itu supaya tidak menghancurkan tubuhnya.

Henry berusaha mencari cara supaya terlepas dari amukan serigala Francis. Dengan sekali pukulan keras, Henry berhasil mengenai wajah serigala itu hingga Francis terpental dan terseret selama berberapa meter. Melihat temannya berhasil dibuat tumbang, Bernard ingin membalas serangan pada Henry. Cakarnya yang besar mampu membalas pukulan dan bekar cakar yang cukup besar pada tubuh Henry.

Tidak berakhir sampai disitu. Henry kembali melayangkan pukulan  full power pada tubuh Bernard. Pukulan itu sangat keras hingga membuat Bernard terpental dan tumbang seketika. Rasa sakit menyerangnya akibat pukulan vampire yang diterimanya. Tak bisa dibayangkan seberapa besar kekuatan yang dipakai Henry hinnga membuatnya lawannya kalah mutlak seperti itu.

Edison adalah orang pertama yang menyadari bahwa dua dari temannya telah tumbang. Kesempatan itu akan dipakai Minho untuk mengambil kekuatan mereka dan Edison tidak bisa membiarkan itu. Dia berlari sangat cepat ke arah Henry—yang terlihat ingin menyerahkan Bernard dan Francis kepada Minho. Dalam berberapa langkah Edison melompat dan langsung kembali ke wujudnya yang semula—manusia. Ditangannya muncul sebuah pedang yang merupakan miliknya. Edison mendarat dengan pedangnya yang telah menancap lurus pada jantung Henry dan dengan sekali gerakan, Edison menarik keluar pedangnya.

Seketika Henry hancur menjadi abu sebelum dia sendiri menyadari bahwa dia telah musnah dengan pedang yang telah dicampur dengan perak itu. Henry telah mati dan melihat itu, Minho sangat murka karena orang kepercayaan telah musnah ditangan musuhnya. Dia maju untuk menyerang Edison. Edison yang tahu didepannya berlari seorang vampire berkekuatan sihir, melemparkan lurus pedanganya ke arah dada Minho dan berharap bahwa lemparannya akan tepat sasaran. Namun Minho dengan cepat menghindar dan berlari semakin cepat ke arah Edison.

Serigala Mike menabrak tubuh Minho tepat saat jarak pria itu hanya berberapa meter lagi dari Edison. Minho terseret cukup jauh bersama dengan Mike. Sebelum Minho bangun, Mike menggunakan kekuatannya untuk membekukan tanah yang berada di sekitar Minho yang juga ikut membekukannya. Kaki Minho tak bisa digerakkan akibat membeku bersama tanah yang ikut membeku. Hal itu dimanfaatkan Mike untuk kembali menyerang. Namun sebelum Mike mencapai Minho, 2 vampire menangkap tubuh besar Mike—mencoba melindungi Minho.

Kekuatan vampire yang besar berhasil membuat Mike tidak bisa berbuat banyak saat tubuhnya ditahan diatas tanah hutan yang lembab. Seberapa besar usaha Mike untuk lepas, namun semuanya hanya sia-sia saja. Kevin berusaha membantu dengan menyingkirkan dua vampire yang terus mengunci Mike supaya tetap berada diatas tanah. Kali ini Mike berhasil lepas dan terjadi pertarungan dua lawan dua.

Dengan sekali gerakan, Kevin berhasil menjatuhkan lawannya dan mengunci kepalanya dengan rahangnya yang besar. Vampire itu berusaha menyingkirkan gigi-gigi Kevin yang telah mengelilingi lehernya, tapi sama sekali tidak berhasil. Dalam waktu yang singkat—berkat kekuatannya yang kuat luar biasa—vampire yang menjadi lawan bertempur Kevin telah kehilangan kepalanya. Vampire itu mati seperti boneka tanpa kepala akibat keganasan Kevin.

Mike dengan ganasnya mencabik-cabik tubuh vampire yang dilawannya hingga hancur seperti mencabik-cabik daging sapi. Vampire itu mati tanpa sempat melakukan serangan satupun pada Mike karena tubuhnya sekarang sudah menjadi oyakan daging yang menjijikan.

Edison kembali mengalihkan perhatiannya pada dua temannya—yang sekarang sudah berubah menjadi wujud asli mereka, manusia—terkapar di atas tanah. Dia panik karena melihat Bernard dan Francis yang terluka cukup parah akibat melawan Henry tadi. Dia harus melakukan sesuatu karena jika dibiarkan Minho akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil kekuatan Bernard dan Francis.

“WILL!!” Edison berteriak ke arah seekor serigala coklat yang sedang bertarung melawan dua vampire sekaligus.

Will berlari mengabaikan dua vampire yang sedang ia lawan—yang kemudian dilawan oleh Richard sebagai pengganti—menuju Edison, orang yang telah memanggil namanya. Dia berubah ke wujud manusianya, mengambil botol berisi ramuan ajaib pemberian Pak Jim dari dalam satu jaketnya.

“Cepat! Bantu mereka!” kata Edison dalam kepanikan.

Will menuangkan dua tetes ramuan itu ke dalam masing-masing mulut Bernard dan Francis. Dia juga menggunakan kekuatannya untuk menyembuhkan dua dalam mereka untuk mempercepat pemulihan.

“Beres,” ucap Will.

“Thanks!” kata Edison. Will mengangguk dan pergi untuk kembali ke medan perang dengan berubah menjadi wujud serigalanya lagi.

Bernard dan Francis mencoba berdiri saat mereka merasa badan mereka benar-benar sudah pulih. Mereka langsung bergabung kembali untuk melawan vampire-vampire itu yang kemudian diikuti oleh Edison juga kembali masuk ke medan perang tanpa merubah wujudnya. Dia mengandalkan pedangnya yang terbuat dari campuran perak untuk melawan musuh-musuhnya.

Jumlah vampire yang dilawan oleh kesebelas Wolf Boys lama kelamaan berkurang. Namun sialnya, sekawanan vampire datang dan menambah kembali jumlah vampire yang ikut bertarung yang jumlahnya hampir 2 kali lipat dari jumlah pasukan pertama. Pasukan itu datang menyerbu sebelas serigala yang sedang bertarung. Keadaan ini semakin menyusahkan karena Minho ternyata telah meyiapkan pasukan tambahan untuk melawan para Wolf Boys.

Richard mulai kewalahan dengan vampire-vampire yang dilawannya. Meskipun seluruh tubuhnya sudah diselimuti oleh api yang panas, tapi jumlah vampire yang dilawannya terlalu banyak. Begitu pula Donald dan Stephan yang kekuatannya tidak bisa berpengaruh banyak dengan jumlah vampire yang mereka lawan. Posisi mereka mulai terdesak.

Thomas melihat kesepuluh temannya mulai terpojok. Richard yang dimana apinya telah padam—tak bisa melakukan apa-apa saat 4 vampire memegangi tubuhnya. Dia juga melihat berberapa vampire mencoba mengendalikan Kevin yang mulai mengamuk. Thomas mulai geram dan marah saat teman-temannya sudah tidak berdaya. Tanpa pikir panjang, Thomas kembali ke bentuk manusia. Dengan seluruh kekuatannya, dia memukul permukaan tanah sekuat-kuatnya.

Tanah berguncang seperti ada gempa besar. Retakan besar tebentuk panjang diatas tanah hutan. Tanah terbelah menjadi dua, membentuk lubang besar yang menganga lebar dengan larva panas didasarnya. Sebuah lubang maut tercipta hanya dalam hitungan detik saja berkat kekuatan Thomas yang luar biasa besar. Dan kemudia Thomas menangkap seorang vampire didekatnya dan melempar vampire itu denga sekali tarikan ke dalam lubang mematikan itu. Maka vampire itu akan mati dalam nereka dunia buatan Thomas.

Berberapa vampire terjatuh ke dalam lubang itu akibat guncangan pertama tadi dan mengurangi jumlah vampire hingga hampir setengahnya. Mereka mati seketika dan meleh dalam larva yang sangat panas. Kesempatan untuk melawan kembali terbuka bagi para Wolf Boys.

Donald meraih vampire yang daritadi menyerangnya dengan rahang besarnya. Dia melempar vampire itu ke dalam lubang. Hal itu membuat Wolf Boys lain melakukan hal yang sama dengan melempar vampire-vampire masuk lubang dengan dasar larva yang panas. Meskipun tidak semua vampire bisa mereka lempar ke dalam lubang, tapi setidaknya dengan begitu jumlah vampire tidak akan sebanyak tadi dan akan mudah untuk melawannya.

Alex kini mulai terdesak meski jumlah vampire yang dilawannya tidak sebanyak sebelumnya. Vampire-vampire itu terus memegangi tubuh Alex sekuat apapun Alex melawan. Pada awalnya dia berpikir untuk menjatuhkan semua vampire yang dilawannya ke dalam lubang seperti yang dilakukan oleh teman-temannya yang lain. Namun akan sulit jika vampire-vampire itu terus menahan tubuhnya. Dia berusaha berpikir dan mendapati bahwa hanya ada satu cara untuk melakukan hal itu.

Alex berjalan dengan vampire-vampire yang masih memegangi tubuhnya. Dia mendorong vampire-vampire itu menuju lubang kematian yang menganga lebar di depannya. Dengan tenaganya, dia membawa semua vampire yang menahan tubuhnya menuju kematian mereka. Dan pada akhirnya, Alex melompat masuk ke dalam lubang bersama semua vampire yang bersamanya.

“ALEEEEEX!!!!” teriak Thomas yang melihat kejadian itu. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri sahabatnya melakukan tindakkan gila dengan mengorbankan dirinya sendiri. Tindakan yang sunggup diluar akal sehat dan membuat Thomas shock berat.

“Aku tidak akan segila itu.”

Thomas berbalik dan melihat Alex berdiri dibelakangnya. Dengan smirk andalannya, dia berhasil mengejutkan sahabatnya yang menyangka bahwa dia telah mati. Alex berteleportasi  tepat sebelum tubuhnya masuk ke dalam larva yang panas. Dia memang sudah berencana melakukan itu. Tapi dia tidak menyangka kalau akan ada orang yang panik setengah mati melihat aksinya.

“YOU’RE CRAZY!!” hardik Thomas marah.

“Yeah! I am crazy enough,” kata Alex santai. “Show must go on. Come on!”

Alex dan Thomas kembali merubah dirinya menjadi seekor serigala. Kembali ke pertarungan melawan vampire-vampire yang tersisa. Mengurangi jumlah vampire atau bahkan mengahabisi mereka semua akan mempermudah para Wolf Boys untuk melawan Minho pada akhirya.

Minho sendiri masih terjebak dengan kaki yang membeku—melihat pasukannya yang tadinya memimpin peperangan—mulai mengalami pengurangan akibat lubang besar yang terbentuk oleh Thomas. Dengan kekuatannya, dia berusaha melelehkan es yang menjebaknya.

Minho geram dan murka karena pasukkannya hampir mengalami kekalahan. Apa yang terjadi benar-benar berbeda dengan apa yang dia rencanakan. Kejadiannya benar-benar diluar perkiraanya. Pasukannya kini hanya tersisa kurang dari 50 orang. Jika keadaan ini terus dibiarkan, Minho akan kalah dan dia tidak akan mendapat apa-apa. Minho pun tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Dia berpikir, ini saatnya dia menggunakan rencana cadangannya. Meskipun terkesan lemah dan membuat dirinya terlihat seperti seorang pengecut, tapi demi keinginannya yang besar dia akan menggunkan rencana itu.

Edison masih tahan dengan wujud manusianya dan bertarung dengan pedangnya meski sebenarnya dengan cara itu akan sedikit lebih sulit daripada bertarung dengan wujud serigala. Tapi sepertinya Edison lebih menikmati posisinya yang seperti ini.

Di sisi lain, Kevin lebih memilih untuk membantu teman-temannya yang mengalami kesusahan saat melawan vampire daripada melawan vampire dalam pertarungannya sendiri. Tanpa kekuatan flight, tenaga yang dimilikinya hanya berarti sebagai tenaga bantuan. Maka dia lebih baik membantu dari pada melawan vampire sendiri.

“STOP!!”

Seseorang berteriak dan memerintahkan untuk menghentikan pertarungan yang sedang terjadi, maka semuanya berhenti seketika melakukan apa yang sedang mereka lakukan.

Minho berdiri, memegangi seorang perempuan bersama Sulli disebelahnya. Perempuan yang sudah ditawan Minho selama 2 minggu lebih yang merupakan salah satu bagian dari rencana Minho untuk mendapatkan apa yang ia mau. Wajah perempuan itu terlihat sembab karena sering menangis. Perempuan itu tak tahu apa-apa saat dia pertama kali ditangkap Minho sampai sekarang dimana dia berdiri diantara dua vampire yang sudah menahannya dan pemandangan medan pertempuran antara vampire dan 11 serigala raksasa.

Kesebelas Wolf Boys tercengang melihat siapa yang dibawa Minho. Mereka diam membeku saat mereka mengenali wajah perempuan itu. Mereka juga bingung bagaimana perempuan itu bisa terlibat sejauh ini yang bahkan perempuan itu sendiri tidak tahu apa-apa. Mereka semua kaget saat menyadari kalau Minho akan menggunakan perempuan itu sebagai taruhan, terutama Kevin.

Kevin yang semula berwujud serigala putih beruuran raksasa berubah ke tubuh aslinya sebagai manusia. Dia shock bukan main, menyadari perempuan yang selama ini menghilang ternyata disandera oleh Minho. Terlebih posisi perempua itu kini terancam nyawanya.

“Jessica?” ucap Kevin menyebut nama Jessica.

“Kevin.. Tolong aku.” Jessica menangis meminta pertolongan.

“LEPASKAN DIA!!” teriak Kevin.

Minho tersenyum sinis. Dugaannya tepat, tak meleset sedikitpun. Menahan pacar salah satu dari Wolf Boys memanglah tindakkan yang tepat. Dia berasa beruntung karena sempat memikirkan rencan ini jauh-jauh hari.

“Jika kau mau pacarmu ini selamat, kau dan teman-temanmu harus menyerah dan memberikan kekuatan kalian secara suka rela. Karena kalau tidak…” kata Minho mengancam.

“Dia akan jadi makan malamku,” ucap Sulli melanjutkan.

BRENGSEK KAU!” Kevin sudah tak tahan ingin mengoyak-ngoyak tubuh Minho jika Francis dam Will tidak menahannya. Dia geram jika Minho sudah main curang seperti ini. “JIKA KAU BERANI MELUKAINYA, AKAN KUHANCURKAN DAGINGMU!”

“Jika kau tidak menyerahkan kekuatanmu, justru pacarmu ini yang akan kuhancurkan dagingnya!” balas Minho menambah ancamannya.

“Kevin…” panggil Jessica memelas.

Kevin sudah tidak tahan lagi. Bisa-bisanya Minho menawan Jessica untuk mendapatkan kekuatan para Mortem. Sudah dia duga kejadian seperti ini akan terjadi. Seharusnya dia tidak pernah mendekati Jessica jika tahu kalau dia sendiri membahayakan nyawa perempuan yang ia cintai. Dan sekarang nyawa Jessica yang jadi taruhannya.

“Tidak ada yang bisa kalian lakukan sekarang. Kepala sekolah kalian sudah mati. Tidak ada yang akan membantu kalian,” kata Minho. “Menyerahlah!”

Wolf Boys terkejut saat tahu Pak Jim sudah tidak ada. Pastilah Minho yang membunuhnya. Hari itu benar-benar hari terakhir para Wolf Boys melihat Pak Jim dan ucapannya adalah kata-kata terakhir yang bisa mereka dengar. Mereka benar-benar terpojok kali ini, tidak bisa berbuat apa-apa.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Francis.

“Kita lakukan sesuai rencana kita,” jawab Kevin.

“Kita harus membuat rencana jika kita gagal dan terpojok. Misalnya kita sudah tidak bisa melawan lagi dan Minho menyuruh kita untuk meyerahkan kekuatan kita satu-persatu, maka aku adalah orang pertama yang akan meyerah pada Minho,” ujar Kevin.

Kevin berjalan perlahan dan tetap waspada ke arah Minho dan Sulli yang masih menaha Jessica. Kevin memberikan tatapan yang memberitahukan bahwa semua akan baik-baik saja pada Jessica. Dia bisa melihat air mata mengalir di pipi gadis itu dan itu membuatnya sakit didalam hatinya.

“Jika aku memberikan kekuatanku, bersumpah lah kau akan melepaskannya,” kata Kevin dengan tatapan penuh benci pada Minho.

“You have my word,” ucap Minho singkat. “Give me your hand!”

Kevin mengulurkan tangan kirinyanya ke arah Minho dan dan tangan kanannya ke arah Jessica. Jessica menyambut tangan itu dan menggenggamnya erat sambil berharap semua akan baik-baik saja. Mereka saling berpegangan tangan, mencoba menguatkan satu sama lain disaat yang menegangkan ini.

Minho bisa tersenyum puas penuh kemenangan sekarang karena 1 dari 12 kekuatan akan menjadi miliknya. Setelah mendapatkan 1 kekuatan, akan mudah untuk Minho mendapatkan 11 kekuatan yang lainnya dan kemenangan akan ada ditangannya.

Minho meraih pergelangan tangan Kevin dan mencoba mengambil kekuatan Kevin. Pegangan Kevin dan Jessica semakin kuat saat Minho menggunakan kekuatannya untuk menyerap kekuatan Kevin. Minho telah mengalirkan sihirnya supaya kekuatan Kevin berpindah padanya.

Namun, tidak terjadi apa-apa. Minho tidak merasakan ada kekuatan yang berpindah padanya.

“Satu-satunya orang yang tidak punya kekuatan adalah aku. Jadi saat Minho berpikir ingin mengambil kekuatanku, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Kenapa? Bingung?” ucap Kevin melihat wajah Minho yang kebingungan setengah mati. “Kau tidak akan mendapatkan kekuatan apapun karena aku sudah tidak punya kekuatan lagi.”

Kevin menarik tangan Jessica kuat sehingga pegangan Sulli terlepas begitu saja dari Jessica. Dia menangkap Jessica kedalam pelukannya saat Alex muncul dengan teleportasinya tepat dibelakang Kevin. Alex membawa Kevin dan Jessica pergi dari hadapan Minho dengan teleportasi sebelum Minho sadar.

Pertempuran kembali berlanjut tepat saat Kevin, Jessica dan Alex menghilang dari tempat mereka. Kemurkaan Minho sudah berada dipuncaknya. Untuk sekali lagi rencananya gagal total. Jessica yang seharusnya bisa jadi jaminan untuk semua kekuaan itu sudah berhasil direbut kembali oleh Kevin.

Bagaimana bisa dia tidak memiliki kekuatan lagi? Batin Minho bertanya-tanya.

Kalau sudah begini, Minho harus turun tangan sendiri menggunakan black magic yang dimilikinya. Jika semua rencana tak ada yang berhasil satupun, kekuatannya haruslah berhasil. Tidak akan tanggung-tanggung. Dia akan membunuh serigala-serigala itu saat dia berhasil mengambil kekuatan mereka.

****

Alex membawa Kevin dan Jessica jauh dari medan pertarungan. Tepatnya didekat pintu masuk menuju desa Frankswood, berniat menjauhkan Jessica dari bahaya Minho dan pertarungan mematikan yang sekarang masih berlangsung.

“Kau sudah tahu, kan sekarang,” kata Kevin. “Ini alasannya aku berusaha menjauhkan mu dariku. Maafkan aku.”

“Seharusnya kau cerita dari awal. Sekarang aku mengerti,” kata Jessica. “Kau tak perlu lagi menghindar dariku, Kevin.”

“Tidak!” Seru Kevin membantah kata-kata Jessica. “Jangan pernah berada didekatku lagi! Demi kebaikanmu! Maafkan aku soal perlakuan kasarku waktu itu. Tapi kita tidak bisa bersama lagi. Aku ini monster!”

“Bukankah sudah jelas? Cinta tidak memandang keadaan. Biarpun kau seorang monster mengerikan yang kejam sekalipun, aku tetap mencintaimu,” ujar Jessica tulus. Rasa cinta mereka berdua sangat besar seperti tak terpisahkan oleh keadaan. “Jadi kumohon jangan menyuruh ku untuk menjauh dari mu. Karena aku tidak bisa.”

Mereka saling menatap satu sama lain dalam. Kedua mata Jessica yang berkaca-kaca membuat Kevin terpaku diam tanpa bisa berkata apapun lagi. Ikatan kuat mereka berdua tidak bisa terputus begitu saja.

“Maaf…” Kata Kevin menundukkan kepala yang tak bisa terus menatap gadis yang berdiri dihadapannya. “Maaf membuatmu terlibat dan membuatmu dalam bahaya.”

Jessica memberanikan dirinya menyentuh pipi dingin Kevin. “Aku justru berterima kasih. Kau mau mengorbankan dirimu untukku.”

Kevin meraih tangan kecil Jessica yang masih berada diatas pipinya. “Pulang lah ke rumahmu. Orang tuamu pasti khawatir.”

Kevin melepas tangan Jessica perlahan dan melangkah pergi sebelum Jessica menarik lengan besar miliknya. Berat baginya untuk meninggalkan gadis yang ia cintai untuk kedua kalinya. Dia tahu ini yang terbaik untuk Jessica, namun hati gadis itu tetap akan terluka karenanya.

“Sorry.” Kata-kata itu yang bisa Kevin ucapkan untuk terakhir kalinya. Dia membalikkan tubuhnya membelakangi Jessica yang sudah meneteskan air matanya dan kemudian menghilang bersama Alex berteleportasi.

Jessica sadar Kevin sudah menghilang dari hadapanya dan dia juga sadar kalau Kevin kembali ke dalam pertarungan mematikan yang bisa saja membunuh pria itu. Tanpa berpikir dua kali, Jessica melangkahkan kaki-kakinya kembali masuk ke hutan. Berlari secepat yang ia bisa untuk kembali pada Kevin.

Karena dia takut…

Takut kalau saat itu adalah saat terakhir kalinya ia melihat Kevin.

****

Pertempuran terus berlangsung. Tidak ada lagi rencana dari kedua belah pihak. Hanya pertumpahan darah yang bisa menyelesaikan pertarungan ini. Tinggal menentukkan siapa yang akan mati dan siapa yang akan bertahan.

Edison telah berubah menjadi serigala hitam raksasa yang buas untuk menghabisi semua vampire yang ada dihadapannya. Dia telah berpikir dengan cara ini akan lebih efektif ketimbang hanya dengan pedang. Sudah banyak vampire yang mati ditangannya, tapi dia belum puas sampai dia benar-benar menang.

Sampai Edison harus menghadapi Sulli. Vampire itu berdiri berberapa meter didepan Edison. Seakan enggan melawan Edison, Sulli sama sekali tidak bergerak padahal Edison sudah berberapa kali menggong-gong padanya. What’s wrong with this vampire?

“Blackhowl,” kata Sulli.

Cinta lama yang terlarang terungkit lagi disini, melibatkan Edison yang hanya menjadi perantara. Kisah cinta kuno yang tak akan pernah berakhir bahagia kembali berlanjut dan terjadi secara dramatis sekarang. Sepasang kekasih terlarang yang berada disisi yang berbeda, jahat dan baik, saling bermusuhan dan akan saling membunuh. Namun lagi-lagi ini cinta. Cinta tak bisa saling menyakiti apapun keadaannya.

Kevin melompat diantara Sulli dan Edison dalam wujudnya yang mirip atau bahkan memang milik Fleur. Kevin menggeram ganas pada Sulli, menunjukkan seluruh gigi-gigi tajamnya yang bisa dengan mudah mengoyak-oyak daging. Ekspresi muak tergambar pada wajah Sulli melihat sosok yang ia ingat pernah menghancurkan hidupnya berada didepannya dalam satu pertarungan.

“Pernahkah kalian mendengar kisah cinta terlarang antara Sulli dan Blackhowl?” Ujar Kevin.

“WHAT?” Teriak mereka serentak.

“Dan Fleur adalah pemisah mereka berdua. Jika dugaan ku tepat, Sulli tidak akan tega melawan Edison yang merupakan tempat terkurungnya Blackhowl. Maka dari itu, saat Sulli lengah karena sosok Blackhowl berada di hadapannya, aku akan muncul dengan wujudku yang akan mengingatkannya pada Fleur.

“Jika kau ingin menggunakan Edison untuk menyerang Sulli, mungkin itu akan terdengar lebih masuk akal. Tapi kalau kau sendiri yang akan menyerang Sulli, bukannya malah lebih membahayakan? Sulli mungkin tidak akan berhenti sampai kau mati,” ujar Francis berpikir logis.

“Tidak jika aku dan Edison melawan Sulli berdua.”

Sulli berhadapan langsung dengan dua serigala sekaligus. Sial baginya karena pertarungan ini melibatkan dua sisi perasaannya. Di satu sisi dia akan melawan orang yang sangat dibencinya. Dan sebaliknya, dia harus melawan orang yang dicintainya yang tidak bisa dia sakiti sedikitpun. Sulli sebenarnya sudah muak melihat tampang serigala putih yang selalu mengahantui otaknya selama berpuluh-puluh tahun dengan rasa dendam yang sangat besar. Namun dia juga punya rasa sayang kepada cinta terlarangnya, seekor serigala hitam raksasa yang masih tersimpan rapih dalam kenangannya.

Momen seperti ini mirip sebuah adegan dalam cerita cinta terlarang antara vampire dan werewolf yang penuh dengan kesan dramatis sekaligus tragis. Namun Kevin berhasil memainkan perasaan Sulli sekarang ini. Membuat vampire itu harus berperang dengan hatinya sendiri. Sulli dibuat frustasi karena memikirkan apa yang harus dia lakukan supaya bisa membunuh Kevin tanpa melukai Edison sedikit pun. Itu akan sulit karena Edison pasti akan menyerangnya juga.

“Sial!” gumam Sulli geram.

Mau tidak mau, Sulli harus tetap menyerang. Dia melangkahkan kakinya berlari menyerang dua serigala yang berada dihadapannya. Edison menyerang pertama dengan berusaha menerkam tubuh Sulli yang pastinya lebih kecil darinya. Namun tanpa ingin melukai Edison, Sulli hanya menghindar dan lebih memilih untuk menyerang Kevin yang tepat berada dibelakang Edison. Kevin dan Sulli saling menabrakkan tubuh mereka satu sama lain hingga mereka sendiri terguling berberapa kali dan terseret sejauh 5 meter.

Sulli segera bangkit dan tak sabar untuk menyerang Kevin lagi. Kevin yang juga sudah berdiri tidak ingin memberikan kesempatan sedikitpun kepada Sulli untuk menyerangnya. Mereka berdua saling beradu lagi. Kevin mencoba untuk menerkam Sulli dan berusaha untuk mencabik-cabik vampire itu dengan giginya yang tajam, tapi Sulli masih cukup kuat untuk melawan keganasan Kevin. Bahkan dengan kekuatannya yang kuat, Sulli berhasil membanting tubuh Kevin yang jauh lebih besar darinya jauh hingga menghantam tanah yang keras. Bantingan Sulli sangat keras sampai tanah tempat Kevin jauh terbentuk retakkan-retakkan yang cukup besar. Jika Kevin tidak bisa menahan, mungkin berberapa tulang sudah retak atau bahkan patah.

Sulli berniat menuntaskan pekerjaan untuk menghabisi Kevin—yang kini sudah terkapar diatas tanah, namun Edison menerkam Sulli cepat. Niat Sulli gagal saat dia tahu kalau yang baru saja menyerangnya adalah Edison. Dia tidak berniat untuk melukai Edison apalagi sampai membunuhnya. Tapi bagaimanapun juga dia harus melakukan perlawanan jika tidak ingin terbunuh.

Kevin sudah hampir tidak sadarkan diri, namun dia masih bisa melihat Edison sedang melawan Sulli. Seandainya dia tidak dalam kondisi lemah, dia pasti bisa ikut melawan Sulli. Bahkan dia baru ingat kalau dia punya pedang milik leluhur Mortem yang sudah dilumuri darah Amy. Seharusnya dia sudah menggunakan pedang itu sejak awal.

Dia merubah dirinya sendiri menjadi manusia dengan sisa tenaganya karena hanya dengan wujud manusia dia bisa mengambil pedang yang telah menjadi miliknya itu. Mungkin pedang sudah ditangannya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain berbaring kesakitan. Tidak bisa dibayangkan seberapa parah luka yang dialami Kevin sekarang. Benar-benar sakit.

Edison masih terus berusaha menyerang Sulli yang dari tadi hanya menghindar dari semua serangannya. Entah apa rencana perempuan itu. Yang dia lakukan hanya menghindar dan mengelak tanpa berusaha untuk melakukan serangan balik. Jika Edison menerkamnya, dia hanya melompat menghindar. Namun apapun keadaannya, Sulli tidak bisa terus hanya menghindar saja. Saat waktunya nanti, mau tidak mau Sulli harus menyerang juga.

Saat itu pun tiba. Edison menyerang ganas dengan rahangnya yang besar dan kuat yang bisa saja mengoyak tubuh Sulli. Demi melindungi diri, Sulli mengayunkan tangannya kencang hingga memukul bagian rahang Edison yang tadinya bisa saja membunuhnya. Pukulan itu membuat Edison seakan terbang hingga berberapa meter ditambah lagi dengan pendaratan tak mulus hingga terseret jauh. Seketika Edison tak sadarkan diri, entah dia masih hidup atau kah sudah mati.

Sulli sadar apa yang barusan ia lakukan. Dia—yang sebelumnya pernah bersumpah tidak akan menyakiti Blackhowl ataupun Edison—sekarang justru membuat Edison terluka cukup parah hingga tak sadarkan diri. Dia tak bisa menyangka bahwa dia telah melanggar sumpahnya sendiri. Dia berlari berniat menghampiri tubuh serigala hitam raksasa yang terkapar diatas tanah. Hingga seseorang menghalangi jalannya.

Perempuan yang mendarat mulus dengan dentuman keras di atas tanah, menghalangi Sulli yang berniat mendekati Edison yang pingsan saat jarak vampire itu tinggal berberapa meter lagi. Mata Fleur yang sebelumnya hijau kembali menjadi merah meski dia bukan lagi seorang manusia serigala. Tatapan tajam menatap mata keemasan dihadapannya. Eternally enemy saling berhadapan satu sama lain di arena perang yang sesungguhnya. Akhirnya saat yang Sulli ataupun Fleur nantikan sekarang telah tiba.

“Don’t you ever dare to touch him!” ancam Fleur dengan wajahnya yang mengerikan.

Seekor serigala raksasa melompat tepat disebelah Fleur. Serigala berbulu coklat yang telah lama menghilang. Leo bergabung ke dalam medan perang tepat setelah Fleur. Memang sedikit terlambat untuk menikmati sensasi tegang sedang berperang. Namun memang itu rencananya.

Kevin bisa melihat sosok Leo yang telah kembali disela kesadarannya yang mulai menipis. Dia kaget sekaligus senang bukan main. Kini formasi Wolf Boys lengkap dengan kembalinya Leo. Meskipun dia tidak bisa mengugkapkan kesenangannya sekarang. Tapi Fleur. Dia seharusnya tidak muncul disaat seperti ini. Rencanan Kevin untuk melindungi Fleur bisa gagal jika perempuan itu tertangkap oleh Minho, apalagi dia sedang berhadapan dengan Sulli, musuh besarnya. Kalau begini, Kevin harus memberikan pedangnya pada pemilik asli yang merupakan keturunan dari salah satu leluhur Mortem, yaitu Fleur. Dengan begitu mungkin Fleur bisa membunuh Sulli.

“Kenapa kau masih saja hidup, hah? Aku sudah muak melihat wajahmu!” hardik Sulli geram.

“Mungkin aku sudah ditakdirkan untuk hidup,” kata Fleur. “Justru kau yang akan mati!”

“We’ll see.”

Dalam sekejap, Sulli dan Fleur sudah menyerang satu sama lain. Pukulan demi pukulan mereka layangkan satu sama lain. Fleur memukul keras bagian wajah Sulli sampai berberapa kali. Sulli mencoba menangkis setiap serangan Fleur, tapi berberapa kali gagal. Fleur sangat berambisi sampai tidak mau berhenti menyerang. Berusaha membalikan keadaan, Sulli menendang tepat diperut Fluer saat dia melihat ada celah. Fleur mundur berberapa langkah akibat dorongan dari tendangan Sulli. Kini berbalik Sulli yang menyerang.

Melihat Sulli sedang bertarung sengit dengan Fleur, Leo berusaha menolong Edison yang terluka. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena dia sendiri tidak paham masalah seperti ini. Kondisi Edison sangat lemah sampai tubuhnya sendiri tidak mampu berubah ke wujud manusia. Menolong manusia biasa saja bagi Leo sudah sulit, apalagi menangani seekor serigala raksasa yang sedang terluka parah dan tidak sadarkan diri seperti ini. Satu-satunya orang yang bisa dimintai tolong cuma Will. Leo melihat Will sedang menghadapi berberapa vampire dari kejauhan. Jika mengingat masalah yang pernah menimpanya dan Will, tidak mungkin Will akan menuruti kata Leo begitu saja. Leo pun juga enggan untuk meminta langsung pada Will.

Leo mengalihkan perhatiannya pada serigala yang jaraknya paling dekat. Donald. Kebetulan sekali. Mungkin Leo bisa menyuruhnya untuk meminta bantuan pada Will tanpa perlu repot-repot berhadapan langsung dengan Will. Bisa-bisa akan terjadi argumen besar jika sampai Leo dan Will bertemu disaat seperti ini. Dan tak ada yang mau hal itu sampai terjadi.

Donald segera menghampiri Will dan meminta pertolongan untuk Edison. Leo menggantikan tempat Donald dalam pertarungan untuk sekalian membuatnya sibuk sehingga dia tidak punya kesempatan untuk melihat Will. Seperti dugaan, jika Donald yang meminta, Will dengan suka rela memenuhi permintaan itu.

Will dengan cepat berlari ke arah Edison sebelum ada yang menyadari kalau Black Pearl yang selalu menjadi tujuan utama Minho sedang tergeletak pingsan. Ditengah larinya, Will sekilas melihat sosok serigala coklat yang tak asing baginya. Serigala yang tak pernah mau ia lihat lagi sejak hari itu.

Seperti yang sebelumnya dia lakukan pada Bernard dan Francis, Will menegakkan ramuan ajaibnya ke dalam mulut—atau lebih tepatnya rahang— Edison. Tapi luka Edison lebih parah dari yang dialamu Bernard dan Francis, terlebih pada bagian rahangnya yang sedikit bergeser akibat pukulan keras Sulli. Pada akhirnya, Will menggunakan kekuatannya untuk menyembuhkan Edison sepenuhnya.

“Itu Leo, kan?” tanya Will pada Donald tanpa ingin menengok ke orang yang dia tanyakan, memilih untuk fokus dengan pekerjaan.

“Iya,” jawab Donald.

“Dia sudah kembali? Sejak kapan?” tanya Will lagi dingin.

“Tidak begitu lama. Dia muncul bersama Fleur, Mortemnya Kevin,” kata Donald.

“Oh,” ucap Will singkat.

Will mengembalikan perhatiannya dan kembali fokus pada Edison. Butuh lebih dari 10 menit untuk membuat kondisi Edison benar-benar pulih dan siap untuk bertarung kembali. Setidaknya Edison harus sudah bisa untuk melindungi dirinya sendiri mengingat dia adalah Black Pearl yang diincar Minho.

“Sudah,” ucap Will. “Kau jaga dia sampai dia sadar. Jangan sampai ada satu vampire yang mendekatinya!”

Will beranjak dan berubah dalam sekejap untuk kembali bertarung. Dia melirik sedikit ke arah Leo yang sedang bertarung dengan berberapa vampire sekaligus. Begitu pula Leo yang tak sengaja menengok ke arah seekor serigala yang sedang berlari. Mereka saling menatap selama berberapa detik saja, tapi tatapan yang mereka berikan satu sama lain mengandung kebencian yang besar. Rasa saling memusuhi masih menyelemuti kedua orang itu meski sebenarnya sudah tidak ada lagi yang perlu dipertengkari karena yang mereka perebutkan kini sudah tiada.

****

Duel antara Sulli dan Fleur seakan tidak pernah ada ujungnya. Mereka sudah memberikan ratusan serangan satu sama lain, namun bagaimanapun juga mereka adalah makhluk terkuat yang tidak bisa terluka sedikitpun. Mungkin mereka akan merasa sedikit rasa sakit saat sebuah pukulan menadarat di wajah cantik mereka, tapi tak kecilpun luka yang terbentuk akibat pukulan itu. Tubuh bahkan wajah mereka masih mulus dan bersih dari luka. Jika terus seperti ini, tidak akan ada yang menang ataupun kalah.

Fleur menarik baju Sulli dan mencengkramnya kuat. Dengan sekali dorongan, Fleur terbang membawa Sulli menjauhi arena perang. Bahkan saat mereka berada diketinggian 100 meter dan dengan kecepatan terbang 120 km/ jam, mereka masih bisa memukul satu sama lain. Sampai mereka menabrak sebuah tebing batu yang mengakibatkan suara dentuman keras akibat benda keras yang saling beradu.

Mereka berdua bertarung secara brutal seperti layaknya binatang buas. Fleur berkali-kali membenturkan kepala Sulli ke kerasnya tebing batu. Dengan hanya mencengkram dinding tebing, Fleur terus melakukan apa yang dari tadi dia lakukan di ketinggian lebih dari 50 meter itu.

Tidak mau terus menjadi orang yang dibawah, Sulli menyikut wajah Fleur sampai cengkraman Fleur terlapas begitu saja. Fleur jatuh meninggalkan Sulli yang masih mencengkram dinding tebing kuat. Namun Fleur bisa terbang, membuatnya kembali naik dan mensejajarkan posisinya dengan Sulli.

Fleur dengan cepat menarik kembali Sulli sampai cengkraman vampire itu terlepas. Fleur kembali membawa Sulli terbang, namun kali ini bukan tebing batu yang ditabrakannya. Mereka jatuh langsung ke tangah seperti meteor yang jatuh dari langit. Mereka jatuh tidak langsung diam di satu titik. Mereka terseret dan menciptakan lubang pajang sejauh 10 meter dan sedalam 2 meter, persis seperti apa yang terjadi jika ada meteor jatuh ke bumi.

Tubuh mereka sudah penuh dengan tanah merah hutan, membuat mereka kotor luar biasa hingga wajah cantik mereka berdua hampir tidak terlihat. Meski begitu, api masih membara dalam diri mereka. An epic duel masih terus berlanjut. Tak ada sedikitpun ada rasa ingin mengalah diantara mereka. Fleur tidak ada habis-habisya menyerang secara brutal pada Sulli. Begitu pula Sulli yang tidak pernah ingin menyerah.

Dua makhluk berbeda yang masing-masing punya kekuatan kuat hingga bisa merubuhkan pohon dengan mudah. Fleur terlepar akibat pukulan keras Sulli hingga tubuhnya menabrak sebuah batang pohon dan merubuhkannya. Bukan hanya satu pohon, tapi berberapa pohon sekaligus. Itu menandakan kalau kekuatan yang digunakan Sulli sangat besar.

Fleur tidak ingin menyerah hanya karena tubuhnya mengantam keras berberapa pohon. Dia meraih batang pohon yang ada didekatnya. Hanya perlu mengangkatnya seperti sebatang kayu, Fleur melemparkan batang pohon yang besar itu ke arah Sulli. Mungkin pada awalnya lemparan Fleur meleset, tapi ada lebih dari satu batang pohon yang tumbang disana sehingga Fleur juga melepar Sulli sampai berberapa kali. Pada akhirnya Sulli tidak bisa menghindar saat sebatang pohon paling besar yang dilempar Fleur melayang ke arahnya.

Sulli tertiban besarnya batang pohon hingga tubuh kecilnya tak terlihat dari pandangan Fleur. Fleur berjalan mendekati batang pohon yang telah meniban Sulli itu. Memastikan apa Sulli masih hidup atau tidak. Tapi jika dia berpikir jika Sulli sudah masti artinya dia bodoh. Mana mungkin seorang vampire bisa mati hanya dengan tertiban oleh batang pohon begitu.

Perkiraan Fleur benar. Sulli muncul dari batang pohon yang telah ia patahkan menjadi dua. Pertarungan kembali berlanjut antara dua perempuan itu. Sulli menyerang Fleur cepat saat Fleur sedang lengah. Kini Fleur yang mulai berpikir kalau bertarung seperti ini tidak akan pernah selesai. Dia harus membunuh Sulli dengan perak ataupun darah half-blood. Sayangnya dia tidak memiliki keduanya sekarang ini. Tapi pasti diantara Wolf Boys ada yang punya. Yang harus ia lakukan sekarang adalah membawa Sulli kembali ke arena perang dan hal itu mudah saja baginya.

Dengan tarikan kuat, Fleur kembali membawa Sulli terbang lagi. Kecepatan terbang Fleur lebih cepat dari sebelumnya, hampir mencapai 200 km/ jam. Dan saat mencapai lapangan luas tempat awal mereka bertarung, Fleur kembali menjatuhkan dirinya dan Sulli seperti sebelumnya.

Sekarang yang harus dilakukan Fleur adalah mencari senjata dari perak ataupun darah half-blood. Tapi dia tidak bisa lepas dulu dari Sulli. Bisa-bisa Sulli menyerang saat dia sedang lengah.

“FLEUR!”

Fleur mendengar seseorang memanggilnya dan saat ia menengok, Kevin—yang duduk di atas tanah setelah bersusah payah bangkit—melemparkan sebuah pedang yang seharusnya sudah Kevin berikat pada Fleur sejak awal. Dengan ketangkasannya, Fleur menangkap pedang itu tepat saat benda itu melayang di atas kepalanya.

Kekuatannya yang bisa terbang secepat kilat ia manfaatkan untuk mengarahkan pedangnya lurus ke arah jantung Sulli. Hanya dalam waktu kurang dari 5 detik, pedang itu sudah menancap di dada Sulli dan menenmbusnya hingga ke belakang. Sulli hancur menjadi abu yang tertiup oleh hembusan angin hingga lenyap. Dendam Fleur selama bertahun-tahun telah terbalaskan. Satu lagi kaki-tangan Minho berhasil dibunuh. Dengan begitu akan lebih mudah untuk menghancurkan Minho sekarang.

****

Kini Minho sendirian. Sulli dan Henry berhasil dibunuh dan tak lama lagi pasukkannya akan habis. Pada akhirnya dia harus menghadapi 12 serigala raksasa sendiri. Memang sepertinya sejak awal seharusnya dia menghadapi para Wolf Boys sendirian tanpa perlu repot-repot membuat pasukan.

Minho sudah terpojok sekarang. Sudah tidak ada lagi rencana jenius yang selalu ia banggakan. Hanya ada dirinya sendiri dengan Edison, Will dan Leo yang siap menyerangnya. Satu vampire melawan 3 serigala. Apa saat akan menjadi penentu berakhir atau tidaknya perang ini.

Leo menyerang duluan. Serangan mematikan seekor serigala raksasa seharusnya tidak bisa dihindarkan, namun kenyataanya sebaliknya. Minho berhasil menghindar hanya dengan sekali gerakan. Kecepatan seorang vampire memang tidak bis ditandingi oleh werewolf sekalipun. Edison melanjutkan serangan dengan terkaman serigalanya. Edison berhasil menjatuhkan Minho dan siap mencabik-cabik tubuh Minho.

Dengan mudah, Minho berhasil menyingkirkan Edison darinya. Leo kembali melakukan serangan dan kali ini tidak mau main-main dengan serangannya. Dia mengayunkan cakarnya yang besar dan berhasil mengenai Minho tepat dibagian wajah. Luka cakar besar berhasil merusak wajah tampan Minho.

Minho berteriak kesakitan saat dia menyadari kalau cakar-cakar Leo telah dioleskan darah half-blood yang langsung merusak wajahnya. Rasanya seperti terbakar. Sakit dan perih luar biasa menyerang setiap permukaan kulit wajah Minho.

Marah karena wajahnya telah rusak, Minho berniat menyerang Leo atau bahkan ingin membunuh Leo. Sebuah bola api ia ciptakan dari sihirnya diatas telapak tangannya. Tak perduli lagi apa Mortem yang bersama dengan Leo juga akan mati atau tidak. Dia sudah tidak perduli lagi. Tak masalah baginya hanya akan memiliki 11 kekuatan saja.

Minho melempar bola api itu lurus ke arah Leo. Namun sebelum sampai ke serigala yang menjadi target, serigala lain melompat melindungi Leo. Dia mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Leo. Serigala itu tersungkur diatas tanah akibat bola api yang mengenainya. Bola api itu tidak melukai bagian fisik luar serigala itu, melainkan menyerang bagian dalam.

Leo terkejut melihat hal itu. Kejadiannya sangat cepat sampai dia sendiri tidak percaya dengan siapa yang telah rela berkorban deminya. Will tak sadarkan diri di atas tanah dengan wujudnya yang kembali menjadi manusia. Entah apakah dia masih bernafas atau tidak.

Amarah Leo memuncak. Mata coklatnya berubah menjadi merah menyala menandakan dia sedang murka. Temannya baru saja terbunuh oleh orang yang sama dengan orang yang telah membunuh perempuan yang dicintai. Tidak akan Leo biarkan orang itu hidup lebih lama lagi.

Leo melompat dan menangkap kepala Minho dengan kepalanya. Mencengkram kuat tubuh Minho dengan kuku-kuku cakarnya yang sudah ia oleskan darah Amy. Dia tidak ingin melepaskan Minho begitu saja. Dia membiarkan Minho merasakan rasa sakit terbesar yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi dia mempunyai pemikiran lain saat melihat Edison dan Fleur berdiri tak jauh darinya, siap dengan pedang mereka masing-masing.

Leo melemparkan tubuh Minho jauh ke depan. Disaat yang sama, Edison dan Fleur berlari dari arah yang berlawanan ke arah satu titik yaitu Minho dengan pedang mereka yang mengarah lurus. Sampai mereka bertemu dan menusuk satu tubuh yang sama. Satu pedang perak dan satu pedang darah half-blood menembus jantung dan tubuh Minho. Dan sebagai langkah terakhir, Leo memutuskan kepala Minho dengan kekuatan rahangnya yang kuat. Tubuh Minho adalah bagian yang pertama kali hancur menjadi abu. Kemudian disusul oleh kepala Minho setelah Leo meludahkannya.

“Berkuasalah kau di neraka, Demon!”

Perang sudah berakhir. Minho beserta pasukannya telah hancur menjadi abu menyedihkan. Para Wolf Boys menang.

Meskipun tidak semuanya.

Leo berlari ke arah Will yang terkapar tak bergerak. Wajahnya sangat panik melihat kondisi Will. Dia seakan takut untuk memeriksa pergelangan tangan Will jika tak ada denyut nadi disana. Kebencian yang awalnya menyelimutinya seakan sirna begitu saja begitu dia tahu kalau orang yang ia benci yang juga membencinya ternyata malah mengorbankan nyawanya. Dia tidak boleh membiarkan dia kehilangan lagi, bahkan kehilangan Will.

“WILL!! WAKE UP!!” teriak Leo pada tubuh tak bergerak itu. “BANGUN, BRENGSEK!!”

“LEO! STOP! HE’S ALREADY GONE!”

Edison mencoba menenangkan Leo yang terus berteriak-teriak menyuruh Will untuk banyak yang tidak akan pernah bangun lagi. Nafas Will sudah berhenti sejak berberapa menit yang lalu. Tak ada denyut nadi yang bisa dirasakan. Kenyataan pahit harus ditelan para Wolf Boys kalau mereka baru saja kehilangan salah satu anggota mereka untuk selamanya.

“No! We still have a chance.”

Francis teringat sesuatu. Dia mendekati tubuh Will dan merogoh celana yang dikenakannya untuk mencari sesuatu. Dia mendapatkan botol ramuan ajaib milik Will, berpikir kalau ramuan itu bisa saja mengembalikan Will pada mereka. Dia menegakkan ramuan pada Will dengan dosis lebih banyak dari yang biasa Will berikan pada anggota yang lain. Cara ini bisa berhasil jika mereka belum terlambat.

Namun Will tidak kunjung membuka matanya meski mereka sudah menunggu selama lebih dari 10 menit. Tak ada harapan lagi untuk mereka. Will memang tidak akan pernah membuka matanya lagi dan itu faktanya.

“Kenapa dia tidak bangun? KENAPA DIA TIDAK BANGUN??” Leo kembali berteriak. “BANGUN, WILL! BANGUN, DASAR KAU BRENGSEK!”

“AAAH!”

Will bangkit begitu saja seperti terbangun dari mimpi buruk, berteriak. Dia duduk dengan ekspresi ketakutan dan bingung, terlebih saat melihat orang-orang mengelilinginya dengan wajah terkejut setengah mati. Yang membuatnya tambah bingung adalah ekspresi Leo yang kaget dengan mata yang sembab seperti habis menangis.

“Why are you looking at me like that?” ucapnya.

“Kau… masih… hidup?” kata Leo sambil menunjuk ke arah Will dengan tangan yang gemetar.

“Of course I am. Do you this I’m already dead?” ucap Will dengan nada kesal. “Lagipula, siapa yang mengataiku brengsek? I heard that.”

Tidak ada yang berbicara satupun. Mereka semua masih terkejut dengan kembali hidupnya Will. Padahal mereka semua sudah memastikan kalau Will sudah meninggal tadi. Sedangka Will sendiri masih kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi padanya.

“Are you crying?” tanya Will pada Leo.

“I’m not crying, idiot,” kata Leo sambil mengusap matanya. “Kenapa kau mengorbankan dirimu sendiri demi melindungiku?”

“Mungkin karena aku idiot sepeti yang kau bilang,” kata Will dengan seringainya. “Mana Kevin?”

“I’m here guys!” Mereka menengok ke arah suara Kevin berasal. Jaraknya tidak begitu jauh. Kevin berbaring diatas pangkuan Jessica yang kembali demi menyusul Kevin. Laki-laki itu mengalami luka parah pada bagian punggung, membuatnya tidak bisa bergerak terlalu banyak. Dia hanya bisa meringis sambil menahan sakit. Karena ada Jessica dia bisa tahan rasa sakit sebesar apapun.

“Are you oke?” tanya Edison.

“Yeah! Cuma retak tulang punggung,” jawab Kevin santai. Dia tidak tahu separah apa luka yang dialaminya. “Apa kalian menyisakan ramuan untukku? Lama kelamaan sakit juga.”

“Sayang sekali. Sepertinya sudah habis,” kata Francis yang diselingi tawa kecil.

“You must be joking! Ayolah. Punggungku retak betulan,” keluh Kevin.

Semua tertawa. Perang ini diakhiri dengan suara tawa bahagia 12 Bocah Serigala, seorang gadis manusia dan seorang Mortem. Ini lah rasanya kemenangan. Meskipun tidak sepenuhnya harapan mereka terwujud, namun tetap saja ini adalah akhir yang bahagia. Tak akan ada lagi rasa takut akan ancaman vampire  yang gila kekuasaan. Tidak akan ada lagi.

END

*****

Annyeong^^ This is the last part of Beuty & Beast!! Tapi masih ada Epilog menunggu. Jadi belum seutuhnya selesai yaa :D

Akhirnya sampai juga dipenghujung cerita Beauty &Beast^^ Terima kasih untuk semua readers yang sudah mendukung Jinnie sampai sejauh ini <3 Tanpa readers, Jinnie is nothing :’) Maaf jika selama ini, Jinnie kurang bisa membuat readers puas dengan setiap chapter yang Jinnie sajikan. Tapi Jinnie akan selalu beusaha untuk memberikan karya terbaik untuk readers <3<3 Perjalanan Beauty & Beast sudah panjang dimulai dari Juli 2013 sampai sekarang^^ Tepatnya pas Jinnie pertama kali jadi author <3 Nggak kerasa udah berapa lama tuh B&B kkk~~

Gimana Final Chapter ini? Banyak yang minta ceritanya dipanjangin jadi 10.000 kata hahah XD Seru nggak perangnya? Kalau nggak seru, maaf deh ._. Jinnie sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk membuat Final Chapter ini makin seru dan menegangkan :D

Terima kasih buat readers yang selalu setia sama FF Jinnie *terharu*, terlebih YANG SUKA COMMENT^^ Tanpa readers, Jinnie hampa #lebay <3<3 ILY <3 Saranghae <3 Wo ai ni <3<3 JINNIE SAYANG READERS!!! <3<3

See you readers^^ Kita akan berjumpa lagi pada FF Jinnie yang lain~ Cao Cao~~


Beauty & Beast – Epilog [END OF THE STORY]

$
0
0

12345678933

Beauty & Beast – Epilog

[END OF THE STORY]

Author: Choi Seung Jin @kissthedeer

Genre: Fantasy, Historical, Supernatural, OOC, AU

Leght: Chaptered

Main Cast:

EXO in English Name

Other Cast:

Jessica SNSD as Jessica

Victoria f(x) as Victoria

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8 | Chapter 9 | Chapter 10 | Chapter 11 | Black Pearl | Chapter 12 | Chapter 13 | Chapter 14 | Chapter 15

 

****

Washington D.C, 1996

Seorang pria—yang baru saja memarkirkan mobi miliknya—turun dengan gagahnya. Pakaian mahal yang rapih lengkap dengan dasi membalut pria itu dan semakin membuatnya terlihat tampan di umurnya yang ke-29. Pria itu memiliki tinggi 187 cm. Yap, dia memang sangat tinggi. Sebuah cincin melingkar di jari manis tangan kirinya, menandakan bahwa dia sudah menikah.

Pria itu tidak sendiri. Seekor anjing putih besar keluar dari mobil tepat setelah si pria keluar. Anjing yang telah mengabdikan diri selama hampir 13 tahun. Tak masalah bagi pria itu untuk membawa anjing ke tempat kerja. Well… karena dia lah direkturnya. Tidak ada yang berani melarang pria itu untuk membawa anjing saat bekerja, selama anjing itu tidak membuat masalah ataupun buang air sembarang. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari anjing itu.

Langkah pria itu tegap menuju lift dan langsung menuju lantai 20, dimana kantornya berada. Si anjing pun masih mengikuti dari belakang. Pria itu tidak banyak bicara apalagi pada anjingnya itu. Mungkin karena orang-orang akan berpikir dia gila jika melihat pria itu berbicara sendiri dengan anjing. Mereka tiba di lantai 20 dalam waktu kurang dari 10 menit. Pria itu hanya bertemu dengan sekertarisnya tepat setelah keluar dari lift karena lantai 20 bena-benar lantai khusus untuknya.

“Selamat pagi, Mr. Wu,” sapa si sekertaris, berdiri sambil membungkuk ke arah pria itu. “Selamat pagi, Fleur.” Sekertaris itu juga tak melewatkan bagian menyapa anjing. Hal itu sudah menjadi kebiasaan di tempat ini.

“Pagi, Mrs. Pott,” balas Kevin dengan wajah ramah.

Dia kembali berjalan memasuki sebuah pintu besar menuju ruangan miliknya. Ruangan kantor sebesar 15 x 10 meter itu adalah tempat bekerjanya selama 8 tahun terakhir sejak ayahnya memutuskan untuk pensiun dan menyerahkan jabatannya pada anak tunggalnya. Kevin meletakan kopernya diatas meja kayu yang kemudian merebahkan sejenak tubuhnya diatas kursi. Dan seketika dia tersenyum.

Beberapa minggu terakhir, Kevin merasakan kebahagian yang luar biasa sejak kelahiran anak pertamanya pada tanggal 24 Oktober kemarin. Dia selalu terbayang wajah gadis mungil yang membuatnya selalu merasa senang. Malaikat kecil yang lahir dari rahim istrinya, Jessica. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini. Hidupnya terasa sempurna.

Fleur melihat Kevin bahagia juga selalu terbawa senang. Semenjak hari itu, Fleur memutuskan untuk mengabdi pada Kevin dengan penyamaran sebagai seekor anjing rumahan. Beruntungnya dia karena Jessica tidak pernah keberatan dengan keberadaan Fleur dari dulu sampai sekarang. Dia merasa lebih baik dan terus membaik tanpa merasa terperangkap lagi. Hidupnya seketika berubah sejak hari itu.

 

Tok.. Tok.. Tok..

