Title: Recondite
Author: Tsukiyamarisa
Main Cast: Kai and [OC] Park Minha
Support Cast: Suho
Genre: Romance, Family, Fluff
Rating: PG-15
.
RECONDITE
.
.
rec.on.dite—derived from Latin word, reconditus, means hidden or to put away
.
.
Everything between us is used to be easy
but why everything becomes so complicated now?
.
.
Park Minha terbangun pada pagi itu ditemani dering bel pintu yang memekakkan telinga, sebuah pesan singkat di ponselnya, dan hawa dingin yang menusuk ngilu kala kakinya menapak di atas lantai. Ia menggigil sejenak, lantas menarik jaket tebal yang berada di gantungan baju dan lekas-lekas menenggelamkan diri ke dalam kehangatan beraroma parfum vanilla tersebut. Seraya mengusap mata yang masih setengah terpejam, Minha melangkah menuju pintu depan untuk melihat siapa yang tega menganggunya di pagi buta begini.
“Minha-ya!”
Hah, seharusnya ia sudah bisa menebak ini.
“Hmmm, sebentar.” Gadis itu bergumam pelan sembari memutar kenop pintu, sepasang maniknya mendapati sosok tinggi seorang pria yang dibalut mantel cokelat tua. Tamunya tersebut membawa sekotak roti dan dua gelas kertas—dari aromanya, Minha menebak bahwa isinya semacam kopi—sementara bibirnya menyunggingkan senyum selebar tiga jari.
“Ini masih—“ Minha menggantungkan ucapannya sejenak dan melirik jam yang tergantung di dinding, “—pukul enam di pagi hari, Kim Jongin. Tahukah kau jam berapa aku tidur semalam?”
Jongin hanya mengedikkan bahu untuk menjawab pertanyaan sang gadis, kedua kakinya melangkah masuk ke dalam apartemen tanpa banyak kata. Ketika ia melewati Minha, tangan Jongin pun otomatis terulur untuk mengacak-acak rambut gadis itu sejenak, senyumnya makin bertambah lebar kala ia bergumam, “Setidaknya aku punya waktu mengobrol denganmu sepagian ini.”
“Kau ‘kan, bisa mengobrol denganku kapan saja.”
“Junmyeon Hyung akan mengajakmu pergi siang ini,” balas Jongin sembari meletakkan bawaannya di atas meja dan membuka kotak roti. Aroma manis pun seketika merebak, membuat perut Minha sedikit bergemuruh kelaparan karenanya. “Ia belum memberitahumu?”
“Belum,” jawab Minha jujur sambil ikut mendudukkan diri dan mencomot sebuah roti cokelat. Pikirannya seketika melayang pada sebuah pesan singkat yang belum sempat ia buka pagi ini. “Mungkin ia mengirimiku pesan, tetapi aku belum membacanya.”
“Well, sekarang kau sudah tahu dan bisa bersiap-siap untuk nanti siang.” Jongin menganggukkan kepalanya sekali dan menyesap cappuccino banyak-banyak sebelum melanjutkan, “Sepertinya ia akan mengajakmu kencan. Semacam itulah.”
“Oh.” Hanya itu tanggapan yang keluar dari bibir Minha. Sambil melanjutkan mengunyah roti cokelatnya, gadis itu memandangi Jongin dengan tatapan setengah melamun. Ia tak mau mengubah suasana hangat yang ada menjadi canggung.
Karena Minha tahu persis, bahwa semuanya tak lagi sama seperti dulu.
Ada yang berubah, tentu saja.
Semua orang di dunia ini sekiranya sudah tahu bahwa perputaran waktu terlalu kejam untuk bisa dihentikan. Detik demi detik di jarum jam, juga tanggal dan bulan di kalender terus berganti. Semuanya bergerak maju, membawa perubahan yang tak bisa ia tolak. Minha tak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya, ia bukan Tuhan atau dewa yang memiliki kekuatan di luar batas kemampuan manusia biasa. Jadi, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah—
“Omong-omong, novelku sudah hampir selesai.” Jongin kembali membuka percakapan, mengalihkan perhatian Minha.
“Hm…”
“Kau masih akan menjadi editornya, ‘kan? Maksudku, aku tak begitu suka dengan para editor lain di percetakan. Apalagi ibu-ibu tua yang satu itu. Hih, mengerikan.” Jongin bergidik dan melanjutkan ocehannya, memaksa Minha untuk mengangkat kepala barang sejenak dan menarik sudut-sudut bibirnya untuk memberikan respon. Pemikiran yang tadi sempat mengganggu benaknya mendadak lenyap, digantikan dengan ekspresi gemas kala ia melihat tingkah Jongin yang kekanak-kanakan.
“Kau memanfaatkan sahabatmu sendiri?” Minha bertanya dengan kekeh lirih, mengajak Jongin bercanda. Sudah bertahun-tahun mereka bersahabat dekat dan—entah karena takdir atau apa—pekerjaan mereka pun memaksa keduanya untuk tetap saling berdekatan.
Mendengar ucapan Minha tersebut, Jongin pun sontak mengerucutkan bibirnya, sebal. Dengan main-main, ia mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi sang gadis dan berkata, “Hei, bukankah itu gunanya sahabat baik? Lagipula, aku percaya pada hasil kerjamu sepenuhnya. Ayolah, Minha-ya, hm?”
Minha menarik tubuhnya menjauh, mengelak dari serangan Jongin. Sembari tertawa, gadis itu meraih gelas kertasnya yang masih penuh—setidaknya ini akan membuat Jongin berhenti mencubitinya—dan menganggukkan kepala.
Iya, beberapa hal boleh berubah. Namun, persahabatan mereka tetaplah sama, bukan? Asal ia bisa tetap melihat Jongin berada di sisinya, bercanda dan saling menggoda seperti ini, maka Minha akan melakukan apa saja. Apa pun itu, ia tidak akan berkeberatan.
“Jadi? Setuju, ‘kan? Ayolah, kau pasti menyukai cerita yang satu ini.”
“Oke,” sahut Minha menyetujui. “Jadi, kapan aku bisa mulai membaca novelmu itu, Tuan Kim?”
***
Tiga menit sudah berlalu dan Junmyeon masih enggan melepas pandang dari sosok gadis berambut sebahu yang duduk di hadapannya. Aura hening jelas kentara di antara mereka, kontras dengan keramaian yang mengisi setiap sudut rumah makan itu. Di atas meja, tersaji makanan yang menguarkan aroma saus jamur dan kuah kaldu hangat, memanjakan hidung dan mampu menerbitkan air liur dalam waktu sekejap mata. Namun, alih-alih menyentuhnya, sang gadis malah asyik memainkan jari-jarinya di atas meja. Melamun.
