Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all 317 articles
Browse latest View live

[EXOMKFF’s Miracles in December Project] Writing Contest

$
0
0

miracles is december project - exomkff

Setelah sukses dengan 1st Anniversary Project yang diadakan Juli-Agustus lalu kini EXOMKFF hadir kembali dengan project kedua bertemakan “Miracles in December” sesuai dengan tema comeback EXO akhir tahun ini. Di project “Miracles in December” ini kami sudah menyediakan 1pc album EXO – Miracles in December (Korean/Chinese Version) + Poster yang dipersembahkan oleh Agassi Kpop Shop dan pulsa sebesar Rp 50.000,00 yang akan kami berikan kepada para pemenang. Menarik bukan? Yuk, kita cek persyaratan dan hal-hal yang diperlukan untuk mengikuti project ini!

Christmas-icon

Persyaratan :

  1. Tema fanfiction : Miracles in December
  2. Fanfiction wajib menggunakan member EXO sebagai main cast.
  3. Length :  2000 – 6000  kata | Rating : No NC, max. PG-17 | Genre : Fluff / Romance / Friendship / Family / Life (wajib menggunakan salah satu dari genre yang sudah ditentukan)
  4. No YAOI / YURI / Transgender.
  5. Fanfiction ditulis dalam bahasa Indonesia dengan penulisan sesuai EYD.
  6. Fanfiction belum pernah dipublish di blog manapun termasuk blog pribadi.
  7. Fanfiction merupakan hasil karya sendiri – No Plagiarism!
  8. Fanfiction tidak perlu menggunakan cover/poster.
  9. Satu peserta hanya bisa mengirimkan satu fanfiction.
  10. Peserta wajib me-like fanpage Agassi Kpop Shop.
  11. Peserta wajib meng-invite teman-teman peserta (min. 5 teman) untuk ikut me-like fanpage Agassi Kpop Shop.
  12. Peserta wajib melampirkan print screen bukti sudah me-like fanpage Agassi Kpop Shop seperti gambar di bawah ini.

print screen(klik gambar untuk memperbesar)

Format penulisan fanfiction :

  • Title :
  • Author :
  • Main Cast :
  • Support Cast :
  • Genre : (Fluff / Romance / Friendship / Family / Life)
  • Rating :
  • (Huruf Times New Roman, font 12, line spacing 1.5, penulisan bahasa asing wajib diberi italic.)
  • Fanfiction diketik rapi dalam Microsoft Office Word 2003/2007.

Hadiah :

  1. Pemenang pertama akan mendapatkan 1pc album EXO – Miracles in December (bisa pilih mau Korean version atau Chinese Version) + Poster.
  2. Pemenang kedua akan mendapatkan pulsa sebesar Rp 50.000,00.

Christmas-icon

KIRIMKAN FANFICTION & PRINT SCREEN BUKTI SUDAH ME-LIKE FANPAGE Agassi Kpop Shop KE EMAIL: adm.exomkfanfiction@gmail.com (WAJIB DILAMPIRKAN)

DI KOTAK PENULISAN EMAIL HARAP TULISKAN :

  • Nama Lengkap :
  • Alamat Lengkap (sesuaikan dengan KTP/Kartu Pelajar) :
  • Nomor Handphone (yang masih aktif dan bisa dihubungi) :
  • Facebook :
  • (tuliskan juga pilihan album kalian (EXO – Miracles in December, Korean atau Chinese Version))

 

 

Pengiriman fanfiction dimulai dari 5 Desember 2013 s/d 30 Desember 2013

 

&

 

Pemenang akan diumumkan pada 5 Januari 2014

 

*Penjurian dilakukan oleh pihak EXOMKFF.

_____________________________________________________________________________________________________________

 

sponsored by

agassi

[Agassi Kpop Shop] SPECIAL PO EXO Miracles in December ; pembelian sepasang album Korean+Chinese Version mendapatkan harga special sebesar IDR 370.000 (Bonus : Poster+Photocard+Free tabung poster)

https://www.facebook.com/agassikpop



Baby, I’m Sorry (Chapter 5)

$
0
0

baby-imsorry1

Baby, I’m Sorry

 

Tittle                           : Baby, I’m Sorry (Chapter 5)

Author                       : Jellokey

Main Cast                  :

Kim Jong In (Kai of EXO)

Kang Jeo Rin(OC)

Support Cast            :

Kim Taehyung (V of BTS)

Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)

Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)

Lu Han (Lu Han of EXO)

Park Chan-yeol (Chan Yeol of EXO)

Park Jimin (Jimin of BTS)

And others

Length                        : Chaptered

Genre                         : Romance

Rating                         : PG-17

Disclaimer                 : Cerita ini milik saya. Dilarang plagiat dan copy paste. Don’t bash!

Poster                        : G.Lin by http://cafeposterart.wordpress.com

 

“Aku membencimu, Kim Jongin.” Senyum Kai memudar mendengar ucapan Jeo Rin. Ia menatap nanar punggung Jeo Rin yang sudah masuk kelas.

“Jeo Rin.” Kai menghampiri Jeo Rin ke bangkunya.

“Kenapa kau membenciku?” Tanya Kai polos tanpa mempedulikan keadaan sekitar dan yang paling penting tatapan marah Jeo Rin.

“Yeobo, kau tidak serius kan?” Kai mencoba menggenggam tangan Jeo Rin tapi langsung ditepis Jeo Rin.

“Kau tidak mungkin membenciku hanya karena namja sepertinya. Aku lebih tampan dari Kim Taehyung itu.” Perkataan Kai membuat Jeo Rin tersenyum sinis.

“Pergi. Sepertinya kau tidak mengerti.”

“Jeolin―”

Teng teng teng!

Bel panjang pertanda kelas dimulai membuat Kai berjalan menuju bangkunya dengan lesu.

“Benar kau tinggal bersama Jeo Rin?” Tanya Baekhyun begitu Kai duduk di bangkunya.

“Kau pernah mandi dengan Jeo Rin? Woah.. Daebak!” Suara Lu Han. Kai menatap Sehun seolah berkata, kau ingin bilang apa? Sehun menggeleng, maksudnya ia tidak percaya Kai tinggal dengan Jeo Rin.

“Ne. Dia tinggal di rumahku sampai rumahnya selesai direnovasi.” Jawab Kai tidak semangat. Mungkin dia akan cerita panjang lebar kalau moodnya sedang bagus.

“Kenapa kau tidak bilang padaku? Tahu begini aku lebih sering menginap di rumahmu.” ‘Itu alasan kenapa aku tidak memberitahumu. Kau pasti mengganggu waktuku dengan Jeo Rin, Baek.’ Batin Kai menyahut.

“Kau sudah tahu aku tinggal dengan Jeo Rin sekarang.” Ucap Kai malas.

“Bagaimana rasanya mandi dengan Jeo Rin? Apa tubuhnya―”

“Lu Han, Lee seonsaengnim.” Buru-buru Lu Han menghadap ke depan begitu mendengar ucapan Sehun. Detik berikutnya ia mencoba menjitak Sehun karena tidak ada Lee seonsaengnim di depan kelas. Ia kembali menghadap ke belakang.

“Apakah sexy?” Kai menatap Lu Han tajam.

“Ayolah, Kai. Kau sudah sering membicarakan wanita sexy padaku.” Sehun dan Baekhyun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Lu Han. Teman mereka itu sudah terlalu banyak terpengaruh oleh Kai.

“Tidak dengan Jeo Rin, Lu Han.” Kai menghela nafas. ‘Masih berpakaian pun Jeo Rin sudah sexy. Lekuk tubuhnya sangat sempurna. Apalagi.. Hentikan pikiran kotormu itu kalau kau masih mau belajar dengan tenang, Kai.’ Kai melihat Jeo Rin lalu menatap Lu Han yang menuntutnya.

“Kami memang mandi bersama tapi tidak mandi seperti biasanya.” Kata Kai pelan membuat Lu Han mendekatkan diri pada Kai. Kai tidak mau murid sekelasnya mendengar forum bersama teman-temannya, apalagi kalau Jeo Rin yang mendengar. Bahaya.

“Apa maksudmu? Apa kalian―”

“Kami masih berbusana.” Ucap Kai cepat. Pikiran Lu Han terlalu liar.

“Huh?” Lu Han bingung. Bukan mandi namanya kalau masih berbusana.

“Jeo Rin masih memakai seragam sekolah dan aku hanya bertelanjang dada. Padahal sedikit lagi.” Kai membuang nafasnya kasar. Sehun menahan tawa melihat wajah frustasi Kai. Sedangkan Baekhyun, ia menutup mulut dengan tangan agar tawanya tidak pecah. Tapi..

“Buahahaha….” Semua murid melihat ke arah Baekhyun. Membuatnya langsung diam.

“Makanya, jadi orang jangan pervert.” Kai menatap Baekhyun. Tersinggung.

“Dia satu-satunya yeoja yang tidak bisa kujangkau. Padahal di teman masa kecilku.” Kai meletakkan kepalanya di meja.

“Dan dia baru saja membenciku.” Sehun, Baekhyun, dan Lu Han, ikut meletakkan kepala mereka di meja. Tertarik dengan si cerita penakluk hati wanita.

“Lee seonsaengnim.” Gertak Kai. Ia tidak mau diinterogasi oleh teman-temannya.

“Aku lupa bilang kalau guru-guru rapat selama dua jam.” Ucap Sehun sang ketua kelas. Membuat forum mereka berlanjut.

“Kenapa Jeo Rin membencimu?” Tanya Baekhyun. Ia masih berharap Jeo Rin bersama Taehyung, kembarannya. Jeo Rin terlalu baik untuk Kai. Semua orang pasti berpikiran sama dengan Baekhyun.

“Kim Taehyung. Dia pengacau dalam hubungan kami. Entah apa yang Jeo Rin lihat darinya.” Kai kesal.

“Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan Taehyung.” Ucap Baekhyun santai.

“Kau tidak mendukungku, Byun Baekhyun?” Balas Kai dingin.

“Bukan begitu, Kai. Jangan salah paham.” Baekhyun serba salah. Tapi dia memang mau Jeo Rin tetap bersama Taehyung.

“Sudah, Kai. Tidak mungkin Jeo Rin membencimu karena Taehyung. Kau lebih tampan darinya.” Lu Han mencoba menenangkan Kai.

“Lalu kenapa dia membenciku?” Kai menggigit pulpennya kesal.

“Mungkin karena murid-murid tahu kalau kalian tinggal bersama.” Kata Sehun.

“Tidak ada yang salah dengan itu. Orangtuanya menitipkan Jeo Rin di rumahku. Lagipula dia yeojachinguku.” Sahut Kai.

“Mandi bersama. Orang-orang sudah berpikir negatif tentang kalian.” Sehun mengeluarkan pikirannya.

“Aku tidak masalah dengan itu.” Kai masih merasa dirinya benar.

“Tapi Jeo Rin bermasalah dengan itu.” Kai terdiam mendengar suara kompak teman-temannya.

“Dia sekretaris ketua kesiswaan, Kai. Salah satu murid khusus di sekolah ini. Orang pasti terus membicarakannya.” Tutur Sehun.

“Dewasalah dalam berhubungan.” Kai merenungi ucapan Baekhyun. Apa dia kurang dewasa?

 

—————-

 

“Baby.” Kai menghalangi jalan Jeo Rin yang hendak keluar kelas. Ia bergerak ke kiri saat Jeo Rin bergerak ke kanan. Ia terus bergerak berlawanan dengan Jeo Rin. Membuat Jeo Rin kesal.

“Yeobo, mi―”

“Jangan panggil aku yeobo.” Potong Jeo Rin.

“Mianhae, baby.” Mohon Kai.

“Minggir.” Ucap Jeo Rin datar. Ia mengambil handphone di saku blazernya.

“Chagi, aku salah. Maafkan aku.” Kai menunggu respon Jeo Rin yang sedang berkutat dengan handphonenya. Seperti membaca pesan.

From: Taehyung

Jangan temui aku.

Pesan dari Taehyung membuat Jeo Rin kecewa dan sedih. Tak lama, ada pesan lagi dari Taehyung.

From: Taehyung

Aku butuh penjelasan darimu, tapi tidak sekarang. Mr. Jo mengetahui apa yang terjadi tadi pagi. Dan aku mengakui kalau kita punya hubungan. Aku yakin pembina sudah tahu lama tentang itu. Aku baru saja dari ruangan Mr. Jo, memohon agar larangan pacaran itu dihapus. Jangan mencoba menemuiku. Aku butuh waktu untuk menghilangkan kata-kata namja brengsek itu. Aku akan langsung menemuimu kalau hatiku sudah tenang.

Jeo Rin menyimpan handponenya kembali ke saku blazer. Ia hanya ingin menjelaskan pada Taehyung kalau yang dikatakan Kai tidak benar. Ia tidak mau Taehyung menganggapnya yeoja nakal. Hanya itu, tidak ada maksud lain, yang berhubungan dengan perasaan. Rasa sukanya pada Taehyung perlahan hilang karena namja yang berdiri di hadapannya.

“Yeobo, mian.” Kai memelas.

“Minggir.” Jeo Rin masih dingin.

“Jeolin~” Kai mengeluarkan panggilan khasnya yang manja. ‘Tidak. Kau tidak boleh luluh, Jeo Rin. Kai keterlaluan.’ Jeo Rin berjalan cepat melewati Kai. Jangan sampai namja itu mengikutinya.

 

—————–

 

Hari-hari Jeo Rin dipenuhi dengan permintaan maaf Kai. Tapi tidak Jeo Rin tanggapi. Ia ingin namja itu dewasa. Berpikir dua kali sebelum bertindak dan mengeluarkan kata-kata.

“Yeobo.” Kai berada di depan pintu kamar Jeo Rin. Menghalangi yeojanya masuk.

“Kau dari mana?”

“Bukan urusanmu.” Jawab Jeo Rin ketus. Ia harus pulang terlambat untuk menghindari Kai, atau ia pulang ke rumah lalu pergi ke rumah temannya.

“Minggir. Aku mau istirahat.”

“Yeobo..”

“Aku sudah bilang, jangan panggil aku yeobo! Minggir!!” Kai tidak menghalangi Jeo Rin lagi. Susah sekali mendapatkan maaf dari Jeo Rin. Kai membuka pintu kamar Jeo Rin sedikit, mengintip apa yang sedang Jeo Rin lakukan. Ia mendapati Jeo Rin keluar dari kamar mandi, sudah berpiyama. Kai masuk ke kamar Jeo Rin, begitu Jeo Rin menarik selimut menutupi dirinya. Dengan perlahan Kai masuk ke dalam selimut, merebahkan dirinya di samping Jeo Rin. Ia takut diusir. Kai bernafas lega karena Jeo Rin tidak menyadarinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Jeo Rin sudah tidur. Dia pasti semakin marah pada Kai kalau tidurnya diganggu.

“Jeolin, mianhae. Jongin salah.” Dewasalah dalam berhubungan. Kai seperti mendengar suara Baekhyun. Kai berdeham, berharap suara manly-nya keluar.

“Rin-ah.” Kai melingkarkan tangannya di pinggang Jeo Rin. Ia menatap wajah Jeo Rin lekat.

“Mianhaeyo. Aku berkata kita tinggal bersama agar Taehyung tidak mengganggumu lagi. Kau marah karena itu kan? Aku tidak bermaksud untuk membuat image-mu jelek di sekolah. Aku hanya tidak mau kau dekat dengan namja lain.” ‘Seharusnya kau mengatakan itu pada Jeo Rin saat tidak tidur. Dia pasti tidak dengar.’ Kai membenarkan suara hatinya.

“Auuw!!” Pekik Kai karena tangannya dicubit.

“Yeo.. yeobo.” Suara Kai gugup. Jeo Rin sedang menatapnya tajam.

“Kenapa kau di sini? Keluar!” Jeo Rin mendudukkan dirinya.

“Maafkan aku. Aku berkata seperti itu supaya Taehyung tidak mendekatimu lagi. Jangan benci aku, Rin-ah.” Kai memeluk Jeo Rin, menempatkan dagunya di bahu Jeo Rin. Jeo Rin menghela nafas. Namja ini mulai bisa meruntuhkan pertahahanannya.

“Aku memaafkanmu asal kau tidak menceritakan hal yang terjadi di rumah ini di sekolah.”

“Ne. Aku dimaafkan?” Jeo Rin mengangguk.

“Gomawo.” Kai mencium pipi Jeo Rin.

“Aku mau tidur.” Kai melepas pelukannya.

“Aku tidur di sini, ya?”

“Tidak boleh. Kembali ke kamarmu.” Ucap Jeo Rin tegas.

“Jeolin~” Rengek Kai. Jeo Rin merebahkan dirinya, tidur membelakangi Kai.

“Keluar, atau aku marah lagi padamu.” Ancam Jeo Rin. Apa dia bisa menang dari Kai seperti saat mereka masih kecil? Belakangan ini ia lemah terhadap Kai.

“Kau jahat.” Kai turun dari tempat tidur. Jeo Rin tersenyum. Dia menang. Kim Jongin tidak berubah.

 

——————

 

Hal yang paling menyenangkan untuk Kai adalah bisa terus bersama Jeo Rin. Tidak ada Taehyung berarti dunia hanya miliknya dan Jeo Rin. Jeo Rin juga tidak terlalu sibuk lagi dengan organisasinya sejak insiden kami tinggal serumah.

“Jangan melihatku terus. Kerjakan prmu.” Jeo Rin tahu kalau sedari tadi Kai memandanginya.

“Kenapa kau cantik sekali?” Kai menopang dagu dengan tangan kirinya, menatap Jeo Rin lekat.

“Jangan merayuku. Cepat kerjakan prmu. Aku hampir selesai.” Kai langsung mengambil pulpen dan kembali mengerjakan prnya.

“Yeobo, aku punya permintaan.” Ucap Kai tetap fokus mengerjakan pr bahasa Inggrisnya.

“Apa?”

“Aku mau morning kiss di bibir.” Kai menutup bukunya. Ia menatap Jeo Rin lagi.

“Kalau begitu tidak ada yang namanya morning kiss lagi.”

Chu~

Jeo Rin terkejut karena Kai mencium pipinya.

“Kau harus memberiku morning kiss setiap hari.” Ucap Kai manja.

“Ne. Kau sudah selesai?” Kai mengangguk. Jeo Rin menutup bukunya. Ternyata Kai lebih cepat darinya. Ia membereskan buku dan alat tulisnya.

“Chagi, aku boleh tidur di sini?” Kai langsung mendapat tatapan sengit dari Jeo Rin.

“Jebal.” Kai mengeluarkan puppy eyesnya.

“Jangan macam-macam.” Suara Jeo Rin mengancam.

“Ne.” Kai menuju tempat tidur dengan semangat.

“Baby, jangan tidur membelakangiku.” Kai mencium leher Jeo Rin.

“Ya!!” Jeo Rin mengusap lehernya. Ia berbalik, mendapati Kai dengan senyum polosnya.

“Menatap wajahmu sebelum tidur membuatku bahagia.” Kai menelungsupkan tangan kirinya di bawah kepala Jeo Rin, tangan kanannya melingkar di pinggang Jeo Rin.

“Jalja.” Kai mencium kening Jeo Rin. Ia pikir Jeo Rin akan langsung memejamkan matanya, ternyata tidak. Jeo Rin menatap Kai lekat. Tangannya mengelus pipi Kai.

“Kai.”

“Eum?” Kai menatap Jeo Rin lembut.

“Jaljayo.” Bukannya memejamkan mata, mereka saling menatap.

“Apa wajahku lucu?” Tanya Kai karena Jeo Rin terkekeh.

“Ani. Aku hanya ingin tertawa karena mengingat masa kecil kita.”

“Ya, dulu kita sangat lucu.” Kai tersenyum.

“Apa kau akan menangis kalau aku menendangmu dari tempat tidur seperti dulu?” Senyum Kai memudar. Di mana-mana, yeoja baik yang dewasa atau anak-anak pasti menangis kalau bertengkar. Tapi tidak dengan mereka. Saat masih kecil, hampir setiap hari Jeo Rin membuatnya menangis.

“Tidak. Aku akan ‘menerkammu’ kalau kau berani menendangku dari tempat tidur.” Ucap Kai serius.

“Kau membuatku takut, Kai.” Jeo Rin menatap Kai horor. Pura-pura takut.

“Kau tidak percaya?” Jeo Rin menggeleng.

“Baiklah. Kita buktikan. Cepat tendang aku.” Jeo Rin tidak bergerak. Benar. Kai bisa saja ‘menerkamnya’. Kai lebih kuat darinya.

“Tidak jadi. Aku pasti tidak bisa menendangmu. Kau kuat sekarang.”

“Kalau begitu aku ‘menerkammu’.” Jeo Rin membulatkan matanya karena Kai mencium bibirnya.

“Eottae? Apa manis?” Jeo Rin hendak memarahi Kai tapi Kai sudah lebih dulu menciumnya. Kai melumat bibir bawah Jeo Rin lembut. ‘Kapan terakhir kali aku merasakan bibir Jeo Rin? Sudah lama aku tidak menciumnya. Terakhir saat di kamar mandi. Aku harus bisa mencium bibir Jeo Rin setiap hari.’ Batin Kai semangat. Kai melumat bibir atas dan bawah Jeo Rin bergantian. Jeo Rin tidak membalas. Ia menatap Kai yang begitu menikmati ciumannya. Tersadar, Jeo Rin mendorong Kai. Ia mendudukkan dirinya.

“Yeobo.” Kai memeluk Jeo Rin dari belakang. Berharap Jeo Rin tidak marah. Dalam kamus pacaran Kai, skinship sangat penting.

“Sudah berapa banyak yeoja yang kau cium?” Jeo Rin memang terkesan tidak peduli pada Kai, tapi sebenarnya ia peduli. Ia mencari tahu tentang Kai dari duo Park, Park Chanyeol dan Park Jimin. Satu kata yang tepat untuk Kai. Buruk.

“Aku tidak ingat.”

“Kembali ke kamarmu.” Kai tidak polos seperti dulu.

“Wae? Kau cemburu?” Kai senang, ia mencium pipi Jeo Rin. Kalau dengan membuat Jeo Rin cemburu Kai bisa bebas menciumnya, Kai akan melakukan itu.

“You are my first kiss. Lagipula aku mencium mereka tidak dengan perasaan.” Kai meyakinkan Jeo Rin.

“Oke. Aku mengerti.” Jeo Rin menghembuskan nafasnya kasar. Dia tidak bisa mendeskripsikan seperti apa perasaannya pada Kai.

“Kau manis kalau seperti ini.” Kai menggerakkan kepala Jeo Rin agar menoleh ke belakang.

“Saranghae.” Kai mencium bibir Jeo Rin lagi. Ia menahan tengkuk Jeo Rin agar tetap pada posisinya. Perlahan Jeo Rin memejamkan matanya. Ia membalas ciuman Kai, melumat bibir atas Kai lembut. Kini mereka sudah berhadapan, saling memiringkan kepala ke arah yang berlawanan, menikmati ciuman mereka. Jeo Rin mencengkeram kaos Kai, ia butuh pelampiasan. Ciuman Kai memabukkan. Jeo Rin mendorong Kai pelan saat Kai menggigit bibirnya. Hidung mereka masih bersentuhan.

“Mulai besok morning kissku di bibir.” Jeo Rin mendorong tubuh Kai, membuat Kai tertidur. Kenapa namja ini suka sekali membahas morning kiss?

“Tidak ada lagi yang namanya morning kiss.” Jeo Rin tidur membelakangi Kai.

“Yeobo~” Rengek Kai.

 

——————

 

“Baby.” Kai langsung menghampiri Jeo Rin begitu bel pulang sekolah berbunyi. Merangkul Jeo Rin yang baru bangkit dari duduknya. Pamer kemesraan, terutama di depan Sehun. Kai ingin menunjukkan pada Sehun kalau mereka lebih mesra daripada HunYoung couple. Tapi sayangnya Sehun tidak pernah peduli dengan apa yang Kai lakukan.

“Kita jalan, ne?” Kelas sudah mulai sepi.

“Tidak bisa, Kai. Hari ini kami rapat.” Pertama kali organisasi kesiswaan rapat sejak insiden tidak mengenakkan untuk Jeo Rin.

“Kau akan bertemu si jelek itu?” Jeo Rin menatap Kai bingung.

“Kim Taehyung.” Jeo Rin melepas rangkulan Kai. Ia menatap Kai sambil bersidekap.

“Kau mau aku jujur?” Kai mengangguk.

“Taehyung lebih tampan darimu.”

“Baby..” Rengekkan Kai membuat Jeo Rin tersenyum.

“Kim Jongin yang paling tampan. Aku rapat dulu. Tidak usah menungguku. Sepertinya rapat akan lama.” Kai menahan tangan Jeo Rin.

“Bisakah kau berhenti menjadi sekretaris kesiswaan?” Kai memohon.

“Aku akan berhenti kalau masa jabatanku sudah habis.”

“Aku tidak suka kau dekat-dekat dengan Kim Taehyung.” Kai menggenggam kedua tangan Jeo Rin. Ia memelas.

“Kami tidak ada hubungan apa-apa, Kai. Jangan khawatir.”

“Tapi—“

“Sudah ya. Sebentar lagi rapatnya dimulai.” Jeo Rin melepas genggaman tangan Kai.

“Jeo Rin..” Kai menahan tangan Jeo Rin lagi.

“Saranghae.” Jeo Rin mengecup bibir Kai kilat lalu berlari keluar kelas.

“Sarang.. hae?” Kai menyentuh bibirnya. Detik berikutnya ia tersenyum. Bahagia karena mendengar kata itu Jeo Rin.

 

——————–

 

Satu per satu anggota kesiswaan keluar dari ruang rapat, meninggalkan Taehyung dan Jeo Rin. Hanya berdua.

“Jeo Rin, aku mau dengar penjelasanmu.” Taehyung menahan Jeo Rin yang hendak keluar. Jeo Rin menatap Taehyung.

“Apa yang Kai katakan tidak benar. Kami tidak mandi bersama.” Kata Jeo Rin tegas, membuat Taehyung tersenyum.

“Sudah kuduga.” Taehyung memeluk Jeo Rin erat.

“Maafkan aku karena meragukanmu. Bogoshipo.” Taehyung mencium pelipis Jeo Rin.

“Hyu..Hyungie.” Panggil Jeo Rin ragu. Taehyung melepas pelukannya. Ia menatap Jeo Rin.

“Kau tidak merindukanku?” Tatapan lembut Taehyung, Jeo Rin belum siap kehilangan itu. Bagaimanapun dia pernah menyukai namja ini. Taehyung mengecup bibir Jeo Rin.

“Pasti kau juga merindukanku.” Melihat Jeo Rin yang menatapnya kosong, Taehyung menangkupkan tangannya di wajah Jeo Rin.

“Wae, chagi? Apa kau takut Mr. Jo memarahimu?” Jeo Rin menggeleng.

“Aku punya kabar baik. Mr. Jo sudah menghapus larangan pacaran itu. Maukah kau jadi yeojachinguku?” Jeo Rin langsung memikirkan Kai saat itu juga.

“Hyungie, aku tidak bisa.” Jeo Rin melepas tangan Taehyung dari wajahnya.

“Mianhae.” Jeo Rin berjalan cepat keluar ruangan. Meninggalkan Taehyung dengan seribu pertanyaan di kepalanya. Bukankah Jeo Rin menyukainya?

Jeo Rin mendapati Kai berjalan ke arahnya begitu keluar ruangan.

“Kai?” Jeo Rin sedikit panik melihat Kai.

“Aku langsung kemari setelah bermain basket. Aku pikir aku masih harus menunggu, ternyata tidak. Oh.. Hello, ketua!” Kai memiringkan kepalanya, melihat Taehyung yang tak jauh berada di belakang Jeo Rin.

“Sudah selesai kan? Kita pulang, yeobo.” Kai menggenggam tangan Jeo Rin, meninggalkan tempat itu. Jeo Rin menoleh ke belakang, melihat Taehyung yang masih mematung di tempatnya. Apa Jeo Rin baru saja menolaknya? Karena Kai? Tidak mungkin. Dipandang dari mana pun, Kai tidak memenuhi tipe ideal Jeo Rin. Oh, salah. Kai punya dua. Tampan dan pintar. Selebihnya, Kai buruk. Taehyung jauh lebih sempurna dari Kai. Taehyung yakin Jeo Rin tidak mau dekat-dekat dengan Kai kalau tahu Kai dekat dengan banyak perempuan.

“Kau hanya menyukaiku, Jeo Rin.”

 

—————–

 

“Apa yang kau lakukan?” Kai memeluk Jeo Rin dari belakang.

“Kau membuatku kaget.” Jeo Rin memukul tangan Kai yang melingkar di pinggangnya. Kai terkekeh.

“Rumahku akan selesai direnovasi.” Sedari tadi Jeo Rin memandangi rumahnya dari balkon rumah Kai.

“Kau tinggal di sini saja. Tidak baik tinggal terpisah dari suami.” Kai mencium pipi Jeo Rin.

“Siapa yang mau jadi istrimu?”

“Baby, apa kau tahu kalau kita dijodohkan?” Ini kenyataan yang membuat Kai bahagia, berjodoh dengan Jeo Rin.

“Tidak. Dan aku tidak mau dijodohkan denganmu.”

“Wae? Kau mencintaiku, yeobo. Kita sudah cocok.” Kai tidak terima dengan jawaban Jeo Rin. Jeo Rin berbalik dan menatap Kai serius.

“Maukah kau berubah untukku? Tidak bermain yeoja lagi, tidak ke club, dan patuhi peraturan sekolah. Jangan bertindak sesukamu.” Raut wajah Kai berubah.

“Kau mau membuatku seperti Taehyung?”

“Bukan seperti itu. Aku ingin kau menjadi lebih baik. Kalau kau mau menjadikan Taehyung sebagai panutanmu, aku mendukung.” Kai mengalihkan pandangannya dari Jeo Rin. Dia tidak suka dibandingkan, apalagi dengan Taehyung.

“Kai..” Suara Jeo Rin seperti memohon pada Kai.

“Geurae. Tapi kau harus menikah denganku setelah lulus sekolah.”

“Shirreo. Aku masih punya target yang harus kucapai.” Tolak Jeo Rin.

“Kau tetap bisa melakukan apa yang kau inginkan setelah kita menikah.” Bujuk Kai. Jeo Rin harus menikah dengannya.

“Aku tidak mau, Kim Jongin.” Kai menatap Jeo Rin sedikit kesal. ‘Baiklah. Hanya pada Jeolin aku mengalah.’

“Bagaimana kalau tunangan?” tawar Kai. Jeo Rin mengangguk.

“Gomawo.” Jeo Rin menahan wajah Kai yang hendak menciumnya.

“Baby, kisseu.” Apakah Kai harus merengek untuk mendapatkan ciuman dari Jeo Rin? Perjuangan Kai sangat besar kalau menyangkut Jeo Rin.

“Tidak aku mau tidur.” Jeo Rin masuk ke dalam rumah.

“Yeobo~”

 

TBC…

 

Ff ini masih ada kaitannya sama This is My True Feeling. Jadi jangan bingung kalau HunMin couple ada. Kai sama Jeo Rin lebih dulu jadian daripada Sehun dan Min Young. Oke, komennya ditunggu ^^


Ravens The Chinese Danger [Chapter 1]

$
0
0

Ravens-The-Chinese-Danger-Chapter1-Poster

Ravens The Chinese Danger

Author: Choi Seung Jin @cseungjinnie

Genre: Action, Crime, Multicultural

Leght: Chaptered (Still on going)

Main Cast:

Kris Wu / Wu Yi Fan  || Xi Lu Han || Huang Zi Tao || Lay / Zhang Yi Xing || Xia Zi Liu (OC)

Author’s Note:

Storyline belongs to me. Please repect! Don’t be silent readers!

Prolog

****

Duuh… Maaf readers T~T Gak tahu kenapa FF nya gak kecopy yang berujung ke gak kepost. Kali ini Jinnie udah pastiin FF nya kecopy dan kepost. Maaf ya readers T~T /guling2 di lantai/

Salam Yehet /?

*****

Pagi yang cerah menyambut hangat kota Tokyo. Burung-burung berkicau bagaikan lantunan lagu di pagi hari. Rumah yang berlokasi di sebuah blok perumahan dengan arsitektur khas Jepang terlihat sepi dan begitu tertutup seakan tidak memperdulikan indahnya hari pagi.

Luhan adalah orang pertama yang bangun hari ini. Dia memang selalu bangun paling pagi dari rekan-rekannya. Dia jarang memperdulikan anggota Ravens yang lain yang masih tidur lelap meski jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Kegiatannya di pagi hari biasa duduk di teras rumah menghadap taman Jepang indah karya eksterior disainer yang telah dibayar mahal oleh Kris sejak rumah ini dibangun. Sambil menikmati udara pagi yang segar, dia mengenang kembali tentang apa yang ada di ponselnya. Lebih tepatnya apa yang terpampang sebagai home screen ponselnya.

Foto perempuan berambut hitam itu masih Luhan gunakan sebagai home screen wallpaper ponselnya meski sudah berlalu hampir 3 tahun. Dia tidak pernah merasa bosan dengan foto perempuan iu. Dia sudah tidak pernah bertemu secara langsung dengan perempuan itu lagi. Wajar jika dia tidak pernah bosan memandangi wajah tersenyum perempuan itu. Terkadang, banyak pertanyaan yang muncul di kepala Luhan yang bersamaan dengan bayangan ingatannya tentang yeoja itu.

 

Apa dia masih ingat padaku?

Apa dia membenciku?

Bagaimana keadaannya?

Apa dia sudah punya pacar baru?

Mungkin pertanyaan seperti itu yang selalu Luhan tanyakan pada dirinya sendiri. Mengingat bagaimana dia meninggalkan perempuan itu 3 tahun lalu. Pikirannya tidak pernah bisa lepas dari perempuan itu. Setidaknya dia bisa melupakan sejenak masalahnya dengan perempuan itu untuk sementara saat dia sedang menjalankan tugasnya.

Perasaan Luhan bercampur-aduk saat dia melihat foto perempuan itu. Dengan lancang, otaknya selalu memutar kembali memori-memori masa lalu yang terkesan bittersweet. Dia sebenarnya menyesal tentang apa yang terjadi 3 tahun lalu, tapi mau bagaimanapun juga ini lah yang Luhan pilih.

Dia tidak bilang apapun pada perempuan itu saat dia pergi. Luhan ingat, saat hari dia pergi untuk pertama kalinya bersama Ravens ke Jepang, saat itu lah Luhan meninggalkan perempuan itu. Yang lebih membuatnya merasa seperti seorang pria brengsek adalah hari itu dia dan perempuan itu sudah membuat janji untuk bertemu di taman favorit mereka. Luhan membatalkan janji itu begitu saja dan menghilang tanpa kabar.

.

.

.

“Kenapa kau terus-terusan memandangi foto itu?”

“TAO!!” Luhan berteriak kaget dan buru-buru menyembunyikan ponselnya.

Entah sejak kapan, Tao berdiri tepat di belakang Luhan yang ikut-ikutan memandang home screen ponsel milik Luhan. Mau bagaimana pun ini masalah pribadinya. Tao seharusnya tidak pernah melihatnya memperhatikan foto perempuan itu, meski dia sudah berberapa kali tertangkap basah oleh Tao.

“Kau tidak perlu teriak begitu, ge,” kata Tao yang menutup kupingnya yang menjadi korban teriakan Luhan. Terkadang teriakan Luhan terdengar seperti ledakan bom saking kencangnnya.

Tao duduk bergabung dengan Luhan tanpa menunggu persetujuan pria imut itu.

Tao adalah anggota termuda di Ravens yang membuatnya seakan bebas untuk melakukan apa saja. Dia sering ikut campur urusan pribadi ketiga gege dan jiejienya meskipun sudah dilarang.

“Ayo lah, ge! Mau sampai kapan kau memikirkan perempuan itu yang belum tentu memikirkan kau, ge?” Kata Tao berusaha unuk membuat Luhan melupakan hal yang menganggunya.

“Sampai kapan pun yang ku suka. Itu bukan urusanmu!” Ketus Luhan sedikit kasar.

“Terserah kau saja..”

Luhan mengacuhkan Tao. Kemudian dia kembali memandangi ponselnya. Dia usap layar sentuh ponselnya dengan ibu jarinya seakan sedang mengusap pipi milik perempuan itu. Hatinya terasa tertekan akan kerinduan yang mendalam. Dia sangat merindukan perempuan itu. Dia ingin sekali bertemu dengan perempuan itu meski hanya sekali.

“Dia cantik. Siapa namanya?” Ucap Tao yang semakin lama semakin penasaran.

“Dia memang cantik dan aku tidak akan memberitahu namanya,” kata Luhan tegas tanpa melirik sedikitpun ke arah Tao.

“Kau sensitif sekali jika sudah berurusan dengan masalah perempuan,” ujar Tao memanyunkan bibirnya.

“Ngomong-ngomong, Kris sudah bangun?” Tanya Luhan mencoba menganti topik pembicaraan sebelum Tao bertanya hal yang macam-macam.

“Sudah,” jawab Tao singkat.

“Oh, sedang apa dia?” Tanya Luhan lagi.

“Nonton TV, mungkin.”

“Liu?”

Jiejie katanya mau beli makanan. Entah dia sudah berangkat atau belum,” ujar Tao.

Sebagai wanita satu-satunya, Liu memiliki kewajiban mengurus makanan unuk semua anggota Ravens. Jika Ravens diibaratkan sebuah keluarga, Liu adalah sosok ibu dengan tiga anak, yaitu Luhan, Lay dan Tao, sedangkan Kris akan berperan sebagai kepala keluarga.

“Lu ge,” kata Tao. “Menurutmu, sampai kapan kita akan seperti ini?”

Luhan diam sejenak, mencoba mengerti apa yang dimaksudkan Tao. Dia meletakkan ponselnya diatas lantai kayu. Dia menatap langit biru yang cerah sebelum akhirnya menjawab pertanyaan.

“Maksudmu terus menjadi sekelompok anak yang hobinya membunuh orang?” Ucap Luhan.

“Kalau menurutku, kita akan terus seperti ini sampai kita mati. Hanya ajal yang bisa menghentikan kita. Itu, kan yang Kris bilang?”

****

Kris duduk selayaknya tuan rumah di depan TV LCD besar yang menayangkan berita-berita lokal. Dihadapannya—selain TV—tersedia teh hangat buatan Liu yang tak ada tandingannya yang selalu menjadi favorit keempat anggota Ravens. Dia menegak perlahan teh nikmat favoritnya. Matanya terfokus ke layar LCD tanpa mau berpaling sedikitpun. Teh hangat selalu menjadi temannya bersantai di pagi hari. Sebenarnya dia bisa saja memilih untuk minum Sherry ataupun Bourbon dibandingkan dengan teh, tapi Lay—sebagai seorang dokter—melarang Kris dan anggota Ravens lainnya untuk minum alkohol terlalu sering. Hal itu bisa mengganggu kualitas kerja mereka.

Jika ingat dengan teh… Kris jadi ingat dengan ayahnya. Dia sering meluangkan waktu bersama ayahnya dengan minum teh berdua saat dia masih kecil dan—tentunya—saat ayahnya masih hidup. Seandainya saja ayahnya tidak mati karena ulah sekelompok kriminal brengsek itu, mungkin dia dan ayahnya masih bisa menikmati teh hangat bersama.

Ada satu hal yang membuat pria berumur 27 tahun ini frustasi. Dia sama sekali belum menemukan petunjuk keberadaan kelompok Hurricane, meski dia sudah memburu mereka selama 3 tahun ini. Mungkin selama tiga tahun ini, dia dan Ravens sudah bertemu dengan lebih dari 100 kelompok mafia dan berhasil memusnakan lebih dari setengahnya, tapi tidak ada satupun dari puluhan kelompok itu yang adalah The Hurricane.

Sialan! Kemana lagi aku harus mencari mereka? Pikir Kris putus asa. Dia mengacak-acak rambutnya frustasi dengan perasaan kesal.

Untuk mengejar satu kelompok saja, waktu 3 tahun belum cukup. Bahkan sampai mengobrak-abrik 2 benua pun juga belum ketemu. Informan payah yang selalu memberikan informasi palsu bisa menjadi salah satu faktor kenapa Kris belum menemukan The Hurricane. The Hurricane pasti sudah mempersiapkan informan-informan palsu jika suatu hari ada yang mencari mereka. Mencari The Hurricane diibaratkan seperti mencari jarum ditumpukan jerami.

.

.

“Kris, aku berangkat dulu.” Liu berjalan melintas tepat di belakang Kris yang dengan suaranya berhasil membuyarkan lamunan Kris. Suara heels setinggi 5 senti menjadi faktor lain yang membuat perhatian Kris teralih.

Dengan setelan casual dan hanya membawa sebuah dompet dan ponsel, Liu berniat membeli bahan makanan untuk sarapan atau mungkin membeli makanan jadi jika dia sedang malas untuk memasak. Sebagai sosok mama di rumah ini, itu sudah menjadi kewajibannya.

“You don’t want to give me morning kiss?” Kata Kris bercanda diiringi gummy smilenya. Sempitnya ruang sosialisasi Kris terhadap dunia luar apalagi wanita, hingga satu-satu wanita yang bisa digoda nya hanya Liu.

“In your dream,” kata Liu seraya berlalu keluar dari pintu, meninggalkan Kris yang tertawa meledek candaannya sendiri. Liu pastilah sudah tahan dengan gombalan dan modusan yang Kris terus lakukan padanya selama 3 tahun mereka bekerja sebagai satu tim.

Melanjutkan apa yang ia lakukan sebelum, Kris sembari berpikir tentang rencana dan misinya selanjunya. Kembalinya Ravens ke Jepang bukanlah tanpa alasan. Dimana Ravens berpijak, disanalah ada misi baru dan Kris berpikir untuk melakukan suatu hal yang berbeda dari biasanya. Eksekusi langsung terdengar sudah terlalu sering dilakukan Ravens. Menarik perhatian warga sipil juga sering dilakukan.

How about something private but open? Pikirnya.

Mungkin eksekusi tertutup yang bersifat privasi, tanpa menarik perhatian publik akan lebih menarik baginya. Patut dicoba.

.

.

“Jadi apa rencanamu selanjutnya, ge?”

Lay datang, duduk tepat disebelah Kris dengan segelas orange juice. Dia bisa saja menebak apa yang ada di kepala Kris. Jika Kris sudah duduk sendirian dengan dagu yang di topang oleh tangannya sendiri, dia pasti sedang berpikir soal misi.

Pria bertampang Angel ini seperti salah mengambil jalan hidup. Lay tidak cocok untuk hidup sebagai seorang penjahat kelas Internasional seperti ini jika dilihat dari sisi fisik luar. Bahkan pekerjaan sebelumnya pun tidak mendukung sama sekali tentang pilihannya. Masuknya Lay ke dalam Ravens bukanlah paksaan dari Kris. Justru Lay lah yang memaksa untuk bergabung dan alasan Lay memutuskan untuk bergabung dengan Ravens hanya Lay dan Kris yang tahu.

“Kau akan tahu nanti. Kita akan bicarakan sama-sama,” kata Kris berniat menyimpan rencananya untuk sementara. “Kita tunggu sampai Liu pulang. Aku punya rencana bagus.”

“Baiklah,” kata Lay. “Siapa target kita kali ini?”

“Seorang ketua Yakuza. Ini akan sedikit lebih mudah karena dia hanya orang tua dengan banyak uang. Aku juga ingin menghabisi anaknya yang juga punya banyak uang,” ujar Kris. “Kita memang selalu berurusan dengan orang yang punya banyak uang, kan?”

Lay terkekeh membenarkan perkataan Kris. “Apa ada hubungannya dengan Hurricane?”

Kris menggeleng cepat. “Tidak, tapi kali ini akan menjadi aksi kita yang paling berbeda dengan sebelumnya,” kata Kris bangga dengan rencana yang ada dipikirannya.

“Sepertinya seru, nih. Semoga Liu cepat pulang sehingga aku bisa mendengar rencanamu itu, ge.” Lay tampak semangat.

****

Liu melangkahkan kaki jenjangnya menelusuri sepanjang jalan troroar. Dia sudah menelusuri setidaknya lebih dari 5 kedai makanan, tapi tak ada satupun dari kedai-kedai itu yang ia masuki. Entah apa yang dicari wanita itu sehingga belum menemukannya sampai sekarang. Matanya tampak waspada seperti khawatir akan melewatkan sesuatu jika dia lengah untuk sedetik saja.

“Dimana tempat itu?” Gumam Liu sambil terus mencari tempat yang dimaksudnya. Sambil terus menelusuri sepanjang barisan pertokoan, Liu memainkan ponselnya. Ibu jarinya bergerak menekan icon call pada layar sentuh. Satu-satunya yang bisa ia hubungi lagi-lagi hanya Kris.

Baru saja Liu ingin menelepon Kris, tanpa ia sadari, dia sudah berdiri didepan sebuah kedai makanan yang menjual bento. Kedai makan ini yang ia cari dari tadi. Kedai bento yang ‘katanya’ enak. Well, begitulah yang tertulis di majalah.

Tanpa ragu, Liu melangkahkan kakinya memasuki kedai itu melawati pintu kaca. Liu disambut ramah oleh pegawai disana. Dia melanjutkan langkahnya menuju tempat untuk meng-order.

“Selamat pagi, nona. Hahaha…” Sambut seorang pria paruh baya dengan tawanya yang memang seperti kakek-kakek. “Bisa ku siapkan pesananmu?”

“Aku pesan 5 paket bento untuk dibawa pulang,” kata Liu cepat.

Dengan senang hati, pria tua yang merupakan pemilik kedai ini melayani Liu. Selagi menunggu pesanannya siap, rupanya ada pesan yang masuk ke ponselnya. Dari Tao.

Jiejie, kapan makanannya datang? Aku lapar.

Jika sudah melihat pesan dari Tao dengan nada manja seperti ini, bukannya luluh, Liu malah merasa geli. Dia tidak suka melihat seorang pria manja didepannya atau melakukan aegyo untuk istilah dalam Korea.

Anak ini! batin Liu kesal.

Sabarlah, anak manja! Aku baru saja memesan makanannya. Bersabarlah sedikit.

Dengan perasaan kesal, Liu menyimpan ponselnya disaku belakang jeansnya. Jika sudah melihat pria manja didepannya, Liu akan mudah emosi. Tempramen wanita ini memang susah dikendalikan. Terlebih pada sesuatu yang dia tidak suka. Jadi, berhati-hati lah pada wanita ini!

Setelah mendapat apa yang ia butuhkan, Liu beranjak keluar kedai dan memutuskan untuk langsung kembali. Namun ada sesuatu yang terasa janggal. Sesuatu yang mengganggu instingnya yang tajam. Pria—dengan setelah baju hitam bermantel coklat dan mengenakan kacamata hitam—berdiri dengan jarak sekitar 10 – 15 meter dari Liu, mengarahkan pandangannya ke arah Liu seakan sedang menatap Liu meski matanya tertutup. Pria itu memiliki tinggi sekitar 180 cm dan terlihat sangat asing.

Untuk sesaat, Liu dan pria itu terlihat seperti saling menatap satu sama lain dari kejauhan. Liu merasakan sesuatu yang salah dari pria itu yang terus menatapnya, menimbulkan kecemasan tersendiri untuk Liu. Hampir lebih dari 5 menit posisi mereka tidak berubah sama sekali, diam berdiri saat jalan trotoar mulai dipadati oleh orang-orang yang lalu-lalang.

Liu melangkahkan kakinya yang terasa berat meninggalkan tempatnya berpijak sekarang. Dengan langkah yang cepat, Liu tampak gelisah dan cemas. Jangan-jangan pria itu polisi. Liu tetap waspada sembari menengok sesekali kebelakang.

Semakin lama-lama, langkah Liu semakin cepat. Puncaknya saat Liu melihat pria-tak-dikenal tadi berada diantara kerumunan orang dibelakangannya. Pria itu mengejar Liu!

Damn it! Why is he chasing me?

Liu terus melangkah cepat hingga memutuskan untuk berlari. Namun banyaknya orang di jalanan memperlambat langkahnya. Sembari berlari, dia terus berpikir untuk mencari celah untuk kabur. Sampai ia melihat sebuah taksi melintas.

“TAXI!”

****

Keempat anggota Ravens sudah berkumpul di ruang tengah. Mereka menunggu kedatangan Liu yang membawa sarapan pagi untuk mereka. Tao sudah lemas karena saking lamanya menunggu makanan yang akan membuat perutnya yang sudah meronta-ronta sedari tadi diam.

Kris terlihat gelisah dan mencemaskan anggota wanita satu-satunya yang belum juga kembali. Liu sudah pergi selama hampir 2 jam dan hal itu membuat Kris cemas. Ia khawatir sesuatu terjadi pada Liu. Dia terus melirik ke arah jam di dinding dan sesekali melihat ponselnya.

“Kenapa dia belum pulang juga sih?” Gumam Luhan kesal.

Kris semakin gelisah. Semua member sudah merasa kalau Liu pergi terlalu lama untuk sekedar pergi membeli makanan. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.

.

.

.

BRAKK..

Suara pintu yang terbuka dengan lebar menarik perhatian keempat pria yang sudah menunggu dengan perasaan khawatir dan… lapar. Liu melangkah masuk terburu-buru dan panik. Ekspresi wajahnya menunjukan dia sehabis mendapat masalah.

Kris bisa menangkap ekspresi itu dan berniat untuk mencari tahu apa yang telah terjadi.

“Liu, kenapa kau pergi lama sekali?” Tanya Kris.

“Someone spying me,” jawab Liu masih dengan perasaan gelisah.

“Spying? Memata-mati mu? Siapa?” Tanya Kris lagi.

“I don’t know! Pria itu ada di depan kedai bento. Dia terus menatapku bahkan mengejarku. Makanya aku harus ambil jalan memutar yang jauh supaya bisa lolos,” ujar Liu.