Pintu besar itu diketuk berberapa kali dan dengan izin Kevin, Mrs. Pott masuk dengan berberapa amplop surat ditangannya. Wanita berumur 27 tahun—yang baru saja kembali dari cuti menikahnya—berjalan mendekati meja besar milik bossnya dengan suara heels yang terdengar memenuhi seluruh ruangan. Wanita itu menyerahkan surat-surat tadi kepada Kevin, atasannya.

“Hari ini ada kiriman surat, Sir.”

“Thank you, Mrs. Pott,” ucap Kevin seiring sekertarisnya pergi meninggalkan ruangan.

Satu-persatu dia lihat nama pengirimnya dan diantaranya dia menemukan surat dengan pengirim bernama Leonardo Hougwich. Dia terkejut sekaligus senang melihat surat itu. Sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan temannya yang satu ini.

 

London, 1996

Leonardo Hougwich

 

 

Dear my friend, Kevin Wu

Hello there! Susah sekali mencari alamat keberadaanmu. Sekarang aku hanya bisa menemukan alamat tempatmu bekerja. Lain kali, berikan alamat yang jelas!

Sudah lama kita tidak bertemu, apalagi berkumpul dengan yang lainnya. Aku ingat, terakhir kita berkumpul adalah saat pernikahan Will dan Victoria. Dan saat itu sudah 5 tahun yang lalu. Astaga! Itu waktu yang lama. Aku khawatir tidak bisa mengingat wajahmu lagi.

You know what? Aku bertemu Edison setahun yang lalu di London. Aku tidak menyangka bisa bertemu dia. Mengingat kalau kita berdua belas sudah berpisah sangat jauh. Kau di US, aku dan Edison di UK, lalu Richard dan Alex ada di Korea, Will juga sudah pindah ke Changsan, dan sisanya entah sekarang ada dimana.

Bagaimana kabarmu dan keluargamu? Ku dengar, Jessica sudah melahirkan, ya? Akhirnya kau menjadi seorang ayah juga. Anakku juga sudah lahir berberapa bulan yang lalu. Anakku laki-laki dan dia mirip sekali denganku. Namanya Lu Han. Istriku, Yue menamainya dengan nama Cina, tapi itu tidak masalah bagiku.  Bagaimana dengan anakmu? Apa dia laki-laki atau perempuan? Kalau perempuan, mungkin anak kita bisa berjodoh hahah.

By the way, apa kau sudah mendengar berita di London akhir-akhir ini? Pemakaman lokal di Frankswood dirusak oleh seseorang. Aku tidak tahu pasti makam siapa yang dibongkar karena aku belum sempat mengeceknya ke sana karena pekerjaanku sebagai seorang pengacara banyak menyita waktuku. Tapi bagaimanapun juga disanalah makam Amy berada. Entah ada hubungannya atau tidak. Tapi jika firasatku itu benar, siapa yang mau menggali makan manusia setengah vampire? Apalagi Amy sudah meninggal sejak 13 tahun lalu. Jasadnya pasti sudah menjadi kerangka. Kalaupun makam yang lain yang dibongkar, aku tidak ingat ada makam tokoh penting disana karena Pemakaman Frankswood hanya pemakaman umum biasa, kecuali makam Amy. Bahkan Pak Jim juga tidak dimakamkan disana.

Ngomong-ngomong soal Amy, aku sebenarnya penasaran dengan keberadaan Paman George. Kita sudah tidak pernah melihatnya lagi bahkan sejak perang itu. Awalnya kita memang sepakat kalau Paman George sudah meninggal, tapi bukankah kita hanya menemukan jasad Pak Jim saja waktu itu? Apa kau tidak merasa aneh?

Untuk masalah Pemakaman Frankswood, aku akan mengecek ke sana minggu depan. Ku rasa ini masalah yang cukup serius kalau ternyata memang makam Amy yang dibongkar. Maka dari itu, aku akan menyuruh Yue untuk membawa Luhan ke rumah neneknya di Beijing. Untuk jaga-jaga saja. Orang tua ku juga akan kusuruh ikut karena, jujur saja, perasaanku tidak enak. Jika masalahnya memang besar dan berhubungan dengan Amy, aku akan langsung menghubungi kantormu dan mengumpulkan kita semua.

Oke. Aku juga mengirimkanmu fotoku bersama keluargaku. Kau bisa menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Siapa tahu kau bertemu denga Luhan suatu hari nanti, kau bisa menunjukkan foto itu padanya.

Titip salamku untuk Jessica dan Fleur, ya.. Bilang pada Fleur kalau dia dapat salam dari Xander. Jangan balas suratku sampai ku beri kabar, oke? Senang bisa mengirim mu surat.

 

 

Regrads,

Leonardo Hougwich

 

Kevin senyum-senyum sendiri membaca surat yang dikirimkan sahabat lamanya itu. Memang, sudah 5 tahun sejak pesta pernikahan Will mereka berdua atau bahkan kesepuluh bocah serigala—yang telah menempuh hidup mereka masing-masing—bertemu dan berkumpul lagi.

“Surat dari siapa?” tanya Fleur.

Jangan heran melihat seekor anjing bicara dengan suara wanita dewasa. Meski dalam wujud anjing rumahan seperti ini, Fleur masih bisa berbicara dan melakukan hal-hal lain yang bisa ia lakukan dalam wujud manusia dan salah satunya adalah berbicara.

“Ini dari Leo. Dia memberi kabar tentang kelahiran anaknya dan berita yang sekarang sedang panas di London,” kata Kevin. “Kau juga dapat salam darinya dan Xander.”

“Really? Bagaimana kabarnya dan Xander? Dan ada berita apa di London?” tanya Fleur.

“Pemakaman Frankswood dirusak seseorang. Leo mengira kalau makam yang dibongkar makam Amy sampai dia mengeceknya minggu depan,” ujar Kevin. “Kalau dipikir-pikir lagi, memang tidak ada makam orang penting disana. Pak Jim pun tidak dimakamkan disana, kan?”

“Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak begini?” kata Fleur.

“Tidak enak gimana?” ucap Kevin.

“Mungkin hanya perasaanku saja. Sudah, abaikan!” Fleur berjalan menuju sofa yang merupakan tempat favoritnya dan duduk disana.

Kevin kembali beralih pada surat dari Leo. Mengingat kalau didalam surat itu Leo bilang, dia mengirimkan foto, Kevin dengan cepat memeriksa kembali amplop putih yang sudah tersobek itu. Ternyata benar ada sebuah foto keluarga disana. Leo bersama istri dan bayi kecilnya terlihat bahagia difoto itu dengan berlatarkan sebuah taman di kota London. Luhan memang mirip sekali dengan Leo, mulai dari mata, hidung, sampai bentuk wajahnya.

Tapi… Ada yang aneh dari foto itu. Ada bayangan seseorang di belakang keluarga bahagia itu. Seperti seseorang yang sedang memandang iri keluarga bahagia itu. Orang itu memberikan tatapan mengerikan entah pada Leo atau mungkin dia sedang memangdang objek lain. Kevin makin penasaran, terlalu aneh untuk pemandangan seeorang dengan tatapan seaneh itu. Dia memperjelas penglihatannya dengan mendekatkan foto itu ke matanya.

Sepertinya aku kenal orang ini, batin Kevin berfikir. “Wait a minute…”

“AH!”

 

******

PEMAKAMAN FRANSWOOD DIRUSAK, 1 MAYAT HILANG

Kepolisian setempat mendapat laporan sebuah pemakaman umum Frankswood, London (15 Oktober 1996) telah di bongkar. Menurut laporan, pelaku perusakan melakukan aksinya di malam hari sebelum di warga menemukan kondisi pemakaman yang sudah berantakan di pagi hari. Mayat pun juga hilang. Melihat kondisi peti, diduga mayat dicuri dengan membongkar paksa makam. Pihak polisi masih merahasiakan makam siapa yang telah dirusak dan dicuri.

Penyelidikan masih terus dilakukan oleh kepolisian setempat yang dibantu oleh kepolisian kota London. Motif pelaku dalam tindakkan ini masih belum diketahui. Polisi juga berusaha menghubungi orang terdekat almarhum, namun diketahui bahwa almarhum tidak punya keluarga.

Kesaksian warga mengatakan melihat sosok perempuan yang berjalan malam-malam disekitar pemakaman. Ciri-ciri perempuan itu sudah dicatat oleh polisi yang berupaya mencari perempuan dengan ciri-ciri yang didapat. Dugaan sementara, perempuan itu adalah pelaku pembongkaran.

 

****

THE END ?

****

Beauty & Beast

House of Jinnie Fanfict

Author

Choi Seung Jin @kissthedeer

Credit Poster

Choi Seung Jin (14 poster)

Lee Young Mi (1 poster)

Cast

Luhan EXO as Leonardo Hougwich

Kris EXO as Kevin Wu

Lay EXO as William Boltzmen

Tao EXO as Edison Huang

Sehun EXO as Stephan McCalee

Xiumin EXO as Michaelangelo Porst

Suho EXO as Francis Kelt

Kai EXO as Alexander Weeselt

Chanyeol EXO as Richard Bort

Baekhyun EXO as Bernard Foltstone

D.O EXO as Thomas Hogsman

Chen EXO as Donald Chen

Evanna Lynch as Amelia Katterhart

Jessica SNSD as Jessica Jung

Jimmy Daniel Carlisle

George Charles Katterhart

Fleur

Xander

Minho SHINee as Choi Minho

Sulli f(x) as Sulli Roselet

Henry SJ-M as Henry Fox

Victoria f(x) as Victoria Song

and

Arthur Damian Ravenhawk

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

No matter what kind of creature are you, The most important is how do you fight for your life and your love

-Beauty & Beast-

 

****

Annyeong readers^^ Sampai juga diakhir cerita. Saat mengucapkan selamat tinggal pada Beauty & Beast. Setiap awal pasti ada perpisahan dan ini dia perpisahan kita pada FF Beauty & Beast :’) Nggak kerasa ya udah selesai aja FF ini. Rasanya baru kemarin Jinnie nulis Prolognya #lebay

Para Wolf Boys udah pada menikah dan punya anak semua. Sudah dewasa mereka hiks *terharu* Rasanya baru kemarin mereka Jinni buat jadi anak SMA dan sekarang udah berkeluarga semua huhuhu… Terharu Jinnie.

Terima kasih untuk semua readers yang udah setia membaca Beauty & Beast dari Prolog sampai Epilog, terutama yang suka COMMENT^^ Jinnie nggak bisa ngomong banyak. Cuma bisa bilang terima kasih :”) Untuk kritik dan saran, Jinnie masih terima untuk masukan kedepannya^^

Sampai jumpa di FF Jinnie yang lainnya^^ Cao~Cao~


[FREELANCE] Salt and Wound (Chapter 5)

$
0
0

Salt And Wound 3

Title : Salt And Wound

Author : NadyKJI

Web : http://cynicalace.wordpress.com/

Genre : Romance, Rearrange Married, Hurt/Comfort, School Life

Length : Chaptered

Rating : G

Maincast:

  • Kim Jong In – Kai
  • Eun Syu Rie (OC)
  • Soon

Other : Jung Eun Chae (OC), Chen, Sehun, D.O, Chanyeol, Luhan (Find It ~)

Disclaimer : FF ini murni ide-ide khayalan author yang kelewat tinggi, dilarang meniru dengan segala cara apapun, jika tidak ff ini tidak akan dilanjutkan lagi. Terima Kasih.

Author’s Note :

Ehem… *lirik-lirik

Annyeong readers, author kembali lagi dengan ff inin kkkk, tdk terasa sudah amat sangat lama ff ini bru d publish lagi…

Jujur saja author sangat sedih karena author harus belajar dan memotong jam nulis ff padahal ide itu datangnya simpang siur kalau mau belajar #plak, tapi apa boleh buat.

Yang penting author udh publish bukan? *Di rempuk readers yang udh kepo – eh emng ada ya? Author ke geeran #lah

Welll, sebelum author makin error..

HAPPY READING DAN RCL YAAKKKK ^^

___

 

 

 

-:Author PoV:-

Syu Rie berjalan cepat menyusuri lorong dengan kedua tangannya yang memeluk buku-buku tebal. Ia baru saja ditugaskan untuk mengembalikan buku-buku dalam pelukannya itu ke perpustakaan oleh guru sastranya.

“Rie-ah! Chankaman…”

Dan jangan lupakan, kalau ia tidak ditugaskan sendirian. Mendengar suara Eun Chae yang memanggilnya sudah memastikan kalau hari ini memang bukan hari keberuntungannya. Sejak Junmyeon – bukan, lebih tepatnya detik ketika matanya bersibobok dengan Kai. Kata ‘permainanmu bagus, akan kami pertimbangkan’ adalah skakmat untuknya. Jika memang Junmyeon sangat setuju dengan ide duet maka ia harus bersama Kai. Entahlah ia merasa tidak benar.

“Rie-ah…”

“Sejak kapan kau menyingkat namaku sesuka hatimu? Pagi ini kau masih menyebutkannya secara normal.” Syu Rie memotong untaian kalimat yang akan diloloskan bibir Eun Chae.

Eun Chae yang akhirnya mendapat perhatian seorang Syu Rie tersenyum, “Namamu terlalu panjang… Kau menyadari aku memanggilmu pagi ini? Lalu kenapa kau tidak menghiraukanku?”

“Aku memang tidak ingin menghiraukanmu.” Syu Rie membuka pintu perpustakaan dengan bahunya disusul oleh Eun Chae yang melakukan hal serupa.

“Aku tahu.” Eun Chae berkata dengan nada yang ringan mengikuti Syu Rie menuju rak sastra.

Bruk.

Syu Rie menyimpan buku-bukunya di meja terdekat, karena berat buku yang tidak main-main itu membuat suara debaman keras terdengar.

“Lalu kenapa kau masih saja… keras kepala?”

“Entahlah, karena aku tahu kau masih menghiraukanku meski kau berpura-pura untuk tidak?” Eun Chae tersenyum lebar membuat giginya terekspos, belum lagi gadis kekanak-kanakkan ini duduk di atas meja dengan mengayun-ayunkan kakinya.

“Aku tidak!”

Syu Rie mendengus, ia mengambil satu buku dan memasukkannya pada rak yang tepat, ia tidak ingin bertatapan dengan Eun Chae. Tidak seperti sebelum-sebelumnya ia seperti tidak bisa mengabaikan Eun Chae lagi. Mungkin karena kegigihannya juga betapa… tulusnya gadis itu untuk berteman dengannya.

“Ayolah~, tidak ada salahnya berteman?”

“Tid-” Syu Rie berbalik dan terbelalak, “Hush! Kenapa kau sudah berada di sini lagi? Mengagetkanku!”

“Jadi?” bukannya merasa tersinggung Eun Chae menunggu jawaban Syu Rie dengan wajah memohonnya. Senyum perlahan merekah dari bibirnya ketika wajah Syu Rie terlihat ragu.

“Mungkin.”

“Aku teman pertamamu!” Eun Chae berkata puas.

“Aku tidak bilang iya.”

“Setidaknya mungkin…”

“Ck?! Lupakan, aku tidak akan mempertimbangkannya, sekarang bantu aku.” Syu Rie menyelipkan beberapa buku di rak sambil memutar bola matanya.

“Ahahaha, baiklah temanku~”

***

“Syu Rie!” Luhan yang baru saja selesai memilih makanan berteriak begitu menemukan sosok Syu Rie yang baru memasuki kerumunan.

Syu Rie yang menyadari panggilan tersebut langsung mencari sumber suara dan pada akhirnya matanya bertubrukan dengan Luhan, Syu Rie dengan ragu berjalan menemui Luhan.

“Ayo makan siang bersama.”

Seperti biasa teman-teman Kai masih ingin membuatnya untuk makan bersama, jujur saja Syu Rie amat tidak nyaman. Yang ada di pikirannya adalah cara untuk mengelak sehalus mungkin.

“Chingu!”

Tanpa perlu menoleh Syu Rie sudah dapat menebak siapa yang baru saja memanggilnya karena beberapa saat kemudian sosok itu sudah menggandeng tangannya.

“Ah, annyeong Eun Chae-ssi.” Luhan tersenyum.

“Annyeong. Boleh kupinjam Syu Rienya?” Eun Chae bertanya pada Luhan.

Syu Rie yang menemukan kesempatan bagus langsung memotong percakapan, “Ani. Aku dan Eun Chae akan makan siang bersama. Jadi mianhae, kita harus berpisah meja.”

Luhan agak terkejut mendengar pernyataan Syu Rie, mengingat ia pernah melihat Syu Rie menepis ajakan Eun Chae sebelumnya. Tapi karena tidak memiliki alasan kuat untuk menahan Syu Rie bersamanya Luhan hanya mengangguk, “Ne.”

Dan tanpa berbalik lagi Luhan langsung berjalan menuju mejanya yang sudah diisi penuh kecuali satu kursi yang memang menjadi tempatnya. Begitu ia sampai orang yang pertama kali bertanya padanya adalah Chanyeol.

“Ke mana Syu Rie?”

“Oh, dia makan siang dengan temannya. Jung Eun Chae.” Luhan menjawab singkat.

“Mwo? Sejak kapan kau mengetahui namanya?” Sehun menaikkan alisnya.

“Ck! Tentu saja sejak aku melihat tag namanya beberapa menit lalu. Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Sambar Luhan cepat.

“Ohoho, uri Luhan memiliki cerita tersendiri rupanya.” Chen menyeringai jahil.

Luhan sudah ingin memukul setiap orang yang baru saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan aneh dirinya dengan Eun Chae, tapi seluruh isi meja terdiam ketika Kai angkat bicara.

“Hmm, bukankah dia tidak bersahabat dengan yeoja itu?”

“Well, semua orang berubah Kai. Wae? Kau mulai tertarik dengannya?” Hanya satu orang yang berani berkata seperti itu – D.O.

Kai hanya mendengus sebelum berkonsetrasi pada makanannya, dan seluruh isi meja jelas mengartikan kebisuan Kai sebagai pertanda bahwa namja itu mungkin saja mulai memperhatikan Syu Rie. Walaupun mereka sendiri tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi – catat: dalam waktu yang cukup singkat sejak kedua orang itu bersitegang.

Sementara itu Kai sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Entah mengapa rasa penasarannya pada Syu Rie terus meningkat atau mungkin dirinya sudah menaruh perhatian pada gadis itu sejak pertama kali ia mengetahui bahwa senyum gadis itu palsu?

Ting….

Tiba-tiba saja suara denting piano seakan terdengar dari telinganya, dan perlahan berbagai kelebat ingatan mulai bersinggungan. Ingatan akan Syu Rie yang belum lama ini bermain piano dengan bayangan masa lalunya. Lagu yang dimainkannya berbeda, tapi jelas sekali gesturnya sama.

Jujur saja ia merindukannya.

Tapi pikirannya yang lebih nyata menyuruhnya untuk berhenti dan memikirkan hal yang memang harus dilakukannya.

Kekecewaannya saat itu cukup untuk merubah perasaannya.

Berkatnya, ia memiliki dendam.

Sekarang ia bertanya-tanya….

Mengapa Syu Rie serupa dengannya?

Kai baru menyadarinya detik itu.

***

“Syu Rie! Rie-ah!”

Syu Rie mengerutkan dahinya sejenak sebelum berhenti dari jalannya dan berbalik, “Apa? Kau ini berisik sekali.”

Eun Chae sama sekali tidak terganggu melainkan tersenyum, “Ayo kita melakukan tugas sastra ini bersama. Kau belum memiliki kelompok bukan?”

Syu Rie menatap sekelilingnya dan mendapati kalau seisi perpustakaan hampir menatapnya. Yap, perpustakaan. Saat ini kelasnya sedang pelajaran sastra dan kelasnya diminta untuk ke perpustakaan dan menganalisis sebuah novel. Syu Rie menghela nafas, “Baiklah, tapi sekarang mari berpisah. Kau mencari di rak sana, dan aku di sana.” Syu Rie menunjuk 2 rak yang diperuntukkan memang untuk novel.

Syu Rie tanpa menunggu lagi langsung berjalan menuju rak yang ia tunjuk dan mulai meniti satu-satu judul buku yang ada. Syu Rie adalah pencinta novel, tentu saja ia sangat menikmati keberadaannya yang dikelilingi oleh buku. Bau buku yang menggodanya untuk tinggal dan membaca sampai lupa waktu.

Jari-jarinya berlalu diantara buku-buku dan berakhir pada satu judul buku asing yang menarik perhatiannya.

Wuthering Heights.

Syu Rie menelan salivanya dan perlahan menarik buku terjemahan tersebut. Tangannya sedikit bergetar..

“Hei.”

Syu Rie terkesiap, tetapi untungnya ia masih cukup sigap untuk tidak membuat buku tersebut terlepas dari genggamannya, “Junmyeon-ssi.”

“Kau tidak apa-apa? Apakah aku mengagetkanmu?” Junmyeon tersenyum ramah.

Syu Rie tersenyum dan tertawa sedikit untuk menutupi keterkejutannya, “Tidak. Kenapa Junmnyeon-ssi bisa ada disini?”

“Aku sedang mencari-cari buku tentang musik. Tapi aku menemukanmu jadi aku memutuskan untuk menghampirimu.”

“Wae?”

“Ehmm, kupikir kau kandidat yang cocok. Jadi maukah kau tampil duet bersama Kai?”

Syu Rie terdiam sejenak, wajahnya jelas-jelas membeku tanpa bisa menjawab Junmyeon satu kata pun. Apakah ia harus? Sebenarnya ia tidak keberatan. Hanya saja Kai, namja itu yang menahannya. Apakah dia setuju? Terlalu jujur, tapi ia jelas-jelas tidak ingin terlibat percakapan tegang dengan namja itu terlalu sering.

Tunggu!

Tidak ingin terlibat?

Hah! Syu Rie akhirnya mengingat kembali kalau ia masih marah dengan namja itu karena namja itu berani menamparnya dan ia masih memiliki tugas untuk mengetahui ada apa dengan botol bening tersebut.

“Hmm, Kai dia…”

“Aku setuju. Tenang saja. Asalkan itu bisa membantu aku siap, bahkan jika Kai tidak setuju tapi jika ini untuk sekolah aku berani mengambil resiko.” Syu Rie memotong Junmyeon dan termenung setelahnya. Ia telah mengatakan sesuatu yang berada diluar keinginannya. Dari mana ia mendapatkan rangkaian kalimat tersebut?

“Ehem…”

Syu Rie tersadar, “Ah, mianhae Junmyeon-ssi.”

“Ada di mana kau Syu Rie-ssi? Kau sudah mengabaikanku dua kali. Apakah kau tidak menyadari kalau aku ini seniormu?” Junmyeon menatapnya bukan dengan ekspresi tersinggung melainkan wajah bercanda.

Namun kata senior cukup menghentaknya, “Maafkan aku, sunbaenim.” Syu Rie langsung membungkukkan tubuhnya.

“Ahaha, tidak apa-apa. Santai saja.”

“Kenapa sunbae tidak memberitahuku dari awal? Seharusnya sunbae tahu kalau aku in murid baru dan tidak mengetahui apa-apa.” Syu Rie benar-benar merasa bersalah sekarang.

“Tidak apa-apa. Justru aku membiarkannya agar kau tidak canggung. Lagipula kalau kau menganggapku seangkatan denganmu berarti aku cukup awet muda bukan?”

Hanya terpisahkan satu rak, bersenderlah Kai. Tangannya masuk ke saku celananya, sebuah senyum geli tersungging di sudut bibirnya, “Dia bodoh sekali. Lupakah dia kalau ia adalah murid kelas 3?”

***

Syu Rie membuka pintu mobilnya dan berjalan menuju pintu rumah. Sebelum memasuki rumah tersebut ia masih sempat untuk menghela nafasnya sejenak, memasuki rumahnya seakan membuatnya teringat kembali ia bukanlah gadis remaja biasa. Kakinya melangkah masuk, dentam halus dari sepatunya terdengar ketika mengetuk lantai marmer. Rumahnya amat sangat sepi – luas dan sepi. Membuatnya merasa kecil dan sendirian.

Tanpa memiliki jeda, Syu Rie sudah menaikki tangga dan memasukki kamarnya. Begitu tangannya menutup pintu ia menghempaskan ranselnya ke tempat tidur, sedangkan dirinya mencapai lemari untuk mencari baju yang nyaman. Tangannya berhasil meraih kaus dan celana pendek.

Blam.

Ia menutup pintu lemarinya tapi ia yakin, suara yang didengarnya bukanlah suara lemari di tutup. Melainkan seseorang baru saja datang, dan kemungkinan yang ada di pikirannya adalah Ahreum.

Secara tiba-tiba mengingat Ahreum, Syu Rie merasa lapar. Mengulum tawanya Syu Rie berjalan cepat menuruni tangga dan berbeda dengan dugaannya melainkan menemukan sosok seorang gadis ia malah berpapasan dengan wanita paruh baya.

“Agassi.”

Syu Rie menganggukkan kepalanya dan sekilas melihat belanjaan yang di bawa oleh wanita itu, “Ajhuma mau memasak?”

Ajhuma tersebut tersenyum menampakkan keriput di wajahnya, “Benar agassi. Wae?”

“Ehmm, aku bertanya-tanya mungkinkah aku bisa membantu.”

Pada awalnya ajhuma yang setelah bertanya diketahui bahwa ia bermarga Park, menolak keinginan Syu Rie dengan alasan memasak adalah tugasnya dan ia sebagai pembantu. Namun berkat kekeras kepalaan Syu Rie akhirnya Park ajhuma mengizinkannya.

Dan sekarang sudah menginjak setengah jam Syu Rie dan Park ajhuma berada di dapur. Masakan mereka sudah hampir selesai. Perut Syu Rie semakin memberontak ketika wangi masakan terhirup hidungnya.

“Wanginya enak!”

“Ehehe, cicipilah agassi, pasti rasanya lebih enak lagi.” Park ajhuma tersenyum.

Syu Rie mengambil sesendok kaldu dan merasakannya. Kontan rasa kaya dari kaldu ayam tersebut terkecap di lidahnya, “Mashita!”

Park ajhuma tersenyum melihat majikannya menyukai masakannya.

Blam.

Park ajhuma mengalihkan perhatiannya dan berjalan untuk melihat siapa yang baru saja datang di susul dengan Syu Rie yang penasaran. Begitu mereka keluar dari dapur dan mendekati ruang tengah, mereka dapat melihat sosok Kai. Namja itu baru saja pulang.

“Selamat datang tuan muda.” Park ajhuma langsung membungkuk hormat yang dibalas Kai dengan anggukan singkat.

Sementara Syu Rie terdiam ketika matanya tidak sengaja menatap mata Kai. Syu Rie merasa canggung dengan kehadiran namja itu, biasanya namja itu tidak pulang sepagi ini.

Berbeda dengan Syu Rie yang jelas-jelas tidak nyaman, Kai hanya mengedikkan bahunya dan berjalan ke dapur. Tujuannya adalah kulkas, ia menginginkan air dingin untuk menghilangkan lelahnya.

“Makan tuan?” Park ajhuma mengejutkan Kai dengan kedatangannya.

“Tidak. Saya akan pergi lagi.”

Park ajhuma hanya dapat menangguk dan melanjutkan kegiatan memasaknya, sedangkan Syu Rie baru saja sadar dan menyusul dibelakang ajhuma beberapa detik kemudian. Ia berpapasan dengan Kai yang melewatinya. Syu Rie otomatis berputar untuk sekedar mengamati ke mana langkah Kai akan berakhir.

“Kau mau pergi lagi?” Syu Rie berbicara begitu menyadari tujuan namja itu adalah pintu.

Namun sia-sia ia telah mengeluarkan beberapa patah kata, Kai tidak menjawab pertanyaannya.

Syu Rie memandangi kepergian Kai selama satu menit penuh. Hah, namja itu sungguh tidak mudah untuk dipelajari. Ia bahkan pergi lagi tanpa mengganti seragamnya, dan hanya satu kesimpulan yang ada di benak Syu Rie. Namja itu memang tidak ingin di rumah dan tinggal bersama dirinya dan Syu Rie amat sangat tahu itu.

Syu Rie memilih untuk tidak peduli dan melanjutkan langkahnya menuju dapur.

“Agassi, apakah agassi tahu ke mana tuan muda pergi?” pertanyaan itu menyambutnya begitu ia sudah berada pada posisinya, mengaduk-aduk panci berisi soup.

“Tidak. Ia memang jarang berada di rumah.”

“Kalau begitu haruskah aku mengurangi porsi masakanku?”

Syu Rie terdiam sejenak, “Ehmm, tidak perlu”

Karena Syu Rie tidak pernah melihat makanan sisa di meja pagi hari setelah ditinggalkannya sesudah makan malam.

****

Hari sudah malam dan Syu Ri sedang membaca Wuthering Heights – ia berhasil meminjamnya, ketika ponselnya bergetar. Syu Rie mengalihkan perhatiannya untuk melihat nomor siapa yang tertera di sana. Matanya menangkap unknown number dan pada kesempatan pertama ia mengabaikan panggilan itu. Namun habis juga kesabarannya ketika nomor itu menghubunginya 3 kali berturut-turut tanpa henti.

“Halo?”

“Syu Rie-ssi!”

Syu Rie terdiam dan mengetahui siapa yang baru saja menghubunginya. Keadaan menjadi hening seketika, Syu Rie menangkap informasi yang dituturkan dari sebrang sana.

Detik demi detik berlalu, akhirnya Syu Rie mengangguk.

Dengan gerakan ringkas Syu Rie bangkit mengenakan cardigannya dan cepat-cepat keluar dari kamarnya. Ia terlihat mencari-cari sesuatu di pintu depan dan berkahir dengan menyambar kunci mobil di gantungan dekat pintu.

 

-:Kai PoV:-

Ingar-bingar musik yang menusuk-nusuk telingaku membuat jenuh. Sudah cukup lama aku berada di sini, bahkan ini sudah menjadi keseharianku. Tanpa ampun aku sudah mengambil gelas berisi cairan bening dan meminumnya dalam satu tegukan.

“KAI!”

Seseorang meneriakkan namaku dan aku langsung tahu itu siapa, tentu saja Sehun, orang yang menemaniku di tempat penuh dosa ini. Ah bukan. Karena Sehun memang bekerja menjadi bartender di sini otomatis ia selalu ada dan menemaniku setiap hari.

“Ada apa?” tanyaku.

“Kau sudah minum berapa banyak? Seungjo! Jangan memberikannya lagi minuman!” Sehun mencengkram bahuku dan berteriak ke arah rekannya yang melayaniku sebelum ini.

“Tidak kuhitung.” Memoriku mulai berkelebat tentang gelas-gelas yang telah aku tegak isinya lalu perlahan bayangan itu menghilang digantikan pandanganku yang mengabur. Kepalaku berputar seperti berada dalam roller coaster atau mungkin lebih buruk.

“Lihat! Ada apa dengamu? Kau minum banyak sekali? Adakah masalah?”

Hah. Hidupku memang sudah penuh dengan masalah, tapi kutahu yang dimaksudkannya adalah masalah yang lebih serius.

“Ah….” aku mengantungkan kalimatku.

“Ck! Jawab aku atau kau tidak akan pernah menginjakkan kakimu di sini lagi. Kau telah melanggar kesepakatan denganku. Kau lupa mengapa aku mengizinkanmu datang setiap hari?”

Ani, aku tidak lupa. Aku tersenyum tipis, well, aku selalu kemari untuk mencari obat tidurku – alhokol satu sampai tiga gelas. Tapi hari ini aku melampaui batasku.

“Ash… seseorang harus membawamu pulang.” Sehun menggerutu dan kurasakan ia merogoh saku jaketku. Ia meraih ponselku sebelum melakukan niatnya ia menatapku, dan aku menatapnya dengan ‘jangan orang tuaku’.

Setelahnya aku memejamkan mataku, menunggu orang yang akan menjemputku – yang aku masih tidak tahu siapa orangnya.

***

“Astaga!”

Aku mengerjapkan mataku mendengar suara tercekik seorang yeoja. Dengan kemampuan memandangku yang masih buram aku mencoba mengidentifikasikan siapa yeoja itu.

“Kau membawa mobil bukan?”

Yeoja itu mengangguk.

“Baiklah, aku bantu kau membawanya ke mobil. Kkaja.”

Kurasakan Sehun mencoba untuk memapahku tapi aku menarik tanganku. Konsentrasiku masih untuk mengidentifikasikan siapa gadis tersebut. Situasi ini seperti de javu.

Ia dirinya.

Permainan piano itu.

Dapur…

Semua ingatanku bercampur aduk. Aku bisa merasakan sekali lagi ingatan masa laluku dengan ingatanku yang sekarang bersinggungan bahkan bertubrukan dan menempel menjadi kepingan yang serupa.

“Ugh…”

Lalu yeoja itu membantu Sehun dan menarik tanganku ke pundaknya, dan aku tidak melawan lagi.

Eun Syu Rie….

Gadis dengan rambut hitam panjang lurus….

They’re two different people, yet with so much similiarity. In my eyes and mind.

-:Syu Rie PoV:-

‘Kumohon Syu Rie-ssi. Jangan beritahukan kejadian ini pada siapapun.’

Aku menghela nafasku, siapapun termasuk teman-teman Kai yang lain bukan? Juga eomonim dan abeonim. Appa dan juga eomma. Aku tidak akan keberatan untuk tidak mengatakannya pada siapapun, itu sama sekali bukan hobiku.

Namun setelah beberapa jam ini menunggu Kai bangun, pekerjaanku hanyalah bertanya-tanya. Kai… aku sama sekali tidak dapat mengerti. Apa yang terjadi di kamarnya. Atap sekolah. Kantin. Sekarang ini.

Untuk apa ia pergi ke bar sampai mabuk begitu?

Ting..

“Ah, haejangguknya!”

Aku langsung bangkit dari tempatku dan dengan telaten menyiapakan haejangguk yang sudah masak tersebut. Ramuan sup tersebut cukup sederhana; iga babi, kubis yang dikeringkan, darah sapi yang sudah beku, ebi, dan beberapa jenis sayuran. Untunglah aku pernah belajar membuatnya dan bahan-bahannya ada. Aku meletakkan mangkuk berisi haejangguk dan segelas air putih ke nampan dan naik ke lantai atas – kamar Kai.

Aku berdiri cukup lama pintu yang tidak tertutup rapat itu sebelum memutuskan untuk benar-benar masuk. Pandanganku menyisir isi kamar tersebut, yang tidak jauh berbeda keadaanya dengan terakhir kali aku bertamu waktu itu.

Aku mendapati Kai sudah bangun dan sedang bersandar pada kepala tempat tidur. Perlahan aku berjalan mendekat dan meletakkan nampan yang aku di meja samping tempat tidur.

“Makanlah. Ini baik untuk mabuk.” Kataku, biasanya ketika bertamu ke kamar seseorang aku pasti langsung duduk di pinggir tempat tidur. Tapi akuhanya berdiri kali ini menunggu jawaban Kai.

“Kau tidak tidur?” Kai menatapku menaikkan alisnya.

Jari tanganku refleks mengecap bawah mataku, “Ne, kelihatan ya?”

“Tentu saja. Well, gomawo supnya. Sekarang kau lebih baik istrirahat.” Katanya beranjak bangkit.

Aku hampir saja mengikuti sarannya untuk pergi beristirahat tapi begitu melihat angka yang tertera pada jam di kamar Kai, “Ani, aku akan sekolah.”

Aku cepat-cepat berbalik, tapi Kai meraih tanganku dan menahanku di tempat. Aku tidak berani menoleh dan diam dalam posisiku seperti patung sementara seluruh tubuhku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.

“Boloslah satu hari. Tuan Han bisa membuatkan kita surat sakit. Menurutlah daripada kau membuat gempar satu sekolah dengan pingsan.” Kai berkata dengan nada yang tidak bisa ditolak.

“Ehem, apa urusanmu? Aku akan baik-baik saja dan lebih baik aku pergi sekarang, kau juga butuh istirahat bukan?” aku berusaha menarik tanganku dari genggamannya, dan saat proses tersebut sialnya pandangan mataku melewati benda mau yang telah membuat tragedi – botol itu.

“Terserah padamu. Aku hanya memberikan saran.”

Lalu pergelangan tanganku yang tadi dipegang Kai merasakan dingin karena perubahan keadaan. Tanpa bicara lagi aku langsung berjalan menuju pintu. Dan ketika berbalik untuk menutup pintu mataku melirik ke arah Kai dan botol itu.

Cklek.

Aku menyandarkan punggungku pada pintu, merasakan betapa beratnya tubuhku juga kelopak mataku. Aku berusaha memulihkan diri dengan menghirup dan menghela nafasku. Setelahnya aku memisahkan diri dari pintu, melangkah menuju kamarku.

Sepanjang jalan menuju kamarku aku kembali bertanya-tanya tentang Kai.

TO BE CONTINUE…

 


[FREELANCE] Illa.. Illa.. (Chapter 5)

$
0
0

Illa Illa

Title : Illa.. Illa..

Author | Artwork | Twitter : @auliaylsnov

Genre : Alternatif Universal, Angst, Sad

Length : Chapter || Status : Chapter 5 || Rating : PG-15

Main Casts : Kim Hye Sun (OC) | Kevin Wu (Kris EXO-M) |

Zhang Yi Xing (EXO-M)

Support Casts : Kim Jongin (Kai EXO-K) | Jung Soojung (Krystal f(x))
| Kim Junmyeon (Suho EXO-K) | Oh Sehun (Sehun EXO-K) | etc

Ost :

Juniel – Illa Illa | Ailee – Evening Sky

Disclaimer :

Well, FF ini terinspirasi dari MV Juniel – Illa Illa, tapi ingat! Hanya 30% dari MV, karena secara keseluruhan sampai FF ini selesai, hasil pemikiran aku selama begadang tiap malam -_- #poorME jadi tidak termasuk SONGFIC. Hehehe^^

 

Warning :

The story pure mine. Dont be plagiator! Tolong hargai karya author >,<

TOLONG PERHATIKAN WAKTU yang tertera pada FF part ini karena berhubungan dengan part2 selanjutnya

Ok, enjoy it chingudeul~

“Harapan dan keputusasaan. Semuanya tidak bisa kupungkiri. Aku berharap kau akan hadir disini, namun aku juga putus asa akan harapan itu sendiri. Menunggumu, apakah itu hanya akan menjadi hal yang sia-sia? Karena kekosongan ini hanya sempat terisi beberapa saat saja. Seandainya.. kau mau mendengarkanku sebentar saja…”

-Kim Hye Sun-

“Akibat ketidaksengajaan, dan kesalahpahaman, membuatku menjadi merasa sangat bersalah padamu. Aku akan menebus kesalahanku. Karena dengan cara itulah bisa membuatku semakin mengenalmu, dan hal itu membuatku lebih semangat menjalani hidup.”

-Zhang Yi Xing-

“Kebodohanku, kecemburuanku, keegoisanku, membuatmu menjadi sangat amat terluka. Aku tahu beribu kata maaf pun yang keluar dari mulutku tidak akan membalikkan keadaan seperti semula. Tapi, masih adakah kesempatan kedua untuk bersamamu kembali?”

-Kevin Wu-

Story’s Begin

Beberapa Hari Kemudian…

Sejak dokter menyatakan bahwa Hye Sun akan mengalami kebutaan secara perlahan, Jongin, Junmyeon dan Yixing dengan giat menyebarkan informasi untuk mencari pendonor yang mau mendonorkan retina matanya meski sangat sulit.

Di kampus, Jongin membagikan brosur-brosur buatannya kesetiap penjuru kampus dan menempelkannya disetiap mading dan papan informasi yang disediakan oleh kampus. Hingga Sehun mengetahui apa yang dilakukan sahabatnya tersebut melalui papan informasi yang ada di depatemen school of drama. Sehun langsung mengambil brosur tersebut dan segera mencari Jongin untuk memastikan brosur yang dibacanya tersebut.

Seperti dugaan Sehun ternyata Jongin berada di cafetaria dengan setumpuk brosur yang berada diatas meja. Sehun memesan bubble tea kesukaannya dan duduk berhadapan dengan sahabatnya tersebut.

“Jongin, apa maksud dari brosur ini? untuk apa kau mencari pendonor retina mata?” tanya Sehun to the point.

“Bukan urusanmu.” Jawab Jongin dingin.

“Tentu ini urusanku, kau itu sahabatku! Aku berhak tahu!” jawab Sehun tegas. Jongin menghela nafasnya berat.

“Ini untuk Noonaku, puas?” Sehun langsung terdiam mendengarnya. Ia berfikir sejenak.

“Kenapa bisa? Karena benturan dikepalanya?” Jongin hanya mengangguk.

“J-ja-jadi? Hye Sun Noona tidak bisa melihat sekarang?”

“Hampir… tadi pagi ia bilang penglihatannya mulai mengabur dan lama kelamaan semuanya menjadi gelap.” Ujar Jongin lirih. Ia mengelap sudut matanya yang mulai berkaca-kaca.

Mianhae Jongin-ah…” ucap Sehun lirih. Ia turut prihatin atas kejadian yang menimpa Hye Sun Noona.

“Aku akan membantumu juga untuk mencarikan pendonor tersebut.”

“Ne, gomawo Sehun-ah..” Jongin tersenyum kecil. Sehun pun memeluk dan menepuk punggung sahabat kecilnya tersebut.

“All is well, Jongin-ah!” bisiknya pelan di telinga Jongin. Laki-laki berkulit tan itu mengangguk pelan.

 

~~~~~~

 

Hari-hari telah berlalu. Kalender pun sudah berganti menjadi bulan Agustus. Tidak terasa hampir dua bulan bulan Hye Sun berada di rumah sakit. Selama itu juga penglihatan Hye Sun tidak mengalami peningkatan menjadi lebih baik tapi sebaliknya, semakin memburuk. Membuat Junmyeon, Jongin dan Yixing semakin khawatir. Sejak akhir bulan Juli pula Hye Sun dibawa kembali ke rumah karena keuangan Junmyeon sudah menipis. Sehingga Hye Sun membantu Junmyeon dengan cara kembali ke florist milik keluarga mereka, sedangkan Jongin menjadi pegawai part time di Xiu’s Coffee.

Kini Hye Sun dan Yixing berada di Kim’s Florist. Mereka sedang menata bunga-bunga yang baru saja dikirim oleh produsen bunga hias potong untuk dijual kembali oleh Kim’s Florist.

“Hye Sun-ah?” panggil Yixing yang tengah mengangkat pot-pot bunga ke pinggir ruangan.

“Ne?”

Mianhae kalau aku lancang. Tapi bagaimana kau mengenal bunga-bunga ini kalau…” kata-kata Yixing menggantung.

Gwaenchana. Aku bisa melakukannya asal kau tidak mengacak-acak posisi bunga-bunga yang sudah tertata sekarang, Yixing-ssi.” Terang Hye Sun dan tersenyum. Senyumannya mampu membuat hati Yixing berdesir.

‘Ada apa denganku? Senyuman tadi, cantik sekali…’ batinnya.

“Tidak-tidak-tidak!” gumam Yixing pelan.

Wae, Yixing-ssi?” tanya Hye Sun heran.

“Eoh? Gwaenchana.. hehehehe… benarkah kau bisa melakukannya? Boleh aku mengetesnya untuk memastikan?” tanya Yixing dan Hye Sun mengangguk.

“Siapa takut?” ucap Hye Sun seolah-olah menantang Yixing. Membuat keduanya tertawa.

“Baiklah, kalau begitu tunjukkan padaku dimana bunga…. Tulip!” seru Yixing, dan Hye Sun berjalan perlahan-lahan menuju deretan bunga dan meraba-raba dengan kedua tangannya

“Ini, tulip. Benar kan?” tanya Hye Sun. Lalu Yixing mengoreksinya. Sebenarnya Yixing juga tidak terlalu paham tentang dunia bunga. Untungnya di bawah keranjang bunga tersebut terdapat keterangan nama “tulip”, Yixing pun tersenyum lebar.

“Whoooaaa! Neomu jeongmal daebak, Hye Sun-ah! Yang kau pegang benar-benar bunga tulip.” Yixing memberikan kedua jempolnya kearah Hye Sun namun percuma, gadis itu tidak bisa melihatnya.

“Kau sebagai penjual bunga bisa memberitahu apa makna-makna dari bunga-bunga yang kau jual ini?” tanya Yixing dan gadis itu mengangguk.

“Secara umum, tulip berarti ketenaran, kemurahan hati dan pernyataan cinta. Yixing-ssi apa warna tulip yang aku pegang sekarang?”

“Warnanya? Warna warni.. bermacam-macam. Ada putih blasteran pink dan kuning.” Jawab Yixing.

“Artinya, jika kau memberikan bunga ini pada seseorang maka sama saja dengan kau memuji seseorang itu mempunyai mata yang indah.” Terang Hye Sun.

“Kalau begitu, aku akan memberikan bunga ini kepadamu, Hye Sun-ah~” Yixing mengambil bunga yang berada ditangan Hye Sun dan memberikannya kembali kepada gadis itu.

“Heoh? Aku? Benarkah?” Hye Sun tidak percaya.

“Tentu saja. Kau mempunyai mata yang indah dan berbinar.” Ucapan Yixing membuat kedua pipi Hye Sun bersemu merah.

“Sayangnya aku tidak bisa melihat, Yixing-ssi.” Ucapnya lirih. Membuat Yixing merasa tidak enak.

Mianhae, Hye Sun-ah… aku jadi tidak enak padamu.” Pria itu menggaruk kepalanya pelan.

“Hahaha~ Gwaenchana~ kau tidak perlu meminta maaf.”

“Hye Sun-ah bisakah kau tidak memanggilku dengan embel-embel –ssi? Cukup memanggilku Yixing karena kita seumuran.” Terang Yixing.

“Heoh? Jeongmal?”

“Ne, Jeongmal..”

“Baiklah Yixing…” Hye Sun pun tersenyum, dan bagi Yixing itu adalah senyuman termanis yang pernah ia lihat. Ia tidak bohong.

“Lalu—“ baru saja Yixing ingin bertanya lagi. Seseorang masuk ke dalam florist dan bel pun berbunyi secara otomatis.

“Selamat datang di Kim’s florist! Ada yang bisa aku bantu?” ujar Hye Sun dengan sigap.

“Ne, gamsahamnida! sebelumnya aku tidak mengerti tentang bunga. Namun aku ingin mengungkapkan cintaku pada seseorang. Aku sudah mencintainya sejak lama, secara rahasia dan diam-diam. Kira-kira bunga apa yang tepat untuk diberikan padanya?” tanya seseorang dengan suara berat khas pria tersebut.

“Hm.. kau bisa memberinya bunga mawar putih. Mawar putih artinya adalah cinta abadi, polos, amat menyenangkan, rahasia dan diam. Menurutku bila ditambah dengan baby’s breath akan lebih cantik. Baby’s breath sendiri artinya hati yang suci, cinta yang tiada pernah berakhir dan kebahagiaan. Jika digabungkan dengan bunga mawar menjadi simbol cinta sejati yang teramat kuat.” Terang Hye Sun. Membuat Yixing dan pengunjung yang datang tersebut takjub.

“Baiklah. Aku mengikuti saranmu, agasshi. Tolong berikan aku satu buoquet bunga tersebut.” Ujarnya dengan bahagia.

Ne, chakkaman..” Hye Sun dengan cekatan melakukannya meskipun terhalang oleh penglihatannya yang terkadang gelap, terkadang samar-samar. Yixing hanya memperhatikannya dari kejauhan. Memandangi gadis itu menjadi hobinya akhir-akhir ini. Ia tersenyum penuh makna.

“Ia kekasihmu, tuan?” tanya pengunjung tersebut. Yixing sontak kaget mendengarnya.

“Eh? Ani.. aku hanya temannya.” Jawab Yixing singkat.

“Tapi kulihat kalian sangat cocok.” Bisik pengunjung tersebut. Yixing hanya terkekeh pelan.

“Jika itu memang benar, semoga aku bisa mendapatkannya.” Balas Yixing. Namun setelah itu ia berfikir ulang ‘Apa yang kau katakan barusan, Yixing?’ ia menepuk keningnya pelan.

Mereka pun kembali memperhatikan Hye Sun yang masih merangkai bunga-bunga yang ada ditangannya. Yixing heran bagaimana gadis itu bisa merangkai bunga dalam keadaan seperti itu? Naluri? Atau ia mempunyai mata batin? Sekali lagi Yixing takjub melihatnya.

“Ini bunganya, tuan.” Hye Sun menyerahkan satu boquet bunga pesanan kearah pengunjung yang ada disamping Yixing, namun ia malah berjalan kearah Yixing.

“Hye Sun, kau salah arah. Ini ak, Yixing. Hehehe…” Yixing terkekeh pelan. Membuat Hye Sun malu dna pipinya bersemu merah.

“Gomawo agasshi.. berapa harganya?”

“30.000 won” jawab Hye Sun. Pengunjung tersebut merogoh kantongnya dan mengambil uangnya.

“Ini, uangnya pas.”

Gamsahamnida..” Hye Sun membungkukkan badannya.

“Seharusnya aku yang berterima kasih. Hm.. aku minta doa dari kalian berdua, semoga aku diterima oleh orang yang aku cintai.”

“Tentu saja aku akan mendoakanmu dengan senang hati. Semoga kalian bisa menjadi sepasang kekasih.” Doa Hye Sun tulus.

Ne, aku juga berharap kalian juga bisa menjadi sepasang kekasih karena kalian berdua cocok!” ujar pengunjung tersebut membuat Hye Sun dan Yixing salah tingkah.

“Ah~ anda bisa saja~” ujar keduanya bersamaan. Membuat pengunjung tersebut bertepuk tangan.

“Feelingku benar! Kalian saja menjawabnya dengan serempak.”

“Ah? Itu hanya kebetulan…” ujar Yixing cepat.

“Hm.. ne, ne ne.. maaf aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus pergi karena aku akan menemui gadis itu sekarang. Annyeong!” pengunjung itu melambaikan tangannya dan meninggalkan Hye Sun dan Yixing berdua.

“Semoga berhasil! Jangan lupa datang lagi kesini!” Hye Sun berteriak sembari melambaikan tangannya. Tidak peduli diarah mana pengunjung tadi pergi.

“Hye Sun-ah?” panggil Yixing pelan.

Ne, Wae Yixing-ah?” Hye Sun menoleh kearah sumber suara. Sekarang yang dapat diandalkan oleh Hye Sun adalah indera pendengarannya.

“Ajari aku makna-makna bunga yang lain…” pinta Yixing.

“Ne, dengan senang hati…” balas Hye Sun.

“Aku ingin memulainya dari bunga mawar dulu.”

“Hm.. baiklah…”

“Sambil duduk saja, ne?”

“Ne…” Yixing pun menuntun Hye Sun untuk duduk di dekat kasir. Ia memberikan kursi untuk Hye Sun dan ia sendiri duduk berhadapan dengan Hye Sun. Memandangi wajah polos dan cantik milik gadis itu. Yixing tersenyum manis.

Cha.. lanjutkan penjelasannya!”

“Jadi mawar itu memiliki banyak warna. Ada warna merah, putih, pink, kuning dan hitam. Setiap warna memiliki artinya masing-masing. Warna merah artinya—“

‘Tsk’ mungkin begitu suara setetes darah segar yang mengalir dari hidung Yixing yang mengenai punggung tangan putih milik Hye Sun.

“Apa ini?” gumam gadis itu pelan. Ia mengarahkan punggung tangannya kearah hidungnya. Yixing yang segera sadar dengan lamunannya segera mengelap setetes darah tersebut dengan sapu tangan yang ada disakunya.

“Bukan apa-apa. Hye Sun aku ke toilet sebentar, boleh? Tiba-tiba aku ingin buang air.” Yixing berbohong dan mencoba menyembunyikan kepanikannya.

“Ne..”

Chakkaman, ne?”

“Ne..”

Yixing segera berlari kearah toilet sambil menutupi hidungnya yang masih mengalir darah segar. Ia segera membersihkannya dengan menggunakan air di wastafel. Yixing menatap wajahnya yang terpantul di cermin. Pucat dan sendu.

“aku belum minum obat hari ini..” gumam Yixing pelan.

 

~~~~~~

 

Hye Sun penasaran apa yang baru saja menetes ke punggung tangannya. Ia mengarahkan punggung tangannya kearah hidungnya untuk memastikan, namun suara bel berbunyi menandakan ada seseorang masuk ke dalam floristnya.

“Selamat datang di Kim’s florist… ada yang bisa saya bantu?” ujar Hye Sun dengan sigap.

“Apa aku bisa bertemu dengan Noonaku yang bernama Kim Hye Sun disini?” ujar seseorang yang sangat Hye Sun kenal suaranya, Jongin.

“Jongin-ah~” ujar Hye Sun manja. Yang dipanggil tertawa pelan.

“Ternyata Noonaku mengenaliku…” Jongin memeluk kakak perempuannya tersebut.

Noona sendirian disini?” Hye Sun menggeleng.

“Aku bersama Yixing tapi ia sekarang di toilet.” Jongin hanya meresponnya dengan mengangguk.

“Ah! Hyung! Annyeong!” Jongin melambaikan tangannya pada Yixing yang barusan keluar dari toilet. Yixing hanya membalasnya dengan senyuman.

Mianhae.. aku tidak bisa lama-lama, Jongin, Hye Sun. Tiba-tiba aku ada urusan kantor. Tidak apa-apa, ‘kan kalau Hye Sun kutitip padamu?” Yixing menepuk pundak Jongin pelan.

“Ne, hyung. Gwaenchana. Lagipula hyung sudah menemani Noona sejak tadi pagi. Maaf merepotkanmu, hyung.”

“Sudahlah, aku lelah mendengar kata-kata itu terus keluar dari mulutmu Jongin. Hahaha… sudah menjadi kewajibanku menjaga Hye Sun. Hye Sun, Mianhae aku harus pergi dulu… sehun-ssi, juga! annyeong!”

“Annyeong Yixing… sampai jumpa besok! joshimae!” Hye Sun melambaikan tangannya kearah sumber suara Yixing berada. Yixing mengacak rambut Hye Sun pelan. Membuat gadis itu terdiam atas perlakuan Yixing yang persis sama dilakukan oleh ‘seseorang’.

Gomawo…” ucap Yixing pelan lalu berjalan kearah pintu keluar florist.

‘Kenapa jantungku berdegub kencang ketika Yixing melakukan hal itu padaku? Ia mengingatkanku pada Ke—‘

Noona? Noona? Wae?” Jongin menggoayangkan kedua pundak Hye Sun pelan.

“Ah? Ne? Mianhae.. Noona melamun, Jongin-ah~”

“Ah~ Noona membuatku takut…” Jongin bernafas lega. Ia menyingkirkan rambut kakak perempuannya tersebut ke belakang daun telinganya dan menuntunnya untuk duduk ditempatnya lagi.

Noona dan Yixing hyung semakin dekat. Aku senang.” Ucap Jongin jujur. Membuat Sehun memicingkan kedua matanya.

‘Apa maksudmu, Jongin?’ batinnya sambil melihat kearah Jongin.

“Jongin-ah~ aku dan Yixing hanya berteman. Ia hanya merasa bertanggung jawab karena insiden dua bulan yang lalu.” Ujar Hye Sun dengan menggenggam tangan adik laki-lakinya tersebut.

Ne.. ne… ne..” Jongin mengalah, membuat Hye Sun tersenyum.

Noona, kau sudah makan belum? Tadi atasanku Xiumin hyung memberiku gaji dan bonus tambahan karena aku sudah bekerja keras di Kedai Kopi miliknya. Aku membelikanmu sundubu jigae, makanan favoritmu. Aku akan menyuapimu makan, ne?”

“Tapi Jongin—”

Noona, kau tidak boleh menolaknya! Lagipula aku hanya membelikannya untukmu saja. Aku sudah makan di kedai pinggir jalan bersama Sehun tadi.”

Ne, baiklah..” Hye Sun mengalah.

“Aku siapkan dulu. Chakkaman!”

“Jongin~ah? Sehun~ah?”

Wae Noona?” tanya Jongin dan Sehun serempak.

“Kapan kalian masuk kuliah lagi? Bukankah liburan musim panas sudah berakhir, ne?” tanya Hye Sun.

“Besok, Noona. Wae?” tanya Jongin.

“Kalau begitu, fokuslah pada kuliahmu. Berhentilah bekerja..”

Wae? Aku sudah nyaman bekerja disana. Lagipula hanya part time.”