“Minha-ya, makanlah.”
Minha tersentak kaget, lantas menganggukkan kepalanya perlahan. Tangan kanannya meraih sendok yang ada dan mulai mencelupkan peralatan makan perak itu ke dalam kuah sup. Kendati begitu, ia hanya mengaduk-aduk makanan di depannya sambil menghela napas berat, matanya lekat memandangi Junmyeon kala ia bertanya, “Ada kabar apa, memang?”
“Kau sudah bertemu Jongin pagi ini, bukan?” Junmyeon balik bertanya sembari mencelupkan sepotong daging ke dalam saus jamur dan memasukkan hidangan itu ke dalam mulutnya. “Seperti yang kaulihat. Masih sama.”
“Aku tahu itu.” Minha menopangkan dagunya pada sebelah tangan, matanya berkelebat ke kaca jendela yang kebetulan terletak di samping kirinya. Hiruk-pikuk di luar sana belum mereda, jalanan disesaki oleh puluhan orang yang menenteng tas belanja atau pernak-pernik berwarna emas dan merah. Di seberang jalan, Minha bahkan bisa melihat seorang anak yang tengah menunjuk sebuah pohon natal sembari menarik-narik celana ayahnya.
Benar, ini sudah bulan Desember. Natal dan tahun baru sudah di depan mata, hanya kurang beberapa minggu saja lamanya. Udara begitu dingin menusuk tulang, tetapi hingga saat ini, tak sebutir salju pun tampak di langit kota Seoul.
Kebahagiaan ada di mana-mana, dan Minha sungguh-sungguh berharap bahwa musim dinginnya kali ini pun dapat dipenuhi dengan canda tawa. Ia belum tahu akan melewatkan liburan ini dengan cara apa—salahkan deadline-nya yang kejam itu—dan ia sendiri juga belum menyusun rencana barang sedikit pun.
“Kau… tidak berencana menyatakan perasaanmu pada Jongin?” Perkataan itu tiba-tiba terucap dengan begitu mudahnya dari bibir Junmyeon, membuat Minha menoleh dengan enggan dan lekas-lekas menggelengkan kepalanya.
“Untuk apa?”
“Agar ia tak terus-terusan menganggapmu sebagai sahabat semata?”
“Tidak. Aku—“ Minha menggantungkan perkataannya sejenak di ujung lidah, tampak ragu. Sembari membiarkan kilas balik kejadian setahun yang lalu mengisi benaknya, gadis itu menggelengkan kepalanya lebih mantap lagi dan berkata, “Aku memilih untuk menunggu saja. Kurasa ini… yang terbaik, ‘kan?”
Junmyeon mendengar omongan gadis itu tanpa berkomentar barang sedikit pun. Ia tahu persis bagaimana perasaan seorang Park Minha. Selama setahun ini, ia adalah satu-satunya tempat bagi Minha untuk menuturkan semua isi hatinya. Jadi, alih-alih memaksa gadis itu atau mendebat keputusannya, Junmyeon hanya mengulum senyum kecil dan mengangguk paham.
“Yeah. Dan, Minha-ya…”
“Kenapa?”
Junmyeon tersenyum lembut. “Kau akan selalu memiliki diriku sebagai tempat berbagai cerita. Ingat itu.”
.
.
Still, some things are remaining the same,
Like our past, I find out that I still keep blushing at your every single touch
.
.
“Taman bermain?”
“Iya.”
“Memang novelmu sudah selesai?” selidik Minha sembari menjepit ponselnya di antara bahu dan telinga, kedua tangannya kembali sibuk mengedit naskah biografi yang kini terpampang jelas di layar laptop. “Aku sedang dikejar deadline, tahu.”
“Belum, ideku macet di tengah jalan,” adu Jongin layaknya anak kecil. “Ayolah, memang deadline-mu itu kapan, sih?”
Minha memutar kedua bola matanya, sedikit kesal. Sambil mengembuskan napas keras-keras ia pun berkata, “Tanggal 30 Januari. Itu sebentar lagi, Jongin, dan aku tida—“
“Demi Tuhan, itu masih sebulan lebih!”
“Tetap saja, aku tidak suka menund—“
“Taman bermain, sekarang.”
“Yaa! Kim Jongin!”
Jongin terkekeh keras di seberang sana, membuat Minha merasa sebal sekaligus menghadirkan sepercik kegembiraan pada waktu yang bersamaan. Saat-saat seperti ini selalu berhasil membuat Minha melupakan realita yang ada, mengizinkannya untuk kabur barang sejenak dan melepas penat. Ia senang jika Jongin memperhatikannya seperti ini, senang jika Jongin bersikap bahwa sesuatu yang salah tidak pernah terjadi di antara mereka.
“Apa yang kudapat jika aku menuruti ajakanmu?”
“Eum…tiket masuk gratis untuk bermain sepuasnya sekaligus bersenang-senang dengan pria tampan sepertiku?”
“Percaya diri sekali,” timpal Minha cepat seraya melarikan jari-jarinya di atas keyboard. Setidaknya, ia harus bisa menyelesaikan bab ketujuh dari buku yang sedang digarapnya ini sebelum pergi bersama Jongin. Oh, Minha tidak akan menolak ajakan pria itu, tentu saja.
“Mau tidak?” Jongin masih terus mengejarnya dari seberang sana. “Atau jangan-jangan… kau sudah ada janji dengan Junmyeon Hyung? Kalau begitu—“
“Junmyeon Oppa? Ia ‘kan sedang sibuk,” bantah Minha cepat sembari menekal tombol save dan mematikan laptopnya. Heran, kenapa sih, Jongin selalu membawa-bawa Junmyeon dalam setiap percakapan mereka?
“Siapa tahu kalian ada kencan atau—“
“Oke, oke! Aku akan bersiap-siap sekarang, Kim Jongin. Kalau kau tidak datang pukul—“ Minha menggantungkan ucapannya sejenak, lantas melirik ke arah jam, “—setengah sebelas nanti, aku tidak jadi pergi denganmu.”
“Kau gila! Itu cuma lima belas menit, tahu!”
“Rumahmu hanya sepuluh menit jauhnya.”