Ravens is in trouble. Seseorang sudah berani memata-matai salah satu anggota Ravens. Itu artinya orang ini bukan orang sembarangan. Mungkin polisi atau kelompok mafia. Musuh Ravens bukan hanya polisi, bahkan kelompok-kelompok mafia juga musuh mereka. Jadinya hanya ada dua kemungkinan siapa sebenarnya yang telah memata-matai Liu.

“Jiejie, kau bawa makanannya?” Tanya Tao polos dengan tampang kelaparan yang jelas-jelas melenceng dari topik pembicaraan kali ini.

PLAKK…

“Aww!!”

Spontan Luhan memukul keras kepala Tao yang tidak bisa melihat keadaan. “Shut up, idiot! We’re in trouble dan kau masih memikirkan perutmu?”

“I’m hungry, ge,” ucap Tao sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.

Kris harus bertindak cepat tentang masalah yang baru muncul ini. Lama-lama di Jepang bisa-bisa membahayakan posisi mereka. Satu-satunya cara mungkin hanya meningglkan Jepang, tapi sebelumnya ada satu misi yang harus mereka kerjaakan.

“Baiklah kita selesaikan misi kita disini. Setelah itu kita tinggalkan Jepang. We leave Japan as soon as possible. Semakin cepat kita selesaikan misi kita, semakin cepat kita meninggalkan Jepang.”

“Lalu apa misi kita selanjutnya?” Tanya Luhan.

“Formula One Japanese Grand Prix.”

****

“Target kita adalah Yama Kozaku. Ketua Yakuza yang terkenal kejam. Kekayaan yang dimilikinya hasil penjualan narkoba dan perdangan wanita.”

Kris dengan penampilan rapih layaknya seorang jutawan, duduk ditempat V.I.P sambil mengawasi pria tua yang duduk diseberang sirkuit balap itu. Dengan sebuah teropong, jarak jauhpun tidak menjadi masalah bagi Kris untuk memantau langsung targetnya.

Pria bernama Yama Kozaku itu duduk dikelilingi orang-orang berbadan besar yang mungkin saja adalah body guard atau mungkin anak buahnya. Sulit untuk menyerang pria itu begitu saja. Maka dari itu Kris telah membuat rencana.

“Target kita yang kedua adalah Toshiro Kozaku, anak laki-laki Kozaku. Dia adalah seorang pembalap F1 sekaligus pengedar narkoba yang selalu menyuplai kokain ke seluruh Tokyo. Dengan bantuan ayahnya, dia bisa dengan mudah melakukan pekerjaan haramnya itu.”

Kris menggerakkan teropongnya mengarah ke deretan mobil balap yang sudah bersiap di garis start. Seorang pembalap asal Jepang dengan rambut yang panjang dan wajah yang menyebalkan sudah berada ditempatnya seseuai rencana.

Tak jauh dari Toshiro, Luhan juga sudah bersiap. Dengan pakaian lengkap seorang pembalap dan sebuah helm yang menjadi benda pelindung kepala, Luhan akan kembali ke pekerjaan tiga tahun lalu untuk hari ini, sebagai seorang pembalap profesional F1.

“Luhan, tugasmu adalah membunuh Toshiro. Kau akan menjadi salah satu pembalap. Aku akan memberimu kesempatan untuk menjadi pembalap lagi. Resikonya lumayan untukmu. Para penonton akan kaget saat mengetahui Xi Lu Han yang sudah menghilang 3 tahun kembali beradu cepat di sirkuit balap. Hal itu bisa menarik banyak perhatian, jadi jangan sampai aksimu nanti terlihat mencolok. Lagi pula kau pasti sudah tidak asing dengan Toshiro. Jadi kau tahu bagaimana cara bermainnya.”

Luhan bersiap menaiki mobilnya. Sudah sekian lama Luhan tidak duduk didepan stir balap yang dia sendiri hampir lupa bagaimana rasanya. Berterima kasihlah dia pada Kris karena telah memberinya tugas yang menyenangkan.

Tugas Luhan sangat sederhana. Membunuh Toshiro. Di arena sirkrut menjadi tempat yang mudah untuk pembalap mengahabisi pembalap lain. Sayangnya tak ada pembalap yang sampai berpikir seperti itu, kecuali Toshiro dan Luhan.

“Jangan ragu untuk menghabisinya! Kau ingat, Toshiro yang telah membuatmu keluar dari arena balap. Kau beruntung saat itu karena tidak mati di tangan Toshiro.”

Kris terus memantau Toshiro dan Luhan yang sudah bersiap melaju saat lampu hijau dinyalakan. Seperti halnya penonton lain, Kris tidak sabar menanti dimulainya balapan. Kris senang bisa memberikan apa yang anggota inginkan sambil menjalankan misi. Luhan tampak bersemangat kembali ke arena balap dan membalaskan dendam.

3

2

1

Lampu hijau telah menyala. Sekumpulan mobil balap mulai beradu cepat. Toshiro berhasil memimpin dalam waktu singkat. Sedangkan Luhan masih jauh tertinggal.

“Formula 1 Japanese Grand Prix sudah dimulai. Lihatlah para pembalap yang sangat berambisi itu! Mereka saling beradu cepat.”

Dua komentator sudah mulai mengeluarkan suara kicauan mereka. Selayaknya sebuah pertandingan, suara komentator akan terus terdengar sepanjang pertandingan. Hal itu juga bisa memudahkan Kris untuk memantau Luhan maupun Toshiro.

Luhan terus melaju berusaha menyusul Toshiro yang sudah berada jauh di depan. Luhan yang sudah profesional, dengan mudah melewati pembalap-pembalap lain dengan cepat.

“Baiklah, penonton, diposisi pertama ada Toshiro Kozaku, pembalap yang berasal dari Jepang. Sepertinya dia akan terus memimpin pertandingan ini.”

Mobil merah Luhan melaju semakin cepat seperti tidak ada yang menghalangi. Jalannya lurus seakan mengabaikan pembalap-pembalap lain yang berusaha untuk menjadi yang pertama. Jiwa pembalap Luhan tak pernah hilang karena balapan sudah ada didalam darahnya.

“Tunggu… Liat pembalap itu! Melaju sangat cepat. Dia adalah… Xi Lu Han! Itu Xi Lu Han, saudara-saudara! Setelah tiga tahun menghilang, dia kembali! Dan sepertinya dia ingin membalaskan dendam kekalahannya pada Toshiro!”

Luhan semakin bersemangat sangat komentator dan para penonton terkejut melihatnya tiba-tiba muncul. Suara sorakan penonton yang seakan menyambut kemunculan Luhan, terus memacu ambisi Luhan. Bahkan dia ingin sekali melihat ekspresi penonton saat dia berhasil membunuh Toshiro.

“Tao, kau akan menyamar sebagai petugas di pos pemberhentian tim Toshiro. Pastikan kau berhasil memasang bom cadangan jika kecelakan yang Luhan timbulkan tidak berhasil menghabisi nyawa Toshiro.”

Tao berdiri diantara orang-orang dari tim Toshiro, dengan pakaian yang sama dan tidak dikenali apalagi dicurigai. Dia berhasil mendapatkan tugas mengisikan bahan bakar pada kendaraan Toshiro sesuai rencana.

Setelah putaran ke-20, mobil Toshiro masuk ke pos untuk menganti ban dan mengisi bahan bakar. Tao bergegas seperti yang lainnya dan cepat-cepat mengisi mobil balap berwarna biru itu dengan bahan bakar. Memanfaatkan waktu dengan cepat, sebuah bom kecil sudah tertempel tepat di tangki pengisian bensin.

Supaya tidak timbul kecurigaan atau bahkan sampai ketahuan, Luhan harus menghabisi Toshiro sebelum putaran ke-20 berikutnya.

“Lay, kali ini kau tidak akan bertugas terlalu banyak. Aku ingin kau mengawasi Luhan. Kau akan menjadi petugas medis dan bersiap di posisi. Jika sesuatu terjadi pada Luhan, kau harus membawanya pergi dari sana.”

Dari berberapa petugas medis yang bersiaga, Lay tampak berbaur disana. Dengan pakaian lengkap petugas medis, dia mengawasi Luhan dari layar besar, berharap Luhan tak akan berbuat hal bodoh yang bisa mencelakakan dirinya.

Dia bisa melihat, Luhan mengejar Toshiro begitu cepat dari ketertinggalannya di awal start dan sekarang pria imut itu sudah berada tepat di belakang Toshiro. Luhan harus cepat melakukan tugas. Keberhasilan misi ini ada ditangannya.

Lay mengalihkan pandangannya ke arah seberang sirkruit. Dia bisa melihat Liu yang masih duduk santai diantara penonton. Namun tak lama kemudian, wanita itu pergi meninggalkan tempatnya.

“Liu, kau lah orang yang akan mengeksekusi si Tua, Yama. Kali ini ku bebaskan kau. Terserah kau ingin membunuhnya dengan apa. Asalkan jangan sampai ketahuan orang banyak. Aku mengandalkanmu.”

Wanita itu berjalan meninggalkan tempat duduknya. Setiap suara langkah heels setinggi 7 sentimeter milik Liu, bagaikan hitungan mundur kematian bagi Yama Kozaku. Dengan dibalut bodycon dress sexy, sama sekali tidak ada yang mencurigainya.

Liu semakin melangkah ketempat sepi yang hampir tidak ada orang disana. Dengan sambaran cepat, Liu mengambil salah satu koleksi mainannya yang ia sembunyikan. Menuju ke sebuah menara tak terpakai, langkah Liu semakin mantap.

Liu mengunci pintu menara setelah ia masuk ke dalam ruangan tak terpakai yang gelap. Dia menarik dengan sekali tarikan sebuah meja yang ada disana ke arah jendela gelap dimana Liu bisa melihat ke arah luar, tapi yang ada di luar tidak bisa melihat Liu. Dia membuka celah kecil jendela itu.

Kemudian, Liu mengeluarkan isi tas panjangnnya yang dia ambil tadi. Dirakitnya bagian-bagian yang masih belum terpasang sehingga menjadi sebuah sniper rifle M24 SWS. Liu meletakan senapan itu di atas meja dengan posisi mulut senapan yang ke luar melalui celah jendela yang dibuka sekecil mungkin.

Posisi Liu sudah siap. Dengan mata kanannya yang sudah ia letakan pada teropong bidikan yang mengarah langsung ke arah kepala Tama Kozaku.

“Tunggu sampai Luhan melakukan tugasny, Liu! Aku ingin ayah dan anak itu mati secara bersamaan.”

To be continue: Chapter 2

****

Huahahaha^o^) Bertemu lagi dengan Jinnie di Chapter pertama RCD. Maaf ya kalau lama. Gara-gara UAS, kerjaan Jinnie jadi berantakan. Chapter 1 RCD jadi berantakan dan di post gak sesuai jadwal. BB Chapter 10 juga belum selesai. Kerjaan Jinnie sebagai artworker juga berantakan semua. Trus, rencana Jinnie mau pindah blog pribadi juga berantakan. Pokoknya semua rencana dan jadwal yang udah Jinnie siapkan berantakan semua deh *curcol*

Kok Jinnie jadi curhat? Hahaha

Gimana nih chapter 1 nya? Suka gak? Ini masih permulaan loooh.. Kalian pasti penasaran dengan semuanya/? Jinnie juga(?) Jinnie minta pendapat aja tentang FF action ke-3 Jinnie ini^^

Di RCD, cast yeoja akan banyak yang pakai OC, kecuali satu yeoja. Siapa tuh? Rahasiaaaaa… Masih banyak cast-cast yang belum keluar. Pokoknya tunggu aja deh kelanjutannya^^

Terima kasih untuk readers yang udah bersedia baca FF ini, terutama buat yang selalu COMMENT^^

See you on next chapter guys^^)/


Beauty & Beast [Chapter 10]

$
0
0

: Beauty & Beast – Chapter 10

Beauty & Beast – Chapter 10

Author : Choi Seung Jin @cseungjinnie

Genre : Fantasy, Historical, Supernatural, OOC

Ranting                : General Audience

Leigth : Chaptered

Main Cast :

EXO in English Name

Supporting Cast :

Jessica SNSD as Jessica

Sulli f(x) as Sulli

Minho SHINee as Minho

Henry SJ-M as Henry

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8 | Chapter 9

Note :

  • SEMUA MEMBER EXO MEMILIKI UMUR YANG SETARA, YAITU 17 TAHUN!! Buat yang menurut readers gak cocok untuk usia 17 tahun, anggap saja muka mereka itu boros’-‘)
  • Ingatlah English name para member EXO. Karena author akan menggunakan nama itu daripada real name atau stage name mereka.
  • English name para member EXO author dapatkan dari http://ohsehunnie1.com/post/43130943930/exos-english-spanish-and-french-names

 

*****

***********

Setelah kejadian itu, Pak Jim segera mengambil tindakan. Leo sudah dirawat di Rumah Sakit, tapi dia belum juga sadarkan diri meski dia sudah 2 hari pingsan. Pak Jim juga telah mengumpulkan darah Amy sebanyak yang bisa ia kumpulkan.

Pemakaman jenazah Amy akan diadakan siang ini. Tuan George yang tidak lain adalah ayah Amy meminta agar Amy dimakamkan disebelah makan ibunya yang telah meninggal lebih dulu. Kesedihan yang dirasakan oleh ayah yang kehilangan anak satu-satunya tidak bisa diungkapkan lagi dari wajah Mr. George. Namun dia hanya bisa diam menatap peti mati putrinya yang siap untuk dikubur.

Will duduk diantara murid-murid lain dideretan kursi paling depan. Tidak ada murid yang menunjukkan kesedihan mereka, kecuali Will. Dia lebih banyak diam dan sesekali air matanya jatuh.

Seharusnya proses pemakaman Amy haruslah diadakan dengan upacara khusus karena Amy tewas sebagai seorang Half Blood Vampire, tapi ayahnya tidak ingin Amy dimakamkan sebagai seorang monster. Dia ingin Amy dimakamkan seperti manusia lainnya dan dengan layak.

Amy dimakamkan dipemakaman umum setempak. Upacara pemakaman sudah berlangsung dari 1 jam yang lalu. Tak banyak orang yang mengenal baik sosok Amy yang telah pergi. Hanya Will dan Leo. Itu sebabnya hanya Will yang larut dalam kesedihan dan berberapa teman sekelasnya yang mungkin merasa sedih dan perihatin meski tidak sesedih Will.

Dibalut dengan pakaian serba hitam, kesepuluh Wolf Boys mengikuti upacara pemakaman dengan penuh duka. Sebagian besar dari mereka menyayangkan kematian Amy karena gadis itu bisa menjadi senjata satu-satunya bagi mereka.

Satu-satu anggota Wolf Boys yang tidak bisa ikut larut dalam kesedihan mungkin hanya Leo yang masih terbaring tidak sadarkan diri di Rumah Sakit. Sudah 2 hari ia tidak sadarkan diri dan semaki hari kondisinya semakin melemah. Pak Jim sudah mengerahkan seluruh tenaga medis untuk mengobati Leo yang hampir mengalami keadaan koma. Jika 2 hari kedepan Leo tidak kunjung sadar, dia harus dibawa ke Rumah Sakit umum untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Pak Jim bisa saja menggunakan sihir untuk mengobati Leo, tapi hal itu hanya akan memperburuk kondisi Leo.

 

Pemakaman telah usai. Banyak diantara pelayat yang sudah pergi. Disana tersisa kesepuluh Wolf Boys, Pak Jim dan ayahnya Amy sekarang.

Will berdiri dari kursinya, menghampiri ayah Amy yang duduk tak jauh darinya. Sebenarnya ada rasa bersalah yang Will rasakan karena tidak bisa menjaga Amy.

“Pak.. Aku minta maaf soal Amy,” kata Will kepada orang tua yang duduk dihadapannya.

“Will,” kata ayah Amy. “Tidak usah minta maaf. Bukan salahmu.”

“Tapi pak–”

“Amy selalu menginginkan ini. Kurasa kau harus tahu,” kata ayah Amy memotong kata-kata Will.

“Dia tidak pernah tahan hidup dengan kondisinya yang Half Blood,” lanjutnya.

“Dia tidak pernah cerita padaku…”

“Dia tidak ingin kau tahu. Dia tidak ingin ada yang tahu kalau dia tidak pernah menikmati hidupnya.”

Will diam shock. Dia tidak pernah tahu kalau selama ini Amy tidak pernah berharap dia terus hidup dan ingin hidupnya segera berakhir.

“Setiap hari, Amy melewati hidupnya dengan penderitaan. Dia selalu menunggu saat-saat dimana ada pemburu vampire yang menusukkan belati perak dijantungnya.

“Temanku, Jim berkata bahwa ada 2 kemungkinan yang bisa dilakukan untuk Half Blood Vampire seperti Amy. Yang pertama menjadi manusia seutuhnya atau menjadi vampire yang utuh. Jika bisa, Amy ingin menjadi manusia, tapi sayangnya Jim tidak bisa menemukan ramuan yang bisa mewujudkan impian Amy,” ujar Mr. George panjang.

“Jadi.. Ini yang dia inginkan?” Ucap Will seakan tidak percaya.

Sangat disayangkan. Selama ini Amy tidak pernah berharap dia akan hidup lama. Selama ini gadis itu menderita tanpa pernah menunjukkan apa yang ia rasakan kepada semua orang bahkan Will.

Ayah Amy berdiri dari tempat duduknya, menepuk pundak Will penuh kepercayaan dan semangat, sebagai orang terakhir yang dilihat Amy– selain para vampire.

“Aku tidak ingin menyia-nyiakan amanat dari anakku, Will. Aku akan melatih kalian. Kita akan hancurkan vampire sialan itu.”

 

****

 

Setelah pemakaman, Pak Jim mengajak Kevin untuk mengunjungi suatu tempat. Sebuah gudang bawah tanah rahasia di sekolah. Satu-satu akses masuk ruangan iu adalah kantor kepala sekolah. Pak Jim tidak bilang pada Kevin apa yang akan mereka lakukan di ruangan gelap dan dalam itu. Dia hanya mengajak pria jangkuk itu saja.

Hal itu membuat Kevin penasaran, tentu saja.

“Sebenarnya kita mau apa disini, Pak?” Tanya Kevin.

“Kita akan mencari sesuatu untuk temanmu, Kevin. Kau ingin Leo sembuh, kan?” Kata Pak Jim yang berjalan didepan Kevin.

Mereka berdua turun lebih dalam ruangan rahasia itu. Berbekal dua buah senter besar, mereka terus turun menuruni anak tangga dan tiba didepan sebuah pintu kayu. Didalamnya ada ruangan yang sangat gelap.

Hanya dengan sekali lambaian tangan, Pak Jim membuat ruangan gelap itu penuh cahaya dengan semua obor api yang menyala. Meski sedikit remang-remang karena hanya bermodalkan cahaya yang berasal dari obor, namun isi ruangan itu bisa terlihat.

Ratusan buku-buku tua yang disusun rapih di berberapa rak besar tersimpan disana. Disalah satu sisi ruangan, ada lemari kaca besar berisikan botol-botol aneh. Ada sebuah meja besar ditengah ruangan dengan segala peralatan diatasnya dan bermacam-macam benda lainnya.

Ruangan itu terlihat sangat besar dari kelihatannya. Berberapa baju besi dipajang sedemikian rupa dan berbagai pedang yang digantung di dinding juga ada disana. Terlalu banyak barang yang tidak dapat disebutkan satu-satu. Intinya banyak.

Pak Jim menetakkan senter yang dibawakannya diatas meja dan mengarahkan cahaya benda itu ke arah lemari kaca yang berisikan botol-botol dengan berbagai ukuran dan bentuk. Setiap botol memiliki isi yang berbeda dimana gunanya pun juga berbeda.

Kevin tertarik pada deretan buku tua yang paling dekat dengannya. Kevin menyadari bahwa tempat ini adalah semacam perpustakaan rahasia yang berisikan berbagai buku dan benda mengenai sihir. Buku-buku yang ada disana pun bukan buku-buku biasa.

Rasa penasarannya membawa Kevin pergi meninggalkan Pak Jim yang sedang sibuk mencari sesuatu yang dibutuhkannya diantara botol-botol berisikan cairan aneh. Dia menjelajahi perpustakaan rahasia itu semakin dalam, melihat buku-buku aneh, koleksi perpustakaan itu.

 

“Kau bisa membaca semua buku yang ingin kau baca disini, Kevin. Anggap saja sambil menunggu ku mencari dan membuat ramuan disini,” ujar Pak Jim membebaskan Kevin untuk membaca disini.

Baguslah, batin Kevin.

Dia penasaran, apa yang bisa ia temukan disini. Siapa tahu dia bisa menemukan sesuatu yang bisa membantunya dan juga teman-temannya, termasuk Leo yang kondisinya masih mengkhawatirkan.

Di salah satu deretan buku, ada sebuah buku yang menarik perhatian Kevin. Di perpustakan itu umumnya buku yang ada disana berwarna gelap. Sedangkan buku ini berwarna merah mencolok. Dengan tulisan berwarna keemasan yang tercetak diatas sampul buku itu membuat buku itu terlihat sangat menonjol diantara buku-buku yang lain.

Twelve Powers Between the Dark and Light. Begitulah judul yang tertera pada buku itu. Buku itu cukup tebal. Hampir setara dengan 2 buku fisika yang ditumpuk. Tidak tertera disana siapa penulisnya. Mungkin karena ini buku mistis sehingga tidak jelas pengarangnya siapa, tapi seharusnya ada kemungkinan buku ini ditulis oleh penyihir.

Memanfaatkan kesempatan yang diberikan Pak Jim, Kevin tanpa ragu mengambil buku itu dari tempatnya. Dia membawa buku itu ke meja besar di tengah ruangan luas itu, berniat untuk membacanya disana sambil menunggu Pak Jim selesai dengan urusannya.

Kevin mulai pada halaman pertama yang menampilkan gambar lambang 12 kekuatan yang membuat sebuah pola. Dilihat dari daftar isinya, buku ini memuat informasi 12 kekuatan yang dimiliki oleh keduabelas Wolf Boys dan para Mortemnya.

Kevin ingin membaca bagian yang membahas tentang kekuatannya, tapi dia harus mendahulukan kepentingan Leo.

Dia membuka bagian Telekinesis yang menjadi kekuatan Leo. Dibuku itu dijelaskan segalanya tentang telekinesis. Mulai dari pengertian, kegunaan, kelebihan, kelemahan, larangan-larang, sampai sejarah tentang telekinesis.

 

Kekuatan utama seorang Telekinesis adalah pada kinerja otaknya. Jika fungsi otaknya melemah karena suatu energi lain, maka dampaknya bukan hanya pada kekuatannya saja, tetapi juga pada kelangsungan hidupnya. Semakin lemah energi seorang telekinesis, semakin lemah juga tubuhnya. Seorang telekinesis akan mengalami koma berkepanjangan yang akibatnya bisa berujung kematian.

 

Leo memang terlalu banyak kehilangan energi yang ia salurkan kepada Amy agar otak gadis itu bekerja untuk sesaat. Itu sebabnya otak Leo juga kehilangan banyak kekuatan sehingga membuat tubuh Leo melemah seiring melemahnya otaknya.

Kevin harus mencari solusi sesegera mungkin untuk masalah yang dihadapi Leo sebelum dia dan teman-temannya kehilangan Leo. Dia membalik-balikkan halaman, namun tidak ada keterangan bagaimana menyembuhkan seorang Telekinesis yang mengalami koma akibat kehilangan banyak energi.

Hal ini membuat Kevin semakin bingung. Bagaimana dia bisa menolong Leo yang merupakan satu-satu orang yang tahu rencana para vampire karena berhasil membaca pikiran Amy.

 

“Kau sedang baca apa?” Tanya Pak Jim disela-sela pekerjaannya yang entah apa. Melihat Kevin yang sibuk membaca buku membuat pria paruh baya itu penasaran.

“Ini, Pak. Saya sedang membaca Twelve Powers Between Dark and Light. Saya menemukan buku ini dan tertarik untuk membacanya,” ujar Kevin.

“Ooh.. Kau bisa belajar banyak dari buku itu. Buku itu adalah buku yang bagus. Kau bisa pinjam buku itu jika kau mau. Meskipun… Kau tidak bisa berbuat banyak dari informasi yang kau dapat. Buku itu menurutku kurang lengkap,” kata Pak Jim.

“Menurut saya juga begitu, Pak. Saya tidak bisa menemukan cara bagaimana mengembalikan kondisi Leo.”

“Kau tidak akan menemukannya karena memang tidak ada obatnya.”

“Tidak ada?” Ulang Kevin panik.

“Hanya ramuan campuran darah unicorn yang mungkin bisa menyelamatkannya. Setidaknya itu bisa mengembalikan setengah dari kekuatannya yang hilang.” Pak Jim mengambil sebuah botol berisikan cairan keperakan yang kental. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Hanya tigaperempat bagian dari botol itu.

“Persediaan darah unicorn ku hanya segini. Kuharap ini cukup,” Pak Jim menunjukkan botol itu pada Kevin. “Belum ada tanda-tanda dari Edison?”

Kevin menggeleng lesu, mengingat sahabatnya yang menghilang itu.

“Begitu, ya. Ku harap dia cepat kembali,” ujar Pak Jim.

“Dia akan kembali, kan Pak?” ucap Kevin.

.

.

“Ya, dia akan kembali. Aku yakin itu.”

 

****

 

Pak Jim telah selesai dengan ramuannya. Dia kembali ke Rumah Sakit bersama Kevin setelah menghabiskan 3 jam di ruang bawah tanah membuat ramuan yang bisa jadi harapan satu-satunya.

Semua berkumpul di Rumah Sakit milik Akademi XOXO. Mereka semua sama-sama berharap ramuan buatan Pak Jim akan berhasil. Mungkin hanya Will sedikit berjaga jarak berberapa meter dari kumpulan orang yang mengitari ranjang Leo.

“Kita butuh satu bahan lagi,” kata Pak Jim yang telah meyiapkan segelas air berwarna merah keperakan untuk diminumkan kepada Leo.

“Bahan apa, Pak? Biar saya ambilkan,” kata Stephan menawarkan bantuan. Dia begitu bersemangat untuk bisa menyembuhkan teman dekatnya itu.

“Tidak perlu. Aku hanya perlu memintanya,” kata Pak Jim mengarahkan pandangan pada Will yang duduk disalah satu ranjang Rumah Sakit. Semua pandangan mengikuti arah mata Pak Jim memandang dimana Will yang menjadi objeknya.

“Apa?” Ucap Will dingin kepada semua pandangan yang mengarah padanya.

“Will, boleh kuminta obat ajaib milikmu. Aku hanya butuh setetes saja,” pinta Pak Jim.

“Apa harus pakai obat milikku, Pak?” Kata Will seakan enggan memberikan obat ajaib miliknya yang merupakan hadiah natal dari Pak Jim.

“Aku mohon, Will. Aku hanya minta setetes saja.” Ini kali pertamanya Pak Will terlihat memohon.

Will tidak tega melihat kepala sekolah harus meminta mohon seperti itu padanya. Dia menarik nafas panjang, mengeluarkan botol kecil dengan patung unicorn kecil pada tutupnya yang berisikan cairan perak berkilau dari saku celananya. Dengan sedikit rasa berat hari, Will memberikan botol itu pada Pak Jim.

Bibir Pak Jim tertarik ke atas membentuk senyuman. Dia sangat berterima kasih pada Will. Hal itu bisa terlihat dari bagaimana cara pria tua itu menatap Will saat Will memberikan botol berisikan obat ajaib itu padanya. Pak Jim segera meneteskan setetes obat ajaib milik Will ke dalam ramuan buatannya. Seketika ramuan itu yang semula berwarna merah keperakan berubah menjadi keemasan. Itu menandakan bahwa ramuan itu telah siap.

Dibantu oleh Kevin dan Stephan, Pak Jim menegakkan ramuan itu kepada Leo yang masih dalam kondisi tak sadarkan diri dalam tidurnya yang panjang. Pak Jim berharap setelah Leo meminum ramuan itu dia akan segera bangun.

.

.

.

.

Mereka menunggu, namun tak terjadi apa-apa. Leo masih menutup matanya. Bahkan respon-respon kecil pun tidak ada yang membuat Pak Jim mulai putus asa. Kondisi Leo tidak berubah sedikipun seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan dalam raga yang tidur itu.

“It doesn’t work,” gumam Kevin yang juga telah putus asa.

 

****

 

Ayah Amy serius soal melatih para Wolf Boys dan memberikan informasi sebanyak mungkin tentang vampire. Dia benar-benar menepati janjinya sebagai bentuk upaya mewujudkan amat Amy dan membalas dendam.

Sebelas orang berkumpul di dalam gedung olahraga basket yang berada dibelakang gedung sekolah. Hal pertama yang harus diketahui para Wolf Boys adalah pengetahuan lanjut tentang vampire agar mereka bisa menghacurkan Minho dan komplotannya.

Kesepuluh Wolf Boys duduk ditengah lapangan membentuk lingkaran sementara ayahnya Amy duduk ditengah-tengah mereka sebagai poros.

“Kita akan mulai dengan informasi sebagai tahap awal pelatihan kita,” kata pria berumur 45 tahun itu. “Kita bawa santai saja. Tidak usah terlalu serius. Yang terpenting kalian bisa mengerti setiap perkataanku dan dapat menerapkannya dengan baik.”

Semua dia sebagai tanda setuju. Mereka tetap menyimak Mr. George yang akan memberitahu semua hal tentang vampire termasuk bagaimana cara membunuh makhluk itu.

“Kita awali dengan informasi dasar,” kata Mr. George memulai. “Vampire adalah makhluk hidup tanpa jiwa yang hanya bisa bertahan hidup dengan minum darah. Mereka dapat tahan terhadap sinar matahari meskipun di legenda banyak yang mengatakan bahwa mereka akan terbakar oleh sinar matahari.”

“Bagaimana cara mengahancurkan mereka?” Tanya Alex begitu antusias dan langsung ke point inti.

“Ada berberapa cara untuk membunuh vampire. Yang pertama adalah menusuk jantung mereka dengan belati perak. Yang kedua adalah dengan membakar dan mencabik-cabik mereka. Biasanya hanya werewolf yang bisa mencabik-cabik mereka,” kata Mr. George menjelaskan. “Kita beruntung karena kita punya werewolf berkekuatan Flame yang bisa membakar para vampire itu.”

Richard tersenyum bangga saat Mr. George menyebutkan kata Flame yang menggambarkan dirinya.

“Untuk melawan vampire, kalian hanya perlu mengikuti naluri liar kalian yang penuh dengan hasrat untuk membunuh vampire. Dengan begitu kalian akan dengan mudah membunuh setiap vampire yang akan kalian temui,” kata Mr. George memberikan saran berupa arahan sekaligus anjuran.

Francis mengacungkan tangannya menandakan ia ingin bertanya sesuatu. Dia mulai berbicara saat Mr. George mengizinkannya bicara.

“Lawan kita hanya 2, bukan? Minho dan Sulli. Bukannya seharusnya mudah mengalahkan mereka?”

“Sebenarnya mereka tidak hanya berdua. Ada satu lagi bernama Henry. Dia adalah vampire yang menculikku waktu itu. Dia memang jarang ditugaskan Minho untuk menangani kalian secara langsung,” kata Mr. George menjawab pertanyaan Francis. “Lagi pula, Minho tidak akan sebodoh itu dengan hanya mengerahkan kekuatan mereka bertiga untuk menangkap kalian. Dia pasti akan membentuk pasukan.”

“Paman! Hal apa yang membuat vampire lemah? Semacam kelemahan vampire,” tanya Mike aktif.

Dengan antusias Mr. George menjawab. “Mereka akan menjadi lemah didekat cahaya atau api yang sangat panas. Karena api akan dengan mudah membakar mereka hidup-hidup. Meskipun Vampire adalah makhluk gelap, tapi mereka makhluk yang sensitif akan api. Mereka bukan makhluk yang berasal dari neraka seperti makhluk gelap kebanyakan.”

Kesepuluh Wolf Boys mengangguk kecil tanda paham. Momen seperti ini lebih mirip seperti sekelompok murid sekolah dasar duduk mengelilingi guru mereka. Butuh waktu untuk menjelaskan hal-hal dasar tentang vampire.

“Hal pertama yang harus kalian lakukan saat bertarung dengan vampire adalah menyerang mereka dengan api. Itu akan menjadi tugas Richard yang akan ada di garis terdepan,” kata Mr. George yang mulai menyusun strategi perang melawan vampire.

“Yang kedua adalah penyerangan oleh anggota terkuat, yaitu Thomas dan Donald. Sisanya melakukan penyerangan seperlunya sebagi kekuatan tambahan.”

“Bagaimana dengan Minho? Apa yang harus kita lakukan padanya?” Tanya Kevin.

“Kalian harus berhati-hati dengan Minho! Dia memiliki kemampuan untuk mengambil seluruh kekuatan kalian. Jadi saat kalian ada didekatnya, jangan ragu untuk menghabisinya!”

 

****

 

“Kau berjanji tidak akan kabur?” Kata Kevin bertanya.

“Aku janji. Aku tidak akan pernah melanggar janji. Percayalah!” Jawab lawan bicara Kevin yang terdengar seperti suara seorang wanita.

Kevin berdiri ditengah hutan dan sendirian. Benar-benar sendiri. Tak ada seorangpun bahkan lawan Kevin bicara barusan. Kevin seperti bicara sendiri atau bicara pada dirinya sendiri.

“Aku melakukan ini untuk kepentinganmu. Kita sudah sepakat, saat kau keluar, kau tetap menyisakan kekuatanmu untukku,” kata Kevin.

“Untuk hal itu, aku tidak bisa menjanjikannya. Aku akan meninggalkan wujudku didalam tubuhmu, tapi aku tetap akan membawa kekuatanku,” ujar suara wanita itu.

“Baiklah. Setidaknya aku masih bisa berubah. Sembunyilah ditempat paling aman yang bisa kau temukan! Aku akan memancing vampire-vampire itu agar mengincarku. Mereka akan mengira aku adalah kau. Terutama vampire yang bernama Sulli itu.”

“Dengan wujudku nanti ini, akan mudah untuk bersembunyi,” kata suara wanita itu yang terdengar percaya diri.

Seperti halnya musyawarah, negosiasi ini akhirnya mencapai kesepakatan. Kedua belah pihak telah memutuskan untuk saling bekerja sama.

Kevin harus melanggar peraturan tak lisan yang seharusnya tidak boleh ia langgar sampai kapanpun. Dia telah belajar sedikit dari buku milik Pak Jim secara diam-diam bagaimana cara mengeluarkan Mortem yang ada didalam dirinya. Hal ini ia lakukan semata-mata untuk menjaga Mortemnya tetap aman dan untuk mengecoh para vampire. Rencana ini dibuatnya secara rahasia dan hanya dia dan Fleur yang tahu tentang ini.

Proses mengeluaran ini akan terasa menyakitkan. Tertulis jelas di dalam buku. Terlebih jika Mortem sudah mulai menyatu seperti yang terjadi pada Kevin dan Fleur.

.

.

.

“AAAAAAAAH!!”

Kevin berteriak kesakitan saat dia mencoba mengeluarkan Fleur dari tubuhnya. Sakit luar biasa dialaminya yang rasanya seperti rohnya ditarik keluar dari dalam tubuhnya.

Fleur mulai keluar dari tubuh Kevin dan memisahkan diri dengan wujud berupa bola cahaya yang panas. Keduanya sama-sama berusaha demi rencana rahasia mereka.

Saat bola cahaya itu benar-benar keluar dari tubuh Kevin dan terpental berberapa meter, di waktu yang hampir bersamaan, Kevin jatuh berlutut menahan rasa sakit yang masih berbekas. Tubuhnya lemas, bahkan sekarang dia terbaring menelungkup di atas tanah hutan yang lembab.

Kevin memejamkan matanya namun kesadarannya masih utuh. Nafasnya terdengar tak beraturan. Rasa sakit luar biasa yang ia rasakan masih berbekas.

Tak berapa lama, dia merasakan sepasang tangan memeganginya yang mencoba untuk membuatnya bangun. Tangan kecil namun tenaganya cukup kuat karena berhasil membantu Kevin untuk berdiri.

“Kau tidak apa-apa?” Ucap si pemilik tangan itu. Kevin mengangkat kepalanya dan mendapati seorang wanita berambut pirang dan berkulit seputih salju membanunya berdiri.

“Fleur?” Kevin memastikan apa benar yang ada didepannya sekarang adalah Fleur atau bukan. Seekor Mortem ganas yang terlihat seperti manusia paling sempurna yang pernah ia lihat.

Fleur mengenakan gaun putih bersih yang sederhana namun terlihat indah. Rambutnya pirang terurai panjang bergelombang. Matanya indah meski terlihat menyeramkan dengan warna merah semerah mawar. Begini kah sosok monster menyeramkan yang sesungguhnya?

Mendadak Fleur memeluk Kevin erat. Kevin terkejut bahkan saat tubunya sendiri masih lemas. “Terima kasih, Kevin,” ucap Fleur sambil terus memeluk Kevin.

“Kita melakukannya demi kepentingan kita juga…” Kata Kevin dengan nada yang tedengar lemah. “Sekarang carilah tempat persembunyian!”

 

****

 

Hujan turun dengan deras malam ini. Suara petir menambah suasana mencekam disaat bulan sudah tertutup awan tak terlihat. Badai telah datang sehingga semua orang tidak ada yang berani keluar dari rumahnya bahkan untuk hanya membuka jendela.

Dasyatnya petir telah memadamkan listrik yang mengaliri setiap tempat di Akademi XOXO. Sekolah itu menjadi gelap gulita, termasuk rumah sakit milik milik XOXO.

Rumah sakit yang hanya terdiri dari sebuah ruangan besar dengan lebih dari 10 ranjang itu terasa sangat sepi dan sunyi. Tak ada orang disana atau yang dirawat disana, kecuali Leo yang masih terbaring disana.

 

DUARR…

Petir menyambar semakin mengila. Suara keras yang mungkin saja bisa membangun siapun yang sedang teridur sekarang, kecuali satu orang.

Leo terus tertidur bahkan di dalam ruangan yang gelap dan dengan suara petir yang menyambar brutal pohon-pohon di hutan.

 

DUARR…

Petir kembali menyambar. Suaranya lebih keras dari yang sebelumnya.

 

DUARR…

DUARR…

DUARR…

Mata merah Leo terbuka lebar seakan terbangun karena suara petir yang menganggu tidurnya.

 

To be continue

 

****

Annyeong readers^^ Siapa yang udah nunggu chapter 10 hayooo kkk~ Gimana Chapter 10 ini? Makin seru atau makin ngebosenin?

Mian ya buat readers yang udah nunggu sampai lumutan(?) Semoga chapter 10 ini bisa menyenangkan hati readers sekalian.

Eh, tau gak? Masa Jinnie udah buat 22 poster buat BB dari pertama Jinnie bikin BB sampai sekarang-_- Kayak kurang kerjaan nih Jinnie. Hobi banget bikin poster *curcol*

Kalau ada poster sebanyak itu, Jinnie bisa bikin pameran kali ya hhhh~

Readers, kayaknya BB akan selesai lebih dari 10 chapter ‘^’) Abisnya ide cerita untuk BB datang terus menerus huft…

Terima kasih untuk readers yang sudah setia baca BB sampai chapter 10 ini, terlebih untuk yang udah mau COMMENT^^

Gitu aja deh curcol(?) dari Jinnie. Sampai jumpa di Chapter 11! Bye-bye^^


Protected: True Love After Story (KaiRin Ver.) [PW @fina9428]

$
0
0

This post is password protected. You must visit the website and enter the password to continue reading.


[FREELANCE] Cynicalace (Prolog)

$
0
0

Project LN1

Title : Cynicalace

Author : NadyKJI & Hyuuga Ace

Length : Chaptered

Genre : Romance, Comedy, Friendship

Rate : G

Main Cast :

Jung Re In (OC)

Geum Il Hae (OC)

Park Chanyeol (EXO)

Kim Jong In (EXO)

Disclaimer: Annyeong, ff ini adalah murni hasil pemikiran author yang kelewat sangat tinggi,  dilarang meniru dengan cara apapun, don’t plagiator. Gomawo #deepbow.

 

Summary :

Aku tidak membencimu. Aku hanya tidak ingin berurusan lagi denganmu. Tapi mengapa kau selalu hadir di sekitarku layaknya modul akuntansi yang selalu kubawa setiap hari. Wajahmu mengangguku tapi aku mulai merindukannya ketika wajah itu menghilang dari keseharianku. Oh, menyebalkan.

–Jung Rein–

Aku tidak sudi, aku tidak sudi, aku tidak sudi! Dia menyebalkan, cuek, dan dingin. Tapi… terkadang dia baik juga walau dengan muka datar, terlihat tulus, dilihat-lihat juga ia lumayan.. bukan tampan… Argh! Aku menyerah, sepertinya karma itu berlaku.

–Geum Ilhae–

Sama seperti panggilannya, yeoja itu memang kelewat bodoh. Sialnya, karena terbiasa menjadi dampak dari perilakunya, aku menjadi terbiasa untuk selalu hadir di sisinya. Namun entah mengapa aku merasakan keberadaanya bagaikan pelangi dalam keseharianku yang hanya dihiasi dua warna – hitam dan putih.

–Kim Jong In–

Melihat wajah seriusnya, merasakan kesinisannya padaku. Itulah makanan keseharianku karena ulahku sendiri. well, kau memang bodoh dan gila jika bersangkutan dengan yeoja itu. Kau terlalu gila Park Chanyeol.. tapi, aku tidak keberatan gila untuknya. It’s a pleasure.

–Park Chanyeol–

Author’s Note:

Annyeong!!!
Hyuuga Ace dan NadyKJI akhirnya mempostkan prolog dari ff duet projectnya!! #lempar confetti.

Huhuhu *ketawa gaje bersamaan.

Semoga ff ini berkenan di hati para readers sekalian ^^

Gomawooo~~

Ditunggu comment kesan dan pesannya yaaaaa! #DEEP BOW

___

 

BRAK!!! “AHHHH AJDJHSDSAJCVKNVXC! YAAA APOOOOOO!”

Pagi tenangnya telah berakhir, dan ia tahu ini semua ulah siapa.

-

“Distrik Gangnam no 157. Paulo’s caffe. No locker 21.”

-

“Aku bukan Kim Jong In.”

Brak.

-

Selamat menikmati suprisemu Jung Rein.

-

“Kau bisa segera berhenti tersenyum sendiri dan segera masuk ke mobilku.” Aku menoleh cepat ke belakang dan menemukan pemandangan paling tidak mengenakkan meyambutku.

-

“Seharusnya kau tahu aku tidak akan pernah percaya lagi padamu.”

-

“Hey, mengapa kau itu sulit sekali sih?”

-

“….Karena aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu walau hanya untuk mengantarmu pulang.”

 


[LIST] FF WRITING CONTEST YANG SUDAH DITERIMA

$
0
0

FF Writing Contest yang sudah diterima dan memenuhi persyaratan:

  1. Miracles In December – Adelia Rosiana
  2. Unpredictable Winter – Didoots
  3. My Wish – NadyKJI
  4. Christmas Miracle – Shinhyemin
  5. Winter Love – Sakura92

 

 

Last Updated 18/12/13


Beauty & Beast [Chapter 11]

$
0
0

Beauty & Beast [Chapter 11]

Beauty & Beast – Chapter 11

Author : Choi Seung Jin @cseungjinnie

Genre : Fantasy, Historical, Supernatural, OOC

Ranting : General Audience

Leigth : Chaptered

Main Cast :

EXO in English Name

Supporting Cast :

Jessica SNSD as Jessica

Sulli f(x) as Sulli

Minho SHINee as Minho

Henry SJ-M as Henry

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8 | Chapter 9 | Chapter 10

Note :

  • Storyline belongs to me. ONLY ME! Please respect by comment!
  • SEMUA MEMBER EXO MEMILIKI UMUR YANG SETARA, YAITU 17 TAHUN!! Buat yang menurut readers gak cocok untuk usia 17 tahun, anggap saja muka mereka itu boros’-‘)
  • Ingatlah English name para member EXO. Karena author akan menggunakan nama itu daripada real name atau stage name mereka.
  • English name para member EXO author dapatkan dari http://ohsehunnie1.com/post/43130943930/exos-english-spanish-and-french-names

 

****

Matahari terbit dari timur seperti sewajarnya, namun masih malu-malu untuk keluar dari balik awan. Burung berkicau indah seperti lantunan lagu yang menyambut sang fajar. Tetesan air yang jatuh dari setiap daun di setiap pohon menyegarkan suasana pagi. Hujan semalam berlalu cepat seiring datangnya pelangi. Pagi ini adalah pagi yang indah.

Stephan bangun lebih pagi kali ini, hanya sekedar ingin menjenguk sahabatnya yang masih tertidur di Rumah Sakit dan berharap dia telah bangun. Dia tidak berniat membangunkan yang lainnya dan membiarkan mereka tetap tidur. Apalagi Kevin yang semalaman demam tinggi. Sehingga Stephan harus melangkah dengan suara sekecil mungkin supaya tidak membangunkan siapapun.

Masih mengenakan piyama tidur biru muda dan kimono tidur—ditambah mantel coklat, dia keluar dari gedung asrama dan berjalan santai menuju gedung kecil Rumah Sakit di belakang gedung sekolah. Udara di luar terasa dingin. Mungkin karena tadi malam hujan badai. Hangatnya matahari belum cukup untuk menghangatkan tubuh Stephan yang kini sedang merasa kedinginan.

“Huft.. Dingin sekali,” gumam Stephan yang mengeluh kedinginan. “Seharusnya aku memakai pakaian yang lebih tebal.”

Kondisi sekolah masih terbilang sangat sepi. Tidak ada aktivitas berarti pagi ini. Kebanyakan dari murid masih tidur dan sebagian lagi sudah pulang ke rumah masing-masing. Cobaan berat memang sedang dihadapi oleh sekolah ini. Sebagian besar orang tua murid memutuskan untuk memindahkan anak mereka ke sekolah lain semenjak kejadian 12 werewolf yang mengamuk di tengah malam.

Stephan terus melangkah di atas jalan utama yang mengarah langsung memutari gedung sekolah. Jalan ini adalah jalan yang paling sering dilewati ketimbang harus lewat dalam gedung sekolah. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di depan gedung Rumah Sakit sekolah. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit, Stephan sudah berdiri didepan pintu kayu gedung berukuran 12 x 15 meter itu.

Kreeekk…

Stephan membuka pintu Rumah Sakit secara perlahan. Dia berusaha untuk tidak membuat suara terlalu gaduh saat dia membuka pintu. Dia khawatir jika suster galak menyebalkan yang biasa berjaga, sudah datang pagi ini. Tapi jika dia beruntung, tidak akan ada orang selain Leo didalam.

Dan ternyata Stephan beruntung…

Dia mengeluarkan kepalanya dari balik pintu, ingin melihat keadaan didalam. Tidak ada orang, apalagi suster galak yang dia maksudkan. Itu artinya Stephan aman kali ini. Dia masuk dan menutup pintu dengan perlahan. Langkahnya cepat menuju ranjang Leo yang berada dibalik tirai. Letaknya di ujung ruangan yang paling dekat dengan jendela yang terbuka.

Tunggu! Yang terbuka? Kenapa jendelanya terbuka? Apa sudah begitu dari tadi malam?

Langkah Stephan berakhir melihat ranjang yang ada di balik tirai tanpa memperdulikan rasa curiganya pada jendela yang terbuka. Namun sesuatu yang buruk ia dapatkan. Dia terkejut saat yang didapatnya hanyalah ranjang kosong yang berantakan. Leo sama sekali tidak ada disana. Stephan mulai panik. Leo hilang.

Stephan mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin hanya perasaannya yang berlebihan. Mungkin Leo ada di kamar mandi. Dia berusaha untuk tidak panik dan mencoba berpikir positif.

Stephan berlari ke arah satu-satunya kamar mandi disana. Dia berharap Leo sedang da di kamar mandi. Stephan mengetuk perlahan pintu kamar mandi. “Leo?” Semoga ada yang menjawab.

Tidak ada jawaban. Jika memang kamar mandi itu ada orang, pastilah pintunya dikunci. Maka dari itu Stephan mendorong sedikit pintu kamar mandi. Ah! Pintu langsung terbuka dan tidak ada orang didalamnya.

Jendela!

Stephan berlari menuju jendela yang terbuka. Dan yang benar saja, diluar gedung Rumah Sakit, pintu pagar paling belakang sekolah telah rusak—atau lebih tepatnya dirusak oleh seseorang.

Seseorang telah merusak pintu pagar. Dia pergi lewat pintu itu dan orang itu adalah Leo.

 

****

Masalah baru kini muncul. Leo lagi-lagi ikut menghilang. Menambah beban pikiran Pak Jim dan kesepuluh Wolf Boys yang tersisa. Pekerjaan Pak Jim sekarang bertambah. Dia harus melakukan penyelidikan dengan hilangnya Leo dan membuat analisa. Hilangnya Leo memiliki 2 kemungkinan, para vampire itu berhasil memanfaatkan kelengahan dan menangkap Leo; atau Leo sendiri yang kabur tanpa alasan yang jelas.

Jejak Leo sudah hilang oleh hujan badai tadi malam. Jejak Leo hilang persis saat dia keluar dari jendela. Itu artinya dia pergi saat badai. Jika sudah begini akan sulit melacak Leo.

Kejadian ini membuat Pak Jim menyuruh 10 Wolf Boys yang tersisa untuk tetap berada di kamar mereka dan tidak boleh keluar sampai ada pemberitahuan selanjutnya dari Pak Jim. Tidakan ini sama saja seperti pengurungan bagi para Wolf Boys. Tapi mau bagaimana lagi. Ini demi kebaikan mereka juga.

“Ah! Yang benar saja. Sampai kapan kita terus disini?” keluh Alex emosi.

“Sampai Pak Jim mengizinkan kita keluar,” jawab Thomas asal.