“Jongin~ah

Noona.. dengarkan aku, jika kita tidak bekerja bagaimana kita menghidupi keluarga kita? Mana mungkin aku terus mengandalkan Junmyeon hyung dan Noona, lagipula aku ini laki-laki. Harus belajar bagaimana cara mencari uang. Oh ya, aku mendapatkan beasiswa dari universitas, jadi biaya kuliahku bisa untuk pengobatan Noona.” Terang Jongin sambil memegang pundak Hye Sun. Membuat gadis itu langsung menangis.

“Jongin~ah” Hye Sun memeluk adik laki-lakinya tersebut.

Gwaenchana, Noona~” Jongin mencium puncak kepala Hye Sun dan mengelus punggungnya. Sehun hanya bisa diam dari tadi melihat adegan tersebut. Membuatnya sedikit kesal dan membenci Kevin yang merupakan sepupunya dan ia juga membenci dirinya sendiri karena tidak pernah memberi tahu tentang hal ini pada Kevin.

“Hapuslah airmatamu, noona~ uljimayo~ jebal~” pinta Jongin.

“Ne… Hhehehe…” Hye Sun terkekeh pelan.

“Jongin~ah?”

“Ne? Ada apalagi Noona?”

“Bagaimana hubunganmu dengan perempuan bernama Soojung itu? Apakah ia masih bersamamu?” mendengarnya Jongin menjadi senang.

“Ne.. kami masih berhubungan. Tapi ia sedang liburan di Kanada bersama keluarganya.” Terang Jongin.

“MWO? JINCHA?” pekik Sehun tidak percaya. Membuat Hye Sun dan Jongin kaget sekaligus heran. Sehun menepuk keningnya pelan. ‘Sehun bodoh!’ umpatnya dalam hati.

“Kenapa kau kaget? Memangnya ada apa kalau Soojung ke Kanada?” tanya Jongin polos. Membuat Sehun mengumpati laki-laki itu dalam hatinya. ‘Kau terlalu polos atau bodoh, Jongin~ah?’

“Ah~ Gwaenchana… aku hanya kaget karena aku belum pernah sama sekali ke Kanada. Hehehehe…” Sehun tertawa hambar. Jongin memicingkan matanya, ia tidak percaya. Tapi ia gubris perasaan itu dan kembali mengurus Hye Sun.

“Yasudahlah… Noona ayo kita makan!” Hye Sun pun disuapi oleh Jongin pelan-pelan.

 

~~~~~~~~

 

Sementara di Korea sudah 1 hari lebih awal yakni tanggal 1 Agustus 2012, sedangkan kota Vancouver masih satu hari kebelakang, yakni tanggal 31 Juli 2012.

Seorang pria dengan setelan jas rapih duduk di kursi kebesarannya tengah termangu menatap sebuah kalender meja di depannya. Di meja tersebut terdapat papan nama bertuliskan Kevin Wu as Manager Executive. Ya, pria tersebut bernama Kevin Wu. setelah itu ia mengambil spidol yang ada di kotak pensil yang ada di sudut mejanya lalu mencoret salah satu tanggal yang ada di kalender tersebut dan kembali lagi termenung.

“Tok.. tok.. tok..” pintu ruangannya berbunyi namun Kevin tetap tidak bergeming.

“Tok.. tok.. tok.. Pak Kevin?” suara sekretarisnya membuyarkan lamunan Kevin.

“Maaf! Kau bisa masuk sekarang..” jawab Kevin. Lalu keluarnya sekretarisnya dengan membawa beberapa map dengan berbagai warna ditangannya.

“Mengingatkan kembali pak, besok kita akan mengikuti rapat direksi di Seoul. Semua dokumen yang diperlukan sudah saya siapkan.” Kevin hanya membalas ucapan sekretarisnya dengan sebuah anggukan.

Thank you, Sisilia. You can go back now.” Kevin pun  memeriksa dokumen yang diberikan oleh sekretarisnya barusan namun tetap saja, ia tidak bisa fokus.

“Besok aku ke Seoul.. Seoul.. Seoul.. sudah hampir dua bulan berlalu. Apa kabarnya Hye Sun sekarang? Apa yang dia lakukan? Apa dia masih menungguku? Apa dia tahu bahwa aku sekarang ada di Vancouver?” gumamnya pelan.

“Nona, maaf! Anda tidak bisa masuk jika tidak memiliki janji dengan Pak Kevin!”

“Kenapa? Aku adalah tunangannya! Keviiiiinn..!! keviiiinn…!! heeelllpp meee…!!” teriak seseorang yang sangat Kevin kenal dan menganggu hidupnya satu bulan terakhir ini, Jung Soojung.

“Aaaaarrgghhtt!! Kenapa perempuan itu selalu menganggu dan membuat kekacauan?” Kevin mengacak rambutnya kesal.

“Sisilia! Biarkan dia masuk!” teriak Kevin dan akhirnya Soojung pun masuk ke ruangannya. Kevin menatap matanya dengan bengis. Kalau ia bukan perempuan, pasti ia sudah Kevin pukul habis-habisan.

“Ada apalagi Jung Soojung! Jangan membuatku darah tinggi akibat ulahmu yang kekanak-kanakan itu!” pekik Kevin frustasi.

“Jangan marah-marah. Aku hanya ingin mengajakmu pulang bersama besok. Kudengar kau mau ke Seoul besok.” Ucapnya.

‘Sebenarnya otak perempuan ini terbuat dari apa? Batu? Atau baja? Kenapa tidak pernah mengerti? Dasar menyebalkan!’ umpat Kevin dalam hati.

“Apapun yang terjadi, aku akan pulang bersamamu!” tekannya. ‘Oh Tuhan. Tolong aku..’ doa Kevin dalam hati.

“Terserah! Sekarang tolong jangan mengangguku! Aku masih banyak pekerjaan lain. jika tidak, akan kupanggil satpam!” ancam kevin.

“Baiklah… apapun untukmu, darling!” Soojung mengerlingkan matanya. Membuat Kevin bergidik ngeri.

“Bye! Sampai jumpa besok sayang…” mendengar kata-kata itu rasanya Kevin ingin melempar sepatu pantofelnya kearah kepala gadis itu supaya amnesia. Namun ia hanya mengehla nafasnya berat.

“Sepertinya besok adalah mimpi buruk..” keluhnya.

 

~~~~~~~~

 

“Sehun! Tolong jelaskan apa yang terjadi di florist tadi. Pasti kau menyimpan sesuatu dariku, kan?” cegah Jongin saat Sehun ingin masuk ke dalam mobilnya setelah mengantar Jongin dan Hye Sun kerumah mereka.

“Yang mana?” Sehun lupa. Jongin memutar kedua bola matanya.

“Kau berteriak pada saat aku bilang bahwa Soojung sedang berlibur ke Kanada bersama keluarganya, kan? Kenapa?” Jongin menatapnya dengan wajah penuh tanda tanya.

“Percuma. Kubilang juga kau tidak akan percaya.” Ujar Sehun skeptis.

“Bagaimana aku bisa percaya? Bahkan kau belum mengatakannya padaku.” Sanggah Jongin. Sehun pun menghela nafasnya berat.

“Aku bingung harus menjelaskannya dari mana. Yang jelas, Kevin hyung dan Soojung itu hampir ditunangkan oleh keluarga mereka. Aku tidak tahu pastinya kapan. Tapi Kevin hyung menolak karena ia telah memiliki kekasih yaitu Noona-mu, dan sampai saat ini Kevin hyung belum pernah memberitahu kepada Noona-mu tentang rencana pertunangan yang dibuat oleh ayahnya dan ayah Soojung. Jika ia sudah memberitahu Noona-mu, otomatis kau juga tahu, kan? Awalnya aku juga bingung dengan apa yang ada dipikirannya Soojung hingga ia mau memacarimu dan ia terlihat sangat mendukungmu ketika kau berusaha untuk menjauhkan Hye Sun Noona dari Kevin hyung. Ternyata aku tahu apa alasannya…” Sehun menarik nafasnya berat dan menghembuskannya kembali.

“Kau tahu karena apa? Ia menyukai Kevin hyung. Jika Hye Sun Noona dan Kevin hyung berpisah, maka dengan mudah ia akan mendekati Kevin hyung dan meninggalkanmu. Lihat bagaimana usahanya untuk mencegah kau menerima usulanku? Merusak ponselku saat Kevin hyung meneleponku? Dan sekarang pada saat Kevin hyung pergi ke Kanada, ia juga pergi ke Kanada dengan alasan berlibur dengan keluarganya? Apa itu hanya sebuah kebetulan?” terang Sehun. Jongin yang mendengarkannya sangat kesal dibuatnya.

“Kau berbohong, kan? Kau pembohong OH SEHUN…!!” teriak Jongin dan hampir meninju Sehun yang sudah terdorong olehnya hingga ke badan mobil.

“Terserah kau mau bilang apa Kim Jongin! Aku tidak peduli. Aku sudah muak dengan semua kebohongan ini dan aku tidak mau menyimpan semua kebusukan ini berlama-lama! Kau juga tahu sekarang mengapa aku selalu membenci Soojung ketika ia bersikap mesra dihadapanmu! Karena itu hanyalah rekayasa, Jongin bodoh!” umpat Sehun dengan kesal. Lalu meneruskan kembali pembicaraannya yang belum selesai.

“Tadi Ayah memberitahuku bahwa Kevin hyung besok akan ke Seoul untuk mengadakan rapat dengan seluruh direksi Wu Company Global. Jika kau ingin membuktikan aku pembohong atau tidak, datanglah besok ke Incheon Airport jam delapan pagi. Apakah besok Kevin hyung memang benar-benar datang bersama Soojung untuk kembali ke Seoul. Jika aku tidak berbohong, maka kau harus menuruti perkataanku, putuskan Soojung dan beritahu Kevin hyung tentang keadaan Noona-mu sekarang. Jika aku berbohong, maka putuslah persahabatan kita dan anggap kita tidak pernah kenal sama sekali!” terang Sehun dengan suara datar khasnya. Ia pun pergi meninggalkan Jongin yang masih diam terpaku ditempatnya. Sehun langsung menghidupkan mesin dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

“Aaaaaaaaaaaaaarrrrrrrggghtttt!!! SIAL! SIAL! SIAL KAU KEVIN WU!” teriak Jongin sambil menendang-nendang angin malam yang sama sekali tak bersalah tersebut.

~~~~~~~~~

 

“Duk duk duk duk duk duk..” terdengar bunyi yang sangat jelas dari arah tangga kayu rumah bernuansa Korea Modern tersebut. Jongin berjalan dengan tergesa-gesa kearah dapur yang bergabung juga dengan ruang makan rumahnya.

“Hyung, Noona, Mianhae aku tidak bisa sarapan bersama kalian! Aku harus menjemput kekasihku di bandara, annyeong!” ucap Jongin dengan cepat membuat keduanya kaget sekaligus menggelengkan kepalanya.

“Aku kira ada apa. Ternyata…” Junmyeon menggantungkan kata-katanya.

“Hahaha… sudahlah Oppa! Kau juga dulu pernah begitu, bukan?” goda Hye Sun. Membuat Junmyeon salah tingkah.

“Yaahh~ sudahlah! Itu hanya masa lalu, Hye Sun-ah~” Junmyeon menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Tapi kau terdengar grogi, Oppa! Hehehe…”

“Ya! Hye Sun~ jangan menggoda Oppa begitu!” Junmyeon malu.

“Hahahaha~ Oppa Oppa! Kau sangat lucu…”

“Ne~ Oppa memang sangat lucu!” balas Junmyeon narsis.

“Huuu~ terlalu percaya diri!” sorak Hye Sun lalu mereka berdua tertawa.

“Hari ini kau mau kemana, Hye Sun?” Tanya Junmyeon sambil melahap bibimbap buatan Hye Sun.

“Seperti biasa, ke Florist.”

“Hm.. kau tidak mau jalan-jalan? Bukankah sekarang sudah memasuki musim gugur? Pasti pergi ke taman akan sangat menyenangkan!”

“Heoh? Musim gugur? Jincha?” tanya Hye Sun antusias.

Ne.. tapi Oppa tidak bisa menemanimu hari ini karena urusan kantor tidak bisa ditinggalkan. Kau bisa pergi bersama dengan Jongin atau bersama Yixing. Eottokhe?” tawar Junmyeon, Hye Sun mengerucutkan bibirnya.

“Jongin sudah mulai memasuki semester baru musim gugur ini, Oppa. Hari ini dia ada kuliah, dan Yixing pasti sibuk dengan urusan kantornya. Lebih baik aku di florist saja.”

“Yasudah kalau begitu, aku akan mengantarmu kesana. Atau lebih baik kau di rumah saja? Lebih aman disini bukan dibandingkan di florist?” tanya Junmyeon, Hye Sun menggeleng.

Shireo! Aku mau di florist saja, Oppa…”

Ne, ne, ne… kita ke florist setelah kita menghabiskan sarapan ini.” Junmyeon mengacak pelan rambut adik perempuan satu-satunya tersebut.

 

~~~~~~~

 

Sesuai apa yang dikatakan oleh Sehun semalam, Jongin pergi ke Incheon Airport jam setengah delapan pagi. Ia menunggu di pintu keluar dengan cemas. Berharap apa yang dikatakan Sehun adalah salah. Tapi ia juga tidak rela jika ia akan kehilangan sahabat kecilnya tersebut. Jongin mengacak rambutnya kasar.

“Baiklah, apapun yang terjadi. Aku akan menerimanya.” Gumam Jongin pelan. Setiap lima menit sekali ia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Jantungnya berdegub kencang.

Beberapa menit kemudian, ia merik jam tangannya kembali dan sudah menunjukkan waktu 08:07 KST tapi yang ditunggu olehnya belum keluar juga. Jongin menghela nafasnya berat. Lalu menoleh kembali kearah pintu yang ia tunggu sedari tadi. Seketika matanya membulat sempurna melihat apa yang didepannya. Seseorang yang ia cintai tengah merangkul mesra seorang pria bertubuh tinggi dan putih. Jongin mengepalkan tangannya dengan erat hingga buku-buku tangannya memutih. Nafasnya naik turun tidak beraturan. Ia langsung menghampiri kearah keduanya dengan perasaan marah dan kecewa. Apa yang dikatakan Sehun benar adanya. Sahabatnya itu tidak berbohong.

Setelah berdiri dihadapan Kevin dan Soojung, Jongin dengan amarahnya yang tidak bisa ditahan lagi, ia meluapkan semuanya didepan mereka berdua.

“Soojung! Kevin! Kalian benar-benar pengkhianat! Kalian adalah dua orang sialan yang pernah aku temui! Fuck you Soojung! Fuck you Kevin! Jangan pernah menampakkan diri lagi dihadapanku dan Noona-ku! Aku sangat membenci kalian berdua!” teriak Jongin lalu meninju wajah Kevin. Soojung langsung mencegahnya.

“Berhenti Kim Jongin! Jangan memukul Kevin Oppa! Pergi! Pergi! Atau kupanggil security!” Soojung berusaha menjauhkan Jongin dari kevin dibantu dengan sekretaris Kevin yang ada dibelakang mereka.

“Soojung? ternyata kau lebih memilih dia daripada aku? Baiklah! Aku akan pergi, dan ingat! Mulai dari sekarang kita putus perempuan jalang sialan! Aku menyesal menjadi kekasihmu! Ah! Bukan kekasih! Tapi dimanfaatkan olehmu! Dasar kau perempuan murahan!” umpat Jongin. Kini ia menyetujui ucapan Sehun yang sering mengatai Soojung seperti itu. Jongin pun pergi meninggalkan Soojung dan Kevin yang masih terduduk akibat ditinju olehnya. Hampir semua orang yang berada disekitar mereka memperhatikan kejadian itu pun akhirnya kembali pada aktivitas mereka masing-masing. Beberapa orang masih memperhatikan mereka dan berbisik-bisik sambil menunjuk kearah mereka.

“Ya! Apa yang kalian lihat? Ini bukan tontonan!” pekik Soojung dan langsung memperhatikan Kevin.

Oppa? Kau tidak apa-apa kan? Sakit tidak?” tanya Soojung namun Kevin tidak memperdulikannya.

“Pergilah! Aku sudah sangat muak melihatmu Soojung! Aku tidak perlu diperhatikan olehmu!” Kevin berdiri sendiri lalu menoleh kearah sekretarisnya, Sisilia.

“Ayo kita pergi sekarang. Tinggalkan dia sendiri disini.” Kevin pun merapihkan jasnya dan berjalan dengan gaya coolnya. Ia berusaha menghilangkan perasaan malunya akibat kejadian tadi. Soojung mengejarnya namun Kevin tidak peduli. Ia berjalan cepat kearah mobil jemputannya dan langsung meminta sang supir menguncinya agar Soojung tidak bisa ikut masuk ke dalam mobilnya.

“Aaarrgghht!” teriak Kevin didalam mobil. Ia tidak peduli dengan lirikan sekretaris yang ada disampingnya dan supir yang ada didepannya.

“Pak? Kau tidak kenapa-kenapa, kan? Apa wajahmu sakit? Sepertinya kita perlu ke rumah sakit untuk mengobati wajahmu.” Ujar sekretarisnya namun Kevin menggeleng.

“Tidak perlu. Lanjutkan saja perjalanannya.” Perintah Kevin lalu sekretarisnya mengangguk.

Setelah itu Kevin menyandarkan punggungnya dan menghela nafasnya perlahan. Ia kembali mengulang kejadian di bandara tadi. Banyak sekali pertanyaan yang hinggap di kepala Kevin.

‘Bagaimana Jongin tahu bahwa Kevin ada disana? Lalu apa hubungannya dengan Soojung? Putus? Apa mereka berdua berpacaran?’

Kevin mengacak rambutnya kasar. Pasti Jongin akan sangat membencinya sekarang. Sudah meninggalkan Hye Sun tanpa mengatakan sepatah katapun padanya dan sekarang ia pasti menganggap bahwa Kevin adalah perebut kekasihnya.

‘Apa Jongin juga sudah tahu tentang pertunangan yang direncanakan oleh orang tuanya dan Soojung? Tapi? Darimana? Bukankah Hye Sun juga belum tahu. Se—’

“Sehun? Apa anak itu yang memberitahu semuanya?” gumam Kevin pelan. Kevin berdecak kesal.

“Aku yakin pasti dia yang memberitahu Jongin. Siapa lagi kalau bukan dia.” Kevin yakin.

~~~~~~~~~~~

 

“Bagaimana? Aku tidak bohong, kan?” tanya seorang laki-laki yang tengah bersandar di pohon sambil memandang langit biru yang terhampar luas dan cerah dihadapannya.

Ne.. dan aku sangat berterima kasih padamu, Sehun-ah. Kini aku sudah tahu semuanya.” Ucap Jongin pelan.

Ne.. Mianhae aku baru memberitahumu sekarang. Aku bingung harus bagaimana untuk memberitahumu karena aku tidak mempunyai bukti yang kuat.”

Gwaenchana… sekarang aku percaya padamu. Hey! Bagaimana kau tahu kalau aku ada di taman ini?” tanya Jongin heran.

“Sebenarnya aku mengikutimu sejak di bandara tadi dan aku sudah melihat semuanya. Kau hebat Jongin! Apalagi kata-katamu tadi, itu lebih parah daripada aku.” Terang Sehun. Membuat wajah Jongin berubah menjadi muram.

“Sebenarnya itu bukan keinginanku, Sehun-ah. Tapi kata-kata itu meluncur begitu saja pada saat aku melihatnya bersama Kevin. Rasanya sangat menyakitkan!” Sehun langsung menepuk pundak Jongin pelan.

“Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi jika kau tidak mengetahuinya itu akan lebih menyakitkan lagi bukan? Masih ada perempuan lain yang lebih baik daripada dia, Jongin.”

Ne… kau benar Sehun!” Jongin setuju.

“Kau ada kuliah hari ini? bagaimana kalau kita berangkat ke kampus bersama?” ajak Sehun.

Ne, jam sepuluh nanti, bagaimana denganmu?” tanay Jongin.

“Setengah jam lagi, sih.. hehehe…” Jongin langsung menatap Sehun garang.

Ya! Kau! Kajja kita berangkat sekarang! Bagaimana jika aku terlambat, heoh?”

“Ahahaha… Gwaenchana, tidak masuk juga tidak apa-apa.” Jawab Sehun santai. Jongin menjitak kepalanya pelan.

“Dasar pemalas!” gerutu Jongin membuat Sehun tertawa mendengarnya.

Kajja!” ajak Sehun. Mereka berdua pun menuju parkiran taman untuk mengambil mobil milik laki-laki berkulit putih tersebut.

 

~~~~~~~~

 

Seorang perempuan tengah menyusun beberapa bunga yang ada dihadapannya dan sesekali ia mencium harum bunga tersebut.

“Tidak ada yang menandingi harum bunga lily..” gumamnya pelan lalu beralih ke keranjang bunga yang lain.

“Aaah~ Chrysanthemum..” sebutnya. Tak lama kemudian bel berbunyi secara otomatis.”

“Selamat datang di Kim’s florist! Ada yang bisa aku bantu?” sapa Hye Sun ramah.

Annyeong haseyo Hye Sun!” sapa seorang pria yang sangat dikenal oleh Hye Sun.

Ne, tuan Zhang Yixing? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Hye Sun sembari mengulas senyumnya. Ditangannya memegang bunga Chrysanthemum atau biasa disebut bunga krisan.

“Hhaha… kau bisa menebak ini aku?” Yixing tidak percaya.

Ne, tentu saja bisa…” jawab Hye Sun.

“Aha! Chukkae~ oh ya aku sudah belajar semalam tentang dunia bunga tapi aku baru belajar sedikit.” Yixing menggosok tengkuk lehernya, ia grogi.

“Huh? Jeongmal?” Hye Sun kaget.

Ne, yang kau pegang itu bunga Chrysanthemum atau bunga krisan, bukan? Artinya secara umum adalah kegembiraan dan kamu adalah teman yang luar biasa.” Tebak Yixing. Hye Sun bertepuk tangan mendengarnya.

“Whooaahh! Yixing daebak! Benar, ini adalah bunga krisan dan artinya juga benar. Sebagai hadiahnya, bunga ini untukmu..” Hye Sun memberikan bunga tersebut kearah dimana sumber suara Yixing berada.

“Bunga ini benar untukku?” tanya Yixing. Hye Sun mengangguk.

Gomawo, kau sudah menganggapku teman yang luar biasa.” Ucap Yixing dengan senang. ‘sebenarnya aku ingin lebih dari itu..’ batinnya.

Ne, cheonmaneyo.. kau memang luar biasa Yixing. Kau teman yang setia menemaniku di kala aku susah seperti ini.” mendengar hal itu Yixing tersenyum simpul.

“Hye Sun, hari ini aku ingin mengajakmu ke taman setelah makan siang, bagaimana?” ajak Yixing.

“Heoh? Jincha? Aku mau!” Yixing tersenyum mendengar respon dari Hye Sun.

“Yes! Kita akan berpiknik! Aku sudah membuat berbagai macam makanan sebagai bekal kita.” Hye Sun kaget mendengarnya.

Jincha? Kau bisa memasak?” tanya gadis itu.

Ne, tentu saja! Aku dulu adalah mantan koki di sebuah restaurant di Changsa, kota kelahiranku. Karena aku bosan, aku sengaja berhenti dan melamar menjadi pekerja kantoran.” Terang Yixing.

“Changsa? Dimana itu?” sepertinya gadis itu belum pernah mendengar nama kota tersebut.

“Itu di China. Aku berasal dari China.” Hye Sun pun ber “oh” ria mendengarnya. Pantas saja ia tidak tahu.

“Lalu kenapa berhenti? Padahal menurutku menjadi seorang koki tentu sangat menyenangkan! Semua orang akan menyicipi dan menyukai masakanmu.” Ujarnya.

Ani… menjadi koki itu lelah dan bosan. Karena terus berkutat di dapur, menu, alat dan bahan makanan. Hahahha..” Yixing tertawa.

“Hahaha… kau ini ada-ada saja!” Hye Sun ikut tertawa bersama Yixing.

‘Aku senang akhirnya kau bisa tertawa juga, Hye Sun-ah!’ batin Yixing lalu tersenyum manis. Sayang Hye Sun tidak bisa melihatnya.

Tanpa disadari oleh keduanya, sebuah kamera tengah merekam aktivitas yang mereka lakukan dan kembali dimatikan setelah dirasa cukup oleh sang empunya.

“Hahahaha! Lihat saja perempuan tidak tahu diri!” gadis itu tertawa dengan sinis lalu memasukkan kameranya kembali ke dalam tas. Setelah itu ia melenggang pergi meninggalkan tempat tersebut.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

 

Huehehehhe~ ottokhe? Ottokhe? Ditunggu yah komentarnya! Annyeong~

Ingat sekali lagi untuk RCL (Read, Comment and Like!) gomawoooo~

JANGAN LUPA MAMPIR YAAA

hanyafanfictionbiasa.wordpress.com

 



Ravens The Chinese Danger [Chapter 3]

$
0
0

Ravens The Chinese Danger - Chapter 1

Ravens The Chinese Danger [Chapter 3]

Author: Choi Seung Jin @kissthedeer

Genre: Action, Crime, Multicultural

Leght: Chaptered (Still on going)

Main Cast:

Kris Wu / Wu Yi Fan  || Xi Lu Han || Huang Zi Tao || Lay / Zhang Yi Xing || Xia Zi Liu (OC)

Other Cast:

Kim Joonmyun || Moon Eunjin (OC) || Oh Sehun || Kim Minseok || Park Chanyeol

Author’s Note:

Storyline belongs to me. Please repect! Don’t be silent readers!

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2

********

Tokyo Hospital Center

04.53 p.m. waktu setempat

 

“Nice to meet you…”

Kata-kata itu…

“I hope we’ll meet again..”

Kata-kata pria itu terus membayanginya. Seperti mimpi buruk tak berujung.

“Eunjin!”

Seseorang memanggilnya. Memanggil namanya. Dia bisa dengar itu.

“Eunjin!”

Suara itu masih terdengar dan semakin jelas. Kini dia benar-benar terbebas dari bayangan mimpi anehnya.

Eunjin membuka matanya perlahan. Buram diawal. Pandangannya masih tidak fokus sampai dia kembali berkedip. Butuh 2 kali berkedip untuknya mengembalikan penglihatannya. Dia bisa melihat seseorang menatapnya khawatir, meski belum sepenuhnya bisa terlihat.

Dia kembali berkedip seiring pandangannya yang semakin jelas. Inspektur Suho yang dikenalnya, ternyata. Dia berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi sekarang. Selain Suho, dia juga bisa melihat teman-temannya; Sehun, Chanyeol dan Xiumin.

Semua orang berkumpul dan dia sendiri harus mencari tahu dimana dia sekarang. Menggunakan semua panca inderanya untuk mengetahui tempatnya berada sekarang. Dia merasakan tubuhnya berbaring di suatu permukaan yang empuk dan nyaman dirasakan indera perabanya. Aroma Rumah Sakit yang selalu dibencinya menusuk indera penciuman miliknya. Kini dia sadar kalau dia ada di Rumah Sakit sekarang. Tapi, bagaimana dia bisa ada disana?

“Inspektur?” Ucap Eunjin untuk pertama kalinya sejak kesadarannya sudah sepenuhnya terkumpul.

“Thank God you’re alright!” Kata Suho mensyukuri keadaan Eunjin yang sekarang sudah sadar.

Eunji sendiri masih berusaha untuk benar-benar terbangun. Memang susah untuk membuat mata tetap terbuka disaat baru saja bangun dari tidur yang tidak disengaja.

“What happen?” Tanya Eunjin pelan.

“Seseorang memukulmu sampai pingsan. Mungkin Kris yang melakukannya. Beruntung Chanyeol dan Xiumin cepat menemukanmu dan langsung pergi ke sini,” ujar Suho.

“Inspekur tidak apa-apa?” Tanya Eunjin lagi mencemaskan pria yang sudah menjadi atasannya selama 2 tahun terakhir.

Suho tersenyum dengan hanya menunjukkan tangan kirinya yang dibalut oleh perban putih seperti tangan mummi. Dia menderita luka ringan akibat tangannya mengenai benda tajam seperti kaca. “Hanya luka ringan. Aku terkejut karena Tao serius tentang hanya memberiku luka kecil.”

Eunjin mencoba bangkit dari ranjangnya. Sedikit pusing, tapi dia tetap memaksakan diri. Seorang polisi memang harus punya stamina kuat separah apapun kondisi yang sedang dialaminya. Dengan berpegangan pada lengan Chanyeol sebagai benda terdekat, dia berhasil setidaknya untuk duduk.

“Bagaimana perkembangannya?” Tanya Eunjin lagi.

“Kita gagal menghentikan aksi Kris pada Grandprix hari ini. Dua orang tewas,” ujar Suho lesu.

“Siapa kali ini korbannya?”

“Yama Kozaku, 63 tahun dan anaknya, Toshiro Kozaku, 27 tahun. Tuan Kozaku tewas ditembak dikepalanya, sedangkan Toshiro tewas dalam ledakkan akibat tabrakan hebat yang dibuat oleh Luhan,” jelas Xiumin membaca buku catatan kecil yang selalu ia bawa-bawa. “Aku memeriksa data mereka berdua. Hal yang membuatku tekejut adalah anak dan ayahnya ini adalah  salah satu ketua kelompok mafia terbesar di Jepang.”

Eh?

“Yama Kozaku adalah ketua dari kelompok Yakuza paling berbahaya di Jepang. Dia adalah orang paling merugikan Jepang dalam bidang kriminal karena perbuatannya yang selalu merugikan negara. Kasus terbesarnya adalah penculikan besar-besaran terhadap wanita Jepang miskin terlantar dan kemudian ia jual ke luar negri. Sedangkan anaknya Toshiro sebenarnya seorang pembalap profesional F1 yang mewakili Jepang. Tapi kejahatan yang dilakukannya sama saja dengan yang dilakukannya ayahnya. Bedanya Toshiro adalah spesialis narkoba dan bisnis klub malam. Catatan kejahatan mereka cukup banyak, tapi entah kenapa tidak pernah ada surat penangkapan resmi untuk mereka sehingga mereka bebas berkeliaran,” kata Xiumin sambil membaca apa yang sudah ia tulis sebelumnya didalam buku catatan hitam kecil miliknya.

“Isn’t it weird?” Ucap Chanyeol. “Apa kalian tidak menyadari kalau semua korban Kris pasti berhubungan dengan mafia, teroris dan pejabat korup? Apa itu tidak aneh?”

Mereka semua terdiam. Berpikir kalau perkataan Chanyeol memang ada benarnya. Catatan korban The Ravens pasti berhubungan dengan mafia, teroris, bahkan sampai pejabat korup. Ditambah dengan jumlah korban warga sipil yang perbandingannya hanya sekitar 0,12 persen dari total seluruh korban, membuat seolah The Ravens punya target tertentu untuk setiap aksi mereka.

“Well… Memang benar semua korban Ravens itu kebanyakan mafia dan kelompok teroris,” ujar Xiumin melihat lagi catatan andalannya itu. “Tapi, masa Ravens hanya mengincar mafia dan orang sejenis itu?” Ucap Xiumin yang bersikap seolah hal itu bukan sesuatu yang aneh.

“Tapi jika dipikir-pikir Chanyeol hyung ada benarnya juga. Mengingat semua korban The Ravens memang bukan orang baik-baik semua,” kata Sehun mengungkapkan ungkapan setuju.

“Kalau memang benar Ravens hanya mengincar mafia, teroris dan semacamnya, apa tujuan mereka menghabisi kelompok sejenis mereka? Itu, kan sama saja membunuh kaum sendiri” ujar Eunjin berpendapat.

“Apapun alasannya dan siapapun yang mereka bunuh, perbuatan Ravens tetaplah bersalah. Tidak perduli yang mereka bunuh teoris dunia sekalipun,” kata Suho tegas.

“Sekarang bagaimana? Kita kehilangan jejak Ravens setelah mereka kabur tadi,” kata Chanyeol mengingatkan kembali tentang keberadaan Ravens.

“Kita harus mulai dari awal lagi untuk mencari mereka. Kita kumpulkan data yang kita bisa dapat. Sehun juga sudah bertemu anggota wanita mereka,” kata Suho mengambil keputusan. “Kita kembali ke Seoul.”

 

****

Seol, South Korea

12.35 p.m KST

Salah satu rumah termewah di kota Seoul dengan luas lebih dari 10 hektar menjadi base Ravens selajutnya di negara gingseng ini. Kekayaan keluarga Wu sudah tersebar di seluruh Asia berkat tangan dingin Kris, meskipun berberapa dari aset miliknya adalah barang ilegal.

Untuk berberapa hari kedepan, mungkin Ravens akan rehat dulu mengingat kondisi terakhir setiap anggota yang kurang baik setelah misi terakhir. Terlebih Luhan yang sejak tiba di Seoul kerjaannya hanya istirahat dan tidur untuk memulihkan keadaannya. Kris juga hanya menghabiskan waktunya untuk tidur karena stress memikirkan soal polisi yang berhasil melacak keberadaannya. Begitu pula dengan yang lainnya.

Lay sedang duduk didepan laptopnya—dengan secagkir kopi bersamanya—saat Liu datang menghampirinya dengan wajah dingin yang selalu ia berikan kepada semua member tak terkecuali. Menghabiskan waktu sampai kondisi semua member kembali seperti semula dengan bermain game adalah hal yang sudah pasti Lay lakukan.

“Lay,” panggil Liu. “Bisa, kah kau mencari data semua polisi yang mengejar kita?”

Tidak biasanya Liu begitu perduli dengan siapa yang mengejar Ravens atau dirinya sendiri. Wajah yang diberikan pun sangat serius sehingga Lay tidak berani untuk menolak permintaan wanita yang umurnya lebih tua berberapa bulan dengannya.

“Kenapa kau tiba-tiba ingin tahu? Bukankah biasanya kau tidak perduli?” kata Lay heran.

“Jangan banyak protes! Lakukan saja!” ketus Liu.

“..baiklah.”

Sepertinya rasa ingin tahu Liu memang menjadi hal yang serius jika wanita itu sudah marah saat Lay protes padanya. Tidak mau mendapat omelan lagi, Lay cepat membuka sebuah folder khusus yang sudah ia buat sesaat setelah Ravens tiba di Seoul dua hari yang lalu. Ia sudah bisa menebak akan ada yang memintanya untuk ini.

“Ini, kan yang kau maksud?” Lay menunjukkan isi folder itu yang sangat banyak sekali. Ada lebih dari 100 file disana.

“Semua ini? Banyak sekali,” ucap Liu terkesan.

“Jadi.. apa yang kau cari?” tanya Lay.

“Hmm.. coba tunjukkan aku semua data mereka satu-satu!” perintah Liu.

Lay menggerakkan kursor dan membuka salah satu file dengan judul ‘Kim Joonmyun’. File ini berisi data mengenai Inspektur bernama Kim Joonmyun yang merupakan ketua tim penangkap Ravens.

“Nama aslinya Kim Joonmyun. Lahir tanggal 22 Mei 1987. Sudah menjabat sebagai Inspektur Muda sejak 2 tahun yang lalu, tepatnya saat umurnya 25 tahun. Dia mendapat gelar Inspektur termuda saat itu karena biasanya untuk menjadi Inspektur butuh waktu lebih dari 5 tahun dengan umur diatas 30 tahun. Orang-orang biasa memanggilnya Inspektur Suho ketimbang Inspektur Kim atau Joonmyun. Dia dipercaya untuk menangani kasus sebesar kita oleh Presiden Korea. Jika dia berhasil, dia akan langsung naik pangkat. Sangat mengesankan,” kata Lay menjelaskan isi file yang pertama itu. “Aku yakin kau tidak tertarik untuk mengetahui latar belakang dan keluarganya. Jadi untukmu, akan ku longkap saja.”

Lay menutup file Suho dan beralih ke file berikutnya. File itu berjudul ‘Moon Eunjin’ yang pasti Liu langsung tahu siapa karena hanya ada satu wanita dalam tim polisi itu.

“Kau tahu dia, kan? Moon Eunjin kelahiran 10 Oktober 1989. Lahir di Jepang tapi besar di Seoul sampai sekarang. Seorang Detektif Letnan Divisi 1: Kejahatan Kelas Berat. Eunjin termasuk polwan yang kuat tapi terkadang sisi feminimnya menjadi titik kelemahannya. Makanya kemarin kau sangat mudah menghadapi Eunjin, kan? Tapi setidaknya dia seorang Detektif terbaik di Seoul meskipun dia seorang wanita. Berbeda sekali dengan adiknya—“

“Wait!” potong Liu. “Dia punya adik?”

“Ya, begitulah. Tapi tidak penting juga sih untuk membahas itu. Karena Eunjin sendiri tidak pernah bertemu lagi dengan adiknya semenjak adiknya memutuskan untuk hidup sendiri berberapa bulan setelah Eunjin menjadi seorang detektif. Oiya.. Suho sendiri yang menunjuk dia untuk masuk ke dalam tim setelah mendapat persetujuan dari Presiden,” ujar Lay panjang lebar.

“Baiklah. Lanjutkan ke yang berikutnya!” perintah Liu. Mendengarnya, Lay cepat membuka file berikutnya dengan judul ‘Park Chanyeol’. Liu tidak tahu kalau ada polisi lain yang mengejar Ravens selain Suho, Eunjin dan polisi sialan—menurut Liu—itu.

“Namanya Park Chanyeol. Lahir 27 November 1988. Dia juga seorang Detektif di Divisi yang sama dengan Eunjin—tentu saja. Dia salah satu polisi paling berpengaruh di Seoul. Jika dilihat dari data aslinya, laporan hasil kerjanya tidak sebanyak Suho dan Eunjin. Bahkan laporan kerjanya yang paling sedikit diantara tim ini. Meski begitu, sekali dia bertugas, kasus yang ditanganinya adalah kasus berat. Tapi entah dengan alasan apa, Presiden secara langsung menunjuknya turun pada misi ini. Sayangnya, aku tidak bisa menemukan alasan itu. Yang kutemukan malah data keluarganya yang paling lengkap diantara yang lain. Salah satunya adalah kakak perempuannya yang seorang pembawa acara berita di TV.”

“Lalu, apa hanya ini saja?” tanya Liu sesaat setelah Lay selesai berbicara.

“Tidak juga. Aku hanya belum—“

“Bukan data orang ini. Maksudku, apa masih ada polisi yang lain dalam tim ini?” potong Liu yang langsung memperjelas maksudnya.

“Oooh… Masih ada 2 orang lagi,” kata Lay sambil membuka file berikutnya dengan judul ‘Kim Minseok’. “Ini dia berikutnya.”

“Detektif Kopral Divisi 1, Kim Minseok a.k.a Detektif Xiumin. Lahir 29 Maret 1986—memang lebih tua dari Suho. Dia salah satu detektif terbaik yang dimiliki kepolisian Korea. Dia orang yang teliti dan daya analisisnya yang kuat. Saking hebatnya, CIA pernah berniat untuk merekrut orang ini, tapi sayangnya dia sendiri menolak dan lebih memilih untuk tetap menjadi polisi Korea. Sayang sekali padahal. Oiya.. Dia juga pernah mengalami trauma hebat setahun yang lalu akibat temannya yang tewas saat bertugas bersamanya. Tugas menangkap kita adalah tugas pertamanya sejak dia kembali. Jika dalam keadaan terdesak, kita bisa saja memanfaatkan kondisi psikologinya dan mengembalikan rasa traumanya untuk melawan dia,” ujar Lay menjelaskan panjang lebar.

“Teruskan!” kata Liu.

“Kenapa kau ini? Buru-buru banget,” gerutu Lay seraya membuka file terakhir yang berjudul ‘Oh Sehun’.

“Opsir Oh Sehun ini adalah anggota paling muda di tim. Dia lahir 12 April 1990. Dia ini sebenarnya masih polisi baru, tapi entah kenapa sudah menghadapi misi sebesar ini. Presiden dan Suho sendiri sudah sangat mempercayai orang ini,” jelas Lay singkat. Memang yang paling singkat.

“Itu saja?” kata Liu.

“Yaa.. memangnya mau gimana lagi? Dia kan polisi baru. Hanya tinggal data latar belakang dan keluarganya saja. Kau tidak mau mendengar itu, kan?” ucap Lay.

“Aku mau data orang ini lengkap. Kirim ke ponselku sekarang!”

“Kenapa sih? Jadi ini alasanya kau menyuruhku untuk menujukkan data-data polisi itu. Untuk polisi bernama Oh Sehun ini?” kata Lay heran. Sejak kapan Liu bisa begitu perduli dan penasaran dengan musuhnya sampai meminta data lengkap seperti ini.

“Aku ingin buat perhitungan dengannya yang berani menguntitku saat di Tokyo kemarin.” Liu sangat semangat jika membicarakan soal memberi pelajaran pada orang yang dibencinya. Mungkin memang karena orang yang pendendam.

“Kau, kan cuma dikuntit 2 hari. Segitu bencinya?”

“Yang namanya dikuntit, tetap saja dikuntit. Kau kirimkan saja sekalian semua data polisi-polisi itu biar kau puas,” kata Liu jutek. “Pokoknya sebelum malam, data-data itu harus sudah ada di lapotopku. Understand?”

“Yes, Ma’am!” Ucap Lay berlagak hormat seperti sedang berhadapan dengan seorang Jendral. Tapi kenyataannya Liu memang seorang mantan tentara, kan. “Ngomong-ngomong, Kris masih tidur?”

Liu mengarahkan pandangannya pada sebuah pintu yang jaraknya tak jauh dari– yang bukan lain adalah pintu kamar Kris. Memang sudah lebih dari 6 jam, Liu ataupun Lay tidak melihat Kris sama sekali yang mengurung diri di kamarnya. Bukan hal yang baru honestly. Kris memang suka memisahkan diri dari anggotanya untuk sendiri.

“I think so. Let me check it,” kata Liu seiring langkahnya pergi meninggalkan Lay menuju depan pintu kamar Kris. Liu sudah cukup terbiasa dengan membuka pintu kamar Kris tanpa perlu mengetuk dulu. Selagi Kris tidak merasa keberatan, Liu tetap santai dengan kebiasaannya itu.

Pintu itu terbuka sangat pelan. Liu berusaha supaya tidak ada suara pintu terbuka yang menggangu sedikitpun. Liu memandang ranjang besar yang akan langsung terlihat saat pintu terbuka.

“Kris?”

Yang Liu dapatkan sekarang hanya ranjang kosong dengan kondisi yang berantakan. Itu artinya Kris sudah bangun dari tadi. Sprei coklat keabuan terlihat kusut dan selimut dengan warna senada juga tidak rapih. Bantal dengan warna yang sama letaknya sudah tidak karuan.

“Where did he go?” Gumam Liu pelan.

Kemudian, matanya menangkap selebar kertas di atas meja dengan tulisan bertinta merah.

 

Keluar untuk mencari udara segar. Jangan cemaskan aku!

Kris

 

 

****

Keempat roda mobil Porsche Cayman S-01 hitam itu melaju di sepanjang jalan kota Seoul yang padat akan kesibukan ibukota Korea Selatan itu. Pria itu mengendarai mobil miliknya sendirian ditengah ramainya kondisi lalu lintas, melakukan seperti apa yang ia tulis di note kecil yang ia tinggalkan di kamarnya. Dengan kecepatan yang normal—20 km/jam—tak ada yang mencurigai kalau mobil yang sedang melaju itu adalah milik seorang ketua kelompok teroris paling berbahaya.

Kris memang sedang pusing memikirkan soal polisi-polisi itu. Sedingin apapun ekspresinya saat menghadapi polisi kemarin, tapi tetap saja dia masih heran. Bagaimana polisi bisa melacak keberadaannya secara detail seperti kemarin? Contohnya saja; Liu sudah dimata-matai selama 2 hari.

Kini Kris harus memikirkan bagaimana mengahapus kembali jejak Ravens dari endusan polisi. Kejadian di Tokyo kemarin mungkin akibat kurang telitinya Kris dalam membersihkan semua bekas tindakkannya, tapi kesalahan itu tidak boleh terulang untuk kedua kalinya. Sudah bagus dia menciptakan rekor 3 tahun tanpa terendus polisi dan sekarang rekor itu sudah hancur, membuatnya harus memulainya dari awal lagi.

Masalah kedua yang dihadapi Kris saat ini adalah dia belum sempat mencari petunjuk keberadaan kelompok Hurricane yang diincarnya. Jika saja Ravens bisa lebih lama berada di Tokyo, mungkin Kris bisa mendapat sesuatu. Dan jika saja tidak ada polisi yang berhasil melacaknya, Kris pasti masih ada di Tokyo.

Untuk sementara ini, Kris dan anggota Ravens lain mungkin akan tinggal di Seoul sampai mereka menemukan petunjuk keberadaan The Hurricane. Pasti akan sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat Kris tidak mempunyai petunjuk sedikitpun. Satu-satunya orang yang bisa diandalkannya sekarang adalah Lay beserta laptop andalannya. Dia percaya kalau Lay bisa menggunakan akses CCTV yang bisa dia sadap untuk memcari posisi The Hurricane sekarang.

“Aaaaaah!!” Kris mengacak-acak rambutnya frustasi. Kesal dengan kesalahan yang kemarin ia alami. Gara-gara polisi-polisi itu, dia kehilangan kesempatan untuk melacak keberadaan The Hurricane dan membuatnya harus memulai semuanya dari awal. “Beruntung mereka itu polisi!”

Masalah ketiganya adalah Kris sendiri tidak tahu mau pergi kemana. Dia hanya menyetir kesembarang arah dan mutar-mutar dikawasan yang sama. Mungkin jika ada pejalan kaki yang teliti, dia bisa menyadari kalau mobil Kris sudah lewat lebih dari satu kali. Sebenarnya banyak kedai makanan yang tersebar disepanjang jalan, tapi Kris sedang tidak berselera untuk makan apapun sekarang. Padahal dia belum makan dari pagi.

Apa aku ke apartemen anak itu saja? Batin Kris berpikir.

“Eh? Tapi jam segini pasti dia sedang kuliah,” gumam Kris membatalkan niatnya untuk mengunjungi orang yang dia sebut ‘anak itu’. “Huft.. Padahal aku sudah lama tidak bertemu dia.”

Sehubung niatnya yang gagal, Kris kini mulai merasa lapar. Masuk akal kalau dia sekarang kelaparan. Tapi selera Kris lagi-lagi menghambat. Kris termasuk orang yang pilih-pilih makanan. Mungkin makanan yang ingin dia makan bisa dihitung dengan tangan.

Kris mengurangi kecepatan mobilnya sambil memilih rumah makan mana yang menurutnya enak. Kebanyakan dari rumah makan yang berjejer disana adalah rumah makan masakan Korea—tentu saja. Tapi, Kris tidak suka makanan Korea. Susah lagi..

“McDonald’s?” ucap Kris yang melihat bangunan restaurant fastfood McDonald’s didepannya. “Not my style.” -_-

Tidak ada pilihan lagi. Sepanjang jalan hanya ada rumah makan masakan Korea dan berberapa restaurant fastfood yang tak pernah Kris suka. Mungkin Kris punya dua pilihan; pulang dan meminta Liu membuatkan makanan atau mencari restaurant masakan Cina yang setidaknya bisa ia makan.

Tapi memangnya apa yang akan dimasak Liu? Dia kan pemalas kalau soal masak, batin Kris.

Toot.. Toot..

Ponsel Kris bergetar. Sebuah pesan baru masuk ke inbox-nya. Kris tahu kalau menggunakan ponsel saat berkendara itu dilarang, tapi setidaknya kondisi lalu lintas yang tidak terlalu ramai sepertinya tida apa-apa kalau untuk sekedar mengecek pesan masuk.

“Dari Liu,” gumamnya.

Kris, kau kemana? Pulang buruan! Aku sudah capek-capek masak, kau malah pergi entah kemana. Cepat pulang sebelum makanan habis dimakan Tao dan Lay.

Liu

“Yes!” seru Kris seraya mengarahkan roda mobilnya kembali pulang. Ternyata dugaannya salah. Liu tidak malas untuk masak kali ini dan dia tidak perlu repot-repot mencari makanan lagi.

Mobil Porsche Cayman S-01 Kris terus melaju, buru-buru kembali ke rumah untuk makan. Salah juga untuk Kris karena dia pergi cukup jauh dari rumah sehingga butuh waktu untuk sampai di salah satu Istananya yang besar. Mobil hitam itu terus melaju sampai Kris melihat seseorang melintas di jalan trotoar di sisi kirinya.

Ah!

Saat itu juga Kris menginjak rem tanpa perduli posisinya sekarang. Sosok laki-laki yang berjalan seperti layaknya seorang berdarah dingin dengan berusaha berbaur dengan orang-orang Korea disekitarnya. Meski laki-laki itu mengenakkan kacamata hitam, tapi Kris masih bisa mengenalinya dengan mudah.

Kris mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan diseberang laki-laki tadi. Mengawasinya secara diam-diam sampai Kris sendiri bisa mendapatkan sesuatu. Akhirnya dia bisa menemukan orang itu bahkan dalam kondisi kebetulan seperti ini. Tepat ternyata untuk pergi ke Seoul meski keadaan kemarin sangat terdesar, tapi keputusan Kris memang benar. Gottcha!!

Kris tidak akan pernah lupa dengan wajah itu. Wajah orang yang telah ia incar selama 3 tahun dia membentuk The Ravens. Orang itu yang telah membunuh ayahnya. Ketua kelompok mafia yang disebut The Hurricane.

“I got you, Bang Yongguk!”

 

To be continue

 

*****

Annyeong readers^^ Kembali lagi dengan author cantik pacarya Luhan hahahah ^0^)

Ini dia RCD Chapter 3 yang ditunggu-tunggu oleh para readers ^^ Setelah Beauty & Beast sudah resmi selesai. Mohon komentarnya ya : )

Jinnie bentar lagi mau UTS nih. Doain ya biar nilai Jinnie bagus^^ Nanti Jinnie doain balik ya(?) ‘-‘)

Udah ya, segitu aja pesan-pesan Jinnie(?) Jangan Lupa COMMENTnya^^ Terima kasih :*


[FREELANCE] Devil Beside Me (Chapter 1)

$
0
0

LUSERADBM3

Author :: Sangheera
Title :: Devil Beside Me (Chapter 1)
Cast :: Luhan,  Sera

Support Cast :: Baekhyun, Suho, Kris
Genre :: Romance, Fantasy
Length :: Multi Chapter
Rating :: PG-17

Disclaimer :: Fanfict ini adalah hasil dari kerja keras neuron di otak kanan author sendiri, jadi mohon jangan diplagiat yaaa.

Note :: Mohon diingat bahwa ini hanya fanFICTION, sekali lagi ini hanya FICTION. FIKSI. Hasil dari khayalan author. Jadi mohon untuk tidak menyangkutpautkannya dengan kepercayaan yang kalian anut ya. It’s just for fun… DISLIKE? DON’T READ!

-o0o0o0o-

You’re the devil, and i’m an angel… We’re the ENEMY, right?

 

:: LUHAN POV ::

“Bagaimana, Luhan? Kau terima tawaranku?”

Mataku menyipit menatap gadis yang sekarang sedang berdiri memunggungiku disamping jendela. Sudah berkali-kali dia menanyakan hal itu. Bukankah seharusnya ia sudah tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulutku? Tangan gadis bergaun hitam itu membelai kaktus hias yang aku taruh dibingkai jendela, duri-durinya melengkung seolah terbuat dari bulu halus, sama sekali tidak melukai jari-jari lentiknya.

“Luhan? Kau mendengarku?”tanyanya lagi karena tak kunjung mendengar jawaban dariku. Ia menarik tangannya dan serta –merta membuat kaktus yang baru saja disentuhnya kehilangan sari kehidupannya. Mati meranggas tanpa daya.

Aku menghela napas dan meletakkan buku yang belum selesai kubaca. “Aku dengar…”kataku dan menghampirinya. Kusentuh kaktus mati itu dengan ujung jariku. Perlahan kaktus itu menghijau kembali. Sehat, gemuk dan sebuah bunga berwarna merah kecil mekar disalah satu ujungnya. Ia hidup, seolah tak pernah mati. “…dan aku menolak, Sera.”

Sera memberengut kesal mendengar jawabanku.

Ia merapatkan tubuhnya padaku. Mengalungkan tangannya keleherku. Memberiku sensasi panas yang tak nyaman. Aku bisa mencium aroma mawar yang menguar dari tubuhnya. Memabukkan.

“Kenapa? Kau tak menginginkanku?”

Mata Sera menatapku lekat. Aku merasakan napasnya yang dingin menyapu wajahku, kontras sekali dengan tubuhnya yang panas. Kemudian bibirnya menyentuh bibirku lembut. Panas menyengat.

Aku diam, sama sekali tak membalas.

“Kau benar-benar tidak menginginkanku ya? Ck, menyebalkan!”gerutunya setelah melepas ciuman singkatnya.

Aku tersenyum tipis.

“Lebih baik kau mencari lelaki lain untuk melayanimu, Sera. Pasti diluar sana banyak lelaki yang bersedia menyerahkan jiwanya untukmu.”

Gadis itu mendengus sebal,”Ya seperti yang kau bilang, banyak lelaki yang memujaku, Lu. Tapi aku hanya menginginkanmu…”

“Aku malaikat, Sera. Dan kau…”

“Iblis, aku tau!”potongnya. Kaca-kaca jendela bergetar merasakan emosi gadis iblis ini. Sera marah. Ia selalu marah jika aku mengingatkannya akan perbedaan kami.

“Kita adalah musuh…”

“YA! TIDAK PERLU KAU PERTEGAS SEPERTI ITU, LUHAN!!”

Kaca-kaca hancur berhamburan. Aku menahannya melayang diudara, kemudian mengembalikan kembali kaca-kaca itu kebentuknya semula. Seperti itulah kami berdua. Sera sang iblis yang menghancurkan. Dan aku, Luhan sang malaikat yang mengutuhkan. Hitam dan putih. Sangat berbeda.

“Aku tidak akan menyerah, Lu. Tidak akan. Kau akan menjadi milikku. Kau akan hidup bersamaku selamanya, aro?”desis Sera. Wajah cantiknya mengeras. Aku tau dia sangat marah, tapi entah mengapa aku tidak tahan untuk tidak menggodanya. Sebagai seorang iblis, dia begitu cantik dengan mata berbinar yang indah. Pasti semua manusia akan percaya jika gadis iblis ini mengaku sebagai malaikat.

“Kita lihat saja nanti, Sera. Feelingku malah mengatakan bahwa kaulah yang nanti akan jatuh kepelukanku bahkan tanpa kuminta,”bisikku lembut ditelinganya.

Wajah putih pucat Sera merona. Matanya membulat lucu. Lalu tawa renyahnya menggema dikamar apartemenku ini.

“Kau menggoda iblis, Luhan? Manis sekali…”ujarnya senang sambil mengulaskan bibirnya dibibirku. “Cih, lagi-lagi tidak membalas…”kesalnya.

Aku tertawa.

Sengatan-sengatan panas menjalar diwajahku saat jemari Sera menelusurinya.

“Kau tampan~,”kata Sera pelan.

“Aku tahu. Tidak usah kau tegaskan begitu,”kekehku.

“Narsis!”Sera memukul dadaku pelan dan tertawa bersamaku. Kemudian sayap hitamnya terkembang. Dia mengecup pipiku lembut sebelum tiba-tiba menghilang dari dekapanku. Beberapa lembar bulu hitam terlepas dari sayapnya, melayang dan berjatuhan. Dari udara yang kosong aku masih mendengar gema suara lembutnya.

“Aku akan menjadikanmu milikku, Luhan…”

Aku tersenyum dan mengambil selembar bulu hitam dilantai. Sayap megah dan bulu hitam mengkilat Sera adalah bukti kedudukannya dikerajaan iblis. Dia bukan iblis biasa. Dia adalah bangsawan.

“Seandainya saja…”

Aku terdiam. Napasku tercekat menyadari hal yang salah muncul dibenakku.

Ini tidak boleh terjadi, Luhan. Tidak.

-

-

-

Aku bertemu pertama kali dengan iblis cantik itu dirumah sakit. Ia baru saja mencabut nyawa seorang lelaki yang terluka parah karena kecelakaan. Lelaki jahat yang ringan tangan pada istri dan anaknya, karena itu urusan pencabutan nyawanya ditangani oleh iblis.