“Iya sih, tapi aku ‘kan baru saja bangun tidur.” Jongin bergumam malu di telepon, membuat Minha sontak membelalakkan matanya. Astaga, kebiasaan Jongin tidur larut malam dan bangun terlampau siang di keesokan harinya itu belum berubah ternyata.
“Lima belas menit, Kim Jongin.”
“Hei! Park Minha! Aish, kau tak boleh pergi kemana-mana tanpaku, oke?!”
Piip.
Telepon ditutup begitu saja, dan selama beberapa detik, Minha bersumpah bahwa ia bisa mendengar bunyi lemari yang terbuka dan suara Jongin yang mengaduh sambil menyumpah keras—mungkin tersandung sesuatu. Tawa pun seketika terlepas dari bibir Minha, membuat semua beban dan rasa stres yang ia rasakan belakangan ini menguap.
Aku sudah menunggumu selama hampir setahun lamanya, Kim Jongin. Lima belas menit atau lebih bukan masalah besar bagiku.
***
“Kaucari mati denganku, hah?!” Minha memprotes keras kala mereka berjalan keluar dari wahana rumah hantu. Ia takut hantu, ia benci film horor, dan ia tak suka apa pun yang berhubungan dengan dunia makhluk gaib tersebut. Sial baginya, Jongin teramat menyukai semua hal itu dan sudah keburu menarik Minha masuk ke dalam antrean sebelum gadis itu sempat mengelak.
“Tidak. Aku hanya mencari hiburan.”
“Hiburan apanya?” Minha memukul lengan Jongin, sebal. “Kauingin aku mati muda?”
“Hiburan karena melihatmu berteriak sembari bersembunyi di balik tubuhku itu lucu sekali,” jawab Jongin sambil lalu, matanya sibuk beredar ke seluruh wahana yang ada. “Aku jadi merasa seperti pahlawan super.”
Jawaban itu spontan membuat sang gadis mendengus perlahan sembari memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang merambat di pipi. Ia tak bisa memungkiri perkataan Jongin yang satu itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk langsung bersembunyi di balik Jongin atau memeluk lengan pria itu erat-erat demi menahan rasa takut. Sejak dulu, Jongin suka sekali menggodanya dalam hal ini—satu hal yang membuat jantung Minha terpaksa bekerja ekstra keras dan darah pun seketika mengalir deras ke wajahnya tanpa kompromi.
Minha benci hantu, tapi ia suka jika Jongin merangkulnya dan bersikap bak pahlawan yang mampu melindungi Minha dari apa pun juga.
Ia tak bisa menyangkal hal itu.
“Baik, berikutnya kau yang pilih,” putus Jongin sambil menarik lengan Minha, menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Satu wahana lagi, bagaimana?”
“Tentu.” Minha ikut menebar pandangnya ke seluruh taman bermain, mencari-cari atraksi permainan yang tepat. Mereka sudah menghabiskan hampir berjam-jam di tempat ini, mencoba permainan paling ekstrem seperti roller coaster dan roda yang bisa berputar hingga 360 derajat, menonton karnaval yang melibatkan tokoh-tokoh film animasi, hingga memenuhi perut mereka dengan sosis panggang dan gula-gula kapas yang dijajakan di setiap sudut arena.
Yang tersisa adalah…
Sebuah ide mendadak muncul di kepala Minha, membuat ekspresi berseri-seri di mimik mukanya makin kentara. Sembari menarik tangan Jongin, gadis itu membawa sang pria menuju sisi selatan taman bermain. Telunjuknya mengarah ke sebuah roda besar yang sedang berputar lambat, antreannya tampak didominasi oleh pasangan kekasih yang sedang berkencan.
“Ferris wheel?”
“Iya. Aku mau naik itu, Jongin-a.”
***
Kalau mau jujur, Minha punya alasan lain di balik permintaannya untuk menaiki ferris wheel ini.
Mereka berdua kini tengah berada di dalam salah satu gondola yang berbentuk seperti rumah-rumahan mungil, mengamati pemandangan seluruh kota dari ketinggian. Di seberang mereka, tampak sepasang kekasih yang sedang berangkulan sembari terkikik pelan, kadang malah diselingi dengan suara kecupan yang serta-merta membuat Minha memasang ekspresi jengah.
“Kenapa?”
“Bukan apa-apa,” balas Minha sembari mengalihkan perhatiannya ke jendela dan membiarkan embusan napasnya mencetak kabut di atas permukaan kaca. Gadis itu mengulurkan telunjuknya untuk menulis nama Jongin, kemudian buru-buru menghapusnya tatkala ia merasakan lengan Jongin tersampir di atas pundaknya.
Rasanya hangat. Tepat, seolah-olah eksistensi Jongin di sampingnya memiliki arti yang begitu besar. Sahabatnya itu selalu sukses menghadirkan rasa aman dan nyaman dalam situasi apa pun, salah satu penyebab mengapa Minha begitu mencandu akan kehadiran sang pria. Kedua pipinya pun kontan memanas, terlebih kala Jongin mencondongkan tubuh lebih dekat dan berbisik, “Terima kasih untuk hari ini.”
“Um, sama-sama.”
Minha tak bisa berpikir jernih, tidak jika tubuh Jongin masih menempel begitu dekat dengannya dan sisa-sisa pernapasannya pun menggelitik tengkuk Minha dalam artian yang menyenangkan. Sang gadis hanya bisa memejamkan matanya erat, memanggil ulang memori dari masa lampau yang masih tercetak dengan jelas di lapisan-lapisan otaknya bak rol film.
Kira-kira, ia ingat tidak, ya?
Apa Jongin benar-benar tak mampu mengingatnya, walau barang sekelumit memori saja?
“Hei, Jongin-a.”
“Kenapa?” Suara Jongin terdengar begitu dekat dengannya, berat dan sedikit lelah. Perlahan, Minha pun membalikkan badannya dan menurunkan lengan Jongin yang masih tersampir di pundaknya. Ia terlihat sedikit ragu untuk menyuarakan isi otaknya.
“Apa kau…”
Kelu, itu rasanya saat kata-kata yang sudah terproses apik di dalam benaknya mendadak macet di ujung lidah, menolak untuk dikeluarkan. Ragu-ragu, Minha mengulurkan tangan untuk menggenggam milik Jongin dan berbisik pelan, “…kau… benar-benar tidak ingat, ya? Tahun lalu, kita juga ke tempat ini dan….”