Alex berdecak kesal karena pertanyaannya dibawa enteng oleh sahabatnya sendiri. Pandangannya beralih ke Kevin yang dari tadi hanya tiduran di atas ranjangnya dengan lengannya yang menutupi matanya. Sejak kemarin malam, anak itu mengalami panas tinggi hingga sekarang. Mungkin karena kelelahan atau semacamnya.

“Apa dia baik-baik saja?” Tanya Alex yang mengarah kepada Kevin.

“Aku tidak apa-apa,” terdengar suara Kevin yang seperti sedang mengigau. Aneh jika tiba-tiba Kevin mengalami demam tinggi seperti ini.

“Istirahat yang banyak, kawan!” Kata Richard sambil menepuk kaki laki-laki yang terbaring di ranjang itu.

“Bagaimana ini? Kemarin Edison menghilang. Sekarang Leo juga menghilang,” Bernard bersuara dengan rasa cemas. Dua orang yang punya peran penting dalam kelompok telah menghilang, entah diculik atau memang kabur.

“Apa mereka berdua akan kembali?” Donald bertanya. “Bagaimana jika Edi dan Leo tidak kembali?”

“Mereka pasti kembali,” kata Francis optimis. Dia sangat percaya Edison dan Leo akan kembali, cepat atau lambat.

Mereka semua sudah pasrah, tapi mereka tidak boleh menyerah ataupun putus asa.  Mereka harus tetap berjuang meski 2 anggota mereka telah menghilang.

 

Tok.. Tok.. Tok..

Pintu kamar terdengar diketuk berberapa kali. Tidak ada yang tahu siapa yang mengetuk pintu—tentu saja. Kesepuluh anak laki-laki yang ada didalam kamar itu berpikir mungkin saja Pak Jim atau mungkin pegawai sekolah.

 

“Di dalam ada orang? Kalian semua di dalam?”

Terdengar suara seseorang dari balik pintu. Suara itu.. Bukan, kah itu suara… Jangan-jangan.

Pintu itu terbuka perlahan. Sosok yang selama ini dinanti oleh kesepuluh Wolf Boys berdiri diambang pintu dengan sebuah ransel yang ia sangkutkan di pundaknya dan pedang ditangannya yang lain. Penampilannya masih sama dengan yang terakhir teman-temannya ingat. Tampangnya terlihat dia kelelahan setelah perjalanan jauh.

“EDISOOOOON!!”

Mereka semua berteriak menyebut nama Edison. Mereka berbondong-bondong menghampiri sosok Edison yang telah kembali dan memeluknya beramai-ramai seperti sekelompok anak kecil.

“Kau kemana saja?”

“Akhirnya kau kembali.”

“Kami mencemaskanmu.”

“Jangan kabur lagi.”

Kevin berdiri sedikit menjauh dari Edison yang dipeluk oleh 9 orang sekaligus. Dia tidak mungkin bergabung untuk berdesakan dengan 9 orang demi memeluk Edison dengan keadaannya yang tidak cukup baik. Namun dia terlihat sangat senang sahabatnya telah kembali di waku yang tak terduga seperti ini.

“Sorry, guys. Ada yang harus ku lakukan,” kata Edison yang juga terlihat senang bisa kembali dengan teman-temannya. Edison melihat kesembilan temannya yang memeluknya. Dia mengamati mereka semua seakan mencari seseorang. “Ngomong-ngomong, Leo mana?” tanyanya yang tidak mendapati sosok Leo diantaranya.

Semua orang terdiam saat mendengar kata Leo. Atmosfer di ruangan ini seketika berubah dari haru menjadi suram. Edison yang merasa tidak ada Leo disekitarnya pun mulai heran, terlebih melihat reaksi teman-temannya saat dia bertanya dimana Leo.

“Leo… Dia hilang,” ungkap Michael yang gugup untuk berkata yang sebenarnya.

Edison terkejut. Dia baru saja kembali dan langsung mendapat kenyataan bahwa kini Leo telah menghilang. “Hilang? Bagaimana dia bisa hilang?”

“Entahlah. Amy juga sudah meninggal. Lalu Leo nekad menggunakan seluruh tenaganya untuk membaca rencana Minho dari pikiran Amy yang sudah mati. Hal itu membuat Leo tak sadarkan diri selama berhari-hari. Pagi ini, ranjang Leo di Rumah Sakit sudah kosong dan dia menghilang,” kata Stephan bercerita dengan nada yang terdengar sedih.

“Kalau soal Amy meninggal, aku sudah tahu. Aku turut berduka cita,” kata Edison.

“Kau sudah tahu?” tanya Will. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Sebenarnya, dalam perjalananku kembali kemari, aku bertemu vampire bernama Sulli itu,” ucap Edison.

Ucapan Edison mengalihkan topik pembicaraan. Dia bertemu dengan Sulli—salah satu vampire yang mengincarnya—dan selamat sampai kemari. Pastilah dia sehabis melakukan pertarungan untuk lari dari Sulli. Mustahil jika dia bisa kabur begitu saja.

“Lalu, kau berhasil selamat? Kau kan sedang diincar para vampire,” kata Bernard yang penasaran dalam cara yang tidak wajar.

“Tentu saja aku selamat, bodoh. Kalau aku tidak selamat, kenapa aku bisa ada disini,” hardik Edison.

“Apa yang terjadi?” tanya Francis.

“Entahlah. Blackhowl langsung mengambil alih tubuhku saat aku bertemu dengan Sulli. Saat aku sadar dan kembali pada tubuhku, aku sudah berjalan pergi menuju kesini dan Sulli juga sudah tidak ada disana,” ujar Edison. “Saat ku tanyakan apa yang terjadi, Blackhowl hanya bilang, dia sudah membereskannya.”

“Sebenarnya kau ini darimana? Kenapa kau tiba-tiba menghilang?” Kevin bertanya tegas menujukan rasa khawatirnya selama Edison menghilang.

Pada awalnya Edison diam. Dia hanya menggerakkan tangannya yang memegang pedang yang dulu pernah diberikan oleh Pak Jim, menujukkan pedang itu pada teman-temannya.

“Dalam perjalananku, aku meng-upgrade pedangku ini. Seorang pembuat pedang membuat ulang pedang ini dengan menambahkan perak murni, sehingga pedang ini bisa ku gunakan untuk membunuh vampire,” ujar Edison menjelaskan. “Tapi bukan itu tujuan utamaku pergi.”

“Lalu?”

“Aku pergi ke tempat Mortem pertama lahir. Letaknya di sebuah lembah yang sangat jauh. Aku menemukan bahwa Mortem bukanlah makhluk murni. Mortem pertama adalah 12 ksatria berkekuatan supranatural yang terkena kutukan akibat serangan werewolf.”

 

****

Sesi latihan bersama Mr. George kembali dimulai dengan bertambahnya murid yang pernah hilang, Edison dan didampingi oleh Pak Jim langsung. Kali ini Mr. George akan melatih kemampuan bertarung kesebelas muridnya. Hal ini untuk mempersiapkan mereka melawan vampire.

Tempat latihannya di hutan. Tepatnya disebuah tanah lapang yang luas di tengah hutan, tempat yang biasa digunakan Pak Jim untuk melatih dulu.

Pak Jim menghempaskan kedua tangannya lurus, mengarah ke tanah hijau yang luas. Cahaya sihir keluar secara spiral dari tangannya. Sebuah pasukan boneka kayu bermunculan di atas tanah hutan membentuk barisan. Boneka-boneka itu akan diibarakan seperti pasukan vampire.

“Waah.. Aku baru pertama kali melihat sihir,” gumam Bernard kagum.

“Baiklah! Boneka dengan tanda merah di kepala adalah Boneka Minho. Ingat kata-kataku, berhati-hatilah dengannya! Anggap saja ini permainan. Siapapun yang mendapat sebuah tanda setelah boneka Minho menyerang kalian, kalian harus keluar dari permainan karena kekuatan kalian sudah hilang,” instruksi Mr. George jelas. “Mengerti?”

Semua mengangguk tanda mengerti dan tanpa arahan lagi, kesebelah murid itu sudah berubah menjadi 11 serigala raksasa.

Serigala Richard berada di posisi terdepan. Dibelakangnya, sudah berbaris Donald dan Thomas. Dan kemudian sisanya membentuk barisan memanjang sesuai dengan strategi yang telah disusun sebelumnya.

Richard mengentakkan salah satu kakinya ke tanah dan seketika tubuhnya nyala api yang berkobar. Setiap bulunya yang kecoklatan sudah dibalut dengan api merah yang panas. Draco—Mortem Flame—telah menujukkan wujud aslinya sebagai Anjing Neraka yang terkenal dengan apinya yang mematikan.

Richard mulai berlari. Membakar setiap boneka—yang bergerak karena sihir—yang bisa ia bakar. Setelah itu, tibalah tugas Donald dan Thomas. Mereka menghancurkan boneka-boneka kayu yang sudah terbakar dengan kekuatan mereka yang besar. Donald dengan mudah menghancurkan boneka-boneka itu dengan kekuatan petirnya. Thomas dengan kekuatannya dapat menghancurkan boneka dengan sekali injak. Tenaganya yang super kuat mampu menghancurkan musuh dengan mudah.

Yang lain segera menyusul. Menghancurkan setiap boneka yang bisa mereka hancurkan. Tapi mereka harus ingat dengan peraturan permainan ini. Mereka harus berhati-hati dengan boneka kayu yang sudah diberi tanda merah sebagai Minho.

Donald adalah orang pertama yang menghadapi boneka Minho. Dia kurang berhati-hati dengan boneka itu. Baru saja dia ingin menyerang, boneka Minho menembakan cat berwarna merah ke atas bulu Donald. Pada awalnya Donald tidak memperdulikan serangan cat boneka itu sampai…

“DONALD OUT!” Mr. George berteriak. Donald keluar dari permainan.

Serigala Donald berdiri bingung dengan yang apa barusan terjadi. Dia keluar dari permainan begitu saja hanya karena tertembak cat merah.

Proses latihan terus berjalan. Kesebelas serigala itu belum sepenuhnya bisa melewati permainan perang ini. Satu-persatu dari mereka keluar dari permainan.

 

“RICHARD OUT!”

“THOMAS OUT!”

“KEVIN OUT!”

“WILL OUT!”

“BERNARD OUT!”

“OUT!”

“OUT!”

“OUT!”

“OUT!”

 

Satu setengah jam setelahnya…

Kesebelas serigala itu duduk lelah di atas tanah hutan yang lembab. Bahkan ada diantara mereka yang sampai tiduran saking lelahnya. Bulu mereka juga kotor oleh tanah dan cat merah. Latihan perang ini sudah berjalan 5 kali ulang. Namun satu-satunya boneka kayu yang masih utuh adalah boneka Minho.

Mr. George menatap 11 serigala didepanya hampir putus asa. Latihan ini tidak berhasil. Dia khawatir jika 11 murid didiknya tidak siap untuk melawan Minho dan pasukannya nanti. Sedangkan dia sendiri tidak tahu kapan Minho akan menyerang. Bisa saja Minho melakukan serangan mendadak. Yang lebih dia takutkan adalah saat hal itu terjadi, Wolf Boys tidak ada yang siap.

“Bagaimana ini, Jim? Mereka tidak siap,” ujar Mr. George putus asa kepada Pak Jim yang memberikan tatapan bijak kepada murid-muridnya yang sedang kelelahan.

“Mereka akan siap. Kau belum mengerahkan seluruh kemampuanmu. Aku yakin kau bisa melatih mereka hingga mereka siap,” kata Pak Jim bijak.

“Kenapa tidak kau saja yang melawan Minho? Sihirmu cukup untuk mengahancurkan Minho,” kata Mr. George yng sudah benar-benar putus asa.

“Aku ini sudah tua, George,” kata Pak Jim. “Lagi pula ini bukan pertarunganku lagi. Ini pertarungan mereka… untuk bertahan hidup. Kau hanya perlu percaya pada mereka, seperti Amy yang percaya padamu.”

 

****

Minho telah mengumpulkan vampire-vampire yang bisa ia temui untuk menjadi anggota pasukannya. Dengan imbalan kekuasaan, dia berhasil mendapatkan lebih dari 30 vampire dari berbagai tempat.

Dia bisa tersenyum puas sekarang. Yang perlu ia pikirkan sekarang adalah kapan dia akan meyerang. Pemilihan waktu saat penting bagi penyerangan yang akan dia lakukan.

“Bagaimana jika serangan tiba-tiba? Kita bisa memanfaatkan kelengahan mereka,” usul Henry.

Minho menggeleng pelan tanda tidak setuju. “Aku berpikir untuk menyerang saat bulan tak muncul di malam hari.”

“Maksudnya?” tanya Sulli yang tidak mengerti.

“Coba pikir! Ada saat dimana bulan yang terlihat penuh dan terang saat cahaya matahari memantulkan cahayanya penuh. Akan ada juga saatnya dimana posisi bulan, bumi dan matahari sejajar yang artinya tidak ada bulan karena bulan tertutup oleh bayangan bumi. Saat itu lah kita menyerang.”

****

Langkah pria berusia 47 tahu itu pasti mengarah ke rumahnya yang sederhana di pedesaan yang damai. George kembali ke rumahnya lebih awal dari biasanya. Tugasnya untuk melatih para Wolf Boys sudah selesai untuk hari ini. Jadi, tidak ada salahnya jika dia pulang.

.

“Kau hanya perlu percaya pada mereka, seperti Amy yang percaya padamu.”

.

Masih teringat di kepalanya tentang perkataan Jim sebelumnya. Kata-kata itu menggerakkan hatinya. Dia tidak seharusnya menyerah dan putus asa. Dia harus percaya dia bisa melatih para Wolf Boys dan percaya bahwa mereka juga akan siap untuk melawan Minho.

Hal ini lah yang diingan Amy, anaknya. Amy rela mengorbankan nyawanya demi ayahnya karena dia percaya bahwa ayahnya bisa membawa pengaruh yang lebih besar bagi Wolf Boys daripada dirinya sendiri.

Langkah George berhenti didepan sebuah toko roti. Semenjak Amy pergi, tidak ada lagi yang memasak untuknya. Maka dari itu dia harus membeli makanan saat pulang bekerja seperti ini. Lagi pula, dia harus menyediakan makanan lebih untuk orang yang kini sedang ada di rumahnya.

 

To be continue

****

Annyeong readers^^ Bertemu lagi dengan author cantik pacarnya Luhan #plakk

Jinnie kembali dengan Chapter 11 nih ^0^) Semakin mendekati ending. Makin penasaran gak sama ending nya? Sama dong, Jinnie juga(?) Jinnie makin sibuk aja nih readers. Jadi maaf kalau tiap ngepost itu lama T~T Kerjaan Jinnie juga masih banyak yang keteter. Maaf ya readers. Semoga Chapter 11 ini, bisa menjadi ungkapan maaf Jinnie yang hobi bikin readers nunggu :D

Terima kasih buat readers yang udah setia pada Jinnie :’) Apalagi yang suka COMMENT. Jinnie ucapakan terima kah yang sebesar-besarnya.

Oiya.. Jinnie mau ucapin Merry Christmas (maaf telat) dan Happy New Year for readers tercintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah <3 Semoga di tahun yang baru, Jinnie bisa memberikan FF terbaik untuk readers semua :D

See you on next Chapter^^

 



[FREELANCE] Rainbow Or Sun?

$
0
0

ros (1)

Title : Rainbow or Sun ?

 

Scriptwriter (Author) : ANONYXING (@DZ4908)

 

Main Cast : Kim Junmyeon & Ahn Hyun Joo (OC/YOU)

 

Genre : Romance – Fluff

 

Duration (Length) : Drabble

 

Rating : Teen

 

Summary : Kim Junmyeon seorang dokter muda adalah seorang pedofil?

Another version [Kai Vers - Baekhyun Vers - Sehun Vers - Kris Vers - Chanyeol Vers] you can read at my official wordpress kingdomfanfiction.wordpress.com

Rainbow or Sun?

 

 

Junmyeon mengetuk-ngetukkan bolpoint bertinta hitam itu ke meja kerjanya. Jika meja kerja itu bisa berbicara, mungkin dia akan mengeluh dan berkata Kim Junmyeon – ssi, kau kira tidak sakit apa? Itu jika meja kerja Junmyeon dapat berbicara, namun nyatanya? Tidak! Meja itu tak dapat berbicara dan hanya mampu berdiam diri.

 

Ugh,

 

Junmyeon kembali mendengus sebal. Pikirannya masih melayang mengingat kejadian beberapa minggu lalu, bagaimana tidak? Dia di jodohkan! Dia merutuki kegilaan orang tuanya yang sesuka hatinya menjodohkan dirinya dengan seorang wanita (Oh, jika ini wanita tak apa! Tapi ini masih seorang bocah di mata Junmyeon!) ya, gadis yang di jodohkan dengan Junmyeon masih berumur 16 tahun sedangkan dirinya? 22 TAHUN! 22 TAHUN DENGAN 16 TAHUN? bukankah gadis itu lebih pantas menjadi adiknya? Oh tentu saja!

 

Ugh, apakah ayah sudah gila? Apakah dia sudah tak waras menjodohkanku dengan gadis bernama Hyun Joo? Oh Tuhan! Kelakuannya saja masih seperti bocah!

 

Junmyeon kembali menyungut-nyungut jika mengigat tentang kelakuan Hyun Joo. Cish, dia benar-benar lebih cocok menjadi ayah Hyun Joo daripada kekasihnya.

 

Tuk. . . Tuk. . . Tuk. . .

 

Suara ketukan langkah kaki berhasil membuat Junmyeon sadar. Pria itu mendongakkan kepalanya dan memincingkan matanya saat melihat siapa yang datang. Ya, dia Ahn Hyun Joo – calon isterinya dan tentunya gadis itu masih lengkap dengan seragam sekolahnya serta sepatunya yang bermodelkan docmart.

 

“Hai, dokter. .” sapa Hyun Joo dengan senyum sumringah lima jarinya yang begitu polos dan bagaikan seorang anak kecil menemukan sebuah gulali kapas berwarna rainbow. “Hai. Kau mengapa kemari?” Junmyeon menjawab sekaligus bertanya dengan datar.

 

Hyun Joo hanya tersenyum, lalu menggeleng dan menggembungkan pipinya. “Oppa, aku, aku, aku, tadi-ada-temanku-yang-mengajakku-kencan-apakah-boleh?” Hyun Joo berucap tanpa spasi yang membuat Junmyeon tak paham sama sekali.

 

“Hei anak kecil, kau bilang apa tadi?” Hyun Joo mengerucutkan bibirnya, lalu kembali menatap Junmyeon dan mengulang kalimatnya sejelas mungkin. “Hei bodoh! Mana ada calon isteri yang meminta ijin kepada calon suaminya untuk kencan dengan pria lain?” Junmyeon menjawab yang lebih tepatnya menjawab dengan sebuah pertanyaan dengan keki.

 

“Oh, jadi kau tak mengijinkannya oppa?” Hyun Joo berucap dengan polos dan hal itu benar-benar membuat Junmyeon menjadi naik darah. “Ahn Hyun Joo – ku sayang, kau itu polos atau bodoh hah? Tentu saja tidak!” Junmyeon berbicara dengan nada tinggi, membuat Hyun Joo cemberut dan menatap Junmyeon sebal.

 

Mengapa aku menjadi seperti seorang ayah yang overprotektif pada anaknya? Ugh, aku tidak cemburu bukan?  Mana mungkin aku suka padanya? Kita hanya baru mengenal sekitar 1 bulan, jadi tidak mungkin!

 

“Tidak usah menekuk mukamu seperti itu! Kau tahu, kau terlihat semakin jelek jika begitu, kau pergi bersamaku saja bagaimana?”

 

Apa yang aku tawarkan? Bagaimana bisa aku malah menawarkan kecan kepadanya? Ugh, Junmyeon-ssi sepertinya kau sudah tidak waras!

 

Oppa? Sungguh? Ya! Aku mau! Aku tak pernah kencan sebelumnya, ayah selalu melarangku pergi dengan teman lelakiku, padahal banyak dari mereka yang mengajakku jalan.” Hyun Joo bercerita sembari menatap menerawang. Hyun Joo tidak bohong, memang banyak pria yang mengajaknya jalan, namun selalu ia tolak karena sang ayah tak pernah menyetujuinya.

 

Heh, dia tidak sadar atau memang sengaja? Dasar gadis bodoh!

 

“Hyun Joo, kau itu sengaja ya berbicara seperti tadi?” Hyun Joo mengerjapkan matanya, menggelengkan kepalanya dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Junmyeon. “Kau bicara apa oppa? Aku tak mengerti.”

 

“Lupakan!” sahut Junmyeon datar dan berdiri dari duduknya, mengambil jas putih kebanggaannya dan segera memakainya. “Aku harus memeriksa pasien dahulu. Kau kalau mau pulang, pulang saja. Kalau masih mau menunggu, silahkan. Tapi ingat! Jangan usik barang-barangku!”

 

Hyun Joo mengangguk patuh, bagaikan seeokor anak anjing yang menuruti perintah majikannya. Junmyeon keluar dari ruangannya, lalu berjalan dengan santai dan sesekali menebar senyum kepada para perawat atau pasien yang menyapanya. Junmyeon? Dokter tampan dan berhati baik (bagi orang di rumah sakit dan keluarganya) namun amat sangat menyebalkan bagi Hyun Joo.

 

 

* * *

Junmyeon kembali ke dalam ruangannya, matanya mengerjap dan batinnya memencak sebal saat menemukan Hyun Joo tengah terlelap di sofa berwarna dark brown di ruangannya. Ia mendekati gadis itu, lalu mengguncangkan bahu Hyun Joo agar terbangun.

 

“Hyun Joo, bangun,” ucap Junmyeon sembari mendengus sebal karena Hyun Joo tak bangun-bangun. “Bangun Hyun Joo. . .” panggilnya lagi namun tak berpengaruh sama sekali. Ugh, gadis kerbau! umpat Junmyeon sembari dengan terpaksa (mau tak mau) menggendong Hyun Joo ber ala kan bridestyle.

 

Selama perjalanan keluar (dari ruangan Junmyeon menuju parkiran) banyak mata memandang Junmyeon dengan kagum, dan sesekali mereka menyapa Junmyeon sembari bertanya.

 

“Junmyeon -ah dia siapa? Adikmu? Kau tak bilang jika memiliki adik se imut dam secantik dia. Bolehlah aku mendaftarkan diri menjadi calon adik ipar mu?”

 

Begitulah salah satu pertanyaan ter-gondok bagi Junmyeon, dan pertanyaan itu berasal dari Minhyuk, sahabatnya yang terkenal playboy cap tengil. Lupakan masalah Minhyuk, karena sekarang mereka sudah berada di dalam mobil Junmyeon dan pria itu dalam keadaan menyetir menuju kediaman Hyun Joo.

 

Sesampainya di kediaman Hyun Joo, Junmyeon menghembuskan nafasnya lega. Ia merasa bosan dan sepi selama perjalanan karena tak ada ocehan berisik berisi curhatan dari Hyun Joo. Junmyeon keluar dari mobilnya, lalu berjalan menuju pintu penumpang dan menghampiri Hyun Joo yang masih setia nyenyak dalam mimpinya, dengan sangat terpaksa dan amat enggan, Junmyeon kembali menggendong Hyun Joo dan berjalan masuk ke dalam rumah itu.

 

“Nona Hyun Joo, tuan?” salah satu pembantu di rumah Hyun Joo bertanya, lalu Junmyeon hanya tersenyum dan menanyakan dimana kamar Hyun Joo.

Junmyeon membaringkan Hyun Joo di ranjang bertemakan pink miliknya, lalu menaikkan selimut itu sampai sebatas dada Hyun Joo. Sejenak, Junmyeon menatap Hyun Joo yang tengah tertidur dengan lelapnya, entah setan mana yang berhasil mengambil raga serta jiwa Kim Junmyeon, namun sekejap tapi pasti, ia telah mendaratkan sebuah kecupan manis di kening Hyun Joo.

 

Kau milikku mulai dari sekarang. Itulah batin Junmyeon saat mengecup kening Hyun Joo dan segera setelah acara kecupan singkat itu, Junmyeon bergegas keluar dan kembali menuju rumahnya.

 

 

* * *

Hari berlalu dengan cepatnya, dan hari ini adalah hari sabtu, hari dimana Junmyeon dan Hyun Joo akan berkencan sebagai sepasang kekasih. Hari ini Hyun Joo berpenampilan seperti biasanya, menggunakan dress selutut berwarna putih bercorak bunga-bunga dan sepatu boot mini berwarna coklat, tampak cantik dengan rambutnya yang diurai dan bergelombang dibawah.

 

Suara klakson mobil membuat Hyun Joo tersenyum, karena ia tahu itu adalah Junmyeon. Hyun Joo berlari kecil menuju halaman depan. Ia tersenyum, Junmyeon disana, berdiri di depan mobil SUV-nya dengan pakaian casualnya, tentu tanpa jas putih dan sepati fantovel seperti yang biasa Junmyeon gunakan.

 

Tampan. Itulah kesan Hyun Joo pertama kali saat melihat Junmyeon. “Oppa,” teriak Hyun Joo sembari melambaikan tangannya dan tertawa riang. Ini kencan pertamanya, jadi harus sempurna dan menyenangkan. Ia tak mau kencan pertamanya hancur akibat Junmyeon merubah moodnya menjadi buruk.

 

Tidak. Jangan sampai oppa merubah ini semua. Ini harus indah. Batinnya dan saat ini, ia sudah berada di samping Junmyeon, pria itu membantunya membuka pintu mobil lalu membiarkan Hyun Joo duduk dan dia kembali ke kursi kemudi untuk mengemudikannya.

 

Oppa, kita akan kemana?” Hyun Joo bertanya sembari mengotak-atik music player yang ada di mobil Junmyeon. Lagu K. Will – You Don’t Know Love terputar dan membuat Hyun Joo tersenyum.

 

“Kau tahu oppa? Menurutku lagu ini begitu romantis dan manis.” Junmyeon hanya menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang dikatakan Hyun Joo. Hyun Joo lupa, bahwa Junmyeon belum menjawab pertanyaannya.

 

* * *

Junmyeon dan Hyun Joo telah sampai di tempat kencan mereka. Ya, tempat itu adalah Myungdong dengan seribu pesonanya. Hyun Joo tersenyum senang, biasanya dia hanya melihat di drama kesukaannya, namun sekarang ia merasakannya sendiri. Junmyeon melirik ekspresi Hyun Joo sekilas, terbentuklah sebuah senyuman kecil saat ia melihat Hyun Joo merasa senang.

 

Entah ide darimana, Junmyeon membuat sebuah siku dari tangannya. Hyun Joo yang melihat hal tersebut mengerutkan dahinya. “Kau kenapa oppa? Tanganmu bengkok?” ucap Hyun Joo polos membuat Junmyeon menggerutu dan masih dengan perasaan sebalnya, ia mengambil tangan Hyun Joo dan menyuruh gadis itu untuk mengamitnya lalu berjalan bersama. Mereka berhenti di sebuah rumah makan. Ya, Junmyeon amat sangat lapar. Ia belum makan. Dengan langkah seksama mereka memasuki rumah makan itu dan duduk di tempat yang menurut Junmyeon nyaman.

 

Mereka memesan sesuai selera perut mereka, lalu tak lama setelah itu, makanan yang mereka pesan datang. Junmyeon menyantap dengan lahap, begitupula dengan Hyun Joo. Mereka makan bersama dalam diam, tak ada pembicaraan dan begitu hening.

 

“Hyun Joo?” pekik seseorang saat melihat Hyun Joo dari jauh. Orang itu berlari kecil menghampiri Hyun Joo dan memeluk dengan erat tanpa memperhatikan bahwa ada pria di depan Hyun Joo – pria itu Junmyeon.

“Kau benar Hyun Joo kan? Aku merindukanmu. Kau kemana saja Hyun Joo? Eh, dia siapa Jo? Setahuku kau tak memiliki kakak laki-laki, kaukan anak tunggal.” pria itu berbicara tanpa jeda sama sekali setelah melepaskan pelukannya.

 

“Daehyunnie, bisakah kau bertanya satu-satu?” Hyun Joo berkata sembari mengerucutkan bibirnya, terlihat begitu manja dan membuat Daehyun gemas lalu mengacak rambut Hyun Joo. Junmyeon yang melihat itu hanya berpura-pura bersikap acuh, dalam hatinya ia merasakan sesuatu, sesuatu yang panas yang ia tak tahu itu apa.

 

“Daehyunnie, aku merindukanmu juga. Kau yang meninggalkanku bukan? Kau jahat Daehyunnie!” Hyun Joo memukul dada Daehyun pelan, lalu kembali mengerucutkan bibirnya dan membuat Daehyun tersenyum geli. “Aku tidak pergi princess, akukan selalu ada di hatimu.” gurau Daehyun dan membuat Hyun Joo malu-malu.

 

“Junmyeon oppa, kenalkan ini Daehyun temanku. Daehyunnie, ini Junmyeon oppa dia eum eum, kekasihku hehe. . .” ucap Hyun Joo sembari tersenyum kikuk. “Kim Junmyeon.” ucap Junmyeon sembari membalas uluran tangan Daehyun.

 

Princess Hyun Joo, aku pergi dulu ya. Aku masih ada acara setelah ini. Selamat bersenang-senang.” Daehyun berpamitan setelah berkenalan dengan Junmyeon, lalu dengan sengaja ia menarik Hyun Joo masuk ke dalam pelukannya dan mengecup kening gadis itu singkat.

 

“Errr, Ahn Hyun Joo, dia siapa heh?” tanya Junmyeon setenang mungkin, membuat suara dengan nada sedatar mungkin dan menghilangkan rasa amarah serta possesifnya. “Dia Daehyunnie oppa. Bukankah kau sudah mengenalnya?” Hyun Joo berucap polos dan kembali memakan makanannya.

 

“Ahn Hyun Joo, bukan itu maksudku. Dia siapamu? Mengapa kau terlihat dekat dengannya?”

 

“Dia temanku.”

 

“Kau bilang kau jarang bermain dengan lelaki.”

 

“Dia teman kecilku.”

 

Junmyeon mengangguk paham. Lalu kembali melanjutkan makannya. Setelah selesai dengan acara mengisi perut, mereka melanjutkan perjalanan menuju pantai yang memang biasa Junmyeon datangi.

 

“Oppa, tempat ini benar-benar indah! Aku menyukainya!” pekik Hyun Joo girang sembari berlari kesana kemari dan sesekali memainkan deburan ombak air pantai. Junmyeon berjalan mendekati Hyun Joo, gadis itu tengah duduk, duduk di pasir putih yang dekat dengan air.

 

“Hyun Joo,”

 

“Ya, oppa?”

 

“Jika kau disuruh memilih, kau memilih matahari atau pelangi? Mereka semua berharga dan memiliki peran masing-masing.” Hyun Joo menoleh, menatap wajah Junmyeon yang saat ini tengah menatap hamparan air di depannya. Aku harap kau memilih pelangi Hyun Joo.

 

“Ugh, aku tak tahu.” ucap Hyun Joo pada akhirnya setelah terdiam cukup lama.  “Jawablah Hyun Joo. Aku tahu kau gadis pintar.” desis Junmyeon sebal.

 

“Baiklah oppa. Aku memilih matahari.”

 

“Mengapa? Bukankah pelangi lebih indah daripada matahari?”

 

“Eum, jika aku mengandaikan. Pelangi seperti seorang kekasih, kekasih yang hanya akan sempat mewarnai hubungan mereka, entah dengan kesenangan atau kesedihan. Sedangkan matahari? Aku menginginkan matahari, menginginkan memiliki pasangan yang seperti matahari, selalu setia dan menemaniku di setiap waktu. Baiklah, ada kalanya aku mandiri seperti matahari yang beristirahat, namun aku ingin memiliki pasangan yang selalu mampu menyinariku, melindungiku dan selalu setia hehe. . .”

 

Junmyeon yang mendengarkan itu hanya terperanjat, tak menyangka jawaban gadis itu akan sejauh itu dan jauh di pikirannya. Ia tersenyum. Lalu mengecup pipi Hyun Joo sekilas, dan akhirnya, mengecup bibir mungil Hyun Joo.

 

“Kau mulai merebut hatiku Ahn Hyun Joo. Rebut hati ini seutuhnya agar dia menjadi milikmu. Aku menyayangimu.”

 

 

 

F I N A L

 

 

 

Maaf abal. Maaf judul nggak nyambung sama isi. Maaf isi gajelas. Huhu maaf intinya kalo masih abstrak. Silahkan tinggalkan komentar dan beri saya kritik serta saran kalian. Makasih. Muah semuanya. Dan maaf alurnya enggak jelas banget.  Ditunggu kritik sama sarannya hehe.

 

Visit my wordpress to check another stories from me ^^ kingdomfanfiction.wordpress.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[FREELANCE] The First Snow

$
0
0

The First Snow Final

Title : The First Snow

Author : Hyuuga Ace

Genre : Romance, Songfic, Drama

Rating : G

Length : Oneshot

Main Cast :

  • Byun Baekhyun (EXO)
  • Na Sonyeo (OC)

Disclaimer :

OC and plot of story are mine and pure from my idea. Don’t plagiarism. Inspiration from EXO – The First Snow ^^.

Author’s note :

Annyeong~ *lambai”* apa kabaaar? Setelah namatin YCDFM, dan ngepost beberapa oneshot, author jadi kangen nulis, he he he *Curhat, makadari itu author udh comeback (?) dengan FF Cynicalace duet bareng author NadyKJI. Pada baca FF itu yahh.. nah, mengisi waktu liburan semester, jadilah songfic ini kekeke~ Hanya dianjurkan, untuk mendengarkan lagu The First Snow bebas mau versi korea atau china ketika membaca FF ini. Sekian, don’t forget to RCL, guys. Read-Comment-Like ~ ^^

 

Happy Reading~~

***

“Noona, aku menyukaimu.”

Aku mengerjap kaget, terpaksa membuka kedua kelopak mataku yang terasa sangat berat di pagi yang begitu dingin. Mimpi itu.. aku memimpikan hal itu lagi. Mimpi itu terasa sangat nyata, karena mimpi itu merupakan sebuah potongan dari kejadian hidupku di masa lalu. Ya, tepat setahun yang lalu, seorang hoobae di Universitas yang sama denganku mengungkapkan bahwa ia menyukaiku. Hoobae itu, Byun Baekhyun.

Aku mengenalnya karena dia memanglah namja yang sangat populer ketika itu, dia tampan namun menggemaskan di saat yang bersamaan. Dia memilih klub yang sama denganku, theater. Dia banyak membantuku saat itu, seperti memberi tahu cara untuk menghafal skrip dengan cepat, mencoba beradu acting dengannya di belakang panggung sebagai persiapan pentasku –Ya, aku salah satu pemain utama dalam klub theater. Dan banyak hal lainnya. Kami banyak menghabiskan waktu bersama karena klub theater.

Aku menyukainya, sebagai teman. Tentu saja, dia orang yang menyenangkan dan baik hati. Aku selalu nyaman berada di dekatnya. Hingga suatu saat, dia mengajakku keluar saat malam natal.

Seoul, 24 Desember 2012

Sial! Tidak adakah bajuku yang sedikit pantas untuk kugunakan? Mengapa semua terlihat using? Oh ini buruk. Ku acak- acak seluruh isi lemariku. Kucoba satu- satu pakaian yang menurutku ‘layak’.

“Eonni, apa- apaan kau? Aish! Mengapa kamarku jadi seperti ini?” aku melihat ke arah pintu yang sekarang terbuka lebar. Na Seohyun, yeodongsaengku yang juga roommate ku mulai memandangku sinis sambil menggerutu.

“Kamar ini bukan sepenuhnya milikmu Na Seohyun. Aku memiliki hak juga atas kamar ini.”

“Cih! Apakah membuat kamar ini terlihat seperti kapal pecah termasuk ke dalam hak, huh? Aku tidak mau tahu, pokoknya harus eonni yang membereskannya.” Tandasnya sambil melipat kedua tangannya.

Aku menghembuskan napas panjang, “Geurrae. Kau tenang saja!”

“Ah satu hal, tadi Baekhyun oppa menelpon, katanya eonni tidak mengangkat panggilannya. Jadi dia menghubungi nomor rumah. Dia menyuruhku memberi tahu eonni kalau ia akan datang lebih cepat, sekitar..” Seohyun melirik ke jam dinding di kamar dengan cepat lalu mengangguk- angguk. Entah mengapa itu terlihat mencurigakan. Aku menyipitkan mataku.

“Sepuluh menit lagi.” Ujarnya santai.                                        

“MWO?!” yeoja kecil itu hanya tersenyum bersalah ketika aku mencoba tidak memakinya.

“Sial Na Seohyun! Mengapa kau tidak bilang dari tadi!”

“Mian eonni, daritadi aku sibuk dengan Kim Hyunjoong oppa.” Aku sudah ingin menendangnya karena alasannya yang tidak masuk akal apalagi diucapkan dengan tambahan aegyonya yang sangat menjijikan.

“MWOYA?!”

“Aku tidak mungkin melewatkan satu episode pun dari dramanya. Jadi..”

Aku memotong cepat kalimatnya, tidak berniat mendengar fangirlingannya di saat- saat genting seperti ini. “Geuman!” *cukup*

Aku mengacak- acak isi lemari lebih dalam lagi dan menemukan pakaian yang menurutku lumayan layak. Legging putih dengan atasan coat panjang selutut berwarna coklat. Baiklah, karena tidak ada waktu lagi.

Seharusnya saat itu aku sedikit peka untuk menyadari, betapa paniknya diriku hanya untuk pergi bersama seorang Byun Baekhyun di malam natal. Mungkin secara tidak sadar, dalam benakku aku menantikannya sebagai kencan pertamaku dengan namja yang telah kukenal sepanjang semester itu. sekitar  6 bulan dari bulan Juni. Jika saja aku bisa mengartikan arti dari mengapa aku menahan napasku ketika Seohyun memperkirakan waktu kedatangan namja itu. Andai saja, aku mampu untuk mengartikannya.

Baekhyun, datang tepat 10 menit kemudian. Ia terlihat tampan dengan jeans dan jaket panjang berwarna putihnya. Warna jaketnya mengingatkanku akan warna salju. Ah, aku jadi teringat jika salju pertama belum juga turun tahun ini. Mungkinkah akan terjadi White Christmas tahun ini?

“Baekhyun-ah, mengapa kau mengubah waktu janjian, huh?” aku membuka percakapan ketika kami berada di dalam mobil. Namja itu menoleh ke samping, hanya tersenyum kecil dan menatapku tepat di bola mataku. Membuatku sekali lagi menahan napas.

“Kau akan tahu alasannya beberapa menit lagi, sesaat setelah kita sampai.” Ujarnya sok rahasia. Membuatku benar- benar penasaran.

“Ah, aku jadi teringat sesuatu. Kau belum mengatakannya padaku, sebenarnya kita ini mau  kemana? Dari arah perjalanan kita, sepertinya kita akan ke Namsan Tower?”

Oh tidak, jika benar itu Namsan Tower. Mengapa aku merasa seakan- akan kami benar- benar seperti pasangan yang akan berkencan? Oh ayolah Na Seonyeo, dia hanya hoobae dan temanmu saja. Kau tidak mungkin suka pada namja yang lebih muda darimu, kan? Tentu saja, kau tidak ingin mencontoh eomma dan appa. Eomma mencintai appa yang lebih muda 5 tahun darinya. Dan itu berakhir buruk, karena mereka harus bercerai dan meninggalkanku dan Seohyun sendirian.

Setahun berlalu, dan aku sangat menyesali pemikiran itu. Memang benar, aku sangat kesal dengan perceraian orang tuaku. Terlebih karena alasan tidak adanya kecocoka, terutama karena faktor usia. Tapi harusnya aku lebih dewasa untuk menyadari bahwa aku bukanlah eomma, dan Baekhyun bukanlah appa. Jika saja aku membuang pemikiran itu, dan lebih berpegang pada perasaanku sendiri. Jika… ya, mungkin aku bodoh, tapi aku masih berpikir JIKA.

“Baekhyun-ah…”

“Ne, Noona?”

“Jadi, ini alasanmu..”

“Kau suka? Aku sengaja bertanya pada Baekbom Hyung. Kau tahukan dia itu bekerja di bidang Klimatologi, dia dan timnya menaksir jika pada pukul 18.50 salju pertama akan turun.” Terangnya dengan nada cerianya. Dia benar- benar Byun Baekhyun yang kusuka, ceria dan hangat.

Ini benar- benar indah, salju pertama turun beberapa saat ketika aku keluar dari mobil. Tempat ini dipenuhi oleh puluhan mungkin ratusan pasangan. Aku tenggelam di antaranya, menatap langit sambil berdoa.

‘Tuhan, tolong berikan banyak kebahagiaan untukku, Seohyun, orang tuaku yang telah berpisah, semua orang yang kusayangi. Termasuk namja ini, Byun Baekhyun.’’

Tiba- tiba aku merasakan kehangatan menjulur dari telapak tangan kiriku. Seseorang menggenggam tanganku.

“Mian..” saat  aku menoleh dan melihat orang itu, dia merasa bersalah. Mungkin karena menggenggam tanganku. Aku menarik lagi tangannya yang mulai mengendur dari tanganku.

“Gwaenchana. Lagipula aku kedinginan.” Aku tersenyum tulus, dan dia pun balik menatapku dengan senyuman.

Aku suka salju, aku suka pohon natal, aku suka natal, aku suka melihat langit, aku suka berada di ketinggian. Dan hebatnya, namja itu tahu semuanya.

“Kau tak harus menyewa gondola ini hanya untukku Baekhyun-ah, itu menghabiskan banyak uangmu.”

“Kau menyukai hal ini Noona. Aku tahu itu.” Ujarnya riang.

“Kau benar, aku benar- benar menyukai ini semua. Gomawo Byun Baekhyun.” Aku tertawa ringan sambil menggenggam tangannya lebih erat. Kami benar- benar terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.

“Aku tidak tahu kau akan menyukai hal setelah ini atau tidak. Tapi aku hanya ingin mengucapkannya, karena aku tahu jika aku tidak mengetakannya pada kesempatan ini. Aku akan terlambat.” Aku menoleh dan mendapatinya sedang menatapku dengan tatapan sedih. Sesaat itu aku merasa pasokan udara menipis dan aku hanya ingin menangis hanya karena melihatnya bersedih.

“Noona, aku menyukaimu.” Dan aku benar- benar merasa oksigen di sekitarku telah hilang. Aku lupa untuk menyuruh diriku sendiri untuk bernapas, aku terkesima dan tenggelam di balik dalamnya bola mata seorang namja yang lebih muda 2 tahun dariku. Byun Baekhyun.

Wajahku panas dan aku tahu –mungkin karena kesulitan bernapas- jantungku telah melewatkan satu detakannya.

Namun ketika melihat matanya yang makin sayu, aku terhenyak. Dia ingin menangis.

Lalu mengapa dia bersedih? Mungkinkah karena menyukaiku dia bersedih?

“Aku akan pergi dari Seoul besok pagi. Hyung memintaku untuk melanjutkan studiku dan mendalami dunia theater di tempat lain. Tapi jika kau memintaku untuk bertahan, aku akan menetap. Karena aku menyukaimu Noona. Bukan sebagai sunbae atau teman. Aku menyukaimu sebagai seorang yeoja.” Aku bisa melihat adanya permohonan di balik bola matanya. Dia memintaku untuk membuatnya bertahan. Baekhyun mengucapkan setiap kata dengan segenap perasaannya. Aku bisa merasakannya.Tapi…

Ani, ini tidak benar. Aku tidak boleh menjadi penghalangnya untuk menjadi orang yang lebih baik. Aku bahkan tidak yakin bahwa aku bisa membalas perasaannya. Aku tidak bisa menyukai namja yang lebih muda dariku. Aku tidak mau menjadi eomma.

Kupaksakan diriku untuk menarik diriku dari namja itu. Aku memalingkan wajahku kemanapun asal tidak ke arah namja itu. Dan inilah yang paling berat, aku menarik tanganku yang digenggamnya.

Ya, mungkin juga karena suhu yang telah minus, aku merasakan dingin sesaat setelah tanganku lepas dari tangannya.

Tidak bodoh! Saat itu kau juga merasa hampa!

“Baekhyun-ah…” suaraku bergetar, “Mianhae.. kau hanyalah seorang teman bagiku.”

Semua ini terasa sangat sulit. Aku bahkan tidak mengerti alasannya, tapi bukankah hal itulah yang memang kurasakan padanya. Mungkin aku hanya terbawa momen untuk hari ini. momen bahwa hari ini adalah hari yang sangat romantis dengan nuansa yang sangat indah. Malam natal, bersama seorang namja di Namsan Tower. Hanya berdua. Oh, mungkin aku bisa merasakan hal yang sama jika aku pergi bersama Luhan, Minseok, atau si tiang Kris. 3 namja tampan dan populer di angkatanku. Besok ketika aku terbangun, aku akan kembali seperti  biasa. Hanya merasa nyaman dan senang bersama Byun Baekhyun, karena dia adalah temanku.

Ya itu benar.

“Arasseo, Na Seonyeo. Gomawo. Dan, Merry Christmas.”

Ada pepatah lucu yang mengatakan bahwa, kau tidak akan pernah tahu betapa berharganya seseorang hingga ia pergi dari sisimu. Itulah yang sepenuhnya kurasakan dalam setahun terakhir hidupku. Logikaku ketika itu salah besar, keesokan harinya, ketika semua orang merayakan natal dengan kebahagiaan utuh. Yang sepenuhnya kurasakan hanyalah kesepian dan penyesalan.

Siang ini aku berjalan di jalan yang sama seperti yang selalu kulakukan dalam 3 tahun terakhir hidupku. Jalan menuju Namsoon University. Jalan mulai terasa licin, ah.. salju pertama telah turun rupanya. Salju pertama, mengingatkanku akan sosok Byun Baekhyun malam itu. Dengan jaket putihnya. Andai saja aku bisa memanggil orang itu untuk hadir lagi di hadapanku untuk menikmati salju pertama bersamanya, aku akan sangat bahagia.

Salju pertama juga mengingatkanku, jika setahun telah berlalu. Dan diriku yang bodoh ini masih tetap sama tentang perasaanku pada namja itu. Perbedaannya, kini aku telah sepenuhnya sadar arti dari perasaan ini. Sama seperti hari natal setahun yang lalu, aku masih terlalu sering mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku merindukannya. Aku kesepian tanpanya.

Andai saja aku bisa memutar waktu. Dan kembali ke masa itu. Mungkin aku bisa menemukan obat untuk rasa sepi yang selalu kurasakan. Namun yang terpenting, jika saja aku sedikit ‘pintar’ tentang diriku sendiri. Tentang hatiku, akankah semua ini berubah? Ya, aku memang bodoh, tapi aku masih berharap bahwa saat- saat itu akan kembali padaku. Aku ingin menemukan lorong waktu, dan kembali ke masa itu. Jika saja…

Baekhyun-ah, jika saja kau muncul hari ini. Entah di mana pun, di lokermu di Namsoon, atau di parkiran dengan mobilmu. Atau di kantin dengan Chanyeol dan Baekhyun juga semangkuk samgyupsal kesukaan. Atau bahkan di gondola tempat terakhir kali kita bertemu. Di mana pun.

Apakah reaksiku ketika berjumpa lagi denganmu? Ketika bola mataku bertemu dengan bola mata teduhnya? Mungkinkah aku akan menangis? Menangis karena aku tahu semua itu hanyalah harapan semu.

Sudah kukatakan aku ini bodoh, si bodoh yang tidak pernah bisa mengatakan apa- apa kepadamu. Maka dari itu, mungkin aku hanya bisa menangis.

Baekhyun-ah, mian. Aku tidak bisa memperlakukanmu dengan baik malam itu. Aku menyakiti hatimu hari itu. Natal itu, aku hanya memenuhi diriku dengan penyesalan. Natal itu, aku melihatmu semakin jauh, lebih jauh lagi dari kehidupanku.

Aku melanjutkan lagi langkahku, urusanku di Namsoon telah usai. Dan kini aku harus kembali ke jalan pulang ke rumahku, tapi langkahku membawaku ke tempat lain. Aku menyusuri trotoar yang mulai tertutupi salju, kukencangkan jaketku sambil berjalan. Aku berjalan sendiri, lampu- lampu dan hiasan natal menyambutku. Orang- orang tertawa bahagia.

Keceriaan natal yang selalu kusukai. Harusnya kusukai.

Setahun yang lalu, aku dan namja itu sangat menyukai berjalan di jalanan ini. Jalanan yang masih sejuk karena masih banyak pepohonan disini. Seperti fungsi pohon yang memberikan oksigen untuk dunia. Aku selalu berpikir bahwa kau selalu ada bersamaku seperti udara. Berada disekelilingku sampai aku mengijinkanmu untuk pergi. Mungkin itu adalah hal benar karena kau akan mengejar impianmu di tempat lain, tapi tetap dalam diriku aku merasa bodoh karena membiarkanmu pergi begitu saja.

Jadi aku ingin meminta maaf untuk diriku sendiri.

Untuk diriku yang baru menyadari bahwa kau sangat berharga tepat setelah kau pergi. Mengapa aku tidak menyadarinya saat kau masih bersamaku?

Baekhyun, aku ingin bertemu lagi denganmu dan mengatakannya. Mengatakan bahwa kau begitu berharga. Sekali saja, tolong hadir di kehidupanku. Sekali lagi dan sekali saja.

Sial, karena pemikiran itu. Sesuatu baru saja mengalir dari pipiku. Aku menutup mataku untuk merasakan, apakah itu adalah air mata? Atau salju yang menyapa kulitku?

Ini air mataku. Tears are falling, falling, falling.

Aku bisa melakukan apa saja, agar aku diberi kesempatan untuk bertemu lagi denganmu. Apapun. Aku ingin bertemu denganmu. Karena sampai detik ini aku hanyalah seorang yeoja dengan penyesalan, penyesalan karena seorang namja yang lebih muda 2 tahun darinya yang juga sangat ia cintai telah hilang dari sisinya.

Kebahagiaannya telah pergi. Tapi aku tidak bisa menyalahkan Tuhan yang tidak menjawab doaku. Karena sepenuhnya itu adalah kesalahanku.