Aku sering melihat para iblis mencabut nyawa manusia yang berhati jahat, wajah mereka begitu kejam dengan seringai puas dibibir. Menyiksa manusia adalah hal yang menyenangkan bagi mereka. Tapi mungkin tidak bagi iblis yang kutemui hari itu. Dia begitu bosan dan jijik melihat laki-laki yang mengerang kesakitan dihadapannya. Dan saat tugasnya usai, ia menghampiriku. Sayap hitanmya melebar kokoh dipunggungnya.

“Apa kau selalu menangisi jiwa yang pergi seperti ini, malaikat?”ucapnya dengan suara semanis madu.

Ia mendekat dan mencium sisa airmata yang mengalir dipipiku. Aku mengeryit saat hawa panas menyerbu tubuhku. Aku baru tahu ternyata tubuh iblis terasa sepanas ini dikulitku.

“Ada apa dengan tatapanmu itu, malaikat? Kau terpesona padaku, eh?”tanya iblis didepanku ini penuh percaya diri.

Aku tersenyum kecut.

Iblis manapun tetaplah makhluk sombong. Mereka memperbudak manusia-manusia agar memuja dan melayani mereka. Mereka selalu senang dengan kenyataan kalau mereka berkuasa dan menindas manusia dengan menjerumuskan mereka kelubang kejahatan yang menyengsarakan. Itu kepuasan bagi mereka. Tujuan keberadaan mereka.

“Tidak. Hanya saja kau aneh sekali karena berani mengusikku,”jawabku ringan.

Kami—malaikat dan iblis—selalu menciptakan pertikaan kami sendiri. Saling menjegal, saling melawan. Tapi tidak pernah secara langsung, manusia adalah perantara kami. Tanpa manusia kami hidup dengan urusan kami sendiri-sendiri, tidak suka saling bersinggungan. Apalagi saling menyapa seperti ini. Baru pertama kali ini ada seorang iblis maju menghampiriku dan menyentuhku.

“Aku menginginkanmu, malaikat,”ujar iblis aneh bernama Sera ini yang langsung membuat dahiku mengeryit.

“Apa maksudmu?”tanyaku dengan sikap defensif. Aku beringsut menjauh dari jangkauan jemarinya. Sera yang melihat reaksiku tersenyum geli.

“Takut padaku, eh?”

“Tidak. Aku hanya tidak suka kau menyentuhku. Kita tercipta dengan bahan yang berbeda, karena itulah kulitmu terasa membakar kulitku.”

“Tapi aku menyukainya. Aku menyukai sensasi aneh saat berada didekatmu, karena itulah aku menginginkanmu…”

“Dan menjadikanku budak seperti yang kau lakukan pada manusia-manusia malang itu?”sergahku tidak suka.

Sera mengeyit bingung,”Budak? Tentu saja tidak. Aku hanya ingin kau selalu bersamaku, menjadi milikku. Hanya itu.”

Aku menyipit sangsi mendengar kata-katanya. Iblis selalu punya banyak tipu muslihat untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku harus hati-hati.

“Aku mengajukan tawaran padamu, malaikat. Jadilah milikku. Kau akan kuberi kekayaan, kekuasaan bahkan pengikut setia yang tak pernah dimiliki malaikat. Kau hanya perlu menanggalkan sayapmu, lalu hidup bersamaku diduniaku. Kudengar malaikat memiliki hak untuk memilih melepas sayapnya. Beruntung sekali. Bagaimana? Bukankah itu tawaran yang menarik, huh?”

-

-

-

Lampu-lampu menyala disetiap ruangan apartemen kecilku. Tidak bisa disebut ruangan-ruangan sih, karena sebenarnya hanya ada satu ruangan. Ruang tamu menyatu dengan ruang tv. Dapur, pantry dan meja makan kecil ada disebelah kanan ruang tamu dan hanya dibatasi dengan tiga undakan memanjang yang membelah ruangan. Begitupun dengan tempat tidur disebelah kiri, hanya dibatasi undakan dan sepuluh gantungan panjang dari lempengan compact disc. Ruangan kedua diapartemen ini hanya kamar mandi yang ada disamping ruang tempat tidur.

Aku hidup sendiri didunia manusia, melakukan semua kegiatan manusia termasuk bersekolah. Ini keinginanku sendiri dan tanpa maksud apapun selain ingin mendapat kegiatan lain disamping menjalankan tugasku sebagai malaikat. Lagipula berinteraksi dengan manusia ternyata sangat menyenangkan. Mereka  begitu unik. Didalam diri mereka ada perpaduan antara iblis dan malaikat. Perpaduan antara diriku dan….

Oh, sial, lagi-lagi nama gadis pengganggu itu terlintas dibenakku. Gadis iblis itu tidak hanya  ‘menerorku’ diapartemen tapi juga datang kesekolahku menyamar sebagai manusia dan sekarang ia juga tidak membiarkan otakku berhenti memikirkannya. Dia itu iblis, Luhan. Jangan sampai kau terjerumus pada permainannya.

Aku melemparkan tas sekolahku kesofa dan menghenyakkan tubuhku disisi lain sofa. Aku menyandarkan tubuhku dan memejamkan mataku. Entahlah, tiba-tiba aku merasa lelah.

“Mau aku pijit, Luhan?”suara Sera muncul disebelahku. Napasnya menyapu helaian rambut diatas telingaku dan lengannya  memeluk leherku dari belakang.

“Kau datang lagi?”tanyaku retoris. Merasa kecut pada diriku sendiri karena sama sekali tidak keberatan dengan kedatangannya.

“Yap! Aku datang lagi!”nada suara Sera begitu ceria seolah ini adalah hal paling menyenangkan yang pernah dia lakukan. Mau tak mau aku tersenyum mendengarnya.

“Tidak bosan, eh?”tanyaku lagi.

“Tidak,”jawab Sera enteng. Aku merasakan ia menggeleng kuat disamping kepalaku.

“Sudah satu bulan kau mengikutiku, Sera. Serius tidak bosan?”

“Serius!”

“Aneh…”gumamku dan Sera tertawa.

“Tapi Luhan, aku tidak suka tempat bernama sekolah itu. Bisakah kau berhenti kesana?”

Tawaku meledak mendengar kata-kata polosnya. Jadi dia benar-benar terpaksa masuk kesekolah? Hanya demi mengikutiku? Yah,memang sih Sera terlihat begitu tidak pas diantara para manusia itu. Wajahnya yang terlalu cantik, otaknya yang terlalu jenius karena pengetahuan manusia tentu bukan levelnya, perangainya yang buruk dengan sikap sombong luar biasa dan ketidakpeduliannya, juga pemilihan tatabahasa yang merendahkan jika ada manusia yang mengajaknya bicara, tentu membuat Sera segera tersingkir dari kehidupan sosial manusia.

Aku bahkan kadang tertawa melihatnya cemberut dan menggumam kesal karena merasa tingkah laku manusia disekitarnya begitu konyol dan membuatnya merasa konyol juga karena berada ditengah mereka. Tapi, selama sebulan ini dia bertahan dan baru berani mengeluh padaku sekarang. Bagaimana bisa seorang iblis bersikap begitu manis seperti ini? Pesona Sera inilah yang membuatku tak bisa mengusirnya pergi dari sisiku. Saat bersamanya aku merasa istimewa karena Sera hanya menginginkanku. Bukan yang lain.

“Kalau begitu kau tidak usah mengikutiku kesana, Sera,”ujarku disela tawa.

“Kau tidak ingin aku didekatmu ya?”

“Aku tidak ingin kau merasa terpaksa karenaku.”

“Jadi aku boleh didekatmu?”

Aku pura-pura berpikir keras. Sera mengawasiku dengan mata bulatnya dengan tidak sabar. Raut wajahnya terlihat harap-harap cemas. Aku tersenyum,”Apa pendapatku penting? Kukira walaupun aku menolak kau akan tetap menempel padaku.”

Sera menggembungkan sebelah pipinya,”Aku tidak menempel, Luhan! Aku hanya memastikan kalau kau tidak akan kabur! Kau pikir siapa dirimu ini bicara seperti itu pada iblis, huh?”

Aku memutar bola mataku mendengar alasannya yang terdengar konyol ditelingaku. See! Sedari tadi dia bahkan tidak melepas pelukannya sedikitpun dari leherku, apa itu tak bisa disebut menempel, eh? ”Baiklah terserah apa katamu, Sera.”

“Jawab pertanyaanku tadi, Luhan!”tuntut Sera.

Aku menimbang-nimbang sekali lagi,”Mmm, yah, oke.”

Sera tersenyum puas. “Kalau memilikimu?”

“Tidak”

“Eh? wae?”

“Aku bukan barang, Sera. Diriku adalah milikku sendiri, arasseo?”

“Kenapa begitu?”Sera menyandarkan kepalanya dipundakku. Kecewa.

“Hei. Hei. Hei. Ada apa? Kenapa kau merajuk sekali hari ini? Biasanya kau akan menggodaku habis-habisan agar mulai menginginkanmu.”

“Kau lebih suka diriku yang menggodamu seperti itu?”

Aku tersenyum dan meliriknya nakal,”Ne…”

Sayap Sera terkembang dan detik berikutnya ia sudah berpindah kepangkuanku. Aku tertawa melihat betapa spontannya iblis cantik ini.

“Wae? Kenapa tertawa, Luhan?”tanyanya bingung sambil merenggut kerah kemeja sekolahku. Wajahnya seolah tidak terima aku tertawa sendirian. Cemberut. Manis sekali.

“Ani…”

“Luhan!! Kau benar-benar malaikat jahat karena sudah berani mempermainkan iblis, aro?”gerutunya yang membuatku tergelak kembali. Disela tawaku, aku menyelipkan rambut-rambut Sera yang berjuntai menutupi wajah cantiknya kebelakang telinganya. Membuat wajah cemberutnya berangsur-angsur berubah menjadi senyuman.

Tawaku menghilang saat sebuah pikiran terlintas dibenakku. Sera mengeryit menyadari perubahan ekspresi wajahku yang tiba-tiba. Dia membelai wajahku dan membuka mulutnya hendak bertanya, tapi aku mendahuluinya.

“Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku, Sera? Apa kau tau sikapmu itu begitu aneh?”

“Aneh?”beonya tak mengerti.

“Ya, seolah aku begitu berharga hingga kau tak mau melepasku. Sebenarnya apa aku ini bagimu?”

Mata Sera bergerak-gerak, aku tau dia bingung dan aku tidak mengerti kenapa.

“Kau mencintaiku?”tanyaku lagi. Hanya hal itu yang terlintas diotakku untuk menjelaskan arti dari sikap Sera padaku.

Sera tertawa, tapi aku merasa tawanya begitu gugup hingga aku hampir yakin apa yang akan kudengar nanti pastilah kebohongan.

“Tidak, Luhan. Kau berharap aku mencintaimu? Itu tidak mungkin. Kau malaikat dan aku…”

“Kenapa kau baru menerima kenyataan bahwa kita berbeda?”

Sera bangkit,”Aku tidak…”

“Ne!”potongku dan menariknya kembali kepangkuanku.

“Selama ini kau tidak suka dengan kenyataan kita berbeda. Kau marah tiap aku mengungkit hal itu, tapi kenapa sekarang…”

“Luhan…”

“Kenapa baru sekarang kau menerimanya? Setelah aku menanyakan perasaanmu padaku?”

Sera menatapku lekat sebelum akhirnya menjawab,”Karena kau begitu tampan, Luhan. Aku ingin memilikimu. Malaikat tampan yang hanya dimiliki oleh bangsawan iblis cantik sepertiku. Ini bentuk keegoisanku. Dan aku tidak akan berhenti sebelum aku mendapatkanmu.” Senyum angkuh Sera tersungging.

Aku meneliti wajahnya. Merasakan tiap getar suaranya. Berusaha mencari kebenaran disana.

“Aku senang jika itulah kebenarannya, Sera. Malaikat dan iblis tidak mungkin saling jatuh cinta. Kita adalah musuh…”

“Ya. Itu takdir kita, Luhan,”sahut Sera.

Kami berdua tersenyum. Aku tahu, kami sedang membicarakan kebenaran, tapi rasanya ada yang salah. Hatiku bergetar aneh dan aku tidak menyukainya.

Sayap Sera terkembang. Dia akan pergi, aku tahu itu. Tapi kali ini aku tidak menginginkannya. Dia memang sudah menggangguku setiap hari, tapi hari ini ada yang berbeda. Aku tidak ingin dia pergi.

“Kkajima!”pintaku yang membuat Sera terkesiap. Ini adalah pertama kalinya aku menahannya pergi.

“Kkajima!”ulangku sambil melingkarkan tanganku dipinggangnya untuk menahannya.

Sayap Sera kembali lenyap terhisap masuk kepunggungnya. Aku merasakan kelegaan menyusupi dadaku.

“Luhan, waegure? Kau juga aneh sekali hari ini!”sungutnya.

Aku tertawa dan menyandarkan kepalaku didada Sera. Entah sejak kapan aku terbiasa dengan rasa panas menyengat tubuhku saat menyentuhnya. Sera membelai rambutku dengan jemarinya.

“Luhan, kau pasti sudah mulai menginginkanku, ya kan?”

“Entahlah.”

“Ish, mengaku sajalah…”

Aku tertawa kecil dan membuat gadis dipelukanku ini ikut tertawa.

Benarkah aku mulai menginginkan gadis ini??

-

-

-

:: SERA POV ::

“Darimana kau?”

Aku menoleh kearah suara dingin yang menyapaku dan mendapati Baekhyun berdiri menatapku garang.

“Bukan urusanmu, Baekhyun…”jawabku datar.

Aku berbalik meninggalkannya. Sial sekali karena harus bertemu dengannya ditengah suasana hatiku yang sedang baik karena Luhan mulai menginginkanku. Mood baikku langsung hancur berkeping-keping hanya karena mendengar suara dingin si Baekhyun itu. Cih…

“Menemui malaikat busuk itu lagi, eh?”ujar Baekhyun sengit.

Dengan kecepatan kilat aku berpindah kehadapan Baekhyun dan mencengkeram kerah bajunya kuat.

“Jaga ucapanmu…”desisku marah.

Baekhyun tertawa,“Kau membelanya? Lucu sekali, Sera. Adikku tercinta ini sudah menjadi budak malaikat sekarang, hahaha. Benar-benar lucu.” Tawa Baekhyun menghilang digantikan kata-kata datar penuh amarah andalannya yang membuat bulu kudukku meremang. “Kau lupa siapa dirimu, Sera? Kau bangsawan. Kau High-evil. Dan iblis sepertimu malah mengejar-ngejar malaikat yang jelas-jelas adalah musuh kita. Sikapmu ini sungguh rendahan!!”

Tanganku gemetar karena amarah. Sejak dulu aku benci dengan kakakku satu-satunya ini. Dia iblis yang sempurna, kejam, tanpa belas kasih, jenius luar biasa dan tampan. Dia memiliki ratusan ribu budak manusia yang setia padanya. Dirinyalah kebanggaan keluargaku. Sedangkan aku hanya bayangannya. Gadis iblis yang labil, dianggap bodoh karena tak tertarik pada pelayanan manusia, dan pembangkang. Aku adalah produk gagal. Itulah pendapat semua orang tentangku.

Peduli apa mereka?

Kekejaman selalu aku rasakan disini. Tidak ada kedamaian, kesenangan, kepuasan. Aku bosan. Aku muak. Aku tidak suka menjadi seperti mereka.

“Sera, hentikan…”suara Baekhyun melembut, membuat keningku mengeryit.

Hal jahat apa lagi yang dia rencanakan?

“Nada suaramu membuatku takut, Baekhyun…”cibirku.

“Kau akan lebih takut jika mendengar ini, Sera. Tuan Kris mulai mengawasimu.”

Tubuhku menjengit.

Benar saja, seperti yang dikatakan Baekhyun, tubuhku terasa mengkerut dan bergetar hebat. Aku melepas cengkeraman tanganku dikerah kemeja Baekhyun dan menatapnya dengan tatapan nanar. Ketakutan melandaku hanya karena mendengar namanya. Kenapa Tuan Kris harus ikut campur urusanku?

Tuan Kris, dia adalah pemimpin kami, orang yang paling berkuasa dikerajaan kami dan secara alami kami takuti. Dialah raja para iblis.

Belum reda rasa takut yang menguasaiku, tubuhku tiba-tiba terasa ditekan kuat kebawah. Sesuatu yang besar terasa memberati pundakku dan membuat kakiku tak mampu menahan tubuhku. Aku terjatuh dengan kaki bersimpuh. Tubuhku menegang dengan posisi menunduk. Sakit luar biasa.

Mataku yang terasa panas melirik kearah Baekhyun dan ternyata dia juga mengalami hal yang sama denganku. Ia duduk bersimpuh disampingku dengan erangan tertahan dan wajah tersiksa.

“Terimakasih sudah menyambutku, sayang…”ujar seseorang yang langsung membuatku bergidik takut.

Sebuah tangan yang begitu pucat menyentuh daguku. Kepalaku terasa dipaksa untuk mendongak walaupun jelas-jelas jari-jari panjang itu hanya menyentuh daguku lembut. Aku menatap wajah tersempurna sekaligus terkejam yang pernah aku lihat.

Dia datang.

“S-selamat datang, tuan…”jawabku terbata.

Aku menunduk, tak mampu lagi menatapnya. Jantungku terasa diremas-remas. Udara seolah ditarik paksa dari ruangan tempatku berada hingga membuatku sulit bernapas dan berkunang-kunang. Rasanya aku ingin menangis, tapi tidak pernah ada airmata keluar dari mata iblis.

Tuan Kris berjalan dengan anggun kearah para pengawal-pengawalnya dan berdiri dihadapan mereka. Menatapku dan Baekhyun dengan mata teduh munafiknya seolah kami berdua adalah pesakitan yang menunggu vonis hukuman mati dan sedang berlutut meminta pengampunan darinya. Tapi, seketika itu pula sesuatu yang memberati pundakku hilang. Aku dan Baekhyun dibebaskan.

Baekhyun dengan kebaikan hati yang sulit kupercaya memegangi lenganku dan membantuku berdiri. Wajahnya terlihat begitu tenang sekarang. Dari raut muka Baekhyun itu aku paham, memang seperti inilah tata cara penyambutan raja kami. Memaksa siapapun bertekuk lutut dihadapannya dengan cara yang menyakitkan. Kekejaman khas iblis. Baekhyun yang sudah beberapa kali bertemu raja pasti terbiasa dengan ini, tapi aku tidak.

“Selamat datang, tuan…”sapanya pada Tuan Kris. Anehnya raja kami, dia tidak suka dipanggil Yang Mulia selayaknya raja. Hanya `Tuan`. Alasannya? Tidak ada. Apa ini bentuk kerendahan hati? Entahlah. Tapi kurasa ini kedengaran konyol sekali jika seorang iblis apalagi seorang raja iblis memiliki kerendahan hati.

Tuan Kris tersenyum dan mengangguk kecil pada Baekhyun sebagai balasan salamnya. Lalu mata tajamnya beralih kembali padaku. Aku menjengit lagi.

“Kenapa aku mencium bau busuk malaikat dirumah ini, Albert?”tanya Tuan Kris pada ayahku yang tergopoh-gopoh datang dengan wajah panik. Ia sekilas mendelik kearahku sebelum menunduk penuh hormat pada Tuan Kris.

“Maaf, tuan. Gadis ini…”

“…berkunjung kerumah malaikat itu lagi?”potong Tuan Kris dengan nada manis dibuat-buat.

Ayahku menghela napas dengan wajah penuh penyesalan dan mengangguk lemah. Aku tahu ayah sama sekali tidak sedih karena perilakuku, dia malu. Amarahku yang semula padam karena takut, berkobar lagi.

“Kau harus mandi yang bersih, sayang…”ujar Tuan Kris padaku dengan nada prihatin.

Napasku terasa memburu. Aku marah. Entah mengapa aku benci Tuan Kris berkata seolah aku baru saja pulang dari tempat penampungan sampah. Luhan adalah makhluk terharum yang pernah aku cium. Bahkan lebih harum daripada raja yang ada dihadapanku sekarang.

“Argh!”

Aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi padaku. Tiba-tiba tubuhku melayang dan menabrak tembok dengan keras. Aku bisa merasakan serpihannya jatuh disekitarku.

Mataku mendelik takut saat melihat wajah Tuan Kris yang dingin tanpa ekspresi tepat didepan wajahku. Tangannya yang panas membara mencekik leherku. Aku tidak pernah merasa sesakit ini seumur hidupku. Napasku putus-putus. Sayup-sayup aku mendengar suara Baekhyun yang meminta ampunan Tuan Kris untukku.

“Tuan, kumohon. Dia masih muda. Belum terlalu mengerti dengan konsekuensi perbuatannya. Dia pasti hanya bermain-main dengan malaikat itu dan terlalu menikmatinya. Aku akan menasehatinya nanti, tuan. Kumohon, ampunilah adikku.” Baekhyun berlutut. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Baekhyun melakukan itu untukku. Bukankah dia membenciku, eh?

“Aku harap ucapanmu benar, Baekhyun. Aku tidak suka penghinaan padaku yang dia pancarkan dari matanya itu. Kau masih beruntung aku tidak langsung mencongkel kedua bola matamu yang indah ini, sayang…”

Tuan Kris menekan tubuhku kedinding sebelum melepasku. Tubuhku melorot kelantai. Kakiku lemas. Aku meringis kesakitan dan terbatuk-batuk. Rasa sakit yang sangat menjalari sekujur tubuhku, aku tau ini tidak akan hilang dalam hitungan hari.

Baekhyun menghampiriku, sedangkan ayah hanya berdiri mematung tanpa berbuat apa-apa. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan simpati padaku.

“Kuperingatkan padamu, gadis kecil…”Tuan Kris berbalik menatapku, membuat tubuhku menjengit ketakutan. “…kau adalah high-evil yang tercipta untuk melayaniku. Pengkhianatan berarti kemusnahan. Tidak ada belas kasih apalagi cinta…” Tuan Kris tersenyum geli seolah baru saja mengatakan hal yang paling konyol yang pernah dia ucapkan.

“Cinta? Tidak ada cinta dalam hidup kita, Sera. Yang ada hanyalah pengabdian. Iblis seperti kita memiliki kodrat untuk menghancurkan. Jika kau melanggar, akan aku pastikan jam pasir keabadianmu terbalik dan kau akan musnah dalam hitungan menit,”ancamnya.

Tubuhku masih bergetar hebat. Bahkan sampai Tuan Kris dan pengawal-pengawalnya pergi dari rumah kami, suasana mencekam masih terasa. Aku berusaha berdiri dibantu Baekhyun. Saat itu ayah menghampiriku dengan langkah panjang dan sebuah tamparan keras mendarat dipipiku.

“Dasar anak tak tahu malu! Produk gagal!! Seharusnya kau melayani Tuan Kris bukannya mendatangi malaikat busuk itu!!” Ayah menjambak rambutku kasar. “Dengar ini, Sera. Jika kau berani keluar dari rumah ini untuk bertemu malaikat itu, kupastikan kau tak akan bisa kembali lagi kesini. Jangan kira ayah akan membelamu jika Tuan Kris memusnahkanmu!!”ancamnya.

Ayah melepaskan tangannya dengan sentakan menyakitkan. Matanya kemudian tertuju pada Baekhyun.

“Jaga makhluk ini baik-baik, Baekhyun!”

Baekhyun membungkuk hormat pada ayah dengan wajah sedingin es. Aku menatap punggung ayah yang pergi menjauh dan bersumpah dalam hati akan membunuhnya suatu saat nanti.

-

-

-

To Be Continued…

 

Yehettt~!!!

Gamsahamnida sudah bertahan membaca sampai habis ^_^. Jika, ada yang suka FF ini, author akan segera kirim Chapter 2-nya…
RCL juseyoo yeoreobuuunn… Jebal, No SiDer, ne???

 


[FREELANCE] (un)Perfect Husband (Chapter 2)

$
0
0

PhotoGrid_1390537973675

Title : (un)Perfect Husband

 

Author : Kris’s Anae (@nanda_arisma)

 

Main Cast :

 

• Huang Zi Tao (EXO)

 

• Kwon Yuri (SNSD)

 

• Oh Se Hoon (EXO)

 

• Im Yoona (SNSD)

 

Other Cast :

 

• Choi Siwon (Super Junior)

 

• Krystal Jung (F(x))

 

• Kim Jong Dae (EXO)

 

• Kwon Parents (OC)

 

• Huang Parents (OC)

 

Length : Chaptered

 

Genre : Little bromance, romance, sad, little hurt, AU, school life, marriage life, family, etc.

 

Rate : PG-17

 

Disclaimer : I’m not owner of the casts, typo’s everywhere, cerita membingungkan, alur pasaran.

 

Note : FF ini sudah pernah dipublish di blog lain dengan cast yang berbeda.

 

 

 

 

 

 

Say ‘NO’ to Siders and Plagiator

 

Happy Reading ^^

 

 

 

 

 

 

 

“Aigoo! Yoong! Ck! Apa yang sudah dilakukan namja ceroboh itu padamu, eoh? Dia sepertinya benar-benar sudah terobsesi padamu.” Yuri menggumam sendiri dan mencoba membangunkan Im Yoona, dengan susah payah akhirnya ia berhasil berdiri dan memapah Yoona di sampingnya.

 

 

 

 

 

     Rumah besar itu terlihat sepi, lagi pula siapa yang akan bangun tengah malam seperti ini? Pemilik rumah tampaknya sedang mengungsi ke tempat lain, hanya tinggal anaknya yang ceroboh sendirian dan beberapa pembantunya saja yang menempatinya. Yuri meremas tangannya sedari tadi, entah mengapa waktu yang digunakan oleh Dokter Jang untuk memeriksa keadaan Yoona terasa begitu lama. Siwon sendiri sedang memeluk Yuri di sampingnya, tangannya terasa begitu dingin saat dengan tidak sengaja bersentuhan dengan kulit Yuri.

 

“Dia baik-baik saja, hanya terjadi benturan kecil di kepalanya. Itu tidak akan berpengaruh buruk, dia hanya butuh istirahat. Mungkin besok pagi dia akan sadar.” Dokter Jang mengambil tasnya lalu mulai beranjak pergi.

 

“Kalau ada apa-apa, langsung saja hubungi aku. Arraseo?” Siwon dan Yuri hanya bisa mengangguk kaku pada dokter Jang dan membungkuk sopan, mata mereka tak lepas memandangi Yoona.

 

“Gamsahamnida, uisa-nim..” Ucapan Yuri sedikit tercekat, dia masih shock dengan kejadian ini. Setelah jawaban singkat dari dokter itu, suara pintu ditutup terdengar. Siwon mengernyit heran, sepertinya ada yang tidak beres.

 

“Yul, kau sekarang sudah bersuami. Bagaimana bisa kau berkeliaran selarut ini tanpa ditemani suamimu? Lagipula aku tidak melihatmu menghubunginya sama sekali sedari tadi, apa dia tidak khawatir padamu?” Siwon mulai mencium bau tidak beres dalam rumah tangga sepupunya ini, Yuri hanya memasang raut datar lalu melepaskan dirinya dari rangkulan Siwon.

 

“Tidak, dia akan baik-baik saja tanpa aku. Kau lupa? Dia laki-laki, kepergianku dari apartemen tak akan berarti banyak.” Yuri tersenyum kecut, dia teringat pertengkaran terakhir mereka. Yuri berpikir, apa dia terlalu berlebihan tadi? Hanya karena masalah ikat rambut mereka bertengkar. Tapi Tao juga bukan orang yang benar dalam hal ini, mereka berdua sama-sama sensitif dan keras kepala.

 

“Aku berterima kasih sekali padamu, Yul. Kau telah mau membantuku dan ada saat aku butuh kau, tapi ku mohon sekarang pulanglah. Ini sudah tengah malam, kau sekarang sudah menjadi istri, bukan single lagi. Aku bisa mengurusnya sendiri setelah ini, kau tidak perlu khawatir.” Siwon tersenyum menenangkan, Yuri hanya bisa pasrah dan menuruti apa yang Siwon inginkan.

 

“Arraseo. Antarkan aku pulang, oppa. Aku tidak membawa mobil.”

 

“Ne, kajja.”

 

 

 

 

 

 

 

 

“Darimana saja kau? Ini bahkan sudah lewat tengah malam, kau bodoh atau apa?” Suara Tao yang khas menyambut kedatangan Yuri saat Yuri baru akan memakai alas kaki apartemennya, dia merotasikan bola matanya sambil berlalu melewati sofa yang saat ini sedang diduduki oleh Tao.

 

“Jawab pertanyaanku, Huang Yuri!” Yuri berdecak sebal saat Tao menahan lengannya, dia sedikit meringis karena cengkeraman Tao di pergelangan tangannya semakin kuat.

 

“Lepaskan aku! Apa pedulimu, eoh? Memangnya siapa aku? Dan lagi, margaku Kwon, bukan Huang seperti yang kau katakan.” Yuri berusaha menghempaskan tangan Tao yang melingkari pergelangan tangannya, namun sia-sia saja. Bagaimanapun Tao adalah namja, dia lebih kuat dibandingkan Yuri.

 

“Sekarang tidak lagi! Kau tanggung jawabku mulai hari ini, jangan banyak tingkah! Bukan kau yang akan dibunuh oleh orang tua kita jika terjadi apa-apa, tapi aku! Dengarkan baik-baik perkataanku, aku ingin kau mengingatnya dengan jelas di memorimu!” Tao berbisik tepat di hadapan wajah Yuri, jarak mereka terlalu dekat, bahkan nafas mereka bertabrakan satu sama lain. Yuri akhirnya bisa bernafas kembali saat Tao beranjak masuk ke kamar mereka, tanpa ia sadari sedari tadi dia menahan nafas.

 

 

 

BRAKK

 

 

 

Yuri merosot di sofa apartemen itu, dia menangis dalam diam. Haruskah dia terus terjebak dalam pernikahan neraka ini? Tidak adakah sedikitpun kebahagiaan untuknya yang akan diberikan Tao kelak? Apakah Tao memperlakukan semua wanita seperti ini? Apakah dia benar-benar tidak tau bagaimana harus bersikap di hadapan seorang wanita? Seburuk itukah pengaruh yang di timbulkan oleh rasa sukanya pada sesama jenis? Jika iya, maka Yuri adalah orang yang tidak akan pernah merasakan bahagia dalam pernikahan ini.

 

Menangis membuat tenggorokan Yuri kering, dia berjalan menuju lemari es yang berada di sisi kiri meja makan. Matanya tidak sengaja melihat hidangan di atas meja, hidangan itu masih utuh belum tersentuh, dua piring yang berada di meja itu pun masih bersih dari noda makanan. Yuri tertegun sejenak, jadi sedari tadi sore Tao menunggunya untuk makan malam. Itukah alasan Tao marah seperti tadi? Mengapa ia tidak jujur saja pada Yuri jika ia menunggunya? Dada Yuri mendadak sesak, jadi disini Tao memang berhak untuk marah, bukan?

Yuri menghela nafas sejenak lalu melanjutkan niat awalnya untuk mengambil minum, setelah itu dia beranjak ke kamarnya dan Tao. Dia berhenti sejenak di depan pintu kamar, menyiapkan mental sebelum berhadapan langsung dan meminta maaf pada Tao. Yuri yakin, Tao belum tidur saat ini.

 

“Tao-ya, aku ingin berbicara. Aku tau kau belum tidur.” Yuri mengambil tempat di sisi kiri ranjang yang kosong, dia memasukkan kakinya ke dalam selimut ranjang itu dan bersandar pada kepala ranjang.

 

“Tao!”

 

“Huang Zi Tao!”

 

“Ck! Wae?! Bicara saja!” Akhirnya respon itu keluar dari mulut Tao, sekalipun itu bukan respon yang diinginkan Yuri.

 

“Aku tau kau tadi menungguku untuk makan malam bersama, maafkan aku karena tidak tahu bahwa kau menungguku untuk itu. Kau berhak marah, aku yang salah disini..” Yuri menunduk sekalipun Tao tak melihatnya, Tao masih berbaring membelakanginya saat ini.

 

“Kau mau memaafkanku?” Terdengar helaan nafas panjang dari mulut Tao.

 

“Ne. Sekarang kau harus tidur, ini sudah larut.” Tao berkata tanpa merubah posisinya, dia mematikan lampu nakasnya lalu kembali berusaha tidur. Yuri tersenyum, entah mengapa perasaannya menghangat saat mendengar kata-kata terakhir Tao sebelum dia terbang ke alam mimpinya.

 

 

 

 

 

Tao kali ini tidak berniat menurunkan Yuri di luar gerbang sekolah lagi, dia terus saja melajukan mobilnya hingga melewati gerbang sekolahnya. Yuri sendiri tidak berniat membuka mulut atau menunjukkan ekspresi terkejutnya, dia tetap menatap datar jendela depan mobil Tao. Yuri tidak begitu khawatir karena ventilasi mobil itu tertutup, setidaknya dia bisa aman sampai area parkir sekolah.

 

“Nanti jika kau lebih cepat pulang daripada aku, datang saja ke ruangan dance. Kita akan belanja sepulang sekolah.” Suara Tao menggema memecah keheningan di dalam mobil itu saat Yuri hendak membuka pintunya, dia hanya mengangguk  sekilas lalu meneruskan langkahnya yang tertunda.

 

Aku hanya takut aku akan melihatnya lagi, Huang Zi Tao.

 

“Yul!” Yuri reflek menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya, Yuri menegang seketika begitu mengetahui siapa yang tadi menyerukan namanya.

 

“Yoong? A-apa yang kau lakukan disini?” Yuri mendadak menjadi panas dingin, takut Yoona akan mengetahui bahwa dia satu mobil dengan Huang Zi Tao.

 

“Aku? Tentu saja aku memarkirkan motorku, apa lagi?” Yuri menghela nafas lega, setidaknya tidak tercium bau kecurigaan dari Yoona.

 

“Oh, iya juga sih.”

 

“Hey, mana mobilmu? Tidak terlihat. Kau ganti lagi?” Yuri meneguk ludahnya susah payah, ia butuh penolong segera agar bisa cepat-cepat keluar dari situasi ini.

 

“Eh, Im Yoona? Kau tidak masuk? Ini sudah bel.” Tao datang dan menyela percakapan mereka, Yuri mengerutkan alisnya bingung dan menatap Yoona Tao bergantin.

 

“Ah, ne. Ini sudah bel kan? Aku masuk dulu ya, Yoong.. See u!”

 

“Ne, see u!”

 

“Mau berjalan bersama?” Yoona berusaha tidak terlihat gugup di depan Tao, dia memberanikan diri memulai pembicaraan dan memecah suasana canggung yang tiba-tiba saja datang.

 

“Tentu saja, kajja.” Tao bukan tanpa alasan menerima ajakan Yoona, dia ingin menanyakan hubungan antara Yoona dan Yuri.

 

“Kau mengenal Kwon Yuri?” Yoona terkejut, Tao memulai percakapan di antara mereka.

 

“N-ne? Ah, tentu saja. Kami bisa dibilang cukup dekat, wae?” Tao memutar akal untuk mencari alasan yang tepat dibalik pertanyaannya tentang Yuri, tidak mungkin dia beralibi bahwa dia bertanya karena dia penasaran tentang jati diri istrinya sendiri.

 

“Eobseo, hanya ingin bertanya. Terasa sedikit aneh, kau yang tipikal yeoja cuek bisa berteman dengan orang misterius seperti dia.” Yoona tersenyum, dia senang mendengar bahwa Tao mengetahui karakternya.

 

“Bukan perkara yang sulit, dia sebenarnya pribadi yang hangat jika kau sudah berteman akrab dengannya. Kami berada dalam lingkup arena balap malam yang sama, itu awal pertemuan kami.” Tao tersentak, apa dia tidak salah dengar? Balap malam? Balap liar? Seorang Kwon Yuri? Yang benar saja!

 

“Eoh? Kau yeoja unik, Im Yoona-ssi. Aku penasaran dengan persahabatan kalian berdua, mungkin lain kali kita bisa keluar berdua dan berbicara banyak tentang ini.” Tao melirik Yoona, terlihat yeoja itu sedang tersenyum manis dan pipinya merona merah.

 

“Jinjja-yo, Tao-ssi? Ah, dengan senang hati aku akan menerima ajakanmu.” Tao bernafas lega saat pintu kelasnya terlihat beberapa langkah di depannya, sungguh berbicara berdua dengan tenang seperti ini dengan seorang yeoja adalah hal yang teramat sulit baginya.

 

“Ne, aku akan memikirkan waktunya dulu. Kelasku ada di depan, sampai jumpa.” Tao mengacak rambut Yoona sebagai salam perpisahan, Yoona hanya bisa tersenyum senang dan melambai pada Tao yang mulai hilang dari jangkauan matanya. Tao menyeringai, sepertinya mencari tahu tentang Yuri dan bermain-main sebentar dengan Yoona akan menyenangkan.

 

“Tao-er? Kenapa kau begitu lama?” Sehun menunggu Tao di bangku mereka, dia sudah memasang raut super jengkelnya karena melihat Tao dan Yoona yang berinteraksi sebentar di depan pintu kelas mereka.

 

“Aku bermain-main dengan Im Yoona sebentar, dia sangat mudah tersipu.” Tao terkekeh di akhir kalimatnya, Sehun hanya mendengus seraya memutar kedua bola matanya.

 

“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu.” Sehun memasang headsetnya dan mulai mencari posisi ternyaman untuk tidur, Tao hanya bisa menatap Sehun jengkel.

 

“Ya! Kau tidak boleh tidur, Oh Sehun! Kau harus menemaniku!” Sehun tetap pada posisi tidur duduknya, dia tidak berniat mendengarkan keluhan Tao.

 

“Ck! Terserah.”

 

 

 

 

 

Yuri dan Chen sedang asyik bergurau saat Tao dan Sehun memasuki kantin dan duduk beberapa meja di belakang mereka. Sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang sangat menyenangkan, itu terbukti dari senyuman Yuri yang terus menerus mengembang sedari tadi. Tao terdiam, mungkin apa yang dikatakan Im Yoona itu benar adanya. Yuri sesungguhnya adalah sosok yang hangat, jika kau sudah berteman akrab dan mengenal dia lebih dekat. Saat Tao menoleh lagi ke arah mereka, mata Tao membulat. Dia lebih memilih mengalihkan wajahnya yang kesal menahan geram saat Chen membisikkan sesuatu di telinga Yuri dan akhirnya berakhir dengan sebuah ciuman Chen di pipinya, tangannya mengepal dan Sehun menyadari perubahan ekspresi Tao.

 

“Wae-yo? Kau ada masalah, Tao-er?” Seketika Tao terkejut, ia lupa bahwa sedari tadi dia mengabaikan Sehun yang duduk di sampingnya.

 

“Ah, aniya. Aku hanya tiba-tiba kehilangan moodku untuk makan, ayo kita pergi ke ruangan dance saja.” Tao menarik paksa Sehun dari kursinya, dia tidak mau Sehun tau apa yang membuatnya berubah menjadi seperti ini.

 

Sehun terus saja mengikuti tarikan Tao dan tidak berusaha melepasnya, dia tau apa yang Tao lihat. Sehun tau Tao geram dengan kedekatan Yuri dan Chen, hanya saja Sehun ingin melihat apa yang akan dilakukan Tao setelah ini. Biasanya Tao akan memilih berlatih Wushu saat sedang kesal, itu yang selalu Sehun lihat saat Tao membuatnya marah dan gagal mengakhiri perselisihan mereka.

 

“Aku merindukan saat-saat seperti ini, setelah aku menikah kita belum pernah keluar berdua lagi.” Dugaan Sehun salah, Tao malah mengajaknya duduk bersandar di cermin besar ruangan dance.

 

“Aku juga. Bagaimana kalau kita membolos untuk jam terakhir pelajaran?” Tao mengangguk semangat saat Sehun mengusulkan idenya yang begitu cemerlang.

 

“Ide bagus.” Sehun tersenyum, dilihatnya Tao mulai menidurkan kepalanya di kakinya, kebiasaan mereka saat sedang berdua seperti ini.

 

“Kau tau, Oh Sehun? Aku menyukaimu. Entah sejak kapan, aku tidak tau tepatnya.” Sehun tersenyum, dia memainkan rambut hitam milik Tao yang sekarang sama dengan Yuri.

 

“Ne, arraseo. Aku juga seperti itu. Oh ya, aku sedikit tidak suka kau menyamakan warna rambutmu dengan istrimu. Kau terlihat lebih cool saat berambut pirang sepertiku, Tao-er.” Tao tertawa, dia tahu Sehun cepat atau lambat akan mengeluh tentang warna rambutnya yang ia ganti.

 

“Itu tidak menjadi masalah, Hunnie. Yang penting aku tetap menyukaimu, dan kau pun begitu.” Sehun tersenyum, Tao bangun dari posisinya lalu menyeret Sehun ke sudut ruangan yang tidak terlihat melalui pintu ruangan itu.

 

“Aku merindukanmu, Hunnie.”

 

“Ne, nado.” Dan kejadian setelah itu, biarlah mereka yang mengetahuinya.

 

 

 

 

 

Yoona menendang ban motornya dengan brutal, sungguh ini saat yang tidak tepat untuknya kempes seperti ini. Dan sialnya, dia tidak puny aban caadangan. Ayolah, ini mtor bukan mobil. Dia memutar otak, siapa yang bisa ia mintai pertolongan unuk saat ini? Saat tengah berpikir seperti itu, sebuah mobil sport hitam berhenti tepat di sampingnya. Ia mengernyit, apa maksud pengendara mobl ini?

 

“Butuh bantuan, nona?” Yoona sedikit terkejut saat kaca mobil itu diturunkan, ternyata yang ada di dalamnya adalah Oh Se Hun. Yoona merasa hari ini adalah hari sialnya, dan Sehun sebagai pelengkap kesialannya.

 

“Tidak! Terima kasih!” Yoona terus saja menuntun motor besarnya begitu pula dengan Sehun yang masih setia mengikutinya.

 

“Ck! Mengapa kau terus mengikutiku?” Yoona yang sudah tidak tahan dengan tingkah aneh Sehun pun akhirnya berteriak kesal, mereka sukses menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang disana, mereka kebetulan sedang berada di dekat halte bus yang cukup ramai.

 

“Cih! Dasar yeoja aneh! Apa salahnya menawarkan bantuan? Kalau tidak mau ya sudah, tidak usah berteriak pabbo!” Yoona yang suasana hatinya sedang buruk pun terpancing, orang yang satu ini benar-benar mengujinya.

 

“Apa kau bilang? Yeoja aneh? Asal kau tau ya, kau bahkan lebih aneh dariku! Apakah pekerjaanmu hanya mengikuti Tao di sekolah? Tidak adakah yang lain? Kau membuatku semakin tidak bisa leluasa mendekatinya!” Sehun terkejut, jadi yeoja ini tidak segan-segan untuk jujur pada orang lain perasaannya pada Tao? Apa Yuri tau tentang hal ini?

 

“Mwo? Mendekati Tao? Yeoja sepertimu? Yang benar saja! Aku tau betul selera Tao, dan kau sama sekali tidak masuk dalam daftar.” Yoona sudah tidak tahan lagi, namja ini benar-benar partner yang sangat tidak cocok untuk Tao. Bagaimana dia bisa dekat dengan Tao dulunya? Dia sama sekali tidak tau sifat Tao, Tao bukan namja seperti dia. Minimal Tao tidak pernah membuang surat-surat berharga dari fansnya yang ada di lokernya, dia akan memasukkannya ke dalam tas. Berbeda dengan Sehun yang angkuh, walaupun surat untuknya lebih banyak daripada Tao namun nasib surat-surat itu selalu tidak jauh-jauh dari tempat sampah, bukan tas Sehun.

 

“Kau jangan sok tau, Oh Se Hun! Aku tau kebenarannya! Lebih baik sekarang kau pergi dari sini, aku tidak membutuhkan bantuan apapun darimu!”

 

“Lagipula siapa yang mau membantumu?”

 

“Yak! Namja gila! Pergi k-“

 

“Yoona-ya! Apa yang sedang kau lakukan disana?” Yoona dan Sehun sama-sama menoleh pada su,ber suara, ekspresi yang ditunjukkan keduanya saat mengetahui siapa pemilik suara itu pun berbeda. Yoona tersenyum senanga, sedangkan Sehun mengernyitkan dahinya mengingat-ingat namja itu yang dulu merupakan sunbaenya.

 

“Ah! Ban motorku kempes, oppa. Igeo ottokhaeyo?” Sehun serasa ingin muntah saat mendengar nada manja dari suara Yoona, dia lebih memilih pergi dari sana dan pulang menuju rumahnya yang nyaman dan jauh dari kebisingan suara Yoona.

 

“Eoh? Siapa namja tadi? Kau mengenalnya?” Siwon turun dari mobilnya saat Sehun sudah pergi dari sana dan menghampiri Yoona.

 

“Ani, hanya orang iseng.” Siwon membulatkan mulutnya,.

 

“Kau ikut mobilku saja, biar aku menyuruh rang untuk membawa motormu. Bagaimana? Kau setuju?” Yoona terlihat berpikir sejenak, akhirnya dia lebih memilih mengangguk mengiyakan tawaran Siwon.

 

“Ne. Gomawoyo, oppa! Kau membuatku tidak harus berjalan sampai rumah dengan menuntun motor ini.” Siwon tersenyum, dia selalu suka senyum Yoona yang membuatnya terlihat semakin manis dan cantik di waktu yang bersamaan.

 

“Gwenchanayo. Kajja! Aku sudah menghubungi orang ntuk mengambil motormu, kau taruh saja motormu disini karena orang itu tidak akan lama.”

“Eoh? Ne. Kajja, oppa!”

 

 

 

 

 

“Jangan memasukkan terlalu banyak makanan instant, pabbo!” Yuri menepuk tangan Tao saat ia hendak memasukkan ramen instant ke dalam troli mereka, dia bahkan sudah memasukkan sepuluh bungkus lebih.

 

“Wae?! Aku tidak yakin kau bisa memasak.” Tao terus saja berusaha memasukkan ramen instant itu ke dalam troli.

 

“ Enak saja! Biar bagaimanapun aku ini bisa memasak! Letakkan itu! Sekarang kita akan pergi ke tempat bahan-bahan makanan berada, kajja! Aku sudah lapar.” Yuri menyereret Tao yang tengah mengembalikan sebagian ramen itu dengan raut wajah tidak yakinnya.

 

“Yak! Pelan-pelan!”

 

“Kau suka makan apa? Aku tidak mau kau terlihat kurus saat bertemu appa eommamu jika kau tidak mau memakan masakan yang ku buat karena kau tidak suka, jadi cepat katakan apa yang kau sukai  dan ingin kau makan selama dua minggu ini.” Tao memutar-mutar sayuran yang sedang dia pegang, dia tidak punya makaan favorit yang spesifik. Dia suka apapun yang dulu eommanya buat, tapi ada satu makanan yang eommanya sering buat untuknya.

 

“Kimchi, kau bisa membuatnya?” Yuri seketika menoleh, apa dia sudah gila? Dia pikir membuta kimchi itu mudah dan tidak lama?

 

“Hei! Kau pikir itu tidak lama? Yang lain saja!” Tao mengernyit, bukankah dia baru saja bertanya tentang makanan kesukaannya?

 

“Ya! hanya itu yang ingin ku makan, pabbo!”

 

“Kimchi itu lama membuatnya, Zi Tao!”

 

“Aku tidak peduli, Kwon Yuri!”

 

“Aish!” tao melirik troli yang didorong Yuri, setelah itu dia menyeret tangan Yuri enuju tempat makanan ringan. Dia memasukkan hampir semua jenis snack yang ada disana, Yuri sukses melongo terkejut dan speechless seketika.

 

“Yak! Berhematlah! Gunakan uang yang diberikan orang tua kita dengan bijak, pabbo! Aku juga masih perlu membeli beberapa baju dan keperluan wanita lainnya!” Tao mendorong troli yang tadinya berada daam jangkauan Yuri, dia sudah tidak mau mendengar lagi ocehan Yuri yang menurutnya sangat tidak penting itu. Saat membayar di kasir pun Yuri sukses terbelalak kaget, sebesar itukah pengeluaran mereka?! Benar-benar pemborosan!

“Ya-ya! Kau menghabiskan seluruh uang yang orang tua kita berikan, pabbo!” Tao berdecak, apa dia berpikir orang tua mereka menjadi miskin seketika?
“Aku bahakan tidak menghabiskan seperempa dari uang yang mereka beri, diamlah!”

 

 

 

 

 

Yuri dan Tao sedang berkutat di dapur apartemen mereka, perut mereka sudah berdemo sejak pagi karena belum diisi apapun. Yuri berdecak sebal saat melihat Tao yang hannya melihatnya sedari tadi tanpa berniat membantunya, sampai akhirnya acara masak mereka selesai dan saatnya mereka makan. Tao menyuapkan sendok pertamanya, dia sedikit terkejut saat mengecap rasa makanan yang dibuat Yuri. Tidak Tao pungkiri bahwa makanan yang dibuat Yuri rasanya lumayan enak, hampir mirip seperti masakan mendiang ibunya.

 

“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau kemarin menungguku untuk makan?” Yuri masih tidak mengalihkan pandanganna dari makanan di piringnya, dia malas berdadu pandang dengan Tao yang selalu menang saat seperti itu.

 

“Untuk apa? Aku tidak yakin orang keras kepala sepertimu akan merubah keputusan hanya karena makanan.” Tao membdohkan dirinya dalam hati, mengapa dirinya harus berbohong? Mengapa dia tidak bilang saja bahwa dia tidak punya nomo handphone Yuri.

“Ck! Tidak bisakah kau mengalah pada perempuan sekali saja? Menyebalkan!” Tao mencoba menahan untuk tidak membentak Yuri, Yuri memang selalu memulai pertengkaran di antara mereka.
“Yang menyebalkan itu kau! Istri macam apa yang rela dicium lelaki selain suaminya? Lalu yang seperti itu apa namanya? Istri apa yang keluar tengah malam tanpa memberi tahu suaminya? Kalau kau ingin dihargai, hargai orang ain terlebih dahulu!” Tao menghela nafas dalam, entah mengapa dia tidak suka saat Chen berada dekat-dekat dengan yuri di sekolah.

 

“Memangnya untuk apa aku menghargaimu?! Kau saja selalu memandang rendah wanita. Kau pikir aku tidak tau apa yang kau lakukan pada surat-suratmu dan penggemar yeojamu?” Yuri sudah meluap-luap emosinya, gagal sudah rencananya untuk melewati satu hari tanpa bertengkar dengan Tao.

 

“Tidak usah ikut campur urusanku!”

 

“Setidaknya jangan kau buang seperti itu, kau juga tidak berhak membully mereka. Kau melecehkan mereka secara tidak langsung!” Yuri menggebrak sisi meja yang tepat berada di depan tao, Tao mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan emosi.

 

“Tutup mulutmu, Huang Yuri! Aku tidak segan-segan menutupnya dengan caraku sendiri jika kau keberatan.” Tao mencengkeram tangan Yuri yang digunakan untuk menggebrak meja, Yuri meringis kesakitan.

 

“Lakukan saja semaumu, Zi Tao! Aku tidak takut!” Tao semakin emosi saat Yuri menunjukkan menantangnya.

 

“Baiklah, jika itu yang kau inginkan!” Tao yang kalap saat itu melayangkan tangannya yang siap kapan saja mendarat di pipi mulus Yuri, tapi wajah mendiang eommanya tiba-tiba saja muncul dalam benaknya dan mengacaukan kosentrasinya. Tangan Tao yang semula hendak akan digunakan menampar Yuri pun sekarang sudah beralih menarik tengkuk Yuri, Tao menciumnya lagi untuk yang kedua kalinya. Namun ciuman Tao kali ini tidak bisa dibilang lembut, tapi kasar dan penuh amarah. Semua emosi yang ia pendam selama ini, ia keluarkan melalui ciumannya kali ini. Yuri memberontak dan memukul dada Tao dengan brutal, namun Tao semakin menekan tengkuk Yuri dan merapatkan jarak di antara mereka. Yuri akhirnya memutuskan untuk diam, tidak akan ada gunanya melawan Tao di saat dia sedang marah seperti sekarang ini. Yuri menangis, dia tidak suka cara Tao memperlakukannya, seakan-akan Tao melecehkannya.

 

“Lepaskan aku, brengsek! Aku membencimu!” Yuri mengusap bekas ciuman Tao dengan kasar menggunakan punggung tangannya, dia lebih suka Tao menamparnya dari pada menciumnya tanpa perasaan seperti tadi.

 

 

BRAKK

 

 

“Eomma, apa yang telah ku lakukan?”

 

 

 

 

 

TBC

 

 

 

 

Hello semuanya.. /bow/

Sorry for late post ne? aku sibuk banget soalnya, tugas numpuk buat UTS, terus masih banyak lagi yg ganggu aku banget buat nulis. Maaf banget buat yang udah nungguin ff ini, aku usahain next chap nggak akan setelat ini lagi. Maaf juga kalo chap ini pendek ya, lagi buntu banget otaknya L

See you, keep waiting for next chap! ^^


Baby, I’m Sorry (Chapter 8-end)

$
0
0

baby-imsorry1

Baby, I’m Sorry

 

Tittle                           : Baby, I’m Sorry (Chapter 8-end)

Author                       : Jellokey

Main Cast                  :

Kim Jong In (Kai of EXO)

Kang Jeo Rin(OC)

Support Cast            :

Kim Taehyung (V of BTS)

Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)

Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)

Lu Han (Lu Han of EXO)

Park Chan-yeol (Chan Yeol of EXO)

Park Jimin (Jimin of BTS)

And others

Length                        : Chaptered

Genre                         : Romance

Rating                         : PG-17

Disclaimer                 : Cerita ini milik saya. Dilarang plagiat dan copy paste. Don’t bash!

Poster   : G.Lin by http://cafeposterart.wordpress.com

“Jeo Rin, kau baik-baik saja?” Tanya Taehyung.

“Jeo Rin,” Taehyung melambaikan tangannya di depan wajah Jeo Rin karena gadis itu tidak menjawabnya. Tatapan Jeo Rin kosong sejak masuk ke ruang rapat.

“Eo?” Jeo Rin tersentak. Ia menatap Taehyung.

“Kau baik-baik saja?” Jeo Rin mengangguk.

“Mana yang lain?” Jeo Rin yakin dia sudah lama berada di ruang rapat bersama Taehyung. Lima belas menit mungkin.

“Aku menunda rapat hari ini.” Alis Jeo Rin menyatu.

“Kenapa?” Setelah rapat ini, mereka bisa mempersiapkan keperluan untuk pertandingan persahabatan antar sekolah. Setelah event itu, mungkin organisasi kesiswaan tidak memiliki kegiatan sampai semester baru. Waktu luang itu akan Jeo Rin gunakan untuk liburan. Dia ingin menjernihkan pikirannya. Melepas bebannya yang datang belakangan ini.

“Kau tahu aku, Jeo Rin.” Taehyung tersenyum.

“Aku tidak mau memulai rapat kalau ada anggotaku yang tidak konsentrasi.” Jeo Rin terdiam sebentar.

“Kalau begitu aku pulang.” Jeo Rin merapikan kertas-kertas materi rapat mereka ke dalam sebuah folder lalu memakai tas ranselnya.

“Jeo Rin,” Taehyung menahan tangan Jeo Rin, membuat gadis itu berhenti.

“Ada apa? Kau punya masalah?”

“Tidak. Aku hanya ingin segera liburan.” Jawab Jeo Rin tidak sepenuhnya bohong. Jeo Rin melihat tangannya yang dipegang Taehyung. Sadar Jeo Rin tidak nyaman, Taehyung melepas genggamannya.

“Apa Kai melakukan.. sesuatu yang buruk padamu?” Tanya Taehyung ragu.

“Kami putus.” Ucap Jeo Rin tanpa melihat Taehyung yang terkejut.

“Putus?!” Jeo Rin mengangguk.

“Kau benar. Dia bukan namja yang baik.” Jeo Rin menggelengkan kepalanya begitu mengingat benda keramat Kai.

“Bukankah kau mencintainya?” Tentu saja Taehyung senang mendengarnya. Tapi, apa yang membuat hubungan mereka berakhir? Apa karena ia mencium Jeo Rin? Hal yang membuat Kai menghajarnya habis-habisan. Kalau tidak ada Jimin, dia pasti berakhir di rumah sakit.