“Maaf.” Jongin menundukkan kepalanya dalam, tampak menyesal. “Aku… yah, setidaknya aku tak benar-benar melupakanmu, bukan? Park Minha adalah sahabat terbaikku, selamanya aku akan mengingat itu.”
“Tentu saja,” balas Minha mantap sambil menarik seulas senyum dan menepuk-nepuk lengan Jongin, berusaha menghilangkan perasaan bersalah pemuda itu. “Itu… bukan masalah besar, kok.”
Jongin mengangguk mengerti, membiarkan keheningan mengambil alih suasana. Dalam diam, mata keduanya tertuju pada pemandangan kota yang terpampang jauh di bawah sana, tampak berkilauan oleh titik-titik cahaya lampu. Namun, alih-alih memfokuskan perhatian pada keindahan yang ada, kedua anak manusia tersebut malah hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
“Omong-omong, malam itu…”
“Ya?” Minha menoleh cepat, lamunannya buyar begitu saja. Detak jantungnya serasa mengalami akselerasi, mendadak berpacu makin cepat setelah mendengar kata-kata yang dikeluarkan oleh Jongin.
“…apa ada sesuatu yang penting?”
“Oh.” Minha membuka mulutnya, lantas mengangguk maklum. Tentu saja, mana mungkin Jongin tiba-tiba ingat? Jangan terlalu berharap, Park Minha.
“Jadi?” desak Jongin seraya menilik Minha dalam-dalam. “Atau kau juga sudah lupa?”
Huh, yang benar saja. Itu tidak akan terjadi, Jongin. Mana mungkin aku lupa pada malam itu, mengingat kau telah mengatakan sesuatu yang teramat penting bagiku?
Ya, Minha tidak akan lupa karena—
“Silakan keluar, Nona, Tuan.”
Sang penjaga menarik pintu gondola mereka hingga terbuka lebar, menunggu. Pasangan kekasih yang tadi berbagi ruang dengan mereka sudah keluar terlebih dahulu, keduanya makin menempel erat bak lintah yang menemukan kulit manusia. Sembari mengucapkan terima kasih pada si penjaga wahana, Jongin mengulurkan tangannya untuk menggandeng Minha dan menarik gadis itu keluar dari arena.
“Minha-ya, ayo kit—“
Kelanjutan ucapan Jongin tersebut tidak pernah terdengar karena sang pemuda baru saja merasakan sesuatu yang hangat dan lembut menempel pada pipinya. Satu yang membuat napasnya tercekat karena kaget, menjungkirbalikkan kerja otaknya tanpa kenal belas kasihan.
Park Minha baru saja mengecup pipinya.
.
.
Everything that happen between us is just a combination of misunderstanding, afraidness, and foolishness
Love, it really makes us act stupid, right?
.
.
“Jongin?”
Tidak ada jawaban.
Junmyeon mengembuskan napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya di birai pintu, tatapannya tak lepas dari sosok sang adik yang rupanya tengah tertidur lelap dalam posisi menelungkup di atas meja. Dengkuran halus terdengar mengisi keheningan, membuat Junmyeon lagi-lagi menghela napas seraya meraih selembar selimut yang terletak di atas ranjang.
“Kenapa kau hobi membuat cemas semua orang, huh?” Junmyeon mengeluh pelan sambil menyelimuti Jongin, tangannya otomatis terulur untuk mengacak-acak puncak kepala adiknya itu dengan penuh kasih sayang. Sudah hampir seminggu lamanya Jongin berdiam diri di dalam kamarnya, dan jujur saja, itu membuat Junmyeon merasa khawatir setengah mati.
“Sebenarnya… apa yang terjadi denganmu dan Minha?” gumam Junmyeon dalam bisikan rendah, matanya menerawang ke arah meja Jongin yang dipenuhi tumpukan kertas dan buku-buku. Pikirannya melayang ke sebuah kejadian, satu yang terjadi tepat tujuh hari silam.
Kala itu, Junmyeon mendapati adiknya pulang dengan napas terengah-engah dan ekspresi wajah kalut. Pemandangan itu jelas membuat kening Junmyeon berkerut heran, karena sejauh yang ia tahu, Jongin baru saja menghabiskan waktu bersama Minha di taman bermain. Apa terjadi sesuatu di sana? Apa mereka bertengkar?
Berbagai macam kemungkinan muncul di dalam benak Junmyeon, menambah kadar kecemasannya hingga ke parameter teratas. Seraya mengekori langkah Jongin, Junmyeon bisa mendengar adik lelakinya itu menceracau tidak jelas dan membanting pintu kamarnya hingga tertutup rapat.
Dari sanalah, Junmyeon tahu bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sini. Hari-hari berikutnya, Jongin menolak untuk menemui Minha dan tidak mau mengangkat telepon dari gadis itu. Bukan hanya Minha, ia pun bahkan menghindari Junmyeon, bersikap seolah ia malas melihat wajah Junmyeon dan enggan mengobrol panjang lebar dengan kakaknya itu.
“Apa yang terjadi, Jongin? Apa? Kau boleh menjauhiku, tapi kenapa kau harus menjauhi Minha? Apa salahnya?” Junmyeon bertanya lagi, membiarkan desau angin yang membawa kesunyian menjadi jawaban atas rasa ingin tahunya itu. Sepasang iris Junmyeon kini berkelebat ke seluruh permukaan meja, berharap ia bisa menemukan sebuah jawaban di sana.
Dan—seolah mendengar isi hatinya—jawaban itu memang ada di sana.
Aku mencintaimu, Minha. Baik sekarang, ataupun setahun yang lalu.
Kalimat itu tercetak jelas di atas kertas, tepatnya pada sebuah buku bersampul cokelat muda yang tergeletak di meja dengan posisi terbuka. Tanpa berpikir lagi, Junmyeon mengulurkan tangannya untuk mengambil buku itu, berhati-hati agar tidak membangunkan sang adik yang masih pulas. Barulah ketika buku cokelat tersebut sudah berpindah dengan aman ke tangannya, Junmyeon menyadari bahwa ia tengah memegang salah satu barang pribadi Jongin—buku hariannya.
Aku butuh jawaban, Junmyeon berkata pada dirinya sendiri seraya membolak-balik halaman buku tersebut, berusaha mengusir rasa bersalah yang ada. Jongin mungkin akan marah padanya, tetapi pilihan apa yang ia punya di sini? Sudah seminggu Jongin menghindarinya, dan sudah selama itu pula Minha terus-menerus meneleponnya untuk menanyakan kondisi Jongin dan meminta maaf.