Aku membuka mataku, sekali lagi menatap langit dan berdoa.

Lalu melanjutkan langkahku.

***

“Eonni, seseorang menelpon. Katanya dia tidak bisa menghubungi ponselmu.” Seohyun masuk ke kamar dengan gerakan tergesa- gesa.

“Nugu?” Dengan malas aku mengecek ponselku. Ah, rupanya aku mengaktifkan mode getar. Tapi ada 2 missed call di ponselku, dari nomor yang sama yang tidak kuketahui.

“Kau akan mengetahuinya jika mengangkat tubuhmu dari kasur dan bergegas menjawab panggilan telepon. Ppali! Orangnya masih menunggu.”

Aku berdecak, uh. Malasnya.

“Eonni itu hanya bisa bermalas- malasan di hari natal. Setelah mengangkat telepon, cepat mandi dan kita ke gereja.”

Aku terkekeh kecil, yeodongsaengku benar- benar cerewet. Tapi bagaimana pun aku menyayanginya.”Arasseo Seohyun-NIM.”

“Euh! Eonni!”

Aku tertawa dan melanjutkan langkahku menuruni anak tangga. Bola mataku menangkap di mana posisi telepon rumahku dan segera menyambar gagangnya.

“Yeobseo~” ujarku ceria, pada seseorang di ujung sana.

“Seonyeo-ya?”

DEG.

Suara itu..

“Merry Christmas! Annyeong? Jal jinaeneungeonji?” *Hai? Apa kabarmu?*

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~END.

 

Hehehe.. endingnya gantung? Kira- kira butuh sekuelnya ga? Comment yahhhh~ >.<

Annyeooong~


[ANNOUNCEMENT] The Winners of Miracles in December Project – Writing Contest

$
0
0

miracles is december project - exomkff

Although it was too late but we would like to say MERRY CHRISTMAS & HAPPY NEW YEAR for our beloved readers and visitors! 

Sebelumnya kami meminta maaf yang sebesar-besarnya atas pengunduran jadwal pengumuman para pemenang yang seharusnya sudah diumumkan pada 5 Januari 2014 lalu. Beberapa alasan menyebabkan kami terpaksa harus mengundur sampai hari ini 8 Januari 2014 dan jujur kami juga sedikit mengalami kesulitan dalam menentukan pemenang di Writing Contest kali ini karena semua FF yang kami terima sama baiknya walaupun ada beberapa yang memang lebih unggul.

DAN INILAH PEMENANG KITA UNTUK WRITING CONTEST KALI INI!

PEMENANG PERTAMA:

Jung Sangneul

dengan karyanya Sincerity of Affectionate yang berhasil mendapatkan poin 92,5 

Berhak mendapatkan 1pc album EXO – Miracles in December (Korean Version) + Poster (Menurut Agassi Kpop Shop poster tidak bisa diberikan karena mereka sendiri juga kekurangan poster dikarenakan pengiriman yang tidak sesuai dengan jumlah pesanan dari pihak supplier. Poster hanya bonus jadi kami harap pemenang dapat memakluminya karena persediaan poster memang sangat terbatas)

PEMENANG KEDUA:

Tsukiyamarisa

dengan karyanya Recondite yang berhasil mendapatkan poin 90

Berhak mendapatkan pulsa sebesar Rp 50.000,00.

~

AUTHOR FAVORIT:

NadyKJI (Author of My Wish)

~

SELAMAT UNTUK KEDUA PEMENANG! 

Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua author yang sudah bersedia mengikuti Writing Contest ini. Tidak ada FF yang jelek. Jadi jangan bekecil hati ya bagi yang belum menang. Teruslah berkarya, suatu saat kamu pasti bisa jadi pemenangnya!

.

.

*Note: Hadiah akan segera kami kirimkan kepada kedua pemenang. Untuk album paling lambat akhir minggu depan dan untuk pulsa paling lambat akhir minggu ini. Diharapkan pemenang memberitahukan kepada admin lewat twitter @msjungie jika sudah menerima hadiahnya agar tidak terjadi kesalahpahaman nantinya.


[Vignette] Story of Spring

$
0
0

Sto of Sp

Story of SPRING

presented by shikshinstrange

♥ Xi Luhan – Choi Hwangmi (OC) || Romance, Fluff || PG-15 || Vignette ♥

posted in here and my personal wp

Kau dan aku hanya ingin saling mengucapkan kata-kata itu. Kenapa rasanya sulit sekali ? Just wanna say, I love you.

BUGH ! BUGH !

Pintu kamarku dipukul dengan keras oleh Baekhyun. Dia menyuruhku segera turun untuk sarapan. Adik macam apa dia mengingatkan kakaknya dengan cara seperti itu!

Aku mengambil tas ranselku dan segera turun untuk sarapan bersama keluarga. Meja makan telah terisi dengan roti, pancake, waffle, jus, dan susu.

Baekhyun mengoleskan banyak selai di atas roti. Ibuku masih sibuk di dapur. Meja makan terasa sepi setiap pagi. Namun, terkadang juga menjadi sangat berisik apabila seseorang datang untuk meminta sarapan gratis di sini.

“Baekhyun-a !” seru seseorang di ambang pintu. Baru saja aku membayangkannya, eh, dia secepat itu juga langsung hadir di sini. Lain kali aku harus berhati-hati.

“Hwangmi-noona!” Baekhyun melenguhkan kata ‘noona’ dengan sangat panjang dan sedikit berlebihan.

Beginilah Baekhyun jika sudah bertemu dengan sahabat sekaligus tetanggaku, Hwangmi. Kebetulan Hwangmi dan aku juga masuk ke universitas yang sama jadi setiap ada kesempatan kami akan berangkat bersama.  Baekhyun dan Hwangmi sudah seperti keluarga. Mereka sangat dekat. Baekhyun adalah tipikal adik yang selalu ingin diperhatikan, sedangkan Hwangmi adalah orang yang perhatian kepada semua orang. Jadi, mereka sangat cocok.

Setiap Baekhyun dan Hwangmi sudah bertemu, mereka akan mengobrol dan melakukan sesuatu yang konyol bersama. Aku hanya akan jadi patung di sekeliling mereka. Seolah-olah aku transparan di mata mereka. Aish, menyebalkan.

Aku memakan waffle kesukaanku dengan wajah datar. Entah berada dimana pikiranku sekarang. Hingga tiba-tiba Baekhyun berhasil membuatku kembali ke kenyataan dengan cara yang tidak terlalu menyenangkan.

“Jadi, hyung… Kapan kau akan melamar Hwangmi-noona ?” tanya Baekhyun dengan wajah polosnya. Aku yang saat itu sedang meminum jus tersedak dan hampir memuntahkan semua waffle yang sudah masuk ke perutku.

“HEI ! Apa yang kau tanyakan barusan ? Pertanyaan macam apa itu ? Kami ini bersahabat, bukan berpacaran.” elakku dengan sigap.

Hwangmi pura-pura tidak mendengar seperti biasa. Baekhyun sudah sering melempar pertanyaan seperti itu kepadaku. Kalau saat seperti ini terjadi, hal terbaik yang harus dilakukan adalah melarikan diri  dari meja makan secepatnya.

Aku segera menyelesaikan potongan terakhir waffle-ku dan meneguk habis jus. Aku menghampiri ibuku di dapur dan mencium pipinya. Untuk Baekhyun, aku hanya memukul pelan lengannya. Aku segera menarik tangan Hwangmi yang masih saja mengacak-acak rambut Baekhyun dengan penuh kasih sayang.

We’re going to married!” ucapku berniat untuk berpamitan.

Hyung…” Sial! Baekhyun melenguh lagi.

Ah, bukan. Maksudku, we’re going to campus.” wajahku bersemu menahan malu. Hwangmi sudah terbahak-bahak di sampingku. “Sudah cukup. Jangan tertawa lagi aku mohon. Aku merasa sangat… Ah, sudahlah. Lupakan.”

Kami sudah berada beberapa puluh meter dari rumah. Suasana hening ala drama sekarang terjadi di antara kami. Hwangmi bersikap aneh hari ini. Biasanya dia akan berjalan beberapa meter jaraknya di depanku dengan riang dan bersenandung lagu salah satu boygroup. Namun, hari ini langkahnya terlihat sedikit lesu setelah kejadian di rumah tadi.

“Apa kau sakit ?” tanyaku.

Dia hanya menggelengkan kepala. Kepalanya terus saja menunduk.

“Lalu, ada apa ? Apa kau memikirkan kejadian tadi ? Tidak perlu kau pikirkan apa yang diucapkan Baek tadi. Dia memang anak yang suka bercanda jika sudah akrab. Kau pikir dia serius dengan pertanyaannya tadi ?”

Dia mengangguk. Seketika itu tubuhku rasanya meriang. Namun, aku tetap menjaga wajahku agar terlihat tidak terlalu syok.

“Entahlah, Lu. Pernyataanmu tadi sedikit mengganggu pikiranku. ‘Kami ini bersahabat, bukan berpacaran’. Aku merasa hubungan kita selama ini lebih jauh dari sekedar sahabat. Apa kau tidak merasa begitu ?”

Dia benar-benar membuatku kalang kabut. Aku masih saja diam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kalau boleh jujur, aku juga merasa bahwa hubungan kami sudah melewati batas sahabat. Teman-teman kuliah kami juga awalnya mengira kami adalah sepasang kekasih. Namun, setelah aku tegaskan bahwa kami hanya bersahabat, mereka terlihat kecewa. Dengan kata lain, mereka sangat mengharapkan kami menjadi sepasang kekasih.

Perasaanku kepada Hwangmi sudah tidak bisa dikatakan sebagai rasa sayang untuk sahabat. Aku ingin memiliki Hwangmi. Aku tidak ingin Hwangmi memperhatikan laki-laki lain selain aku. Aku…ingin memilikinya.

Tanpa kusadari, Hwangmi sudah berada beberapa meter di depanku. Aku rasa dia kesal karena aku mengacuhkannya dan membuat dia bermonolog seperti penggerutu.

Aku berusaha menyamai langkah kakinya. Aku menengok ke arahnya dan melihat setetes air di sudut bibirnya. Aku menghentikan langkahku dan menarik tangan Hwangmi. Aku menariknya dalam pelukanku. Aku berikan kehangatan dan kenyamanan kepadanya.

Aku mulai berkata, “ ‘Aku mencintaimu.’ Itu ‘kah yang ingin kau ucapkan. Kau ingin mengucapkan itu, tapi kau takut nantinya kau akan terluka. Sama halnya seperti aku. Aku juga merasakan ketakutan seperti itu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku menyayangimu.”

Akhirnya aku bisa mengatakannya. Hwangmi melepas pelukanku. Aku merogoh sapu tangan di kantong jaketku dan menyapukannya di wajahnya. Dia tersenyum lalu memelukku.

“Aku juga mencintaimu, menyayangimu.” katanya.

Di bawah pohon cherry yang bunga pertamanya telah mekar—menandai mulainya musim baru, cinta kami juga akan memulai sesuatu yang baru. Cinta kami akan mengukir cerita baru.

●fin●


[FREELANCE] Illa.. Illa.. (Chapter 1)

$
0
0

Illa IllaTitle : Illa.. Illa..

Author | Artwork | Twitter : @auliaylsnov

Genre : Alternatif Universal, Angst, Sad

Length : Chapter || Status : Chapter 1 || Rating : PG-15

Main Casts : Kim Hye Sun (OC) | Kevin Wu | Zhang Yi Xing

Support Casts : Kim Jongin | Jung Soojung | Kim Junmyeon | etc

Ost :

Juniel – Illa Illa | Ailee – Evening Sky | Ailee – Heaven

Disclaimer :

Well, FF ini terinspirasi dari MV Juniel – Illa Illa, tapi ingat! Hanya 30% dari MV, karena secara keseluruhan sampai FF ini selesai, hasil pemikiran aku selama begadang tiap malam -_- #poorME jadi tidak termasuk SONGFIC. Hehehe^^

Warning :

Ingat yah! Kehidupan di FF ini sama sekali tidak sama dengan dunia nyata sang “cast”. Baca lagi, karena FF ini genrenya Alternatif Universal. Jadi dimohon jangan sembarang ngebashing cast J Boleh jengkel, asalkan tidak berkata-kata kasar. Komentari saja apa yang ada di FF ini yang sekiranya harus dikomentari.

 

“Harapan dan keputusasaan. Semuanya tidak bisa kupungkiri. Aku berharap kau akan hadir disini, namun aku juga putus asa akan harapan itu sendiri. Menunggumu, apakah itu hanya akan menjadi hal yang sia-sia? Karena kekosongan ini hanya sempat terisi beberapa saat saja. Seandainya.. kau mau mendengarkanku sebentar saja…”

-Kim Hye Sun-

“Akibat ketidaksengajaan, dan kesalahpahaman, membuatku menjadi merasa sangat bersalah padamu. Aku akan menebus kesalahanku. Karena dengan cara itulah bisa membuatku semakin mengenalmu, dan hal itu membuatku lebih semangat menjalani hidup.”

-Zhang Yi Xing-

“Kebodohanku, kecemburuanku, keegoisanku, membuatmu menjadi sangat amat terluka. Aku tahu beribu kata maaf pun yang keluar dari mulutku tidak akan membalikkan keadaan seperti semula. Tapi, masih adakah kesempatan kedua untuk bersamamu kembali?”

-Kevin Wu-

STORY’s BEGIN…

Seorang pria berwajah tampan, tinggi dan tegap tengah berjalan cepat di dalam gedung kantor sembari membawa berkas-berkas yang sepertinya sangat penting. Hampir setiap pegawai yang menemuinya menyapanya dengan ramah namun ia hanya membalas dengan senyuman atau bahkan anggukan kecil. Untuk saat ini ia sedang tidak ingin memperdulikan sapaan-sapaan yang ditujukan padanya. Ia harus secepatnya sampai ke ruangan itu. Begitulah pikirnya. Terlihat dari raut wajahnya yang sedikit cemas dan tergesa-gesa. Semakin mendekati ruangan yang dituju, ia semakin mempercepat langkahnya.

Seorang wanita yang lebih tua beberapa tahun darinya langsung berdiri dan membungkukkan badannya ketika pria itu memasuki ruangan tersebut. Terlihat dari papan namanya tertulis “Secretary”.

“Sajangnim telah menunggu anda, manajer Kevin.” Terangnya. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya dan mencoba merapihkan setelan jasnya sebelum masuk ke ruangan inti. Lalu ia mengetuk pintu tersebut dengan pelan.

“Cepat masuk.” Terdengar suara perintah dari seorang pria paruh baya yang berada di dalam ruangan tersebut. Pria itu segera membuka kenop pintu dan menutupnya kembali setelah masuk ke dalam ruangan itu. Terlihat olehnya seorang pria paruh baya tengah memandang ke luar jendela, memandangi jalanan kota Seoul yang seperti biasa, selalu padat setiap hari.

“Maaf terlambat, sajangnim. Saya baru–”  kata-katanya terpotong karena disela oleh orang yang sekarang telah duduk di kursi dihadapannya.

“Tidak perlu seformal itu didepan ayahmu sendiri, Kevin Wu.” Terangnya. Pria bernama Kevin Wu itu mengangguk.

“Duduklah. Aku tahu kau baru saja menyelesaikan meeting bersama divisimu.” Kevin langsung menuruti perintah ayahnya tersebut.

Dad, ada apa memanggilku? Berita penting apa hingga aku harus terburu-buru datang kemari?” Tanya Kevin to the point.

“Kau selalu saja tidak sabaran.” Jawab ayahnya. Mengulur waktunya agar bisa berlama-lama dengan anak laki-lakinya itu.

“Ayolah dad, aku sibuk…” Kevin gusar. Ayahnya hanya tertawa kecil melihat tingkah anaknya tersebut.

“Aku tahu kau sibuk, tapi sekarang kau sedang bekerja denganku jadi kau harus menuruti kehendakku. Bila perlu batalkan semua meeting atau deadline yang tengah kau kerjakan untuk dua jam kedepan.” Kalau sudah begitu, Kevin hanya menghela nafasnya dan bersandar di kursi yang ia duduki sekarang. Ayahnya, selalu bertindak sesukanya, mengaturnya, tanpa seijin Kevin.

Well.. kalau itu maumu, dad.” Jawab Kevin dan menatap malas kearah ayahnya.

“Kevin, mama merindukanmu.” Kevin menautkan kedua alisnya. Apa itu berita pentingnya? Batin pria itu.

“Ya, itu berita pentingnya.” Seolah ayah Kevin tahu apa yang dipikirkan oleh anaknya. Kevin berdecak kesal.

Dad, kau bisa meneleponku kalau hanya ingin memberitahu bahwa mama merindukanku. Tidak perlu sampai membatalkan semua rencana yang sudah aku susun dua jam kedepan. Lagipula mama selalu menelponku setiap malam jika aku sudah pulang kerumah, bahkan jika aku sedang lembur.” Keluh Kevin. Ia sudah terbiasa sejak kecil memanggil orang tuanya dengan sebutan mama dan dad baik sewaktu ia tinggal di China dan di Kanada.

“Masalahnya bukan hanya disana, Kevin-ah.” Sanggah ayahnya. Kevin memiringkan kepalanya, pria itu ingin tahu.

“Mama menginginkanmu untuk tinggal kembali di Kanada. Ia merasa kesepian disana.” Pernyataan ayahnya membuat Kevin bingung.

“Kalau begitu kenapa tidak mama saja yang datang kemari dan tinggal bersama kita, dad?”

“Kau ini bagaimana Kevin? Lupa? Kita tidak tinggal bersama. Kau lebih memilih tinggal di apartemen sendiri daripada di rumah bersamaku.” Keluh Ayahnya, dan melanjutkan kembali. “Mamamu, hanya ingin tinggal di China dan Kanada. Ia tidak menaruh minat pada kota ini.” mendengar hal itu membuat Kevin tidak ingin kehabisan akal begitu saja.

“Tapi, bagaimana dengan pekerjaanku disini?”

“Kau bisa mengambil alih cabang perusahaan yang ada disana.” Jawab ayahnya enteng.

“Tapi disana sudah ada Zitao, dad.”

“Zitao yang akan menggantikanmu disini, bisa kan?”

“Tapi, dad?” Kevin membantah.

“Tapi apalagi?” Kevin tahu ayahnya tidak suka ada penolakan.

“Bagaimana dengan gadisku?” Kevin baru sadar. Jika ia jadi dipindahkan ke Kanada, berarti ia akan berpisah dengan Hye Sun yang merupakan kekasihnya selama tiga tahun belakangan ini.

“Kau masih berhubungan dengan gadis itu?” Tanya ayahnya. Kevin mengangguk. Pria itu menggigit bibir bawahnya.

“Tidak ada pilihan lain, dad?” Terlihat bahwa Kevin sangat berat meninggalkan Seoul, terutama kekasihnya. Ia menatap ayahnya yang tengah memikirkan sesuatu.

“Baiklah. Aku memiliki dua pilihan yang harus kau pikirkan baik-baik. Kau tahu bahwa aku tidak pernah memberikan pilihan seperti ini.” Kevin mengangguk. Ia mengerti akan tabiat ayahnya tersebut. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, selalu bertindak sesukanya dan mengatur sesuai kehendaknya tanpa memikirkan pribadi orang lain, termasuk itu Kevin sendiri yang merupakan anak kandungnya.

“Apa pilihannya dad?” Kevin tidak sabar.

“Baiklah, pilihan pertama adalah kau masih bisa tinggal disini sampai kapanpun kau mau, tapi kau harus menyetujui pertunanganmu dengan Soojung yang sudah aku rencanakan kemarin. Pilihan kedua adalah kau harus berangkat ke Kanada besok lusa dan kau masih bisa berhubungan dengan gadis itu.” Mendengar hal itu membuat Kevin berdecak kesal dan memandang ayahnya dengan tatapan yang dapat diartikan ‘pilihan konyol macam apa ini, dad?’. Ia tahu ayahnya masih belum sepenuhnya menyetujui hubungannya dengan Hye Sun. Berbeda dengan mamanya yang menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada Kevin karena ini menyangkut kehidupan pribadi Kevin dan masa depannya. Maka dari itu ia sangat menyayangi mamanya. Tapi di satu sisi ia juga tidak ingin meninggalkan Hye Sun yang tinggal di Seoul dan tidak ingin bertunangan dengan Soojung yang sama sekali bukan tipenya.

‘AAAARRRGGHHHTTT…..’ Teriak Kevin dalam hati dan mengacak rambutnya tanpa memperdulikan ayahnya yang sedari tadi tidak pernah melepaskan pandangannya kearahnya. Pria paruh baya itu tengah menunggunya untuk memberikan jawaban.

“Bagaimana?” tanya Ayah Kevin singkat. Dilihatnya Kevin yang masih berpikir dan sama sekali tidak memandang kearahnya. Ia pun melirik jam tangan bermerk dengan desain mewah yang melingkar ditangan kirinya dan bersuara kembali.

“Kuberi waktu 24 jam dari sekarang untukmu berpikir jernih.” Kevin terperangah mendengar pernyataan ayahnya.

“Kevin Wu, kau tahu sendiri bahwa ayahmu ini orang yang tidak sabar. Sebelum aku memutuskan sendiri kau harus melakukan apa yang aku mau, kau harus menentukan pilihan.” Baiklah, jika seperti ini Kevin harus mengalah.

Well.. aku akan memikirkannya. Aku bisa keluar sekarang kan, dad?” Pinta Kevin.

“Boleh, terserah padamu.”

“Baiklah, aku keluar dulu. Aku akan menelepon jika sudah mendapatkan jawabannya.” Ayahnya hanya mengangguk pelan menanggapi ucapannya.

“Good afternoon, dad. Jangan lupa untuk makan siang.” Kevin segera bangkit dan melenggang pergi dari hadapan ayahnya.

‘Maafkan ayah karena membuat pilihan sulit seperti ini untukmu, Kevin…’ batin pria paruh baya tersebut. Ia merasa pembicaraan tadi sangat kaku. Padahal ia tengah berbicara dengan anak kandungnya sendiri. Namun begitulah sifat pria paruh baya tersebut. Meskipun kaku, ia sangat menyayangi Kevin meskipun perbuatannya itu dianggap oleh Kevin seperti mengekang kehidupannya. Semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, bukan? Maka dari itu ayah Kevin melakukannya. Pria paruh baya itu pun meraih telepon yang ada di meja kerjanya.

“Sayang, Kevin tengah menimbang pilihan yang aku buat sekarang. Ya, aku tidak mendesaknya. Hm.. sesuai permintaanmu.. ya baiklah.. aku yakin pasti Kevin akan pergi ke Kanada besok lusa. Hm.. Sampai jumpa di Kanada.” Ia pun menutup teleponnya, dan beranjak pergi meninggalkan ruangannya tersebut.

==xXx==

Seorang perempuan tengah mencari-cari sesuatu di laci yang terletak di meja kasir. Perasaannya mengatakan bahwa ia memang menaruh benda tersebut di dalam laci itu. Laci tersebut cukup dalam sehingga membuatnya cukup lama untuk mengaduk-aduk isi laci tersebut. Wajahnya yang serius akhirnya berubah menjadi ceria ketika menemukan benda yang dimaksud. Baterai isi ulang. Dengan cekatan gadis itu mengganti baterai jam dinding yang sudah habis masa pakainya dengan yang baru. Setelah itu ia berjalan ke arah pintu yang merupakan tempat keluar-masuknya pengunjung dan pembeli yang datang ke floristnya, memanjat tangga untuk memasang kembali jam dinding yang sempat mati karena baterainya sudah habis.

Seorang pria dengan rambut coklat gelap tengah menatap plang nama florist yang ada didepannya. Tertera di plang nama tersebut adalah “Kim’s Florist” Sesuai permintaan ibunya yang memaksanya datang ke florist ini untuk mengambil pesanan bunga mingguan. Ya, ibu pria tersebut adalah salah satu pelanggan florist yang tengah ia datangi sekarang. Ia mengetahuinya karena setiap hari senin sebelum bekerja, pasti ibunya meminta untuk diantar kemari. Hari ini ternyata ibunya lupa untuk mengambil bunga tersebut dan ia juga lupa untuk mengingatkannya, sehingga ia harus mampir ke florist ini sebelum ia kembali pulang kerumah.

“Ting tong..” bel berbunyi secara otomatis ketika seseorang masuk ke dalam florist. Pria itu menoleh ke segala penjuru arah namun tidak menemukan siapa-siapa di dalam florist tersebut.

“Selamat datang di Kim’s florist..” seseorang menyapanya namun tidak ada wujudnya sama sekali. Membuat pria itu bergidik ngeri.

“Eumh, mianhae… aku sedang berada di kanan atasmu.” Pria itu menoleh kearah kanannya dan melihat seorang perempuan tengah memasang jam dinding. Fiuh.. cukup mengagetkan juga. Batinnya.

“Apa perlu aku bantu, agasshi?” ia menawarkan diri untuk membantu perempuan yang kini tengah memanjat tangga dan memasang jam dinding.

“Tidak perlu. Ini sudah selesai. Maaf merepotkanmu, dan terima kasih atas tawarannya.” Perempuan itu tersenyum manis kearahnya. Secara tidak sadar membuat pria itu terkesima karena perempuan itu sangat cantik ketika tersenyum.

“Tunggu sebentar, aku turun dulu.” Ujar perempuan itu membuatnya sadar bahwa ia sedang terus menerus memperhatikan perempuan tersebut.

“Baik. Hati-hati agasshi, nanti kau bisa terjatuh.” Pria itu mengingatkan.

“Terima kasih, tenang saja aku tidak akan aaakkhh–” baru saja diingatkan, perempuan itu terpeleset saat menginjak kakinya ke tangga dibawah kakinya, pria itu menolongnya namun karena tidak terlalu siap, tubuh perempuan itu menimpanya sekarang. Kini, mereka berdua dalam keadaan tertidur di lantai, dan perempuan itu tidak sengaja mencium pipinya.

“Ting tooongg…” suara bel dari pintu berbunyi. Menampilkan sesosok pria berjas rapih, tampan dengan rambut blondenya. “Kim Hye Sun, chagiya… aku datang membawakanmu cappucinno hangat dan strawberry cake dari bakery seberang…” ujarnya dengan suara yang khas. Membuat perempuan yang bernama Kim Hye Sun itu terperanjat karena kaget. Ia segera berdiri dan diikuti oleh pria yang ditimpanya barusan. Sedangkan pria yang memanggilnya tadi hanya terperangah dan menjatuhkan bungkusan yang ia bawa begitu saja di lantai. Dua cup Cappucinno hangat tumpah begitu saja dan mengotori lantai florist tersebut. Pria itu tidak peduli. Kejadian yang dilihatnya tadi membuat wajahnya memerah menahan marah. Tangannya mengepal dengan kuat dan ingin segera melampiaskannya.

“Kevin, tolong dengarkan aku. Ini tidak seperti apa yang kau lihat. Ini tidak sengaja Kevin, sungguh!” terang Hye Sun. Namun pria itu tidak mendengarkannya. Ia segera berjalan kearah pria yang ditimpa oleh Hye Sun dan langsung melayangkan sebuah tinjunya kearah pipi pria itu.

“KEVIN! HENTIKAN! KAU SALAH PAHAM!” teriak Hye Sun. Kevin segera menghentikan pukulan keduanya dan berjalan kearah gadisnya tersebut.

“Apa yang ingin kau jelaskan lagi padaku? Huh? Semua yang aku lihat tadi sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi!” ujar Kevin dengan nada yang dingin dan menusuk. Membuat mata Hye Sun memanas dan memerah. Sesaat lagi, pasti ia akan menangis.

“Dengarkan aku, ini tidak seperti yang kau duga…” ujar Hye Sun lirih. Perempuan itu mencengkram lengan pria yang ada didepannya dengan kuat. Namun pria itu hanya menatapnya dingin. Terlihat dari pancaran matanya bahwa pria itu sedang dilanda kekalutan yang teramat banyak. Ia pun melepaskan genggaman tangan Hye Sun.

“Selamat tinggal, Hye Sun. Sepertinya aku sudah menemukan jawabannya sekarang!” Kevin pun meninggalkan gadisnya yang masih syok atas perkataan yang dikatakan olehnya barusan.

“Kevin? Apa maksudmu mengucapkan salam perpisahan? Kevin, kau mau pergi kemana? Kevin? Tunggu!!!” teriak Hye Sun namun Kevin keras kepala untuk tidak mendengarkan gadisnya memanggilnya.

“Kevin! Tunggu! Keviiiiiinn…!! tolong dengarkan dahulu penjelasanku!!” Hye Sun berteriak keras memanggil Kevin namun pria itu tidak mengindahkan panggilannya dan malah berlari cukup kencang. Lampu merah yang menyala di perempatan jalan membuat pergerakannya semakin mudah untuk pergi melarikan diri. Hye Sun mencoba untuk menyusulnya namun waktunya terlambat, lampu telah berganti berwarna hijau dan Hye Sun tidak memiliki kesempatan banyak.

Setelah mengira jalanan cukup sepi, barulah ia berlari menyusul. Laki-laki yang ditinju wajahnya oleh Kevin juga ikut menyusul perempuan yang sekarang ia ketahui bernama Hye Sun itu, namun ia terlampau cukup jauh darinya. Ketika ia ingin berlari menyusul, matanya membulat tak percaya ketika melihat sebuah motor tengah melaju kencang mengarah Hye Sun, dengan segenap kekuatannya karena dadanya cukup sakit dan sesak akibat tertimpa oleh perempuan itu, ia berteriak.

“HYE SUN..!! AWAS DIARAH KANANMUUU…!!!!!” teriak pria itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

Terlambat…

Sekarang ia melihat perempuan itu tengah terkapar akibat terpental beberapa meter jauhnya dari tempat ia tertabrak. Kepalanya membentur trotoar jalan, sedangkan motor dan pengendara yang menabraknya juga sama keadaannya dengan Hye Sun. Pria itu segera berlari mendekati kerumunan yang mencoba untuk menolong Hye Sun.

“Permisi… permisi… biarkan aku membantunya…” tanpa berfikir panjang lagi, pria itu segera menggendong Hye Sun dengan sekuat tenaganya. Ia menggendong Hye Sun ke depan florist dimana ia memarkirkan mobilnya. Darah mengucur deras dari pelipis Hye Sun membuat pria itu semakin khawatir. Ketika ia sedikit lagi sampai ke mobil, seorang laki-laki lebih muda darinya berteriak kearahnya.

“NOOONAAAA…..!!!!!!”

Pria itu dengan tatapan cemasnya menyuruh laki-laki yang berteriak tadi untuk membukakan pintu mobil belakangnya. Dengan segera pintu dibuka dan Hye Sun dimasukkan ke dalam mobil. Pria dan Laki-laki tadi mengambil posisi seberang, yang membedakan adalah pria itu mengendarai mobil dan laki-laki itu duduk dibelakangnya sambil menyandarkan kepala Hye Sun di kedua pahanya.

Noona! Bertahanlah! Aku tahu kau kuat, noona! Jangan meninggalkan aku! Ku mohon…” ia menitikkan air matanya. Sedangkan pria itu hanya melihat dari kaca spion dihadapannya dan semakin menambah kecepatan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.

==xXx==

 

Kim Jongin’s POV

            Hai! Aku Kim Jongin. Sekarang aku sedang berkuliah di Korea National University of Arts, bagian Departemen School of Dance. Kalian heran mengapa aku sekarang bisa keluyuran seperti ini? Baiklah, Aku bosan dengan mata kuliah hari ini sehingga aku berencana untuk membolos dan membantu kakak perempuanku di florist milik keluarga kami. Aku adalah anak paling bungsu dari keluarga Kim. Orang tuaku memiliki tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Anak pertama adalah kakak laki-lakiku bernama Kim Junmyeon, umurnya 30 tahun dan ia baru saja menyelesaikan wajib militernya. Yang kedua adalah kakak perempuanku, namanya Kim Hye Sun. Umurnya 24 tahun namun ia sangat cantik dan menawan, kulitnya itu putih bersih dan terawat. Padahal ia jarang sekali kulihat pergi ke salon. Kau tahu? Kecantikan alami. Jika kau bertemu pertama kali dengannya, kau tidak akan menyangka bahwa ia sudah berumur 24 tahun dan sudah pantas untuk segera menikah. Well, dia seperti hyungku, memiliki kulit putih yang, eumhh.. sangat membuatku iri setengah mati. Aku tidak sama dengan kedua kakakku. Aku terlahir dengan kulit yang berbeda, berwarna tan, tapi bukan berarti aku ini anak angkat atau anak pungut. Ini karena gen ayahku saja yang terlalu mendominasi dibandingkan ibuku. Sehingga mereka berdua mirip dengan ibuku, dan aku sendiri yang mirip dengan ayahku. Ayah, ayahku sendiri sudah meninggal sehingga ibuku sangat menyayangiku karena aku sangat mirip dengan mendiang ayah. Begitu juga kakak-kakakku. Aku merasa sangat dikasihi oleh mereka bertiga. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tuhan berkata lain, dua tahun setelah ayahku meninggal, ibuku menyusulnya ke surga karena beliau mengidap penyakit kanker paru-paru. Ibuku merahasiakan hal ini dari kami bertiga, dan hal ini membuatku sempat seperti orang gila. Kau tahu sendiri bagaimana rasanya ditinggalkan oleh kedua orang tua yang sangat kau cintai. Jika hyung dan noona tidak sabar dan tidak memperdulikan aku, mungkin aku juga sudah menyusul kedua orang tuaku, namun mereka sangat mengasihiku dan menyayangiku. Mereka juga mengalami hal yang sama seperti halnya aku, namun mereka lebih tegar daripada aku. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa mereka. Aku benar-benar sangat bersyukur memiliki mereka. Meskipun sudah lima tahun kami bertiga tanpa orang tua, aku merasa keluarga ini tetap harmonis dengan segala kesederhanaan yang ada.

Ok, pasti Hye Sun noona akan memarahiku karena aku bolos kuliah. Ia akan menceramahiku dengan panjang lebar. Aku sudah hapal betul apa yang akan dikatakan oleh Hye Sun noona karena begitu terngiang di pikiranku. ‘Jongin, kenapa kau membolos kuliah? Kau tahu bahwa biaya kuliah itu sangat mahal, dan sama saja kau telah menyusahkan aku dan Junmyeon oppa yang telah membiayai kuliahmu. Kau seharusnya bersyukur karena lulus tes perguruan tinggi dengan mudah. Lihatlah teman-temanmu yang tidak lulus dan bahkan sampai ada yang bunuh diri. Aku mengkhawatirkanmu, Jongin-ah!’ Aku cukup bergidik ngeri ketika ia mengatakan hal itu. Yeah, bodoh sekali kalau harus bunuh diri karena hanya tidak masuk perguruan tinggi. Hidup itu dinikmati, bukan untuk disia-siakan. Baiklah, aku berjanji setelah hari ini aku tidak akan membolos lagi.

Aku membawa bungkusan berisi jajangmyun dan cappucinno hangat untukku dan Hye Sun noona. Aku berjalan dengan cepat. Karena takut didahului oleh Kevin hyung karena biasanya ia akan datang pada saat jam makan siang seperti ini. Yah, Kevin hyung adalah kekasih noonaku selama tiga tahun belakangan ini.

Awalnya aku merasa heran, kenapa pria yang hampir mendekati sempurna seperti dia yang sudah pasti akan menjadi pewaris tunggal Wu Company, perusahaan elektronik merk China yang sangat terkenal dan sudah tersebar hampir di seluruh Asia bahkan kudengar darinya sudah sampai ke Kanada itu sangat menyukai noonaku yang sama sekali jauh dari kata glamour, berpenampilan menarik dengan barang-barang mewah yang melekat di tubuhnya dan bahkan jika ingin disamakan derajatnya, kami bukanlah anak yang berasal dari kalangan orang kaya seperti dirinya. Namun kurasa, justru karena hal itulah yang menjadi alasan Kevin hyung menyukai noonaku. Kau pasti tahu, kan? Kecantikan alami. Baik dari apa yang dapat kau lihat yakni fisiknya dan apa yang kau rasakan yakni kepribadiannya.

Well, aku paham dan sedikit menyetujui jika ada yang mengatakan bahwa ‘Cinta itu tidak memandang apapun.’ karena aku melihat sendiri faktanya sekarang. Menurutku, bukan noona yang harus bersyukur mendapatkan Kevin hyung, namun Kevin hyunglah yang harus bersyukur karena kakak perempuanku itu selain cantik alami, ia seperti malaikat tanpa sayap. Jika aku bukan adiknya, mungkin aku juga sudah mengejarnya dan menjadikannya kekasihku.

Dan sekarang kenyataannya berbeda ketika aku sampai di florist dan melihat toko ini dalam keadaan kosong. Aku menaruh bungkusan yang aku beli di kedai pinggir jalan di dekat meja kasir. Aku sangat cemas karena noona tidak berada disini, dan berinisiatif untuk mengunci florist dengan kunci cadangan yang aku miliki. Setelah itu aku keluar dari dalam florist dan melihat keadaan di luar cukup ramai. Anehnya, seorang laki-laki berlari kearahku sembari menggendong perempuan dengan darah menetes cukup banyak dari pelipisnya. Aku syok dan berteriak kencang ketika melihat bahwa perempuan yang dibawa laki-laki itu adalah noonaku. Laki-laki yang menggendongnya menyuruhku untuk membukakan pintu mobil belakang dan aku segera menuruti perintahnya. Setelah itu ia berlari mengambil alih kemudi dan aku duduk dibelakangnya dan memangku kepala noona yang sudah banyak mengeluarkan darah segar. Aku takut ia kekurangan banyak darah.

Noona! Bertahanlah! Aku tahu kau kuat, noona! Jangan meninggalkan aku! Ku mohon…” pertahananku runtuh. Aku menangis. Sambil menangis aku mengambil ponsel di saku celana dan mengirimkan pesan singkat kepada hyungku.

“Ya Tuhan.. apa yang terjadi pada noonaku?” ucapku lirih. Sungguh aku tidak mau terjadi hal apapun kepada noonaku. Aku tidak mau Tuhan juga mengambil orang ketiga yang sangat aku sayangi di dunia setelah kedua orang tuaku, karena dia dan hyung aku masih bisa bertahan hidup. Dalam hatiku, aku terus berdoa memohon kepada Tuhan untuk jangan mengambilnya. Aku tak peduli dengan airmata yang terus mengalir dari kedua mataku. Aku terlalu khawatir dan sangat takut kehilangannya.

Mungkin setelah noona dibawa ke rumah sakit dan ditangani oleh dokter, aku harus bertanya banyak hal kepada pria yang tengah mengemudikan mobil ini sekarang. Jika ia penyebabnya, maka aku akan membunuhnya sekarang itu juga! Terserah!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

Omo… eottokhe readers? Aku ngga bisa ngomong apa-apa karena tetiba otaknya mampet aja abis ngetik FF ini -_-

Well… sebagai readers yang baik, tolong komentari yah apa kekurangan dari FF ini. Apa jalan ceritanya sudah mainstream? –iya deh thor- hahaha. Atau kalian tersepona oleh Kai dan Kris? –terpesona, thor-

Baiklah, sekali lagi aku sangat mengharapkan komentar, kritik, dan saran yang membangun. Khamsahamnidaaaa~


[2nd Winner of Miracles in December Project - Writing Contest] Recondite

$
0
0

Title: Recondite

Author: Tsukiyamarisa

Main Cast: Kai and [OC] Park Minha

Support Cast: Suho

Genre: Romance, Family, Fluff

Rating: PG-15

.

RECONDITE

.

.

rec.on.dite—derived from Latin word, reconditus, means hidden or to put away

.

.

Everything between us is used to be easy

but why everything becomes so complicated now?

.

.

Park Minha terbangun pada pagi itu ditemani dering bel pintu yang memekakkan telinga, sebuah pesan singkat di ponselnya, dan hawa dingin yang menusuk ngilu kala kakinya menapak di atas lantai. Ia menggigil sejenak, lantas menarik jaket tebal yang berada di gantungan baju dan lekas-lekas menenggelamkan diri ke dalam kehangatan beraroma parfum vanilla tersebut. Seraya mengusap mata yang masih setengah terpejam, Minha melangkah menuju pintu depan untuk melihat siapa yang tega menganggunya di pagi buta begini.

“Minha-ya!”

Hah, seharusnya ia sudah bisa menebak ini.

Hmmm, sebentar.” Gadis itu bergumam pelan sembari memutar kenop pintu, sepasang maniknya mendapati sosok tinggi seorang pria yang dibalut mantel cokelat tua. Tamunya tersebut membawa sekotak roti dan dua gelas kertas—dari aromanya, Minha menebak bahwa isinya semacam kopi—sementara bibirnya menyunggingkan senyum selebar tiga jari.

“Ini masih—“ Minha menggantungkan ucapannya sejenak dan melirik jam yang tergantung di dinding, “—pukul enam di pagi hari, Kim Jongin. Tahukah kau jam berapa aku tidur semalam?”

Jongin hanya mengedikkan bahu untuk menjawab pertanyaan sang gadis, kedua kakinya melangkah masuk ke dalam apartemen tanpa banyak kata. Ketika ia melewati Minha, tangan Jongin pun otomatis terulur untuk mengacak-acak rambut gadis itu sejenak, senyumnya makin bertambah lebar kala ia bergumam, “Setidaknya aku punya waktu mengobrol denganmu sepagian ini.”

“Kau ‘kan, bisa mengobrol denganku kapan saja.”

“Junmyeon Hyung akan mengajakmu pergi siang ini,” balas Jongin sembari meletakkan bawaannya di atas meja dan membuka kotak roti. Aroma manis pun seketika merebak, membuat perut Minha sedikit bergemuruh kelaparan karenanya. “Ia belum memberitahumu?”

“Belum,” jawab Minha jujur sambil ikut mendudukkan diri dan mencomot sebuah roti cokelat. Pikirannya seketika melayang pada sebuah pesan singkat yang belum sempat ia buka pagi ini. “Mungkin ia mengirimiku pesan, tetapi aku belum membacanya.”

Well, sekarang kau sudah tahu dan bisa bersiap-siap untuk nanti siang.” Jongin menganggukkan kepalanya sekali dan menyesap cappuccino banyak-banyak sebelum melanjutkan, “Sepertinya ia akan mengajakmu kencan. Semacam itulah.”

“Oh.” Hanya itu tanggapan yang keluar dari bibir Minha. Sambil melanjutkan mengunyah roti cokelatnya, gadis itu memandangi Jongin dengan tatapan setengah melamun. Ia tak mau mengubah suasana hangat yang ada menjadi canggung.

Karena Minha tahu persis, bahwa semuanya tak lagi sama seperti dulu.

Ada yang berubah, tentu saja.

Semua orang di dunia ini sekiranya sudah tahu bahwa perputaran waktu terlalu kejam untuk bisa dihentikan. Detik demi detik di jarum jam, juga tanggal dan bulan di kalender terus berganti. Semuanya bergerak maju, membawa perubahan yang tak bisa ia tolak. Minha tak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya, ia bukan Tuhan atau dewa yang memiliki kekuatan di luar batas kemampuan manusia biasa. Jadi, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah—

“Omong-omong, novelku sudah hampir selesai.” Jongin kembali membuka percakapan, mengalihkan perhatian Minha.

Hm…

“Kau masih akan menjadi editornya, ‘kan? Maksudku, aku tak begitu suka dengan para editor lain di percetakan. Apalagi ibu-ibu tua yang satu itu. Hih, mengerikan.” Jongin bergidik dan melanjutkan ocehannya, memaksa Minha untuk mengangkat kepala barang sejenak dan menarik sudut-sudut bibirnya untuk memberikan respon. Pemikiran yang tadi sempat mengganggu benaknya mendadak lenyap, digantikan dengan ekspresi gemas kala ia melihat tingkah Jongin yang kekanak-kanakan.

“Kau memanfaatkan sahabatmu sendiri?” Minha bertanya dengan kekeh lirih, mengajak Jongin bercanda. Sudah bertahun-tahun mereka bersahabat dekat dan—entah karena takdir atau apa—pekerjaan mereka pun memaksa keduanya untuk tetap saling berdekatan.

Mendengar ucapan Minha tersebut, Jongin pun sontak mengerucutkan bibirnya, sebal. Dengan main-main, ia mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi sang gadis dan berkata, “Hei, bukankah itu gunanya sahabat baik? Lagipula, aku percaya pada hasil kerjamu sepenuhnya. Ayolah, Minha-ya, hm?”

Minha menarik tubuhnya menjauh, mengelak dari serangan Jongin. Sembari tertawa, gadis itu meraih gelas kertasnya yang masih penuh—setidaknya ini akan membuat Jongin berhenti mencubitinya—dan menganggukkan kepala.

Iya, beberapa hal boleh berubah. Namun, persahabatan mereka tetaplah sama, bukan? Asal ia bisa tetap melihat Jongin berada di sisinya, bercanda dan saling menggoda seperti ini, maka Minha akan melakukan apa saja. Apa pun itu, ia tidak akan berkeberatan.

“Jadi? Setuju, ‘kan? Ayolah, kau pasti menyukai cerita yang satu ini.”

 “Oke,” sahut Minha menyetujui. “Jadi, kapan aku bisa mulai membaca novelmu itu, Tuan Kim?”

***

Tiga menit sudah berlalu dan Junmyeon masih enggan melepas pandang dari sosok gadis berambut sebahu yang duduk di hadapannya. Aura hening jelas kentara di antara mereka, kontras dengan keramaian yang mengisi setiap sudut rumah makan itu. Di atas meja, tersaji makanan yang menguarkan aroma saus jamur dan kuah kaldu hangat, memanjakan hidung dan mampu menerbitkan air liur dalam waktu sekejap mata. Namun, alih-alih menyentuhnya, sang gadis malah asyik memainkan jari-jarinya di atas meja. Melamun.

“Minha-ya, makanlah.”

Minha tersentak kaget, lantas menganggukkan kepalanya perlahan. Tangan kanannya meraih sendok yang ada dan mulai mencelupkan peralatan makan perak itu ke dalam kuah sup. Kendati begitu, ia hanya mengaduk-aduk makanan di depannya sambil menghela napas berat, matanya lekat memandangi Junmyeon kala ia bertanya, “Ada kabar apa, memang?”

“Kau sudah bertemu Jongin pagi ini, bukan?” Junmyeon balik bertanya sembari mencelupkan sepotong daging ke dalam saus jamur dan memasukkan hidangan itu ke dalam mulutnya. “Seperti yang kaulihat. Masih sama.”

“Aku tahu itu.” Minha menopangkan dagunya pada sebelah tangan, matanya berkelebat ke kaca jendela yang kebetulan terletak di samping kirinya. Hiruk-pikuk di luar sana belum mereda, jalanan disesaki oleh puluhan orang yang menenteng tas belanja atau pernak-pernik berwarna emas dan merah. Di seberang jalan, Minha bahkan bisa melihat seorang anak yang tengah menunjuk sebuah pohon natal sembari menarik-narik celana ayahnya.

Benar, ini sudah bulan Desember. Natal dan tahun baru sudah di depan mata, hanya kurang beberapa minggu saja lamanya. Udara begitu dingin menusuk tulang, tetapi hingga saat ini, tak sebutir salju pun tampak di langit kota Seoul.

Kebahagiaan ada di mana-mana, dan Minha sungguh-sungguh berharap bahwa musim dinginnya kali ini pun dapat dipenuhi dengan canda tawa. Ia belum tahu akan melewatkan liburan ini dengan cara apa—salahkan deadline-nya yang kejam itu—dan ia sendiri juga belum menyusun rencana barang sedikit pun.

“Kau… tidak berencana menyatakan perasaanmu pada Jongin?” Perkataan itu tiba-tiba terucap dengan begitu mudahnya dari bibir Junmyeon, membuat Minha menoleh dengan enggan dan lekas-lekas menggelengkan kepalanya.

“Untuk apa?”

 “Agar ia tak terus-terusan menganggapmu sebagai sahabat semata?”

 “Tidak. Aku—“ Minha menggantungkan perkataannya sejenak di ujung lidah, tampak ragu. Sembari membiarkan kilas balik kejadian setahun yang lalu mengisi benaknya, gadis itu menggelengkan kepalanya lebih mantap lagi dan berkata, “Aku memilih untuk menunggu saja. Kurasa ini… yang terbaik, ‘kan?”

Junmyeon mendengar omongan gadis itu tanpa berkomentar barang sedikit pun. Ia tahu persis bagaimana perasaan seorang Park Minha. Selama setahun ini, ia adalah satu-satunya tempat bagi Minha untuk menuturkan semua isi hatinya. Jadi, alih-alih memaksa gadis itu atau mendebat keputusannya, Junmyeon hanya mengulum senyum kecil dan mengangguk paham.

Yeah. Dan, Minha-ya…”

“Kenapa?”

Junmyeon tersenyum lembut. “Kau akan selalu memiliki diriku sebagai tempat berbagai cerita. Ingat itu.”

.

.

Still, some things are remaining the same,

Like our past, I find out that I still keep blushing at your every single touch

.

.

“Taman bermain?”

“Iya.”

“Memang novelmu sudah selesai?” selidik Minha sembari menjepit ponselnya di antara bahu dan telinga, kedua tangannya kembali sibuk mengedit naskah biografi yang kini terpampang jelas di layar laptop. “Aku sedang dikejar deadline, tahu.”

“Belum, ideku macet di tengah jalan,” adu Jongin layaknya anak kecil. “Ayolah, memang deadline-mu itu kapan, sih?”

Minha memutar kedua bola matanya, sedikit kesal. Sambil mengembuskan napas keras-keras ia pun berkata, “Tanggal 30 Januari. Itu sebentar lagi, Jongin, dan aku tida—“

“Demi Tuhan, itu masih sebulan lebih!”

“Tetap saja, aku tidak suka menund—“

“Taman bermain, sekarang.”

Yaa! Kim Jongin!”