“Kalau itu menurutmu, iya.” Jawaban yang tidak Taehyung mengerti.

“Jeo Rin,”

“Aku tidak mau membahas ini, Hyungie. Aku duluan.”

“Kita pulang bersama. Aku akan mengantarmu pulang.” Taehyung mengambil tasnya lalu mengejar Jeo Rin.

“Jeo Rin,” panggil Taehyung begitu berada di samping Jeo Rin.

“Apa kita bisa seperti dulu?” Jeo Rin menatap Taehyung.

“Maksudku lebih dari itu,” Taehyung menelan liurnya susah untuk mengucapkan kata-kata selanjutnya.

“Kau jadi—“

“Aku tidak bisa, Taehyung. Aku tidak mau berhubungan untuk saat ini.” Potong Jeo Rin. Dia belum siap. Dan dia tidak memiliki perasaan khusus pada Taehyung sekarang.

“Aku mengerti. Maaf, karena aku hubungan kalian berakhir.” Jeo Rin menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan ucapan Taehyung.

“Kau tidak ada hubunganya dengan putusnya aku dan Kai.” ‘Ini salahku. Kalau saja aku tidak mengiyakan permintaan Taehyung- tidak. Sekalipun itu tidak terjadi, aku pasti tetap putus dengan Kai karena kemesumannya.’ Batin Jeo Rin.

 

———————–

 

“Terima kasih atas tumpangannya, Hyungie. Hati-hati di jalan.”

“Kau tidak mengajakku ke dalam?” Pertanyaan Taehyung membuat gerakan tangan Jeo Rin yang hendak membuka pintu terhenti.

“Sekalipun aku tidak pernah ke rumahmu.” Taehyung mengerucutkan bibirnya.

“Baiklah. Ayo.” Taehyung keluar dari mobil dengan senyum merekah di wajahnya. Pemandangan Jeo Rin yang keluar dari mobil Taehyung dan mereka bersama-sama masuk ke rumah Jeo Rin tidak luput dari mata Kai. Ia tidak jadi menyalakan mesin mobilnya begitu melihat mobil asing berhenti di depan rumah Jeo Rin. Kai mencengkeram erat stir mobilnya. Matanya berkilat penuh amarah.

“Kau mengakhiri hubungan kita karena ingin bersama orang sok keren itu?” Kai berdecak.

“Kau keterlaluan, Jeo Rin. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu bahagia dengan namja brengsek itu.” Kai keluar dari mobilnya. Ia berjalan menuju rumah Jeo Rin. Ia menekan bel rumah Jeo Rin dua kali. ‘Kenapa lama sekali?’ Batin Kai kesal.

“Kai!”

“Ahjumma,” Wajah Kai langsung berubah begitu melihat siapa yang membuka pintu. Ia tersenyum lalu memeluk Nyonya Kang, orang yang selalu membelanya kalau ia bertengkar dengan Jeo Rin.

“Kau tampan sekali.” ‘Tapi anak Ahjumma menyia-nyiakan namja paling tampan di dunia ini.’ Batin Kai. Nyonya mengajak Kai ke ruang tamu.

“Jeo Rin mengajak temannya ke rumah.” Bisa Kai lihat Taehyung yang sedang meminum tehnya begitu ia berada di ruang tamu. ‘Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan aku, Taehyung.’ Kai menyeringai. Ia duduk di hadapan Taehyung, membuat namja itu melihat Kai.

“Taehyung, ini Kai. Kau pasti kenal dia, kalian satu sekolah. Dia teman masa kecil Jeo Rin dan sekarang kekasihnya.” Kai tersenyum miring mendengar penuturan Nyonya Kang. ‘Kau dengar, Taehyung? Ahjumma sangat menyukaiku.’ Batin Kai. Kai tidak akan kalah dari Taehyung dalam hal ini. Sekalipun Jeo Rin tidak mau bersamanya, kalau kedua orang tua Jeo Rin menyukainya, ia pasti mendapatkan Jeo Rin.

“Eomma, aku—“ Jeo Rin tidak melanjutkan ucapannya begitu melihat Kai.

“Aku mau pergi dengan Taehyung.” Taehyung bangkit dari duduknya. Jeo Rin mengajaknya nonton tadi. Tapi dia tidak bisa berharap lebih. Ini bukan kencan.

“Kai ada di sini, nak. Kau harus menemaninya.” Benar kan? Nyonya Kang sama sekali tidak mempedulikan keberadaan Taehyung.

“Urusanku lebih penting daripada menemaninya di sini.” ‘Dan aku tidak mau bersamanya.’ Batin Jeo Rin.

“Nak Taehyung, apa kegiatan kalian tidak bisa ditunda? Ini pertama kali ahjumma melihat Kai dan Jeo Rin bersama setelah dua belas tahun.” Nyonya Kang menganggap urusan Jeo Rin adalah organisasinya.

“Aku pergi, Eomma. Ayo, Taehyung.” Jeo Rin tidak mau berargumen dengan eommanya. Kalau ia lama-lama di sana, ia pasti berakhir dengan menemani Kai seperti ucapan eommanya. Kai mengepalkan tangannya. Jeo Rin lebih memilih bersama Taehyung daripada dia.

“Saya permisi, Ahjumma.” Pamit Taehyung.

“Anak itu, tidak berubah sedikit pun.” Kai tersenyum tipis menanggapi Nyonya Kang. ‘Aku sudah biasa menghadapi itu, Ahjumma.’ Ucap Kai dalam hati.

“Katakan pada Ahjumma, Kai. Bagaimana hubungan kalian?” Ucap Nyonya Kang antusias.

“Kami baik.” Jawab Kai. Dan Nyonya Kang percaya. Hal yang melegakan buat Kai karena kedua orang tua mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

“Ahjumma, soal perjodohan—“

“Tenang, Kai. Kami sudah membicarakan itu. Tidak perlu khawatir. Jeo Rin tidak akan kemana-mana.” ‘Kai tidak berubah.’ Batin Nyonya Kang.

“Aku ingin kami bertunangan.” Nyonya Kang tidak menyangka Kai akan mengucapkan itu.

“Aku ingin bertunangan dengan Jeo Rin secepatnya. Ahjumma tidak tahu bagaimana Jeo Rin di sekolah. Banyak namja yang mengaguminya. Aku.. Aku tidak suka. Mereka tetap mendekati Jeo Rin walaupun mereka tahu Jeo Rin kekasihku.” Kai bohong di kalimat terakhir. Tidak ada yang berani mendekati sesuatu yang Kai klaim sebagai miliknya. Oh, kecuali Taehyung. ‘Dia benar-benar tidak berubah.’ Pikir Nyonya Kang sambil tersenyum.

“Ahjumma belum memberitahu Jeo Rin tentang perjodohan kalian.” Nyonya Kang tahu putrinya, dia pasti menolak. Jeo Rin tidak mau menikah muda.

“Aku sudah memberitahu Jeo Rin, ahjumma. Aku juga sudah meminta Jeo Rin untuk bertunangan denganku. Dia setuju.” Itu sebelum mereka bertengkar dan putus.

“Baiklah. Ahjumma akan bicara pada Jeo Rin nanti.” Kai bernapas lega. Dia tetap bersama dengan Jeo Rin.

 

———————-

 

Jeo Rin mengerang pelan saat melihat Kai duduk di sebelahnya. Bel masuk akan berbunyi sepuluh menit lagi.

“Pindah.” Ucap Jeo Rin dingin. Kai tidak bergerak, dia menatap Jeo Rin. Apa Nyonya Kang sudah membicarakan rencana pertunangan mereka pada Jeo Rin?

“Aku tidak mau bertunangan denganmu.” Suara Jeo Rin pelan. Tidak mau ada yang mendengar mereka.

“Perjodohan itu tidak akan pernah terjadi.” Kata Jeo Rin penuh penekanan.

“Benarkah? Aku rasa tidak.” Kai takut mendengar ucapan Jeo Rin tadi. Lalu, bagaimana Kai bisa merespon Jeo Rin seperti itu? Bahkan ia menyeringai saat mengatakannya. Ia memutuskan untuk tidak lemah di depan Jeo Rin. Mungkin, saat masih kecil Jeo Rin selalu menang darinya tapi sekarang tidak. Mulai saat ini, Kai yang akan menang. Kai yang akan mengendalikan Jeo Rin. Walaupun ia harus memakai cara kotor, memanfaatkan kedua orang tua mereka. Kai berdiri. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kelas.

“Aku minta perhatian kalian sebentar, teman-teman.” Ucap Kai walaupun ia sudah jadi pusat perhatian sejak memasuki kelas. Ketiga teman Kai tidak begitu memperhatikannya.

“Sebentar lagi aku dan Jeo Rin akan bertunangan.” Jeo Rin menatap Kai tidak percaya. Pria ini gila. Kelas sudah ribut karena ucapan Kai sedangkan yang mengucapkan tersenyum.

“Aku hanya ingin memberitahu kalian. Aku berharap orang tua kami akan mengadakan pesta pertunangan kami jadi aku bisa mengundang kalian. Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian. Doakan per—“ Ucapan Kai terhenti karena deritan kursi yang digeser. Jeo Rin melangkah cepat keluar kelas. ‘Apa yang dipikirkan Kai? Dia tidak punya pikiran, Jeo Rin. Pikirannya hanya dipenuhi dengan hal yadong.’ Jeo Rin mengumpat kesal dalam hati.

“Aku bisa gila.” Gerutu Jeo Rin tidak tahu ke mana kakinya membawanya. Ia bahkan tidak peduli suara bel yang berbunyi. Dia tidak mau berada di kelas sekarang. Tidak sampai berita pertunangan yang disampaikan Kai hilang.

“Jeo Rin,” Kai berhasil memegang tangan Jeo Rin, membuat langkai gadis itu terhenti. Kai mengikutinya keluar kelas. Ia berusaha agar keberadaannya tidak disadari Jeo Rin, karena ia yakin, Jeo Rin pasti berlari kalau tahu ia mengikutinya. Jeo Rin menghempaskam tangan Kai.

“Jeo Rin,” Kai menangkap tangan Jeo Rin. Jeo Rin menghela napas sebelum berbalik.

“Apa, Kim Jongin? Kau mau bilang kalau kita akan bertunangan? Itu terjadi hanya di dalam mimpimu, Kai.”

“Mimpiku selalu jadi nyata.” Balas Kai tenang, membuat Jeo Rin semakin emosi.

“Oh, benarkah? Aku rasa tidak.” Jeo Rin meniru Kai.

“Apapun yang terjadi, aku tidak mau ditunangkan dengan namja mesum sepertimu!”

“Kenapa?!” Bentak Kai. Ia mendorong Jeo Rin ke dinding membuat gadis itu meringis. Kai menempatkan tangannya di sisi kepala Jeo Rin. Siapa yang bisa menahan emosinya mendengar orang berucap tajam seperti Jeo Rin?

“Apa aku salah memiliki benda-benda itu?! Apa aku menjadi buruk karena memiliki itu?! Aku pria, Jeo Rin! Dan asal kau tahu, pria punya kebutuhan yang tidak bisa diabaikan. Bahkan Taehyung tercintamu juga membutuhkan itu! Shit!!” Kai meninju dinding sebelah kiri kepala Jeo Rin.

“Kenapa kau tidak bertanya pada Taehyung atau memeriksa kamarnya seperti yang kau lakukan padaku?! Periksa handphone dan laptopnya juga, dia pasti memiliki video keramat sepertiku!” Jeo Rin menggelengkan kepalanya. Kai terang-terangan memberitahu rahasianya.

“Ck.. Ck.. Ck. Tidak semua pria sepertimu, Kai. Tidak semua pria punya pikiran mesum sepertimu dan Taehyung salah satunya.” Tangan Kai tidak berada di samping kepala Jeo Rin lagi. Dia kehilangan tenaga, jiwanya, saat Jeo Rin memuji Taehyung lagi.

“Kenapa? Kenapa kau selalu membela Taehyung? Apa dia lebih baik dariku?” Kai tertawa kecil karena pertanyaan terakhirnya. Itu sudah pasti. Taehyung lebih baik darinya. Taehyung si murid teladan, ketua kesiswaan di sekolahnya.

“Bukankah kau mencintaiku?” Kai ingat jelas Jeo Rin pernah mengatakannya. Ia menatap Jeo Rin sendu.

“Kalau kau mencintaiku, kau pasti bisa menerimaku apa adanya.”

Deg!

Ucapan Kai seperti ribuan jarum yang menusuk hatinya. Kai benar. Jeo Rin menatap Kai. Saat itu, Jeo Rin menyesal dengan semua yang telah ia lakukan pada Kai. Menyesal karena sudah membuat mata indah Kai menatapnya penuh luka.

“Kau pasti bisa menerima hobiku yang buruk itu.”

“Jongin,” Jantung Jeo Rin berdetak kencang begitu melihat cairan bening mengalir di pipi Kai. Semakin kencang sampai-sampai ia sulit bernapas. Dia membuat Kai menangis lagi. Kai tersenyum miris. Ia menghapus air matanya.

“Aku lupa kalau kau tidak suka melihatku menangis.” Fakta itu berbanding terbalik dengan apa yang Jeo Rin saat mereka masih kecil. Dia selalu membuat Kai menangis, tapi Jeo Rin tidak pernah bermaksud melakukannya. Dia tidak pernah bermaksud melukai Kai dengan kata-kata ketusnya. Kata-kata tajam itu keluar dari mulutnya karena Kai selalu berhasil merebut perhatian eommanya. Eommanya selalu membela Kai. Wajar Jeo Rin merasa iri karena mereka masih kecil. Karena merasa bersalah, ia mengatakan sesuatu yang membuat Kai berubah sebelum keluarganya pindah.

FLASHBACK

“Jeolin, jangan pergi.” Kata Kai kecil dengan terisak. Ia sudah menangis selama dua jam.

“Eomma,” Jeo Rin melihat eommanya bingung. Walaupun ia selalu bertengkar dengan Kai, ia pasti merindukannya nanti. Hanya Kai teman bermainnya.

“Kita harus pindah, nak. Kalau pekerjaan appa sudah selesai, kita pasti pulang. Jongin-ah, kami pergi hanya sebentar. Jeo Rin pasti kembali pada Jongin.” Nyonya Kang mengacak rambut Kai pelan.

“Jeo Rin, kita harus pergi.” Ucap Tuan Kang yang sudah berada di dalam mobil.

“Uum.. sampai jumpa, Jongin.” Kai kecil memegang tangan Jeo Rin.

“Jeolin,” Tatapannya memohon pada Jeo Rin. Jeo Rin mencubit pipi Kai gemas.

“Jeo Rin akan segera pulang kalau Jongin tidak cengeng lagi. Aku tidak suka melihat Jongin menangis.” Ucap Jeo Rin jujur. Kai langsung menghapus air matanya.

“Jongin sudah tidak menangis lagi. Jeolin tidak jadi pergi kan?” Kai menggenggam kedua tangan Jeo Rin erat.

“Jeo Rin harus ikut appa dan eomma.” Jeo Rin melihat eommanya yang masih menunggunya.

Chu~

Dengan cepat Jeo Rin mencium pipi Kai.

“Jangan jadi namja yang cengeng.” Jeo Rin berlari menuju Nyonya Kang lalu mereka masuk ke dalam mobil. Orang tua Kai melambaikan tangan pada mereka tidak menyadari anaknya yang mematung karena ciuman Jeo Rin.

“Jongin, ayo masuk.” Suara Nyonya Kim menyadarkan Kai.

“Jeolin.. Eomma, di mana Jeolin?” Kai histeris melihat Jeo Rin sudah tidak ada di depannya lagi.

“Jeo Rin sudah pindah, nak.” Nyonya Kim berjongkok.

“Jongin mau ikut Jeolin!” Kai berlari.

“Jongin-ah!” Kecepatan Kai tidak membuat Tuan Kim kesulitan menangkap anaknya.

“Jongin mau ikut Jeolin!” Kai kecil meronta di pelukan Appanya.

“Jongin mau meninggalkan Appa dan Eomma?” Kai tidak bisa menjawab eommanya.

“Jeolin,” Kai menangis keras.

“Jeo Rin bilang Jongin tidak boleh menangis.” Nyonya Kim menghapus air mata anaknya.

“Eomma,” Kai terisak pelan.

“Kalau Jongin menangis seperti ini Jeo Rin tidak akan pulang.” Sejak saat itu Kai tidak pernah mengeluarkan air matanya. Walaupun ia terjatuh, Kai berusaha tidak menangis karena ia laki-laki.

FLASHBACK END

“Kau benar. Aku mesum. Terkadang, aku kesulitan mengontrol diriku setiap berada di dekatmu. Tapi yang kulakukan tempo hari bukan seperti yang kau pikirkan. Aku tidak memperkosamu, Jeo Rin. Aku tidak mungkin melakukannya. Aku pasti melakukannya penuh cinta denganmu.”

“Saat itu aku sangat marah padamu karena kau mencium Taehyung, kau membiarkan Taehyung menyentuhmu. Bahkan aku tidak pernah melakukan hal lain kecuali memeluk dan menciummu. Aku juga tidak bisa memeluk dan menciummu sebanyak yang kumau.” Kai menghela nafas.

“Tapi Taehyung berbeda. Dia yang bukan kekasihmu langsung mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa memohon padamu. Sedangkan aku?” Kai mendesah berat.

“Apa kau mencintaiku, Jeo Rin?” Jeo Rin hendak menjawab tapi suaranya tertahan di tenggorokan.

“Apa kau menyukaiku?” Seharusnya Kai menanyakan itu pada dirinya sejak lama. Dia terlalu percaya diri kalau Jeo Rin menyukainya. Jika diingat kembali, Kai memaksa Jeo Rin untuk jadi kekasihnya.

“Aku—“

“Aku tahu apa jawabanmu. Tapi kau harus tahu, Jeo Rin. Aku akan berusaha keras agar perjodohan itu tetap terjadi, bagaimana pun caranya. Terserah kau mau berpikir apa tentangku.” Kai menatap Jeo Rin sebentar sebelum ia berbalik menuju kelas mereka. Jeo Rin tenggelam dalam pikirannya. Apa dia menyakiti Kai? Tentu saja, Jeo Rin. Kau sudah melukai namja yang sangat mencintaimu sejak kalian masih kecil. Kalau Jeo Rin tidak mencium Taehyung, Kai tidak akan melakukan itu padanya. Jeo Rin melihat punggung Kai yang sudah menjauh darinya.

“Jongin,” Bisik Jeo Rin. Dia merasa bersalah.

“Saranghae.” Suara Jeo Rin cukup kuat untuk didengar Kai tapi pria itu tidak menghentikan langkahnya.

“Saranghae, Kim Jongin.” Jeo Rin berlari menuju Kai dan memeluk pria itu.

“Maafkan aku.” Kai tidak bergerak. Apa benar Jeo Rin memeluk dan mengatakan cinta padanya?

“Saranghaeyo. Maafkan aku. Aku salah.” Jeo Rin memeluk Kai erat.

“Jeolin,” Air mata Jeo Rin mengalir karena panggilan itu. Kai membalikkan badannya, membuat pelukan Jeo Rin terlepas.

“Kau..kau menangis?” Ucap Kai shock. Pertama kali dalam hidupnya ia melihat Jeo Rin menangis.

“Shush, Uljima.” Kai menghapus air mat Jeo Rin dengan ibu jarinya.

“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak menci—“ Mata Jeo Rin membulat begitu merasakan benda lembut di bibirnya.

“Maaf karena aku menciummu dengan kasar. Maaf karena aku menyentuhmu dengan cara yang tidak benar.” Ucap Kai tepat di depan wajah Jeo Rin, membuat gadis itu bisa merasakan nafas Kai yang hangat. Jeo Rin menggeleng.

“Kau tidak akan melakukan itu kalau aku—“ Jeo Rin tidak melanjutkan ucapannya.

“Maafkan aku.” Kai tersenyum dan mengangguk. Mata Kai yang menatap mata Jeo Rin kini fokus melihat bibir Jeo Rin yang tersenyum.

“Jeolin,” Jeo Rin hanya bergumam karena wajah mereka yang sangat dekat. Hidung mereka bersentuhan.

“Maafkan aku karena melakukan ini.” Kata Kai sebelum mencium bibir Jeo Rin. Ia melumat bibir atas Jeo Rin lembut. Kai melepas ciumannya karena Jeo Rin tidak merespon. Maksud Kai bukan membalas ciumannya tapi mendorong Kai. Biasanya Jeo Rin melakukan itu.

“Kau marah?” Kai menatap Jeo Rin khawatir.

“Jeolin?” Panggil Kai karena gadis itu sibuk dengan dunianya sendiri.

“Jeo—“

Chu~

Kai terkejut karena Jeo Rin menciumnya lebih dulu dan itu di bibir. Kai bersorak dalam hati. Ini kemajuan besar. Kai memejamkan matanya. Ia membalas ciuman Jeo Rin dengan melumat bibir bawah gadisnya. Ia menempatkan tangan kanannya di tengkuk Jeo Rin dan tangan kirinya di pinggang Jeo Rin. Mereka larut dalam ciuman manis mereka, merasa dunia hanya milik mereka. Tidak menyadari ada orang yang hancur berkeping-keping karena melihat itu. Taehyung tidak menyangka akan melihat Jeo Rin dan Kai berciuman di koridor. So, this is the end. Taehyung tersenyum miris. Ia berbalik. Menjauh dari pasangan itu kembali menuju ruangannya. Tautan bibir mereka terlepas. Nafas Jeo Rin terengah, ia tidak tahu berapa lama mereka berciuman. Kai terkekeh. Ia mengelus pipi Jeo Rin yang merona.

“Apa ini tanda kalau aku bebas menciummu mulai sekarang?”

“Menurutmu?” Jeo Rin menempatkan tangannya di dada Kai. Ia tersenyum tipis merasakan detakan jantung Kai.

“Ayo ke kelas.”

“Baby, bagaimana kalau kita bolos dua jam?” Jeo Rin tidak menanggapi Kai. Ia terus berjalan menuju kelas mereka. Kai pasti mengikutinya. Pria itu tersenyum sebelum mengejar Jeo Rin. Ia punya ide briliant yang baru melintas di kepalanya.

 

———————-

 

“Ugh, mataku sakit melihat orang yang berlovey-dovey.” Keluh Baekhyun pada Lu Han. Dia senang melihat Kai baikan dengan Jeo Rin, tapi dia sedikit terganggu dengan Kai yang sama seperti Sehun. Dua orang ini tidak segan-segan bermesraan di depannya dan Lu Han. Bahkan di depan umum.

“Kai lebih parah dari Sehun, Baek.” Baekhyun mengangguk setuju.

“Sehun masih memiliki rasa malu.” Baekhyun menatap jenuh Kai yang menghampiri mereka dengan senyum lebarnya.

“Tadi itu apa?” Ucap Baekhyun kesal. Maksud itu adalah scene di mana Kai mencium kening dan mengelus rambut Jeo Rin sebelum gadis itu pergi.

“Hal yang biasa dilakukan sepasang kekasih.” Baekhyun berdecak. Mereka berjalan menjauh dari kelas mereka.

“Lu Han, ayo nonton.”

“Aku tidak mau nonton film menjijikkan itu.” Sahut Baekhyun.

“Aku tidak mengajakmu, Baek.”

“Kau punya koleksi baru?” Kai mengangguk.

“Ayo. Kita harus cepat.” Lu Han menarik tangan Kai. Tidak sabar melihat ilmu baru.

“Tidak di rumahku. Tapi di rumahmu. Aku tidak bisa menonton film seperti itu di rumahku.” Lu Han dan Baekhyun melihat Kai bingung.

“Kenapa?” Mereka, Lu Han dan Kai lebih sering menonton itu di rumah Kai.

“Alasan Jeo Rin memutuskanku karena benda itu. Dia melihat benda keramatku di meja belajarku.” Baekhyun tertawa.

“Kau serius? Jeo Rin memang hehat.” Kai mengabaikan Baekhyun.

“Ini terakhir kali aku menonton itu. Aku bahkan sudah menghapusnya di laptop dan handphoneku. Aku tidak mau Jeo Rin memutuskanku.” Jelas Kai.

“Aku tidak bisa, Kai. Orang tuaku ada di rumah.”

“Lu Han ini yang terakhir. Kita tidak menonton dengan suara yang keras.” Mohon Kai.

“Baiklah.”

“Aku tidak ikut dengan kalian.” Ujar Baekhyun.

“Kami tidak mengajakmu, Bacon.” Balas Kai malas.

 

———————-

 

“Aku tidak mau melakukan ini. Tapi aku harus. Ini demi Jeo Rin.” Ucap Kai sambil melihat benda-benda keramatnya sedih. Tangan Kai bergetar. Ia tidak punya tenaga membuang koleksi CD dan majalahnya ke dan tong dengan kobaran api.

“Ugh.. Aku tidak sanggup.” Kai frustasi. Benda itu sudah menjadi temannya selama lima tahun.

“Demi Jeo Rin, bodoh.” Kai menyemangati dirinya. Ia membuang koleksi-koleksi keramatnya dengan mata tertutup. Ia merasa sedih dan lega di saat yang bersamaan melihat koleksinya habis di makan api.

“Jongin,” Kai menoleh ke belakang. Ia melihat Jeo Rin yang berjalan mendekatinya.

“Apa yang kau lakukan?”

“Membakar benda keramatku.” Jawab Kai sambil melihat api yang perlahan lenyap. Jeo Rin bisa melihat kesedihan di mata Kai. Dia seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Jeo Rin menautkan jari-jarinya dengan milik Kai, membuat pria itu menatapnya.

“Kenapa kau melakukan itu?”

“Aku tidak mau kau marah karena melihat itu di kamarku.” Jawab Kai polos membuat Jeo Rin tidak bisa menahan dirinya untuk memeluk Kai. Laki-laki itu sangat mencintainya. Kai melingkarkan tangannya di pinggang Jeo Rin. Ia mencium puncak kepala Jeo Rin.

“Tapi, yeobo, walaupun aku tidak memiliki itu bukan berarti pikiranku polos seperti dulu.” Jeo Rin memukul lengan Kai pelan. Ia melihat pria itu.

“Kontrol dirimu.” Kai menyeringai.

“Aku ingin kau mengontrolku.” Jeo Rin menggelengkan kepalanya.

“Mau makan teokbokki?”

“Kau mengajakku kencan?” Kai hampir berteriak karena pikiran kencannya.

“Terserah, Jongin. Kau mau?” Kai mengangguk.

“Kajja.”

 

———————

 

Kai dan Jeo Rin berdiri di depan pintu rumah Jeo Rin dengan tangan yang saling menggenggam. Sudah sepuluh menit mereka seperti itu tanpa mengeluarkan suara, saling menatap.

“Kau tidak pulang?” Jeo Rin bersuara. Ia ingin istirahat.

“Aku mau bersamamu.” Kai mengecup bibir Jeo Rin kilat. Ia terkekeh melihat ekspresi terkejut Jeo Rin. ‘Jadi, aku bebas melakukan apa pun yang aku suka? Bagus, bagus.’ Batin Kai.

“Baby, besok aku akan bertanding basket melawan tim basket Hanyang High School. Kau harus menontonku.”

“Kau anggota tim basket?” Jeo Rin pura-pura tidak tahu.

“Baby,” Rengek Kai sambil menggoyangkan lengan Jeo Rin.

“Aku tahu. Tapi aku tidak janji bisa menontonmu.”

“Kenapa?”

“Sekolah kita bukan hanya mengadakan pertandingan basket, Kai. Aku harus memastikan pertandingan lainnya berjalan lancar.” Terang Jeo Rin.

“Kau melakukan itu sendiri? Aku akan membantumu, yeobo.”

“Tidak, Kai. Anggota kesiswaan yang lain akan membantuku.” ‘Sepertinya aku akan mencalonkan diri menjadi ketua kesiswaan menggantikan Taehyung.’ Batin Kai.

“Pulang, Jongin.”

“Kau akan melihatku bermain basket kan?” Tanya Kai penuh harap.

“Akan kuusahakan.” Kai membuang nafasnya kasar. Sedikit kecewa dengan jawaban Jeo Rin.

“Aku pulang.” Ucap Kai sebelum mencium kening Jeo Rin.

“Masuk.” Suruh Kai pada Jeo Rin.

“Bagaimana aku bisa masuk kalau kau terus menggenggam tanganku?” Dengan tidak rela Kai melepas genggamannya.

“Aku pulang, baby.” Ucap Kai lagi. Jeo Rin tersenyum. Ada apa dengan pria itu? Rumahnya hanya beberapa meter dari rumah Jeo Rin.

“Kai, kau tidak akan sampai rumah kalau jalan seperti itu.” Langkah Kai sangat kecil, ia melangkah mundur agar tetap melihat Jeo Rin. Gemas, Jeo Rin berjalan mendekati Kai.

“Jangan sampai kau terlambat besok.” Jeo Rin mencium pipi Kai lalu berlari masuk ke dalam rumahnya. Kai menyentuh bekas ciuman Jeo Rin. Ia tersenyum.

“Kenapa kita tidak tinggal bersama saja?” Kata Kai sambil berjalan menuju rumahnya. ‘Aku akan minta Appa membelikan rumah atau apartemen untuk kami.’ Pikir Kai.

 

———————

 

Tepuk tangan dan sorak sorai memenuhi lapangan basket indoor begitu Kai berhasil memasukkan basket ke dalam ring. Angka yang ia cetak membuat sekolahnya menang. Sekarang, Kai sibuk tebar pesona kepada penonton tapi terhenti begitu ia mendapati sosok gadisnya meninggalkan bangku penonton. Kai berpamitan pada timnya lalu mengejar Jeo Rin.

“Kang Jeo Rin,” Panggil Kai begitu keluar lapangan. Ia tersenyum begitu Jeo Rin berbalik. Ia menghampiri Jeo Rin.

“Kau melihatku?” Jeo Rin mengangguk.

“Selamat. Kalian menang.” Pelukan tiba-tiba Kai membuat Jeo Rin terkejut. Ia balas memeluk Kai. Mengabaikan Kai yang berkeringat.

“Aku keren kan?”

“Kau sangat keren.” Jeo Rin tidak bohong. Permainan Kai sangat menakjubkan.

“Kau tidak memberiku hadiah?” Jeo Rin tampak berpikir.

“Aku akan memberikannya.. besok?” Jeo Rin tidak yakin. Hadiah seperti apa yang Kai inginkan? Baju, celana, parfum, jam tangan? Jeo Rin tidak tahu.

“Kau bisa memberikannya sekarang, baby.” Kai menoleh ke kanan dan kiri. Hanya ada mereka di koridor.

“Kiss me.”

“Shirreo!”

“Yeobo, tidak ada orang di sini. Mereka sibuk. Ayolah.” Kai beragyeo.

“Jongin, aegyomu tidak berpengaruh.” Jeo Rin menahan dirinya untuk mengabulkan permintaan Kai.

“Baby, ppali.” Jeo Rin melihat Kai lama sebelum mencium pipinya.

“Bibir.” Kai mengerucutkan bibirnya.

“Kai,” Karena tidak sabar, Kai mendekatkan wajahnya pada Jeo Rin.

“Baiklah.” Jeo Rin menangkupkan tangannya di wajah Kai. Kai terlihat aneh dengan bibir kerucutnya.

“Jeo Rin,” Seseorang memanggil Jeo Rin saat bibirnya hampir menempel di bibir Kai. Kai mengerang. Ia akan menghajar orang yang mengganggu momennya dengan Jeo Rin. Ia sangat ingin menghajar orang itu karena orang itu adalah Taehyung.

“Selalu dia.” Ucap Kai pelan.

“Maaf mengganggu kalian.” Ucap Taehyung kaku begitu berada di hadapan pasangan itu. Kai merangkul Jeo Rin. Pria ini benar-benar posesif.

“Pembina memanggilmu.” Jeo Rin mengangguk.

“Sampai jumpa nanti.” Ia berjalan cepat menuju Taehyung yang sudah berjalan jauh di depannya. Kai melihat Jeo Rin dan Taehyung sambil berpikir. Tak lama, bibirnya melengkung membentuk senyuman. Mungkin apa yang ia lakukan akan membuat Jeo Rin semakin mencintainya. Kai berlari menuju Taehyung dan Jeo Rin. Ia merangkul kedua orang itu, membuat mereka terkejut. Kai tersenyum pada Jeo Rin.

“Setelah menemui Mr. Jo kau langsung pulang kan?” Jeo Rin mengangguk.

“Aku akan menunggumu.” Kai beralih pada Taehyung.

“Hei, kau mau berteman denganku?” Taehyung tidak menanggapi Kai. Tidak mau berurusan dengan orang yang memenangkan hati Jeo Rin. Ia merasa rendah.

“Hyungie, kau akan menjadi keren karena berteman denganku.” Jeo Rin berusaha menahan tawanya. Apa yang laki-laki ini rencanakan?

“Jangan memanggilku seperti itu.” Taehyun menggeram. Hanya Jeo Rin yang boleh memanggilnya Hyungie.

“Tapi Jeo Rin memanggilmu Hyungie. Berarti aku juga. Kau mau berteman denganku?”

“Tidak.” Balas Taehyung dingin.

“Aku ingin berteman denganmu.” Paksa Kai.

“Terserah.” Mereka berhenti di depan pintu ruang pembina kesiswaan. Taehyung masuk lebih dulu.

“Aku tidak tahu apa tujuanmu melakukan ini.” Jeo Rin mengecup bibir Kai.

“Jangan menyerah.” Ucap Jeo Rin sebelum masuk. Kai menyandarkan punggungnya di dinding. Ia tersenyum. ‘Aku ingin jadi yang terbaik untukmu.’

 

END

Fiuhh.. end juga. Hutangku lunas satu. Komen, chingudeul ^^


Ravens The Chinese Danger: Xiumin’s Side Story

$
0
0

Ravens-Xiumin

Ravens The Chinese Danger: Xiumin’s Side Story

by

Choi Seung Jin

Genre: Action, Crime, Multicultural

Leght: Chaptered (Still on going)

Main Cast:

Kim Minseok/ Xiumin || Kim Jongdae/ Chen

Other Cast:

Kim Joonmyun/ Suho

Author’s Note:

Storyline belongs to me. Please repect! Don’t be silent readers!

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3

****

Kelima polisi itu tiba di bandara Incheon pada siang hari setelah kemarin Suho memutuskan untuk kembali ke Seoul dan mengakhiri pencarian The Ravens di Tokyo. Perjalanan dari Tokyo ke Seoul mungkin akan melelahkan, tapi tidak bagi Xiumin. Dari awal perjalanannya dari Seoul sampai ke Seoul lagi, dia sudah sudah punya rencana sendiri.

“Minseok-hyung! Kau mau mampir ke kantor dulu bareng kami atau mau langsung pulang?” Tanya Suho ke bawahnnya yang lebih tua darinya itu.

Xiumin memberikan senyum tipis dan berkata, “Aku pulang sendiri. Kalian pergi saja duluan. Mobilku ku parkir inap disini.”

“Baiklah. Kita bertemu lagi besok di kantor, hyung!”

Bersama 3 rekannya yang lain, Suho beranjak meninggalkan Xiumin sendiri dengan senyum yang seakan dia sedang pada mood yang bagus dan tidak apa-apa saat ini. Fake smile selalu Xiumin gunakan sejak dokter menyatakan kalau dia sudah benar-benar terbebas dari trauma berat yang dialaminya, untuk menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

tumblr_mh4gsquoyZ1qaauizo2_r1_500

Dia melangkahkan kaki, membawa tas miliknya menuju tempat parkir inap untuk mengambil mobilnya. Ini awal baginya untuk mengendarai mobil lagi setelah dia mendapatkan kembali SIM karena dokter sudah mengizinkannya untuk menyetir mobil karena tingkat depresinya sudah benar-benar stabil.

Xiumin sudah melewati banyak tes psikis sebelum akhirnya benar-benar diizinkan untuk bertugas lagi. Tahap-tahapannya juga tidak sedikit. Apalagi selama setahun penuh, izin tugas, kewenangan menggunakan senjata, SIM dan lencana polisi terpaksa harus ditahan untuk sementara waktu sampai Xiumin benar-benar dinyatakan sembuh oleh dokter.

Setelah membayar tagihan parkir inapnya, Xiumin langsung saja tancap gas pergi dari tempat itu. Mobilnya melaju dikecepatan yang wajar. Emosinya cukup stabil untuk bisa mengendarai dengan aman. Tak ada yang perlu dikhawatirkan darinya sekarang.

Mobil Mazda 2 hitam itu tiba dikawasan kompleks pemakaman umum di kota Seoul. Tak ada yang menyangka kalau Xiumin akan mampir ke tempat ini mengingat Xiumin yang selalu berkata pada rekan-rekannya, dia sudah tidak apa-apa. Namun kenyataannya dia masih terbayang-bayang kejadian itu.

Kakinya melangkah keluar, melewati berberapa makam untuk sampai di makam yang menjadi tempat tujuannya. Makam itu terletak dibawah pohon besar, batu nisannya berwarna hitam dengan ukiran huruf berwarna keemasan.

Kim Jongdae

Septermber 21st 1988- January 15th 2012

Detektif Kopral Divisi 1

Superintenden Kepolisian kota Seoul

Xiumin berdiri diam memandangi batu nisan itu. Jujur, ini pertama kalinya dia mengunjungi makan ini sejak orang bernama Kim Jondae dimakamkan setahun lalu. Dia belum pernah ziarah ke makam ini selama menjalani terapi psikis sampai sekarang.

Detektif Chen… Tewas.

Kata-kata itu masih saja terus membayanginya. Kalimat yang menjadi jawabannya saat dia bertanya “Bagaimana Chen?” yang spontan ia ucapkan setelah ia sadar di rumah sakit. Dia bahkan masih ingat siapa yang mengatakan kabar buruk itu; Inspektur Suho. Tepat setelah itu, trauma, shock, depresi berat menyerang Xiumin.

Dia ingat, saat itu airbag yang seharusnya mengembang saat mobil mengalami kecelakaan tidak berfungsi. Dia dan Chen mengalami benturan hebat dan dia sendiri langsung tidak sadarkan diri. Sedangkan Chen….

Susah sekali jika aku mau menyamai pangkatmu, gumam Xiumin dalam hati saat membaca pangkat baru dari Chen.

“Dari Kopral ke Superintenden butuh waktu lebih dari 5 tahun untuk detektif biasa sepertiku. Kalau kau cuma butuh waktu sehari. Apa kau sudah puas?”

 

****

Seoul, Korea

15 Januari 2012, 9.43 a.m

Musim Dingin

 

Inspektur Suho berdiri didepan sebuah papan tulis yang sudah penuh dengan banyak gambar dan tulisan, menjelaskan setiap rencananya yang sudah dia susun susah payah demi menangkap komplotan perampok. Kata-katanya membuat selusin polisi didepanny mengerti betul apa yang menjadi inti permasalahan sekaligus pemecahannya.

“Seperti yang ku rencanakan, lokasi komplotan ini akan cepat terisolasi dan terkepung sebelum jam 6 sore. Tim Pendobrak akan maju digaris depan bersama Detektif Xiumin dan Chen, mengepung gudang tua itu dan menangkap perampok itu setelah disusul oleh Tim Penyergap,” kata Suho menerangkan kembali apa yang ia tulis didepan dengan menunjuk dengan tangannya setiap kata dan denah rencana yang sudah dibuatnya.

“Aku ingin Detektif Chanyeol dan Eunjin berada dibarisan penyergap untuk jaga-jaga. Dan ku harap komplotan ini ditangkap, hidup atau mati. Aku tidak mau ada bank yang di rampok lagi setelah ini,” katanya lagi sambil menaruh kedua tangannya dipinggangnya. “Apa sudah jelas?”

“SIAP! JELAS PAK!” Teriak polisi-polisi itu serentak.

“Bagus! Kita lakukan sekarang!” Dengan tepukan sekali, Suho menyemangati anak buahnya sambil berjalan keluar dari ruang rapat polisi. Suho selalu membawa semangat pada seluruh anggota kepolisian kota Seoul untuk meningkatkan kualitas kerja dan memaksimalkan hasil kerja yang membuat kota Seoul menjadi lebih aman.

Xiumin berjalan mengikuti yang lainnya sampai tiba-tiba seseorang merangkulnya. Lengan itu kini sudah tergantung dileher Xiumin. Dia sendiri tidak perduli dengan perlakuan seperti itu karena dia tahu siapa yang bisa melakukan hal seperi itu pada Detektif paling tegas di kepolisian selain sahabat terbaiknya, Chen.

tumblr_mrqquoIkY11rmy429o1_400

“Kita dapat tugas bersama lagiiii~~ Hahah..” Ucap Chen girang. “Inspektur Suho sepertinya tahu kalau kita tak terpisahkan.”

“Yeah. Apalagi semua kasus akan beres kalau kita menyelesaikannya berdua,” kata Xiumin ungkapan setuju. “Tapi tugas kali ini berat loh.. Salah langkah saja bisa berakibat fatal.”

“Itu dia tantangannya. Kalau tidak ada tantangan, mana bisa naik pangkat hahah…” balas Chen dengan nada bercanda.

“Yang kau pikirkan hanya naik pangkat saja. Kerja dulu baru naik pangkat,” kata Xiumin bawel seraya mendorong tubuh Chen yang lebih kecil itu.

Chen hampir terjatuh karena dorong Xiumin yang memiliki tenaga yang cukup besar. Dia mencibir dengan gayanya yang selalu berusaha menunjukkan aegyo didepan semua orang. Tapi usahanya selalu gagal karena dia tahu kalau Xiumin lebih imut kalau melakukan aegyo dari pada siapapun.

“Jangan aegyo didepan ku karena itu tidak akan mempan!” kata Xiumin sinis.

“Kau juga jangan terlalu kaku begitu. Sama sahabat sendiri seperti sama orang lain,” protes Chen kepada sahabatnya.

Mereka berdua melanjutkan langkah mereka menuju ruang loker, bersiap untuk misi kepolisian selajutnya. Mereka melengkapi diri mereka dengan rompi anti peluru untuk melindungi diri mereka dari tembakan dan membawa persenjataan lengkap dengan amunisinya. Assault Rifle adalah senjata wajib para polisi saat bertugas. Begitu pula dengan Xiumin dan Chen yang telah menyiapkan Assault Rifle mereka masing-masing yang sudah terisi penuh dengan amunisi.

“Xiumin-ah!” Panggil Chen di saat Xiumin sedang sibuk merapihkan rompi anti pelurunya.

“Hmm..” Sahut Xiumin tanpa mau repot-repot membuka mulutnya.

“Kau harus lihat dia,” kata Chen dengan senyum lebarnya dan wajah yang berseri, menunjukkan sebuah foto yang selalu ia simpan di dalam lokernya. Foto wanita yang rencananya akan ia nikahi. “Cantik, kan?”

Xiumin menoleh dan melihat foto wanita beruntung itu. Wanita itu memang cantik. Sangat sesuai dengan kriteria yang selalu Chen bicarakan padanya. Dan pada saat yang sama, Xiumin ikut tersenyum.

“Dia cantik. Jadi dia yang namanya Luna? Tunanganmu itu?” Kata Xiumin.

“Aku akan menikahinya bulan depan. Aku sudah bilang ke Inspektur Suho kalau aku akan segera menikah. Kau harus datang ke acara pernikahanku,” kata Chen dengan semangat. “Maka itu aku ingin cepat naik pangkat untuk membanggakan calon istriku itu hahah..”

Suho telah menyiapkan timnya dengan baik. Setiap tim yang dia bentuk sudah siap dengan tugas mereka. Terlebih lagi duo detektif kebanggan kota Seoul, Xiumin dan Chen. Mereka sama-sama mengawali karir mereka dari awal. Meski umur mereka berbeda– dimana Chen lebih muda 2 tahun—tapi ikatan mereka sangat kuat sebagai sepasang sahabat. Saling melengkapi satu-sama lain adalah kunci emas persahabatan mereka yang seakan tidak akan pernah putus oleh tajamnya waktu.

Xiumin adalah orang yang berambisi tinggi. Sedangkan Chen adalah orang yang mempunyai sifat trolling. Mungkin mereka memang pernah berbeda pendapat tentang sesuatu tapi pikiran mereka tetaplah satu. Perbedaan membawa persamaan. Pendapat berbeda untuk satu ide. Itulah karakteristik persahabat mereka.

 

****

Sebuah kawasan pemukiman di pinggir kota Seoul itu sekarang terasa sangat sepi. Tak ada kegiatan ataupun akitivtas biasa yang terjadi di kawasan pemukiman itu. Area yang sudah diamankan oleh polisi itu sekarang sudah seperti kota mati tak berpenghuni. Sebuah rumah yang terlihat biasa dan sama seperti rumah lainnya, kini dikepung oleh serdadu anggota pasukan elite kepolisian yang siap menggrebek rumah itu.

Blokade yang dibentuk sudah dirasa cukup untuk mencegah para perampok itu untuk kabur. Xiumin—yang memimpin tim pendobrak—yakin bisa menyelesaikan misi ini dengan lancar berbekal pengalamannya yang tidak pernah gagal. Perampok itu tidak akan bisa lolos jika Xiumin yang memimpin tim pendobrak.

Keadaan semakin sunyi seiring tenggelamnya matahari. Tidak ada aktivitas yang terjadi di rumah kawanan perampok itu. Xiumin menyipitkan matanya memandangi rumah itu. Dari jendela, terlihat gelap. Tidak ada cahaya yang keluar membuatnya merasa sedikit aneh. Seharusnya ada suatu aktivitas yang dilakukan perampok itu yang dijadikan sebagai signal untuk polisi.

“Terlalu sepi,” gumam Xiumin.

“Sepi artinya ada yang aneh, kan? Sebaiknya kita mulai sekarang,” kata Chen semangat.

Xiumin menggerakkan tangannya menunjuk rumah itu. Tim pendobrak mulai maju dengan sangat hati-hati dipimpin oleh Xiumin. Langkah mereka banyak, tapi hampir tidak terdengar apapun saat kaki-kaki itu melangkah di atas tanah lembab yang ditumbuhi banyak rumput liar. Senjatanya sudah siap siaga dengan posisi lurus ke arah pintu, bersiap untuk apapun yangakan ia temui saat pintu itu terbuka.

Matanya tajam mengawasi dengan waspada sampai dia melihat sekilas ke dalam dari jendela. Benda itu berada di atas meja saat Xiumin melihatnya. Ada jam digital di atas benda itu yang menghitung mundur. Selain itu banyak kabel-kabel yang melilit benda itu. Xiumin sadar benda apa itu saat angka yang ditunjukkan benda itu sudah menunjukkan angka 5.

“BOM!!!”

Xiumin berteriak sekaligus menyuruh tim yang maju bersamanya lari menjauh dari rumah itu. Mereka lari secepat dan sejauh yang mereka bisa sebelum bom itu meledak dalam—

4

3

2

1

0

KAAABOOOOOOOM

Rumah itu meledak, terbakar habis hingga rata dengan tanah. Berberapa anggota tim jatuh tersungkur di atas tanah akibat ledakan dan yang lainnya berusaha menyelamatkan diri mereka dari kemukinan api ledakkan yang akan mengenai mereka. Xiumin langsung bangkit bersamaan dengan sadarnya dia kalau rumah itu adalah jebakan sekaligus mengecoh untuk polisi.

“Sial!” geram Xiumin.

Krezzz..

“Dua Rovers keluar dari lokasi. Diulangi, dua rovers keluar dari lokasi.”

Krezzz..

Xiumin bisa menerima informasi itu dari HT tang terpasang di telinganya. Hal yang dilakukannya pertama kali saat itu adalah mencari Chen. Dia menoleh—melihat seseorang berlari meninggalkan lokasi lebih dulu darinya. Chen.

“CHEN!” Xiumin ikut berlari tepat dibelakang Chen.

“Semua agen kejar Rover itu! Jangan sampai lolos!” perintah Xiumin melalui HT yang digunakannya.

Mereka berdua menuju mobil milik Chen yang terparkir tak jauh dari lokasi. Chen duduk di kursi pengemudi yang tandanya dia yang menyetir—karena ini mobilnya. Xiumin langsung masuk dan duduk di kursi penumpang tanpa perlu menunggu izin dari Chen—orang yang punya mobil.

Mobil itu melaju dengan kecepatan 80 km/jam pada awalnya dan kecepatannya semakin bertambah. Chen sudah sering menggunakan mobilnya untuk kecepatan yang lebih besar demi mengejar penjahat yang mencoba kabur.

“Aku minta lokasi mereka,” kata Xiumin kembali melalui HT.

“Dua Rovers menuju barat mengarah ke pusat kota dengan kecepatan 100 km/jam.”

“Chen, ke pusat kota!” kata Xiumin.

“Yeah, aku bisa dengar itu,” ucap Chen begitu serius. Dia menekan pedal gas lebih dalam seiring bertambahnya kecepatan mobilnya.

Chen begitu mahir dalam mengandarai mobil dan speed—kecepatan—sudah tak asing baginya. Dia bisa mengendalikan mobilnya yang mulai melaju dengan kecepatan hampir mencapai 120 km/jam. Dia bisa melewati berebrapa mobil yang berada di jalan tanpa menggoresnya sedikitpun. Semakin lama semakin cepat dan dekat dengan 2 mobil Nissan Range Rover hitam yang kebut-kebutan—kabur dari polisi.

“Aku melihatnya! Aku melihatnya!” seru Xiumin saat melihat 2 Rover melaju cepat di depannya.

Xiumin melirik sebentar ke arah partnernya. Chen terlihat begitu berambisi kali ini. Bahkan jauh lebih dari Xiumin. Matanya menatap tajam setiap laju mobil Rover yang ada dalam pengawasan pandangannya tanpa mau melepas dari pandangannya.

“Xiumin-ah,” kata Chen. “Kau tau, kan yang harus kau lakukan sekarang?”

Dia tidak mungkin tidak tahu. Xiumin menarik sebuah pistol dari sarungnya. Dia mengeluarkan kepala dan tangannya ke luar jendela. Dengan keahliannya, Xiumin melepaskan tembakkann satu-persatu ke arah mobil yang menjadi targetnya. Tembakannya tidak meleset, tapi belum mampu untuk melumpuhkan, bahkan untuk satu mobil saja.

Para perampok itu tidak mau diam saja saat seorang polisi menembaki mereka. mereka membalas serangan dengan menembaki kembali mobil Chen yang sudah pasti tidak anti-peluru. Chen berusaha sebisa mungkin untuk menghindari tembakan-tembakan yang terus menghujaninya.

“Kami butuh bantuan!” ucap Xiumin dengan HTnya.

“Tidak usah,” kata Chen dingin.

“Tidak usah?” ulang Xiumin.

“Aku tidak butuh bantuan. Kita bisa menanganinya sendiri. Aku hanya perlu kau menembaki ban mereka. Kau bisa, kan?” kata Chen serius.

“Jangan bertingkah gegabah! Kita tidak bisa menangkap mereka sendiri!” sanggah Xiumin tidak setuju.

“Percayakan saja padaku,” kata Chen. “Jika saat ini tugas terakhirku, setidaknya aku bisa menyelesaikannya denganmu, sobat.”

Xiumin tidak bisa berbuat banyak. Dia kembali mengeluarkan kepalanya. Kini sasarannya terfokus pada ban mobil Rover tanpa perduli dengan bagian lainnya. Xiumin berusaha keras untuk mengarahkan tembakkannya ke arah ban mobil Rover yang melaju semakin cepat itu. Sulit untuk menentukkan sasaran. Bahkan tangan Xiumin tidak bisa diam untuk sesaat saja.

“Tunggu apa lagi? TEMBAK!”

DOR

Xiumin melepaskan tembakkan tepat ke arah ban belakang sisi kanan salah satu Rover itu. Mobil itu menjadi oleng dengan banyak percikan api yang dihasilkan saat peleg menggesek aspal. Sialnya, mobil itu belum juga menyerah dan berhenti. Mereka tetap melaju bahkan saat salah satu ban mereka sudah pecah.

“Coba ban lainnya!” kata Chen begitu berambisi.

Untuk kedua kalinya, Xiumin mengarahkan mulut pistolnya lurus ke arah ban mobil lain yang masih utuh. Dia memastikan kalau sasarannya tepat dan tidak meleset karena peluru yang tersisa di pistolnya hanya ada satu buah. Jika kali ini dia meleset, dia tidak akan punya kesempatan lagi.

DOR

“Kena!” seru Chen puas dengan tembaka rekannya itu.

Mobil yang 2 bannya sudah habis ditembak Xiumin mulai kehilangan kecepatannya. Yang harus dilakukan Chen sekarang adalah membuat mobil itu benar-benar berhenti. Mobil Chen dan Rover itu mulai sejajar disaat mobil Chen terus menambah kecepataanya.

“Pegangan!” Teriak Chen sebelum ia menabrakan mobilnya sendiri dengan mobil Rover itu.

Sekali tabrakan mungkin tidak terlalu berpengaruh. Tapi Chen menabrak mobil itu dengan mobilnya hingga 3 kali sampai Rover itu terguling akibat kehilangan kendali. Chen menarik bibirnya keatas membuat senyuman sinis setelah dia berhasil menjatuhkan satu lawannya.

“Tinggal satu lagi!” Seru Chen begitu semangat.

Chen mengijak pedal gas semakin dalam, menambah kecepatan mobilnya yang sudah cepat. Pandangan tetap terfokus ke arah jalan yang dilewati oleh Rover terakhir. Dia seperti sudah tidak bisa diganggu lagi. Ambisinya sendiri telah menguasainya.

“Tembak mereka lagi!” Kata Chen.

“Tapi peluruku sudah habis,” sanggah Xiumin yang menekan pelatuk pistolnya berkali tanda kalau pistol itu sudah kosong.

“Ah sial! Kalau gitu aku harus pakai cara manual,” kata Chen seakan tidak punya cara lain. “Pegangan!”

Chen benar-benar memaksakan mobilnya hingga kecepatan melebihi 120 km/ jam. Bagaikan mobil F1 yang sedang melaju adu cepat di arena sirkuit balap. Xiumin yang duduk di bangku penonton bahkan tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk diam sambil berpegangan dalam kecepatan. Kenekatan Chen berhasil membuat mobilnya berhasil menyusul Rover yang masih terus berusaha kabur itu.

Sampai detik ini, Xiumin sendiri belum tahu rencana Chen. Yang dia tahu sekarang adalah Chen sedang kebut-kebutan berusaha mengejar penjahat yang berusaha kabur. Kalau dia bisa menebaknya sekarang, pasti Chen akan melakukan hal gila seperti yang selalu dilakukannya. Tapi hal gila apa kali ini.

DOR

Suara tembakan dilepas. Chen tidak mungkin melakukan tembakan karena dia sedang menyetir. Xiumin pun juga tidak bisa karena pelurunya sudah habis. Satu-satunya orang bisa menembak adalah para perampok itu. Chen melihat kaca depan mobilnya yang sudah berlubang tepat di posisi kursi penumpang. Jangan-jangan…

“Aah..” Xiumin terdengar merintih.

Chen perlahan melirik ke arah kanannya. Xiumin sedang menahan sakit sambil memeganggi bahunya. Darah segar mengalir dari luka yang baru saja didapatnya. Chen langsung panik melihat rekannya yang terluka. Dia baru menyadari apa yang baru saja terjadi setelah melihat kondisi rekannya yang sudah terluka.

“XIUMIN! KAU TERTEMBAK!” Chen berteriak.

“Jangan hentikan… mobil ini!” pinta Xiumin sambil menahan sakit.

Chen menurut. Dia bahkan tidak mengurangi kecepatan mobilnya sedikitpun. Justru malah menambah laju semakin cepat dan cepat. Posisi dua mobil itu kini sejajar. Jarak antara kedua mobil pun hanya 1 meter saja. Chen hanya perlu melakukan rencananya saja sekarang.

Tanpa diduga, Chen justru mempercepat laju mobil mendahului mobil Rover. Yang diincarnya adalah sisi depan mobil yang titik yang mudah untuk diserang. Awalnya Chen berbikir kalau rencananya ini bisa berjalan mulus dan tidak akan membahayakannya ataupun Xiumin. Tapi kondisi Xiumin sekarang sedang terluka. Keputusannya bisa saja membahayakan kondisi Xiumin.