Maaf untuk apa? Bagaimana Junmyeon bisa menerima kata “maaf” itu jika ia bahkan tak tahu duduk permasalahannya?
Kau melakukan hal yang benar. Tidak apa-apa.
Sembari melangkah keluar dari kamar Jongin, Junmyeon membalik buku harian itu dan mulai membaca kata-kata yang tertulis di halaman pertamanya. Tanggal yang tertera di sana menunjukkan bahwa diary ini mulai ditulis pada malam Natal, tepat setahun lalu.
December 24th 2012
Kurasa aku mencintaimu, Minha-ya.
Aku belum pernah mencintai seseorang sebelumnya, dan aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan ini.
Kalau aku menyatakan perasaanku, kira-kira apa reaksimu?
December 25th 2012
Tapi, setelah kupikir-pikir lagi, kurasa aku tak cukup berani mengatakannya.
Aku takut kalau ternyata kau mencintai lelaki lain.
Bahkan, rasa cinta ini mendadak terasa menakutkan untukku.
December 31st 2012
Aku pasti sudah gila ketika membiarkan kata ‘aku menyukaimu’ terlepas begitu saja dari bibirku!
Park Minha, kutunggu jawabanmu!
January 27th 2013
Kalau melupakanmu adalah jalan terbaik, maka berpura-pura lupa pun aku tak masalah.
Mungkin, kecelakaan itu adalah hadiah dari Tuhan, membantuku untuk menciptakan sebuah alibi yang lebih kuat.
Namun… aku masih bisa menjadi sahabat terbaikmu, kan?
Kaki Junmyeon seketika melemas.
“…maka berpura-pura lupa pun aku tak masalah.”
Apa maksudnya? Apa makna di balik kalimat ini?!
Merasa bingung, Junmyeon lekas-lekas membalik halaman buku harian Jongin. Ia terus membaca, menyadari bahwa buku ini menyimpan semua rahasia Jongin yang selama ini tak pernah ia ketahui. Sebuah kesadaran menghantamnya dengan telak, memunculkan ekspresi gusar dan terluka di raut wajahnya.
Kini, Junmyeon mengerti.
Apa yang terjadi di antara mereka adalah sebuah kesalahpahaman semata. Sebuah kebodohan yang bercampur dengan rasa takut, sebuah penyangkalan yang malah membuat Jongin dan Minha terluka. Ini tidak benar. Ini sebuah kesalahan. Dua orang yang saling menyukai sudah seharusnya bersatu, bukan?
Sambil mengepalkan kedua tangannya, Junmyeon kembali berderap menuju kamar Jongin dan membanting pintu kayu itu keras-keras, tak memedulikan sang pemilik yang terlonjak kaget karena dibangunkan secara paksa.
“Kim Jongin, kita harus bicara.”
Ya, sudah saatnya kita meluruskan semua ini.
.
.
Love, whether it’s between couple, friends, or family,
is the best thing that could happen in your life
.
.
“Sudah kubilang, aku tak mau berbicara dengan siapa pun,” elak Jongin sambil bangkit dari kursinya dan menjatuhkan selimut ke atas lantai. Pemuda itu membalikkan badannya, jelas-jelas menolak untuk menatap Junmyeon yang kini tengah berdiri di dalam kamarnya sembari menahan emosi.
“Sampai kapan kau mau begini?” Junmyeon berujar, berusaha agar tidak menaikkan nadanya dan membuat situasi bertambah keruh. Ia mengambil satu langkah maju, mendekat ke arah Jongin seraya mengacungkan buku harian adiknya itu. “Sampai kapan kau akan menyimpan semua rasa sakit itu sendirian?”
“Apa maksud—” Manik Jongin seketika melebar kala ia menoleh ke arah Junmyeon dan mendapati buku hariannya tengah berada di tangan sang kakak. Gusar, ia pun berderap ke arah Junmyeon dan bermaksud meraih barang itu kembali.
“Aku akan mengembalikannya, Jongin. Aku tahu ini salah. Tetapi, maukah kau mengakui bahwa semua hal yang tersembunyi di dalam sini adalah sebuah kesalahan juga?”
“Kau tidak mengerti, Hyung!”
“Kalau begitu, beri aku penjelasan. Buat aku paham,” kata Junmyeon lirih seraya menyodorkan buku itu, tatapan matanya kini sedikit melembut. “Beritahu aku, Kim Jongin. Mengapa kau berpura-pura amnesia? Mengapa kau berpura-pura lupa bahwa kau mencintai Minha? Apa ini karena aku? Karena kau mengira bahwa aku mencintai Minha?”
Rentetan pertanyaan dari Junmyeon tersebut sontak membuat Jongin bungkam. Alih-alih meraih buku hariannya, Jongin malah kembali membelakangi kakaknya itu seraya bergumam, “Kau tak akan paham.”
“Jongin.”
“Pergilah.”
“Kim Jongin, tolonglah….”
“Pergi, Hyung.”
“Jo—“
“Kau tak tahu bahwa aku terlalu takut untuk mencintai!” bentak Jongin pada akhirnya, terlihat kesal. Dengan enggan, pemuda itu pun membalikkan tubuhnya dan melanjutkan, “Seumur hidupku, apa pernah ada seseorang yang benar-benar mencintaiku? Orangtuaku bahkan tak peduli padaku! Aku hanya laki-laki malang yang tak pantas dicintai, bukan?!”
Kata-kata Jongin tersebut tak ayal membuat Junmyeon tersentak, mendatangkan rasa muram pada ekspresi wajahnya. Hati-hati, Junmyeon pun menarik Jongin ke dalam pelukannya, berusaha keras untuk tidak memedulikan makian dan sikap meronta-ronta lelaki itu. Ia hanya ingin Jongin melepas semua beban yang ada, dengan sukarela menyediakan bahunya sebagai tumpuan. Itu ‘kan, yang seharusnya dilakukan seorang kakak?
“Lepask—“
“Kalau kau mau bercerita,” bisik Junmyeon sambil mengelus punggung Jongin, “maka aku akan mendengarkan. Sudah berapa kali kubilang, terlepas dari fakta bahwa kau bukan adik kandungku, aku menyayangimu. Jadi, bisakah kau percaya padaku?”