Jongin terkekeh keras di seberang sana, membuat Minha merasa sebal sekaligus menghadirkan sepercik kegembiraan pada waktu yang bersamaan. Saat-saat seperti ini selalu berhasil membuat Minha melupakan realita yang ada, mengizinkannya untuk kabur barang sejenak dan melepas penat. Ia senang jika Jongin memperhatikannya seperti ini, senang jika Jongin bersikap bahwa sesuatu yang salah tidak pernah terjadi di antara mereka.

“Apa yang kudapat jika aku menuruti ajakanmu?”

Eum…tiket masuk gratis untuk bermain sepuasnya sekaligus bersenang-senang dengan pria tampan sepertiku?”

“Percaya diri sekali,” timpal Minha cepat seraya melarikan jari-jarinya di atas keyboard. Setidaknya, ia harus bisa menyelesaikan bab ketujuh dari buku yang sedang digarapnya ini sebelum pergi bersama Jongin. Oh, Minha tidak akan menolak ajakan pria itu, tentu saja.

“Mau tidak?” Jongin masih terus mengejarnya dari seberang sana. “Atau jangan-jangan… kau sudah ada janji dengan Junmyeon Hyung? Kalau begitu—“

“Junmyeon Oppa? Ia ‘kan sedang sibuk,” bantah Minha cepat sembari menekal tombol save dan mematikan laptopnya. Heran, kenapa sih, Jongin selalu membawa-bawa Junmyeon dalam setiap percakapan mereka?

“Siapa tahu kalian ada kencan atau—“

“Oke, oke! Aku akan bersiap-siap sekarang, Kim Jongin. Kalau kau tidak datang pukul—“ Minha menggantungkan ucapannya sejenak, lantas melirik ke arah jam, “—setengah sebelas nanti, aku tidak jadi pergi denganmu.”

“Kau gila! Itu cuma lima belas menit, tahu!”

“Rumahmu hanya sepuluh menit jauhnya.”

“Iya sih, tapi aku ‘kan baru saja bangun tidur.” Jongin bergumam malu di telepon, membuat Minha sontak membelalakkan matanya. Astaga, kebiasaan Jongin tidur larut malam dan bangun terlampau siang di keesokan harinya itu belum berubah ternyata.

“Lima belas menit, Kim Jongin.”

“Hei! Park Minha! Aish, kau tak boleh pergi kemana-mana tanpaku, oke?!”

Piip.

 

Telepon ditutup begitu saja, dan selama beberapa detik, Minha bersumpah bahwa ia bisa mendengar bunyi lemari yang terbuka dan suara Jongin yang mengaduh sambil menyumpah keras—mungkin tersandung sesuatu. Tawa pun seketika terlepas dari bibir Minha, membuat semua beban dan rasa stres yang ia rasakan belakangan ini menguap.

Aku sudah menunggumu selama hampir setahun lamanya, Kim Jongin. Lima belas menit atau lebih bukan masalah besar bagiku.

***

 

“Kaucari mati denganku, hah?!” Minha memprotes keras kala mereka berjalan keluar dari wahana rumah hantu. Ia takut hantu, ia benci film horor, dan ia tak suka apa pun yang berhubungan dengan dunia makhluk gaib tersebut. Sial baginya, Jongin teramat menyukai semua hal itu dan sudah keburu menarik Minha masuk ke dalam antrean sebelum gadis itu sempat mengelak.

“Tidak. Aku hanya mencari hiburan.”

“Hiburan apanya?” Minha memukul lengan Jongin, sebal. “Kauingin aku mati muda?”

“Hiburan karena melihatmu berteriak sembari bersembunyi di balik tubuhku itu lucu sekali,” jawab Jongin sambil lalu, matanya sibuk beredar ke seluruh wahana yang ada. “Aku jadi merasa seperti pahlawan super.”

Jawaban itu spontan membuat sang gadis mendengus perlahan sembari memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang merambat di pipi. Ia tak bisa memungkiri perkataan Jongin yang satu itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk langsung bersembunyi di balik Jongin atau memeluk lengan pria itu erat-erat demi menahan rasa takut. Sejak dulu, Jongin suka sekali menggodanya dalam hal ini—satu hal yang membuat jantung Minha terpaksa bekerja ekstra keras dan darah pun seketika mengalir deras ke wajahnya tanpa kompromi.

Minha benci hantu, tapi ia suka jika Jongin merangkulnya dan bersikap bak pahlawan yang mampu melindungi Minha dari apa pun juga.

Ia tak bisa menyangkal hal itu.

“Baik, berikutnya kau yang pilih,” putus Jongin sambil menarik lengan Minha, menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Satu wahana lagi, bagaimana?”

“Tentu.” Minha ikut menebar pandangnya ke seluruh taman bermain, mencari-cari atraksi permainan yang tepat. Mereka sudah menghabiskan hampir berjam-jam di tempat ini, mencoba permainan paling ekstrem seperti roller coaster dan roda yang bisa berputar hingga 360 derajat, menonton karnaval yang melibatkan tokoh-tokoh film animasi, hingga memenuhi perut mereka dengan sosis panggang dan gula-gula kapas yang dijajakan di setiap sudut arena.

Yang tersisa adalah…

Sebuah ide mendadak muncul di kepala Minha, membuat ekspresi berseri-seri di mimik mukanya makin kentara. Sembari menarik tangan Jongin, gadis itu membawa sang pria menuju sisi selatan taman bermain. Telunjuknya mengarah ke sebuah roda besar yang sedang berputar lambat, antreannya tampak didominasi oleh pasangan kekasih yang sedang berkencan.

Ferris wheel?”

“Iya. Aku mau naik itu, Jongin-a.

***

Kalau mau jujur, Minha punya alasan lain di balik permintaannya untuk menaiki ferris wheel ini.

Mereka berdua kini tengah berada di dalam salah satu gondola yang berbentuk seperti rumah-rumahan mungil, mengamati pemandangan seluruh kota dari ketinggian. Di seberang mereka, tampak sepasang kekasih yang sedang berangkulan sembari terkikik pelan, kadang malah diselingi dengan suara kecupan yang serta-merta membuat Minha memasang ekspresi jengah.

 “Kenapa?”

“Bukan apa-apa,” balas Minha sembari mengalihkan perhatiannya ke jendela dan membiarkan embusan napasnya mencetak kabut di atas permukaan kaca. Gadis itu mengulurkan telunjuknya untuk menulis nama Jongin, kemudian buru-buru menghapusnya tatkala ia merasakan lengan Jongin tersampir di atas pundaknya.

Rasanya hangat. Tepat, seolah-olah eksistensi Jongin di sampingnya memiliki arti yang begitu besar. Sahabatnya itu selalu sukses menghadirkan rasa aman dan nyaman dalam situasi apa pun, salah satu penyebab mengapa Minha begitu mencandu akan kehadiran sang pria. Kedua pipinya pun kontan memanas, terlebih kala Jongin mencondongkan tubuh lebih dekat dan berbisik, “Terima kasih untuk hari ini.”

Um, sama-sama.”

Minha tak bisa berpikir jernih, tidak jika tubuh Jongin masih menempel begitu dekat dengannya dan sisa-sisa pernapasannya pun menggelitik tengkuk Minha dalam artian yang menyenangkan. Sang gadis hanya bisa memejamkan matanya erat, memanggil ulang memori dari masa lampau yang masih tercetak dengan jelas di lapisan-lapisan otaknya bak rol film.

Kira-kira, ia ingat tidak, ya?

Apa Jongin benar-benar tak mampu mengingatnya, walau barang sekelumit memori saja?

“Hei, Jongin-a.

“Kenapa?” Suara Jongin terdengar begitu dekat dengannya, berat dan sedikit lelah. Perlahan, Minha pun membalikkan badannya dan menurunkan lengan Jongin yang masih tersampir di pundaknya. Ia terlihat sedikit ragu untuk menyuarakan isi otaknya.

“Apa kau…”

Kelu, itu rasanya saat kata-kata yang sudah terproses apik di dalam benaknya mendadak macet di ujung lidah, menolak untuk dikeluarkan. Ragu-ragu, Minha mengulurkan tangan untuk menggenggam milik Jongin dan berbisik pelan, “…kau… benar-benar tidak ingat, ya? Tahun lalu, kita juga ke tempat ini dan….”

“Maaf.” Jongin menundukkan kepalanya dalam, tampak menyesal. “Aku… yah, setidaknya aku tak benar-benar melupakanmu, bukan? Park Minha adalah sahabat terbaikku, selamanya aku akan mengingat itu.”

“Tentu saja,” balas Minha mantap sambil menarik seulas senyum dan menepuk-nepuk lengan Jongin, berusaha menghilangkan perasaan bersalah pemuda itu. “Itu… bukan masalah besar, kok.”

Jongin mengangguk mengerti, membiarkan keheningan mengambil alih suasana. Dalam diam, mata keduanya tertuju pada pemandangan kota yang terpampang jauh di bawah sana, tampak berkilauan oleh titik-titik cahaya lampu. Namun, alih-alih memfokuskan perhatian pada keindahan yang ada, kedua anak manusia tersebut malah hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.

 “Omong-omong, malam itu…”

“Ya?” Minha menoleh cepat, lamunannya buyar begitu saja. Detak jantungnya serasa mengalami akselerasi, mendadak berpacu makin cepat setelah mendengar kata-kata yang dikeluarkan oleh Jongin.

“…apa ada sesuatu yang penting?”

“Oh.” Minha membuka mulutnya, lantas mengangguk maklum. Tentu saja, mana mungkin Jongin tiba-tiba ingat? Jangan terlalu berharap, Park Minha.

“Jadi?” desak Jongin seraya menilik Minha dalam-dalam. “Atau kau juga sudah lupa?”

Huh, yang benar saja. Itu tidak akan terjadi, Jongin. Mana mungkin aku lupa pada malam itu, mengingat kau telah mengatakan sesuatu yang teramat penting bagiku?

Ya, Minha tidak akan lupa karena—

“Silakan keluar, Nona, Tuan.”

Sang penjaga menarik pintu gondola mereka hingga terbuka lebar, menunggu. Pasangan kekasih yang tadi berbagi ruang dengan mereka sudah keluar terlebih dahulu, keduanya makin menempel erat bak lintah yang menemukan kulit manusia. Sembari mengucapkan terima kasih pada si penjaga wahana, Jongin mengulurkan tangannya untuk menggandeng Minha dan menarik gadis itu keluar dari arena.

“Minha-ya, ayo kit—“

Kelanjutan ucapan Jongin tersebut tidak pernah terdengar karena sang pemuda baru saja merasakan sesuatu yang hangat dan lembut menempel pada pipinya. Satu yang membuat napasnya tercekat karena kaget, menjungkirbalikkan kerja otaknya tanpa kenal belas kasihan.

Park Minha baru saja mengecup pipinya.

.

.

Everything that happen between us is just a combination of misunderstanding, afraidness, and foolishness

Love, it really makes us act stupid, right?

.

.

“Jongin?”

Tidak ada jawaban.

Junmyeon mengembuskan napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya di birai pintu, tatapannya tak lepas dari sosok sang adik yang rupanya tengah tertidur lelap dalam posisi menelungkup di atas meja. Dengkuran halus terdengar mengisi keheningan, membuat Junmyeon lagi-lagi menghela napas seraya meraih selembar selimut yang terletak di atas ranjang.

“Kenapa kau hobi membuat cemas semua orang, huh?” Junmyeon mengeluh pelan sambil menyelimuti Jongin, tangannya otomatis terulur untuk mengacak-acak puncak kepala adiknya itu dengan penuh kasih sayang. Sudah hampir seminggu lamanya Jongin berdiam diri di dalam kamarnya, dan jujur saja, itu membuat Junmyeon merasa khawatir setengah mati.

“Sebenarnya… apa yang terjadi denganmu dan Minha?” gumam Junmyeon dalam bisikan rendah, matanya menerawang ke arah meja Jongin yang dipenuhi tumpukan kertas dan buku-buku. Pikirannya melayang ke sebuah kejadian, satu yang terjadi tepat tujuh hari silam.

Kala itu, Junmyeon mendapati adiknya pulang dengan napas terengah-engah dan ekspresi wajah kalut. Pemandangan itu jelas membuat kening Junmyeon berkerut heran, karena sejauh yang ia tahu, Jongin baru saja menghabiskan waktu bersama Minha di taman bermain. Apa terjadi sesuatu di sana? Apa mereka bertengkar?

Berbagai macam kemungkinan muncul di dalam benak Junmyeon, menambah kadar kecemasannya hingga ke parameter teratas. Seraya mengekori langkah Jongin, Junmyeon bisa mendengar adik lelakinya itu menceracau tidak jelas dan membanting pintu kamarnya hingga tertutup rapat.

Dari sanalah, Junmyeon tahu bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sini. Hari-hari berikutnya, Jongin menolak untuk menemui Minha dan tidak mau mengangkat telepon dari gadis itu. Bukan hanya Minha, ia pun bahkan menghindari Junmyeon, bersikap seolah ia malas melihat wajah Junmyeon dan enggan mengobrol panjang lebar dengan kakaknya itu.

“Apa yang terjadi, Jongin? Apa? Kau boleh menjauhiku, tapi kenapa kau harus menjauhi Minha? Apa salahnya?” Junmyeon bertanya lagi, membiarkan desau angin yang membawa kesunyian menjadi jawaban atas rasa ingin tahunya itu. Sepasang iris Junmyeon kini berkelebat ke seluruh permukaan meja, berharap ia bisa menemukan sebuah jawaban di sana.

Dan—seolah mendengar isi hatinya—jawaban itu memang ada di sana.

Aku mencintaimu, Minha. Baik sekarang, ataupun setahun yang lalu.

 

Kalimat itu tercetak jelas di atas kertas, tepatnya pada sebuah buku bersampul cokelat muda yang tergeletak di meja dengan posisi terbuka. Tanpa berpikir lagi, Junmyeon mengulurkan tangannya untuk mengambil buku itu, berhati-hati agar tidak membangunkan sang adik yang masih pulas. Barulah ketika buku cokelat tersebut sudah berpindah dengan aman ke tangannya, Junmyeon menyadari bahwa ia tengah memegang salah satu barang pribadi Jongin—buku hariannya.

Aku butuh jawaban, Junmyeon berkata pada dirinya sendiri seraya membolak-balik halaman buku tersebut, berusaha mengusir rasa bersalah yang ada. Jongin mungkin akan marah padanya, tetapi pilihan apa yang ia punya di sini? Sudah seminggu Jongin menghindarinya, dan sudah selama itu pula Minha terus-menerus meneleponnya untuk menanyakan kondisi Jongin dan meminta maaf.

Maaf untuk apa? Bagaimana Junmyeon bisa menerima kata “maaf” itu jika ia bahkan tak tahu duduk permasalahannya?

Kau melakukan hal yang benar. Tidak apa-apa.

Sembari melangkah keluar dari kamar Jongin, Junmyeon membalik buku harian itu dan mulai membaca kata-kata yang tertulis di halaman pertamanya. Tanggal yang tertera di sana menunjukkan bahwa diary ini mulai ditulis pada malam Natal, tepat setahun lalu.

December 24th 2012

Kurasa aku mencintaimu, Minha-ya.

Aku belum pernah mencintai seseorang sebelumnya, dan aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan ini.

Kalau aku menyatakan perasaanku, kira-kira apa reaksimu?

 

December 25th 2012

 

Tapi, setelah kupikir-pikir lagi, kurasa aku tak cukup berani mengatakannya.

Aku takut kalau ternyata kau mencintai lelaki lain.

Bahkan, rasa cinta ini mendadak terasa menakutkan untukku.

 

December 31st 2012

 

Aku pasti sudah gila ketika membiarkan kata ‘aku menyukaimu’ terlepas begitu saja dari bibirku!

Park Minha, kutunggu jawabanmu!

 

January 27th 2013

 

Kalau melupakanmu adalah jalan terbaik, maka berpura-pura lupa pun aku tak masalah.

Mungkin, kecelakaan itu adalah hadiah dari Tuhan, membantuku untuk menciptakan sebuah alibi yang lebih kuat.

Namun… aku masih bisa menjadi sahabat terbaikmu, kan?

 

Kaki Junmyeon seketika melemas.

“…maka berpura-pura lupa pun aku tak masalah.”

Apa maksudnya? Apa makna di balik kalimat ini?!

Merasa bingung, Junmyeon lekas-lekas membalik halaman buku harian Jongin. Ia terus membaca, menyadari bahwa buku ini menyimpan semua rahasia Jongin yang selama ini tak pernah ia ketahui. Sebuah kesadaran menghantamnya dengan telak, memunculkan ekspresi gusar dan terluka di raut wajahnya.

Kini, Junmyeon mengerti.

Apa yang terjadi di antara mereka adalah sebuah kesalahpahaman semata. Sebuah kebodohan yang bercampur dengan rasa takut, sebuah penyangkalan yang malah membuat Jongin dan Minha terluka. Ini tidak benar. Ini sebuah kesalahan. Dua orang yang saling menyukai sudah seharusnya bersatu, bukan?

Sambil mengepalkan kedua tangannya, Junmyeon kembali berderap menuju kamar Jongin dan membanting pintu kayu itu keras-keras, tak memedulikan sang pemilik yang terlonjak kaget karena dibangunkan secara paksa.

“Kim Jongin, kita harus bicara.”

Ya, sudah saatnya kita meluruskan semua ini.

.

.

Love, whether it’s between couple, friends, or family,

 is the best thing that could happen in your life

.

.

“Sudah kubilang, aku tak mau berbicara dengan siapa pun,” elak Jongin sambil bangkit dari kursinya dan menjatuhkan selimut ke atas lantai. Pemuda itu membalikkan badannya, jelas-jelas menolak untuk menatap Junmyeon yang kini tengah berdiri di dalam kamarnya sembari menahan emosi.

“Sampai kapan kau mau begini?” Junmyeon berujar, berusaha agar tidak menaikkan nadanya dan membuat situasi bertambah keruh. Ia mengambil satu langkah maju, mendekat ke arah Jongin seraya mengacungkan buku harian adiknya itu. “Sampai kapan kau akan menyimpan semua rasa sakit itu sendirian?”

“Apa maksud—” Manik Jongin seketika melebar kala ia menoleh ke arah Junmyeon dan mendapati buku hariannya tengah berada di tangan sang kakak. Gusar, ia pun berderap ke arah Junmyeon dan bermaksud meraih barang itu kembali.

“Aku akan mengembalikannya, Jongin. Aku tahu ini salah. Tetapi, maukah kau mengakui bahwa semua hal yang tersembunyi di dalam sini adalah sebuah kesalahan juga?”

“Kau tidak mengerti, Hyung!”
“Kalau begitu, beri aku penjelasan. Buat aku paham,” kata Junmyeon lirih seraya menyodorkan buku itu, tatapan matanya kini sedikit melembut. “Beritahu aku, Kim Jongin. Mengapa kau berpura-pura amnesia? Mengapa kau berpura-pura lupa bahwa kau mencintai Minha? Apa ini karena aku? Karena kau mengira bahwa aku mencintai Minha?”

Rentetan pertanyaan dari Junmyeon tersebut sontak membuat Jongin bungkam. Alih-alih meraih buku hariannya, Jongin malah kembali membelakangi kakaknya itu seraya bergumam, “Kau tak akan paham.”

“Jongin.”

“Pergilah.”

“Kim Jongin, tolonglah….”

“Pergi, Hyung.”

“Jo—“

“Kau tak tahu bahwa aku terlalu takut untuk mencintai!” bentak Jongin pada akhirnya, terlihat kesal. Dengan enggan, pemuda itu pun membalikkan tubuhnya dan melanjutkan, “Seumur hidupku, apa pernah ada seseorang yang benar-benar mencintaiku? Orangtuaku bahkan tak peduli padaku! Aku hanya laki-laki malang yang tak pantas dicintai, bukan?!”

Kata-kata Jongin tersebut tak ayal membuat Junmyeon tersentak, mendatangkan rasa muram pada ekspresi wajahnya. Hati-hati, Junmyeon pun menarik Jongin ke dalam pelukannya, berusaha keras untuk tidak memedulikan makian dan sikap meronta-ronta lelaki itu. Ia hanya ingin Jongin melepas semua beban yang ada, dengan sukarela menyediakan bahunya sebagai tumpuan. Itu ‘kan, yang seharusnya dilakukan seorang kakak?

“Lepask—“

“Kalau kau mau bercerita,” bisik Junmyeon sambil mengelus punggung Jongin, “maka aku akan mendengarkan. Sudah berapa kali kubilang, terlepas dari fakta bahwa kau bukan adik kandungku, aku menyayangimu. Jadi, bisakah kau percaya padaku?”

“Aku…” Jongin berhenti meronta, membiarkan telapak tangan sang kakak terus mengelus punggungnya dengan lembut. Tanpa sadar, ia pun menyandarkan dagunya pada bahu Junmyeon, berusaha menyembunyikan getar rasa takutnya di sana. “Aku… aku tak tahu harus berbuat apa, Hyung.

“Kalau begitu, ceritakan. Beritahu aku mengenai segalanya. Bisa?”

Jongin menarik diri dari pelukan Junmyeon, lantas membalas tatapan mata kakaknya itu lekat-lekat. Membiarkan sepasang iris hitam mereka bertemu, menyelami rasa aman yang ditawarkan oleh Junmyeon.

Hyung…” Jongin memulai, tampak ragu. Ia melirik Junmyeon dari sudut matanya, mendapati bahwa sorotan yang tengah diberikan kakaknya itu terlihat begitu tulus. Satu hal yang baru ia sadari sekarang, setelah setahun penuh lamanya ia menutup diri dan menanggung semuanya dalam kepedihan. “…setelah kuceritakan semuanya, tolong jangan marah padaku, ya?”

Junmyeon mengangguk mantap. “Oke. Tidak akan. Jadi, kita mulai dari mana?”

Jongin menarik napas panjang dan mengambil buku hariannya dari tangan Junmyeon, lantas mulai bercerita. “Setahun lalu…”

.

.

Some people choose to confess their feeling and take any risks that come bravely

But some people—like me—choose to stay silent, simply because we are just too afraid

.

.

“Setahun lalu aku menyatakan perasaanku pada Minha. Itu semua terjadi tanpa direncanakan, keluar begitu saja kala aku mengajaknya pergi ke taman bermain,” ucap Jongin sambil memainkan ujung-ujung jemarinya, terlihat takut. “Saat itulah aku sadar, bahwa setelah sekian tahun mengenal Minha, tak ada hal yang lebih kuinginkan di dunia ini selain terus berada di sisinya.”

“Lantas, kenapa pada saat kecelakaan, kau malah berpura-pura terkena amnesia?”

“Itu…” Jongin berdeham pelan, kemudian melanjutkan, “Ingatkah kau pada phobia yang kumiliki sewaktu kecil, Hyung? Bahwa aku pernah menderita philophobia—ketakutan akan perasaan cinta?”

Bibir Junmyeon spontan terkatup rapat, sementara pikirannya terlempar ke masa lalu. Ia ingat, tentu. Ia ingat persis bagaimana kondisi Jongin semasa masih kecil dulu, bagaimana lelaki yang sudah ia anggap sebagai adik kandung ini pernah mengalami rasa takut yang teramat sangat pada segala jenis cinta.

Salahkan orangtua anak itu. Ayah Jongin pergi dari rumah ketika Jongin masih berumur empat tahun—kabarnya ia berselingkuh dengan wanita lain. Tak jauh berbeda dari sang ayah, ibunya pun ternyata melakukan hal yang serupa. Bukannya mengurus Jongin yang waktu itu nyaris tidak pernah merasakan kasih sayang, beliau malah pergi ke klub malam dan asyik bermain bersama para lelaki hidung belang. Meninggalkan Jongin sendirian setiap harinya, tidak pernah tersentuh oleh cinta dan kehangatan sebuah keluarga.

Itu dulu, sampai akhirnya orangtua Junmyeon pun datang dan mengambil alih situasi. Mengangkat Jongin—yang berstatus sebagai adik sepupu Junmyeon—sebagai anak sendiri, merawatnya dengan layak hingga ia dewasa.

Namun, layaknya anak kecil yang pernah mengalami trauma, Jongin pun tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Ia tidak percaya cinta. Tidak percaya bahwa di dunia ini, masih ada orang yang peduli padanya. Junmyeon sendiri butuh waktu bertahun-tahun agar Jongin bisa mulai melihatnya sebagai seorang kakak dan menumbuhkan rasa percaya itu. Segalanya tidak pernah mudah.

“Ingat?”

“Tentu saja.”

Phobia itu memang sempat menghilang, terlebih setelah aku mulai menganggapmu sebagai kakak dan bertemu Minha. Seperti yang sudah bisa kautebak, pada akhirnya aku pun malah jatuh cinta pada Minha. Seperti sebuah keajaiban, semua rasa takutku lenyap begitu saja.

“Tetapi…” Jongin menerawang, berusaha mengingat-ingat. “Ketika aku menyatakan perasaanku pada Minha, gadis itu tak langsung memberiku jawaban. Lalu, beberapa minggu setelahnya, aku malah terlibat dalam sebuah tabrakan. Memang benar bahwa aku baik-baik saja, namun apa yang kulihat sewaktu aku sadarlah yang membuat semuanya tidak baik-baik saja. Tidak lagi.”

“Maafkan aku,” gumam Junmyeon, mendadak menyadari arah pembicaraan Jongin. Bagaimanapun juga, ia bukan orang bodoh. Apa yang dilihat Jongin sewaktu ia siuman adalah suatu hal yang berhubungan erat dengan Junmyeon. Secara tidak langsung, ia terlibat. Ia yang membuat adiknya menderita seperti ini.

“Jangan, Hyung.” Jongin menggeleng pelan. “Waktu itu, jujur saja, kau mencintai Minha, ‘kan? Aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat bagaimana caramu memandang gadis itu, bagaimana caramu merangkul dan menyediakan bahumu sebagai sandaran. Kau mencintai Minha, dan saat itu, kupikir kau adalah lelaki yang jauh lebih tepat untuknya.”

“Kau jauh lebih berhak memilikinya. Toh, aku sudah tak mencintai Minha sebesar dulu. Aku hanya menganggap gadis itu sebagai adik yang harus kujaga.” Junmyeon mengedikkan bahunya, lantas memicingkan mata ke arah Jongin. “Maka, seharusnya kau tak berpura-pura—”

“Aku tahu kalau ini tak bisa dijadikan sebuah pembelaan, tetapi aku takut, Hyung. Itu saja. Minha selalu bersikap sama di hadapan kita berdua, membuatku tak bisa menebak perasaannya. Kau mencintainya, begitu pula dengan diriku. Dalam situasi seperti ini, salah satu pihak pasti akan terluka, bukan? Kau, atau aku,” jelas Jongin panjang lebar sembari menarik napas dalam, berusaha memenuhi paru-parunya dengan pasokan oksigen. “Karena itulah—“

“Aku tidak akan terluka, Jongin,” sambar Junmyeon, terlihat gemas melihat jalan pikiran adiknya ini. “Sejak berbulan-bulan lalu, aku menyadari bahwa perasaanku pada Minha hanyalah sebatas kakak terhadap adiknya, sebatas seorang teman yang sering berbagi cerita. Tak lebih.”

“Tetap saja,” ujar Jongin sambil mengulas senyuman singkat. “Menilik dari pengalamanku di masa lalu, kau tak bisa menyalahkan rasa takut yang mendadak muncul. Aku tidak siap untuk ditinggalkan lagi. Aku tak akan bisa menanggungnya. Jadi, sebelum terluka, aku memilih mundur. Setidaknya, dengan menjadi sahabat Minha dan tidak mengingat pengakuan cinta itu, kami akan tetap bisa bersama, bukan?”

“Itu hal terbodoh yang pernah kudengar, Kim Jongin,” Junmyeon berucap tajam seraya memukul kepala adiknya itu ringan. “Lalu, soal kejadian minggu lalu, kenapa kau tiba-tiba menghindari Minha?”

“Ah…” Jongin mengusap pipinya, merasakan panas merambati kulit itu kala ia teringat kecupan Minha. “Dia menciumku dan aku… entahlah kurasa aku hanya panik. Takut. Aku tak tahu, Hyung. Malam itu, semuanya terasa begitu kabur dan…”

“Oke, aku paham,” balas Junmyeon, tak ingin memaksa Jongin lebih jauh dan membuat rasa takutnya kembali muncul ke permukaan. “Nah, sekarang, setelah kau mengakui semuanya padaku—“

“Kau tak akan marah, bukan?”

“Aku akan marah jika kau tak pergi menemui Minha sekarang dan menjelaskan semua ini, bodoh!” bentak Junmyeon tiba-tiba, membuat Jongin nyaris terjungkal dari kursi tempat ia duduk. Seraya memijat-mijat pelipisnya, Junmyeon mengarahkan tatapan kesal pada adiknya itu dan menambahkan, “Park Minha selalu mencintaimu. Percayalah.”

“Darimana kau tahu?”

Junmyeon tersenyum simpul. “Karena Minha selalu menceritakan semua perasaannya padaku. Karena Minha selalu berkata bahwa ia menyukai musim dingin, dengan alasan bahwa orang yang ia cintai adalah penyuka salju. Itu jelas bukan aku.”

“J-jadi…”

“Ya, Kim Jongin. Sekarang, pergilah ke tempat Minha sebelum aku menendangmu keluar dari rumah ini, paham?”

.

.
If two people love each other and destined to be together,

then no matter what happen, they’ll always find their way back

.

.

Tidak sulit bagi Jongin untuk menemukan Minha.

Gadis itu selalu melewatkan malam Natal di sebuah taman kecil yang terletak di samping apartemennya, mengamati kerumunan orang yang berlalu-lalang seraya berharap salju akan turun dan menghiasi seluruh sudut taman. Sebuah kebiasaan yang sudah Jongin hafal di luar kepala, mengingat bahwa selama bertahun-tahun, dirinya pulalah yang menemani Minha untuk melakukan rutinitas itu.

Maafkan aku, batin Jongin sembari berlari menyusuri jalan setapak, memacu kakinya secepat mungkin ke arah kursi batu yang terletak di pojok barat—tempat keduanya biasa bercengkerama. Malam ini pun, aku akan menemanimu, Minha-ya.

 Sambil mengulang-ulang permintaan maafnya itu, Jongin menebar pandang ke seluruh area taman untuk mencari sosok Minha. Ia tahu bahwa gadis itu pasti akan berada di sana. Sesuatu di dalam benaknya terus-menerus mengatakan bahwa Minha akan selalu setia menunggunya kembali, bahwa hubungan mereka tidak akan hancur begitu saja. Jongin percaya pada semua yang dikatakan oleh instingnya dan…

“Park Minha!”

…ia tidak menyesal.

Sepasang pupil Jongin dengan segera menangkap tubuh Minha yang sedang duduk di atas kursi sambil menerawang ke arah langit malam—mungkin menunggu salju turun. Dari belakang sini, Jongin bisa merasakan betapa ia merindukan sosok itu, betapa ia ingin merengkuh Minha dan tidak pernah melepaskannya lagi, serta betapa inginnya ia menghapus aura sedih yang tampaknya menggelayuti pundak mungil itu.
“Minha-ya….

Dan tanpa meminta izin atau memberi peringatan, Jongin pun mengulurkan lengannya untuk mendekap tubuh Minha dari belakang. Membiarkan gadis itu tersentak kaget dan menoleh perlahan, lantas memekik kecil kala ia menyadari bahwa Jongin-lah yang sedang memeluknya erat.

“J-jongin-a… sedang apa….”

“Maafkan aku,” bisik Jongin seraya membenamkan kepalanya pada lekuk bahu Minha, mencium aroma manis vanilla yang sudah amat ia kenal. Lamat-lamat, pemuda itu pun kembali menghirup napas panjang, seolah berusaha untuk memastikan bahwa semua ini nyata.

“Untuk apa? Dan kenapa kau memelukku erat sekali, hm? Rindu?”

“Ya,” jawab Jongin jujur. Ia tidak berniat untuk menutup-nutupi perasaannya lagi. Kini, sudah saatnya kejujuran mengambil alih. Sudah saatnya ia bersikap berani dan menghadapi semua rasa takutnya, mengungkapkan semua rasa yang dulu pernah ia sembunyikan dan ia buang jauh-jauh.

“Jongin, ini di tempat umum….”

“Aku tak peduli. Aku….” Jongin mengembuskan sisa-sisa pernapasannya pada pundak Minha, membiarkan gadis itu sedikit bergidik kala udara hangat menyentuh kulit lehernya yang terbuka. “Aku akan menceritakan sesuatu padamu. Kau boleh merasa kecewa padaku setelahnya, kau juga boleh marah. Tapi, tolong, dengarkan penjelasanku hingga akhir.”

Minha tidak berkata apa-apa, namun satu anggukan ringan dari gadis itu sudah cukup untuk menghapus rasa takut Jongin dan memunculkan semua keberaniannya. Inilah saatnya. Seperti kata Junmyeon, ia harus meluruskan semua salah paham dan kebodohan ini.

“Ingatkah kau, Minha, bahwa setahun yang lalu….”

Dan Jongin pun menuturkan segalanya.

***

Gadis itu mendengar semua penjelasan Jongin tanpa berkomentar. Hampir lima belas menit lamanya ia duduk di tempat itu, membiarkan sang lelaki mendekapnya erat dari belakang sembari mendengar bisikan demi bisikan yang dipenuhi rasa sesal dan bersalah. Untuk saat ini, Minha benar-benar tak tahu harus berkata apa. Tak pernah barang sekali pun ia membayangkan bahwa Jongin menyimpan rahasia sebesar ini darinya. Siapa yang sangka bahwa ternyata selama setahun ini ia sudah…

“Aku tak berharap kaubisa memaafkanku secepat itu. Aku hanya ingin mengakui segalanya, Minha-ya.

…dibohongi.

“Jongin, aku….” Minha menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jatungnya yang berdentam-dentam. Di satu sisi, ia merasa senang. Senang karena akhirnya Jongin mau mengakui perasaannya, juga senang karena penantiannya selama ini terbalaskan. Namun, di sisi lain… bisakah ia memaafkan Jongin? Secepat itu?

Tapi, Jongin punya alasan, pikir Minha. Ia punya trauma tersendiri yang berkaitan dengan masa lalunya, dan aku tak bisa marah karena hal sepelik itu. Hal yang bahkan berada di luar kuasa kami.

Karena itu… bisa apa aku selain memaafkannya?

Minha mengembuskan napas panjang, membiarkan uap putih meluncur keluar dari bibirnya. Bagaimanapun juga—meskipun ini adalah keputusan yang berat—sejak awal ia sudah tahu bahwa ia pasti memaafkan Jongin. Minha tak mungkin marah padanya, tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi bersalah itu terus menetap di wajah sang lelaki.

Lelaki yang dicintainya.

Kalau begitu…

“Tak apa, Minha. Kalau kau tidak ingin memaafkanku sekarang…” Jongin menarik kedua lengannya dari bahu Minha dan berucap lirih, “Aku bisa menunggu.”

Sayangnya, aku yang tak bisa menunggu lagi, Jongin, Minha membatin pelan seraya mengulurkan tangan, tanpa sadar menahan Jongin agar tidak beranjak dari sisinya. Lamat-lamat, ia pun bangkit berdiri dan balas melingkarkan lengan di pinggang Jongin.

“M-minha….”

“Jangan. Biarkan seperti ini.”

 “Seharusnya kau marah padaku.”

“Iya, memang,” bisik Minha sambil membenamkan wajahnya pada dada bidang Jongin. “Seharusnya aku marah karena Kim Jongin benar-benar bodoh. Tidakkah kecupan singkat itu menjelaskan semuanya?”

Jongin menelan ludah. “Kurasa… aku tak berpikir jernih waktu itu.”

“Itu sudah pasti.”

Keduanya kembali terdiam. Minha masih menyandarkan kepalanya di dada Jongin, mendengarkan detak jantung lelaki itu dengan saksama. Kedua lengannya memeluk Jongin erat-erat, bersikap seolah ia tak mau kehilangan pria itu lagi. Memaafkan Jongin memang jalan yang terbaik. Lagi pula, selama setahun ini, lelaki itu mencintainya, bukan? Minha pun begitu. Mereka hanyalah dua orang bodoh yang terpaksa memendam perasaan karena rasa takut dan salah paham semata.

Jadi… apa gunanya menambah pelik suatu masalah?

“Jongin-a?”

“Hm?”

“Kautahu kenapa aku menyukai musim dingin?”

Jongin menelengkan kepalanya sejenak, mengingat-ingat ucapan Junmyeon di rumah tadi. “Karena aku menyukai salju?”

Ucapan polos Jongin tersebut sontak membuat Minha tergelak dan melepaskan pelukannya pada sang lelaki. Gadis itu tertawa renyah, kepalanya digelengkan sembari berkata, “Well, itu salah satunya. Namun, alasan utamaku adalah karena kau menyatakan perasaanmu di musim ini—tepat setahun lalu—dan kini kau juga kembali padaku di musim yang sama. Aku suka musim dingin, dan aku suka bulan Desember. Mereka mengabulkan harapanku.”

“Harapan?”

“Agar kau mengingat rasa cinta itu, tentu,” jawab Minha gemas dengan pipi bersemu merah. “Yah, meskipun pada akhirnya aku mendengar sesuatu yang tak disangka-sangka seperti ini, tapi….”

“Park Minha.”

“Ya?”

Jongin mendongak menatap langit, mendapati butir-butir salju yang mulai meluruh turun dan menceriakan suasana. Beberapa orang di sekitar mereka berteriak kegirangan, senang karena salju turun pada malam Natal. Melihat semua keceriaan itu, sebuah pemahaman pun mendadak masuk ke dalam benak Jongin.

Inikah alasan Minha menyukai musim dingin dan salju? Karena hal itu menghadirkan keceriaan? Sejauh mata Jongin memandang—tak peduli betapa  rendahnya suhu saat ini—semua orang tampak bahagia menyambut turunnya salju. Sama seperti Minha yang tengah menanti turunnya sebuah keajaiban, selalu berharap agar ia dan Jongin dapat merasakan bahagia itu berdua.

“Minha-ya, kalau kristal salju ini dapat mengabulkan sebuah permohonan—“ Jongin menangkap salju yang turun dengan telapak tangannya, lantas menyodorkan gumpalan es itu tepat di depan wajah sang gadis dan berkata, “Maka aku akan mengabulkan permohonanmu.”

Minha menatapnya dengan mata membelalak, bibirnya otomatis mengukir sebuah senyuman lebar. Gadis itu mengangguk mantap, menyatakan persetujuannya tanpa perlu berpikir panjang. “Oke, dan permintaanku adalah—“

Namun, alih-alih membiarkan Minha menyelesaikan ucapannya, Jongin malah memajukan tubuh dan mencium gadis itu. Membiarkan bibir keduanya bertemu, ciptakan desiran hangat dan lembut di tengah dinginnya angin malam.

“Aku sudah tahu permintaanmu,” kekeh Jongin kala ia menarik diri dan mengacak-acak rambut Minha. “Kau hanya ingin mendengar satu kalimat itu, bukan?”

Eum…

Jongin tertawa lagi melihat wajah Minha yang memerah padam, lantas kembali mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telinga sang gadis. Mengucapkan satu kalimat yang sudah ia pendam selama ini, mengabulkan satu-satunya harapan Minha tanpa kecuali.

“Aku mencintaimu.”

—fin


[1st Winner of Miracles in December Project - Writing Contest] Sincerity of Affectionate

$
0
0

Title : Sincerity of Affectionate

Author : Jung Sangneul

Cast : Kim Jongin (Kai (EXO-K)) || Kim Minji (OC)

Genre : Family || Life

Length : Ficlet [2000+w]

Rating : General

.

.

 

            Jongin terpaku menatap jendela yang basah. Udara di luar memberikan indikasi yang buruk, dingin, dan Jongin tidak begitu menyukainya. Ia masih bertahan di ruang keterampilan kampusnya, mengurung diri sembari menatap sisa-sisa embun yang menempel di kaca jendela. Ia menyentuhnya dan merasakan dingin menjalar, bukan hanya pada jemarinya, namun juga menelusup ke relung hatinya.

            Ia mengerjapkan mata, kemudian mengusap embun agar dapat menatap suasana kota yang terlihat dari ruangan di lantai teratas kampus ini. Salju bulan Desember menuruni kota perlahan, membuat sebagian ayunan di taman kota tertutup benda putih tersebut secara menyeluruh.

            Jongin mengembuskan napasnya. Beberapa hal di bulan Desember mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang mengisi hidupnya.

            “Jongin, bisakah kau ke sini? Dia merindukanmu, kauharus menemaninya, Ibu mohon.”

            Jongin menutup telinganya, menghirup oksigen sebanyak mungkin—bagaimana pun ia tidak ingin menghadiri panggilan sang Ibu beberapa menit yang lalu meski ia berkata ‘ya’. Meskipun terdengar munafik, tapi siapa juga yang akan tega jika sudah berada pada posisinya?

            Jongin terduduk di sudut ruangan, menggenggam erat ujung tasnya, menahan air mata yang hendak meluncur sembarangan.

            Minji.

            Dia bukan nama yang asing untuk Jongin. Dia bukan orang lain dalam hidupnya.

            “Oppa, ayolah, aku mau yang pink, aku bosan dengan yang cokelat.”

 

            Minji kecil manis dan beraroma selembut stroberi. Dia suka menggunakan bandana berwarna pink, juga beberapa koleksi Barbie yang tak hentinya Jongin cibir. Minji akan menangis mengadu pada Ibu saat Jongin melakukannya, namun di malam hari Jongin akan mengatakan satu hal, “Jangan cengeng. Suatu saat kauperlu lebih tegar, Minji.”

            Mungkin waktu itu Minji tidak tahu apa maksud Jongin, kendati umur mereka hanya terpaut beberapa menit—mereka kembar. Minji jauh lebih polos, namun Jongin yakin gadis kecil itu akan selalu mengingatnya karena ia berulang kali mengatakannya.

            Minji kecil juga suka boneka beruang, bermula sejak Jongin membelikan satu yang berwarna cokelat. Jongin tidak tahu apa itu makna saudara dulu. Ia hanya diberitahu Ibunya bahwa harus selalu menyayangi dan menjaga Minji, apa pun yang terjadi.

            Oppa, sakit. Jangan kencang-kencang.”

 

            Maka ketika Minji terjatuh dari sepedanya saat belajar bersamanya, ia mengobati luka itu. Ia mengajarkan banyak hal pada Minji, sepertinya. Ia membalut luka itu dengan perban sembari berkata, “Lukanya akan segera sembuh kalau Minji ikhlas. Terkadang Minji harus lebih sabar.”

            Jongin tidak menyadari fakta bahwa ia hanya terlahir beberapa menit sebelum Minji, namun terasa lebih dewasa beberapa tahun darinya. Terbukti Minji mengerti semua ucapan Jongin setelah ia beranjak dewasa. Ia menjadi gadis tegar ketika Ayah mereka meninggal belasan tahun yang lalu. Ia menjadi gadis yang lebih sabar ketika teman-temannya mengejeknya.

            Jongin menekuk lututnya. Dalam hitamnya bayangan ketika matanya tertutup, wajah Minji terkilas. Ia cantik saat memasuki sekolah dasar, dan Jongin menggenggam tangannya hati-hati untuk tidak menginjak kubangan air yang disebabkan guyuran hujan. Minji berambut lurus, masih suka merengek pada Jongin ketika ingin gulali atau es krim.

            “Ibu bilang tidak boleh, Minji.”

 

            Jongin menekankan itu berkali-kali, karena Ibu berpesan untuk selalu menjaga gigi mereka. Minji akan marah selama berjam-jam setelah itu, namun saat jam istirahat ia akan datang pada Jongin dan katakan ingin makan bulgogi saja jika tidak boleh es krim.

            Minji adiknya—saudara kembarnya. Jongin mengingat segala hal tentang Minji.

            Termasuk ketika hari itu datang. Mereka sudah memasuki bangku SMA. Jongin tidak menyukai pelajaran Sains, ia tidak suka Kimia. Maka ia tidak pernah tahu mengapa hari itu Minji kehilangan banyak darah yang menetes melalui hidungnya. Gadis itu terlihat pucat bahkan hingga memasuki klinik sekolah.

            Jongin hanya bisa menggenggam tangannya dan berbisik, “Nanti sakitnya akan hilang kalau Minji istirahat.” Dan Minji mengangguk pasti, gadis itu sudah dewasa.

            Tapi bagi Jongin dia tetaplah Minji kecil yang menggemaskan. Dia tetaplah adik termanisnya yang selalu ia jaga dan lindungi sepenuh jiwa. Dia tetaplah amanat dari sang Ayah, maka hati Jongin juga sakit ketika darah itu menetes untuk hari-hari berikutnya—meski frekuensinya berkurang.

            “Minji, ayolah, kita harus ke dokter. Tidak bisa dibiarkan begini.”

            Rambut Minji panjang hingga sebatas pinggang ketika ia dewasa, ia masih suka memakai bandana pink dan itu bergoyang ketika ia menggeleng. Minji tidak suka bau rumah sakit, ia punya trauma setelah sempat opname dan merasakan sakitnya diinfus ketika berumur sepuluh tahun. Minji hanya mau coklat ketika darah itu kembali mengalir, karena dengan itu ia tidak akan terlampau pucat.

            Jongin meremas bajunya ketika bayangan Minji berarak di pikirannya. Tak mampu menahan kakinya untuk segera tinggalkan ruangan itu, berlari, membiarkan semua bayangan itu berbaur menjadi satu. Biarkan saja ia munafikkan hatinya yang tadi sebenarnya menolak datang. Bagaimana jika Minji benar-benar membutuhkannya kini?

            Minji yang polos. Minji yang tidak mengetahui banyak hal seperti Jongin. Dia yang selalu mengikuti ke mana pun Jongin pergi, seolah refleksi dari kakaknya itu. Minji yang mirip dengannya, mempunyai golongan darah yang sama. Minji yang ia sayangi, ia cintai sepenuh hatinya. Minji, Minji, dan Minji.

            “Dia positif mengidap kanker hati. Obatnya hanyalah transplantasi hati.”

            Napas Jongin sesak. Hatinya terasa sakit seiring derap larinya yang semakin kencang. Minji tidak suka berlari. Berlari kadang membuatnya kelelahan dan darah itu kembali meluncur—semasa ia SMA. Maka Jongin akan selalu menarik tangan itu untuk berlari bersamanya. Atau jika memang Minji tidak kuat lagi, biarlah gadis itu naik ke punggungnya dan ia akan berlari hingga tawanya kembali terdengar.

            Jongin terlalu menyayangi Minji, ia akan melakukan apa saja untuk membuat gadis itu tertawa kembali. Di samping fakta bahwa ia mengetahui semuanya, apa yang tengah dideritanya.

            Hingga setahun kemudian, Minji bukanlah gadis yang sama lagi.

            Jongin berhenti di median yang terasa lengang, dijejaki oleh banyak pejalan kaki. Angin Desember membuatnya menggigil, ditambah salju yang mulai menghujani sebagian pundaknya.

            Oppa suka berlari, bisa menjadi atlit nantinya. Nanti Oppa akan ajak Minji makan banyak, es krim dan gulali juga, bisa kan? Minji sudah besar, Oppa.”

 

            Jongin menghela napas. Ia tidak boleh berhenti di sini. Ia akan melihat senyum Minji, sedikit lagi, anggap hanya sejengkal. Seperti sejengkal cerita Minji ketika ia pertama kali menghirup udara rumah sakit. Udaranya terlalu dingin, bisa membuat kulit Minji memucat dalam sekian menit.

            Malam itu Minji bercerita, selagi Jongin menggenggam tangannya, menemaninya dengan detak jam yang terasa menyayat hati. Karena detak jam itulah yang mengukur seberapa lama lagi Minji mampu merasakan oksigen mengisi paru-paru. Minji tidak suka rumah sakit, ia cemberut ketika Ibu memaksanya kemari dan ternyata mengubahnya menjadi pasien berseragam biru. Namun hari itu Minji tersenyum, menceritakan beberapa hal.

            “Namanya Oh Sehun, Oppa. Dia tampan, punya eye-smile juga. Oppa tidak tahu kan aku sempat menguntitnya? Tapi sekarang aku sudah ketahuan, dan dia ada di ruang sebelah. Ternyata, pasien tumor otak.”

 

            Minji memiliki orang yang disukai. Jongin ikut tersenyum saat itu, berjanji akan menemani gadis itu menemui Sehun. Sesakit apapun perasaan Jongin melihat kondisi keduanya. Minji yang kehilangan entah berapa liter darahnya, atau berapa helai rambutnya—tidak mampu Jongin hitung saking seringnya.

            “Aku mencintainya, Oppa.”

            “Memang kautahu apa itu cinta?”

            “Memang Oppa bisa mendefinisikannya?”

            Jongin hanya tertawa kala itu, kemudian berkata kalau cinta itu datang dengan sendirinya. Tidak memandang rupa atau kekayaan, pun dengan intelektualitas. Cinta itu tidak hanya untuk kekasih, tapi juga seperti dirinya. Malam itu, Jongin mengatakan mencintai Minji. Dia tidak ingin kehilangan sentuhan hangat dan rajukan manja milik gadis itu. Gadis itu adalah separuh jiwanya karena mereka berada dalam satu rahim. Karena wajah mereka mirip, hanya saja Minji sedikit lebih putih dibanding Jongin.

            Karena Minji titipan Ayah yang paling berharga.

            Rumah sakit itu masih lumayan jauh. Jongin terus berlari, tidak peduli kakinya akan patah atau bagaimana. Ia hanya ingin melihat bagaimana adiknya yang cantik sekarang. Seperti apa pun kanker itu menggerogotinya, Jongin tidak akan mengeluh lagi. Ia akan menyayangi gadis itu, menyambanginya lagi meski matanya tak kuat melihat itu semua.

            Biarkan Jongin sampai di sana dan mengucap beberapa janji. Untuk lebih memperhatikan gadis itu, untuk lebih menyayanginya, untuk selalu menjaganya. Mungkin ia hanya ingin mendekat pada Tuhan kemarin, bukan berarti ia lupa siapa Minji. Bukan berarti tak lagi menyayangi Minji. Tuhan tolong. Meski Jongin tahu ia jarang sekali mengunjungi gereja, izinkan Minji masih ada di hari natal tahun ini. Izinkan, sekali ini saja Jongin meminta.