“Maaf, hyung.”

Chen menabrakkan mobilnya dengan keras ke bagian Rover yang sudah diincarnya. Namun yang terjadi ternyata diluar dugaannya. Kedua mobil itu terpental satu sama lain dan berguling sampai berberapa kali. Sialnya, airbag di mobil Chen tidak mengembang. Saat mobil Chen berhenti berguling, Chen ataupun Xiumin hampir tidak sadarkan diri dengan kepalanya yang terbentur setir dan dashboard mobil.

Berberapa mobil polisi tiba di lokasi berberapa saat setelahnya dan mereka sudah sibuk mengevakuasi dua polisi yang tak sadarkan diri di dalam mobil yang mulai berasap itu. Orang pertama yang dikeluarkan adalah Xiumin yang hampir seluruh tubuhnya basah karena darah. Xiumin sama sekali tidak sadarkan diri akibat kepalanya yang terbentur dashboard hingga membuat luka berdarah di keningnya.

Chen saat itu mulai sadar karena luka yang dialaminya tidak separah yang dialami Xiumin. Dia melihat sekilas temannya sedang dikeluarkan dari mobilnya oleh berberapa polisi. Dia kembali memalingkan pandangannya ke arah yang lain. Mobil Rover yang sudah terbalik itu tidak ada yang mengurus oleh polisi satu pun, bahkan disaat penjahat-penjahat itu mulai merangkak keluar mobil. Dia mengalihkan pandangannya lagi. Cap mobilnya mengeluarkan asap hitam yang pekat. Yang lebih parah adalah tiba-tiba cap mobilnya mengeluarkan api. Soon or later mobil ini akan meledak.

“Sial!” gumam Chen geram dengan status keadaan yang terjadi sekarang. Mungkin ada satu yang bisa ia lakukan supaya semua masalah dapat diselesaikan dalam satu tindakkan.

Chen menarik pintu mobil bangku penumpang yang terbuka. Dia menginjak pedal gas dan mobil yang hampir terbakar itu melaju. Berberapa polisi berusaha menghentikan mobil Chen yang tiba-tiba melaju mengarah ke mobil Rover terbalik di seberang jalan. Mobil milik Chen menghantam Rover itu dan dalam waktu yang bersamaan, kedua mobil itu terbakar dalam ledakkan yang besar.

Polisi yang ada di lokasi kejadian tidak sempat menyelamatkan siapapun yang terlibat dalam ledakkan itu termasuk Chen. Semua terbakar habis hingga tidak ada yang tersisa. Pada saat itu juga Detektif Kim Jongdae dinyatakan tewas saat bertugas pada hari Kamis, 15 Januari 2012 pukul 19.13 KST.

tumblr_mwb7hiBysk1ruuj4io1_500

 

*

*

*

****

Now

Cukup pahit bagi Xiumin menerima kenyataan kalau Chen sudah meninggal setahun lalu dengan cara yang sangat bodoh—menurutnya. Jika saja saat itu Chen tidak nekad, pasti batu nisan yang ada dihadapan Xiumin tidak akan ada dan Chen masih bisa berdiri disampingnya sebagai rekan seumur hidup.

“Aah..” Xiumin merintih. Rasa sakit di kepalanya kembali. Hal ini disebabkan karena trauma berat yang dialaminya. Seharusnya dia tidak boleh ke tempat ini sampai traumanya benar-benar sembuh.

Memandangi nisan Chen lebih lama membuatnya semakin tertekan. Seandainya waktu itu dia bisa menahan Chen lebih awal, Chen tidak akan nekad mengejar penjahat itu bahkan hingga tewas dalam ledakan. Kepalanya makin sakit saja sampai dia harus berpegangan dengan batun nisan besar itu. Mau tidak mau, Xiumin harus kembali ke Rumah Sakit.

“Rest in peace, my friend…” gumamnya pelan menatap nisan itu dengan air mata yang mengalir.

 

Next: Chapter 4

 

*****

Annyeong readers^^ Jumpa lagi dengan Jinnie yang sudah kelar UTS(?) Ini ada side story nya Xiumin^^ Semoga readers senang :)

Terima kasih udah dukung Jinnie dengan setia membaca FF karya Jinni terlebih untuk yang COMMENT^^ Kritik dan saran masih Jinnie terima loooh… Silahkan isi di kolom comment(?)

Sampai jumpa di chapter berikutnya readers ><


[FREELANCE] Edelweis

$
0
0

Edelweis (houseofjinnie.wordpress.com)

Author: Neo Xenon

 

Main Cast: Kim Joonmyun, Kim Taeyeon

 

Support Cast: Park Yoochun

 

Genre: Romance, Angst

 

Rating: PG-13

 

Length: Vignette

 

Disclaimer: The cast are belong to themselves, parents, management and God. I just borrow the name for my story. This story is mine and original by me, so don’t be a plagiator! Sorry if you got the typo. Keep RCL. Inspired by my imagination.

 

Cover : CSJ Art (houseofjinnie.wordpress.com)

 

 

Noona, Do You Know? I Love You.

*****

 

Eksistensi udara di langit telah mencapai puncak, leher tercekik sakit tanpa oksigen mengalir menuju dua rongga sempit paru-paru kotor berlendir. Tapak kaki terasa hilang tak menjamah bumi, seolah seperti melayangkan roh keluar dari jasad. Kesempatan terakhir untuk menebus kesempatan kedua hilang termakan takdir Tuhan. Batas sudah menemui titik terakhir secara tragis, tidak ada lagi alasan lain melaju pada rel kehidupan.

Adakah seseorang nun jauh disana bisa menjelaskan dengan detil dan mendalam mengenai semua hal yang sedang menimpa pria berbalut parket hitam dengan bau batu-batuan basah ini? Jika ya, maka sosoknya lah yang harus bertanggung jawab atas apa yang sedang terjadi sekarang.

Trak!

Hancur tanpa indikasi untuk kembali seperti semula, muncratan darah dari bagian belakang kepala adalah klimaks sekaligus penutup. Tidak ada untaian jahanam berair atau lengkungan huruf C horizontal nampak pada bibir, walau mungkin hanya ada dua simbolis yang mampu memberikan jawaban tentang perasaan tersimpan rapi di dalam loker hati.

Semua hal dilakukan tentunya memiliki sebuah alasan sebagai letak dasar pengambilan keputusan, begitupula dengan jenazah pria tampan yang teronggok payah disana. Bahkan hanya sekedar mengucapkan kalimat tentang aku-sama-sekali-tidak-memiliki-alasan-apapun. Namun, tidak mungkin seseorang memutus rantai kehidupan tanpa suatu alasan, bukan?

 

*****

 

“Myun? Kau disana?”

Tidak ada kesempatan lagi setelah kalimat pamungkas meluncur padu dari sela bibir berpoles gincu merah muda. Joonmyun merelakan akhir perjalanan tragis dari pelukis besar seperti Vincent Van Gogh tertunda karena prioritas yang mengalahkan ego. Sudah berdiri tegap dan memakai kacamata bingkai kotak Rodenstock.

Joonmyun menyahut lembut. “Ne, Noona. Gwaenchana?”

Mungkin, sang wanita bertubuh mungil berpikir jika ada sesuatu terjadi di sekitar pelataran taman kediaman, sehingga ia terlalu berlebihan dalam membalas dengan helaan nafas dan lari memburu. Kim Taeyeon namanya, mengusap kecil pahatan jari jemari maha esa yang memberikan ia senyum menawan penawar kegusaran.

“Noona butuh sesuatu?”

Joonmyun memulai retorika. Sedangkan, Taeyeon menyahut repetisi. Tidak perlu risau untuk menghitung ke berapa kali Joonmyun bertanya apakah sang kakak tercinta membutuhkan sesuatu darinya atau Taeyeon dengan gelengan kepala dan cubitan manis sebagai pengganti jawaban berkali-kali. Mereka sudah terbiasa sejak awal dengan prolog sebelum ketegangan dimulai.

“Yoochun akan berkunjung. Jangan nakal seperti sebelumnya, Myun.”

Apa pria seperti Kim Joonmyun adalah anak yang nakal? Benar, Ia adalah anak yang nakal.

“Mungkin, Aku akan merebus kedua mata bulat Tuan Park untuk disantap, Hahaha!”

“Kim Joonmyun!”

Mendesis seperti kobra sebelum menerkam sang mangsa, Taeyeon melakukan hal yang tidak lebih sama. Joonmyun sudah bersiap dan mengambil Lust For Life gubahan Irving Stone miliknya, sebelum Taeyeon memenangkan pertandingan bersama cubitan meninggalkan bekas kemerahan di pergelangan tangan Joonmyun.

“Noona selalu begitu!”

“Kau yang selalu begitu, Myun!”

Mengusap tangan menjadi alternatif meredakan ketegangan tanpa harus saling menubrukan selaput jala cokelat. Angin bersiul menuju utara dan mendorong dedaunan untuk mengikuti kemana kehendak tertinggi akan memberikan perintah. Kedua insan yang terikat pada satu darah sama masih saling membelakangi, bersedekap lalu berpikir jika diri adalah yang benar daripada segala kebenaran.

“Tidak adakah yang ingin kau katakan, Myun?”

“Aniyo. Sama sekali.”

Taeyeon melakukan respirasi keluar secara kasar, melemparkan pandangan sengit tepat kearah Joonmyun yang masih mematung.

“Kau egois, Myun! Sudah berapa kali kau menghancurkan semua rencana kencan ku? 10? 20? Atau 50?”

Saliva meluncur hina menapak pada tanah berpeluk rerumputan hijau muda. Joonmyun kehilangan kata- kata terbaik untuk menjelaskan apa yang ia rasakan selama ini.

“Tidakkah kau mengasihini diriku? Ini sudah seperempat abad lebih tiga aku menghirup, menghembuskan nafas, dan menjalani kehidupan di dunia. Jika memang Adam membiarkan Tuhan mengambil salah satu tulang rusuk miliknya agar dijadikan sebagai Hawa. Maka, tidak bisakah seorang Adam diluar sana akan menemukan tulang rusuk miliknya yang hilang padaku?”

Penjelasan tentang tulang rusuk bukanlah perkara mudah untuk diselesaikan. Adalah sebuah kebenaran mengenai Adam memberikan Tuhan kesempatan menciptakan Hawa dari salah satu tulang rusuknya. Tapi, tidak ada satupun tulang rusuk yang mampu menghilangkan keraguan dalam dada. Joonmyun tidak mengetahui dengan pasti mengenai hal-hal diluar kuasa manusianya.

“Myun, melunaklah. Hilangkan kerisauan jika itu adalah hal yang menjadi jawaban penghalang darimu. Aku tidak pernah mengingkari janji yang kubuat untukmu selama ini, jadi bisakah diri yang lemah ini mendapatkan balasan yang sama?”

Jeda sepersekian menit pun memberikan shock therapy kepada Taeyeon setelahnya.

“Maaf, Semua terlalu sulit.”

Taeyeon kecewa, begitupula Joonmyun. Keduanya kecewa.

Ini bukanlah aksi reaksi dari perasaan tak berperi. Keputusan pada akhirnya memilih merenggangkan ikatan yang ingin lebih meningkat menuju babak baru. Tapi, mustahil setelah ditelaah lebih lanjut dan seksama. Apa yang terlarang akan selalu terlarang, bahkan hingga kiamat berlaku tujuh belas kali sekalipun. Tidak ada sahutan berarti, Taeyeon memilih meninggalkan taman dan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Joonmyun sendiri dengan garis memerah menahan aliran asin pada kedua bola mata.

 

*****

 

Hujan turun tidak begitu lama setelahnya. Darah masih saja menjadi aliran sungai dari tempat berasal, bulatan bola air langit jatuh, kemudian mendramatisir suasana kelabu. Ia tidak memiliki cukup keberanian untuk sempat mengatakan apapun kepada orang terkasih, tapi biarlah angin menuntun firasat menuju seseorang dimaksud. Belum ada tanda jika suatu kehidupan akan menemukan jasad dingin tak bernyawa teronggok di bibir curam jurang gelap.

Edelweis masih terperangkap, meskipun saraf yang mengirim impuls pada tangan kanan sudah mati seiring pusat tubuh yang mulai melemah. Warna pada permukaan mahkota tidak lagi putih bersih dan tidak lagi kuning pada penyangga helaian, menyisakan merah memudar sebagai perusak keabadiaan.

Waktu berputar sekali tanpa pemberhentian pada stasiun tertentu di pelipir jalan. Jikalau memiliki kemampuan untuk berputar ulang, bisa jadi jika hal tersebut adalah fatamorgana maupun mimpi di dalam mimpi, mungkin juga anugerah dari sang maha pencipta untuk memberikan sebuah isyarat tertentu. Namun, waktu memang tidak bisa diputar kembali.

 

*****

 

Seperti rencana yang telah disusun rapi jauh sebelum pertikaian panas di kursi panjang taman keluarga, Yoochun datang berkunjung pada hari berikutnya. Setelan Versace yang dikenakan oleh dirinya membuat Joonmyun mual bukan kepalang. Taeyeon datang dari tangga yang menghubungkan pada kamar di lantai dua, senyum sumringah tampak jelas di wajah kedua insan berbeda disampingnya mau tidak mau membuat Joonmyun terpaksa mengeluarkan kemampuan hipokrit.

“Noona akan pergi? Meninggalkanku? Sendiri? Nice!

Baik Yoochun ataupun Taeyeon saling melempar tanda tanya besar. Joonmyun tetap mempertahankan ekspresi tertekuk dalam jangka waktu yang entah kapan terhenti. Salah satu dari ketiga manusia disana membuang nafas pertanda rasa lelah, Taeyeon.

“Myun, Kau sebentar lagi akan memasuki fase seperempat abad. Don’t be Childish like that!

Tertohok rasanya hati di dalam selimut tulang selangka. Ia benci kesendirian atas banyak hal yang sudah pasti tertebak seperti apa ketika sebuah bangunan keluarga yang hancur karena kehilangan salah satu dari pondasi akibat dari bermain api. Taeyeon yang notabene merupakan kakak kandung yang tersambung darah secara langsung dengan dirinya, justru memuntahkan makian menampar wajah tepat kearahnya hanya demi seorang pria Versace berjarak 15 sentimeter tak jauh dari posisi.

“Yeon ah. Kau tidak perlu memaki,” ucap Yoochun. “Tidak ada salahnya jika kita mengajaknya ke pesta.”

“Tidak! Kau, Kim Joonmyun. Tetap di rumah.”

“Noona!”

“Chun, Kita pergi sekarang,” ucap Taeyeon. Yoochun tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakan dan ikut pergi. Joonmyun termangu sendiri pada ruang tamu sepi, ia sedih.

 

*****

 

“Myun?! Kau dimana? Myun?!”

Ingin rasanya sahutan lembut kembali memasuki indera pendengaran seperti biasa. Namun, firasat entah darimana datang menusuk relung palung terdalam hati dan membuat desibel teriakan semakin meningkat dari sebelumnya. Permukaan licin batu bukanlah tandingan bagi sosoknya yang terus berlari dan melompati satu persatu ranting penghalang.

Sedikit lagi sebelum puncak dan ia tergelincir jatuh. Menyisakan luka gores sepanjang batang korek api yang disusun memanjang sebanyak enam buah di pergelangan tangan tak tertutup selembar kain. Tubuh mungil miliknya bangkit dan kembali mengeliminasi jarak dengan kecepatan yang bertahap naik sedikit demi sedikit.

Sampai pada sebuah jurang membuat ia berhenti secara sporadis. Mengamati cepat dengan mata telanjang hingga apa yang disampaikan firasat tak mungkin salah. Sobekan denim menggantung pada dahan runcing di pinggir bibir jurang, melambai tertampar angin bercampur titik hujan.

Dan disaat yang sama, ia telah kehilangan sang pemilik suara lembut kesukaannya.

 

*****

 

Tik Tok…

Tik Tok…

Dua tangan stainless steel berbeda ukuran milik jam dinding merujuk celah dan membentuk derajat 90 antara angka 12 dan 3. Mata belum bersedia terpejam khidmat, sementara ketahanan telah nyaris musnah sampai pada dasar. Tanda kepulangan adalah hal yang terus ditunggu sejak beberapa putaran mengikuti arah jarum tajam jam.

Lukisan bertema pemandangan alam perbukitan menjadi hiburan pembunuh kebosanan. Joonmyun tersenyum kecil sembari membayangkan indah hamparan Edelweis yang memutari pelataran curam di pertengahan kaki bukit. Beruntung jika ia bisa menggapai satu diantaranya dan memberikannya kepada sang kakak.

Cklek!

“Myun ah~”

Aroma menusuk tercium dan membelai ganas indera penciuman Joonmyun. Seakan sebagai sinyal tersendiri untuk sang pria agar mendekat dan menuntun Taeyeon yang tersenyum miring setelah membuka kasar daun pintu. Joonmyun tidak tahu menahu darimana sang kakak bisa menenggak berbotol-botol Jager hingga bau mulut yang keluar bisa melebihi naga sekalipun. Nama Park Yoochun secepat kilat mengkerlap-kelip laksana lampu neon rusak di dalam otak belakang, Joonmyun menggemerutukan gigi bercampur amarah.

Untuk ukuran seorang wanita seperti Taeyeon, Joonmyun tidak kewalahan sama sekali untuk menuntun tubuh mungil didekapannya. Setapak demi setapak anak tangga terlewati, kamar dengan interior bernuansa naturalis menyambut keduanya setelah membuka pintu perlahan.

“Kau terlalu banyak minum, Noona.”

Percuma untuk mengatakan apapun. Taeyeon tidak lebih seperti seekor sapi yang hanya menanggapi dengan lenguhan aneh saat ini. Tubuhnya sudah terpampang sempurna tertutup selimut hangat yang disampirkan Joonmyun. Suasana mendingin, Joonmyun masih tetap mendaratkan diri di pelipir ranjang. Kamisol mencetak jelas tubuh kurusnya akibat dari keringat yang bercucuran keluar.

“Myun? Kau sedih?”

Joonmyun tidak pernah mengerti mengapa sang kakak mampu mengetahui segala isi hatinya, meskipun dalam keadaan yang paling tidak memungkinkan sekalipun. Ia tidak menjawab, bibir terkunci rapat seakan ada sebuah selarak menahan. Taeyeon bangun dan memukul pundak adiknya kencang, menghasilkan ringkingan keras dari bibir Joonmyun.

“Ya, Jangan membohongiku! Hik!”

“Tidurlah Noona. Kau benar – benar mabuk.”

Bugh!

“Noona!”

“Puahahaha!”

Entah apa tindakan paling pas untuk meredakan emosi bergejolak, bagi Joonmyun hal menyebalkan dalam kamus kehidupannya adalah menghadapi sang kakak yang mabuk parah. Taeyeon tergelak dalam tawa bercampur halusinasi, membiarkan Joonmyun memberangus kesal di posisinya.

“Kau mencintai Yoochun Hyung, Noona?”

Taeyeon terdiam sesaat. Meskipun, ia dalam keadaan setengah sadar. Tapi, semua perkataan Joonmyun masuk menembus indera pendengaran miliknya dengan jelas. Garis getir tampak memahat senyum pahit di wajah Joonmyun.

“Baiklah.”

Perkataan terakhir adalah indikasi bahwa segala pengharapan musnah tak berbekas. Joonmyun meninggalkan kamar dengan langkah berat, sia-sia sudah semua.

 

*****

 

Taeyeon hanya terdiam menyaksikan para manusia pribumi berbalut jaket SAR mengangkat tubuh berdarah Joonmyun keatas permukaan. Paralisis bibir mengatup rapat menghilangkan kesempatan terakhirnya untuk bersua dengan sang adik yang telah tiada. Ia punya alasan kuat untuk itu semua. Genggaman erat pada sebuah tas kecil berisi diari benar-benar membuat ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Seorang anggota SAR membawanya untuk ikut ke bawah dan menaiki mobil jenazah, Taeyeon tidak menghiraukan percakapan dalam bahasa yang tidak ia ketahui diantara para petugas medis dan memutuskan untuk membuka tas, lalu mengambil sebuah diari tebal dengan cover putih bersih. Ia dengan cepat membuka sebuah halaman yang telah ditandai dengan sticky note.

Lagi-lagi Taeyeon kalah, aliran panas dari kedua bola mata telah terlebih dahulu keluar, bahkan sebelum ia bertingkah angkuh dan memberikan sugesti bahwa semuanya baik-baik saja. Tulisan rapi bertinta biru menyadarkan wanita itu terhadap sebuah kenyataan yang selama ini tidak pernah diketahui olehnya.

Direngkuhnya erat mayat Joonmyun yang tidak lagi bernyawa, menumpahkan seluruh air mata dan untaian maaf yang sudah terlambat untuk disampaikan.

 

*****

 

Taeyeon membuka pintu rumah dengan sekali hentakan keras, sekali lagi ia hanya mendapati rasa sepi yang selalu menyambutnya. Entah kenapa sejak peristiwa kencannya dengan Yoochun beberapa hari yang lalu, ia tidak terlalu sering melihat Joonmyun di sekitarnya. Taeyeon semakin lebar membuka pintu rumah, melangkah naik melewati anak tangga yang menghubungkan dengan lantai kamar tempatnya beristirahat. Namun, belum sempat ia memasuki kamar miliknya, entah setan apa yang membisikan sesuatu hingga terbit rasa penasaran ketika pandangan tertumpu pada pintu kamar Joonmyun yang tidak terkunci dan sedikit terbuka.

Mengendap-endap Taeyeon masuk dengan celingak-celinguk melihat sekitar. Setelah merasa aman, ia menutup rapat pintu kamar Joonmyun dan menguncinya. Hal pertama yang disadari oleh wanita itu ketika memasuki kamar Joonmyun adalah suasana berantakan yang mendominasi. Taeyeon mengernyit bingung, Joonmyun adalah sosok pria paling bersih dan rapi yang pernah ia ketahui selama ini. Jadi,  melihat dengan mata kepala sendiri tentang keadaan yang 180 derajat berbeda membuat sebuah perasaan lain menelusup ke dalam dada. Diambilnya barang-barang yang tercecer di lantai dan menempatkannya kembali pada tempat semula, tapi sebuah buku diari berhasil menggugah keingintahuan seorang Kim Taeyeon.

Tidak salah lagi jika diari di dalam genggaman tangannya adalah milik Joonmyun, terlihat dari tulisan rapi dengan tinta biru kesukaan sang adik. Taeyeon membaca satu persatu halaman dengan aneka ekspresi. Bahagia, Kesal, Bingung, dan berbagai macam lainnya. Sampai akhirnya Taeyeon berhasil membuka halaman tengah yang sekaligus merupakan halaman terakhir berisi tulisan.

Sebuah curahan hati yang panjang, Taeyeon mengamati setiap larik kata dengan tenggorokan tercekat hebat.

“Kali ini aku sudah menyerah. Tidak ada kamus kehidupan yang mengatakan bahwa seorang adik dan kakak yang terhubung dalam satu darah mampu menjalin sebuah hubungan yang lebih. Taeyeon Noona mencintai pria lain dan ia begitu bahagia dengan hubungan barunya. Aku sungguh akan sangat berdosa jika menghancurkan perasaannya dengan  mengatakan bahwa aku juga memiliki perasaan lain yang lebih terhadapnya, perasaan mencintai seorang wanita sebagai seorang pria. Aku juga akan merasa berdosa ketika orang lain mengetahui apa yang kurasakan dan akan menyalahkan Noona atas semua.

Semua berawal dari rasa kesepian setelah Abeoji pergi dengan wanita simpanannya dan meninggalkanku serta Noona dan Eommonim sendiri. Semua perasaan bahagia yang selama ini kureguk manis harus sirna dalam sekali kedipan mata. Kesedihanku bertambah tatkala Eommonim memutuskan untuk ikut pergi dari dunia setelah sakit Emfisema yang beliau derita tak kunjung membaik. Hanya Taeyeon Noona yang mampu mengembalikanku dari keterpurukan dan setelahnya kami begitu dekat satu sama lain. Semua orang begitu iri setiap melihat kami bersama. Aku benar-benar tidak bisa mendeskripsikan kebahagiaan baru yang kudapatkan saat itu.

Namun, semua perlahan kembali berubah ketika kami memasuki umur kepala dua. Taeyeon Noona perlahan mulai sibuk dengan dunia barunya dan sedikit demi sedikit melupakanku. Ia jarang pulang dan seringkali kembali dengan keadaan mabuk parah dan meracau aneh, beberapa pria yang mengajaknya kencan menjadi penyebab perilaku Noona semakin memburuk dari hari ke hari. Sejak saat itu, aku begitu bersikap otoriter terhadap hubungan Noona, tidak ada seorang pria pun yang berani mengajak Taeyeon Noona untuk berkencan untuk kedua kalinya, setelah aku berhasil mengacaukan acara kencan mereka dengan Noona. Entah sengaja menumpahkan saus ke kemeja mereka, merusak mobil ataupun motor mereka, dan segala kegilaan lainnya, tapi Noona justru semakin menjauhiku dan lebih memilih untuk berlama-lama dengan kehidupan barunya.

Siklus terus berjalan seperti biasa, sampai akhirnya hubungan kami membaik sedikit demi sedikit. Saat itu aku sedang membaca sebuah buku sampai akhirnya Noona datang dengan senyum sumringah. Seperti yang kutebak sebelumnya, Noona memintaku untuk tidak berlaku aneh seperti yang kulakukan dahulu, karena akan ada seorang pria yang akan mengajaknya kencan kembali. Aku hanya memberikan jawaban seperti biasa dan Noona menghujaniku dengan cubitan keras yang menyakitkan di pergelangan tangan. Kami saling berargumen panjang, sampai akhirnya Noona mengutarakan seluruh pemikirannya selama ini kepadaku, terutama mengenai Adam dan Hawa, beserta sejarah penciptaan manusia yang berawal dari tulang rusuk yang tidak kumengerti sama sekali. Kami pun saling berdiam diri lagi dan begitu bodohmya aku mengatakan hal yang tak seharusnya. Noona pergi dengan kekecewaan dan aku juga tetap berdiam dengan kekecewaan yang sama.

Hari pun tiba dan Noona lebih memilih untuk ikut berkencan dengan pria aneh dengan setelan Versace yang kuketahui bernama Park Yoochun. Seperti biasa, Ia akan pulang dengan keadaan mabuk parah dan aku tetap saja tidak bisa menumpahkan kekesalanku tatkala melihat wajah bahagia yang terpasang dalam wajah Noona. Kecuali, ketika bagian Noona memukul tanganku dengan keras.

Dan, mungkin ini adalah terakhir kalinya aku akan memaksakan kehendakku. Namun, aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan terlarang ini dari hati.”

Taeyeon menutup mulutnya dengan salah satu tangan, diari pada tangan kirinya terjatuh ke lantai. Tapi, rasa keterkejutan belum terhenti sampai di situ. Selembar foto yang terbang dari selipan diari dengan objek pemandangan bukit berselimut Edelweis di sebuah negara di ujung selatan dunia menjadi senjata pamungkas peningkat kecemasan. Taeyeon kembali membuka halaman diari yang dibacanya terakhir tadi. Ternyata pada halaman selanjutnya masih ada sepotong paragraf yang nyaris membuatnya kehilangan kewarasan.

“Ingin kurengkuh Edelweis ke dalam genggaman tangan, merasakan keabadian yang akan membungkus sukma hingga waktu tak terbatas. Ketika semua yang kurasakan akan abadi menuju kehidupan lain, aku tidak akan lagi menghalangi kebahagiaan yang akan direngkuh oleh orang yang kukasihi selama ini. Tuhan, Kumohon maafkanlah  hambamu yang bodoh ini.”

Taeyeon mengambil ponsel pada saku celana dan mengetik dengan cepat beberapa digit nomor, suara operator wanita menyambut Taeyeon yang sudah kalang kabut.

“Aku pesan tiket pesawat tercepat menuju Indonesia hari ini!”

Setelah mendapatkan kepastian bahwa ia telah mendapatkan sebuah kursi kelas bisnis menuju Indonesia, maka Taeyeon dengan secepat kilat mengambil buku diari dan foto tadi dan berlari menuju kamarnya, kemudian mengambil dompet dan passport. Ia tidak punya cukup waktu untuk sekedar berkemas. Rumah besar itupun kembali kosong setelah Taeyeon keluar, lalu membanting pintu dan menguncinya rapat.

 

-Fin-


[FREELANCE] 11.11

$
0
0

11.11

Author : Little Maknae

Tittle : 11.11

Cast: Byun Baekhyun, OC

Genre : Fluff, Supranatural, Romance (lil bit)

Length : Vignette

Rate : T

Poster by  hcvelxfo

Baekhyun merasakan deja-vu. Ia terbangun dua kali pada pukul 11.11 ditempat yang berbeda. Di padang ilalang yang sangat indah dan di stasiun kereta yang mencekam.

2014 © Little Maknae

***

Byun Baekhyun tak tahu sudah seberapa jauh kakinya melangkah. Yang jelas, tempat pemberhentiannya kali ini adalah sebuah stasiun kereta yang terlihat sepi, gelap, bahkan berdebu. Pengunjungnya kurang dari sepuluh orang–kalau dilihat-lihat. Tapi Baekhyun tak memperdulikan itu semua. Kakinya sudah terlalu sakit untuk beralih dari tempat itu.. Seingatnya, ia mulai berjalan dari Daegu sejak lima jam yang lalu. Dan ia tak tahu ini di daerah mana. Apakah masih di sekitar Daegu, atau bahkan ini diluar Korea Selatan.

Selama berjalan Baekhyun tak tahu ke mana arah kakinya melangkah. Ia hanya mengikuti jalan yang ada. Tanpa tujuan. Tanpa istirahat. Tanpa persiapan apapun.

Dan kini Baekhyun mulai lelah. Kakinya mulai berdenyut. Perutnya mulai meronta. Di stasiun kereta ini, ia beristirahat. Ia harus mencari kursi panjang untuk membaringkan tubuh kurusnya. Atau paling tidak,  ia berharap ada seseorang baik hati yang memberikannya uang untuk menyewa motel.

Dan disudut stasiun ini, ia melihat jejeran kardus tak terpakai yang melapisi lantai. Pikirnya, beristirahat disitu sejenak juga tidak buruk.

***

Baekhyun membuka matanya. Angin sejuk melucuti wajahnya. Burung-burung berterbangan diatasnya. Tapi ini aneh. Ini tak tampak seperti stasiun kereta tempatnya beristirahat tadi. Ini lebih tampak seperti sebuah padang ilalang.

Baekhyun langsung bangun saat itu juga. Pemandangan indah menyambutnya. Tubuhnya dikelilingi ilalang yang menjulang setinggi lututnya. Semua tampak hijau–tapi ada beberapa yang kekuningan. Sejauh matanya memandang, tak tampak satu orang pun untuk ditanyai lokasinya saat ini. Sepertinya, ini bukan daerah pemukiman penduduk.

Bagaimana bisa ia tidur di sebuah stasiun kereta dengan suasana mencekam, lalu terbangun di sebuah padang ilalang yang sangat indah? Sungguh, ini terasa seperti mimpi. Tapi, kakinya yang masih sedikit berdenyut itu menyadarkan bahwa kini ia masih berada pada sebuah kenyataan.

Baekhyun melihat arlojinya. Pukul 11.11 a.m. Masih sangat siang untuk pergi menyusuri tempat ini. Siapa tahu ia bisa menemukan jalan keluar. Atau mungkin ia mendapat jawaban atas pertanyaan nyata atau tidaknya situasi saat ini.

“Hei, Baekhyun!”

Eh? Ada yang memanggilnya?

Baekhyun mencari sosok yang memanggilnya itu. Pikirannya menjadi sedikit aneh mengingat bahwa tadi ia tak menemukan seorang pun untuk ditanyai tentang tempat ini. Atau jangan-jangan, yang memanggilnya itu adalah hantu?

Baekhyun bergidik setelah menemukannya. Bukan karena sosok itu adalah hantu dengan wajah pasi yang mengerikan. Tapi jauh dari apa yang dipikirkan, ia adalah seorang gadis cantik berambut panjang dengan gaun putih selutut yang menghias tubuhnya.

“K-kau siapa?” tanya Baekhyun. Suaranya sedikit tercekat setelah ia memikirkan teori kedua; bahwa sosok itu akan berubah menjadi monster yang siap menerkamnya.

“Kau tak mengenalku?”

Baekhyun sedikit takut untuk mengakuinya. Tapi suara gadis itu benar-benar seindah wajahnya. Dengan ragu, Baekhyun memberi gelengan kepala atas pertanyaan gadis tadi.

“Ku sarankan agar kau menghapal dulu semua nama malaikat dengan baik, agar kau tahu namaku.”

Baekhyun terkekeh mendengar ucapan gadis itu.

“Kau ingin mengaku bahwa dirimu adalah malaikat?”

“Kalau memang begitu nyatanya, apa kau akan percaya?”

Mengesalkan. Apa gadis itu suka bertanya balik?

“Jadi, siapa kau sebenarnya?” tanya Baekhyun, alih-alih menghindari pertanyaan si gadis asing.

“Kau benar-benar ingin tahu?”

Lama-lama geram juga berbicara dengan sosok itu. Apa semua gadis cantik memang begitu kalau berbicara?

“Kalau tak mau mengenalkan siapa dirimu, aku akan pergi.”

“Hei, Baekhyun! Jangan marah seperti itu!”

Baekhyun tak menanggapi ucapan gadis itu. Ia hanya perlu mencari jalan keluar untuk pergi daritempat aneh ini.

“Hei, dengarkan aku! Namaku Lauren Han! Baekhyun, berhentilah!”

Baekhyun menuruti ucapan Lauren. Ia menghentikan langkahnya saat itu juga.

“Kau manusia?”

“Entahlah, aku juga ragu. Aku bersaudara dengan cupid. Kau pasti tahu dia, kan?”

Cupid? Bocah laki-laki menggunakan diapers dengan anak panah ditangannya itu? Baekhyun rasa, Lauren adalah gadis gila.

“Sekalian saja bilang kalau kau berteman dengan batman dan sailor moon.”

“Kau tak percaya? Kau pikir darimana aku tahu namamu?” Lauren kesal. Ia merasa Baekhyun tak percaya padanya. “Aku tahu masalahmu, Baekhyun. Aku tahu apa yang menyebabkanmu terus berjalan selama lima jam.”

Baekhyun menatap bingung ke arah Lauren saat itu juga.

“Kau baru diselingkuhi oleh gadis bernama Seul Rin itu, kan? Lalu kau pergi dan tersesat di stasiun kereta itu.”

Baekhyun membulatkan mata sipitnya. Tidak mungkin. Secara logikanya, tak ada orang asing yang mampu membaca pikiran orang lain secara detail.

“Lalu, kau mau apa?” tanya Baekhyun.

“Menyampaikan pesan dari saudaraku. Ini.”

Baekhyun menerima sebuah lipatan kertas dari Lauren. Rasa ragu menyelimutinya. Tapi rasa penasaran itu lebih dominan. Dan Baekhyun pun membaca tulisan dalam kertas itu.

Just let she go. She wasn’t love you. She doesn’t to you. But you have the girl who has love you. You know her. She is your classmate, JH.

Baekhyun seperti diberi tebak-tebakan dengan classmate dan JH sebagai kata kuncinya. Ia berpikir untuk kesekian kalinya. Teman sekelasnya yang berinisial JH jumlahnya lebih dari satu. Apakah itu si kembar Jung Hyerim dan Jung Hyerin? Atau Jo Hyomin? Atau mungkin Jang Hyena?

“Baekhyun, apa berpikirnya sudah selesai?”

“Eh?”

“Aku harus mengembalikanmu. Mungkin akan sedikit sakit, untuk itu maaf, ya. Maaf juga sudah menculikmu. Omong-omong, kau tampan juga.”

“Hei, kau bicara apa sih? Aku tidak–“

Bug.

Terlambat. Lauren sudah membuat dunia Baekhyun menjadi gelap.

***

Baekhyun membuka mata disertai ringisan kecil. Ia mengusap tengkuknya yang terasa sedikit ngilu. Dibawah cahaya remang-remang itu, Baekhyun mengedarkan pandangannya. Ia berada distasiun kereta lagi. Tapi kali ini lebih mencekam dari sebelumnya. Ini lebih gelap. Hawa dingin dan penerangan yang tak cukup itu membuatnya bergidik. Belum lagi ia sendirian di tempat ini. Kemana perginya orang-orang yang seingat Baekhyun masih ada disekitarnya tadi? Baekhyun berani bersumpah bahwa ini adalah stasiun kereta yang sama seperti ketika sebelum dia berada di padang ilalang. Tapi, kenapa suasananya bisa lebih mengerikan seperti ini?

Baekhyun melirik arlojinya. Pukul 11.11 p.m. Oh, ini seperti deja-vu. Apakah setelah ini akan ada yang memanggil namanya?

“Byun Baekhyun!”

Baekhyun merasa sorot yang menyilaukan telah menyiraminya seiring dengan datangnya panggilan itu. Selanjutnya, ia mendengar langkah kaki mendekat padanya.

“Astaga, apa yang kau lakukan disini?”

Baekhyun merasa mengenali suara itu. Tapi ia tak mau terlalu berharap sebelum melihat langsung siapa orang itu.

“Aku tersesat. Kau sendiri sedang apa disini?”

“Ibumu memintaku mencarimu. Untung saja GPS pada ponselmu aktif, sehingga memudahkanku mencarimu.”

Baekhyun tak merasa silau lagi. Dan sekarang ia bisa melihat wajah orang itu.

“Memangnya ini dimana?”

“Daerah perbatasan Daegu dan Gyeongju. Kau berjalan jauh sekali. Ayo, pulang! Kau lelah, kan?”

Baekhyun tersenyum bahagia sehingga menyembunyikan kilau bola matanya. Ia teringat dengan pesan di lipatan kertas yang sempat dibacanya. Akhirnya dia bisa menjawab teka-teki itu.

“Terimakasih telah mencariku. Ayo pulang.”

Dan Baekhyun pun bangkit serta melangkah pergi dengan gadis itu. Hatinya begitu tenang saat ini. Ia bahkan melupakan kakinya yang tadi sempat berdenyut sakit dan tengkuknya yang sempat terasa ngilu.

“Setelah ini kita cari makanan dulu, ya. Kau lapar, ‘kan? Lalu jika sampai dirumah, kau harus mandi dan tidur.”

“Baik. Tapi kau menginap dirumahku, ya? Ini sudah malam.”

“Iya, Baek.”

Baekhyun tak akan melupakan bagaimana bodohnya ia berjalan selama lima jam tanpa henti. Lalu tertidur di sebuah stasiun kereta. Lalu terbangun di sebuah padang ilalang. Lalu bertemu Lauren dan menerima pesan dari cupid. Lalu ia terbangun lagi di stasiun kereta, lalu bertemu dengan gadis itu. Gadis yang mungkin saja dimaksud dalam pesan yang diberikan cupid. Gadis yang mungkin mencintainya. Gadis yang merupakan sahabat sekaligus teman sekelasnya, Jang Hyena.

FIN



[FREELANCE] Without You

$
0
0

Without You

Without You

Cast: Oh Sehun || Support Cast: Kim Junmyeon, Kim Jongin, Kim Jongdae, Byun Baekhyun || Genre: Fluff || Rating: G || Length: Vignette (1500+)

.

Sehun mencintai ponselnya. Ya, semua orang tahu itu.

.

.

.

Ghivorhythm’s comeback

.

Semua orang tahu Sehun tak bisa hidup tanpa benda bentuk persegi panjang warna putih yang selalu menemani hari-harinya. Dengan layar touchscreen-nya—Sehun sangat menyukai itu—dan aplikasi yang banyak—bahkan sangat banyak hingga Sehun harus membeli eksternal memori yang lebih besar lagi untuk menampung game kesukaannya—membuat Sehun berulangkali jatuh untuk benda itu.

 

Well, ini berlebihan.

Apa yang bisa Sehun lakukan tanpa ponselnya?

***

 

“Jongin! Kembalikan ponselku!!” Sehun berteriak sambil berlari mengejar Jongin, Jongdae, dan Baekhyun yang merampas ponselnya, atau lebih tepatnya mengerjai dirinya.

“Kau mau ini? Ambil saja kalau bisa.” Jongdae menggoda sembari mengayun-ayunkan ponsel Sehun.

“Ya! Jongin, Jongdae, Baekhyun! Kembalikan ponselku!”

Yang dipanggil hanya terkikik geli melihat Sehun yang mati-matian mengerjarnya. Sungguh, mengerjai Oh Sehun adalah pekerjaan yang menyangkan. Ya, menyenangkan hingga mereka tertangkap basah oleh Kim Junmyeon, salah satu guru matematika di sekolah mereka.

“Kembalikan ponselnya.” Jumyeon berucap dengan wajah datar. Guru yang biasanya murah senyum itu mendadak dingin.

Jongin, Jongdae, serta Baekhyun tak dapat mengelak lagi. Maka ketika Sehun baru saja sampai setelah bersusah payah mengejar, Jongin mengembalikan ponsel Sehun.

“Ambil ini.” Jongin berkata seraya meninggalkan Sehun dan Junmyeon. Tentu saja Jongdae dan Baekhyun mengikutinya di belakang.

“Kau tidak apa-apa, kan? Mereka tidak menyakitimu, kan?”

Junmyeon bergidik ngeri melihat tingkah Sehun. Menanyakan keadaan pada ponselnya? Sehun seharusnya masih waras jika ia bersekolah.

“Oh, ya. Guru Kim, terim—”

“Aku ada kelas. Sudah terlambat. Sampai jumpa Oh Sehun!”

Dan Kim Junmyeon pun menghilang bagai kabut, tinggalkan Sehun yang bertanya-tanya akan sikap anehnya. Walau begitu, Sehun sangat berterima kasih pada Kim Junmyeon—penyelamat ponselnya.

 

***

 

“Apa? Ibu dan Ayah akan menginap di Busan selama seminggu?”

Rahang Sehun hampir jatuh mendengar penuturan ibunya. Sungguh, ia bisa gila ditinggal sendirian di rumah.

“Iya. Kau tidak apa-apa, kan, kami tinggal sendiri?”

“Yang benar saja, Bu!”

“Nanti Ibu akan menyuruh pembantu untuk menjaga rumah di siang hari selagi kau pergi sekolah, malamnya—”

“Ibu!”

“Sayang? Mobilnya sudah siap. Kita bisa terlambat.” Itu Tuan Oh, ayah Sehun. “Nah, Sehun. Ayah percayakan rumah ini padamu. Jaga baik-baik, ya?”

“Sehunie, Ibu pergi dulu, ya? Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa makan yang banyak.”

Dan mereka sudah pergi sebelum Sehun sempat berkata atau lebih tepatnya merengek layaknya anak kecil yang meminta dibelikan mainan. Oh, bagaimana Sehun akan melalui malam-malam yang seram itu??

Sehun sendiri pun tak tahu.

 

***

 

Sehun melambaikan tangan kepada seorang ahjumma yang sudah berbaik hati menjaga rumah, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dan menungguinya mandi hingga akhirnya harus pulang tepat pukul enam sore. Sungguh, Sehun harap ahjumma itu mau tinggal lebih lama—bahkan kalau perlu ia tidak usah pulang. Tapi ternyata, ahjumma itu juga punya keluarga yang menunggunya di rumah. Well, sekekanakan apa pun Sehun, ia tahu sampai sebatas apa ia bisa bersikap keras kepala dan manja.

“Hati-hati, Ahjumma! Besok jangan lupa ke sini lagi~”

Perlahan tapi pasti penglihatan Sehun tak dapat menangkap sosok ahjumma itu. Mungkin sudah saatnya Sehun masuk ke rumah dan mengerjakan PR. Well, mengerjakan PR akan jauh lebih baik dibanding berdiri di luar seorang diri, bukan?

Sehun mengerjakan PR-nya. Ya, ia melakukannya. Tapi, ia terus waspada terutama pada suara-suara aneh yang mengganggu pikirannya. Yeah, suara sekecil apa pun patut dicurigai ketika kau sedang sendiri—atau lebih tepatnya kau menjadi jauh lebih waspada ketika seorang diri.

Jam digital di kamar Sehun menunjukkan pukul 10 malam. Ini sudah lewat dari waktu tidurnya. Mungkin..Sehun harus pergi tidur sekarang? Oh, atau mungkin tidak. Ia bisa makan dan menonton tv hingga pagi. Jadi, ia tidak perlu tidur. Ya, Sehun pikir itu jauh lebih baik.

Maka, Sehun pun bangkit dari kursi belajarnya. Sambil membawa ponsel dan menyalakan tiap saklar lampu yang ditemuinya, Sehun berjalan menuju dapur. Ia mengambil beberapa makanan yang sudah disiapkan ahjumma lalu berjalan menuju ruang tengah—tempat di mana tv besarnya berada.

Sehun menyalakan tv, mencari-cari saluran dengan acara terbaik yang bisa ia tonton di malam hari seperti ini. Tapi..

“Apa-apaan ini?!”

Semua yang Sehun lihat adalah acara uji nyali. Tak ada kartun, tak ada drama, bahkan tak ada acara gossip, atau acara masak kesukaan Kyungsoo sekalian. Sungguh, Sehun benci ini. Maka, Sehun pun mematikan tv-nya. Berjalan sambil membawa makanan menuju kamarnya—satu-satunya tempat paling aman yang ia tahu.

Satu hal yang paling Sehun syukuri, setidaknya ia punya ponsel yang tak akan mati secara tiba-tiba karena ia sudah mengisi batrainya hingga full. Sekali pun batrainya habis, Sehun punya powerbank yang akan membuat ponselnya tetap menyala. Ya, Oh Sehun sangat bersyukur atas hal itu.

“Nah, mari kita… Main game?”

Sehun mencari-cari game yang sedang asyik ia mainkan sejak kemarin. Yap, cookie run. Kali ini Sehun harus menang dan menempati posisi pertama di weekly rank. Ya, Sehun harus lakukan itu. Ia harus kalahkan Jongin yang selalu menempati posisi pertama di weekly rank.

Tepat pukul 12 malam. Sehun bisa bermata panda seperti Tao kalau ia tetap begadang. Sungguh, ia butuh istirahat. Namun, otaknya tak mengizinkan hal itu terjadi meskipun badannya memohon-mohon sekali pun. Oh, apa yang harus Sehun lakukan?

Setelah pemikiran panjang, Sehun memutuskan untuk bertanya pada Kim Junmyeon—guru matematika yang paling baik hati dan murah senyum. Sehun yakin, Kim Junmyeon punya penyelesaian yang tepat untuk masalahnya. Sama seperti Junmyeon punya penyelesaian untuk soal-soal matematika yang terkadang sangat rumit di mata Sehun.

 

Tapi..

 

Ini, kan, sudah pukul 12 malam.

 

Apa Junmyeon masih bangun??

 

“Halo? Guru Kim?” Sehun berucap ketika sadar telponnya telah diangkat oleh Junmyeon.

“Ya..? Maaf, siapa ini?”

Sehun yakin sertaus persen kalau Junmyeon sekarang sedang berada di tempat tidurnya dengan selimut meliliti tubuhnya. Well, suara Junmyeon saat mengangkat telpon menjelaskan semuanya.

“Ini Sehun, Guru Kim.”

“Sehun..? Ada apa malam-malam begini menelpon?”

“Begini.. Emmm, bagaimana memulainya, ya?”

Sungguh, jika Sehun bukan muridnya, Junmyeon sudah menutup telpon itu dan kembali ke alam mimpi. Beruntung Sehun adalah muridnya, jadi Junmyeon masih peduli dan tetap mendengarkan Sehun dari ujung telpon.

“Aku tidak bisa tidur, Guru.”

“…kenapa?”

“Di rumah tidak ada orang.”

“Oh, begitu ya?”

“Guru! Aku serius. Apa kau tidak punya penyelesaian untukku seperti kau punya penyelesaian untuk soal-soal matematika?”

Junmyeon berpikir. Mengerahkan tenaga yang masih tersisa dan sedikit nyawa yang terkumpul dalam tubuhnya.

“Begini, ya, Sehun. Biasanya, kalau aku tak bisa tidur, aku akan mendengarkan lagu atau minum susu kemudian pergi tidur. Sungguh, bantal, kasur, guling, selimut, itu terlalu menggoda untuk dipakai tidur.”

“Guru?”

“Ya..?”

“Hm, baiklah. Aku akan mencobanya. Terima kasih, Guru Kim. Maaf sud—”

“Ya, aku mengerti. Sama-sama. Kau tak usah minta maaf. Selamat malam, semoga mimpi indah.”

Dan telpon itu pun terputus tepat ketika Junmyeon mengakhiri kalimat panjang tanpa jeda itu.

Sehun melirik jam di kamarnya, sudah pukul setengah satu pagi. Pantas saja Junmyeon bersikap seperti itu. Sepertinya Sehun tak akan menelpon orang lewat tengah malam lagi. Ia sadar hal tersebut sangat mengganggu.

Yeah, setidaknya Sehun punya cara penyelesaian untuk dicoba. Minum susu, lalu dengarkan lagu. Sehun benar-benar berharap ia bisa terlelap setelahnya.

Satu gelas susu sudah Sehun habiskan. Sekarang tinggal selimuti diri lalu tidur dengan baik sambil mendengarkan lagu. Lagi-lagi Sehun bersyukur karena memiliki ponsel serba guna itu.

Sehun mencari-cari lagu lembut yang mampu membawanya pergi ke alam mimpi. Setelah memastikan lagu yang akan dimainkan adalah lagu lullaby, Sehun pun menutup matanya. Terkadang ia merasakan hawa-hawa aneh atau suara-suara kecil yang mengusik pikirannya. Namun, perlahan tapi pasti, Sehun pergi ke alam mimpi. Tinggalkan semua beban yang membuatnya takut untuk tinggal sendirian di rumah.

 

Well, lagi-lagi Sehun jatuh untuk ponselnya.

 

Satu yang selalu menemani Sehun walaupun tak ada seorang pun yang bisa menemaninya.

 

Dan Sehun tahu satu hal lagi tentang ponselnya.

 

Ia terus bernyanyi hingga Sehun tertidur dan terbangun lagi di pagi harinya.

 

***

 

Satu minggu telah Sehun lalui dengan baik. Walau terkadang ia masih takut untuk pergi ke kamar kecil ketika malam hari. Yeah, Sehun banyak belajar dari seminggu yang berat itu. Omong-omong, hari ini adalah hari kepulangan orang tua Sehun. Namun, apa ini? Mengapa Sehun tampak murung seperti itu??

“Sehun! Ibu sud—”

Nyonya Oh menghentikan ucapannya ketika mendapati Sehun sedang duduk tak berdaya di lantai kamarnya sambil memegangi ponselnya. Sehun menoleh, memperlihatkan wajah tersuram yang ia punya.

“Ibu, ponselku mati.”

Perlahan Nyonya Oh menghampiri putranya, “Mungkin batrainya habis?”

“Sudah kuisi hingga full, Bu. Tapi, tetap saja tak bisa menyala.” Sehun bertutur penuh keputus asaan.

“Sudah coba lepas batrai lalu nyalakan lagi?”

Sehun mengangguk lemas, tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk membuat ponselnya menyala.

“Bagaimana kalau kita ke service center? Kita pastikan ada apa dengan ponselmu.”

 

***

 

“Sebaiknya ponsel ini ditinggal dulu di sini. Teknisi kami akan memeriksa mesin serta tombol power pada ponsel ini. Mungkin akan memakan waktu tiga sampai empat hari.”

Kata-kata itu terus terngiang di telinga Sehun. Tiga sampai empat hari tanpa ponsel? Sungguh. Itu bukanlah ide bagus. Tapi, apa daya? Orang tua Sehun tak akan semudah itu langsung membelikan Sehun ponsel baru ketika ponsel lamanya mati dan tak mau menyala lagi. Yeah, Sehun berdoa agar ponselnya tak dapat diperbaiki hingga akhirnya mau tak mau orang tuanya akan membelikannya ponsel baru. Pastinya Sehun sendiri akan meminta dibelikan ponsel keluaran terbaru.

Well, satu dua hari Sehun masih mampu bertahan. Namun, di hari ketiga, Sehun mulai frustasi. Beruntung ia sedang libur sekolah karena kakak kelasnya sedang melangsungkan ujian, sehingga ia tak begitu membutuhkan ponsel. Tapi, tetap saja. Walau ada laptop, wi-fi, tv, komputer, dan alat elektronik lainnya yang menemani Sehun, ia merasa kurang kalau tak ada ponsel di sampingnya.

Ya, Sehun membutuhkan ponsel. Tak peduli jika orang tuanya akan membelikan ponsel keluaran terbaru atau pun ponsel lamanya berhasil disembuhkan oleh para teknisi di service center. Sehun sudah pasrah. Yang jelas, kini Sehun butuh ponsel yang bisa ia gunakan untuk berkomunikasi dengan teman-temannya, membuka social media, berselancar di internet, hingga mencari jawaban dari soal-soal rumit yang menjadi PR-nya. Sehun sangat, sangat, sangat membutuhkan ponselnya.

Maka, malam itu Sehun memohon pada Tuhan.

“Apa pun jalannya, entah itu ponsel keluaran baru yang orang tuaku belikan atau ponsel lamaku berhasil sembuh. Yang jelas, aku butuh ponsel. Tuhan, kumohon. Kabulkan permintaanku ini.”

Lalu, Sehun tertidur. Berharap segalanya akan membaik keesokan harinya.

 

***

 

“Sehun? Ayo ma—” Kalimat Nyonya Oh terpontong, manakala ia melihat putranya sedang terbaring di tempat tidur sambil menatap kosong langit-langit kamarnya. “Sehun, ayo makan.”

Sehun hanya menoleh sedikit, lalu berkata, “Aku tidak lapar.”

“Kau bahkan belum sarapan. Ini sudah siang Oh Sehun.”

“Tapi aku tidak lapar, Bu.”

Sehun kemudian membalikkan tubuhnya, membelakangi sang ibu yang berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Nyonya Oh tak habis pikir kalau anaknya akan melakukan aksi mogok makan hanya karena tak dibelikan ponsel baru.

“Sehun! Apa kau begini karena ponsel? Sungguh, Ibu tak habis pikir kalau kau tak mau makan hanya karena ponsel.”

Sehun hanya diam, tak ingin menanggapi ucapan ibunya.

“Dengar, ya? Ibu itu bukan bank atau pabrik yang memproduksi uang. Ibu tidak mungkin mem—”

Sehun bangkit, lalu beranjak keluar dari kamarnya, melewati Nyonya Oh begitu saja. Sehun tak peduli jika ucapan ibunya itu masih memiliki kelanjutan. Toh, ia yakin kalau ibunya akan berkata kalau ia tak akan membelikannya ponsel baru. Maka, Sehun menuruni tangga. Melangkahkan kaki menuju ruang makan.

 

***

 

Ini hari Sabtu dan Sehun rasa ia tak memiliki masalah dengan hari tersebut. Ia harap, sebuah keajaiban akan muncul, membuat ponsel yang selama ini ia rindukan muncul di hadapannya.

Well, Sehun tahu kalau pihak service center belum mengabarinya. Tapi, ia tetap berniat untuk datang ke sana menanyakan keadaan ponselnya. Ya, Sehun sudah tidak tahan dengan kondisi di mana ia tak bisa memainkan game kesukaannya dan membuka SNS seperti biasanya.

Maka, Sehun memberanikan diri untuk bertanya pada salah satu staf di sana.

 

“Ah, ponsel itu sudah selesai diperbaiki sejak kemarin.”

 

Sungguh, manik Sehun membulat. Mungkin karena apa yang diucapkan oleh salah satu staf service center itu terlalu sulit untuk dipercaya hingga terasa tidak nyata.

“Ini. Silakan diperiksa kembali.”

Sehun memegang ponsel yang lama tak dijumpainya. Ponsel itu menyala, dan Sehun sangat senang akan hal itu.

Setelah menyelesaikan administrasi, Sehun buru-buru kembali ke rumahnya. Ingin menyeting ulang ponselnya—karena semua data yang ada di ponselnya hilang ketika diperbaiki.

Yeah, Sehun mencintai ponselnya.

 

Satu yang telah berubah menjadi kebiasaan.

 

Satu yang bila hilang akan terasa kurang.