“Aku…” Jongin berhenti meronta, membiarkan telapak tangan sang kakak terus mengelus punggungnya dengan lembut. Tanpa sadar, ia pun menyandarkan dagunya pada bahu Junmyeon, berusaha menyembunyikan getar rasa takutnya di sana. “Aku… aku tak tahu harus berbuat apa, Hyung.”
“Kalau begitu, ceritakan. Beritahu aku mengenai segalanya. Bisa?”
Jongin menarik diri dari pelukan Junmyeon, lantas membalas tatapan mata kakaknya itu lekat-lekat. Membiarkan sepasang iris hitam mereka bertemu, menyelami rasa aman yang ditawarkan oleh Junmyeon.
“Hyung…” Jongin memulai, tampak ragu. Ia melirik Junmyeon dari sudut matanya, mendapati bahwa sorotan yang tengah diberikan kakaknya itu terlihat begitu tulus. Satu hal yang baru ia sadari sekarang, setelah setahun penuh lamanya ia menutup diri dan menanggung semuanya dalam kepedihan. “…setelah kuceritakan semuanya, tolong jangan marah padaku, ya?”
Junmyeon mengangguk mantap. “Oke. Tidak akan. Jadi, kita mulai dari mana?”
Jongin menarik napas panjang dan mengambil buku hariannya dari tangan Junmyeon, lantas mulai bercerita. “Setahun lalu…”
.
.
Some people choose to confess their feeling and take any risks that come bravely
But some people—like me—choose to stay silent, simply because we are just too afraid
.
.
“Setahun lalu aku menyatakan perasaanku pada Minha. Itu semua terjadi tanpa direncanakan, keluar begitu saja kala aku mengajaknya pergi ke taman bermain,” ucap Jongin sambil memainkan ujung-ujung jemarinya, terlihat takut. “Saat itulah aku sadar, bahwa setelah sekian tahun mengenal Minha, tak ada hal yang lebih kuinginkan di dunia ini selain terus berada di sisinya.”
“Lantas, kenapa pada saat kecelakaan, kau malah berpura-pura terkena amnesia?”
“Itu…” Jongin berdeham pelan, kemudian melanjutkan, “Ingatkah kau pada phobia yang kumiliki sewaktu kecil, Hyung? Bahwa aku pernah menderita philophobia—ketakutan akan perasaan cinta?”
Bibir Junmyeon spontan terkatup rapat, sementara pikirannya terlempar ke masa lalu. Ia ingat, tentu. Ia ingat persis bagaimana kondisi Jongin semasa masih kecil dulu, bagaimana lelaki yang sudah ia anggap sebagai adik kandung ini pernah mengalami rasa takut yang teramat sangat pada segala jenis cinta.
Salahkan orangtua anak itu. Ayah Jongin pergi dari rumah ketika Jongin masih berumur empat tahun—kabarnya ia berselingkuh dengan wanita lain. Tak jauh berbeda dari sang ayah, ibunya pun ternyata melakukan hal yang serupa. Bukannya mengurus Jongin yang waktu itu nyaris tidak pernah merasakan kasih sayang, beliau malah pergi ke klub malam dan asyik bermain bersama para lelaki hidung belang. Meninggalkan Jongin sendirian setiap harinya, tidak pernah tersentuh oleh cinta dan kehangatan sebuah keluarga.
Itu dulu, sampai akhirnya orangtua Junmyeon pun datang dan mengambil alih situasi. Mengangkat Jongin—yang berstatus sebagai adik sepupu Junmyeon—sebagai anak sendiri, merawatnya dengan layak hingga ia dewasa.
Namun, layaknya anak kecil yang pernah mengalami trauma, Jongin pun tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Ia tidak percaya cinta. Tidak percaya bahwa di dunia ini, masih ada orang yang peduli padanya. Junmyeon sendiri butuh waktu bertahun-tahun agar Jongin bisa mulai melihatnya sebagai seorang kakak dan menumbuhkan rasa percaya itu. Segalanya tidak pernah mudah.
“Ingat?”
“Tentu saja.”
“Phobia itu memang sempat menghilang, terlebih setelah aku mulai menganggapmu sebagai kakak dan bertemu Minha. Seperti yang sudah bisa kautebak, pada akhirnya aku pun malah jatuh cinta pada Minha. Seperti sebuah keajaiban, semua rasa takutku lenyap begitu saja.
“Tetapi…” Jongin menerawang, berusaha mengingat-ingat. “Ketika aku menyatakan perasaanku pada Minha, gadis itu tak langsung memberiku jawaban. Lalu, beberapa minggu setelahnya, aku malah terlibat dalam sebuah tabrakan. Memang benar bahwa aku baik-baik saja, namun apa yang kulihat sewaktu aku sadarlah yang membuat semuanya tidak baik-baik saja. Tidak lagi.”
“Maafkan aku,” gumam Junmyeon, mendadak menyadari arah pembicaraan Jongin. Bagaimanapun juga, ia bukan orang bodoh. Apa yang dilihat Jongin sewaktu ia siuman adalah suatu hal yang berhubungan erat dengan Junmyeon. Secara tidak langsung, ia terlibat. Ia yang membuat adiknya menderita seperti ini.
“Jangan, Hyung.” Jongin menggeleng pelan. “Waktu itu, jujur saja, kau mencintai Minha, ‘kan? Aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat bagaimana caramu memandang gadis itu, bagaimana caramu merangkul dan menyediakan bahumu sebagai sandaran. Kau mencintai Minha, dan saat itu, kupikir kau adalah lelaki yang jauh lebih tepat untuknya.”
“Kau jauh lebih berhak memilikinya. Toh, aku sudah tak mencintai Minha sebesar dulu. Aku hanya menganggap gadis itu sebagai adik yang harus kujaga.” Junmyeon mengedikkan bahunya, lantas memicingkan mata ke arah Jongin. “Maka, seharusnya kau tak berpura-pura—”
“Aku tahu kalau ini tak bisa dijadikan sebuah pembelaan, tetapi aku takut, Hyung. Itu saja. Minha selalu bersikap sama di hadapan kita berdua, membuatku tak bisa menebak perasaannya. Kau mencintainya, begitu pula dengan diriku. Dalam situasi seperti ini, salah satu pihak pasti akan terluka, bukan? Kau, atau aku,” jelas Jongin panjang lebar sembari menarik napas dalam, berusaha memenuhi paru-parunya dengan pasokan oksigen. “Karena itulah—“
“Aku tidak akan terluka, Jongin,” sambar Junmyeon, terlihat gemas melihat jalan pikiran adiknya ini. “Sejak berbulan-bulan lalu, aku menyadari bahwa perasaanku pada Minha hanyalah sebatas kakak terhadap adiknya, sebatas seorang teman yang sering berbagi cerita. Tak lebih.”