            “Oppa!”

            Jongin menengadah dan ia tersenyum kecil. Tanpa sadar langkah kakinya telah menemui gadis yang duduk di atas kursi roda itu; Kim Minji.

            Minji mengikat rambutnya yang tipis sepunggung, senyumnya terulas di depan sang kakak. Disambut oleh rangkulan dari Jongin seraya berbisik, “Malam ini kaumau aku temani?”

            Minji mengangguk, “Aku juga mau bercerita banyak hal, Oppa.”

***

            Entah, Jongin lupa sudah ke berapa kalinya menginjakkan kaki di ruang rawat yang sama. Dia juga tidak menghitung berapa kali Minji minta ia menyetel kaset Endless Love yang mengharu-biru itu, memaksanya untuk menahan tangis. Minji hapal jalan ceritanya, dialognya, namun tak pernah sekalipun merasa bosan dengan itu.

            “Kaumau cerita apa, hm?” Jongin mengusap lembut rambut Minji, sebisa mungkin tidak merontokkan helai-helai terakhirnya itu.

            “Aku hanya rindu sekolah,” cerita Minji.

            Jongin mengernyit. Tidak mungkin. Minji sudah setahun lebih tidak menjejakkan kaki di sekolahnya, dan tidak pernah merindu. Apalagi setelah kehadiran—

            “Oh Sehun ke mana?”

            Minji tersenyum malam itu, di tengah tangis yang melesak dari bibir Song Hye Kyo dalam drama Endless Love, ia menjawab dalam ketegaran, “Dia sudah tiada tadi pagi.”

            “Aku datang ke ruang rawatnya dan suster bilang, dia sudah mengembuskan napasnya yang terakhir. Dia masih tampan, bahkan tersenyum, Oppa. Sayang kaubelum pernah melihatnya,” ujar Minji sambil tersenyum kecil. Jongin menghela napas, menahan seluruh perasaan yang ingin ia tumpahkan. Sadar bahwa ia yang telah berhasil mengajarkan Minji untuk menjadi setegar ini, sekuat karang di lautan.

            “Kata siapa? Aku sudah pernah melihatnya, Minji. Dia bahkan lebih tinggi dari diriku. Kau memilih pria yang baik.” Jongin mengelus lagi kepala Minji. Ia tahu benak gadis itu sedang risau. Ia bisa merasakannya, namun tidak ingin mengutarakannya.

            “Tentu saja. Oh ya, Oppa, aku mau menitipkan beberapa hal padamu.”

            Jongin mengerutkan kening ketika gadis itu mengambil beberapa barang dari meja nakasnya.

            “Tolong, besok ketika natal tiba sampaikan ini pada Ibu. Bilang pada Ibu, aku menyayanginya. Juga tolong berikan ini pada Minha, sahabatku itu Oppa. Aku lupa memberikannya saat masih masuk sekolah. Bisa ‘kan, Oppa?”

            “Untuk apa kau titipkan padaku? Kaubisa berikan sendiri, ‘kan?”

            “Sudahlah, Oppa. Bawa saja barang-barang ini, lalu temani aku tidur. Sini.” Minji menepuk sisa kasurnya. Salju membuat ruangan lebih dingin dari biasanya, bahkan angin bisa menembus celah jendela kaca di sebelah tas Jongin berada. Lelaki itu memasukkan semuanya, tidak mampu menghalau air mata yang merembes turun.

            Karena sesungguhnya ia tahu semua maksud Minji. Sebenarnya ialah yang paling tahu hati Minji, karena mereka terpaut dalam ikatan batin.

            “Oppa, kau tampan.”

            “Kau juga cantik.”

            Kemudian gadis itu memeluk tubuh Jongin yang berhadapan dengannya dan bergumam menyuruhnya untuk tidak pergi ke mana pun, malam ini saja.

            Jongin balas memeluknya, membiarkan kehangatan menuruni tubuh adiknya itu, biarkan kenyamanan saja yang ada. Lupakan semua masalah yang mendera hidup adiknya itu. Karena ia tahu, esok bukanlah hari yang sama lagi. Seberapa pun Jongin meminta keajaiban turun, ia sudah menangkap sinyal-sinyal itu ketika adiknya memintanya berjanji.

            “Jangan lupakan aku, jangan berhenti menyayangiku seperti ini.”

***

            Sinar mentari menghangatkan hari, dan Jongin hanya tersenyum melihat alat elektrokardiograf yang berhenti, menunjukkan garis lurus di sana. Ia melihat adiknya tersenyum dalam dekapnya, tubuhnya mendingin sepenuhnya.

            Jongin merebahkan tubuhnya, perlahan mencium kening dan pipinya sebagai tanda perpisahan terakhir.

            “Semoga kau bertemu dengan Sehun di sana, Minji. Bertemu orang yang kausukai. Rayakan natal bersamanya, sayang. Oppa mencintaimu.”

            “Jongin.”

            “Ibu, Minji menitipkan beberapa hal untukmu.”

            Dengan itu Jongin juga membuka surat yang diperuntukkan padanya.

            Kim Jongin yang tampan,

            Kau adalah kakakku, aku menyayangimu lebih dari apapun. Sekalipun aku juga mencintai Sehun, tapi Oppa telah mengisi hidupku sepenuhnya. Oppa mengajarkanku apa itu arti tegar, sabar, dan mensyukuri apa yang ada di hidupku. Terima kasih Oppa mau datang hari ini, hari ketika aku berani menulis ini. Karena aku tahu—Oppa juga pasti tahu kalau sudah tak lama lagi aku akan bertahan.

            Jika memang kematian lebih indah untukku, aku rela. Mengapa aku tak pernah ingin kau mengorbankan hatimu, karena aku menyayangimu. Kau tidak boleh mengorbankan impian-impianmu hanya demi diriku. Oh ya, jangan pernah menangisi aku, ya. Ingat, harus tegar. Percayalah kalau aku bahagia di sana nanti.

            Sudah ya, yang terpenting, aku menyayangi Oppa.

Your beloved sista,

Kim Minji

 

 

            Jongin melihat dengan ekor matanya, Ibu menangis tersedu ketika membaca surat dari Minji dan tangannya menggenggam seuntai kalung liontin—ia tahu itu hadiah untuk hari Ibu. Minji selalu memberikan kehangatan pada hidup mereka. Izinkan Minji bahagia di sana, Tuhan.

            Meski hari itu salju turun lebih lebat dan tangisan menjadi lebih dominan, Jongin tahu masih ada satu keajaiban.

            Minji tidak pernah meninggalkan mereka, selalu hidup dalam benak semua yang menyayanginya. Karena ia tetaplah gadis kecil yang polos dan memberikan tulus cintanya pada banyak orang.

            Keajaiban adalah ketika Jongin bisa merasakan tulus cinta itu menelusup relung hatinya, menghangatkan dan menenangkannya untuk waktu selanjutnya. Meski tanpa kehadiran Minji sang saudara kembar.

            “Minji, aku menyayangimu dalam setiap hembusan napasku.”

            Angin Desember terasa dingin, seiring dengan senyumnya yang tercetak dalam sekilas bayangan semu.

THE END



Baby, Im Sorry (Chapter 6)

$
0
0

baby-imsorry1

Baby, I’m Sorry

 

Tittle                           : Baby, I’m Sorry (Chapter 6)

Author                       : Jellokey

Main Cast                  :

Kim Jong In (Kai of EXO)

Kang Jeo Rin(OC)

Support Cast            :

Kim Taehyung (V of BTS)

Byun Baek-hyun (Baek Hyun of EXO)

Oh Se-hoon (Se Hun of EXO)

Lu Han (Lu Han of EXO)

Park Chan-yeol (Chan Yeol of EXO)

Park Jimin (Jimin of BTS)

And others

Length                        : Chaptered

Genre                         : Romance

Rating                         : PG17+

Disclaimer                 : Cerita ini milik saya. Dilarang plagiat dan copy paste. Don’t bash!

Poster                        : G.Lin by http://cafeposterart.wordpress.com

 

Baekhyun mendengus kesal melihat Kai yang terus mencari perhatian pada Jeo Rin yang serius memperhatikan ke papan tulis. Begitu tahu teman sebangku Jeo Rin tidak hadir, Kai langsung mengambil langkah seribu agar ia bisa sebangku dengan gadis pujaannya. Baekhyun mencolek bahu Lu Han dan Sehun yang ada di depannya. Mereka menoleh ke belakang.

“Kai menyebalkan. Apa di otaknya hanya ada Jeo Rin?” Umpat Baekhyun.

“Kau akan seperti Kai kalau sedang jatuh cinta.” Suara Sehun pelan. Ia kembali serius melihat ke papan tulis.

“Sepertinya kita harus segera melepas status single kita, Baek.” Lu Han kembali melihat ke depan.

“Aku akan melepas status single-ku kalau Min Young yang menjadi yeojachinguku.” Menggoda Sehun sedikit membuat mood Baekhyun membaik.

“Byun Baek-hyun.” Sehun menggeram. ‘Aku bosan. Kalau ada yeoja yang mirip Min Young, akan langsung kujadikan yeojachingu.’ Batin Baekhyun frustasi.

 

————–

 

“Sudah kuduga kalian ada di sini.” Kata Kai begitu menginjakkan kaki di kamar Min Young. Seperti temannya yang lain, ia masuk melalui jendela.

“Buat apa kau kemari?” Ucap Baekhyun sinis.

“Aku tidak boleh main dengan kalian?” Balas Kai. Dia sedang bad mood dan malas berdebat dengan Baekhyun.

“Biar kutebak. Kau menemui kami karena Jeo Rin kan?” Masih dengan nada sinisnya, Baekhyun sakit hati karena Kai lebih memilih sebangku dengan Jeo Rin beberapa hari yang lalu.

“Ne. Dia sibuk rapat terus.” Kai duduk di sofa.

“Ya! Kenapa kau menatapku seperti itu?” Kai tidak nyaman karena tatapan Baekhyun.

“Sudahlah, Baek. Orang yang dimabuk cinta memang begitu.” Sehun mengingatkan.

“Dia sakit hati karena kau sebangku dengan Jeo Rin empat hari yang lalu.” Ujar Lu Han yang mengerti kebingungan Kai atas sikap Baekhyun.

“Semoga Jeo Rin kembali dengan kembaranku.”

“Baekhyun, jangan mulai. Aku minta maaf.” Kai tersenyum manis.

“Ternyata ada si mesum.” Kai menatap tajam Min Young yang baru masuk ke kamar dengan membawa nampan yang terdapat empat gelas cappucino dan sepiring cookies.

“Hunnie, virus yadongnya belum menyerangmu kan?” Min Young meneliti Sehun. Kai semakin kesal pada Min Young karena menyebutnya virus yadong. Sehun menggeleng.

“Sehun, bilang pada kekasihmu tercinta kalau aku bukan sumber virus yadong. Aku penebar virus cinta.”

“Min Young tidak akan mengatakan itu tanpa alasan Kai.” Sehun merangkul Min Young yang duduk di sebelah kirinya. Pemandangan itu, membuat Kai iri dan sedih sekaligus. Dia jarang seperti itu dengan Jeo Rin. Gadis itu tidak melarang Kai untuk merangkulnya, tapi kegiatan Jeo Rin yang membuatnya tidak bisa melakukan itu. Jeo Rin tidak punya waktu untuknya. Itu menurut Kai.

“Lu Han sempit. Sana pindah.” Rengek Baekhyun. Ia, Lu Han, Sehun, dan Min Young berada di satu sofa. Lu Han menurut. Ia hendak duduk di samping Kai, tapi..

“Hannie, jangan duduk di situ. Penyakit yadongmu tidak akan sembuh kalau dekat dengannya.” Ucap Min Young dengan wajah horor. Membuat Baekhyun dan Sehun terkekeh. Tapi sayang, Lu Han lebih memilih duduk di samping Kai.

“Ya! Kau minta kuserang, Min Young?” Min Young langsung menyembunyikan wajahnya di dada Sehun. Wajah Kai berubah sendu karena itu. Jeo Rin tidak pernah manja padanya.

“Jaga ucapanmu, Kai.” Sehun mengelus rambut Min Young. Ia menampik tangan Baekhyun yang hendak mengelus rambut Min Young juga.

“Min Young, maukah kau mengajari Jeo Rin bersikap manis sepertimu?” Min Young menatap Kai bingung, yang lain juga.

“Jeo Rin.. Dia tidak pernah manja padaku.” Ucap Kai pelan.

“Sudah kubilang, kau tidak cocok dengan Jeo Rin.”

“Baekhyun!” Suara Lu Han dan Sehun kompak. Membuat Baekhyun diam.

“Dia tidak punya waktu untukku. Sekalipun kami tidak pernah kencan. Dia terlalu sibuk dengan kesiswaannya.” Semua orang di ruangan itu menatap Kai iba.

“Kau harus mengerti Jeo Rin, Kai.” Saran Baekhyun. Dia sepenuhnya mendukung Kai sekarang.

“Setiap yeoja punya karakter yang berbeda. Mungkin Jeo Rin tipe yang dewasa.” Tutur Lu Han.

“Terlalu dewasa. Aku ingin Jeo Rin seperti Min Young.”

“Kalau begitu cari yeoja lain.” Suara Sehun. Dia tidak mengerti Kai. Apa Kai benar-benar mencintai Jeo Rin? Seharusnya Kai bisa menerima Jeo Rin apa adanya.

“Mana bisa aku mencari yeoja lain. Hatiku hanya milik Jeo Rin.” Sehun menggelengkan kepalanya. Buat apa Kai mengeluh?

“Kau harus menerima Jeo Rin apa adanya.” Ucap Baekhyun. Kai mengangguk.

“Aku lapar.” Kai mengambil piring cookies dan meletakkan di pahanya.

“Ya! Itu milikku. Aku yang membuatnya dengan Min Young.” Baekhyun langsung mendapat jitakan dari Sehun. Cookies itu milik mereka bersama.

 

—————

 

Kai membersihkan air yang mengenai jaketnya. Ia terkena hujan sebelum masuk ke rumah.

“Jeo Rin sudah pulang, ahjumma?” Kai mencemaskan Jeo Rin. Hari sudah gelap dan di luar hujan deras.

“Ne, tuan.” Kai sudah tenang. Ia tidak peduli Jeo Rin diantar pulang oleh Taehyung atau tidak, yang penting Jeo Rin pulang dengan selamat.

“Tapi nona Jeo Rin kehujanan, tuan.” Perkataan Lee ahjumma membuat Kai khawatir. Dengan cepat ia menaiki tangga menuju kamar Jeo Rin. Apa Jeo Rin masih seperti dulu? Pernah Kai memaksa Jeo Rin untuk bermain hujan. Saat itu mereka sangat gembira, tapi setelahnya Jeo Rin demam. Kai yakin Jeo Rin tidak mengalami itu sekarang. Fisiknya pasti lebih kuat daripada saat Jeo Rin kecil dulu. Bisa Kai lihat Jeo Rin yang tertidur begitu membuka pintu. Ia mendekati Jeo Rin lalu duduk di tepi tempat tidur.

“Yeobo.” Panggil Kai pelan. Jeo Rin membuka matanya.

“Gwenchana?” Kai mengelus pipi Jeo Rin.

“Gwen—“

“Kau demam.” Kai dapat merasakan panas di pipi Jeo Rin. Ia juga mengecek kening Jeo Rin.

“Gwenchana, Kai.” Jawab Jeo Rin lemah.

“Kau sudah minum obat?” Jeo Rin mengangguk.

“Kenapa kau kehujanan? Apa Taehyung tidak mengantarmu pulang?” Kai akan memberi Taehyung pelajaran karena tidak mengantar Jeo Rin pulang.

“Tadi, mobil Taehyung mogok. Kami naik bus. Aku berlari dari—“

“Kenapa kau tidak meneleponku?” Potong Kai. Dia sangat cemas.

“Aku tidak mau merepotkanmu.”

“Kau tidak menganggapku, Jeo Rin.” Ucap Kai datar.

“Bukan begitu, Kai. Aku hanya—“

“Arraseo. Kau tidak mau merepotkanku.” Kai mencoba mengerti. Seperti saran teman-temannya. Kai melepas jaketnya.

“Kenapa kompres-nya tidak dipakai?” Tanya Kai karena melihat baskom berisi air dengan handuk kecil di dalamnya, di meja kecil samping tempat tidur Jeo Rin.

“Aku tidak butuh itu.” Kai meletakkan handuk kecil yang sudah ia peras di kening Jeo Rin.

“Supaya demammu turun.” Jeo Rin tidak berkata apa-apa lagi. Ia memejamkan matanya. Kai melepas sneaker dan kaos kakinya lalu masuk ke dalam selimut. Ia memeluk Jeo Rin erat.

“Kai,” Jeo Rin menatap Kai, tatapan protes.

“Biarkan aku memelukmu. Semoga Jeolinku cepat sembuh. Tidurlah.” Kai mencium pipi Jeo Rin.

“Tidur, baby. Aku tidak akan pergi.” Ucap Kai karena Jeo Rin terus menatapnya. Jeo Rin terkekeh.

“Gomawo, Jongin-ah.” Perlahan Jeo Rin memejamkan matanya.

 

————-

 

“Kai..” Jeo Rin menepuk pelan pipi Kai, berharap namja itu segera bangun sebelum ia menyiram Kai dengan air.

“Jongin-ah!” Jeo Rin mengguncang tubuh Kai.

“Bangun! Sebelum aku menyirammu dengan air!” Ia tidak yakin Kai bisa mendengarnya. Namja itu tidur seperti mayat.

“Kim Jongin!!” Kai menggeliat.

“Bangun!!”

“Yeobo, aku tidak sekolah. Aku mau menjagamu.” Ucap Kai masih dengan mata terpejam.

“Aku sudah sehat. Hari ini aku sekolah.” Kai membuka matanya. Ia mendapati Jeo Rin duduk di tepi tempat tidur, sudah berseragam. Kai mendudukkan dirinya. Mengecek kening Jeo Rin.

“Masih hangat, baby. Istirahatlah di rumah.” Kai menatap Jeo Rin khawatir.

“Aku tidak mau ketinggalan pelajaran.” Jeo Rin mengambil tasnya di meja belajar.

“Cepat mandi kalau kau mau berangkat bersamaku.” Ucap Jeo Rin sebelum keluar kamar. Kai membuang nafasnya kasar. Yeojanya itu keras kepala.

 

—————

 

“Gwenchanayo?” Entah sudah berapa kali Kai menanyakan itu dan mengecek kening Jeo Rin. Kelas sudah berakhir sejak lima menit yang lalu.

“Gwenchana, Kai.”

“Kita harus cepat sampai rumah. Kau harus segera istirahat.” Kai merangkul Jeo Rin keluar kelas.

“Kai, kau pulang duluan saja. Aku ada urusan.” Langkah mereka terhenti. Rangkulan Kai terlepas.

“Urusan apa? Rapat lagi?” Jeo Rin mengangguk ragu.

“Kau membohongiku, Jeo Rin. Jimin bilang kalian tidak ada rapat hari ini.” Kai menatap Jeo Rin kecewa. Yeoja itu baru saja berbohong.

“Aku.. Ada yang harus kubicarakan dengan Taehyung.” Kai menatap Jeo Rin tajam. Bisakah satu hari saja ia tidak mendengar nama Taehyung? Terlebih dari Jeo Rin.

“Jongin-ah, jangan salah paham.” Jeo Rin menatap Kai lembut.

“Bisakah lain kali kau menemuinya? Kau masih sakit, yang kau butuhkan sekarang istirahat. Aku yakin lima menit tidak cukup buat kalian untuk bicara.” Itu hanya alasan Kai. Intensitas pertemuan Jeo Rin dengan Taehyung harus berkurang. Pikir Kai.

“I’m okay, honey.” Kai tersentak karena panggilan Jeo Rin. Hatinya sedikit luluh.

“Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk bicara dengannya?”

“Aku tidak tahu. Kenapa harus memakai batas waktu?” Jeo Rin menatap Kai kesal.

“Kau harus memiliki waktu yang banyak untuk istirahat. Apa lima belas menit cukup?”

“Kai, aku tidak tahu berapa lama akan bicara dengan Taehyung. Aku pasti langsung pulang begitu selesai.” Kai menahan tangan Jeo Rin yang hendak pergi.

“Apa lagi?”

“Poppo.” Jeo Rin mengecup bibir Kai kilat.

“Yeobo, masih kurang.”

“Jo.. Jongin, jangan macam-macam.” Ucap Jeo Rin terbata karena Kai menciumi sudut bibirnya. Kai menempelkan bibirnya di bibir Jeo Rin, melumat bibir bawah Jeo Rin lembut. Jeo Rin mendorong Kai pelan, membuat Kai kecewa.

“Jangan tunggu aku.” Kai menatap punggung Jeo Rin yang menjauh darinya. Apa yang hendak dibicarakan Jeo Rin dengan Taehyung? Kai penasaran.

 

————–

 

“Taehyung.” Panggil Jeo Rin begitu memasuki ruangan Taehyung, membuat Taehyung bangkit dari duduknya, menghampiri Jeo Rin.

“Bogoshipo.” Ia memeluk Jeo Rin erat.

“Kau tidak pernah menemuiku selain rapat. Saat aku ingin bertemu, kau menolak. Kau seperti menghindariku, chagi.” Taehyung yakin perasaan Jeo Rin padanya masih ada. Ia akan mengembalikan perasaan itu pada tempatnya. Menguasai seluruh ruang di hati Jeo Rin tanpa menyisakan celah untuk namja lain.

“Aku tidak menghindarimu.” Jeo Rin mencoba lepas dari Taehyung tapi tidak bisa. Taehyung memperat pelukannya.

“Aku hanya ingin meyakinkan diriku.” Jeda cukup lama sampai Jeo Rin kembali bersuara.

“Kita tidak bisa seperti ini, Taehyung.”

Deg!

Perasaan takut itu datang lagi. Jeo Rin tidak mau bersamanya. Sepertinya Taehyung lupa penolakan Jeo Rin.

“Apa maksudmu?” Taehyung melepas pelukannya. Ia menatap Jeo Rin.

“Kita hanya bisa berteman, Taehyung. Tidak lebih.”

“Aku tidak bisa dan aku tidak mau jadi temanmu. Aku menyukaimu, Jeo Rin. Aku mencintaimu.” Taehyung memegang kedua bahu Jeo Rin. Menatap yeoja itu dalam, berharap Jeo Rin menarik kembali kata-katanya.

“Terima kasih karena kau sudah mencintaiku. Tapi aku tidak bisa menjalin hubungan yang lebih dari teman denganmu, Hyungie.” Jeo Rin memaksakan senyumnya. Berat, tapi Jeo Rin sudah memilih.

“Kenapa?” Suara Taehyung nyaris berbisik.

“Aku harus menjaga perasaan seseorang yang mencintaiku.”

“Apa maksudmu Kai?” Jeo Rin mengangguk.

“Kau tidak menyukai, Jeo Rin. Percaya padaku. Namja itu buruk. Dia pasti menyakitimu.” Taehyung kembali memeluk Jeo Rin. Ia tidak mau berpisah dengan yeoja itu.

“Kai berjanji untuk berubah. Kau tahu? Dia menjadikan dirimu sebagai panutannya.” Nada ceria Jeo Rin membuat peluang Taehyung semakin tipis.

“Kau tidak menyukainya.” Suara Taehyung bergetar. Namja ini sedikit cengeng.

“Aku mencintainya.” Taehyung mengeratkan pelukannya. Dia pasti salah dengar.

“Aku mencintai teman masa kecilku.”

“Jeo Rin..”

“Hyungie, mianhae.” Hanya mengelus punggung Taehyung yang bisa Jeo Rin lakukan. Pelukan mereka terlepas.

“Kita bisa berteman kan?” Jeo Rin tersenyum manis.

“Ya! Kau menangis. Hyungie, kau janji padaku untuk tidak menangis lagi.” Jeo Rin menghapus air mata di pipi Taehyung. Namja ini selalu memasang wajah coolnya kapan dan di mana pun dia berada. Tapi tidak di depan Jeo Rin.

“Hyungie..” Jeo Rin berjinjit untuk mengacak rambut Taehyung. Pertama kali Taehyung menangis di depan Jeo Rin adalah saat pembina kesiswaan mengeluarkan larangan pacaran di organisasi itu dan memarahi Taehyung yang hamper menjalin hubungan dengan Jeo Rin, sekretarisnya.

“Hyungie, kita bisa berteman kan?” Tanya Jeo Rin lagi. Akhirnya Taehyung mengangguk.

“Gomawo. Aku harus segera pulang. Annyeong.”

“Jeo Rin.” Suara Taehyung membuat Jeo Rin kembali menghadapnya.

“Aku punya permintaan.”

“Apa?”

“Aku ingin kau menciumku.. untuk yang terakhir kali.” Susah payah Taehyung mengatakannya. Ia ingin selalu bersama Jeo Rin. Taehyung memejamkan mata begitu tangan Jeo Rin mengelus pipinya. Sentuhan Jeo Rin, dia tidak akan merasakannya lagi.

“Aku menyayangimu, Hyungie.” Ucap Jeo Rin sebelum mencium Taehyung. Ia memejamkan matanya. Melumat bibir bawah Taehyung lembut. Taehyung meraih pinggang Jeo Rin, menarik Jeo Rin merapat padanya.

“Aku mencintaimu.” Lirih Taehyung setelah ciuman mereka terlepas. Detik berikutnya, ia mencium bibir Jeo Rin. Melumat bibir atas dan bawah Jeo Rin bergantian. Jeo Rin menikmati ciuman Taehyung. Setelah ini, tidak ada lagi nama Taehyung di hatinya. Hanya Kai.

“Cukup.” Kata Jeo Rin setelah mendorong Taehyung pelan. Taehyung mencium kening Jeo Rin lama lalu memeluk Jeo Rin. Ia menghirup dalam-dalam wangi shampo Jeo Rin. Stroberi. Yeoja ini sangat menyukai buah stroberi.

“Hyungie..” Jeo Rin mencengkeram blazer Taehyung saat merasakan bibir Taehyung mengecupi lehernya.

“Geuman..hh..” Terlambat. Taehyung sudah membuat jejak di lehernya. Jeo Rin mendorong Taehyung kuat. Ia merapikan rambutnya. ‘Sayang? Cinta?’ Seseorang mengepalkan tangannya kuat. Ia baru sampai di tempat itu dan harus melihat adegan panas orang yang dia cintai? ‘Kau harus diberi pelajaran Taehyung.’

“Aku harus pulang.” Jeo Rin berlari ke luar ruangan.

“Aku masih berharap padamu, Jeo Rin.”

 

—————–

 

Jeo Rin melepas blazer dan seragamnya. Ia duduk di tepi tempat tidur. Sejak tiba di rumah, Jeo Rin belum melihat Kai. ‘Mungkin dia bersama temannya.’ Jeo Rin mengelus lehernya. Ia yakin ada tanda di lehernya.

Brak!

Jeo Rin merapikan rambut, menutupi lehernya, setelah mendengar pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Ia berdiri, melihat orang yang membuka pintunya.

“Kai?” Kai menutup dan mengunci pintu kamar Jeo Rin. Ia berjalan cepat menuju Jeo Rin yang berdiri di samping tempat tidur.

“Kenapa wajahmu? Kau berkelahi?” Kai menampik tangan Jeo Rin yang hendak menyentuh wajahnya.

“Apa yang kau bicarakan dengan Taehyung?” Kai menatap Jeo Rin tajam.

“A.. Aku hanya membicarakan rencana organisasi kesiswaan.” Jeo Rin gugup, ia tidak tahu penyebabnya apa.

“Kau yakin? Lalu apa maksud kalimat ini? Aku menyayangimu, Hyungie.” Kai meniru suara Jeo Rin.

“Apa maksudmu?” Suara Kai meninggi.

“Aku.. tidak punya maksud apapun. Aku memang menyayanginya sebagai temanku.” Ya. Jeo Rin menganggap Taehyung hanya temannya sekarang. Tidak lebih. Kai tersenyum sinis.

“Kau menciumnya.” Ucap Kai pelan.

“M.. Mwo?? Jeo Rin membulatkan matanya saat Kai menangkup wajah dan langsung menciumnya. Melumat bibir Jeo Rin kasar.

“Bibir ini hanya boleh menciumku. Kenapa kau menciumnya, Jeo Rin?!” Bentak Kai. Jeo Rin sangat takut melihat Kai sekarang. Sudah jelas kalau Kai melihatnya mencium Taehyung.

“Kai, ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Jeo Rin langsung menutup kissmark yang dibuat Taehyung di lehernya begitu Kai menyibakkan rambutnya.

“Singkirkan tanganmu.” Suara Kai datar. Jeo Rin mencengkeram lehernya.

“Kenapa? Apa yang kau sembunyikan di sana?” Kai menarik Jeo Rin merapat padanya.

“Kissmark, eh?” Bisik Kai di telinga Jeo Rin.

“Kai—“ Tangan Jeo Rin menahan dada Kai.

“Kau salah paham. Aku mengakhiri hubungan tidak jelas kami. Taehyung meminta—“ Jeo Rin berhenti. Kai pasti marah. Dia memang salah.

“Dia memintaku.. untuk menciumnya.” Jeo Rin berbisik.

“Dia sudah terlalu berani menyentuhmu. Seharusnya aku membunuhnya tadi!” Mata Jeo Rin membulat. Apa maksud Kai?

“Apa yang kau lakukan Kai?” Jeo Rin mendorong Kai kuat, menuntut penjelasan. Bukannya menjawab, Kai malah menarik dagu Jeo Rin kasar. Rahangnya mengeras melihat tanda di leher Jeo Rin.

“Kenapa kau membiarkan dia membuat tanda itu di lehermu?!”

“Maafkan aku.” Jeo Rin menyesal.

“Ta..Tapi aku hanya berteman dengannya sekarang. Aku harap kau mengerti.” Jeo Rin memelas.

“Aku mengerti. Kau mengabulkannya karena hubungan tidak jelas kalian berakhir.” Kai tersenyum sinis melihat Jeo Rin yang mengangguk.

“Berarti kalau kita putus aku bisa mengajukan permintaan padamu dan kau pasti mengabulkannya?” Putus? Kai mau putus darinya?

“Kai, bukan seperti itu.”

“Aku mengartikannya seperti itu, Jeo Rin.” Kai mendorong ke tempat tidur lalu menindihnya.

“Jongin-ah, apa yang mau kau lakukan?” Jeo Rin berusaha mendorong Kai yang berada di atasnya.

“Kalau begitu hubungan kita berakhir.” Jeo Rin membulatkan matanya. Ia sudah menetapkan hatinya untuk Kai, tapi sekarang hubungan mereka berakhir?

“Dan aku mau kau tidur denganku.”

 

TBC..

 

BangKai marah!! Sisi manly-nya keluar. Mudah-mudahan kalian sependapat sama aku. Secara tidak langsung Jeo Rin punya dua namjachingu. DON’T BASH! Komen juseyo :)


[FREELANCE] Cynicalace (Chapter 1)

$
0
0

Project LN1Title : Cynicalace

Author : NadyKJI & Hyuuga Ace

Length : Chaptered

Genre : Romance, Comedy, Friendship

Rate : G

Main Cast :

Jung Re In (OC)

Geum Il Hae (OC)

Park Chanyeol (EXO)

Kim Jong In (EXO)

Disclaimer: Annyeong, ff ini adalah murni hasil pemikiran author yang kelewat sangat tinggi,  dilarang meniru dengan cara apapun, don’t plagiator. Gomawo #deepbow.

Summary :

Aku tidak membencimu. Aku hanya tidak ingin berurusan lagi denganmu. Tapi mengapa kau selalu hadir di sekitarku layaknya modul akuntansi yang selalu kubawa setiap hari. Wajahmu mengangguku tapi aku mulai merindukannya ketika wajah itu menghilang dari keseharianku. Oh, menyebalkan.

–Jung Rein–

Aku tidak sudi, aku tidak sudi, aku tidak sudi! Dia menyebalkan, cuek, dan dingin. Tapi… terkadang dia baik juga walau dengan muka datar, terlihat tulus, dilihat-lihat juga ia lumayan.. bukan, tampan… Argh! Aku menyerah, sepertinya karma itu berlaku.

–Geum Ilhae–

Sama seperti panggilannya, yeoja itu memang kelewat bodoh. Sialnya, karena terbiasa menjadi dampak dari perilakunya, aku menjadi terbiasa untuk selalu hadir di sisinya. Namun entah mengapa aku merasakan keberadaanya bagaikan pelangi dalam keseharianku yang hanya dihiasi dua warna – hitam dan putih.

–Kim Jong In–

Melihat wajah seriusnya, merasakan kesinisannya padaku. Itulah makanan keseharianku karena ulahku sendiri. well, kau memang bodoh dan gila jika bersangkutan dengan yeoja itu. Kau terlalu gila Park Chanyeol.. tapi, aku tidak keberatan gila untuknya. It’s a pleasure.

–Park Chanyeol–

Author’s Note:

Annyeeooong. Ada yang nungguin FF project duet ini ga? Kalau iya selamat akhirnya chapter 1 ini rilis!! #tebar konfenti. Semoga chapter ini tidak mengecewakan readers sekalian yaa. Di tunggu comment dan sarannya. Semakin bnyk comment, chap slnjutnya makin cepet dirilis hehehe *maunya. Okeh, sekian dari kami.

HAPPY READING ~

___

 

-:Author’s PoV:-

Cess~

Seorang yeoja dengan rambut sebahunya sedang membalik waffle yang ia sedang buat. Hanya suara pertemuan antara waffle yang berlumur mentega dengan cetakan waffle panas yang terdengar. Yeoja itu sedang menikmati heningnya pagi hari.

Dia menyukai suasana di mana dia bisa mendengar suara tarikan dan helaan nafasnya sendiri. Hening dan damai.

Jung Rein, mahasiswi Joonmyung University, jurusan accounting yang juga mengikuti klub panahan di kampusnya. Dia menyukai banyak hal, mulai dari hal sepele seperti susu rasa plan yang wajib ia minum setiap hari sampai hal kompleks mengenai debet dan kredit – makanannya sehari-hari. Di saat yeoja berumur 21 tahun lainnya sedang menggemari nail art berjam-jam di salon mahal. Dia lebih memilih membuat analisa laporan keungan tentang perusahaan dagang yang telah ia teliti beberapa bulan ke belakang sebagai nilai ujian semesternya. Dia mencintai akuntansi, karena yeoja itu memang bercita-cita sebagai seorang akuntan public yang professional.

Rein yeoja itu juga sangat menyukai karya fiksi, bahkan terkadang otaknya ia gunakan untuk menghayalkan hal-hal fiksi dari novel yang baru saja ia tamatkan malam sebelumnya –tentu saja dia tidak melakukan hal ini saat di kelas saat dosennya ceramah panjang lebar dan Rein diharuskan untuk berkonsentrasi penuh jika ia tidak mau ketinggalan mata kuliahnya. Karena dosennya memiliki prinsip, ‘Tidak ada tayangan ulang untuk ucapanku yang telah kuucapkan’. Uh! Sebenarnya harabeoji tua itu sangat menyebalkan. Sayangnya Rein sangat membutuhkan orang itu.

Kembali ke dunia fiksi yang ia buat di dalam benaknya, walaupun usianya sudah menginjak angka 21 tahun. Sekalipun Rein belum pernah memiliki namja chingu –mungkin karena ia selalu menunggu orang semacam Edward Cullen atau Jacob Black datang ke hidupnya. Hahahaha, terkadang ia pun lucu akan pemikirannya sendiri. Dia hanya terlalu banyak membaca dongeng dan fiksi. Itu saja.

Rein tersentak dari lamunannya ketika bunyi nyaring dari mesin cetakan waffle berbunyi. Dengan gerakan luwes ia mematikan mesin itu dan mengangkat wafflenya dari cetakan, menyimpannya dalam piring dan mulai memberikan toping pada wafflenya. Ia memilih selai coklat dari botol kerucut di dapurnya.

BRAK!!! “AHHHH AJDJHSDSAJCVKNVXC! YAAA APOOOOOO!”

Baru saja ia menekan botol itu, suara-suara aneh mengagetkannya yang mengakibatkan selai yang terlalu banyak berada di atas wafflenya.

Pagi tenangnya telah berakhir, dan ia tahu ini semua ulah siapa.

 

-:Ilhae’s PoV:-

Aku mengusap jempol kakiku, merasakan sakit yang luar biasa di sana.

Pagi ini aku dengan payahnya bangun telat. Menyebabkanku terburu-buru menyiapkan diriku. Mandi terburu-buru, hingga memilih baju pun asal – langsung mengambil dari tumpukan teratas. Lalu aku sedikit berlari menghampiri meja riasku – kalau bisa dibilang begitu. Isi meja tersebut hanyalah sisir dan sunblock, paling bagus bando dan ikat rambut. Sungguh tidak layak. Lupakan masalah isi meja tersebut, karena berlari itu aku malah menubrukkan kakiku ke kaki meja.

Dan kembali ke masa sekarang…

Aku terduduk di lantai kamar, memandang jempol kakiku yang memerah namun sudah tidak merasakan sakit. Menghembuskan nafas berat aku kemudian bangkit, melihat pantulan diriku di cermin. Pantulan tersebut menggambarkan diriku dengan sempurna namun tidak layak untuk dilihat sebenarnya. Rambut yang mencuat keluar akibat blow rambut kilat belum di sisir, bola mata yang sedikit efek bangun tidur, dan yang terpenting semua itu buram! Dengan kemampuan melihatku yang rendah aku mengambil sisir dan menyisir rambutku asal. Sementara tangan kananku mengurus rambut, tangan kiriku merogoh tas selempang hitam yang tergolek di pinggir ranjang. Menjelajahi isinya dengan koordinasi tangan kiri yang lemah aku akhirnya menemukan benda kotak tersebut. Aku membuka tempat berwarna hitam tersebut dan voila! Di sanalah kacamataku berada, terlipat rapih. Setelah mengenakan benda keramat bernama kacamata, akhirnya pandangan buramku sejak bangun tidur menjadi jelas.

“Andwaeyo…”

Seluruh tulangku terasa lemas. Melihat jelas tidaklah membantu kali ini, karena aku bisa melihat kamarku yang berantakan dengan amat sangat jelas. Ranjang yang belum ditata, selimut yang sudah tidak berbentuk, lemari pakaian yang tertutup tapi di bawahnya ada beberapa helai baju yang keluar, juga beberapa buku diktat yang menumpuk di meja lampu samping tempat tidur.

Dengan malas aku mengedarkan pandanganku ke sudut ruangan lain dan mendapati semuanya masih tertata dengan baik. Edaran pandanganku terhenti pada sebuah benda persegi kecil yang berada di rak buku, nyaris tertimpa novelku. Berdiri aku membenarkan letak novel-novelku menjadi berdiri sempurna dan mengambil benda persegi itu. Aku menyentuh layar ponselnya dan muncullah wallpaper bergambar kalung dengan 12 bandul menyambut. Kalau wallpaperku yang menyambut artinya aku tidak mematikan ponsel semalaman, dan seperti yang sudah-sudah, nyawa ponselku hanya tinggal 60 persen lagi. Cukup mungkin sampai aku pulang kuliah tapi sangat-sangat pas-pasan.

Dengan sangat tenang, di tanganku tiba-tiba layar ponsel yang sudah menggelap kembali menyala. Panggilan masuk.

“Yeobseo?” aku menempelkan ponselku ke telinga.

“Kau di mana? Sekarang sudah jam 8! Kuliahmu jam 08.45 bukan?” suara berat dari sebrang sana menyahut.

Langsung saja aku mendatarkan wajahku.

“Ne dan aku masih di apartemen, terlambat. Dan sejak kapan kalian jadi mengetahui jadwalku?!” aku menggertakkan gigi. Mereka? Tentu saja mereka, aku jamin di sebrang sana ada 3 namja sedang duduk di anak tangga mendengarkanku melalui loudspeaker yang diaktifkan.

“Tenanglah, apa yang kami tidak tahu? Bahkan kau yang pernah menedang kakak kelas saja kami tahu.” Suara jahil yang lebih normal menyahut.

“Ckckck. Jangan ungkit kembali itu! Itu karena dia menyebalkan! Kalian juga ada kuliah bukan? Sana pergi!”

Aku mengakhiri panggilan tidak bermutu itu dan melihat nyawa ponselku sudah berkurang 5 persen. Sebelum terpakai lagi aku langsung menlock layar ponselku dan menjejalkannya ke dalam tas selempangku, mengambil diktat yang teronggok di meja lampu.

Sebelum keluar kamar aku memandang pantulan diriku di cermin. Rambutku masih berantakan tapi tidak mencuat keluar dan lipatan mataku sudah kembali. Aku tidak menghiraukan rambutku yang masih bergelombang dan tidak pada tempatnya, mengingat waktuku yang tinggal 45 menit lagi. Aku merapikan letak tas selempang pada bahuku, memeluk diktatku dan membuka pintu kamar.

 

-:Author’s PoV:-

“Sarapan?” dengan sinis Rein melirik ke arah Ilhae yang baru saja keluar dari kamarnya.

Ilhae yang menunduk untuk memperhatikan sepatu yang dipakainya mendongak dan menyeringai bersalah. Ia sudah tahu, bahwa Rein sahabat seapartemennya itu pasti berkata sinis berkat keributan yang diakibatkannya. Tabiat Rein, yeoja itu sangat tidak ingin diganggu jika sudah memasak.

“Ehehehe, tentu saja sarapan. Masak apa?” Ilhae segera menarik kursi.

“Waffle? Isi topping mu sendiri. Ilhae-ya, apakah kau ada acara pulang nanti?” Rein bertanya dengan nada sangsi membuat Ilhae sedikit mengernyitkan keningnya bingung.

“Kalau begitu coklat! Wae Rein? Pulang kuliah…” Ilhae menggantungkan kalimatnya, konsentrasinya tertuju pada tangannya yang sedang menuangkan saus coklat ke atas waffelnya.

“Ah!” wajah Rein berubah ramah –sok ramah lebih tepatnya. “Eung, aku ada study lapangan ke salah satu perusahaan dan aku benar-benar harus mengerjakannya hari ini, tidak bisa menunda lagi Ilhae-ya…”

Ilhae menyuapkan waffle ke mulutnya, “Lalu?” tanyanya cuek, seakan-akan tidak mau tahu kelanjutan kalimat Rein.

“Ahh jebaaaaaal.” Rein mulai mengeluarkan jurus aegyo, yang menurut Ilhae sangat teramat tidak berbakat itu. “Sehari saja, gantikan akuuuuuu~”

“Gantikan apa?” Ilhae tetap cuek memakan waffelnya.

Menyebalkan, bocah ini pasti tahu maksudku. Rein menggerutu dalam hatinya.

“Distrik Gangnam no 157. Paulo’s caffe. No locker 21.” Rein kembali memasang wajah datarnya, oh tolong dia harus mengerjakan tugasnya hari ini, dan itu benar-benar tidak bisa ditunda lagi. Disisi lain dia harus bekerja part timenya, dan tak mungkin ia bolos sehari jika ia ingin menjadi pegawai teladan bulan ini. Catatan saja, pegawai teladan dengan persentase ketidak hadiran 0 setiap bulannya di café tempatnya bekerja akan mendapat bonus tambahan. Dan ia sedang sangat membutuhkan uang tambahan tersebut. “Jebal, Ilhae. Ya? Ya? Ya?” namun sedetik kemudian ketika menyadari bahwa ia harus ‘merayu’ sahabatnya ini, ia mengubah ekspresi wajahnya agar terlihat lebih memelas.

Ilhae terdiam sejenak, “Baiklah, apa saja yang harus aku lakukan?” Ilhae menghembuskan nafasnya, meneguk air putih yang tersedia disampingnya. Kalaupun ia menolak sekarang, Rein pasti akan mendapatkan cara untuk memaksanya pulang kuliah nanti.

Rein tersenyum gembira, Ilhae bahkan dapat melihat Rein bergumam ‘Oh Yeeah’ dalam sedetik.  “Ah yang kau perlukan hanya bertanya pada namja bernama Kim Jong In atau kami biasa memanggilnya Kai. Dia orang yang sangaaaaaaat baik dan pasti bersedia mengajarimu.” Rein terkekeh dalam hati ia sedikit khawatir dengan perlakuan Kai pada sahabatnya ini. Bagaimanapun Kai yang asli adalah kebalikan dari yang diucapkannya tadi. Tapi di antara semua pegawai di Paulo’s café menurut Rein hanya Kai lah yang paling bisa diandalkan. Tapi sifatnya yang sedikit dingin itu memang nilai minus sih. Sedikit, perlu di bold, se-di-kit. Tapi hatinya baik kok. Hahaha. Rein membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.

“Kartu pegawaiku.” Lalu cengiran bodoh terukir di wajahnya.

“Baiklah….” Ilhae menyipitkan matanya, nada suaranya tidak begitu menyakinkan Rein,  namun masih mengambil kartu Rein, sehingga Rein merasa gugup. Tiba-tiba Ilhae mengingat sesuatu, “Hmm, kau tahu tidak… tadi, Chen, Baek, dan Chanyeol. Gerombolan si berat itu menelepon… tidak ada kerjaan pula…” Ilhae menyeringai ketika menekankan kata Chanyeol disana. Membuat Rein yang sedang mengisi gelasnya dengan susu mendongak ditambah wajah tidak ramah.

Entah mengapa mendengar nama Chanyeol saja sudah membuat Jung Rein merasa begitu lelah. Dan untuk beberapa detik ingatan Rein melayang ke insiden yang membuatnya sangat membenci namja bernama Park Chanyeol.

“REIN-AH!”

Rein terlonjak dari lamunannya dan mendapati Ilhae yang menatapnya dengan pandangan bersalah, “Ne?” jawabnya tidak enak.

“Hmm, kau pulang dari studi lapangan jam berapa? Biar aku jemput…” tanya Ilhae menunjukkan tanda peace dengan jarinya.

“Ah dwaesseo. Tak usah repot-repot. Aku pulang agak malam.”

Ilhae memajukan tubuhnya, “Ayolah! Jam berapa!” jelas sekali seorang Ilhae sedang memaksanya.

Rein bergumam tidak jelas, tanda bahwa ia tidak setuju dengan pemaksaan seorang Geum Ilhae. “Sembilan. Kau bisa menjemputku di kampus, karena aku akan berada di sana setelah menyelesaikan studi lapanganku.” Jawabnya singkat namun jelas.

“Hmm baiklah!” Ilhae tersenyum menang, kemudian…

“YA! AKU TERLAMBAT!!!! Rein-ah, aku pergi dulu ya! Tuliskan aku pesan alamat dan detail yang tadi kau sebutkan, aku tidak ingat. Dan sampai nanti jam 9! Jangan lupa alamat café part timemu! Kalau tidak ada aku tidak akan membantumu! Dadah! Mian tidak bisa berangkat bersama pagi ini! Annyeong!” Ilhae dengan kecepatan kereta merepet tidak berhenti.

BRAK!

“Heushh.. rusuh seperti biasa.” Lalu dengan santai Rein menyuapkan potongan waffle terakhirnya. “Suruh siapa dia mengambil jam kuliah sepagi ini?”

*-*-*

Ilhae menghentikan mobilnya di depan gedung yang terlihat minimalis dengan kesan vintage. Perlahan ia membuka pintu mobilnya, ia menyipitkan matanya melihat alamat yang tertera pada layar ponselnya lalu mendongak melihat gedung yang berada di depannya untuk memastikan. Setelah seratus persen yakin, ia keluar lalu menutup pintu mobilnya dan melangkah masuk.

Cring… cring…

Suara bel berbunyi ketika pintu cafe tersebut ia dorong. Setelah memasuki cafe ia menjadi ragu, masalahnya ia bukanlah pengunjung dan bukan pegawai yang bisa dengan santainya masuk lalu menuju ruang ganti. Ia bahkan tidak mengetahui apapun tentang cafe yang baru saja ia masuki. Walaupun ia pernah berkunjung ke sini untuk menjemput Rein, ia tidak pernah repot-repot mengamati. Bola matanya bergerak liar ke kanan dan ke kiri kemudian menemukan sosok kasir dengan wajah ramah yang meyakinkan untuk ditanyai. Perlahan Ilhae menghampiri yeoja penjaga kasir itu.

“Ehm… apakah kau mengenal Rein?” Tanya Ilhae ragu.

“Ne, kau pasti temannya yang akan menggantikannya bukan?”

Ilhae mengganggukan kepalanya seperti orang bodoh dan melirik nametag yang bertuliskan Boram. Tidak menyangka kalau Rein telah menitipkannya pada seorang rekan kerjannya. Setelah menanyakan nama dan bercakap-cakap ringan, yeoja yang lebih tinggi darinya itu membimbing Ilhae masuk dan menunjukkan letak loker Rein – nomor 21.

“Disana ada seragam Rein, kenakan saja.”

Tanpa banyak bicara Ilhae mengambil seragam pelayan dari loker. Seragam pelayan berwarna hijau dengan campuran warna coklat putih, jangan lupakan nametag  bertuliskan Jung Rein disana. Setelah berganti baju Ilhae mengucir rambutnya menjadi ekor kuda untuk mempermudah pergerakannya nanti ketika bekerja.

Clek.

Ia menutup loker Rein dan menggesekkan kartu pegawai Rein pada mesin absen dan melihat catatan kerja di papan samping mesin tersebut. Pada kolom nama Rein ia melihat bahwa Rein belum sekalipun bolos dari pekerjaannya, matanya lalu menyisir kebawah dan menemukan catatan kecil disana. Wajahnya langsung saja menjadi datar begitu melihat note yang menyatakan pegawai dengan kehadiran 100 persen akan mendapatkan bonus.

Pantas saja…. batin Ilhae.