 

 

END

 

 

A/N: Alohhaaa, aku nongol lagi setelah sekian lama bertapa (?) > < Ga nyangka kalo kehidupan SMA bakal sesibuk ini sampe hampir ga ada waktu buat lirik oppa dan draft-draft fanfict yang udah ngendap berabad-abad :3

Well, ff ini adalah bentuk rasa dukacita aku karena satu-satunya hp aku harus masuk service center buat beberapa hari, dan sumpah itu lama. Yang bikin gila itu ga ada hp nganggur dan bener di rumah ((intinya hp nganggur di rumah mati nyala mati nyala semua)) sampe rasanya aku mau nangis gegara ga berdaya tanpa hp. Jadi, jangan salahkan aku atas cerita dan judul yang agak (?) ehem ini.

Berhubung note ini udah agak menyimpang ke curhat, jadi akhiri saja di sini :3 Thank you very very much for RCL. I love you so much as Sehun love his phone :* {}

 

 

 


[FREELANCE] A Shoes

$
0
0

a shoes

Title      : A shoes (MeyHun Couple the series)

Cast      : Oh Sehun (EXO) & Meylan Lee (OC)

Other’s: All EXO members

Genre   : Romance, Fluff

Rating  : PG

Length : Ficlet

Author: Yeoja Kimchi

 

“Kau yakin Meylan akan menyukainya?” tanya Chen sewaktu menemani Sehun berbelanja sepatu di sebuah tempat perbelanjaan ternama di Tokyo.

Saat ini para personil EXO sedang berada di Tokyo untuk menghadiri acara pernikahan salah satu pegawai SM-Ent sekaligus menampilkan performa mereka, lebih tepatnya performa para vocal-line dalam acara pernikahan yang akan dilaksanakan nanti malam.

 

 

Sambil menunggu waktu malam, beberapa personil EXO berjalan-jalan di sekitar hotel tempat mereka menginap yang cukup strategis karena dekat dengan tempat perbelanjaan juga café dan restoran terkenal.

Sementara Luhan menemani Xiumin mencoba berbagai macam jenis sushi di sebuah resto dekat dengan taman kota, Chen menemani Sehun yang kini sama-sama bingung membelikan oleh-oleh apa untuk Meylan, kekasih Sehun.

“Kau ini kekasih macam apa, sih? Masa selera Meylan saja tidak kau ketahui.” Sindir Chen yang kemudian melirik deretan high heels dengan harga selangit dihiasi dengan pernak-pernik dengan warna yang mencolok.

“Aku hanya tahu satu, seleranya sangat high class. Bahkan terkadang apa yang ia kenakan lebih mahal daripada apa yang kukenakan.” Jelas Sehun yang sejak tadi melirik sebuah sneakers berwarna ungu dengan harga yang harusnya bisa membeli dua potong jeans termahal yang sedang diincarnya kini.

“Belikan ini saja…” tunjuk Chen pada sebuah pantofel dengan warna cream yang sangat senada dengan warna kulit Meylan.

“Kau yakin dia akan menyukainya?”

“Entahlah, harganya terlalu miring tapi, hehehe…”

“Diskon tiga puluh lima persen? Bahkan membeli kaos kaki saja dia tidak mau yang diskonan.”

“Kau salah memilih yeojachingu tampaknya.”

“Anii, meskipun hidupnya terlewat elite, ia tak pernah meminta hal yang macam-macam padaku.”

“Jinjja? Semua yang ia pakai hasil dari jerih payahnya sendiri selama jadi penyiar radio? Imposibble.

“Awalnya aku juga tak percaya, hyung. Tapi, memang begitulah dia, asal kau tahu saja, demi mendapatkan apa yang ia inginkan, ia rela menjual kembali barang-barangnya via online. Dan kau tahu? Itu akan laku terjual dengan harga yang sangat tinggi.”

“Mwo? Bagaimana bisa?”

“Ia menjualnya sambil menjual namaku juga.” Tutur Sehun malas.

“Maksudmu?”

“Siapa yang tak mengenalnya? Yeojachingu dari seorang maknae EXO, apapun yang ia kenakan dan dijual online selalu dikatakan bahwa ini pernah kupakai saat kencan bersama Sehun disini, menghadiri acara ini bersama Sehun disana dan masih banyak lagi kebohongan yang ia ciptakan.” Jelas Sehun panjang lebar lalu akhirnya membawa sepatu pilihan Chen ke kasir.

“Kau akan mengambilnya?”

“Aku tidak akan sanggup membeli wedges di sebelah sana.”

“Berapa harganya?”

“Bahkan kalau kau membeli album kita sampai ratusan keping, itu jauh lebih mahal lagi.”

“Hahaha… setelah ini kau harus mentraktirku sebagai ucapan terima kasih atas sepatu pilihanku.”

“Baiklah, dua cangkir teh hijau kurasa cukup.”

“Hanya itu?”

“Kau tahu tidak? Meskipun diskon, sepatu ini harganya nyaris sama dengan kacamata milik Kris hyung yang dibelikan oleh calon tunangannya di Paris, hyung!” bisik Sehun lalu membayar sepatunya dan keluar disusul Chen dengan cengiran lebarnya.

#

“Kau menyukainya?” tanya Sehun saat sedang berdua dengan Meylan di sebuah café tempat biasa mereka bertemu.

“Lumayan.”

“Hanya itu?”

“Apakah ini merk branded? Berapa harganya?”

“Apakah kau perlu mengetahuinya?”

“Siapa tahu aku akan menjualnya dengan harga lebih.”

“Untuk apa? Sesuatu yang lebih mahal lagi?”

“Tentu saja.”

“Ini pemberian pertamaku dan kau tak boleh menjualnya. Sekalipun kelak kau jatuh miskin!” tegas Sehun.

“Aku berbohong, mengapa kau sangat sensitif dengan hal itu, hm?” Meylan memajukan duduknya, menyetarakan tatapan matanya dengan tatapan mata milik Sehun.

“Tsk… hei… jangan bilang ini kalung yang kau bicarakan dua hari yang lalu via telepon. Hanya ada dua di Korea.” Sehun kemudian mengalihkan pandangannya ke leher jenjang milik Meylan.

“Tentu saja, butuh waktu tiga jam untuk berebut mendapatkannya dengan harga tertinggi. Kujual tiga pasang wedgesku dan empat mini dressku untuk mendapatkannya.”

“Astaga…”

“Gayoung sampai menangis melihat akulah orang pertama yang membelinya.”

“Mwo?”

“Cantik sekali, kau suka?”

“Ya, kau selalu cantik di mataku meski tidak mengenakan benda mahal seperti itu.”

“Aku tahu, aku hanya ingin semakin menguatkan pesonaku saja.”

“Kau buat kebohongan apa lagi dengan hasil jualanmu?”

“Tidak ada, baru mempost-nya dan lima menit kemudian, seorang EXO fans dari Brazil membeli semua sepatuku.”

“Jinjja?”

“Ne, dressku juga esok harinya langsung di­-booking oleh perancang pakaian ternama dari Indonesia. Katanya akan dijadikan inspirasi untuk karya terbarunya.”

“Sudah merasa senang setelah menjual semuanya?”

“Belum, ada sebuah tas keluaran terbaru dari Louis Vuitton. Aku harus memilikinya, aku berniat menjual cincin dan gelangku yang lama sudah tak terpakai, tapi kurasa masih kurang. Menurutmu apalagi yang harus kujual?”

“Hentikan, sayang. Kau bisa meminta padaku, tak perlu menjual semua barang-barangmu. Kau ini benar-benar tergila-gila dengan barang mahal, ya?”

“Tenang saja, selama masih ada barang layak pakai yang bisa kujual, aku tak akan meminta apapun darimu. Dan sepatu ini… jeongmal gomawo chagiya~ aku sangat menyukainya, aku berbohong soal ‘lumayan’ itu. Hehe.”

“Jangan kau jual!”

“Iya cerewet! Ayo kita pulang, aku harus membuka lemariku lagi untuk mencari barang bagus yang bisa kujual.”

Sehun hanya bisa memutar kedua bola matanya saat Meylan berdiri lalu menarik lengan Sehun dan merangkulnya protektif. Yeoja macam apa yang ia pacari saat ini? Mengapa ia benar-benar maniak dengan barang-barang branded dan memiliki harga yang terlewat dari batas normal harga barang kebanyakan.

 

END


[FREELANCE] Heart’s Secret

$
0
0

IMG_20140324_194610

Title : Heart’s Secret

Author : utheviez a.k.a Shin Sungyoung (@light2469)

Editor : Charismagirl

Credit poster : vanflaminkey91 (@whitevenus_4 ) | http://cafeposterart.wordpress.com

Main Cast(s) :

  • Byun Baekhyun
  • Lee Heeyeon
  • Park Chanyeol

Support Cast(s) :

  • Shin Sungyoung
  • Kim Jongin
  • EXO

Genre : Romance, friendship, little-bit sad

Rating : General

Length : Oneshot

Disclamer : This story is mine. Inspired by my friend’s story.  Also posted on another site with same title and authors name.it’s not a plagiarism issue.

Author’s Note : It’s my first Korean fanfiction. Sorry for bad story.

Summary :  Aku tidak bias egois meskipun aku sangat imgin. Aku boleh saja tersakiti, asal Heeyeon tidak. –Byun Baekhyun.

 

Happy Reading

Baekhyun masih setia berdiri di balik bingkai jendela ruang latihan EXO dalam gedung SM Entertainment, sesetia rintik hujan yang terus saja mengguyur kawasan Gangnam sore itu. Jadwal latihan EXO sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Tapi dia masih enggan untuk beranjak pergi, kendati yang lainnya—member EXO dan managernya—sudah beranjak meninggalkan ruangan itu sejak 30 menit yang lalu. Meninggalkan Baekhyun yang entah kenapa menolak diajak pulang ke dorm mereka.

Matanya yang sayu menatap tiap rintik hujan dengan kosong. Detik jam di salah satu sisi ruangan menjadi satu-satunya suara—yang entah bagaimana—membuat aura sendu semakin memancar dari dalam diri baekhyun. Berkali-kali pemuda tampan itu menghela napas. Sampai sebuah suara—

“Aku baru tahu kalau melamun selama itu menjadi hobimu sekarang, Baek.”

—menginterupsi kegiatannya.

Refleks, Baekhyun menoleh ke arah pintu—arah suara itu berasal. Disana, teman sekamarnya—Park Chanyeol—tengah bersandar pada salah satu sisi pintu engan tangan terlipat di depan dada. Kedua mata bulatnya menatap Baekhyun dengan pandangan—yang Baekhyun rasa—menyelidik.

Baekhyun mendengus. Tapi tetap tidak beranjak dari tempatnya.

“Ini bukan kali pertama aku melihatmu seperti ini sejak kepulanganmu dari Bucheon, Baek. Jujur saja, melihat partnerku seperti ini, membuatku kurang bersemangat beraksi—menjahili member EXO lain.”

“Aku tidak apa-apa, Yeol. Sungguh.”

Kali ini giliran Chanyeol yang mendengus. Chanyeol tahu sahabatnya itu berbohong. Oh, ayolah, Chanyeol sudah menjadi sahabat pemuda itu sejak mereka masih trainee. Meskipun persahabatan mereka tidak selama yang lainnya—sebut saja Jongin dengan Taemin—tapi bagi Chanyeol, umur persahabatan mereka cukup baginya mengenali Baekhyun luar dalam. Perlahan, Chanyeol mendekat, lalu menepuk bahu pemuda itu pelan.

“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu. Aku mengerti jika kau memilih untuk tetap tutup mulut. Tapi suatu saat,—” Chanyeol menghela napas “—jika kau memutuskan untuk berbagi, kau harus tahu kalau aku selalu siap untuk menjadi tempatmu berbagi.”

Baekhyun menatap Chanyeol sendu. Entah mengapa, ada bagian dirinya yang berdesir setelah mendengar penuturan Chanyeol—yang ia yakini—tulus itu.

“Terima kasih, Yeol. Tapi aku hanya merindukan orang tuaku. Menginap dua malam disana, tidak cukup mengobati rinduku pada mereka. Aku ingin bertemu mereka lagi. Hanya itu. Sungguh.”

Baekhyun mencoba tersenyum tipis. Berusaha meyakinkan Chanyeol kalau dia berkata jujur. Sejatinya, dia memang tidak sepenuhnya berbohong. Dia merindukan orang tuanya. Itu pasti. Jadwal EXO yang akhir-akhir ini makin padat, membuat intensitas pertemuan mereka—para member EXO dengan orang tuanya—semakin kecil. Tapi terlepas dari itu, ada hal lain yang membuat Baekhyun semakin sendu. Hal antara dirinya, Chanyeol, dan ‘orang itu’. Hal yang—tanpa orang lain tahu—terus mengusik pikirannya.

***

5 days ago…

Baekhyun mencoba merelaksasikan dirinya. Sebulan terakhir dirinya—dan member EXO lain—, bergelut dengan schedule super padat. Pergerakan mereka tidak pernah jauh dari siklus latihan-kerja-latiha­­n-kerja yang amat menyiksa. Bahkan, untuk tidur pun mereka harus pintar-pintar mencuri waktu. Tapi akhirnya, hari ini management memberikan mereka libur 3 hari penuh sebelum mereka harus bergelut kembali dengan rutinitas sialan itu.

Baekhyun tentu memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Ia langsung minta izin pada managernya untuk pulang ke rumah orang tuanya di Bucheon, Provinsi Gyeonggi. Tak peduli jika dia hanya bisa menginap barang satu sampai dua malam disana. Rasa rindunya pada mereka sudah tidak bisa dibendung lagi. Ia hampir saja melonjak kegirangan saat managernya menberi izin—plus membiarkan Baekhyun meminjam mobilnya dan mengendarainya sendiri. Baekhyun harus berterima kasih pada lisensi mengemudi miliknya. Tanpa benda tipis itu, managernya tak akan pernah memberinya izin pergi sendiri. Ia berani bertaruh untuk itu.

Mobil—manager—Baekhyun memasuki kawasan Bucheon ketika hari beranjak petang. Ketika sedan hitam itu mengambil arah kiri di sebuah pertigaan, mata Baekhyun menangkap sosok seseorang yang dikenalnya berdiri di depan sebuah kedai ramyeon. Ia memicingkan mata. Memperjelas pandangannya agar segera mengetahui, siapa sosok familiar itu.

Lee Heeyeon.

Darah Baekhyun berdesir cepat. Kakinya mendadak lemas. Lidahnya kelu. Kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Sosok itu, sosok gadis ketua kelas di tahun terakhirnya di SMA. Sosok itu, sosok gadis yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali.

Seperti terbangun dari mimpi saat seketika Baekhyun tersadar. Dengan cepat Baekhyun menepikan mobilnya ke tepi—tepat didepan kedai ramyeon itu. Dengan tergesa, pemuda itu memakai topi dan masker hitamnya—well, Baekhyun tidak mau identitasnya sebagai pubic figur terungkap disini—lalu turun dan menghampiri gadis itu.

A—annyeonghaseyo, Ketua kelas.”

Setelah berusaha meredakan detak jantungnya yang bergemuruh, akhirnya Baekhyun berhasil menyapa gadis di depannya. Ia sengaja menggunakan jabatan Heeyeon sewaktu sekolah. Sedikit menekan gadis itu agar mengingatnya. Mengetahui nama seluruh anggota kelasnya adalah tugas seorang ketua kelas kan? Apalagi mengetahui nama siswa macam Baekhyun, yang sejak masa itu sudah cukup terkenal di lingkup sekolah mereka.

Gadis itu menoleh. Dan nampak sedikit terkejut, mendapati seorang pemuda berdiri tepat dihadapannya dengan penyamaran seadaanya. Kendati demikian, gadis itu tahu kalau pemuda di hadapannya itu adalah Byun Baekhyun—Baekhyun menurunkan maskernya, asal tahu saja.

A—annyeonghaseyo, B—Byun Baekhyun-ssi.

Gadis itu tersenyum kecil, menampilkan eye smile dari gadis berlesung pipi itu. Meskipun eye smile gadis itu tidak sesempurna milik Tiffany—sunbae Baekhyun di agensinya—tapi Baekhyun mengakui kalau eye smile gadis itu cukup mempercepat detak jantungnya.

“Ah, kau mengingatku? Senang sekali rasanya.”

Baekhyun, balas tersenyum. Ah, Baekhyun juga memiliki eye smile. Satu kesamaan yang entah mengapa membuatnya … senang.

“Ah, I—itu… N—ne—,”

Heeyeon tersenyum canggung. Entah mengapa pertanyaan Baekhyun justru membuatnya keki. Mereka pernah satu kelas, jelas saja Heeyeon mengingatnya. Haruskan ia mengatakan bahwa

“—lagipula, siapa yang tidak mengingatmu. Byun Baekhyun si tampan yang jadi idola sekolah.”

Baekhyun terbelalak. Benarkah apa yang ia dengar dari mulut gadis itu? Gadis itu mengatakan bahwa Baekhyun err —tampan?

“I—itu… Setidaknya itu yang kudengar dari beberapa penggemarmu di sekolah dulu.”

Heeyeon menunduk, menyembunyikan rona merah yang muncul di pipinya yang putih.

“Ah, N—ne. Terima kasih.” Baekhyun mengusap tengkuknya. Ia bingung harus bagaimana.

“Bagaimana kalo kita makan dulu? Aku tahu kedai tteokbeokki yang enak disekitar sini. Aku traktir, setelah itu aku akan mengantarmu pulang. Otte?”

Baekhyun merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ayolah, mereka dulu tidak terlalu akrab. Tapi bagaimana bisa Baekhyun bisa mengajaknya makan seakan-akan mereka itu teman la—Oh, Baiklah. Mereka memang teman sekelas. Tapi mereka jarang berinteraksi diluar urusan sekolah dan pelajaran —kecuali kalau kegiatan Baekhyun mencuri pandang ke arahnya bisa disebut sebagai interaksi.

“Tidak perlu repot-repot, Byun Baekhyun-ssi. Tapi a—”

“Berhenti bersikap formal padaku, Ketua kelas. Bukankah kau ingat kalau kita teman sekelas. Kupikir kita bisa bersikap seperti layaknya err —teman akrab, mungkin?”

Baekhyun kembali merutuk dalam hati. Teman akrab? Yang benar saya. Haruskah Baekhyun kursus pada Kyungsoo untuk mengontrol bicaranya. Semoga saja gadis itu tidak berpikir kalau dirinya—Baekhyun, adalah orang yang aneh.

“Baiklah. Asal kau berhenti menggunakan embel-embel ketua kelas saat memanggilku. Bagaimana err —Baekhyun-a?”

Baekhyun nyaris melompat saking senangnya. Ah, Baekhyun pikir, dia tidak perlu berguru pada Kyungsoo. Ia rasa, body controlnya semakin membaik.

“Tentu. Jadi, mau makan bersama, Heeyeon-a?”

****

Dan disinilah mereka sekarang, duduk berhadapan di sudut kedai tteokbeokki. Jangan salahkan Baekhyun mengapa ia mengambil tempat disudut. Justru dia sangat berterima kasih karena kedai ini hanya menyisakan satu tempat kosong di sudut yang—syukurnya—agak temaram. Jadi Baekhyun bisa melepas maskernya, tanpa khawatir orang-orang akan mengenalinya sebagai Baekhyun, sang main vokal EXO-K.

Dua piring tteokbeokki dan dua cangkir teh hijau hangat menemani obrolan santai mereka. Sungguh, Baekhyun tak pernah menyangka jika mengobrol dengan Heeyeon akan semenyenangkan ini. Salah Baekhyun juga yang terlanjur meng-underestimate gadis di depannya dengan berpikir, bahwa Heeyeon adalah gadis yang pendiam. Well, sebenarnya itu bukan sepenuhnya salah Baekhyun. Ia jarang melihat Heeyeon ikut berkumpul beberapa gadis di kelasnya. Baekhyun tahu Heeyeon lebih suka duduk ditempatnya sambil membaca sebuah buku—yang tidak Baekhyun ketahui, buku apa itu. Tapi bukan berarti Heeyeon itu gadis anti-sosial.

Pernah suatu hari—jauh di awal tahun ketiga mereka di sekolah, Kornea mata Baekhyun menangkap Heeyeon tertawa bersama beberapa gadis dikelasnya. Tawanya memang biasa, tapi —bagi Baekhyun— tawa Heeyeon terasa istimewa. Itulah kali pertama jantung Baekhyun berdetak cepat untuk seorang gadis. Dan selanjutnya, semakin lama ia sekelas dengan gadis itu, semakin banyak hal yang membuatnya terperangkap dalam pesona seorang Lee Heeyeon.

Baekhyun semakin tenggelam dalam obrolannya dengan gadis itu. Membiarkannya tertawa karna lelucon yang dilontarkan Baekhyun. Baekhyun hanya ingin melihat dan mendengar tawa gadis itu. Itu saja. Sampai akhirnya—,

“Apa kita benar-benar berteman sekarang, Baek?”

Baekhyun menatap gadis didepannya sebentar. Lalu meneguk teh hijaunya sedikit sebelum akhirnya menjawab.

“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”

“Tidak. Hanya saja, kau seorang public figur sedangkan aku—”

“Cukup, Heeyeon-a. Aku tahu arah pembicaraanmu. Dengar —,” Baekhyun menghela napas,”—aku mungkin seorang public figur, tapi selama aku terikat kontrak dengan agensiku, tak pernah ada orang yang melarangku berteman dengan siapapun. Lagi pula, kau bukan orang baru dalam hidupku. Aku mengenalmu sebelum aku bertemu dengan pihak agensiku. Kau mengerti?”

Heeyeon tersenyum lalu mengangguk. Ah, betapa Baekhyun sangat merindukan senyuman itu. Satu tahun masa trainee-nya ditambah 2 tahun lebih pasca debutnya membuat ia jarang kembali ke kampung halamannya, apalagi untuk melihat paras gadis—yang ingin sekali Baekhyun klaim sebagai milik—nya.

“Baek, kudengar kau paling dekat dengan Chanyeol di antara semua member? Benarkah?”

“Apa kau seorang fans? Kau tahu sekali akan hal itu? Kau bukanlah fans fanatik yang berpura-pura terlihat seperti kenalan biasa kan?”

Mata Baekhyun mengerling jahil.

“Mwoya! Itu jelas bukan gayaku.”

Baekhyun mengernyit. Demi Tuhan. Baekhyun hanya bercanda, tapi reaksi gadis ini berlebihan sekali—Heeyeon melemparkan gumpalan tissue ke arah Baekhyun.

“Melihat reaksimu, aku jadi semakin yakin kalau dugaanku benar.”

“YA! Byun Baek—,”

“Arraseo. Aku hanya bercanda tadi. Tapi bisakah kau tidak berteriak saat menyebut namaku? Aku tidak ingin terlibat skandal gara-gara hal ini.”

Baekhyun buru-buru memotong teriakan gadis itu. Membuat Heeyeon mengerucutkan bibirnya. Merajuk dan terlihat imut—menurut Baekhyun.

“Jadi, kenapa tiba-tiba kau menanyakan kedekatanku dengan tiang listrik itu?”

Seketika Heeyeon tersenyum. Iris coklatnya terlihat berbinar—antusias.

“Jika memang kau dekat dengannya, bisakah kau mengenalkanku padanya, Baek? Jujur saja, dia member yang paling kusuka di grup—”

Uhuk uhuk.”

Telak! Baekhyun tersedak sepotong tteokbeokki yang baru saja ia makan.

“—uh, Baek. Gwenchana?”

Heeyeon buru-buru menyodorkan minuman pada Baekhyun—yang langsung diterima dengan segera.

“Apa ada yang salah dengan ucapanku, Baek? Kenapa reaksimu berlebihan sekali?”

Heeyeon mencoba bertanya sementara Baekhyun masih sibuk meredakan batuknya sambil mengelus dada.

Baekhyun melahap sepotong tteokbeokki dengan pelan —Baekhyun tidak mau terlihat konyol gara-gara tersedak tteukbeokki dua kali.

“Kau bilang kau bukan fans fanatik yang menyamar. Tapi sekarang kau bilang kau paling menyukai Tiang Listrik itu di antara semua member. Lalu apa bedanya kau dengan fans-fans kami di luar sana.”

Baekhyun mati-matian menjaga emosinya. Berusaha agar nada bicaranya tidak terdengar seperti seorang pria yang err—cemburu mengetahui kekasihnya justru lebih menyukai pria lain. Yang benar saja?

“Aku memang bukan fans fanatik. Tapi bukan berarti aku tidak boleh menyukai salah satu dari kalian kan?”

“Tentu saja tidak boleh!”

“Eh, K—kenapa?”

Lagi. Baekhyun kelepasan. Melarang Heeyeon menyukai salah satu member EXO? Baekhyun pasti terlihat seperti pria yang posesif sekarang.

“I—itu.. I—itu—”

Sial! Lidah Baekhyun mendadak kelu.

“I—I—itu artinya kau juga seorang fans.”

“Baiklah. Aku memang seorang fans. Tapi aku bukan fans fanatik. Aku tidak mau kau menyamakanku dengan ssasaeng fans di luaran sana. Jadi, sekarang aku boleh menyukai salah satu member kalian kan, Baek?”

“T—tentu. Tapi kenapa harus Chanyeol. Apa bagusnya Tiang Listrik itu?” Ucapnya kesal.

“Astaga, Baek! Kau harus tau, Chanyeol itu tampan sekali, dia rapper terkeren yang pernah aku lihat. Dia juga tinggi, dan—”

—dan hari-hari Baekhyun di Bucheon terasa menyebalkan.

 

******

Baekhyun tidak mungkin menceritakan apa masalahnya pada Chanyeol. Karena—secara tidak langsung—pria tinggi itulah penyebabnya.

“Ngomong-Ngomong, kau belum pulang, Yeol? Kupikir kalian sudah meninggalkan gedung ini sejak 30 menit yang lalu.”

Chanyeol mendengus, Baekhyun sedang mencoba mengalihkan pembicaraan, ia tahu itu. Tapi ia tak menyangkal. Biarlah teman sekamarnya ini menyimpan masalahnya untuk sementara. Toh, suatu saat nanti, dia pasti akan menceritakan semuanya. Segera Chanyeol memasang senyum konyol—yang membuatnya mendapat julukan Happy Virus EXO—nya.

“Aku berniat mengambil ponselku yang—entah kenapa—bisa tertinggal disana.—”

Chanyeol menunjuk ponsel hitam miliknya yang—baru Baekhyun sadari—tergeletak di pojok ruangan.

“—Begitu teringat kalau kau masih ada disini, aku mencoba menghubungimu —menggunakan ponsel Joonmyun Hyung. Berharap kau membawanya pulang nanti. Tapi ternyata, kau tidak mengangkat panggilanku. Jadilah aku memaksa Manager Hyung memutar balik mobilnya—kembali kemari.”

“Oh, mian. Ponselku ku-set silent tadi. Aku tidak menyadari ada panggilan darimu.”

“Sudahlah, ayo kita pulang, Baek. Yang lain sudah menunggu dibawah.—”

Baekhyun sudah berniat menolak. Tapi Chanyeol lebih dulu menyela.

“—Dan kali ini kau tidak bisa menolak, Byunbaek. Aku bosan jika keadaan van tenang seperti di pemakaman. Kalau ada kau kan suasana jadi lebih seru.”

Chanyeol segera mengambil ponselnya di pojok, lalu menarik Baekhyun keluar dari ruangan itu. Sedangkan Baekhyun hanya bisa mendengus pasrah.

‘Mana mungkin aku bisa meramaikan suasana bila suasana hatiku saja sedang seperti ini, Bodoh’, rutuknya dalam hati.

*****

Baekhyun menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Satu pesan—dari Heeyeon— baru saja masuk.

‘Byunbaek, aku sudah kembali ke Seoul hari ini. ^^ Bisakah kau mengabulkan permintaanku—tentang­­ Chanyeol— di kedai tteokbeokki waktu itu? Jebaaal.. /bbuingbbuing/’

Ah, iya. Heeyeon melanjutkan study-nya di salah satu Universitas ternama di Seoul. Pertemuannya dengan Heeyeon di Bucheon kala itu memang suatu keberuntungan karena Heeyeon juga tengah berlibur.

Baekhyun mendengus. Pesan Heeyeon lagi-lagi membuat suasana hatinya kacau. Baekhyun bisa saja menolak permintaan gadis itu. Tapi tidak—Baekhyun bukan tipe pria egois. Ia ingin membuat Heeyeon senang. Ia tahu ini menyakitkan. Tapi biarlah. Baekhyun lebih memilih tersakiti dari pada membuat Heeyeon sakit. Baekhyun boleh sakit. Tapi Heeyeon tidak.

Klek klek..

Pintu kamar Baekhyun terbuka, lalu segera ditutup tak lama kemudian. Teman sekamarnya—Chanyeol—­­rupanya baru selesai mandi. Terlihat dari handuk kecil yang tersampir dibahunya serta tetes air dari rambutnya yang basah . Tanpa banyak berkata, pria jangkung itu langsung merebahkan tubuhnya di ranjang.

Baekhyun menatap Chanyeol datar. Mata Chanyeol terpejam. Tapi Baekhyun yakin, dia tidak—setidaknya belum— tidur. Baekhyun sudah memutuskan untuk membantu Heeyeon. Dia tahu, Heeyeon menyukai rapper EXO-K tersebut. Dan tahap awal, Baekhyun harus memberi tahu pada Chanyeol siapa itu Heeyeon. Dan dia, harus mempertemukan keduanya. Dan tahap itu, dimulai dari —,

“Ada seseorang yang ingin berkenalan denganmu, Yeol”.

—sekarang. Dan Baekhyun baru saja memulainya. Langsung. Tanpa basa-basi.

Chanyeol membuka matanya pelan.

Nugu?”

“Temanku di bangku sekolah.”

Yeoja?”

Baekhyun mengangguk. Dan itu membuat Chanyeol bangkit dan duduk ditepi ranjang. Menghadap Baekhyun dengan mata berbinar. Kentara sekali kalau pria itu sangat antusias. Dan dengan perasaannya yang kian terhempas, Baekhyun mulai bercerita semua—kecuali perasaannya—tentang Heeyeon.

****

Baekhyun tahu rasanya akan sakit ketika mengantar Chanyeol bertemu Heeyeon. Tapi bisakah gadis itu tidak menambah lukanya dengan memintanya tetap tinggal? Tak tahukah Heeyeon betapa dadanya terasa sesak tiap kali melihat Heeyeon tertawa karena lelucon Chanyeol. Baekhyun tahu, keduanya—Chanyeol dan Heeyeon—adalah orang yang talk-active. Tapi Baekhyun tak pernah menyangka mereka bisa langsung akrab secepat itu. 45 menit duduk diantara kedua—yang sama-sama mengacuhkan Baekhyun—nya, membuat Baekhyun merasa merada di neraka. Sungguh, Baekhyun berharap seseorang segera mengeluarkannya dari tempat ini sekarang—

Pipp pipp

—juga.

Fokus mata Baekhyun langsung beralih ke ponsel hitam miliknya yang tergeletak diatas meja. Secepat kilat, diraihnya ponsel itu. Setengah mati Baekhyun berharap, isi pesan itu bisa membuatnya meninggalkan cafe ini secepatnya. Tapi gerakan refleks Baekhyun yang terlampau cepat itu juga menarik perhatian dua orang lainnya.

Tak lama, seulas senyum merekah di bibir tipis pria itu. Sejenak setelah merapikan diri, Baekhyun segera bangkit.

“Mau kemana, Baek?”, tanya Chanyeol.

“Aku harus pergi, Yeol. Youngie menungguku di taman sekarang. Kalian tak keberatan jika ku tinggalkan?”.

Chanyeol mengangguk ragu, sedangkan Heeyeon tetap bergeming ditempatnya. Iris coklatnya menatap Baekhyun datar.

“Baiklah, aku pergi. Aku tidak mau membuat Youngie menungguku lebih lama.”

“Tapi, Baek—”

Mian, Yeol. Aku harus bergegas, simpan perkataanmu untuk di dorm nanti.—”

Baekhyun beralih menatap Heeyeon yang masih terdiam.

“—Heeyeon-a, Mian. Aku tidak bisa mengantarmu pulang. Tapi kuyakin, Chanyeol tak akan keberatan untuk mengantarmu nanti, iya kan, Yeol?”.

Lagi, Chanyeol mengangguk ragu.

“Baiklah, aku pergi. Dan—”

Baekhyun memejamkan matanya sebentar. Menahan sesak yang tiba-tiba merasuk ke dalam dadanya.

“—nikmati waktu kalian berdua. Sampai nanti.”

Kali ini Baekhyun langsung pergi, tanpa menoleh lagi. Tak peduli dengan tatapan penuh tanya Chanyeol maupun tatapan kosong Heeyeon yang mengarah padanya.

Denting bel mengiringi langkah kakinya melewati pintu cafe. Satu kebohongan kecil tercipta dari bibir tipisnya. Tapi Baekhyun tidak peduli. Baginya, menjauh dari mereka adalah hal yang paling penting. Baekhyun takut dirinya tidak sanggup menahan sesak melihat keakraban keduanya—Chanyeol dan Heeyeon.

Baekhyun menatap ponselnya sambil tersenyum pahit. Apanya yang penting dari pesan—

‘Oppa, aku bosan sekali saat ini.  bagaimana denganmu?’

—yang baru saja masuk ke ponselnya. Tidak ada yang menunggunya di taman.

Kalaupun ada, Baekhyun tidak akan membiarkan orang bodoh manapun menunggunya ditempat ramai seperti itu. Yang benar saja. Baekhyun tidak mau identitasnya sebagai public figur terbongkar begitu saja.

Pelan-pelan, jari lentik Baekhyun mengetik sebuah balasan—

‘Kau bosan? Bersiaplah, Nona Manis. Dalam 15 menit, aku akan menjemputmu’

—lalu mengirim ke sebuah kontak. Sungyoungie.

******

Sudah lebih dari 5 kali Chanyeol mendengar Heeyeon menghela napas dalam 10 menit terakhir—setelah Baekhyun pergi.

“Kau baik-baik saja?”

“N—ne? Ah, Iya. Aku baik-baik saja, Chanyeol-ssi. Tak ada yang perlu kau khawatirkan”.

Heeyeon tersenyum tipis. Meyakinkan Chanyeol kalau dia baik-baik saja. Tapi Chanyeol tak mudah dibohongi, ia tahu gadis itu berbohong.

“Kau. Tidak. Baik. Baik. Saja, Heeyeon-a. Kau bahkan berbicara resmi padaku. Padahal sebelumnya—ketika Baekhyun masih disini—kita sudah menggunakan banmal.”

“Benarkah? Ah, mian, Chanyeol-a. Aku rasa, akhir-akhir ini tugas kuliah membuatku menjadi sedikit pelupa.”

Heeyeon tersenyum kikuk.

“Ngomong-ngomong, apa kau tau siapa yang akan Baekhyun temui?”.

Bingo!

Tepat sasaran. Belum juga Chanyeol memastikan, gadis itu sudah mengatakannya terlebih dulu. Chanyeol sudah bisa menduga kalau penyebab diamnya Heeyeon adalah Baekhyun.

Dari awal, Chanyeol tahu, ada yang berbeda dari cara Heeyeon menatap sahabatnya. Chanyeol bisa merasakan ketertarikan gadis itu terhadap Baekhyun.

Chanyeol hanya mengangkat bahu sebelum akhirnya menjawab.

Molla. Dari sekian banyak hal yang pernah kami bicarakan, tak pernah sekalipun Baekhyun menyinggung seseorang—yang kuyakini seorang gadis—bernama Youngie. Tapi setahuku, Baekhyun bukanlah tipe pria manis yang suka memanggil seorang gadis dengan sapaan akrab semacam itu. Mungkin saja, itu Saudara perempuannya.”

“Kupikir, Baekhyun tidak punya saudara perempuan.”

“Ah, iya. Kau benar, tapi—”

Chanyeol sengaja menggantung ucapannya. Penasaran dengan reaksi gadis didepannya. Rasanya, Chanyeol ingin tertawa melihatnya. Kentara sekali kalau Heeyeon sangat penasaran dengan jawabannya. Chanyeol menyeruput mango frizz miliknya hingga tersisa setengah, meletakannya kembali di meja sebelem melanjutkan,

“—tapi bukankah tidak menutup kemungkinan kalau gadis itu adalah teman dekat—atau malah sudah menjadi kekasih sahabatku itu.”

Bahu Heeyeon merosot turun. Kelanjutan jawaban Chanyeol sedikit-banyak mempengaruhi perasaannya. Rasa sakit itu merasuk kedalam hatinya. Dan kelanjutan obrolannya dengan si Happy Virus sore itu, terasa hambar.

*****

“Bisa kau jelaskan padaku, siapa itu Youngie, Baek?”

Chanyeol langsung mengungkapkan pertanyaan yang dari tadi bercokol dalam pikirannya begitu mendapati Baekhyun duduk di tepi ranjanganya. Tapi Baekhyun bergeming. Meski demikian, Chanyeol yakin, suara pintu kamar yang ia tutup tadi, ditambah suara bass miliknya sudah memberi tahu Baekhyun mengenai keberadaannya. Tapi melihat Baekhyun yang tampak fokus melihat—entah apa—pada layar ponselnya, membuat Chanyeol berdecak sebal. Dihampirinya rekannya itu, lalu ditepuknya bahu pria itu.

Chanyeol sama sekali tak mendapati reaksi berlebihan dari Baekhyun. Pria itu sama sekali tak terlihat terkejut.

“Kau sudah pulang, Yeol? Bagaimana tadi? Apakah menyenangkan?”.

Chanyeol memutar bola matanya.

“Aku sudah sempat menanyaimu ketika masuk tadi, tapi kau sama sekali tak menghiraukanku. Dan jawaban untuk pertanyaan keduamu, Ya. Kurasa sangat menyenangkan. Sifat talkaktive dan friendly Heeyeon membuat kami cepat akrab. Sekarang, bisa kau jelaskan siapa—”

“Benarkah? Ah, sudah kuduga kalian akan cepat akrab. Menurutmu, bagaimana Heeyeon itu?”.

Baekhyun buru-buru memotng ucapan Chanyeol saat menyadari arah pertanyaan yang akan terlontar dari bibir pria jangkung itu. Sungguh, Baekhyun tidak mau membahas itu—setidaknya, jangan sekarang.

“Aku sudah mengatakannya tadi, Baek. Heeyeon itu gadis yang—”

“Bukan itu maksudku, Yeol. Apa menurutmu Heeyeon itu err—cantik?”

“Semua pria akan setuju jika kubilang dia cantik. Tapi—”

“Kau benar, Yeol. Kupikir kalian terlihat cocok—”

“YA! Byun Baekhyun, berhentilah memotong perkataanku!”

Chanyeol menghela napas sejenak. Itu kali pertama dia berbicara dengan nada sedikit tinggi dengan Baekhyun. Biasanya, pria itu yang akan memaki—bahkan tak jarang membentak—nya ketika Chanyeol berulang kali melupakan koreografi lagu mereka ketika latihan.

“Aku tak peduli meski kau berniat menghindar, Byun Baekhyun. Tapi kau sendiri yang menyuruhku menyimpan perkataanku untuk di dorm. Maka sekarang aku menagih jawabanmu. Tapi sebelumnya, bisakah kau berhenti membcirakan hal yang tidak ingin kubahas? Ada hal lain yang sangat ingin kubicarakan. Dan kita harus—”

Tok Tok Tok

Suara pintu yang diketuk, dan tak lama kemudia disusul kepala Maknae—Sehun—yang menyembul dari balik pintu, menginterupsi perkataan Chanyeol.

“Manager Hyung menyuruhku memanggil kalian. Ia menyuruh kita berkumpul diruang makan sekarang, Hyung. Ia bilang, ada hal yang perlu dibicarakan—berkaita­n dengan jadwal kita minggu ini.”

“Kau duluan saja, Sehunie. Kami akan segera menyusul.”

Mendengar ucapan Chanyeol, Sehun langsung mundur teratur lalu disusul suara debum pintu yang ditutup.

“Mungkin aku memang tidak boleh membicarakannya sekarang—dilihat dari banyak hal yang terus-menerus menginterupsi ucapanku. Tapi ingat, Byun Baekhyun!—”

Chanyeol memberi jeda dalam perkataanya sejenak—seolah memberi Baekhyun kesempatan untuk menelan ludah.

“—ingatlah kalau aku akan meminta penjelasanmu tentang hal ini—tentang Youngie. Secepatnya.”

Chanyeol memberikan penekanan pada kata terakhir. Mata bulatnya masih sempat melempar pandangan sinis pada Baekhyun sebelum meninggalkan Baekhyun yang masih terpaku.

Jujur saja, Baekhyun masih belum percaya, jika Chanyeol yang baru saja bicara—hampir ribut—dengannya adalah Chanyeol yang selama ini menjadi teman sekamarnya. Sebelumnya, Chanyeol tak pernah bersikap begitu dewasa dan tegas seperti saat ini. Baekhyun hanya bisa berharap, perubahan sikap Chanyeol, tidak ada hubungannya dengan Heeyeon, dan pertemuan mereka sore tadi. Dan Baekhyun segera beranjak dari tempatnya begitu mendengar teriakan Manajernya—menyuruhn­ya segera turun.

*****

Heeyeon baru saja keluar dari kelas terakhirnya, ketika pesan dari Chanyeol masuk ke ponselnya.

Sebulan sudah—terhitung dari pertemuan pertama mereka. Hubungan Heeyeon dengan member EXO favoritenya itu semakin dekat. Keduanya sering berkirim pesan. Membicarakan banyak hal—terutama Baekhyun. Tak jarang juga, keduanya bertemu—lagi-lagi karena ajakan Baekhyun—meski setelahnya, Baekhyun akan pergi ditengah acara dengan berbagai alasan—yang paling sering, berhubungan dengan Youngie—.

Tapi kali ini berbeda. Chanyeol sendiri yang mengajaknya bertemu. Hanya berdua.

‘Heeyeon-a, apa kau ada waktu sore ini? Ada hal yang ingin kubicarakan. Tentang Baekhyun.’

Oh, Baiklah. Kalimat terakhir dalam pesan Chanyeol memang otoriter. Heeyeon tidak mungkin menolak. Gadis itu sadar, betapa nama Baekhyun terasa sangat berpengaruh pada kehidupannya. Baik dulu, sekarang, atau mungkin nanti.

Secepat kilat, Heeyeon mengirim pesan balasan—

‘Satu jam lagi, kutunggu di kedai bubble tea dekat dorm kalian.’

—pada Chanyeol lalu lalu melangkah menuju perpustakaan kampusnya.

****

“Maaf membuatmu menunggu lama, Heeyeon-a”.

Suara kursi yang ditarik mundur berbarengan dengan suara bass seorang pria yang duduk di hadapannya, membuat perhatian Heeyeon beralih dari novel di tangannya.

Gadis itu berdecak kesal, lantas menutup novelnya.

Gwenchana. Aku-mengerti–kesibukanmu.”

Heeyeon tak bisa menampik betapa ia ingin sekali mengomel dan memaki pria dihadapannya. Menunggu satu jam lamanya seperti orang bodoh di kedai—yang hanya berjarak kurang dari 100 meter dari dorm pria itu—sendirian, membuatnya kesal. Tapi, ia berusaha untuk menghargai Chanyeol. Biar bagaimana si Jangkung itu cukup berusaha menemuinya walaupun dengan penyamaran—topi dan masker.

Heeyeon tak mungkin bisa meneriaki pria itu dengan kata-kata omelan bernada tinggi—yang bisa saja membuat identitas pria itu terbongkar. Heeyeon tidak mau berurusan dengan artis—siapapun itu— dan para fans mereka yang brutal. Tapi tetap saja, Heeyeon tidak bisa untuk tidak memberi penekanan di tiap kata yang diucapkannya. Sedikit-banyak, ia ingin Chanyeol tahu—ia benci menunggu.

Mian. Sebenarnya aku sudah akan bergegas sesaat setelah kau membalas pesanku. Biarlah nanti aku yang menunggu karna memang aku yang mengajakmu bertemu. Tapi Joonmyun Hyung malah memaksaku menemaninya berbelanja. Padahal semua penghuni dorm tahu, bulan ini giliran Jongin untuk menemaninya. Tapi Bocah Hitam sialan itu malah mendapat project sehingga harus pergi latihan bersama para dancer SM lainnya.”

Heeyeon memutar bila matanya kesal. Ayolah, Chanyeol tak perlu menjelaskan serinci itu.

“Baiklah. Tuan Park. Aku rela menunggumu selama satu jam disini karena aku ingin mendengar tentang hal yang sudah kau tulis dipesanmu tadi—tentang Baekhyun. Dan bukannya mendengarkan alasan panjangmu yang yang tak jelas itu, ditambah dengan aktifitas para member kalian.”

“Jadi kau hanya ingin mendengar tentang Baekhyun saja? Kau bahkan tidak menanyakan keadaanku—minimal memesankan aku minuman. Kau tak lihat aku tampak seperti orang di kejar setan saat kemari tadi?”

Kedua mata bulat Chanyeol mengerling jahil.

“A—aniya. B—bukan begitu maksudku.”

“Ah, sebegitu besarnya kah rasa sukamu pada sahabatku? Kau bahkan mengabaikanku—yang kata orang— jauh lebih tampan dari pada namja penggila eyeliner itu,” ucapnya percaya diri.

Sungguh, Chanyeol tidak bisa menahan untuk tidak menggoda gadis itu begitu melihat rona merah menjalar dipipi putihnya.

Mwoya!! A—aku tidak menyukainya—haha—. Sebenarnya apa yang kau bicarakan?—”

Heeyeon tersenyum kikuk. Salah tingkah.

“—Kau tunggu disini sebentar, akan ku pesankan bubble tea untukmu”.

Chanyeol menatap punggung Heeyeon yang menjauh menuju counter di salah satu sisi kedai.

‘Gadis bodoh’, pikirnya. Melihat tatapan mata Heeyeon yang sarat akan rasa sakit ketika menatap Baekhyun yang pergi ditengah pertemuan mereka selama sebulan terakhir ini membuatnya jengah. Ia tidak tega. Ia hanya ingin membuat Heeyeon membenarkan hipotesa—yang ia yakini 99% tepat—nya.

“Aku tidak tahu, selama ini, kau yang terlampau pintar menyembunyikannya atau sahabatku yang terlalu bodoh untuk menyadarinya,” sergah Chanyeol begitu Heeyeon kembali membawakan segelas Choco bubble tea ke hadapannya.

“Apa yang kau bicarakan, Chanyeol-a? Aku—”

“Tapi jika aku saja bisa langsung mengetahui perasaanmu—bahkan di pertemuan pertama kita—, pastilah karna si Byun itu terlalu bodoh—dan kelewat tidak peka. Benar kan apa yang kukatakan?”

Heeyeon terdiam. Memainkan sedetan di gelas bubble tea miliknya. Dari matanya—yang terus menerawang—bulir air mata perlahan mengalir—membasahi pipinya yang putih.

“Heeyeon-a, Kau menangis? Apa ada yang salah dengan ucapanku?”

Sedikit-banyak, Chanyeol ikut panik. Ini kali pertamanya melihat gadis itu menangis. Padahal ia sendiri tak tahu apa penyebabnya. Ia pikir, tak ada satupun bagian dari ucapannya yang—mungkin—membuat­ gadis itu menangis.

“Menurutmu, bagaimana rasanya menjadi pengagum diam-diam, Chanyeol-a?”

Heeyeon tak berniat menghapus air matanya yang semakin deras. Biarlah air mata itu menetes jika bisa mengurangi sesak dalam hatinya. Ia juga tidak menjawab pertanyaan Chanyeol—justru malah balik percaya pada pria itu.

Chanyeol diam. Sama sekali tak membalas. Ia memang tak mengerti apa yang baru saja Heeyein katakan. Tapi—entah mengapa—iya tahu, Heeyeon akan menceritakan semuanya—jawaban dari semua pertanyaan—tentang Baekhyun dan Heeyeon—dikepalanya.

“Aku tidak tahu bagaimana kau bisa mengetahui apa yang selama ini kesembunyikan. Jujur saja, aku terkejut. Aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi kurasa, tidak ada salahnya jika aku menceritakan ini padamu. Asal kau mau berjanji—”

Heeyeon memejamkan matanya sesaat.

“—berjanji untuk tidak mengatakan ini pada Byun Baekhyun.”

Bola mata Heeyeon menatap Chanyeol penuh harap. Chanyeol tidak bisa berbuat apa-apa—kecuali mengangguk ragu.

“Aku mengagumi Baekhyun jauh sebelum ia mengenalku. Di tahun pertama SMA kami, aku pernah—tak sengaja—melihatnya bernyanyi. Kala itu masih pagi. Sekolah kami masih sepi. Sudah menjadi kebiasaanku—sejak sekolah disana— untuk membaca di bawah pohon apel—di taman belakang sekolah—sebelum bel masuk berbunyi. Tapi pagi itu, —untuk pertama kalinya, aku melihat orang lain—namja—duduk bersandar di bawah pohon itu, dengan mata terpejam. Awalnya, kupikir ia tertidur, tapi begitu aku mendengarnya bernyanyi, aku langsung terpaku. Suaranya seakan menghipnotisku. Aku memutuskan bersembunyi mendengarnya sampai selesai bernyanyi. Tepat ketika bel berbunyi, ia membuka matanya dan tersenyum kecil. Saat itu aku langsung merasakan jutaan kupu-kupu berterbangan dalam perutku. Jantungku bertedak lebih cepat. Aku masih memantung ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Dan dia segera pergi bersama teman—yang memanggil namanya tadi—nya. Menatap punggungnya yang menjauh, aku merasa kecewa. Saat itulah, untuk pertama kali aku menyadari kalau aku jatuh cinta pada seseorang—yang saat itu kuketahui—bernama Byun Baekhyun.”

Heeyeon menghentikan ceritanya untuk sekedar menarik napas. Juga untuk memberi Chanyeol untuk bertanya—kalau-kalau­ pria itu ingin. Dan benar saja, Chanyeol langsung bertanya. Untuk sekedar memastikan dugaannya.

“Jadi selama ini dugaanku benar? Kau menyuka—ah, ani. Mencintai Baekhyun. Bahkan jauh sebelum aku mulai menyadarinya?”.

Heeyeon mengangguk.

“Kami tidak sekelas kala itu, begitupun di tingkat dua. Tapi aku tahu, dia—Baekhyun—adalah seorang idola sekolah. Seminggu setelah kejadian di taman, Sekolah kami mengadakan pentas seni. Dan Baekhyun mewakili kelasnya untuk bernyanyi. Saat itu aku sadar, Baekhyun, semakin sulit kugapai. Aku bagaikan punguk yang merindukan bulan. Aku memutuskan untuk mencintainya diam-diam. Tidak seperti penggemarnya yang terang-terangan menunjukan perasaan mereka. Aku juga tidak seperti para pengagum rahasia yang selalu mengiriminya surat, bunga, hadiah atau hal-hal manis lainnya tanpa identitas. Aku benar-benar mencintainya diam-diam—dalam diam. Aku cukup menikmati suaranya dari balik pintu ruang seni, memperhatikan wajahnya dari kejauhan. Cukup dengan memastikan Baekhyun ada dalam lingkup yang sama denganku, membuatku merasa Baekhyun benar-benar menjadi bagian hidupku.”

Heeyeon tersenyum pahit.

“Kau tahu, Yeol? Aku tak pernah menyangka mencintai Baekhyun akan sesakit ini. Sungguh, aku ingin sekali bersikap egois dengan menarik Baekhyun diantara kerumunan penggemarnya. Menyatakan perasaanku padanya dan menjadikannya milikku—”

“Kenapa tak kau lakukan saja? Dengan begitu, rasa sakitmu itu tak akan berlanjut sampai sekarang.”

“Aku tidak bisa. Aku ini yeoja—”

“Memang kenapa kalau kau adalah seorang gadis. Ah, aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran kaum kalian. Kalian selalu menyangkut-pautkan gender ketika menyatakan cinta.”

Chanyeol mengacak rambutnya frustasi. Dia geram juga mendengar cerita Heeyeon.

“Kau tidak mengerti—”

“Bagian mana yang ditak kumengerti, Heeyeon-a. Bisakah kau menjelaskannya padaku dan buat aku mengerti!”

Chanyeol menaikan nada bicaranya tanpa sadar. Perhatian beberapa pengunjung kedai—yang lumayan ramai—itu terarah padanya. Tapi Chanyeol tak peduli. Toh, orang-orang tidak akan mengenalinya selama masker dan topi hitam pasing menutupi identitasnya.

“Kami—aku dan para gadis lain yang tidak berani mengatakan cinta— hanya tidak ingin sakit. Menyatakan perasaan dan—kemungkinan besar— ditolak akan membuat kami makin sakit. Tak tahukah kau bagaimana rasanya menanggung malu jika—kebetulan—berta­tap muka dengan orang yang bersangkutan? Tak tahukah kau rasanya harus menghindar?”

“Bagaimana kalian bisa berpikir akan ditolak jika kalian tidak mencoba?”

“Aku tidak tahu alasan gadis lain. Tapi alasanku hanya satu. Baekhyun tidak mengenalku. Bagaimana mungkin dia akan menerima perasaanku jika dia saja tak mengetahui namaku? Aku tak masalah jika harus bermain kucing-kucingan untuk memperhatikan Baekhyun dari jauh. Tapi aku tidak mau bermain kucing-kucingan hanya untuk menghindar—yang artinya, aku tidak bisa memperhatikannya lagi.”

“Kupikir saat ini kalian dekat, kenapa tidak mencobanya lagi? Aku rasa, Baekhyun tidak akan menghindarimu—kalau dia tak menyimpan perasaan sama padamu. Baekhyun adalah tipe namja yang menghargai pertemanan.”

Heeyeon menggeleng.

“Aku tidak mau mengorbankan pertemanan kami, Yeol. Sudah kubilang kan? Bukan Baekhyun yang—mungkin—akan menghindar. Tapi aku. Itu sebabnya, aku harus berpuas diri dengan hubungan kami saat ini. Dan, aku cukup senang dengan fakta Baekhyun ada di dekatku —lebih dekat dari masa sekolah kami dulu.”

Heeyeon mulai terisak. Melihatnya, Chanyeol jadi tidak tega. Ah, salahkan bibirnya yang sulit sekali dikontrol. Seharusnya, dia tak terlalu menekan Heeyeon seperti tadi. Seharusnya Chanyeol tahu, perasaan gadis—apalagi yang sedang jatuh cinta— itu sensitif.

Chanyeol merangsek maju, mendekap tubuh mungil Heeyeon yang bergetar. Membenamkan wajah gadis itu ke dadanya yang bidang. Hanya pelukan biasa. Sarat akan penyesalan dan berkhasiat menenangkan. Tapi sepasang mata sipit milik pria di luar dinding kaca kedai itu menangkap makna yang salah.

Pria itu—Byun Baekhyun— segera meraih ponsel disakunya, menghubungi sebuah kontak lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.

“Yeoboseyo“

“Sungyoungie, kau dimana?”

Dirumah, Oppa. Wae?”

“Baguslah, tunggu aku 15 menit lagi. Aku segera sampai.”

Tapi, Oppa aku—”

Baekhyun segera memutus panggilannya. memasukkan ponselnya kesaku, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.

****

Kim Jongin hanya bisa berdecak sebal. Ia tahu siapa yang baru saja menghubungi ponsel gadis dihadapannya. Hanya satu orang yang—akhir-akhir ini—suka sekali mengganggu acara mereka.

“Baekhyun Hyung lagi?”.

Gadis di depannya mengangguk.

“Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada Hyungku itu. Tapi aku lebih tidak pernah mengerti kenapa dia hanya menghubungimu.”

“Berhenti berpura-pura Jongin-a. Aku ingat betul, kau ada disini ketika Baekhyun Oppa menceritakan semuanya. Dan jangan berpura-pura melupakan siapa Baekhyun Oppa untukku”.

Lantas, Jongin malah mengerucutkan bibirnya—sebal. Ah, betapa dancer EXO-K ini terlihat sangat manis. Jauh dari image sexy yang selama ini melekat dalam dirinya—sebagai Kai.

****

Baekhyun baru saja merebahkan tubuhnya di kasur, ketika ponselnya bergetar. Satu pesan masuk,—

‘Baekhyun-a, bagaimana harimu? Ada yang ingin aku ceritakan padamu. Apa kau ada waktu besok? Kuharap ada ^^’

—dari Lee Heeyeon.