“Tetap saja,” ujar Jongin sambil mengulas senyuman singkat. “Menilik dari pengalamanku di masa lalu, kau tak bisa menyalahkan rasa takut yang mendadak muncul. Aku tidak siap untuk ditinggalkan lagi. Aku tak akan bisa menanggungnya. Jadi, sebelum terluka, aku memilih mundur. Setidaknya, dengan menjadi sahabat Minha dan tidak mengingat pengakuan cinta itu, kami akan tetap bisa bersama, bukan?”
“Itu hal terbodoh yang pernah kudengar, Kim Jongin,” Junmyeon berucap tajam seraya memukul kepala adiknya itu ringan. “Lalu, soal kejadian minggu lalu, kenapa kau tiba-tiba menghindari Minha?”
“Ah…” Jongin mengusap pipinya, merasakan panas merambati kulit itu kala ia teringat kecupan Minha. “Dia menciumku dan aku… entahlah kurasa aku hanya panik. Takut. Aku tak tahu, Hyung. Malam itu, semuanya terasa begitu kabur dan…”
“Oke, aku paham,” balas Junmyeon, tak ingin memaksa Jongin lebih jauh dan membuat rasa takutnya kembali muncul ke permukaan. “Nah, sekarang, setelah kau mengakui semuanya padaku—“
“Kau tak akan marah, bukan?”
“Aku akan marah jika kau tak pergi menemui Minha sekarang dan menjelaskan semua ini, bodoh!” bentak Junmyeon tiba-tiba, membuat Jongin nyaris terjungkal dari kursi tempat ia duduk. Seraya memijat-mijat pelipisnya, Junmyeon mengarahkan tatapan kesal pada adiknya itu dan menambahkan, “Park Minha selalu mencintaimu. Percayalah.”
“Darimana kau tahu?”
Junmyeon tersenyum simpul. “Karena Minha selalu menceritakan semua perasaannya padaku. Karena Minha selalu berkata bahwa ia menyukai musim dingin, dengan alasan bahwa orang yang ia cintai adalah penyuka salju. Itu jelas bukan aku.”
“J-jadi…”
“Ya, Kim Jongin. Sekarang, pergilah ke tempat Minha sebelum aku menendangmu keluar dari rumah ini, paham?”
.
.
If two people love each other and destined to be together,
then no matter what happen, they’ll always find their way back
.
.
Tidak sulit bagi Jongin untuk menemukan Minha.
Gadis itu selalu melewatkan malam Natal di sebuah taman kecil yang terletak di samping apartemennya, mengamati kerumunan orang yang berlalu-lalang seraya berharap salju akan turun dan menghiasi seluruh sudut taman. Sebuah kebiasaan yang sudah Jongin hafal di luar kepala, mengingat bahwa selama bertahun-tahun, dirinya pulalah yang menemani Minha untuk melakukan rutinitas itu.
Maafkan aku, batin Jongin sembari berlari menyusuri jalan setapak, memacu kakinya secepat mungkin ke arah kursi batu yang terletak di pojok barat—tempat keduanya biasa bercengkerama. Malam ini pun, aku akan menemanimu, Minha-ya.
Sambil mengulang-ulang permintaan maafnya itu, Jongin menebar pandang ke seluruh area taman untuk mencari sosok Minha. Ia tahu bahwa gadis itu pasti akan berada di sana. Sesuatu di dalam benaknya terus-menerus mengatakan bahwa Minha akan selalu setia menunggunya kembali, bahwa hubungan mereka tidak akan hancur begitu saja. Jongin percaya pada semua yang dikatakan oleh instingnya dan…
“Park Minha!”
…ia tidak menyesal.
Sepasang pupil Jongin dengan segera menangkap tubuh Minha yang sedang duduk di atas kursi sambil menerawang ke arah langit malam—mungkin menunggu salju turun. Dari belakang sini, Jongin bisa merasakan betapa ia merindukan sosok itu, betapa ia ingin merengkuh Minha dan tidak pernah melepaskannya lagi, serta betapa inginnya ia menghapus aura sedih yang tampaknya menggelayuti pundak mungil itu.
“Minha-ya….”
Dan tanpa meminta izin atau memberi peringatan, Jongin pun mengulurkan lengannya untuk mendekap tubuh Minha dari belakang. Membiarkan gadis itu tersentak kaget dan menoleh perlahan, lantas memekik kecil kala ia menyadari bahwa Jongin-lah yang sedang memeluknya erat.
“J-jongin-a… sedang apa….”
“Maafkan aku,” bisik Jongin seraya membenamkan kepalanya pada lekuk bahu Minha, mencium aroma manis vanilla yang sudah amat ia kenal. Lamat-lamat, pemuda itu pun kembali menghirup napas panjang, seolah berusaha untuk memastikan bahwa semua ini nyata.
“Untuk apa? Dan kenapa kau memelukku erat sekali, hm? Rindu?”
“Ya,” jawab Jongin jujur. Ia tidak berniat untuk menutup-nutupi perasaannya lagi. Kini, sudah saatnya kejujuran mengambil alih. Sudah saatnya ia bersikap berani dan menghadapi semua rasa takutnya, mengungkapkan semua rasa yang dulu pernah ia sembunyikan dan ia buang jauh-jauh.
“Jongin, ini di tempat umum….”
“Aku tak peduli. Aku….” Jongin mengembuskan sisa-sisa pernapasannya pada pundak Minha, membiarkan gadis itu sedikit bergidik kala udara hangat menyentuh kulit lehernya yang terbuka. “Aku akan menceritakan sesuatu padamu. Kau boleh merasa kecewa padaku setelahnya, kau juga boleh marah. Tapi, tolong, dengarkan penjelasanku hingga akhir.”
Minha tidak berkata apa-apa, namun satu anggukan ringan dari gadis itu sudah cukup untuk menghapus rasa takut Jongin dan memunculkan semua keberaniannya. Inilah saatnya. Seperti kata Junmyeon, ia harus meluruskan semua salah paham dan kebodohan ini.
“Ingatkah kau, Minha, bahwa setahun yang lalu….”
Dan Jongin pun menuturkan segalanya.