Setelah mengetahui alasan dibalik Rein yang memaksanya untuk mengantikan yeoja itu ia mengabaikannya. Ia tidak ingin mengambil pusing dulu.Sekarang yang terpenting adalah, Kim Jong In… di mana ia bisa menemukan namja itu sehingga ia bisa menunaikan tugasnya.

Tidak menemukan jejak apapun tentang Kim Jong In di ruang ganti. Ilhae keluar dari ruang ganti dan menghampiri Boram, lebih baik bertanya daripada tidak sama sekali. Ia tidak mau menjadi yeoja dengan muka bodoh yang kehilangan induk.

“Boram-ssi..”

“Ne?”

Boram menoleh ke arah Ilhae.

“Hmm, kau tahu siapa dan di mana Kim Jong In?” Tanya Ilhae sembari membaca pesan Rein untuk memastikan dirinya tidak salah mengucapkan nama asing tersebut.

“Ne dan… biasanya dia ada di atap. Sedang istirahat…”

Setelah mendengar pernyataan itu ia langsung melesat menaiki tangga yang terdapat disamping ruang ganti. Tanpa menghiraukan perkataan Boram selanjutnya.

Boram menatap bingung ke arah punggung Ilhae yang menghilang dari pandangannya sembari berguman, “Hm.. padahal aku mau memberitahu perihal pekerjaannya…”

 

-:Ilhae’s PoV:-

Aku membuka pintu berwarna abu-abu di depanku setelah menaikki sekitar satu kodi anak tangga. Atapnya terlihat nyaman sekali dengan angin sejuk yang berhembus, aku mengedarkan pandanganku di atap yang kosong dan menemukan sosok seseorang sedang bersandar di salah satu sisi dinding. Pasti orang itu Kim Jong In asumsiku, karena sejauh mata memandang aku tidak bisa menemukan orang lain.

“Hmmm, annyeong…”

Aku menghampiri sosok itu, namja itu menoleh ke arahku dengan wajah cuek terkesan mengantuk.

“Nugu?”

“Joneun… Geum Ilhae imnida… aku temannya Rein yang menggantikannya hari ini. Dan kau pasti Kim Jong In bukan? Karena Rein menyuruhku menanyakan apa yang aku kerjakan padamu.” Aku berkata ragu, terpengaruh dengan reaksi tidak ramahnya.

Srak.

Bukannya menjawab pertanyaanku namja itu malah berdiri dan berjalan menuju pintu.

“YA! Jawab aku!” teriakku sembari berjalan cepat menuju namja tidak jelas itu.

“Aku bukan Kim Jong In.”

Brak.

Aku mengerjapkan mataku tidak usah dibilang mulutku ternganga mendapati pintu sudah tertutup.

SIAL?!

Namja itu benar-benar Kim Jong In! Aku baru saja melihat nametagnya ketika ia menutup pintu.

“JUNG REIN! Kau bilang namja itu baik?! Yang benar saja! Mati kau nanti!” aku mengepalkan tanganku menarik nafas panjang.

 

-:Kai’s PoV:-

“Kai, apakah kau sudah bertemu dengannya?” aku berhenti dari langkahku dan menoleh ke arah Boram.

“Siapa?” tanyaku.

“Yeoja yang menggantikan Rein hari ini. Ia mencarimu.”

Ingatanku langsung melayang pada kejadian barusan. Kejadian saat aku sedang beristirahat dan tiba-tiba seorang yeoja menggangguku. Yeoja dengan rambut dikucir kuda asal juga kacamata yang bertengger di hidungnya itu, dengan perkataannya yang ragu-ragu…

“YA!”

Sebelum aku sempat merampungkan pemikiranku suara yeoja mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara dan mendapati yeoja yang sama dengan yang menggangguku di atap. Bagus sekali peragainya, mengganggu orang, berteriak dan yang paling bagus lagi, teriakkannya membuat seluruh pengunjung menoleh.

“Hei… apa yang kau lakukan Kai?” Boram menatapku dengan wajah penasarannya.

“Tidak ada.” Jawabku.

“NEO! NAMAMU KIM JONG IN BUKAN?”

Sebelum Boram sempat membuka mulutnya yeoja itu sudah berteriak lagi, dengan desibel yang lebih rendah namun tidak bisa dibilang layak untuk didengar. Aku memutar bola mataku melihat sekarang beberapa pengunjung sudah berbisik-bisik. Hebat!

“A.. Hmft!”

Sebelum yeoja itu mengucapkan sesuatu yang menyebalkan aku menutup mulutnya itu dan menyeretnya menuju dapur. Begitu memasuki dapur Michelle – chef cafe ini, langsung memandang penuh tanda tanya. Aku hanya melambaikan tangan menyuruhnya melanjutkan pekerjaan, dan sekarang aku akan menyelesaikan urusanku dengan yeoja asing dihadapanku.Yeoja itu merengut.

“Yeoja gila! Kau mau membuat cafe ini brangkut seketika ya?” aku langsung berkata pedas.

“Tidak bermaksud.” Jawabnya padat, sengit.

“Jadi apa yang kau lakukan sebenarnya?” tanyaku melipat tangan didada.

“Namamu Kim Jong In bukan?” tanyanya lagi.

Hah….

“Ne.”

“Lalu kenapa kau berkata bukan tadi?” debatnya.

“Karena aku tidak mengenalmu.”

“Mwo? Bukankah aku sudah memperkenalkan diri dan menjelaskan semuanya padamu?” yeoja dihadapanku semakin menatapku sengit.

“Kau orang asing, bisa saja kau orang tidak ada kerjaan yang ingin mengganggu Rein dengan bekerja hari ini lalu mengacaukan semuanya.” Jawabku seadanya.

Yeoja di hadapanku sudah ingin melancarkan kata-katanya lagi tapi tidak jadi. Ia memejamkan matanya dan mengendurkan kepalan tangannya.

“Lupakan. Sekarang kau harus memberitahuku semua yang harus aku kerjakan selama menggantikan Rein, Jong In-ssi.” Katanya perlahan.

Apa-apaan yeoja ini, ck?!

Aku tidak berminat mengajari yeoja aneh sepertinya, maka aku langsung pergi meninggalkannya menuju tempatku seharusnya – dibalik coffe machine dan teman-temannya karena pekerjaanku seorang barista. Biar saja ia meminta tolong pada Boram atau Hana yang sejam lagi akan masuk shift.

Begitu memasuki area cafe, semuanya sudah kembali normal. Para pengungjung kembali berkonsentrasi pada kegiatannya masing-masing dan Boram masih setia berdiri di balik kasir karena belum ada yang memesan sehingga ia harus merangkap menjadi waiter.

“Jadi bagaimana?” tanya Boram.

“Tidak tahu…”

“Apa yang tidak tahu?!”

Aku berdecak kesal mendengar suara memusingkan itu lagi.

“Ilhae-ssi, apa masalahnya?” Boram beranjak dari meja kasir untuk menengahi aku dan yeoja aneh itu.

Setelahnya yeoja itu menggerutu dan menjelaskan maksudnya ingin bertemu denganku. Sehingga Boram mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ehehe, bagaimana kalau aku saja yang membantumu Ilhae-ssi?” tawar Boram yang langsung membuatku lega. Seharusnya yeoja itu lebih memilih dibantu oleh Boram daripada diriku yang notabenenya tidak berminat membantunya.

 

-:Author’s PoV:-

“Tidak usah Boram-ssi. Rein menyuruhku meminta bantuan Jong In. Jadi aku akan menuruti kata Rein saja, Rein berkata Jong In ini bisa membimbingku dengan baik. Ehm aku tidak bermaksud mengatakan kau tidak bisa membimbingku.” Ilhae menjawab Boram dengan senyum palsunya.

Sedetik kemudian ia melirik ke arah Jong In dan mendapati namja itu menatapnya tidak percaya. Dan ia merasa puas! Dasar namja menyebalkan! Tidak mungkin ia membiarkannya lolos begitu saja setelah semua yang telah terjadi.

“Tidak!”

Ilhae mendelik ke arah Jong In yang menatapnya datar-cuek-malas, dan Ilhae tidak akan membiarkannya begitu saja. Tanpa banyak bicara lagi Ilhae langsung menarik celemek yang dipakai Jong In dan menarik namja itu menuju tumpukan menu dan nampan.

“Ya! Yeoja babo!” Ilhae merasakan Jong In yang menyentak celemeknya, membuat pengangannya pada celemek itu lepas.

“Jadi bagaimana? Apa saja tugas Rein?” Ilhae tanpa merasa bersalah langsung bertanya to the point.

“Cari tahu sendiri saja yeoja gila!”

“Jong In-ssi! Aku punya nama dan ppali! Beritahu apa yang menjadi tugasku di sini!” kali ini Ilhae menarik helai seragam Jong In yang berhasil digenggam tangannya.

“Ck! Baiklah siapa namamu? Dan aku punya nama yang lebih singkat untuk di ucapkan. Kai! Berhentilah memanggilku Jong In.” Sambar Kai cepat.

“Kau tidak ingat namaku? Aku sudah memperkenalkan diri.”

Kai yang ingin cepat-cepat pergi langsung berpikir, mengingat-ingat nama yeoja di hadapannya,“Hae?”

“Hash! kau tidak mengingatnya dengan benar!” tuntut Ilhae.

“Penuntut sekali! Diamlah Hae-babo!”

“Neo!” Ilhae sudah ingin sekali mencekik namja bertampang poker dihadapannya.

“Sekarang apa yang ingin kau tanyakan sebelum aku berubah pikiran! Ppali Hae Hae.”

“Jong In!”

“Namaku…” Kai sedikit mencibir, membuat Ilhae harus menahan sabar.

“Baiklah, Kai. Apa yang harus dilakukan?”

“Jika ada tamu datang hampirilah mejanya sembari membawa buku menu. Mencatat pesanan. Lalu berikan pesanannya padaku kalau berupa minuman atau pada Michele – chef yang tadi kau temui, kalau makanan. Jika ada yang meminta bill, kau tinggal memintanya pada Boram, mengantarkan pesanan…”

Ilhae mendengarkan baik-baik, tidak ingin mengambil resiko harus bertanya lagi.

“…dan kau juga harus membantuku menyiapkan minuman atau menyajikan cake jika sedang tidak melayani pelanggan.”

*-*-*

Boram yang biasanya selalu memandang bosan ke arah para pengunjung kali ini mengalihkan pandangannya dari sana. Ia memandang ke arah meja barista yang memang berdampingan dengan meja kasir. Ia sesekali tertawa melihat Kai yang selalu berdebat dengan Ilhae, yeoja yang menggantikan Rein. Ia mendapatkan tontonan baru.

“AKH!”

Boram menaikkan alisnya mendengar rintih kesakitan yang ia yakini dari Kai. Terlihat sekali Kai sedang memegang tulang keringnya sembari menatap Ilhae tajam.

“Kau yang salah menyebutkan! Jadi kau tidak berhak marah padaku!” Ilhae balik melotot kearah Kai.

“Ish! Aku bilang caramel!”

“Tidak peduli!”

Boram terkekeh sejenak, sampai ia merasakan ponsel di kantung roknya bergetar. Dengan sigap ia mengambil benda mungil tersebut. Ternyata sebuah panggilan masuk.

“Yeobseo?”

“Ah! Boram! Hari ini aku tidak bisa masuk shift sore. Bisakah kau menyuruh Rein menggantikanku?”

Boram menaikkan alisnya, kemudian melirik jam dinding. Sebentar lagi jam 6 dan pergantian shift waiter segera bergulir. Tapi…

“Ya? Aku tidak punya banyak waktu, annyeong…”

“YA! Kau Baekhee! Tidak tahukah…” tapi sia-sia sambungan telah terputus.

 

-:Ilhae’s PoV:-

“EH?” aku menoleh dari pekerjaanku mengelap meja menatap Boram.

“Iya, bisakah? Maafkan aku tapi… aku sudah menghubungi Baekhee tapi di tidak menjawab…”

Hah… sesudah menggantikan Rein sekarang aku juga harus menggantikan siapapun itu Baekhee karena biasanya Rein bersedia?

“Tenanglah, Kai juga bekerja sampai malam…”

JDAR!

Mimpi buruknya tiba, mengapa  aku masih harus berurusan dengan namja bernama Kai?! Namja dingin datar cuek menyebalkan itu?! Jung Rein! Kau bilang namja itu baik?! Kau menjebakku Rein! Lihat saja! Aku tidak bisa menjemputmu sekarang dan…

Dengan cepat satu rencana cemerlang meluncur di otakku. Cepat-cepat aku mengambil ponselku yang aku matikan untuk menghemat baterai dan mengirimkan pesan pada satu orang untuk menjemput Rein jam 9 nanti, lengkap dengan alamatnya.

Selamat menikmati suprisemu Jung Rein.

“Hae-hae! Cepat sini!”

Hash! Aku menggertakkan gigi mendengar Kai menyebutkan namaku seenaknya. Entalah namja itu tidak bisa mengingat namaku dengan benar dan aku tidak sudi mengulang sesi perkenalan, lalu berdampak dengan Kai yang selalu menyebutku Hae-Hae atau Hae-babo…

“Kau niat membantu Rein tidak sih?!”

Aku berdecak kesal, masih menggenggam ponsel, aku berjalan menuju Kai yang masih berada di tempatnya membuat minuman.

 

-:Rein’s PoV:-

Aku masih berkutat dengan beberapa jurnal di hadapanku.  Kupijat perlahan keningku, sial sekali. Mengapa hasil debit dan kredit perusahaan ‘uji coba’ ini tidak balance? Aku membuka agendaku sebentar dan aku harus menyelesaikan jurnal ini malam ini karena aku harus mengumpulkan draftnya pada dosenku besok.

Jung Rein tenanglah, tarik nafas… buang. Iya, bagus.. sekali lagi.

“Rein-ah, sudah hampir larut. Lebih baik kau tutup jurnal- jurnal itu dan segera mempersiapkan barang- barangmu untuk pulang.” Shinra, teman seperjuanganku mengingatkanku dari meja sebelahku.

“Tapi perusahan ‘uji coba’ yang ku kerjakan hasilnya tidak balance, Shinra-ya. Dan ini sedikit banyak membuatku stress.” Aku menggerutu sambil menekan-nekan pensilku ke meja dengan gerakan tidak sabar.

“Tenanglah, kau kirimkan data- datanya pada emailku nanti sesaat setelah kau sampai di rumah. Aku akan membantumu. Bagaimana pun auditing akan lebih baik jika dilakukan lebih dari satu kepala kan?” Shinra tersenyum ramah, dan aku ingin sekali memeluknya dan mengucapkan ribuan kata terima kasih padanya. Jang Shinra, dia memang yeoja yang sangat baik.

“Gomawo gomawo gomawo! Jang Shinra jjang!” Aku mengacungkan jempolku dan bergegas membereskan barang- barangku.

Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal di meja aku melangkah keluar meninggalkan rekanku yang lain yang masih terlalu serius berkutat dengan jurnalnya hingga melupakan waktu yang hampir menyentuh angka 9. Hampir sama sepertiku sebelum Shinra menegurku.

*-*-*

“Rein-ah, kau yakin akan menunggu Ilhae sendiri? Kami bisa menunggu sebentar untukmu.” Sekali lagi nada penuh perhatian yang diberikan Shinra membuatku terharu. Dia sudah berada di dalam mobil bersama Minha –namja chingunya – yang menjemputnya. Sementara tanda-tanda mobil Ilhae masih belum terlihat membuatku harus menunggu lebih lama.

“Ah, gwaenchana. Aku yakin manusia itu akan muncul dalam kurun waktu kurang dari 10 menit. Kau bisa pergi dulu, chingu.”

“Kau yakin?” suara Shinra masih terdengar sangsi.

Aku mengangguk mantap.

“Geurom, annyeong! Sampai besok,ne?” Shinra melambaikan tangannya dan mobil pun mulai bergerak.

Tiba- tiba aku mengingat Ilhae dan tugasnya menggantikanku hari ini, dan aku terkekeh geli. Bisa dipastikan Ilhae akan mengamuk padaku di detik pertama ia bertemu denganku. Mian chingu, aku tidak berbohong dengan mengatakan Kim Jong In itu baik. Kai memang sangat baik sebenarnya, hanya saja ia terlalu cuek dan dingin untuk menunjukan kebaikannya. Bagaimana pun aku telah mengenal Kai hampir 3 tahun, tentu saja aku mengetahui sikapnya.

Aku masih tersenyum sendiri sambil menebak- nebak bagaimana hari ini bagi Geum Ilhae, sahabatku. Sampai suara seseorang mengagetkanku.

“Kau bisa segera berhenti tersenyum sendiri dan segera masuk ke mobilku.” Aku menoleh cepat ke belakang dan menemukan pemandangan paling tidak mengenakkan meyambutku. Chanyeol sedang menatapku datar sambil menyender di kap mobilnya.

Apa yang manusia ini lakukan disini?

Seakan bisa membaca pikiranku, dia kemudian berkata ringan “Ilhae menyuruhku menjemputmu karena dia tidak bisa, aku tidak tahu alasannya.”

Aku merogoh ponsel putihku yang tenggelam di antara dompet dan bukuku di dalam tasku. Berusaha mengonfirmasi langsung pada sang tersangkanya, Geum Ilhae.

“Ish! Kau tidak mempercayaiku?” Chanyeol maju selangkah, dari nada suaranya aku bisa mendengar nada tersinggung di baliknya. Tapi aku tidak peduli, karena insiden itu sekalipun aku tidak pernah mempercayai namja ini“Seharusnya kau tahu aku tidak akan pernah percaya

Aku menatapnya datar. lagi padamu.”

Sambungan tersambung namun Ilhae belum mengangkatnya. Aku mencoba sekali namun sialnya, panggilanku langsung terarah ke mail box nya. Sialan yeoja ini! “Ya! Geum Ilhae!”

“Dia tidak akan datang menjemputmu, aku bisa memastikan.” Aku melonjak karena tiba-tiba saja namja itu sudah berada di sebelahku. “Jika kau ingin cepat pulang ke rumah, lebih baik kau segera memasuki mobilku.”

“Shireo. Aku lebih memilih bus dibandingkan mobilmu.” Aku berkata dingin lalu mulai melangkahkan kakiku meninggalkannya.

“YA! Kau tidak tahu sekarang jam berapa?!” Chanyeol menyusulku dan menahan pergelangan tanganku, namun aku menepisnya. Aku menatapnya dingin.

“Ilhae temanku, dia menitipkan sahabatnya padaku. Sebenci apapun kau padaku, aku harus tetap mengantarmu pulang. Karena ini permintaan temanku.” Chanyeol berkata dengan tegas seakan tidak ada cara untuk menolaknya.

“Dan aku tidak mau.” Aku mulai melangkah lagi, namun tanganku sekali lagi ditahannya. Aku mencoba menepis tapi tangannya memegang pergelangan tanganku dengan begitu erat sehingga usahaku sia-sia. Aku menggeram, aku benci sekali pada manusia ini!

“Kau tahu ini sudah terlalu larut bagi seorang yeoja untuk pulang sendiri dengan bus kota? Terlalu bahaya, bodoh!” Chanyeol menatapku tajam, aku balik menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Aku merasakan seseorang berjalan kea rah kami, aku melirik ke samping dan menemukan Sehun –salah satu temanku yang juga berada di jurusan yang sama denganku.

“Baik kalau begitu, sampaikan pada Ilhae. Aku akan pulang dengan selamat tanpa naik bus kota, aku akan pulang dengannya.” Aku menunjuk Sehun cepat.

“KYAAAAAAA!!!” Baru saja aku hendak berteriak meminta Sehun mengantarkanku pulang. Seseorang telah mengangkatku ke udara, refleks aku menjerit. Aku menoleh cepat dan melihat pelaku criminal ini tidak lain dan tidak bukan adalah seorang Park Chanyeol, yang sedang menggendongku ala bridal style.

Kemudian dia menatapku dengan tatapan aneh sambil berkata, “Hey, mengapa kau itu sulit sekali sih?”

Aku memelototinya, dan mencoba untuk berteriak meminta pertolongan. Namun usahaku sia-sia karena Chanyeol dengan sigapnya telah membuka mobilnya dan menjerumuskanku ke dalamnya. Lalu menutup pintu mobilnya, dan menguncinya. Aku mencoba keluar dari mobilnya memakai pintu di jok belakang. Tapi usahaku terlalu lamban, karena Chanyeol telah duduk di kursi pengemudi dan mengunci semua akses untuk keluar dari mobilnya.

“Mengapa kau memaksaku?! Jika karena permintaan Ilhae kau bisa berbohong padanya dan mengatakan telah mengatarkanku dengan selamat, walaupun kenyataannya aku pulang memakai bus atau bersama Sehun.” aku bisa mendengarnya, suaraku yang meninggi. Seakan-akan aku sedang membentaknya. Namun Chanyeol menyeringai, dan tersenyum kecil yang membuatku bertanya-tanya mungkinkah dia salah makan obat. Lalu dia menatapku, dan mengunci bola mataku di dalam matanya yang kelihatan frustasi menatapku.

“Ini bukan karena Ilhae. Ini semua karena aku memang ingin mengantarmu pulang. Kau tidak bisa pulang dengan bus, apalagi bersama namja tadi. Karena aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu walau hanya untuk mengantarmu pulang.”

M…MWORAGO?!

To Be Continue…


[FREELANCE] Be Mine (Chapter 1)

$
0
0

1377949_547091322036883_1472573505_n

Tittle                : Be Mine

Author             : Lianzanny

Main Cast        : Kris Wu, Mei Lian, Xi Luhan

Genre                : Friendship, Romance

Rating               : PG-13

Length               : Chaptered

Disclaimer       : I’m the owner of this storyline, notwiththe playerswhoIborrowedhis name. Theybelong only tothemselvesandGod. Fanfiction is fanfiction, would not be a true story. I just borrowed their name for the continuity of my fanfiction. So, don’t bashing, just read and if you could, please leave a trail.

You can visit me on: www.lianzanny.wordpress.com

ENJOY! ^^


Apa cinta itu sulit dicerna? Sebegitu sulitnya hingga membuatku susah untuk bernapas.
Mengapa dalam kedekatan kita, kau begitu sulit untuk kudekap?
Katakan padaku, cinta…
Bagaimana agar sedikit saja kau menoleh padaku sebagai seorang pria terhadap seorang wanita?
Sedikit saja…


 

Lian terbangun saat mendengar suara berisik di kamarnya. Dahinya mengerut, mengerang kesal dan menyuruh apapun itu untuk diam. Hari ini, ia sudah berencana untuk tidak masuk sekolah dan menghabiskan sisa hidupnya di ranjang tanpa bertemu lagi dengan Mr. Pedo Bear—Kim Seonseangnim, Guru mata pelajaran Filsafat yang amat sangat tidak ia sukai. Andaikan guru itu tidak menggoda para siswi (bahkan beberapa siswa) yang berusia jauh lebih muda darinya, maka Lian tidak akan memanggilnya seperti itu.

 

Tapi kalau dipikir-pikir, panggilan itu lucu juga. Mr. Pedo Bear. Haha—

 

Tapi suara gemerisik di ranjangnya membuat Lian terpaksa membuka mata. Samar-samar, ia melihat wajah seseorang yang hanya beberapa inci dari wajahnya. Dahinya mengerut saat manik obsidian itu menghalangi organ visualnya. Mata itu—mata yang sangat Lian kenal, begitu familier.

 

Satu nama terlintas di otaknya. Satu nama yang—

 

—Kris?

 

Tidak mungkin.

 

Ini pasti hanya ilusi optik karena gadis itu baru sadar dari bangun tidurnya, ‘kan?

 

Lian mengerjap-ngerjapkan matanya untuk melihat lebih jelas saat ilusi itu tiba-tiba memberikan cengiran maskulin yang hanya dimiliki seorang Kris Wu, yang kemudian membuka mulutnya dan tiba-tiba berseru, “Woo!”

 

Benar-benar bukan cara yang baik untuk memulai hari.

 

“AAAAAAA!!!” Lian berteriak dan cepat-cepat melompat dari ranjangnya. Penglihatannya sudah benar-benar jelas saat melihat sosok Kris yang berdiri di depannya. Di kamar Lian!

Dan Kris sudah menarik tubuhnya yang tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.

 

Uh.

 

Sebelum Lian sempat membuka mulutnya untuk melemparkan protes, Kris sudah mengangkat kedua tangannya di depan dada. Ia menyeringai jahil. “Tenang, tadi aku bertemu dengan Narin Noona, kakakmu. Dia menyuruhku masuk saja ke kamar untuk membangunkanmu,” jawabnya enteng.

 

Mulut gadis itu menganga lebar, tidak percaya. “Begitu saja?”

 

Kris mengangguk dan menurunkan tangannya. “Apa kau lupa dulu kau selalu ke rumahku untuk membangunkanku yang tidak pernah bisa bangun pagi? Aku juga tidak protes saat kau mengobrak-abrik kamarku,” katanya santai, seolah tindakan kriminalnya (memasuki lingkup kramat seorang gadis) adalah hal yang biasa, lumrah.

 

“Dulu kita masih kecil! Dan aku tidak mengobrak-abriknya, aku merapikannya, tahu.” Bantahnya malu.

 

Kris memutar bola matanya, terlihat tidak percaya. “Apa bedanya dengan sekarang? Lagipula, di mataku, kau masih terlihat seperti dulu.”

 

Lian menyipitkan matanya dengan curiga dan menggeram kesal. “Apa yang kau lakukan di sini?”

 

“Memaksamu untuk pergi ke sekolah.”

 

“Aku tidak mau.”

 

“Karena itu, aku di sini untuk memaksamu.”

 

“Pemaksa.”


“Hhh… baru musim gugur saja sudah begini dingin. Apalagi musim dingin,” keluhan itu meluncur dari mulut Lian, yang sedari tadi beberapa kali tampak menahan uapan kantuk.

Periode pertama sekolah bahkan belum selesai, Nona.

 

Kedua bola hitam kecoklatan itu tampak memandang sendu ke arah lantai yang ditapaki kedua kakinya. Siapapun pasti dapat menerka, dari wajahnya yang kusut dan mata yang sedikit berair, pemilik kedua mata tersebut tengah merasa tidak semangat. Jangan salahkan Lian. Selain karena hawanya mendukung, juga dikarenakan periode pertama adalah periode pelajaran Filsafat.

 

Sungguh, demi apapun, Filsafat adalah pelajaran nomor satu yang mampu mengalahkan efek jitu sebuah obat tidur!

 

Dan Lian langsung mengucap syukur dalam hati, tadi, ketika Guru Filsafat mendaulatnya untuk mengambil beberapa buku di perpustakaan. Lian, tentu dengan senang hati dan kelewat semangat, menerimanya. Karena ia tidak mau jika nantinya benar-benar tertidur di kelas, jika ia lebih lama berada di kelas. Selain nantinya Guru-super-duper-ekstra-eksekutif-killer-dan-menyebalkan-serta-pedofilitu akan ‘membantainya’, juga ia tidak mau mendapat malu di depan teman-teman sekolahnya.

Jadilah, ia menjalani tugas ini dengan semangat. Kelewat semangat, ketika ia sengaja mengulur-ulur waktu untuk berada di perpustakaan—sekedar menghindari berada dikelas lebih lama.

 

Soal Guru marah karena ia terlalu lelet, ia bisa beralasan berbagai macam. Misalnya saja alasan klasik semacam, ‘Saya harus ke toiletsebentar, Seonsaengnim’.

 

Pandangan sayu dan lelah Lian teralihkan dari lantai, ketika telinganya mendengar gemuruh riuh dari arah sampingnya. Gadis itu menoleh, dan mendapati sekumpulan manusia yang tengah berada di lapangan indoor Hannyoung Senior High School.

 

Lebih tepatnya, sih, lapangan basket.

 

Tetapi bukan itu yang membuat Lian terheran hingga ia memberhentikan langkah, sekedar untuk menatap lebih lama.

 

Akan tetapi terkait fakta bahwa begitu banyak murid yang berada di lapangan tersebut—terutama murid perempuan. Dengan teriakan dan pekikan klasik yang biasa diteriakan oleh para gadis yang sedang fangirling, yakni: Kyaaaaaa!

 

Memangnya ada apa?

 

Tidak akan mendapatkan jawaban hanya dengan berdiri diam di tempat, gadis itu memutuskan untuk melangkah mendekat ke arah bibir lapangan. Secara mutlak mengenyahkan kemungkinan Guru Filsafat akan murka habis-habisan padanya nanti, gara-gara ia korupsi tugas seperti ini.

 

Tetapi ini cukup mengherankan, bagi Lian. Karena, biasanya, lapangan basket tidak akan seramai ini—kecuali jika ada pertandingan dengan SMA lain. Apalagi di musim gugur begini.

Dan sepertinya… objek fangirling para siswi tersebut adalah salah satu pemain yang tampak tengah berlari-larian di lapangan basket tersebut.

 

Berhasil menemukan space kosong di antara kumpulan para siswi yang berdiri di sekitar bibir lapangan, Lian pada akhirnya mampu melihat ke tengah lapangan.

 

Tidak ada yang berbeda, sebenarnya. Hanya sebuah pertandingan basket biasa—bahkan ini bukan pertandingan antar sekolah, karena pemain juga semuanya menggunakan seragam olahraga khas Hannyoung High School. Tidak ada yang aneh. Para pemain juga sama seperti pertandingan basket biasa—berlari kesana-kemari, men-dribble bola dari ujung ke ujung lain, passing, shooting, pavot, lay up dan semua teknik umum dari permainan basket.

 

Akan tetapi, terdapat satu hal yang membuat permainan kecil ini tampak bahkan lebih mewah daripada final NBA (National Basketball Association) sekalipun—bagi Lian. Alasan yang membuat para gadis tampak semangat bersorak. Alasan yang membuat Lian sendiri, langsung tersenyum sumringah ketika menatapnya.

 

Kris Wu yang menjadi salah satu pemain dari salah satu tim.Memakai seragam olahraga hijau muda khas Hannyoung, pemuda itu tampak berlari-lari menggiring bola,sebelum melakukan passing kerekannya. Kedua kakinya bergerak lincah, melakukan gerakan-gerakan tipuan yang mampu mengecoh lawan. Hawa pagi musim gugur seolah tidak berefek pada tubuhnya yang tampak basah oleh keringat, membuat pemuda itu tampak begitu makin memesona dengan satu-dua tetes keringat yang tampak di pelipis atau dagunya. Rambutnya yang berantakan, kini terlihat makin seksi membingkai wajahnya.

 

Dan Lian otomatis langsung berteriak senang ketika pemuda itu berhasil mencetak angka melalui umpan hook shoot.

 

“AAAAA! KRISSS!” teriakan Lian seolah hendak menyaingi teriakan beringas para siswi lain yang turut senang akan pertambahan poin tim Kris. Pemuda itu tampak tertawa senang dan bahagia, ketika teman-teman setimnya melakukan celebration dengan cara menepuk pundak atau mengacak-acak rambutnya.

 

Melihat Kris sekeren dan seseksi itu, membuat Lian tidak bisa mengekang keinginan untuk berteriak-teriak dan mendukung pemuda itu sepanjang permainan kembali berlangsung. ‘Kyaaa!’ atau ‘Kereeeennn!’ atau ‘Go, Kris! Gooo!’ adalah sebagian dari banyak bentuk kalimat dukungan yang didapatkan Kris dari para fans-nya, termasuk Lian.

 

Kris tampak menggiring bola.

 

“Kyaaa! Kris! Make a point! Make another point!”

 

Kris shooting bola.

 

“Oh, Tuhan! Kau sungguh keren, Kris!”

 

Kris mengelak gesit dari incaran lawan.

 

That’s awesomely, awesome!”

 

Kris mencetak angka.

 

“KRIS! KRIS! KRIIISSS! KRI—”

 

DUKH!

 

“Ow!”

 

“BERISIK!”

 

Dan Lian tak pernah menduga, dari sekian banyak siswi yang juga berteriak fangirling-an, kenapa harus gadis itu satu-satunya yang dijadikan sasaran di mana Kai melempar bola basket dengan kesal.

 

Dan sungguh, cukup sakit. Apalagi kena muka.

 

Uh.

 

Andai saja saat itu Amy (salah satu teman sekelasnya) tidak tiba-tiba muncul di sampingnya dan segera menyeret lengannya untuk kembali ke kelas (dengan alasan sebelum Lian di-black list namanya dari pelajaran Filsafat), maka Lian pasti akan dengan senang hati membalas perbuatan Kai.

 

Jauh lebih sakit.

 

Misalnya, dengan lemparan tiga buku tebal yang tengah dipeluknya?


Benar saja dugaan Lian dan perasaan cemas Amy yang menyeret cepat-cepat Lian.

Begitu mereka sampai di kelas, Mr. Pedo Bear langsung memelototi Lian dengan sangar dengan wajah yang memerah marah. Dan gadis itu hanya meringis lebar nan garing sebagai ekspresi rasa bersalah dan malunya.

 

Beruntunglah. Karena Lian hanya dikenai hukuman membuat rangkuman dari 3 bab Filsafat dan dikumpulkan dua hari ke depan. Itu sih, cukup ringan daripada mendapati nilai ujian akhirmu di-diskon 30 persen dan kau terpaksa mengikuti ulangan perbaikan.

 

Luhan sempat menawarkan bantuan untuk membuatkan rangkuman satu-dua bab untuknya. Tetapi tentu saja, Lian menolaknya. Selain karena pemuda itu tidaklah pantas untuk turut menanggung beban Lian, juga karena pasti gagal ketika Mr. Pedo Bear mendapati betapa berbedanya tulisan tangan mereka berdua.

 

Oh ya.Tentu saja. Tugas sialan itu harus ditulis tangan—demi Tuhan, di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti ini!


Aku selalu menganggap Kris indah, seperti indahnya hutan yang masih belum terjamah atau embun yang menitik di daun pagi.

Senyumnya menyihir, mampu membuatmu melupakan kesalahannya setiap kali ia bertingkah menjengkelkan. Namun yang paling berbahaya adalah tatapan matanya yang lembut, namun tajam. Aku percaya, setiap wanita yang pernah di tatapnya secara langsung akan merasa sedikit jatuh cinta padanya.

Sayangnya, aku tidak merasakan kejatuhan itu dengan kadar sedikit. Aku merasakannya dengan kadar—seperti orang gila yang tidak bisa lagi mendapatkan kewarasannya meskipun ingin.

Aku menyayangi setiap inci dari dirinya dengan cinta yang tidak menuntut apa-apa. Karena aku menyadari, aku bukanlah wanita yang pantas untuk pria sepertinya.

Tentu saja.

Aku sama sekali tidak menarik, kutu buku, kurus, dan orang asing yang tersesat di lingkup hidupnya. Sedangkan, Kris bersinar bagai mentari pagi, memiliki tawa yang menulari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Saat itu aku tidak tahu, apakah aku sudah jatuh cinta padanya atau belum, yang kutahu jika belum adalah—bisa dipastikan aku akan jatuh cinta dengan keras detik itu juga.

Apa yang kurasakan padanya jelas tidak terasa semanis barisan puisi atau cerita roman picisan, perasaanku padanya seperti tato yang terpahat di jantung dan meninggalkan bekas yang akan selalu berdenyut perih karena ketidakmampuan untuk memiliki peredanya.

Menyakitkan. Mematikan.

Tetapi aku tidak peduli, karena aku menikmati sosoknya yang sudah terpatri.


Lian berhenti menyendok ramennya saat melihat Kris yang tengah duduk bersama dengan teman-teman satu tim basketnya. Mereka semua sedang membicarakan sesuatu yang tidak bisa Lian dengar dengan jelas,meski begitu, gadis itu tak peduli karena semua perhatiannya hanya terpusat pada Kris.

 

Lian tersenyum kecil saat memandang wajah Kris yang sekarang sedang tersenyum. Rambut cokelat keemasannya yang sudah hampir mencapai bahu membuatnya yakin kalau lagi-lagi pemuda itu lupa untuk memotongnya. Kris memang bukan termasuk orang yang memikirkan penampilannya dan selalu tampil apa adanya, namun ia selalu mampu untuk membaur dengan siapapun. Pria itu tidak menyadarinya, tapi kharisma alami yang dimilikinya benar-benar mengerikan. Hanya dengan kehadirannya, udara yang pengap bisa berubah begitu saja jadi lengang.

 

Lian hampir-hampir menjatuhkan sendoknya saat mendadak Kris tersenyum dan melambaikan tangan ke arah mejanya yang berada tak jauh dari tempat pria itu duduk.

 

Selalu seperti ini.

 

Hanya dengan tatapan itu saja, cukup bagi Lian untuk melupakan segalanya.

Dan senyuman lebar itu. Serta ekspresi ceria itu. Serta tatapan hangat itu. Bahkan gadis itu tidak yakin jika detak jantungnya mampu lebih menggila dari ini.

 

Lian melengos dan kembali menurunkan tatapannya pada semangkuk ramen miliknya. Tidak baik jika iaterus-menerus memanjakan matanya hanya untuk menatap pria itu terlalu lama. Efeknya juga tak baik untuk kesehatan jantungnya. Hhh…

 

Lian berhenti mengaduk ramennya dan cepat-cepat memasukkan semua makanan ke dalam perutnya. Ia mengalihkan pandangan dan membalikkan tubuhnya. Memekik kaget saat mendapati Luhan yang berada tepat di hadapannya. “Uh, sial! Kau mengagetkanku!”

 

Luhan hanya menyeringai. “Mianhae, Li, aku terlambat mengatakannya, tapi aku ingin berterima kasih padamu.”

 

Lian mengerutkan dahi dan mendongak. “Untuk apa?” tanyanya bingung.

 

Luhan tersenyum lebar dan membuat binar di matanya tercetak jelas. “Terima kasih karena sudah membantuku mendekati Hyekyung,” akhirnya ia menjawab. Mata hitam kecoklatannya berkilat senang.

 

“Oh,” adalah hal pertama yang bisa keluar dari mulut gadis itu. Oh, begitu. Oh, hanya itu. Oh, “itu bukan masalah besar, Lu. Di mana Hyekyung?”

 

Tiba-tiba tanpa peringatan sama sekali, Luhan merengkuh tubuh Lian. Memberikan pelukan seorang sahabat yang membuat gadis itu sesak napas. “Kau benar-benar teman terbaikku, Mei Lian!” serunya. Sekujur tubuh Lian memanas karena malu. Ia yakin sekali seluruh penjuru kantin bisa mendengar suara Luhan yang—aduhai kerasnya. Rasanya gadis itu ingin tepok jidat melihat aksi Luhan yang terlalu berlebihan.

 

Luhan melepaskan pelukkannya. Dalam hati, Lian merutuki tindakan impulsif temannya itu.

“Aku akan pergi menyusul Hyekyung, dia sedang di toilet. Setelah itu kami akan pergi ke kelas bersama,” kata Luhan penuh semangat. Ia mengedipkan sebelah matanya dan pergi meninggalkan Lian begitu saja. Tidak mengajak gadis itu, padahal faktanya; mereka bertiga sekelas.

 

Lian menghela napas panjang dan berusaha mengingatkan dirinya kalau mereka (Luhan dan Hyekyung) adalah pasangan yang sangat serasi. Dan sudah seharusnya ia turut bahagia untuk kedua temannya itu, ‘kan?

 

Saat Lian hendak berbalik dan kembali ke kelas setelah makan siangnya, tanpa sengaja atensinya menangkap satu tatapan yang tertuju padanya—tatapan yang begitu iakenal, begitu familier, dan begitu… Menawan.

 

Kris.

 

Dan ini entah otak Lian yang mulai miring atau pandangan matanya agak kabur oleh debu, tetapi gadis itu sempat melihat bahwa terdapat tatapan terluka di sana—kecewa.

Kenapa?

 

Tetapi, gadis itu memilih untuk tidak memercayai penglihatannya.

 

Sebuah senyuman terlukis di bibir Lian. Dan entah bagaimana tangan kanannya terangkat tinggi dan ia sedikit terlonjak. Niatnya sih, ingin meneriakkan nama pemuda itu—namun dengan tak ada bahkan gumaman kecil keluar dari mulutnya.

 

Keningnya bertaut bersama dengan dahinya yang sedikit mengerut. Lantas, senyuman lebar di bibirnya perlahan memudar bersama dengan tangannya yang kembali luruh-seiring dengan dilihatnya Kris yang tampak berbalik dan melenggang pergi bahkan sebelum gadis itu menyapanya.

 

Dia tidak lihat atau bagaimana?

 

Tetapi Lian yakin, teramat yakin kalau pemuda itu sempat bersitatap dengannya.

 

Tapi, kenapa…

 

Apa dia marah? Mana mungkin!

Paling juga dia sedang kedatangan tamu bulanan—PLAK!

“Hhh, Mei Lian! Otakmu bahkan sudah anjlok!”

 

Sembari menggerutu dan beberapa kali mengetuk-ngetukkan kepalanya sendiri, gadis itu lantas bergegas menuju kelasnya.

 

To Be Continued…

 


Beauty & Beast Side Story: BLACK PEARL

$
0
0

BLACK PEARL

Beauty & Beast Side Story:

BLACK PEARL

by Choi Seung Jin @kissthedeer

Genre: Fantasy, Historical, Supernatural, OOC, AU

Leght: Chaptered

Main Cast:

Tao of EXO as Edison

Other Cast:

EXO as Twelve Past Forces

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8 | Chapter 9 | Chapter 10 | Chapter 11

****

****

Edison’s POV

Aku kembali ke masa lalu. Pergi ke waktu awal lahirnya Mortem. Aku harus mencari Mortem pertama dan mempelajari tentang Mortem itu sendiri kepada leluhurnya. Memang…ini cara yang sangat kuno. Tapi sekalian saja aku berlindung dari vampire-vampire itu.

Blackhowl bersedia membantuku dengan senang hati. Dia yang membawaku ke waktu yang tepat. Sekitar 5 abad yang lalu.

Astaga, itu zaman yang lama sekali. Aku tidak pernah membayangkan untuk berkunjung ke zaman kuno seperti ini. Jika bukan karena masalah kutukan ini, aku tidak mau pergi ke zaman kuno ini.

Aku ingat sekali, aku sedang berada di kamarku. Tapi setelah kembali ke masa lalu, aku sedang berdiri di hutan yang gelap. Apa 5 abad yang lalu XOXO masih berupa hutan?

Baiklah, kalau sudah begini… aku harus kemana? Aku tidak tahu jalan kalau kondisinya masih hutan begini.

“Blackhowl! Kau tahu arahnya kemana?” Tanyaku pada serigala yang ada dalam tubuhku.

“Ehmm… Coba ke barat.”

Coba? Maksudmu kau juga tidak tahu? Dasar anjing sialan! Kalau dia sendiri tidak tahu, kenapa mengajakku kemari.

“Kau jangan asal tebak! Nanti kalau kita nyasar bagaimana?” Ucapku kesal.

“Coba saja melolong. Jika lolonganmu ada yang membalas, ikuti saja balasan itu.”

Sebenarnya disini yang bisa melolong siapa?-_- Aku atau dia?

Karena dia ahlinya, baiklah, aku akan menuruti apa yang dia bilang. “Tapi setidaknya kau bantu aku.”

 

AWOOOOOOOOOO~

 

Aku mencoba untuk tidak mengeluarkan suara setelah aku melolong barusan. Aku memasang telingaku lebar-lebar, mencoba mendengar disepinya hutan. Semoga apa yang dikatakan Blackhowl benar.

.

.

.

Yap.. Aku masih menunggu disini. Menunggu suara yang daritadi tidak kunjung ku dengar. Great! Now what?

“Punya ide lain?” Tanyaku.

“Sebenarnya… Apa perlu kita sampai ke zaman ini?”

“Bukannya kau yang mengajak??”

Apa jangan-jangan kita seharusnya tidak perlu kemari?-_- Kurang ajar!

“Sebenarnya aku tahu tempatnya. Tapi aku ini Mortem yang buta arah. Aku hanya tahu arah ke tempat yang pernah aku kunjungi,” ujarnya jujur.

“Lalu, dimana tempatnya?”

“Di lembah putih. Jika dihitung dari jarak sekolahmu, jaraknya sekitar 10 kilometer.”

Hmm.. Bagaimana bisa aku bersama Mortem yang buta arah. Ayolah, Ed! Berpikir! Aku harus cari cara untuk tahu arah yang benar.

“Oke. Anggap saja wilayah ini sekolah. Aku sedang ada di kamarku dan kamarku menghadap ke selatan.”

Tadi aku berdiri membelakangi jendela. Itu artinya aku menghadap ke utara. Gedung asrama menghadap selatan dan gedung asrama berada di sebelah kanan gedung sekolah. Maka artinya gedung sekolah menghadap ke barat.

“Jika dari gerbang sekolah, kemana arah menuju lembah putih?”

“Ke timur dari gerbang.”

Bingo! Kita dapat arahnya. Jika ke timur dari gerbang, berarti arahnya ke selatan. Hahah aku memang jenius.

 

****

Aaah… Sudah berjam-jam aku berjalan, tapi tidak ada yang namanya lembah putih sejauh ini. Aku lelah. Saking lamanya, siang hari yang panas sudah berubah jadi malam hari yang dingin.

Sebenarnya, serigala ini tahu tidak sih jalan yang benar? Kenapa dari tadi tidak sampai-sampai?-_-

Hutan ini semakin gelap saja. Aku hampir tidak bisa melihat apa-apa jika saja tidak ada bulan dan sinarnya yang sangat membantu untuk zaman batu ini. Tidak ada senter. Tidak ada lampu jalan. Tidak ada penerangan. Apa yang bisa ku lihat selain pohon?

Setelah urusan werewolf dan vampire ini, serigala itu akan ku ikat dengan rantai karena sudah membuatku kesusahan seperti ini. Astaga… Cobaan apa lagi yang akan datang padaku sekarang.

.

.

.

Aaaah!

.

.

.

Apaan ini? Kenapa ada 5 pria berpakaian aneh yang melompat tepat didepanku? Mereka muncul begitu saja dan menodong ku dengan pedang mereka.

Aku memang punya pedang, tapi mana mungkin aku melawan 5 orang sekaligus. Sial! Aku dikepung.

“Siapa kalian?” Ucapku spontan. Tanganku bereaksi dengan mengacungkan pedangku ke arah mereka yang mulai mengelilingiku.

“Seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau?” Kata salah satu pria yang wajahnya tak bisa kulihat jelas karena kondisi yang gelap.

Blackhowl, apa yang harus kita lakukan?

“Kenapa diam saja? Kau siapa? Cepat jawab!” Pria lainnya berbicara padaku dengan nada yang tegas.

Tenang, Edi. Mereka adalah 5 dari 12 Mortem pertama. Buat saja matamu merah. Mereka akan mengenalimu.

Benarkah? Mereka para Mortem pertama? Baiklah. Aku harus menunjukkan bahwa aku adalah Mortem– atau lebih tepatnya dalam tubuhku ada seekor Mortem– sebelum mereka memenggal kepalaku.

Sepertinya mataku sudah berubah menjadi merah.

Berhasil! Mereka menurunkan pedang mereka. Mereka mengenali sebagai Mortem, seperti mereka.

“Kau Werewolf?” Tanya salah satu dari pria itu. Saat cahaya bulan menerangi wajahnya, aku bisa melihatnya. Pria itu mirip sekali dengan Leo. Matanya, bentuk wajahnya, rambunya. Benar-benar mirip dengan Leo, hanya saja terlihat lebih dewasa dan lebih tua. Pakaiannya juga terlihat sangat kuno. Astaga! Kenapa dia bisa mirip sekali?

“Eh? Ehm.. Tidak secara langsung. Maksudku, aku bukan werewolf murni.” Konsentrasiku pecah karena harus memikirkan dua hal sekaligus. Aku sampai nyaris tidak tahu harus menjawab apa.

“Berapa umurmu, nak?” Pria lain mulai mendekati sisi yang diterangi oleh sinar bulan sehingga aku bisa melihat wajahnya. Pria ini mirip Kevin! Astaga! Dia benar-benar mirip Kevin. Aku berani sumpah! Tatapannya yang dingin sangat identik dengan yang kuingat dari Kevin. Dia juga memiliki tubuh yang jangkuk.

Lagi-lagi aku tidak bisa berkonsentrasi karena saking terkejutnya. Bagaimana tidak terkejut? Aku melihat dua orang yang mirip dengan dua temanku. “Eh? Em.. Umurku 17 tahun… Sir.”

Sir? Bodoh! Kenapa aku panggil Sir?

“Pakaianmu sedikit aneh. Kau berasal darimana, nak?” Pria lain berbicara. Dia melangkah mendekati dan dua orang temannya yang sudah lebih dulu menghampiriku. Kini aku bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Apa yang terjadi? Pria yang satu ini mirip sekali dengan Alex. Kulitnya yang gelap serta rahang yang khas. Apa yang lainnya juga mirip dengan teman-temanku? Jangan-jangan ada yang mirip denganku. O_O

“Emm.. Saya berasal dari tempat yang jauh, Sir. Saya…kabur dari tempat saya berasal…emm karena saya tidak terima sebagai werewolf.”

Improvisasi yang bagus, Ed. Entah aku dapat kebodohan darimana sehingga dapat menghasilkan kebohongan yang bodoh. Aku juga tidak bisa bilang aku dari masa depan. Bisa kacau urusannya kalau aku sampai merubah masa depan.

“Sebaiknya kita ajak dia ke tempat kita. Dia mungkin lelah,” kata pria-mirip-Leo memberikan usul pada teman-temannya. “Ayo, nak! Teman kami sudah memasak bubur gandum untuk makan malam.”

 

****

Aku, pria-mirip-Leo, pria-mirip-Kevin, pria-mirip-Alex dan dua orang lain yang kuketahui sebagai pria-mirip-Bernard dan pria-mirip-Richard, tiba di sebuah lembah yang ternyata adalah lembah putih. Beruntung aku bertemu para Mortem ini langsung. Sehingga aku tidak perlu nyasar dengan arahan dari Blackhowl.

Disana ada sebuah kastil tua. Hmm.. Mungkin terlihat tua menurutku yang datang dari zaman modern. Aku tidak tahu kalau ada kastil. Blackhowl tidak pernah membicarakan soal kastil. Apa mungkin di tahun 1982 kastil ini sudah hancur?