Baekhyun tak bisa berbuat apapun selain mengiyakan. Baekhyun tidak pernah bisa menolak keinginan gadis itu. Meskipun perasaannya sendiri tersakiti. Setelah menceritakan apa yang ia lihat di kedai bubble tea sore tadi pada Sungyoung—dan Jongin tentu saja. Perasaannya sedikit lebih lega. Tapi ia tak tahu kenapa, dadanya terasa sesak ketika membaca pesan Heeyeon. Baekhyun tahu, hal yang ingin Heeyeon ceritakan selalu tentang Chanyeol. Ah, sepertinya Heeyeon senang sekali membicarakan pria itu dengannya. Dan Baekhyun—sedikit—bisa bernapas lega. Setidaknya, pengorbanannya tidak sia-sia. Heeyeon, makin dekat dengan pria—yang menurut Baekhyun—pujaan hatinya.

****

Baekhyun sudah mempersiapkan mental sebaik yang ia bisa. Tapi ia tak pernah menduga, perasaan sakit itu malah meletup-letup. Sakit sekala mendengar Heeyeon—gadis yang ia cintai—membicarakan pria lain dengan sangat antusias.

“—Kau tahu, Baek? Kemarin, Chanyeol mengikat tali sepatuku yang terlepas. Ia bilang, ia tidak ingin aku terjatuh karena menginjak tali sepatuku sendiri. Aku tidak pernah diperlakukan semanis itu sebelumnya. Kurasa, hal itu menambah panjang daftar alasan-mengapa-aku-memilih-chanyeol-sebagai-member-EXO-yang-paling-kusuka”.

Bohong! Apa yang gadis itu hanya karangan semata. Faktanya, kemarin dia memakai flat shoes tanpa tali. Bagaimana mungkin Chanyeol bisa mengikat tali sepatunya yang terlepas. Tapi—untungnya—Baekhyun tak menyadari kebohongannya.

Heeyeon bukan tipe gadis yang suka berbohong sebenarnya. Tapi dia harus melakukan ini. Kalau tidak, ia tak tahu apa yang bisa ia ceritakan pada Baekhyun. Menahan pria itu untuk tetap didekatnya. Berdua—tanpa Chanyeol.

Baekhyun melirik jam ditangannya, lalu tersenyum kecut.

“Heeyeon-a, mian. Aku ada janji dengan Sungyoung. Kau tak apa jika kutinggal?”.

Heeyeon mengangguk ragu.

“Baiklah. Pesananmu akan kubayar sekalian. Lain kali, kita bertemu lagi. Sampai jum—”

Baekhyun baru akan beranjak ketika Heeyeon menahan lengannya.

“Boleh kutahu, siapa itu Sungyoung? Apa dia adalah orang yang sama yang menunggumu ditaman sebulan yang lalu? Apa dia—”

Heeyeon menghela napasnya.

“—seorang gadis?”

“Kau benar. Dia—”

“Apa dia kekasihmu? Kau bahkan sering kali meninggalkan kita—aku, kau dan Chanyeol—karena gadis itu”.

Napas Baekhyun tercekat. Bingung harus menjawab apa. Haruskah ia jujur dengan mengatakan—

“Jujur saja, gadis itu termasuk orang penting dalam hidupku. Suatu saat, aku akan mengenalkannya padamu. Aku pergi.”

Baekhyun masih sempat tersenyum tipis saat melepas genggaman Heeyeon pada lengannya lalu beranjak pergi.

Dengan air mata yang mengalir di pipi, Heeyeon berusaha mencari ponsel dalam tas tangannya. Dengan pandangan yang mulai kabur—karna air mata— Heeyeon berhasil menekan tombol hijau, membuat sambungan telepon ke sebuah kontak.

“Chanyeol-a,—”

Dan tangis Heeyeon pecah saat itu juga.

****

Jongin meraih sebotol air mineral di pojok ruang latihan SM Entertainment lantas meneguknya hingga tandas. Latihan hari ini memang sedikit lebih keras. Project yang dijalaninya—bersama para Dancer SM lain—, akan go public dalam waktu dekat.

Ada yang berbeda dalam latihan kali ini. Biasanya, ia berlatih dengan seluruh member EXO. Tapi kali ini, Jongin merasa agak canggung. Dia yang paling junior disini. Jongin juga tak terlalu dekat dengan yang lainnya kecuali Taemin dan rekan segrupnya—Luhan—yang kebetulan turut tergabung dengan project kali ini.

Ah, Jongin baru saja ingat. Dia ada janji dengan Sungyoung sore ini. Cepat-cepat ia meraih ponselnya dan segera menghubungi gadis itu.

Yeobose—”

“Yeoboseyo, Jongin-a. Mian, tapi bisakah kita batalkan janji kita hari ini. Baekhyun Oppa baru saja datang, ada hal penting yang harus kami biacarakan.

“Tapi Sungyoung-a, bukankah kita—”

Aku tahu, tapi maaf. Baekhyun Oppa tampak kacau sekali hari ini. Aku tidak tega harus membiarkannya sendiri. Bagaimana kalau kita tunda janji kita sampai besok? —atau kapanpun kau senggang. Aku janji akan meluangkannya untukmu. Kututu—

“Mana bisa begitu, Sungyoung-a. Kau tau—”

Tut tut tut

“—YA! Shin Sungyoung mana boleh kau memutuskan teleponku begitu saja. YA!”

Nihil. Sungyoung benar-benar menutup teleponnya.

“Arggh!!”

Jongin melemparkan ponselnya asal. Tapi untungnya—

“YA! Kim Jongin! Jika berniat membuang ponselmu, lebih baik kau berikan cuma-cuma padaku!”

—Lee Taemin, dengan sigap menangkap ponsel putih itu, sebelum mendarat di lantai kayu yang keras.

*****

Chanyeol langsung menyalakan lampu ketika mendapati kamarnya dalam keadaan gelap. Ia baru saja kembali setelah menemui Heeyeon. Siang tadi, Heeyeon menghubunginya sambil menangis. Chanyeol yang kalap langsung menanyakan lokasi gadis itu dan secepat kilat menyambar kunci mobil managernya dan melesat pergi. Betapa terkejutnya pria itu begitu mendapati Heeyeon yang terlihat kacau.

Pelan-pelan, Chanyeol membujuk gadis itu menceritakan apa yang terjadi. Chanyeol harus benar-benar memperhatikan apa yang diucapkan Heeyeon. Gadis itu berkali-kali terisak ketika menceritakan semua—tentang Baekhyun dan penjelasannya mengenai Youngie—Sungyoung.

Chanyeol sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ada di pikiran Baekhyun. Bagaimana mungkin pria itu sama sekali tak menceritakan apapun tentang Sungyoung padanya, —teman sekamarnya—. Apa yang membuat Baekhyun sampai merahasiakan itu darinya? Chanyeol pikir, selama ini mereka sudah cukup—bahkan sangat—dekat, bisakah Baekhyun tidak merahasiakan hal yang sebenarnya pernah Chanyeol tanyakan sebelumnya—satu bulan yang lalu—.

Terkadang, Chanyeol merasa terlalu mencampuri urusan Heeyeon dan Baekhyun. Tapi Chanyeol tidak bisa membiarkan Heeyeon mengurusnya sendiri. Chanyeol tahu, gadis itu masih mempunyai sisi rapuh. Tanpa orang lain disisinya, mungkin saja Heeyeon akan lebih terpuruk.

Bukan karna Chanyeol menyukai gadis itu—ah, Chanyeol menyukainya. Tapi hanya sebatas teman. Tidak lebih. Lagipula, masih bagaimana mungkin ia menaruh perasaan pada gadis yang jelas-jelas sudah menyerahkan perasaannya pada pria lain —Byun Baekhyun—sahabatnya sendiri.

*****

Chanyeol segera mendaratkan bokongnya di kursi kayu sambil memijat pelipisnya. Di jalan tadi, Chanyeol sudah menyiap kan segala pertanyaan yang akan dilontarkan pada Baekhyun. Tapi, begitu mendapati kamar mereka kosong, semua yang ada di benak Chanyeol menguap seketika. Ah, sekarang Chanyeol harus merangkai kata-kata dari awal lagi.

BRAKKK..!!!!

“YA! BYUN BAEKHYUN BERHENTI MENGGANGGU KENCAN—eoh, Chanyeol Hyung, apa yang kau lakukan disitu?”

Jongin segera menghampiri Chanyeol yang terjungkal dari kursinya—karna kaget dengan perbuatannya tadi. Membantu pria itu berdiri, namun naas. Bukan ucapan terima kasih yang didapat, tapi malah—

YA! KIM JONGIN! SEPERTI ITU KAH SOPAN SANTUNMU KETIKA MASUK KAMAR ORANG?”

—makian dari Chanyeol yang mengamuk.

“Aish, Hyung. Bukan begitu maksudku. Tapi aku benar-benar kesal dengan Baekhyun Hyung.

“Aku tahu! Tapi apa kau lupa, kalau kamar ini, bukan hanya milik Baekhyun. Tapi juga milikku—Park Chanyeol.”

Arraseo. Jadi dimana Baekhyun Hyung sekarang?”

“Apa untungnya aku memberi tahumu tentang keberadaan Baekhyun. Kau bahkan sudah membuatku jatuh terjungkal, Kim Jongin.”

YA! Hyung! Jangan membuatku makin kesal.”

“Demi Tuhan, Kim Jongin! Kau juga sudah membuatku makin kesal.”

Hyung, cukup katakan dimana Baekhyun Hyung sekarang. Baekhyun Hyung terus saja membuatku kesal karena terus menerus mengganggu kencanku!”

“KENCAN KAU BILANG!?”

Jongin menelan ludah dengan susah payah. Merutuki kecerobohannya dalam hati. Kalau sudah begini, Jongin yakin, Chanyeol akan menanyainya macam-macam.

“Kau sudah berani kencan rupanya. Katakan padaku, siapa gadis-tidak-beruntung itu?”

Chanyeol tersenyum licik. Kekesalannya—yang sudah sampai ubun-ubun— beberapa saat yang lalu hilang begitu saja. Dia rasa, menggoda dongsaeng-nya yang satu itu cukup menarik. Anggap saja, sebagai hiburan sebelum ia memaki Baekhyun nanti.

“Aku belum lama berkencan, Hyung. Dan apa maksudmu dengan sebutan gadis-tidak-beruntung-itu eoh? Kau pikir, sejelek itu kah aku, sampai-sampai kau merasa, gadis yang aku kencani itu adalah gadis malang—yang tidak beruntung?”

“Jawab saja pertanyaanku, Kim Jongin! Dan ceritakan bagaimana kalian bisa berkencan.”

Chanyeol menaik-turunkan alisnya—menggoda Jongin.

“Akan kuceritakan setelah urusanku dengan Baekhyun Hyung selesai. Sekarang katakan dimana Baekhyun Hyung!”

“Ceritakan sekarang atau aku tidak akan memberita—”

YA! PARK CHANYEOL!”

Chanyeol berdecak kesal. Sifat kurang ajar Jongin keluar—lagi. Lain kali, Chanyeol tak akan membiarkan dirinya kalah.

“PANGGIL AKU HYUNG!! Ck, Arraseo. Baekhyun belum pulang sedari tadi. Terakhir yang kutahu, dia ada janji untuk bertemu seorang gadis. Mungkin mereka sedang berkencan juga—sama sepertimu.”

Nugu?”

“Eoh?”

Nugu? Siapa nama gadis yang kau maksud, Hyung?”

“Ah, kalau tidak salah namanya Sungyoung.”

MWOOOO!!!!!

*****

“Aku pulang.”

Baekhyun menutup pintu depan dorm mereka dengan pelan. Ini sudah lewat jam 11 malam. Semua penghuni dorm pasti sudah tidur apalagi di saat jadwal mereka kosong seperti ini. Baekhyun baru saja menapaki anak tangga pertama ketika lampu ruang tengah dorm mendadak menyala. Ketika iya menoleh, didapatinya Chanyeol berdiri didekat sakelar lampu dengan tangan terlipat di depan dada.

“Apa kencanmu dengan Sungyoung menyenangkan, Baek?”

Baekhyun menatap Chanyeol datar. Lalu menunduk.

“Begitulah.”

“Aku tak mengerti dengan jalan pikiranmu, Baek. Sebelumnya, kau tak pernah sekalipun menceritakan tentang Sungyoung—meskipun aku sudah berkali-kali menanyakannya—padaku. Aku ini sahabat—bahkan teman sekamar—mu, Byun Baekhyun. Apa kau tak pernah berpikir, bagaimana jika Joonmyun Hyung menanyakan keberadaanmu—yang baru pulang selarut ini—padaku?”

“Tapi kau sudah tahu aku pergi err—berkencan dengan Sungyoung, Park Chanyeol. Kau bisa menggunakan itu sebagai jawaban—karena itulah yang sedang kulakukan.”

Chanyeol tersenyum miring—smirk— matanya menatap Baekhyun sinis.

“Aku baru tahu kalau selama ini kau berkencan dengan gadis yang sudah memiliki kekasih, Byun Baekhyun. Terlebih, gadis itu adalah sepupumu sendiri.”

Baekhyun mematung, ucapan Chanyeol tepat sasaran.

“Aku benar kan? Byun. Baekhyun. -ssi.”

“A—apa yang kau bicarakan , Chanyeol-a? A—aku—”

“Kim Jongin yang memberitahuku tentang hal ini. Apa lagi alibimu kali ini, Byun Baekhyun?”

“Aku tahu kau kesal—atau mungkin marah—padaku karena aku lebih dulu menceritakan tentang Sungyoung pada Heeyeon dibanding padamu. Tapi kurasa kau—”

“BUKAN ITU YANG MEMBUATKU MARAH, BYUN BAEKHYUN! Aku masih bisa terima jika kau merahasiakan ini dariku. Aku tahu, —suatu saat nanti—kau pasti akan menceritakan semuanya padaku. Tapi aku sulit memaafkanmu karena kau, membohongi Heeyeon!”

“Aku terpaksa melakukan itu, Park Chanyeol. Aku hanya ingin memberi kalian waktu berdua. Heeyeon menyukaimu, dan aku—”

“Gunakan otakmu dengan benar, Tuan Byun! Bagaimana mungkin kau bisa asal menyimpulkan hal itu.”

“AKU TIDAK ASAL, PARK CHANYEOL!! Heeyeon sendiri yang bilang kalau ia menyukaimu dan ia memintaku mengenalkan —sekaligus mendekatkan—nya padamu.”

“DAN KAU PERCAYA??? ASTAGA BYUN BAEK—”

“YA!! BYUN BAEKHYUN! PARK CHANYEOL!! CEPAT MASUK KAMAR KALIAN KALAU KALIAN TIDAK MAU MATI SEKARANG JUGA!!!”

Suara Joonmyun langsung membuat keduanya terdiam. Sesaat saling pandang sebelum akhirnya Chanyeol berlalu melewati keduanya.

“Aku tidur di kamarmu, Hyung. Kau saja yang tidur di kamarku!”

“YA! PARK CHANYEOL MASUK KE KAMARMU SENDIRI!!”

SHIREO!!!”

*****

Joonmyun memilih mengalah dan tidur di kamar Baekhyun untuk malam ini. Ini kali pertamanya melihat kedua member itu beradu mulut.

“Jelaskan apa yang terjadi yang sebenarnya terjadi di antara kalian padaku, Byun Baekhyun!”

Joonmyun tahu Baekhyun belum tidur. Meski kini seluruh tubuhnya tertutup selimut—rapat— dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Tidak ada apa-apa, Hyung. Hanya masalah kecil.”

“KECIL KAU BILANG? YA, BYUN BAEK—”

Baekhyun menyibak selimutnya dan menatap Joonmyun tajam.

“Hyung! Tadi kau sendiri yang ribut menyuruh kami diam. Tapi sekarang, kau malah berteriak dihadapanku. Lalu apa bedanya kau dengan kami tadi?”

Tanpa menunggu Joonmyun menjawab, Baekhyun kembali menyelimuti seluruh tubuhnya.

Joonmyun menghela napas. Ia menyerah. Mengurus dua member paling keras kepala di grupnya ini memang butuh kesabaran ekstra.

Joonmyun langsung merebahkan dirinya diranjang disebelah Baekhyun—ranjang Chanyeol.

******

“Chanyeol Hyung! Kembali ke kamarmu!”

Jongin langsung terbangun dari tidurnya ketika mendengar teriakan nyaring Kyungsoo.

“Jebal, Kyungsoo-ya. Joonmyun Hyung melarangku tidur di kamarnya lagi malam ini.”

“Itu bagus, Hyung. Karana kau sudah pasti tidak diterima di kamar ini. Jadi kembali kekamarmu sendiri.”

“Malam ini saja. Aku janji, besok aku akan kembali kekamarku sendiri.”

“Berhenti bersikap kekanakkan, Park Chanyeol. Selesaikan —apapun itu— masalahmu dengan Baekhyun Hyung. Sekarang! Aku benar-benar tak habis pikir, bagaimana manusia keras kepal seperti kalian bisa tahan saling berdiam selama tiga hari.”

YA! Kim Jongin, kenapa kau malah ikut mendukung Kyungsoo. Harusnya kau mendukungku. Aku kan sudah—”

“Karena tingkah kekanakkanmu itu sama sekali tak pantas didukung, Hyung. Sudahlah, ini sudah malam. Menyingkir dari tempatmu. Aku, Jongin dan kau sendiri harus segera tidur. Tak ingatkah kau jika besok, kita harus berangkat Ke Jepang bersama para Sunbae-nim—untuk rangkaian SMTOWN World Tour.”

Kyungsoo mendorong Chanyeol menjauh dari pintu kamarnya.

YA! Do Kyungsoo, biarkan aku masuk! Kyungsoo-ya! Do Kyung—”

Blam

Kyungsoo langsung menutup pintu dan menguncinya.

“—YA! Kalian tidak bisa melakukan ini padaku. Kim Jongin! Do Kyungsoo! YA!—”

“Masuk ke kamarmu sekarang atau aku akan segera memberitahu Manager Hyung, Park Chanyeol!”

Ancaman Kyungsoo dari dalam kamar langsung membuat Chanyeol diam. Tapi hanya sesaat. Sungguh, karna tak lama kemudian—

“YA! BAGAIMANA KAU BISA MELAKUKAN INI PADA HYUNG-MU, DO KYUNGSOO!”

—Chanyeol kembali berteriak sebelum akhirnya beranjak menuju kamarnya—dan kamar Baekhyun.

*****

Baekhyun langsung menarik selimutnya sebatas leher, memejamkan matanya rapat-rapat dan memunggungi pintu ketika pintu kamarnya dibuka dari luar. Ia tahu, itu Chanyeol. Sedari tadi Baekhyun mendengar teriakan Chanyeol dan Kyungsoo. Ayolah, kamar mereka hanya terpisah oleh kamar mandi, Baekhyun pasti mendengar semuanya.

Baekhyun mendengar suara berderit dari ranjang disebelahnya, disusul suara napas berat Chanyeol.

“Aku memutuskan untuk tidak memberi tahu semua ini pada Heeyeon, Baek. Dia memang harus tahu, tapi bukan aku yang berhak mengatakan semuanya. Aku tahu kau tidak akan mendengar ini tapi,—”

Chanyeol menghela napas. Sedangkan Baekhyun berusaha untuk tidak memberi reaksi yang berlebihan.

“—bisakah kau berhenti mendekatkan kami? Ada pihak yang tersakiti diantara kami —akibat perbuatanmu itu. Mungkin Heeyeon memang menyukaiku, dan aku pun sebaliknya. Tapi kau harus tahu, rasa suka itu tak sama dengan—apapun itu—yang ada dalam pikiranmu.”

Chanyeol memejamkan matanya.

“Ah, satu hal lagi, Baek. Bersikaplah lebih peka terhadap perasaan seorang gadis. Jaljayo, nae chingu.”

Chanyeol tersenyum tipis sebelum akhirnya terlelap. Tapi Baekhyun langsung membuka matanya lebar-lebar. Perkataan Chanyeol langsung membuatnya susah terlelap malam ini.

*****

Jongin memperhatikan Baekhyun yang terlelap dua baris dibelakangnya. Tumben sekali pria ini langsung tidur—bahkan sebelum pesawat mereka lepas landas.

Pandangan matanya langsung beralih ke kursi di samping kirinya—kursi Chanyeol. Pria jangkung itu tampak asik memainkan ponselnya.

Jongin mendengus, rupanya perang dingin masih terjadi diantara Mood Maker dan Happy Virus EXO ini.

“Sst.. Hyung. Chanyeol Hyung”, bisik Jongin pelan. Tapi untung saja Chanyeol mendengarnya.

“Wae?” “Ada yang ingin keceritakan padamu, Hyung. Tentang Baekhyun Hyung, Heeyeon Noona, dan kekasihku—Sungyoung.”

Fokus Chanyeol langsung tertuju pada Jongin sepenuhnya.

“Kau mengenal—Heeyeon?”

“Secara langsung tidak. Tapi Baekhyun Hyung sering sekali menceritakan tentang Heeyeon Noona dalam kurun waktu—kurang lebih—sebulan terakhir ini. Sungyoung bilang, Baekhyun Hyung mulai menceritakan semua hal tentang Heeyeon Noona ketika Baekhyun Hyung mempertemukan kalian untuk pertama kali. Saat itu, aku belum menjadi kekasih Sungyoung—kami masih dalam tahap pendekatan. Tapi kau tak perlu khawatir, apa yang aku bicarakan sekarang, bukan karanganku semata. Sungyoung menceritakan semuanya kembali padaku, saat Baekhyun Hyung menganggu kencan pertama kami—dan malah menggantinya dengan sesi curhat berkelanjutan.”

Jongin mengerucutkan bibirnya karena masih merasa kesal. Jongin sudah menyiapkan sebuah makan malam romantis di rooftop—spesial untuk kencan pertama mereka—kala itu. Tapi Byun Baekhyun sialan itu malah mengacaukan segalanya.

“Baekhyun Hyung selalu bilang, betapa ia merasa sesak dalam hatinya, melihat keakraban kalian. Baekhyun Hyung bahkan hampir menangis ketika ia bilang, ia melihat kalian —kau dan Heeyeon Noona— berpelukan di kedai Bubble tea. Ditambah lagi, esoknya Heeyeon Noona malah mengajaknya bertemu. Memang Baekhyun Hyung merasa senang karena bisa melihat wajah gadisnya. Tapi ternyata celotehan Heeyeon Noona tentang bagaimana-kau-memperlakukannya-dengan-sangat-manis, —apalagi kau mengingatkan tali sepatu Heeyeon Noona yang terlepas. Hal itu, justru membuat perasaan Baekhyun Hyung—”

“Tunggu sebentar, Kim Jongin. Kau bilang —aku mengikatkan tali sepatu Heeyeon—? Demi Tuhan. Aku tidak pernah melakukannya. Heeyeon hanya mengarang cerita.”

“Aku tidak tahu—dan tidak mau tahu—tentang hal itu, Hyung. Tapi yang jelas, mulai saat itu Baekhyun Hyung sering menggunakan kekasihku sebagai alasan untuk menghindar dari kalian. Dia tak sanggup jika harus terus-terusan sakit hati karna err —cemburu. Bahkan ia mengenalkan Sungyoung sebagai Gadis-penting-dalam-hidupnya. Aku tahu, Baekhyun Hyung adalah sepupu terdekat Sungyoung. Tapi kan tetap saja, gadis itu milikku—membuatku kesal saja.—”

Chanyeol tak menghiraukan apapun yang keluar dari mulut Jongin selanjutnya. Mata bulatnya menatap Baekhyun —yang masih terpejam— dengan tajam. Ah, Baekhyun benar-benar bodoh dan tidak peka rupanya.

*****

Tiga hari setelah setelah kepulangan EXO setelah menyelesaikan aktivitas mereka di Jepang. Tapi suasana dingin masih terasa di kamar Baekhyun dan Chanyeol. Baekhyun semdiri bukannya tidak ingin berdamai dengan pria —yang sudah menjadi sahabatnya sejak awal masa traineenya—itu. Tapi Chanyeol sendiri selalu menghindar ketika dia akan bicara.

Baehyun baru saja akan meraih handle pintu ketika seseorang sudah lebih dulu membuka pintu kamarnya. Chanyeol berdiri di depan pintu. Keduanya sama-sama mematung. Bahkan, sempat saling pandang sesaat sebelum Chanyeol memutus kontak mata mereka.

Chanyeol sudar berniat pergi, tapi baekhyun buru-buru menahannya.

“Kita perlu bicara.”

Mian, Baek. Tapi aku—“

“Aku tahu aku salah, Yeol. Itu sebabnya aku ingin minta maaf. Tapi kau harus tau alasan—“

“Aku tahu”

Chanyeol buru-buru masuk ke kamar mereka dan menutup pintu.  Ia tidak mau member lain mendengar.

“Jongin sudah menceritakannya padaku. Semuanya.”

“Termasuk tentang err—perasaanku?”

“Tentu saja. Ya Tuhan, sebenarna apa salahku hingga kau melibatkanku dalam masalah dua orang bodoh ini?”

Baekhyun mencibir. Chanyeol berlebihan sekali—menurutnya.

“Kau tahu, Baek? Aku merasa seperti menjadi malaikat penyatu cinta kalian. Ah, aku berterima kasih atas kehormatan ini. Satu hal yang harus kau tahu, Baekhyun. Heeyeon tidak menyukaiku—lebih dari seorang teman. Ada pria lain yang lebih dulu merebut hatinya. Kau.”

“Kau salah, Yeol. Dia—“

“Kau yang salah, Tuan Byun. Aku bisa membuktikannya kalau kau masih saja tidak percaya.”

Chanyeol meraih ponselnya dan mengetikan sesuatu disana. Tak lama setelahnya, dia menunjukan layar ponselnya pada baekhyun.

Baekhyun menatap layar ponsel Chanyeol datar. Apa yang bisa dibuktikan dengan pesan—

‘Kau ada waktu sore ini? Ada hal yang ingin kubicarakan.’

—yang baru saja terkirim ke nomor Heeyeon? Chanyeol malah terlihat seperti ingin membuatnya cemburu.

Pip pip

Mian, Chanyeol-a. Tapi aku ada kelas sampai jam 3 dan itu melelahkan sekali. Aku perlu istiraha”

Bibir Baekhyun tertarik keatas bersamaan dengan Chanyeol yang menarik ponselnya. Mengetik pesan balasan untuk Heeyeon lalu menunjukkannya pada Baekhyun.

‘Kupikir kau akan menerima ajakanku. Ini tentang Baekhyun.’

YA! PARK CHANYEOL!! APA YANG—“

“Tunggu saja sampai Heeyeon membalas pesanku.”

Pip pip

‘Baiklah. Dua jam lagi di kedai bubble tea dekat dormmu. Awas saja jika kau malah membicarakan hal lain’

Mata baekhyun membulat. Melihatnya, Chanyeol segera membaca balasan dari Heeyeon—untuknya— lalu tersenyum miring.

“Bisa kau tangkap hal yang tersirat di pesan itu, Baek? Dia bahkan lebih memilih menemuiku—untuk membicarakanmu— dari pada beristirahat. Apa kau masih belum percaya kalau Heeyeon mencintaimu?”

Baekhyun mencibir.

“Aku bahkan melihat kalian berpelukan waktu di kedai bubble tea milik Han ahjussi waktu itu. Apa lagi yang bisa kau katakan untuk membantah dugaanku—kalau kau sendiri menyukai Heeyeon”

“Astaga! Demi Tuhan! Kau salah paham, Byun Baekhyun. Waktu itu aku memang memeluknya. Tapi itu bukan berarti apa-apa. Aku hanya menenangkannya yang terlihat kacau saat itu Asal kau tahu saja, Heeyeon menangis ketika menceritakan bagaimana ia harus memendam perasaannya terhadapmu. Bagaimana ia harus kucing-kucingan hanya untuk melihatmu dari kejauhan sejak kalian masih SMA.”

“M—maksudmu, Heeyeon—“

“Heeyeon menyukaimu sejak lama, Byun Baekhyun. Jauh sebelum kau mengenalnya. Dia bahkan sudah menyukaimu sebelum sekolah kalian mengadakan pentas seni yang langsung membuatmu jadi idola di tahun pertama. Heeyeon mungkin saja akan membunuhku jika tahu aku melanggar janjiku —untuk tidak mengatakan ni padamu. Tapi aku terpaksa, aku hanya ingin dia dan dirimu —tentu saja— bahagia.”

Baekhyun benar-benar merasa bodoh sekarang. Kalau saja dia tahu apa yang selama ini ia lakukan— akan melukai gadis itu, Baekhyun pasti sudah menghentikannya dari dulu. Tapi ia juga tidak sepenuhnya salah. Heeyeon sendiri tidak pernah memberinya petunjuk apapun. Selama ini, Chanyeol selalu menjadi satu-satunya topik pembicaraan mereka. Heeyeon sama sekali tak pernah menyinggung tentang perasaannya.

“Jangan khawatir, Baek. Aku sudah mengatur pertemuanmu dengan Heeyeon. Jadi sebaiknya kau bersiap sekarang.”

“Maksudmu?”

“Pesan itu. Kau yang akan pergi menemuinya di kedai Han ahjussi. Gunakan kesempatan ini untuk mengatakan semuanya. Kalau kau butuh privasi, aku bisa mengaturnya untukmu.”

Baekhyun terhenyak. Tidak menyangka Chanyeol akan melakukan semua ini untuknya. Pria itu langsung memeluk Chanyeol erat.

“Terima kasih, Yeol. Kau benar-benar sahabat terbaikku”

Tapi Chanyeol langsung meronta.

“YA! Apa kau berniat membunuhku, Byun baekhyun? Kau memelukku erat sekali!”

Baekhyun hanya tersenyum tanpa merasa bersalah sama sekali. Membuat Chanyeol makin kesal.

***

Heeyeon menatap papan bertuliskan ‘CLOSED’ didepannya bingung. Lima menit yang lalu, Chanyeol mengiriminya pesan. Dalam pesannya, Chanyeol memberitahunya bahwa ia sudah menunggu di kedai bubble tea. Tapi kenapa sekarang kedai ini tutup?

Heeyeon baru saja akan menghubungi Chanyeol ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya—,

‘Kau sudah sampai? Masuk saja. aku di dalam.’

—dari Chanyeol.

Langsung saja Heeyeon membawa tubuh mungilnya memasuki kedai. Memilih mengabaikan papan yang sedari tadi membuatnya ragu.

Hanya ada satu meja yang ditempati. Dan Heeyeon yakin itu Chanyeol. Tapi ia tak mengerti mengapa pria itu masih menggunakan topi—sebagai penyamaran—. Siapa yang akan mengenalinya, kedai ini bahkan tak memiliki pengunjung—selain mereka berdua.

“Maaf membuatmu menunggu, Chan—Baekhyun!? Apa yang kau lakukan disini?’

Baekhyun melepas topinya lalu tersenyum simpul.

“Menemuimu. Apa aku mengganggu kencanmu dengan Chanyeol?”

Sengaja. Meskipun Baekhyun tahu tentang perasaan Heeyeon sebenarnya. Baekhyun hanya penasaran dengan reaksi gadis ini.  Baekhyun bisa menyadari ada yang berubah dari raut wajah Heeyeon. Gadis itu maah semakin menundukkan wajahnya.

“Aku dan Chanyeol tidak sedang berkencan, Baek. Kami hanya teman.”

“Benarkah? Kalian semakin dekat akhir-akhir ini. Jadi kupikir aku akan segera mendengar kabar kencan—“

Baekhyun tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. Lidahnya kelu. Heeyeon mengangkat wajahnya. Baekhyun bisa melihat pipi gadis itu basah karena air mata.

“Heeyeon-a, kau menangis?”

Heeyeon menghapus air matanya dengan kasar. Dan beranjak dari kursinya.

“Aku datang kemari untuk menemui Chanyeol. Dan bukannya untuk menangis mendengar segala ucapanmu. Bisakah kau berhenti mengira aku berkencan dengan Chanyeol, Baek? Tak tahukah kau kalau itu sangat menyakitiku?! Aku pergi!!”

Heeyeon langsung melangkah pergi, tapi belum juga sampai pintu, sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang. Air mata Heeyeon kembali tumpah. Sekuat tenaga Heeyeon berusaha melepaskan pelukan itu.

“Maaf. Maaf. Maaf.”

Berulang kai Heeyeon mendengar Baekhyun—pemilik lengan itu— meminta maaf. Tapi Heeyeon tak peduli. Ia sudah cukup sakit. Inikah alasan Baekhyun sering meninggalkannya berua dengan Chanyeol? Benarkah Baekhyun berniat menjodohkannya dengan Chanyeol?

“Aku mohon maafkan aku Heeyeon-a. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Sungguh. Maafkan aku. Kumohon”.

Baekhyun merasakan suaranya bergetar, tapi dia tidak peduli. Benar-benar tak peduli—bahkan jika dia harus menangis di hadapan gadis ini sekalipun.

Baekhyun mengendurkan lengannya—tanpa benar_benar melepas pelukannya, ia membalikkan tubuh Heeyeon agar menghadapnya. Memandang gadis di hadapannya lekat, meskipun gadis itu masih menolak untuk menatapnya.

“Chanyeol sudah menceritakan semuanya padaku.”

Baekhyun bisa merasakan tubuh gadis itu menegang.

“Maafkan aku. Aku terlalu bodoh untuk menyadari semua ini. Kalau saja aku mengetahui semuanya dari dulu, aku tak akan membuat perasaanmu—dan perasaanku—sampai sesakit ini. Sakit sekali harus memenuhi permintaanmu. Mendekatkanmu dengan Chanyeol, sama saja menyakiti perasaanku. Tapi demi melihatmu bahagia, —aku ingat ketika kau bilang kau menyukai Chanyeol— itu sebabnya aku memilih memenuhi permintaanmu. Mengabaikan rasa sakit yang mendera hatiku karena aku juga mencintaimu, Lee Heeyeon.”

Heeyeon tersentak. Air matanya turun semakin deras. Ia langsung memukul  dada Baekhyun sekuat tenaga.

“KAU JAHAT, BYUN BAEKHYUN!! KAU JAHAT!!! Bagaimana mungkin kau mengira aku menyukai Chanyeol? Tak tahukah kau bahwa selama ini AKU HANYA MENYUKAIMU!!!”

Baekhyun memeluk Heeyeon erat. Membiarkan rusuknya terasa ngilu karena gadis itu terus menerus memukulnya.

“Aku tahu. Tapi kau sendiri yang bilang kalau kau menyukai Chanyeol. Itu sebabnya aku mengalah.”

Heeyeon tidak menjawab. Tapi tangannya berhenti memukul dada Baekhyun. Ia malah membenamkan wajahnya di dada pria yang saat ini mendekapnya erat. Dan rasa nyaman mendadak menjalari hatiny ketika merasakan bibir Bekhyun menyentuh puncak kepalanya.

**

“Aku minta maaf.”

Baekhyun langsung melepas pelukannya. Butuh waktu 15 menit untuk membuat Heeyeon benar-benar berhenti menangis.

“Untuk?”

“Aku tidak tahu kalau permintaanku malah menyakitimu. Itu satu-satunya hal yang terlintas di pikiranku saat itu. Aku hanya ingin merada didekatmu lebih lama. Aku ingin terus bertemu denganmu, makanya aku memintamu mengenalkanku pada Chanyeol. aku tahu aku terkesan memanfaatkan Chanyeol. tapi aku tak berpikir sampai situ. Aku egois kan, Baek?”

Baekhyun tersenyum tipis.

“Tidak. Apa yang kau lakukan sudah benar. Mungkin jika kau tidak melakukannya, aku tidak akan menyadari perasaanmu.”

Baekhyun mengusap kepala gadis itu pelan.

“Ada yang ingin kukatakan. Tentang Sungyoung.”

Heeyeon melempar tatapan aku-tidak-ingin-membahasnya-sekarang. Dan Baekhyun mengerti itu. Tapi ia tidak peduli.

“Kau harus mendengarnya. Aku tidak berbohong tentang Sungyoung-adalah-gadis-penting-dalam-hidupku. Dia orang pertama yang tahu tentang perasaanku. Tanpanya, aku pasti jauh lebih kaca dari saat ini. Hanya sebatas itu, lagi pula dia itu hanya sepupuku—sepupu terdekatku”

“Benarkah?”

Baekhyun mengangguk. Manik matanya menatap iris coklat gadis itu lekat.

“Heeyeon-a, apa mulai saat ini aku boleh menyebutmu sebagai —yeojaku?”

Heeyeon menunduk untuk menyembunyikan pipinya yang merona. Ia tidak menyangka Baekhyun akan menjadi miliknya.

Baekhyun meraih dagunya, mengangkat wajah gadis itu. Dan nafas Heeyeon tercekat saat menyadari Baekhyun semakin mendekatkan wajah mereka. Gadis itu buru-buru memejamkan matanya ketika ujung hidung mereka bersentuhan. Dan akhirnya—

Jepret Jepret

—lampu blitz kamera membuat mereka buru-buru menjauhkan wajahnya. Baekhyun menoleh mendapati Chanyeol tersenyum konyol dengan sebuah kamera ditangannya.

“Akhirnya aku mendapat momen yang pas. Terima kasih atas kerja samanya. Silakan lanjutkan yang tadi..”

Chanyeol tersenyum meledek ketika melewati mereka sebelum akhirnya—

“HUAAAAAA……!!!!!!”

“YA!!! PARK CHANYEOL!!! KAU SUDAH BOSAN HIDUP, HAH?!?!?!”

—berkelit menghindari Baekhyun yang tiba-tiba meledak.

****END****

 


[FREELANCE] FlashBack

$
0
0

flashback

Tittle                 : FlashBack

Author              : Sirena Orfeus

Main Cast          : Byun Baekhyun | Ai Mirwa (OC)

Support cast     : Jessica | Kris

Length              : Ficlet

Rating               : PG-13

Genre                : Romance,

Disclaimer        : Ini mungkin bakal weird banget-_- cuman, ini adalah Ficlet pertama yang aku buat dalam couple ini heheHope you enjoy it!^^ jan lupa RCL ya!

 

“Hujan itu baik! Buktinya, dia mempertemukan kita!”

 

 

 

Aku menyeduh pelan-pelan Cappucino hangatku, menyenangkan berada di ruang privasi milik ku sendiri yang menjadi zona dimana aku bisa bebas melakukan sesuatu semauku. Seperti saat ini, dengan lancang aku membaca buku harian electronic milik seseorang yang sampai sekarang masih berlayar dihatiku. Baekhyun.

Hey! Sebenarnya hal ini tidak bisa di kategorikan ‘lancang’ karena laptop ini sudah menjadi hak milikku sejak lama. Hanya saja, aku baru menemukan aplikasi ini setelah beberapa tahun.

Tiba-tiba hujan turun, aku segera menyelamatkan laptop yang ada di depanku dan muffin limau Jessica eonnie, aku bergegas membawanya kedalam. Kututup pintu rapat-rapat, aku tak sadar ada yang  terlupa. Cappucino hangat yang baru seteguk aku minum tertinggal di luar.

Dari balik jendela aku memandang Cappucino itu prihatin. Berlebihan mungkin, tapi sungguh aku sangat malas untuk membuat Cappucino yang baru.

Kupandangi hujan itu dengan sungguh, hujan itu turun dengan lebat memecah kesunyianku memandang langit malam bersama bintang-bintang sekaligus membaca harian eletronic Baekhyun. Kenapa hujan tiba-tiba datang saat langit sedang cerah secerahnya? Tak bisa ku salahkan kedatangan hujan. Karena sungguh, hujan sangat berarti.

Tiba-tiba aku tersentak, aku harus melanjutkan membaca harian Baekhyun. Masih pada halaman pertama, aku duduk dengan tenang di atas tempat tidur lalu beralih pada halaman kedua. Membacanya dengan cermat.

14 mei 2010

Sebelumnya dalam hidupku hanya ada 2 hari yang penting. Pertama: hari ulang tahun ku. Kedua: hari ulang tahun orang tua ku.

Namun, setelah bertemu gadis itu sepertinya hidupku setelahnya akan menjadi hari yang sangat penting. Karena kau tahu? Gadis yang  tak menyukai  hujan itu membuatku tersenyum melihat mimik mukanya saat aku memintanya untuk memayungi ku menuju  laboratorium. Bukan apa-apa tapi sungguh sangat manis dan sangat lucu.

 

Terasa semburat hangat di pipiku, aku tau pipiku sangat merah saat membaca tulisan  ini. Aku ingat masa itu, saat dimana pertama kali kami di pertemukann oleh hujan. Saat aku masih membenci hujan.

Dan tak tahu, hujan di luar sana semakin deras.

Ingatanku melayang pada kejadian beberapa tahun lalu saat dimana pertemuanku pertama kali dengannya. Pangeran hujanku. Baekhyun.

Banyak sekali buku di pangkuan pemuda itu. Dia berlari tergopoh-gopoh karena hujan semakin deras membasahi bumi pertiwi ini. Perasaan was-was terlihat jelas, saat ia berusaha agar buku di pangkuannya tak terjatuh dan basah.

Aku menatapnya dengan pasti. Memastikan apakah dia akan baik-baik saja saat membawa buku itu. Tapi aku juga jengah, karena hujan ini tak kunjung berhenti. Semakin hari aku semakin membenci hujan. Bagiku hujan hanyalah sebuah bencana, tak ada yang istimewa dari hujan.

Pemuda itu berbalik dan menatap ku sambil tersenyum, dia berlari menghampiriku. Tepat di hadapanku dia kembali tersenyum. Nafasnya terengah-engah karena berlari menyusulku, bola matanya tepat melihat ke arah bola mataku, pandangannya tajam dan sangat indah. Bola matanya menghipnotisku untuk terus melihatnya, dia terus tersenyum, lalu berdehem karena keadaan sangat hening disini.

“Ehm,.. mau kah kau memayungi ku? Aku ingin ke laboratorium.” Ucapnya membuatku tersentak. Aku sedikit berdehem lalu mengangguk. Pipiku sudah sangat panas sedari tadi, bukan karena gugup, tapi malu! Mungkin  gugup juga. Tapi, aku masih waras, aku segera memayunginya, lalu kami melintasi lapangan dengan sedikit berlari karena hujan semakin lebat saja.

“Hujan lagi, aku sungguh tak menyukai hujan, huh!” Ujarku sambil membawa payung dengan hati hati agar kami tak kebasahan. Pemuda itu kembali tersenyum.

“Aku justru menyukai hujan, tak ada yang lebih indah di dunia ini, selain hujan.” Ucap pemuda itu tenang. Aku mengerucutkan bibir.

“Indah? hujan itu membuatmu basah dan terhambat menuju ke laborarotium.” Ujarku sedikit kesal, karena tanggapannya mengenai hujan sangat jauh berbeda dengan tanggapanku 180 Derjat berbeda!

Tapi pemuda itu malah berhenti di tengah lapangan. Akupun ikut menghentikan langkahku. Dia menyeringai lalu dengan bersemangat berujar. “Hujan itu baik! Buktinya, dia mempertemukan kita!”

Aku terpana oleh kedua bola matanya yang hitam pekat sangat menyejukkan. Kata-katanya seperti serangga lebah yang menyengatku tak terperikan. Bukan sengatan kesakitan yang menimbulkan luka benjol merah, tapi sengatan strum yang menjalar kehati membekas seperti…cinta? ah pemuda ini, pemuda yang sangat… berbeda.

“Ayo!” Ajaknya Lalu menggandeng tanganku. Menyusupkan jemarinya di sela-sela jemariku. Semburat merah dengan malu-malu timbul dipipi ku. Aah sangat memalukan! Jangan sampai dia melihatnya.

Sejurus kemudian payung biru itu kembali mengiringi kami berjalan cepat menuju laboratorium. Kami mengambil langkah cukup besar, percikan air yang menggenang menyempratkan air ke orok abu-abuku. Air yang turun dari ujung-ujung payung tak sedikitpun menggubrisku untuk memandangi pemuda di sampingku ini. ku alihkan pandanganku pada tanganku yang ia genggam. Diam-diam aku tersenyum sendiri. Tanpa sadar sedari tadi memang aku telah memandangi pemuda ini, rahangnya keras dan bergerak sejurus dengan hentakan kakinya. Tampan. Kata itu cukup realistis untuk menggambarkan perawakannya.

Maka sekali lagi tanpa di ketahui kami sampai di depan laboratorium. Dia tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. aku lantas mengangguk menanggapinya. Sungguh! Aku sudah cukup merasa Dag-Dig-Dug berada didekatnya.

Aku berjalan dengan payung ku kembali menuju gerbang sekolah. Menunggu Kakakku yang akan menjemputku. Aku menarik ujung bibirku sedikit. Tersenyum. Ya aku tersenyum, sangat senang rasanya bisa memayungi pemuda itu.

“Pria yang tampan, dan berbeda” gumamku kagum. Diam diam aku bersyukur ada hujan, karena berkatnya aku di pertemukan dengan pemuda itu. baru kali ini aku merasakan bahagiannya saat rinai hujan menitik membasahi seragamku. Ternyata hujan itu tak terlalu buruk. Buktinya, masih ada kebahagiaan di setiap rintiknya. Mungkin sudah saatnya aku melupakan semua tanggapanku tentang hujan, hanya karena hal konyol. Aku harus memulai hidup baru dengan hujan! Tak lagi ingin membenci hujan.

Aku menghirup nafasku dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Hujan sudah tak terlalu lebat. Hanya rintik-rintiknya masih membasahi hari ini, semakin sore saja dan Jessica eonnie belum juga datang menjemput!

Kembali ku ingat waktu beberapa menit lalu, mengusir kejenuhan menunggu Eonnieku yang sering ngaret ini. Saat Aku mengantarkan pemuda itu ke Laboratorium. Ah ayolah! Lupakan! Itu hanya perkara kecil! Kenapa kau masih mengingatnya?

Tapi sungguh masih kurasakan jemarinya hangat di jemariku. Apa ini gerangan yang kurasakan? Aku menggeleng-gelengkan kepala ku panik. Jangan sampai aku gila gara-gara ini.

“Hai! Aku Baekhyun! Terima kasih sudah memayungiku tadi,” Aku menoleh saat seseorang tiba-tiba menyapaku. Pemuda itu tersenyum lalu mengarahkan tangannya ke arahku, ingin bersalaman. Oh ternyata pemuda yang sedang ku pikirkan saat ini. Eh tunggu, Apa?

“Namamu siapa?” Tanyanya sekali lagi.

Aku menjabat tangannya seraya tersenyum.

“Namaku Mirwa. Ai Mirwa” lalu kami tersenyum. Senyuman itu! aku bisabisa–

“Mirwa-ya! Kris Oppa akan segera pulang, bantu aku disini!” Panggilan dari Jessica eonnie melemparkanku kembali kealam nyata. Apakah aku melamun terlalu lama?

Aku segera menyaut.

Ndae! Eonnie! Tunggu sebentar!”

Aku menatap keluar jendela, memandangi hujan, cerita di setiap rinaninya membuatku teringat pada pemuda pemilik harian eletronic ini. Baekhyun.

 

Hujan pertamaku adalah saat  bertemu dengannya, adalah hujan pertama yang kusuka.

 


[FREELANCE] Innocent Man (Chapter 1)

$
0
0

d .,qmew d

  • Title: Innocent Man (Chapter 1)
  • Scriptwriter (Author): Dandelion Doc
  • Main Cast: Do Kyungsoo & Im Hyerin
  • Support Cast: Temukan sendiri
  • Genre: Romance, Comedy.
  • Duration (Length): Chaptered
  • Rating: PG 15+

Hai, salam kenal. Ini adalah ff pertama yang saya buat, wish you all happy to read it^^ comment dari kalian sangat berarti, happy reading!^^

We sailed on together

We drifted Apart

And here you are by my side

*******************************************

 

 

 

Baekho High School adalah SMA paling bergengsi di Korea saat ini. Sekolah dengan fasilitas super mewah ini tentunya hanya di peruntukkan untuk golongan kelas atas. Murid-murid di sekolah ini notabene adalah pewaris-pewaris perusahaan besar atau anak pejabat.

Namun, bersekolah di tempat ini tidaklah seindah yang dibayangkan orang-orang diluar sana. Jika kau punya wajah tampan dan cantik dan kekayaan yang melimpah, kau akan diperlakukan bak raja dan ratu disini. Namun jika kau anak yang polos dan tidak tau caranya bergaul, kau hanya punya dua pilihan, dibully atau kau tidak pernah dianggap ada sampai kau tamat.

“Ssst.. Itu mereka!” Teriak salah seorang siswa.

Bisik-bisik mulai terdengar saat keempat gadis itu memasuki gedung sekolah yang super luas itu. Siapa yang tidak kenal mereka? Empat gadis paling cantik dan popular di Baekho High School yaitu  Sooji, Hyuna, Jae-hee, dan Hyerin. Semua orang tau betapa cantik dan kayanya mereka, dan juga betapa banyakknya namja yang mereka permainkan hatinya.

Terlebih yeoja yang bernama Im Hyerin. Tidak ada namja yang tidak terpikat dengan kecantikannya yang luar biasa, ditambah dengan predikatnya sebagai salah satu pewaris grup Taesan. Namun gadis ini sama dengan ketiga temannya yang lain, kurang perhatian dari orang tua dan bobi berpesta. Pergi kesekolah hanya sebagai ajang bersenang-senang bagi mereka.

Keempat gadis itu berjalan penuh percaya diri, menikmati ketenaran dan tatapan memuja dari namja namja yang  mereka lewati.

****************************

Kyungsoo melangkah dengan terburu-buru denga membawa setumpuk kertas di tangannya. Mr.Choi—Guru matematika—meminta Kyungsoo untuk mengantar berkas-berkas itu ke ruang guru.

“BUGHH!” Kertas-kertas yang dibawa Kyungsoo jatuh berterbangan. Karna terburu-buru, tanpa sadar Kyungsoo menabrak seseorang.

“Yaaa! Kau punya mata tidak sih?!” Teriak seorang teman gadis yang Kyungsoo tabrak tadi.

Kyungsoo menoleh kaget melihat siapa yang ditabraknya. Keringat dingin mulai menetes dari dahinya.

“Ah  m-mianhae! Aku benar-benar tidak sengaja, maafkan aku..” Kyungsoo membungkuk berkali-kali pada gadis yang ditabraknya dengan gugup. Gadis itu hanya menatapnya dengan kening yang berkerut.

“Ya, bukankah kau si kutu buku itu? Hati-hatilah kalau berjalan.” Kata temannya yang satu lagi dengan nada mengejek.

“Sudahlah, kalian membuang-buang waktuku. Ayo pergi.” Kata Yeoja yang Kyungsoo tabrak itu. Kyungsoo kembali membungkukkan badannya sebelum keempat gadis itu pergi, kemudian buru-buru memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai.

***********************

“Hyerin-ah, kau benar-benar mencampakkan namja itu dalam waktu seminggu? Si Woobin itu?”

“Ne. Dia sama saja dengan namja yang lain, membosankan.” Kata Hyerin santai sambil meminum Mocchachino-nya.

“Tapi dia kan sangat kaya!” Celetuk Sooji.

“Yaa, apa kau pikir aku yeoja matrealistis yang kekurangan uang?” Balas Hyerin.

“Hahaha benar juga.”

“Jadi siapa yang selanjutnya yang akan kau pilih menjadi pacarmu?” Tanya Jae-hee.

“Kita lihat saja nanti,  kau tahu kan memilih namja sama saja dengan memilih permen bagiku.” Cetus Hyerin.

“Hahaha kau memang benar-benar seorang Bad Girl, Hyerin-ah.”

“Ngomong-ngomong, apa kalian tahu siapa namja yang menabrak ku tadi?” Tanya Hyerin.

“Ya, kau benar-benar tidak tau? Dia kan teman sekelas kita.”

“Jinja? Aku rasa aku pernah melihatnya beberapa kali.”

“Jelas saja kau tidak menyadari kehadirannya. Dia sangat pendiam dan juga polos, tidak pernah dekat dengan yeoja manapun.”

Hyerin hanya mengangguk-angguk dan tersenyum penuh arti.

**************************************

Entah setan apa yang menghampiri Hyerin hari ini, ia ingin sekali mengisengi namja polos itu.

Dalam pelajaran Fisika hari ini, dengan sengaja ia memilih meja yang berseberangan dekat meja Kyungsoo.

Hyerin memperhatikan namja itu dengan seksama. Namja itu benar-benar serius dalam belajar, seolah-olah papan tulis yang ia pandangi adalah hal paling menarik di dunia. Tidak sekalipun ia berbicara ataupun menoleh. Hmm, wajahnya tidak bisa dibilang jelek. Matanya yang besar dan bersinar-sinar itu bisa dibilang.. Menarik.

Hyerin melempar sebuah kertas kecil padanya. Kyungsoo menoleh kaget, kemudian membuka kertas itu.

Annyeong, Namaku Hyerin. Im Hyerin. Namamu siapa? ^^

Kyungsoo memandang wajah Hyerin takut-takut. Hyerin mengeluarkan senyum terbaiknya, yang selama ini selalu berhasil menaklukkan hati para namja.

Kyungsoo tidak membalas senyum itu dan langsung menunduk dengan gugup, juga tidak membalas surat kecil Hyerin.

Hyerin tertawa tanpa suara sambil bertopang dagu.  Ini pertama kalinya seorang namja mengacuhkannya.

Baiklah, Do Kyungsoo. Kau mengacuhkanku? Kita lihat saja nanti apa yang terjadi. Batin Hyerin penuh keyakinan.

************************

Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Kyungsoo  berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan Ms.Bae. Ini membuatnya penasaran, tidak biasanya Ms.Bae memanggilnya sore-sore begini.

“Masuk.” Terdengar suara dari dalam ruangan saat Kyungsoo mengetuk pintu.

“Ada apa songsaenim memanggil saya?” Tanya Kyungsoo setelah duduk.

“Saya punya permintaan, Kyungsoo. Langsung saja, saya meminta kesediaan mu untuk menjadi tutor Im Hyerin, kau tau kan ia memiliki sedikit masalah dalam belajar?”

“N-nde?” Mata Kyungsoo membulat.

“Im Hyerin sendiri yang memohon padaku, ia bilang ia tidak mau orang lain selain Do Kyungsoo. Kau tentu tau sendiri ayahnya adalah penyumbang terbesar disekolah ini, songsaenim tentu tidak dapat menolaknya. Lagipula apa salahnya berbagi kecerdasanmu, Kyungsoo?”

“A-anu songsaenim, tapi aku-“

“Mohon mengertilah posisiku Kyungsoo-ah. Sekali ini saja, aku mohon padamu. Aku tahu kau anak yang baik.”

Kyungsoo akhirnya hanya mengangguk pasrah. Kepalanya sekarang dipenuhi berbagai pertanyaan, kenapa harus dirinya?

***********************************

“YA IM HYERIN, APAKAH KAU SUDAH GILA?”

“Kau akan mengencani Do Kyungsoo? Kau tidak serius kan?

Hyerin hanya terkekeh pelan. Respon sahabat-sahabatnya tepat seperti apa yang ia perkirakan.

“Hey, calm down girls. Aku hanya penasaran padanya, aku hanya akan bersenang-senang sebentar..”

“Kau yakin bisa menaklukkan namja itu? Aku rasa ia hanya tertarik pada buku, bukan yeoja.” Kata Hyuna sambil tertawa.

“Ya, kalian tidak ingat? Aku ini Im Hyerin.”

***************************

Esoknya, saat bel pulang sekolah.

Hyerin menghampiri meja Kyungsoo.

“Kyungsoo-ah, sampai bertemu nanti!” Hyerin tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Kyungsoo. Kyungsoo langsung menunduk dan membereskan buku-bukunya kedalam tas.

Semua orang ternanga melihat kejadian itu, terlebih para namja. Hyerin dan si pendiam Kyungsoo? Saat ini Kyungsoo dapat merasakan tatapan menusuk dari para namja dibelakang.

Kyungsoo mendesah berat. Ia sadar hidupnya tidak akan mudah mulai sekarang.

TO BE CONTINUE

How? Ngalor ngidul? Hahaha makasih buat yang sudah baca, apalagi yang sudah comment. You make my day! Thankyou soo much. Semoga masih ada yang mau nungguin part berikutnya, bye! J

 

 


Viewing all 317 articles
Browse latest View live