***
Gadis itu mendengar semua penjelasan Jongin tanpa berkomentar. Hampir lima belas menit lamanya ia duduk di tempat itu, membiarkan sang lelaki mendekapnya erat dari belakang sembari mendengar bisikan demi bisikan yang dipenuhi rasa sesal dan bersalah. Untuk saat ini, Minha benar-benar tak tahu harus berkata apa. Tak pernah barang sekali pun ia membayangkan bahwa Jongin menyimpan rahasia sebesar ini darinya. Siapa yang sangka bahwa ternyata selama setahun ini ia sudah…
“Aku tak berharap kaubisa memaafkanku secepat itu. Aku hanya ingin mengakui segalanya, Minha-ya.”
…dibohongi.
“Jongin, aku….” Minha menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jatungnya yang berdentam-dentam. Di satu sisi, ia merasa senang. Senang karena akhirnya Jongin mau mengakui perasaannya, juga senang karena penantiannya selama ini terbalaskan. Namun, di sisi lain… bisakah ia memaafkan Jongin? Secepat itu?
Tapi, Jongin punya alasan, pikir Minha. Ia punya trauma tersendiri yang berkaitan dengan masa lalunya, dan aku tak bisa marah karena hal sepelik itu. Hal yang bahkan berada di luar kuasa kami.
Karena itu… bisa apa aku selain memaafkannya?
Minha mengembuskan napas panjang, membiarkan uap putih meluncur keluar dari bibirnya. Bagaimanapun juga—meskipun ini adalah keputusan yang berat—sejak awal ia sudah tahu bahwa ia pasti memaafkan Jongin. Minha tak mungkin marah padanya, tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi bersalah itu terus menetap di wajah sang lelaki.
Lelaki yang dicintainya.
Kalau begitu…
“Tak apa, Minha. Kalau kau tidak ingin memaafkanku sekarang…” Jongin menarik kedua lengannya dari bahu Minha dan berucap lirih, “Aku bisa menunggu.”
Sayangnya, aku yang tak bisa menunggu lagi, Jongin, Minha membatin pelan seraya mengulurkan tangan, tanpa sadar menahan Jongin agar tidak beranjak dari sisinya. Lamat-lamat, ia pun bangkit berdiri dan balas melingkarkan lengan di pinggang Jongin.
“M-minha….”
“Jangan. Biarkan seperti ini.”
“Seharusnya kau marah padaku.”
“Iya, memang,” bisik Minha sambil membenamkan wajahnya pada dada bidang Jongin. “Seharusnya aku marah karena Kim Jongin benar-benar bodoh. Tidakkah kecupan singkat itu menjelaskan semuanya?”
Jongin menelan ludah. “Kurasa… aku tak berpikir jernih waktu itu.”
“Itu sudah pasti.”
Keduanya kembali terdiam. Minha masih menyandarkan kepalanya di dada Jongin, mendengarkan detak jantung lelaki itu dengan saksama. Kedua lengannya memeluk Jongin erat-erat, bersikap seolah ia tak mau kehilangan pria itu lagi. Memaafkan Jongin memang jalan yang terbaik. Lagi pula, selama setahun ini, lelaki itu mencintainya, bukan? Minha pun begitu. Mereka hanyalah dua orang bodoh yang terpaksa memendam perasaan karena rasa takut dan salah paham semata.
Jadi… apa gunanya menambah pelik suatu masalah?
“Jongin-a?”
“Hm?”
“Kautahu kenapa aku menyukai musim dingin?”
Jongin menelengkan kepalanya sejenak, mengingat-ingat ucapan Junmyeon di rumah tadi. “Karena aku menyukai salju?”
Ucapan polos Jongin tersebut sontak membuat Minha tergelak dan melepaskan pelukannya pada sang lelaki. Gadis itu tertawa renyah, kepalanya digelengkan sembari berkata, “Well, itu salah satunya. Namun, alasan utamaku adalah karena kau menyatakan perasaanmu di musim ini—tepat setahun lalu—dan kini kau juga kembali padaku di musim yang sama. Aku suka musim dingin, dan aku suka bulan Desember. Mereka mengabulkan harapanku.”
“Harapan?”
“Agar kau mengingat rasa cinta itu, tentu,” jawab Minha gemas dengan pipi bersemu merah. “Yah, meskipun pada akhirnya aku mendengar sesuatu yang tak disangka-sangka seperti ini, tapi….”
“Park Minha.”
“Ya?”
Jongin mendongak menatap langit, mendapati butir-butir salju yang mulai meluruh turun dan menceriakan suasana. Beberapa orang di sekitar mereka berteriak kegirangan, senang karena salju turun pada malam Natal. Melihat semua keceriaan itu, sebuah pemahaman pun mendadak masuk ke dalam benak Jongin.
Inikah alasan Minha menyukai musim dingin dan salju? Karena hal itu menghadirkan keceriaan? Sejauh mata Jongin memandang—tak peduli betapa rendahnya suhu saat ini—semua orang tampak bahagia menyambut turunnya salju. Sama seperti Minha yang tengah menanti turunnya sebuah keajaiban, selalu berharap agar ia dan Jongin dapat merasakan bahagia itu berdua.
“Minha-ya, kalau kristal salju ini dapat mengabulkan sebuah permohonan—“ Jongin menangkap salju yang turun dengan telapak tangannya, lantas menyodorkan gumpalan es itu tepat di depan wajah sang gadis dan berkata, “Maka aku akan mengabulkan permohonanmu.”
Minha menatapnya dengan mata membelalak, bibirnya otomatis mengukir sebuah senyuman lebar. Gadis itu mengangguk mantap, menyatakan persetujuannya tanpa perlu berpikir panjang. “Oke, dan permintaanku adalah—“
Namun, alih-alih membiarkan Minha menyelesaikan ucapannya, Jongin malah memajukan tubuh dan mencium gadis itu. Membiarkan bibir keduanya bertemu, ciptakan desiran hangat dan lembut di tengah dinginnya angin malam.
“Aku sudah tahu permintaanmu,” kekeh Jongin kala ia menarik diri dan mengacak-acak rambut Minha. “Kau hanya ingin mendengar satu kalimat itu, bukan?”
“Eum…”
Jongin tertawa lagi melihat wajah Minha yang memerah padam, lantas kembali mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telinga sang gadis. Mengucapkan satu kalimat yang sudah ia pendam selama ini, mengabulkan satu-satunya harapan Minha tanpa kecuali.
“Aku mencintaimu.”
—fin