Kastilnya tidak terlalu megah dan besar. Mungkin hanya sebesar wilayah sekolah. Untuk ukuran sebuah kastil, itu ukuran yang kecil, bukan? Karena setahu ku kastil itu sangat besar dan megah. Well, itu yang ku baca di buku cerita dan dongeng.

Aku diajak masuk melalui pintu kayu besar melewati sebuah jempatan kecil. Kastil ini dikelilingin parit selebar sekitar 2 meter. Apa mungkin di dalam parit itu ada buaya? Biasanya kan begitu.

Kaki pertama kali berpijak pada aula yang terlihat sangat klasik. Penerangan disana hanya dari obor dan lilin-lilin yang mungkin jumlahnya ratusan supaya bisa menerangi seluruh kastil.

Ah.. Hebat.

Pria-pria itu mengarahkan kembali langkahku memasuki ruangan lain di kiri aula besar tadi. Ruangan itu adalah ruang makan dan disana sudah ada 7 orang pria yang duduk bersiap untuk makan malam.

Astaga! Wajah mereka semua…

Tiba-tiba kepalaku pusing. Wajah mereka semua mirip seperti teman-temanku. Will, Francis, Mike, Stephan, Donald, Thomas, dan…. Astaga naga! Ada pria dengan wajah yang mirip denganku. Kakiku sampai gemetar begini melihat penampakan wajah teman-temanku di zaman kuno ini.

“Akhirnya kalian kembali!” Pria-mirip-Thomas itu menyambut kami– atau lebih tepatnya teman-temannya– dengan hangat disertai dengan senyum yang dalam ingatanku sama seperti apa yang pernah Thomas berikan padaku dan teman-temanku lainnya. Ternyata bukan hanya wajahnya saja, sifatnya bahkan juga mirip.

“Kalian membawa tamu rupanya.” Pria-mirip-Mike menyadari kehadiranku yang seperti anak yang hilang.

“Kami bertemu pria muda ini di hutan. Dia berasal dari negri yang jauh. Dia berkelana seharian. Tidak ada salahnya kami ajak kemari,” kata Pria-Mirip-Kevin seraya menepuk pundakku pelan. Dia melangkahkan kakinya menuju tempat duduknya dan untuk sekilas melirikku seperti isyarat mengajakku untuk bergabung di acara makan malam itu.

“Benarkah? Kau pasti lelah, nak. Siapa namamu?” Ucap Pria-mirip-Mike dengan ramah. Tidak beda jauh dengan Mike yang ku kenal.

Dari pertanyaan yang diberikan pria itu, aku menjawab “Edison, sir.”

“Duduklah!”

Ku taruh ranselku didekat pintu ruang makan dengan pedang milikku yang kuletakkan tepat diatasnya. Aku duduk di salah satu bangku yang kosong. Posisinya tepat disebelah pria-mirip-Leo.

Ada sedikit rasa canggung sebenarnya. Untuk sekarang aku bingung harus berbuat apa selain ikut menikmati makan malam. Niatku pergi ke zaman ini tiba-tiba menghilang dari otakku. Mungkin karena aku terlalu terkejut melihat ada 12 orang dari zaman kuno– yang entah di tahun berapa– yang memiliki wajah yang sangat mirip dengan aku dan ke-11 temanku yang berasal dari tahun 1982. Padahal tidak mungkin kami memiliki hubungan darah. Kalaupun ada, garis keturunannya akan sangat jauh sehingga mustahil mempunyai wajah semirip itu.

Untuk sekarang, aku bingung harus memulai dari mana tujuanku jauh-jauh datang ke zaman ini. Kepada siapa aku harus bicara terlebih dulu. Tidak mungkin jika aku bicara langsung ke duabelas orang yang kini sedang menyantap makan malam mereka.

Ada satu hal lagi yang masih mengganjal di pikiranku. Apa benar mereka lah mortem pertama?

****

Pria-mirip-Leo (sebenernya aku tidak mau memanggilnya begitu, tapi aku sendiri tidak tahu namanya) tiba-tiba mengajakku ke puncak kastil setelah makan malam. Entah kenapa dia membawaku kemari.

Saat makan malam tadi, aku tidak bicara banyak. Aku lebih memilih untuk diam dan mendengarkan 12 orang yang makan malam bersama ku mengobrol satu sama lain. Contohnya saja saat mereka mulai membicarakan soal kemiripan ku dengan salah satu anggota mereka. Mereka juga sedikit terkejut. Bagaimana tidak. Aku saja terkejut, apalagi mereka.

“Jadi…” Kataku yang terdengar seperti bergumam sendiri. Udara malam di zaman ini lebih dingin daripada yang kuingat di tahun 1982.

“Saya ingin minta maaf sebelumnya.” Dia meminta maaf kepadaku sebagai pembuka percakapan ini, tapi…untuk apa?

“Untuk apa, sir?” Tanyaku mencoba sopan.

“Maaf karena saya sudah lancang membaca pikiranmu.”

Jlebb..

Dia…membaca pikiranku? Apa itu artinya dia tahu kalau aku dari masa depan?

“Kau bukan dari zaman ini. Iya, kan?”

Aku diam. Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Aku sudah ketahuan.

“Tidak masalah. Aku bisa mengerti kenapa kau datang ke waktu ini. Kau akan aman disini untuk sementara.”

Dia benar-benar tahu alasan kedatanganku kemari. Dia membaca semua pikiranku. Tapi beruntung dia bisa menerima kal itu. Jika tidak, mungkin aku akan mati dicabik-cabik.

“Kau tidak usah takut akan kami bunuh.”

Eh? Dia tahu apa yang ada di kepalaku? Astaga. Aku jadi malu sendiri.

“Kau lebih kuat dari kami. Bahkan kau bisa melawan kami berduabelas sendirian.”

“Benarkah? Ku rasa tidak, sir. Saya hanya bocah 17 tahun yang selama hidupnya telah hidup dengan werewolf dalam dirinya. Saya bukan Mortem murni. Bahkan saya tidak seharusnya disebut Mortem.”

Yang ku katakan benar, kan?

“Jika kau memiliki kekuatan yang besar, kenapa kau sampai dikejar-kejar oleh sekelompok vampire yang membuatmu kabur ke zaman ini?”

Aku terdiam–lagi. Mungkin aku memang dikejar-kejar hingga kabur ke sini. Tapi kekuatanku tidak sebesar itu. Tidak sebesar para Mortem pertama.

“Kami– Mortem– bukanlah makhluk murni yang seperti kau bayangkan. Kami jauh lebih buruk dan hina.”

Kali ini aku mencoba mendengarkan. Saat pria Mortem itu merendahkan dirinya dan kesebelas temannya yang lain.

“Apa di zaman mu, kau pernah mendengar legenda tentang duabelas ksatria yang berasal dari dunia asing?”

Aku menggeleng tanda tidak tahu. Tapi aku kurang yakin apa aku pernah mendengar kisah itu atau tidak. Mungkin aku pernah mendengar cerita itu di suatu tempat atau mungkin tidak pernah.

“Aku tidak heran kenapa kau tidak pernah mendengar legenda itu.” Dia terkekeh pelan.

“Kami adalah 12 ksatria dari negri bernama EXO. Negri yang indah sebenarnya. Letaknya ada di antara bintang.”

Dia menujuk ke arah langit yang penuh dengan bintang. Dia seakan menimaksud EXO ada di luar angkasa sana. Jangan-jangan mereka alien.

“EXO adalah negri dimana 4 musim terjadi secara bersamaan sehingga EXO dibagi menjadi 4 negara. Kau bisa menemukan banyak hal disana. Tentunya lebih baik daripada disini.”

“Jika di sana jauh lebih baik, kenapa kalian kemari?” Tanyaku penasaran. Memang benar kan? Jika mereka lebih nyaman disana, kenapa harus pindah ke bumi?

“Kami di kirim ke sini sebagai tindakkan evakuasi. EXO sedang terjadi perang besar. Perang terbesar yang pernah terjadi.”

 

Perang besat terjadi di planet EXO. Kegelapan ingin menguasai negri yang indah dan penuh dengan cahaya itu. Duabelas ksatria tertinggi bertarung denga seluruh kekuatan mereka untuk mempertahankan planet mereka.

Namun kekuatan kegelapan lebih besar dari yang mereka perkiraan. Banyak prajurit yang gugur dalam perang besar itu. Raja Agung planet EXO mengirim keduabelas ksatria ke planet lain bernama bumi tanpa sepengetahuan para ksatria itu sendiri. Saat mereka sedang bertarung dengan makhluk-makhluk kegelapan, cahaya terang membawa mereka ke bumi. Sejak saat itu, keduabelas ksatria planet EXO tinggal di bumi hingga sekarang.

 

Aku antara percaya dan tidak percaya dengan cerita pria ini. Apa benar di galaxy sana ada planet yang bisa ditinggali oleh makhluk hidup bahkan makhluk hidup seperti dia?

“Lalu, bagaimana planet EXO sekarang? Perangnya sudah selesai?” Tanyaku lagi. Wajar saja kalau aku banyak bertanya.

“Mungkin sudah selesai. Dan mungkin planet EXO sudah tidak ada sekarang.”

“Oh.. I’m sorry about your planet.” Dia hanya terkekeh pelan.

Lalu, jika sebenarnya mereka ini adalah ksatria-alien, bagaimana mereka bisa menjadi seorang werewolf?

“Kami menjadi seperti ini karena serangan sekelompok werewolf. Berberapa hari setelah kami tiba di bumi, kami di serang oleh sekelompok werewolf. Kami tidak bisa membalas serangan mereka karena kekuatan kami saat itu sedang melemah.”

Lagi-lagi dia bisa mengetahui apa yang ada dipikiranku. Huft.. Oke. Sekarang ini aku masih setia mendengarkan cerita pria yang mungkin umurnya berbeda puluhan tahun dariku. Karena biasanya alien bisa hidup ratusan tahun.

“We are infected. Kami berubah hanya dalam waktu semalam.” Dia berhenti dan mulai terkekeh pelan lagi. Seperti mengingat kejadian konyol yang terjadi dalam kenangannya. Mungkin.

“Pada awalnya, kami tidak bisa mengendalikan diri kami sendiri. Kami bahkan menghancurkan sebuah desa karena hal itu.

“Tapi pada akhirnya kami mulai belajar untuk mengendalikan diri dan menyadari bahwa kami adalah bukan werewolf biasa. Kami menjadi werewolf jenis yang baru. Kami werewolf dengan kekuatan besar. Jelas sangat berbeda dengan werewolf seharusnya.”

Jadi… Mortem benar-benar bukanlah makhluk murni. Pada intinya, mereka seperti werewolf lain. Bedanya mereka punya kekuatan yang tidak dimiliki werewolf lain.

“Boleh ku tanya sesuatu?” Dia berbicara lagi, tapi kali ini bertanya.

Ku jawab, “Tentu. Silahkan!”

“Apa yang sebenarnya membawamu ke sini, nak? Apa yang ingin kau pelajari?”

“Aku ingin mempelajari tentang Mortem. Aku ingin mengendalikan mereka dan melindungi mereka dari incaran vampire, terutama aku dan Mortem milikku,” jawabku mantab dan penuh keyakinan.

Aku pernah membaca di buku. Jika ada orang yang menanyakan tujuan kita, itu artinya dia sedang menguji kita. Semacam tes, apakah kita pantas untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan atau malah sebaliknya. Aku jawabanku bisa meyakinkan pria yang sedang berdiri di depanku.

“Aku tidak tahu apa yang bisa katakan padamu. Tapi aku punya saran. Pergilah ke zaman yang lebih muda. Kau harus belajar dari orang sudah mempelajari kami. Kami belum belajar banyak. Aku ragu, apa aku bisa memberimu sebuah pelajaran. Tapi kau bisa mencarinya sendiri.”

“Apa anda benar-benar tidak bisa membantu saya?”

“Sayangnya tidak. Tapi pasti ada seseorang yang bisa membantumu. Percayalah! Tetaplah di wilayah ini saat kau pergi. Aku yakin kau akan bertemu dengan orang-orang yang menjaga kastil ini saat kami sudah tidak ada dan tahu banyak tentang kami lebih dari kami sendiri.”

Aku mengangguk paham. Akan ada perjalanan waktu lagi sehabis ini. Dan perjalananku masih panjang sampai aku kembali dengan semua yang aku dan teman-temanku butuhkan untuk melawan para vampire.

Pria itu mengulurkan tangannya kepadaku dan aku menyambut tangan itu dengan senang hati dan penuh rasa hormat karena bisa berhadapan langsung dengan Mortem pertama dalam sejarah.

“Good luck, kid.” Dia menepuk pundakku penuh keyakinan. Aku tambah semangat.

“Jika kau sudah kembali ke zaman mu sendiri, titip salamku untuk temanmu yang bernama Leonardo.”

Eh?

*****

Aku pergi ke tahun 1700-an. Ya.. Kira-kira segitu. Karena aku pergi ke 200 tahun setelah adanya Mortem pertama. Seperti yang dikatakan pria-mirip-Leo, kini berdiri didepan kastil para ksatria-alien yang Mortem itu. Namun kastil itu sudah menjadi semacam kuil para Mortem. Hampir tidak ada yang berubah, sebenarnya. Bedanya hanya kastil itu terlihat lebih tua namun lebih bersih. Mungkin karena sering dirawat.

Baiklah. Aku tidak ingin membuang waktu. Lebih aku cepat masuk ke dalam. Semakin cepat aku mendapatkan ilmu yang ku butuhkan, semakin cepat aku pulang.

Langkahku kembali membawaku ke dalam kastil itu. Selama 200 tahun, apa yang ada di dalam kastil telah berubah banyak.

Di dalam kastil ada dua kakek-kakek yang berdiri ditengah-tengah aula. Sepertinya mereka menyadari kedatangan ku dan langsung menatapku yang berdiri di pintu besar dengan pedang yang kuikatkan dipinggang. Mereka menatapku dengan tatapan yang ragu, kemudian saling menatap satu sama lain.

“Selamat datang, anak muda,” kata salah satu kakek disana.

Well, mereka menyambutku dengan baik. Tidak ada alasan untukku tidak masuk ke dalam, bukan?

Tempat ini lebih mirip dengan museum sekaligus sebuah kuil tentang para Mortem pertama ketimbang sebuah kastil.

“Ada yang bisa kami bantu?” Tanya salah satu kakek ramah padaku.

Aku tidak ingin membuang kesempatan. “Aku ingin belajar tentang Mortem. Kalian bisa mengajariku?”

Dua kakek itu diam dan saling menatap. Apa ada yang salah dari ucapanku sampai mereka beraksi seperti itu. Seperti ucapanku barusan mengingatkan mereka pada sesuatu.

“Hmm.. Siapa namamu, nak?”

Aku menjawab santai, “Edison.”

Ekspresi mereka seketika berubah saat mendengar namaku. Apa namaku mengingatkan mereka pada sesuatu atau apa?

“Tuan muda. Maaf atas ketidak sopanan kami.”

Eh? Kenapa mereka minta maaf? Dan kenapa mereka memanggilku Tuan muda?

“Kami sudah menunggu kedatangan anda kemari. Mari kami tunjukan seluruh isi kastil ini, Tuan.”

Aneh, sebenarnya. Mereka mengajakku berkeliling kastil ini dengan berlakuan yang khusus dan mereka bersikap lebih sopan dan hormat. Aku masih bingung dan belum mengerti kenapa mereka memperlakukanku seperti itu.

“Mortem pertama telah meramalkan akan ada seorang anak muda laki-laki yang ingin belajar tentang Mortem demi melindungi Mortem. Laki-laki yang mengenakan atasan putih dan celana hitam, membawa tas dan sebuah pedang yang indah.”

Ciri-cirinya mirip sepertiku. Sekarang aku sedang mengenakan kemaja putih dan celana hitam. Apa ramalan yang dimaksudkan itu aku? Artinya pria-bernama-Leo itu sudah memperingati bahwa aku akan datang.

“Kami merasa terhormat bisa menerima tuan disini. Kami akan membantu semampu kami.”

“Baiklah. Aku ingin tahu semua tentang Mortem, apa saja yang bisa dilakukan Mortem, dan bagaimana aku bisa menggunakan kekuatan Mortem untuk mengalah vampire.” Aku benar-benar tidak ingin membuang kesempatan ini. Aku harus memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin. Supaya aku dan dan temanku yang lain bisa menghancurkan para vampire dan mengakhiri kutukan ini.

“Maaf, tuan. Jika boleh saya sarankan, lebih baik pedang tuan saya bawa ke ruang bawah tanah. Saya tahu apa yang harus saya lakukan dengan pedang Tuan supaya Tuan bisa bertarung dengan vampire.”

****

“Dulu, salah satu dari Mortem pernah dikurung dalam jiwa seorang anak laki-laki. Hebatnya, dia bisa bertahan hingga 100 tahun hidupnya begitu pula dengan anak itu. Sama seperti anda, Tuan. Dia telah memberikan banyak pengaruh bagi para Mortem.”

Salah satu kakek mengajakku berkeliling kastil ini selama—mungkin—hampir 3 jam sambil menjelaskan semua yang ada di dalam kastil tua itu. Sekarang dia membawaku ke sebuah ruangan yang menurutku lebih mirip seperti ruang pameran. Di dindingnya terdapat banyak lukisan-lukisan dan salah satunya adalah lukisan seorang laki-laki berambut hitam dan bermata hijau.

“Dia pria yang baik. Sayangnya dia meninggal 5 bulan yang lalu.”

Jika dia sama sepertiku, aku harus mempelajari tentang laki-laki yang ada di lukisan itu. Aku ingin mempelajari apa yang dia pelajari.

“Ceritakan semua yang telah beliau pelajari!”

“Dengan senang hati.” Kakek itu berjalan menuju sebuah tempat membaca yang mirip seperti sebuah podium ramping yang diatasnya ada sebuah buku tua.

“Beliau menulis semuanya disini.” Dia membuka buku itu. Buku itu tidak terlalu tebal. Tidak setebal buku tua milik Pak Jim yang pernah ia tunjukkan berberapa waktu lalu.

“Mortem dalam tubuh inang, dengan sendirinya akan membelah menjadi dua wujud. Wujud pertama adalah wujud manusia Mortem yang bisa dikeluarkan oleh beliau sendiri. Wujud kedua adalah wujud Mortem tak berjiwa yang tidak bisa meninggalkan tubuh penjaranya. Intinya, Mortem bisa saja keluar dari tubuh inangnya dalam wujud manusia, namun tidak dengan wujud Mortemnya yang akan terus melekat pada tubuh inangnya.”

“Jadi, Mortem bisa keluar masuk dari tubuh inangnya dengan mudah?” Pengetahuanku tentang Mortem kini bertambah, tapi aku belum puas. Pasti masih banyak lagi yang bisa ku pelajari.

“Apa itu artinya aku tidak bisa bebas dari wujud Mortem?” Tanyaku penuh harapan. Namun yang ku dapat hanyalah gelengan lesu seorang kakek.

Ah, sial! Kalau begini, ini sama saja aku tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari perjalanan melelahkan ku ini.

“Sebenarnya, tuan, anda tidak perlu mempelajari berbagai ilmu untuk menguasai Mortem anda. Kau hanya perlu memahaminya dan biarkan menyatu dengan jiwamu. Meski pada akhirnya anda tidak bisa terlepaas dari wujud Mortem, tapi setidaknya anda bisa mengendalikannya dan membuatnya keluar jika anda membutuhkannya saja.”

Kata-kata bijak orang tua selalu berhasil menjernihkan pikiranku yang sudah terlanjur kusut akibat masalah yang selama ini ku hadapi. Aku harus menguasai Mortem ku sendiri. Begitu, kan intinya?

“Tuan.” Aku berbalik dan mendapati kakek yang satu lagi telah kembali dengan pedangku setelah 3 jam terakhir membawa pedangku entah kemana. “Pedang anda sudah siap.”

Aku meraih pedangku dari serahan kakek itu. Pedangku tidak terlihat ada perbedaan dari yang kuingat 3 jam yang lalu. Mungkin hanya sedikit berat. “Sebenernya, apa yang kau lakukan pada pedangku, kek?”

“Saya ini adalah seorang pandai besi yang telah lama mengabdi untuk kastil ini. Saya telah membuat ulang pedang anda dengan tambahan perak murni. Perak murni bisa membunuh vampire dengan hanya sekali tusukan. Gunakanlah pedang ini saat berperang nanti, tuan.”

Perak murni? Keren! Aku menarik pedangku dari sarungnya. Pedang ini memang terlihat lebih indah dan—pastinya—keren. Aku tak sabar menunjukkan pedang ini kepada Kevin, Leo dan Pak Jim. Tapi, tunggu!

“Bagaimana kau tahu kalau aku akan berperang dengan vampire?”

“Sudah diramalkan oleh para leluhur, tuan. Itu sebabnya tuan kemari, bukan?” kata salah satu kakek itu.

Sepertinya, perjalananku kali ini tidak sepenuhnya sia-sia. Setidaknya jika kami menang melawan vampire, kami bisa hidup lebih tenang tanpa takut oleh ancaman kejaran para vampire.

“Terima kasih. Sebaiknya aku segera kembali. Aku pasti sudah lama pergi.”

Aku pamit kepada dua kakek yang sudah banyak membantu itu dan segera kembali ke tahun 1982.

 

****

Aku masih mendarat di tempat yang sama meski tahunnya berbeda. Kuil Mortem di tahun 1982… ternyata sudah menjadi puing-puing reruntuhan yang sudah tidak ada bentuknya. Pasti akibat serangan Minho yang membantai semua Mortem dan menghancurkan peradaban mereka.

“Benar, kan?” ucapku menegaskan. Blackhowl diam saja. Mungkin dia terlalu sedih mengingat kampungnya sudah menjadi kenangan menyedihkannya sendiri.

Sebaiknya aku segera kembali ke sekolah sebelum ada vampire yang menemukanku disini dan sendirian. Aku berjalan cepat—atau lebih tepat berlari kecil—kembali ke sekolah secepat yang aku bisa.

Aku merasakan sesuatu yang tak enak disini. Sesuatu yang dingin yang kini berada di sekitarku. Terbukti saat sosok perempuan berkulit pucat melompat dan mendarat tepat di depan ku.

 

 

END

Next: Beauty & Beast Chapter 12

 

*****

Yow! Yow! Yow! This is me, author cantik pacarnya Luhan telah kembali #plakk

Mian ya, Chapter 12 nya masih Jinnie simpen buat lebaran *eh. Ini special side story nya BB yang menceritakan sedikit perjalan teman kita Edison a.k.a Tao a.k.a Black Pearl ke masa lalu untuk belajar tentang sejarah Mortem. Disini juga di kasih tau loh kenapa Fleur bisa bebas dari Kevin heheh^^ Mian lagi kalau side story ini terkesan “nembak” karena Jinnie Cuma bikin intinya aja disini ._.

Woohoo^^ BB udah sampai 11+1 chapter dan Jinnie merasa seneng karena tanggapan dari readers selalu baik. Terima kasih readers tercintaaaaaah^^

Oiya.. Hari ini kan ultah nya Kim Jongin a.k.a Kai si pemeran tokoh Alex. Waaah!! Happy Birthday Bronze Skin, Kai ^^ Semoga nge-dance-nya tambah jago dan perannya di BB bisa tambah banyak *loh. Dua hari yang lalu ultah nya Kyunsso a.k.a D.O si pemeran tokoh Thomas^^ Semoga suara dia tambah bagus ya^^

Terima kasih untuk readers yang sudah setia sama Jinnie. Terutama buat yang udah sering COMMENT^^ Jinnie cintaaaaa readers #moaah

Well, sekian dulu dari Jinnie yaa^^ See you on next chapter.

P.S : untuk readers yang nungguin kelanjutan FF Jinnie yang Ravens, mohon bersabar sedikit yaah. Jinnie rencananya mau nunda peluncuran Chapter 2 dari Ravens karena mau fokus nyelesain Beauty & Beast sampai tamat. Gak akan lama kok. Mungkin sekitar 2-3 chapter lagi BB bakalan tamat (mudah-mudahan).


[FREELANCE] Salt And Wound (Chapter 4)

$
0
0

Salt And Wound 3-Poster 3-Home Edition

Title : Salt And Wound

Author : NadyKJI

Web : http://cynicalace.wordpress.com/

Genre : Romance, Rearrange Married, Hurt/Comfort, School Life

Length : Chaptered

Rating : G

Maincast:

  • Kim Jong In – Kai
  • Eun Syu Rie (OC)
  • Soon

Other : Jung Eun Chae (OC), Chen, Sehun, D.O, Chanyeol, Luhan (will be added)

Disclaimer : FF ini murni ide-ide khayalan author yang kelewat tinggi, dilarang meniru dengan segala cara apapun, jika tidak ff ini tidak akan dilanjutkan lagi. Terima Kasih.

Author’s Note :

Annyeong readers….

Sebelum author becuap-cuap…

MAAFKAN AUTHOR KARENA BARU UPDATE LAGI! #TERSUNGKUR SUJUD

Ehehhe, mungkin karena beberapa bulan ini author memang on progress nulis dan terkena sydrome ngeblock nulis tapi di otak ada, jadinys terhambat. Juga karena author lagi buat ff duet lhoo please dibaca juga ya *promosi. But akhirna setelah banyak ini itu. Finally author update. . Finally author update.

Sekarang author ingin membahas sesuatu dulu eheheh.

Lumayan juga yang bilang alur ff ini kecepetan. Ehehe sejujurnya pas author pertama dapet ini author agak confused *ketauan lemotnya.

Tapi setelah bertapa author agak ngeh atau menyimpulkan (?) mungkinkah karena jangka waktunya yang seminggu kemudian atau gmn? Eheheh. Tenang saja ff ini masih panjang kok. Dan efek bertapa akhirnya mungkin author mendapatkan alasan knp alurnya cepat: karena masih awal dan Kai Syu Rienya masih canggung jadi hari-harinya dilewatkan dengan datar dan tanpa isiden. Ehehe, itu kesimpulan author :D

Tapi tenang saja, mulai saat ini setelah chapter 4 author akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat alur yang lebih baik lagi. Semuanya sudah author pertimbangkan dan beberapa bagian mungkin hanya untuk spoiler chapter-chapter jauh *mungkin setelah baca readers tau? Wkakakaka.

Sekian note author yang nambah-nambahin word ini :D

HAPPY READING!

Comment, kritik, dan sarannya di tunggu. Dan sejauh ini author sangat berterima kasih akan banyak comment dari pada readers. #deepbow

MERRY CHRISTMAS AND HAPPY NEW YEAR!!!!

___

 

-:Kai:-

Aku bersandar bosan pada pintu kayu. Mataku menatap kearah Syu Rie yang masih berdiri di tengah-tengah kamarnya, kepala gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu.

Kulirik jam tanganku. Sudah 15 menit.

Tadinya aku akan membiarkannya mencari sesuatu itu sendiri. Tapi sepertinya gadis itu bahkan tidak melakukan progres apapun. Matanya mencari-cari tanpa fokus yang jelas. Aku menghela nafas berat.

“Apa yang sebenarnya kau cari?!”

Melainkan menjawab, ia menatapku sekilas dan mengigit bibirnya.

“Ck! Jawab, atau kita terlambat.”

“Aku bisa menemukannya sendiri!”

Aku beranjak dari posisiku, berjalan mendekati Syu Rie. Hanya 3 langkah lebar dan aku sudah berada di hadapannya. Mataku menatap tajam manik mata hitam itu.

“Pilihanmu adalah menjawab dan membiarkanku membantu, atau kau harus menjelaskan kepada orang tua kita kenapa kita sangat-sangat terlambat.”

Ia menatapku lama kemudian aku melihat postur tubuhnya yang semula tegap kaku menjadi lemas.

“Baiklah. Aku mencari ponselku.”

Ya! Kenapa tidak langsung bilang saja! Dengan begitu kami tidak perlu terlambat menghadiri acara makan pagi bersama dengan orang tua kami. Ya, di hari Minggu yang cerah ini – suram untukku, tiba-tiba saja eommaku meneleponku jam 6 pagi. Menyuruhku dan Syu Rie datang ke salah satu restaurant di pusat kota Seoul jam 9, dan sekarang sudah pukul sembilan kurang lima belas.

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar. Rak buku, meja lampu, ranjang, meja kecil yang berisikan tumpukan buku – dan mataku berhenti di sana. Berminat aku berjalan ke arah tersebut. Tanganku mengambil satu buku teratas, melihat sesuatu yang cukup tebal dan tidak bisa di kategorikan sebagai pembatas buku. Kubuka, dan di sanalah ponsel tersebut berada. Aku berbalik menghadap gadis itu, mengacungkan benda tersebut. lalu gadis itu melangkah ringan mendekatiku, mengambil ponselnya.

“Hash… sepertinya aku menggunakannya sebagai pembatas buku kemarin malam.”

Tanpa memperdulikan perkataannya, aku langsung meraih tangan kiri Syu Rie yang bebas. Menariknya keluar kamar, menyeretnya keluar rumah. Di mana mobilku sudah menunggu. Sedikit memaksa, aku mendesaknya ke kursi penumpang – mengabaikan ekspresi mukanya yang menatapku penuh tanda tanya.

Andaikan saja ia mengetahui betapa sangat tepat waktunya ayahku – sang time keeper aku menjulukinya. Jangan pernah terlambat atau kau akan mendapatkan tatap tidak suka darinya. Jika kau hanya sekedar rekan bisnis itu kasus terburuk yang kau dapatkan. Tapi jika kau lebih dekat dengannya daripada itu… beberapa pertanyaan akan menyapamu. Aku sudah sangat hafal, mengingat masa SMPku, aku yang masih sangat pembangkang sehingga selalu terlambat di setiap kesempatan yang berurusan dengannya.

-:Syu Rie:-

“Syu Rie!”

Aku yang semula menunduk memandang kakiku yang baru saja menjejak tanah mendongak. Di sana, diambang pintu – aduh eomma, ya, eommaku menungguku diambang pintu restaurant memalukan dan tidak perlu. Wajahnya yang sudah dihiasai keriput itu menatapku dengan teduh. Cocok sekali dengan baju berwarna hijau tosca pucat yang dipakainya pagi ini.

“Eomma.” Aku menyapanya sedikit.

“Apakah tanganmu baik-baik saja?” eomma menunjuk tanganku yang masih dibalut perban tipis.

“Nan gwaenchana..” aku tersenyum ke arahnya.

“Eomeonim.”

Aku menolehkan kepalaku kilat mendengar suara yang agak berat itu memanggil eommaku dengan ‘eomeonim’ harus aku akui itu memang panggilan yang tepat. Hanya sangatjanggal mendengarnya diucapkan oleh Kai.

“Ayo masuk, semua sudah menunggu.”

Kemudian eommaku sudah menghilang ke balik pintu kaca itu, berjalan diantara lalu lalang pelayan. Kai yang memang tidak peduli denganku – hash. langsung berjalan masuk meninggalkanku. Aku menghela nafas, sedikit merasakan keningku – sepertinya agak panas dan kepalaku terkadang merasa pening. Tapi sudahlah, mungkin hanya kurang fit atau efek demamku yang lalu-lalu itu belum sembuh benar tapi sudah kuabaikan. Harus aku abaikan karena tugas sekolah sudah semakin menumpuk, membuatku harus tidur malam. Yap, tidak memberikanku sedikit pun waktu istirahat cukup.

“Syu Rie, kau cantik sekali.”

“Terima kasih, abeonim.”

Aku tersenyum miring ke arah Kai abeoji yang tiba-tiba menyapaku amat sangat ramah. Aku menarik kursi di sebelah Kai dan appaku, tempat yang tersisa mengingat aku yang datang terakhir.

“Kenapa kalian bisa terlambat?” aku mendengar nada suara Kai abeoji tidak seramah sebelumnya. Sepertinya beliau termasuk orang yang sangat teliti mengenai waktu, simpulku.

“Syu Rie kesulitan mencari ponselnya.” Kai menjawab datar tanpa mengalihkan pandangannya dari buku menu.

“Hmmm, benar begitu?”

“Ah, ne. Miahaeyo abeonim.” Aku sedikit mengangguk.

Jujur aku tidak begitu terbiasa dengan kehadiran Kai abeoji. Aku hanya pernah bertemu dengannya 3 kali. Saat pertama pertemuan, perjodohan, dan pernikahan. Sekarang keempat kalinya, dan sifatnya yang terlalu berwibawa membuatku minder. Berbeda dengan Kai eomma, ia terlihat ya menyerupai eommaku. Setidaknya ramah dan baik, juga sering bertemu membuatku terbiasa.

“Apa yang kau pesan?”

Aku menoleh menatap appa yang duduk disebelahku. Pakaiannya tidak jauh berbeda dengan yang dipakai oleh Kai abeoji. Khas para pengusaha tinggi, tapi setidaknya aku mengenal wajahnya – raut wajah yang sedikitnya aku mengerti sedang mencoba mencairkan kebekuan diantara kami akibat dia yang menjerumuskanku dalam pernikahan bisnis.

“Syu Rie, kau agak pucat.”

Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan appaku, Kai eomma melontarkan kalimat itu. Tanganku refleks menyentuh pipiku.

“Benarkah eomonim? Sepertinya aku hanya tidak enak badan saja.” Ucapku tidak begitu memperhatikan apapun.

“Kalau begitu, bagaimana kalau pesan Samgyetang saja? Ada gingsengnya.” Usulnya.

Aku langsung menutup buku menuku dan mengiyakan. Setidaknya aku dihindarkan dari urusan memilih menu. Aku selalu bingung dengan menu makanan, aku selalu berhati-hati, karena pada awalnya lidahku tidak begitu cocok dengan makanan Korea. Oh, aku memang orang Korea asli, tapi sejak kecil lidahku berkhianat dengan menolerir sangat kecil rasa pedas. Aku tidak bisa memakan yang pedas terlalu banyak.

Setelah urusan memesan selesai, khas keluarga besar yang berkumpul, semuanya mengobrol. Eomma dan appaku juga orang tua Kai bahkan Kai. Ia ikut menimpali sesekali tentang perihal mengambil ahli perusahaan abeojinya, kewajiban anak laki-laki tunggal. Sedangkan aku lebih memilih diam, berkonsentrasi dengan kepalaku yang sesekali berdenyut pening. Sepertinya aku tidak akan masuk sekolah Senin, lebih baik mengikuti test susulan nanti setelah tubuhku benar-benar pulih mungkin. Hidup dengan kepala yang terkadang pening mendadak sama dengan menyiksa.

Lima belas menit kemudian.

Tak.

Aku melihat tangan seorang pelayan menyimpan satu mangkuk pesanan kami di susul yang lainnya. Mataku melihat berbagai makanan yang tersaji ditata sedemikian indahnya.

-:Author PoV:-

Kai dan Syu Rie berjalan berdampingan melewati pintu restaurant. Sementara para orang tua berjalan di belakang mereka, tidak terlalu jauh. Makan pagi keluarga telah berakhir.

Syu Rie yang sudah tidak kuat lagi menahan peningnya berjalan sedikit lebih cepat, ingin mendudukan dirinya. Pergi dari rumah malah membuat kondisinya memburuk. Dengan kepala berdenyut ia menghampiri kursi penumpang. Tangannya meraih pegangan pintu dan membukanya. Tanpa melihat ia langsung bergerak maju untuk masuk.

DUK.

Syu Rie langsung terhempas ke belakang, dengan kepala yang bagaikan segerumbul semut yang di pukul palu – tercerai berai, tidak terarah, pusing luar biasa.

“Ada apa?!”

Kai yang tepat berada di belakang Syu Rie langsung menahan tubuh Syu Rie. Kulit tangannya yang bersentuhan dengan kulit Syu Rie merasakan perbedaan suhu yang drastis. Pikirannya langsung menjadi lebih awas, matanya memperhatikan wajah Syu Rie dan akhirnya menemukan semburat merah di pipi gadis itu dengan bibir yang pucat.

Syu Rie yang tidak memperhatikan ataupun memilih mengabaikan sekitarnya hanya mengarahkan tangan ke dahinya yang baru saja terkena musibah. Ia bisa merasakan dahinya yang terasa panas dan mengusapnya perlahan untuk meredakan rasa sakit. Tiba-tiba pergerakan tangannya terhenti karena sesuatu membungkus tangannya. Sebuah tangan yang terasa dingin di dahinya juga lebih besar dari tangannya.

“Sakit?” Kai bertanya sembari merasakan suhu tubuh Syu Rie di tangannya.

“Sudah pasti…”

Kai mendengar nada bicara Syu Rie yang terkesan kau-harusnya-tahu-karena-melihat-sendiri-kejadiannya, Kai berdehem dan mengkonfirmasi ulang ucapannya.

“Maksudku kau sakit – demam?”

“Ne…” jawab Syu Rie lemas, terlalu lama berdiri sama sekali tidak membantunya. Ia masih berdiri hanya karena tubuh Kai yang menopangnya.

“Kalau kau sakit, kenapa kau tidak bilang?” nada suara Kai tidak bisa di masukkan dalam kategori khawatir maupun marah – tidak pasti.

Syu Rie refleks mengerutkan dahinya. “Untuk apa?”

“Kalau kau sakit kita tidak perlu ke sini.”

Dengan isi kepalanya yang tidak sedang dalam keadaan benar Syu Rie langsung berbicara, “Kau peduli?”

Kai terdiam sejenak, menyerap perkataan Syu Rie, kemudian memutar bola matanya.

“Jika kau sakit, aku bisa membuat rencana hari ini batal. Untuk pengetahuanmu saja, itu semua karena sebenarnya aku malas.”

Mrs. Kim melihat interaksi putranya dan Syu Rie. Kai yang menahan tubuh Syu Rie yang terhempas, dan kontak tangan putranya ke dahi Syu Rie, membuatnya tersenyum. Ia tidak bisa mendengar percakapan keduanya. Daripada memikirkan cara untuk menguping pembicaraan putranya, pikirannya sudah berpikir ke hal yang amat sangat jauh.

Ketika melihat Kai perlahan mendorong tubuh Syu Rie masuk dan menutup pintu untuk Syu Rie, Mrs.Kim memanggil Kai.

“Gwaenchana?” kata putranya begitu sampai.

“Hmm, kau tidak melakukan sesuatu pada Syu Rie bukan?” Mrs. Kim menyipitkan matanya melihat ke arah mobil yang baru saja Syu Rie masuki.

“Maksudnya eomma?” sejenak Kai masih mempertanyakan pertanyaan eommanya. Kalau ia melakukan sesuatu pada Syu Rie bukankah gadis itu tidak akan datang hari ini atau…

“… maksud eomma kalian kan suami istri tapi kalian masih sangat muda, walaupun eomma tidak keberatan menimang cucu dekat-dekat ini…”

“Ya! Apa yang eomma katakan? Syu Rie hanya demam.” Kai langsung berjalan pergi meninggalkan eommanya sebelum ia diberikan pernyataan aneh lainnya.

Mrs. Kim menatap punggung putranya menjauh.

“Ada apa?” Mrs. Kim menoleh ke arah suara berat berwibawa yang sangat dikenalnya.

“Tidak.” Mrs. Kim tersenyum menatap wajah tampan yang sudah dihiasi oleh kerutan itu. Kemudian melingkarkan lengannya di lengan pria itu.

“Hmm, jika memiliki cucu, kau ingin perempuan atau laki-laki?” tanya Mrs. Kim.

“Tidak tahu. Kenapa?”

“Hanya ingin tahu.”

Mr. Kim menggelengkan kepala, terkadang ia tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan istrinya.

_

“YA!!!!!!”

Seorang namja yang sedang bersantai sembari menonton tv menoleh ke arah suara mengagetkan dari arah pintu. Di sana berdiri seorang yeoja dengan rambut sebahu plus dress kuning pucat. Tipe yang kelewat feminim, dan nyatanya adalah adik perempuan dari namja itu.

“Ada apa?” tanya namja itu sembari menaikkan alisnya, namun masih berkonsentrasi pada acara olah raga yang tersiar di sana.

“Syu Rie-eonni menikah!”

TRAK.

“Apa????” namja itu menjatuhkan remote tv yang di genggamnya ganti melotot ke arah adiknya itu.

“Ini kenyataan! Aku sudah menelepon Syu Rie eomma tadi! Sayangnya pemberitahuannya telat sampai kesini…” tangan mungil itu mengacungkan sebuah benda persegi berwarna coklat tua.

Namja itu langsung mematikan tv. Dengan langkah lebar ia menghampiri adiknya, mengambil undangan tersebut. Selama tiga puluh detik penuh matanya menyisir setiap kata yang tercetak permanen di sana. Yang membuatnya kecewa nama Eun Syu Rie yang tertera disana tidak berubah sama sekali – bahkan hangul yang dipakai juga tidak salah.

“Argh?! Bagaimana bisa?!”

“Haha, lucu sekali. Tentu saja bisa, apa yang tidak mung… mau ke mana?”

“Pergi!”

“Apa?! Jangan bercanda!”

_

“Hei… ireona…”

Syu Rie bisa merasakan seseorang mengguncang bahunya perlahan dan berkat guncangan kecil itu sakit kepalanya yang sudah agak baikan kembali berulah. Supaya  guncangan itu berhenti dengan berat hati ia akhirnya membuka matanya.

“Wae?” Syu Rie mengerjapkan mata, menyesuaikan pandangannya dengan ruangan kamarnya yang sudah gelap – sepertinya sudah malam.

“Kau harus minum obat…”

Kali ini matanya sudah bisa mengindentifikasikan sosok Kai yang berada tidak jauh darinya… tunggu…

“Kai?”

“Ne, siapa lagi?” Kai menjawab Syu Rie dengan nada datar. Kalau saja ini bukan hari minggu, ia pasti tidak perlu menyodorkan obat untuk gadis dihadapannya. Tetapi nyatanya ini hari minggu dan pembantu yang ditugaskan mengurus rumah tidak datang pada hari minggu. Mungkin ia tidak terlalu peduli dengan keberadaan Syu Rie – tapi ia masih manusia. Bagaimanapun orang sakit harus dirawat.

“Ppali, ayo minum obatnya.” Kai menyodorkan pil kepada Syu Rie.

“Tapi aku belum makan… tidak boleh minum obat sebelum makan.” Syu Rie memang dibesarkan dengan aturan yang ketat dalam hidupnya. Hal terpenting yang selalu diingatnya adalah makan sebelum minum obat – hal yang selalu diajarkan eommanya.

Kai memutar bola matanya, “Baiklah, ada sup di dapur. Bagaimana?”

“Hmm, aku turun.”

Syu Rie meluncur turun dari ranjangnya, sayang keseimbangan dan keadaan kepalanya masih tidak bagus.

BRUK.

Kaki Syu Rie tidak kuat menopang tubuhnya, sedangkan Kai yang tidak terlalu siap dengan keadaan ikut terjatuh. Tubuh Kai menjadi bantal bagi Syu Rie, wajah mereka begitu dekat, dan Kai bisa merasakan kulit Syu Rie yang masih panas.

“Ya… bagaimana demam bisa separah ini?”

Kai menggerutu sembari mengangkat Syu Rie dan memapahnya keluar dari kamar.

“Mian…”

“Tidak apa-apa…” jawab Kai singkat.

Syu Rie yang tidak begitu mengenal seorang Kai menganggap kalau namja yang berada disebelahnya itu marah, “Sungguh… maaf. Aku memang tidak bisa menjaga diri dengan baik.”

Kai yang awalnya tidak terlalu mempermasalahkan atau memang tidak memikirkan apapun jadi tertarik, ia belum pernah mendengar Syu Rie berkata panjang lebar sebelumnya, “Lalukenapa kau masuk sekolah? Bukankah kau bisa tinggal dirumah dan istirahat total, sekalian dengan luka lenganmu?”

“Tidak, aku tidak suka ketinggalan pelajaran, dan luka ini? Ini juga karena sakit kepala… aku jadi hilang konsntrasi.”

“Mwo? Selama itu kau sakit?” 2-3 hari kalau tidak salah, pikir Kai.

“Ne…”

“Hah. Kau kuat juga bisa bertahan. Yeoja lain pasti sudah terbaring di rumah sakit.”

Syu Rie mendengar suara Kai yang terdengar agak sinis, matanya mengikuti pergerakan namja itu yang menyerahkan mangkuk ke arahnya.

“Kau sinis?” Syu Rie mengambil mangkuk dari tangan Kai, kemudian menyendok sup dari panci yang berada tak jauh darinya – Kai cukup baik hati memindahkannya agar terjangkau olehnya.

“Senyummu palsu.” Balas Kai.

“Dikelilingi dengan perintah dan paksaan? Tidak ada yang bisa membuatku tersenyum tulus.” Syu Rie mengaduk-aduk supnya.

“Dan dikelilingin oleh yeoja-yeoja berisik juga yeoja yang berbohong, bagaimana kau tidak sinis? Sangat mengganggu.” Kai berkata sembari mengambil jus dingin dari refrigator.

Yeoja yang berbohong? Syu Rie mengernyitkan dahinya. Tapi tidak berapa lama, Syu Rie sudah teralihkan perhatiannya – kepalanya masih berdenyut. Membuatnya ingin segera tidur.

“Hei.. kau bisa naik sendiri?”

“Wae?” Syu Rie menatap Kai yang baru selesai menuangkan jus pada gelasnya.

“Hanya tidak ingin melihat tragedi baru – seperti kau terjatuh dari tangga dan sebagainya.”

Syu Rie berdecak kesal, “Tidak perlu. Setelah makan mungkin aku akan sedikit lebih sehat.”

“Baiklah kalau begitu. Aku akan menonton TV.”

Kai berlalu dari dapur, beberapa lama setelahnya Syu Rie dapat mendengar suara TV menyala, mungkin acara olah raga. Tidak menghiraukannya Syu Rie menyuap sedikit-sedikit sup dari mangkuk. Lidahnya yang terasa pahit menurunkan selera makannya.

_

Blam.

Kai mendengar suara pintu dari lantai atas tertutup.

Ternyata dia sanggup…

Meninggalkan gelas jusnya di meja. Kai kemudian beranjak, jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam dan ia ingin membaringkan diri diranjang. Tubuhnya cukup lelah dan ia ingin bersantai sekedar untuk mendengarkan musik.

-:Syu Rie:-

“Pagi, Ahreum…” Aku meletakkan ranselku di sofa sembari menyapa Ahreum yang sedang menata meja. Ahreum adalah namanya setelah aku sempat bertanya, pembantu di sini, sekaligus gadis yang pada hari pertama membangunkanku.

Kemudian aku beranjak ke dapur. Aku akan sekolah. Setelah makan dan minum obat demamku sudah hilang. Jadi aku akan pergi ke sekolah, tentu saja kali ini aku sudah memastikan kalau aku sudah benar-benar sehat.

“Nona, ada bubur di dapur, kata tuan, nona kemarin sakit. Jadi tuan menyuruh saya memasak untuk nona sebelum pergi.”

Aku menghentikan langkahku, menoleh ke arah Ahreum, “Jinjja?”

“Ne. Makanlah nona, jangan sampai nona melewatkan makan pagi.”

Aku hanya dapat berkata ‘oh’ dengan sangat pelan. Kai yang menyuruh Ahreum? Tidak aku sangka.

“Baiklah, gomawo ne.”

_

Aku langsung turun dari mobil, melangkahkan kakiku mendekati lingkungan sekolah dan menelusuri lorong-lorong yang sudah ramai oleh aktifitas.

“Syu Rie-ah!”

“Syu Rie-ssi.”

Ash. Ada apa ini? Kenapa bisa dua orang sekaligus harus memanggilku?

Aku melihat seorang Eun Chae melambai ke arahku diantara teman-temannya. Di sisi lain dengan ekor mataku, aku dapat melihat seorang namja yang baru saja keluar dari ruang osis… yang, kebetulan berada di depanku baru saja memanggilku.

Aku terdiam. Pilihanku hanya dua. Menanggapi namja itu atau Eun Chae. Namja itu pasti hanya memiliki sedikit urusan. Eun Chae, jika aku menanggapinya sekali jelas ia akan semakin gencar mendekatiku.

Aku memjamkan mata dan mengambil nafas panjang, oke.

Aku berbalik menghadap namja asing itu.

“Apa?”

“Euhmm, joneun Kim Junmyeon imnida. Ketua student council. Ini perihal mengenai semacam show case yang akan diadakan dua bulan lagi.” Katanya sembari menyalami tanganku.

“Ne… lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku.

“Kudengar kau bisa memainkan piano. Kau di minta mengisi dan jika kau tidak keberatan bagaimana kalau kita bicara lebih lanjut di ruang musik? Sudah ada mungkin, patnermu – kami ingin merancang duet.”

“Boleh.”

Maka dengan itu aku mengikuti namja berseragam rapih itu menuju ruang musik. Aneh juga dia bisa mengetahui kalau aku bisa bermain piano. Aku bermain piano, tentu saja karena eomma dan appa yang membuatku melakukannya.

Ruang musik tidaklah jauh. Maka aku dan Junmyeon-ssi sampai dengan cepat. Namja itu membuka pintu ruang musik dan aku berjalan masuk bersamanya. Mataku masih melihat-lihat ruang musik…

“Kai.”

Aku langsung menoleh cepat.

“Syu Rie-ssi, ini Kai, yang akan menjadi patnermu.” Katanya sembari tersenyum.

“Nde?”

“Hmm, bagaimana kalau kau bermain piano dulu? Untuk seleksi.” Bukan Junmyeon melainkan Kai yang berkata. Aku menatap wajahnya yang datar dan menggertakkan gigi.

“Betul juga. Bagaimana kalau kau mencoba Syu Rie-ssi?”

Aku meletakkan tasku dikursi terdekat dan berjalan menuju grand piano berwarna hitam. Perlahan aku duduk, jari-jariku menyentuh tuts piano. Aku memejamkan mataku, dan tanganku mulai menekan tuts-tuts yang terasa halus dan dingin.

TO BE CONTINUE…

 


Viewing all 317 articles
Browse latest View live