Quantcast
Channel: EXOMKFANFICTION
Viewing all 317 articles
Browse latest View live

Intuition (Chapter 3)

$
0
0

Intuition

Title : Intuition

Author : @ghinaga

Cast :

  • Luhan (Exo-M)
  • Lee So Hee (OC) / You
  • Suho / Kim Joon Myeon (Exo-K)
  • Oh Sehun (Exo-K)
  • Ji Yeon (T-Ara)
  • Se Na (OC)
  • Lee So Hyun (OC)

Genre : Sad, Romance, Friendship

Length : Multi-Chapter

Rating : Teen

A/N : author kembali !!!! #jengjeng mianhae, kelamaan yah ? haha, author lagi sibuk liburan soalnya (?) okay, so let’s check it ! but, please NO BASHING ! buat yang ga suka menjauh saja. Buat yang suka, author… *bagi-bagi bibir exo (?) kecuali kris* *ditabok exostan* Okay, happy reading guys ! \(^O^)/

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Tak terasa 1 tahun telah berlalu sejak perpisahanku dengan So Hee. Semua benar-benar berubah, sangat berubah. Semua jalan untuk berhubungan dengan So Hee seolah tertutup untukku. Seperti kabut yang menyelimuti gunung.

Tiap kali kutanya pada eomma tentang So Hee, ia akan diam atau mengalihkan pembicaraan.

 

Sepertinya eomma menyembunyikan sesuatu dariku.

 

Pernah terpikir olehku untuk datang ke rumahnya dan menjelaskan semua ini, tapi ternyata So Hee sekeluarga sudah pindah entah kemana.

 

Benar-benar buntu.

 

Hatiku telah tertutup. Entah mengapa, aku tak bisa melupakan So Hee dan membuka hatiku untuk yeoja lain. Tiap kali aku mencoba menjalin hubungan dengan seorang yeoja, aku akan merasa hambar atau aku akan teringat So Hee. Sebagaimanapun aku berusaha melupakan So Hee, tetap saja aku tak bisa. Sudah terikat. Seperti kecanduan.

 

Tidak bisa lepas. Walau sekarang aku hanya bisa diam.

 

Sampai saat ini aku masih menunggu. Seperti So Hee yang selalu menungguku di tempat ini. Seorang diri menunggu sesuatu yang tak pasti, apa akan datang atau tidak. Seperti itulah aku sekarang.

 

Menunggu tanpa tahu apakah yang kutunggu itu akan muncul atau tidak.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

2 tahun..

 

Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Aku sudah menyelesaikan kuliahku di MIT dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Kini, aku bekerja disebuah perusahaan yang bergerak dibidang elektronik.

Tak ada perubahan yang begitu drastis dalam diriku.

 

Aku masih menunggunya.

 

Menunggu So Hee ditempat yang sama seperti dulu.

Saat aku merindukannya, aku akan datang ketempat ini. Ternyata berlama-lama di Hangang Park tak semembosankan yang kukira. Aku jadi lebih mengerti apa maksud perkataan So Hee selama ini.

 

Melepas semua beban dan menikmati apa yang ada.

 

Tapi, ada yang berbeda di tahun kedua aku menunggu So Hee. Kini aku benar-benar sendiri. Kedua orang tuaku, mereka meninggal dalam kecelakan pesawat.

Sungguh tragis memang, disaat aku mendapatkan kenaikan jabatan dan mereka sedang dalam perjalanan kembali ke Korea untuk merayakan kenaikan jabatanku itu, mereka justru meninggal karena pesawat yang mereka tumpangi jatuh.

 

Aku semakin terpuruk.

 

Aku tak memiliki tempat atau seseorang untuk bersandar. Masih sama seperti dulu, aku tak bisa membuka hatiku untuk yeoja lain selain So Hee.

 

Apa ini rasa bersalah atau cinta ?

 

Aku sendiri tak tahu.

 

Tapi, satu hal yang kutahu, aku benar-benar membutuhkannya, aku membutuhkan So Hee sekarang.

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Aku terus memacu mobilku. Sahabatku yang juga lulusan MIT, Oh Sehun mengajakku bertemu. Kami berencana bertemu di Coffee Lab café didaerah Hongdae.

Kudorong pintu café itu, segera kuedarkan mataku mencari Sehun. Kutemukan ia sedang melambai kearahku dari meja dipojok café. Tak perlu basa-basi aku segera menghampirinya, menarik kursi dihadapannya dan duduk manis sambil menunggu seorang pelayan datang dan mencatat pesananku.

“sudah lama, ya ?” kata Sehun membuka pembicaraan. Nada bicaranya dari dulu sampai sekarang tak berubah, santai dan tenang. Begitu bersahabat.

“iya. Bagaimana keadaanmu ?”

“ayolah, Luhan.. jangan seformal itu !” ia segera mencondongkan tubuhnya kearahku, lalu menopang dagunya dengan tangannya diatas meja.

Seorang pelayan datang, ia memberikan buku menu padaku. Aku pun memesan kopi yang paling pas untukku saat ini, caramel macchiato. Pelayan itu pun pergi setelah mencatat pesanku, Sehun pun kembali melanjutkan pembicaraan.

“hah~ sepertinya tak ada yang berubah. Kau masih menunggu yeoja itu, ya ?” tanya Sehun padaku, sedikit bercanda.

Aku memang menceritakan tentang kisah cintaku dan So Hee padanya, tapi Sehun sendiri tak pernah melihat atau berkenalan dengan So Hee. Terasa aneh memang kalau Sehun tidak mengenal So Hee, padahal dia adalah sahabatku. Walau begitu, dia selalu mengerti diriku. Tapi, jangan berpikir yang aneh-aneh dulu dengan hubungan kami. Dia hanya sekedar sahabatku yang dapat memahami jalan pikiranku. Ya, bisa dibilang..kami itu hampir sama.

“ya.. begitulah. Kau sendiri ? sudah ada yang mengisinya ?”

Sehun tersenyum tipis, itu memang gayanya. “sebenarnya..sudah ada.”

“wah, kau ini ! memang tak ada duanya ! dari dulu sampai sekarang masih sama. Dengan mudahnya bisa mendapatkan yeoja..”

“hei, dengar dulu !”

“?”

“aku memang sudah menemukan sosok yeoja itu.. tapi, aku masih belum tahu apa dia menyukaiku atau tidak..”

Aku sedikit terkejut mendengar jawaban Sehun. Mana mungkin ada yeoja yang menolaknya ? dalam sejarah pertemanan kami dan tentunya sepengetahuanku, Sehun selalu mendapatkan yeoja yang ia inginkan dan tak pernah ada penolakkan.

“apa dia orang Amerika ?”

Sehun menggeleng pelan. “dia orang Korea.”

“wah, sejak kapan seleramu berubah ? sewaktu kita kuliah, kau kan selalu bicara tentang tipe idealmu yang bukan orang Korea..”

“tentu sejak aku mengenal dia..” Sehun menyandarkan tubuhnya disandaran kursi. Seorang pelayan datang ke meja kami, ia mengantarkan pesananku.

“siapa, sih yeoja itu ? seperti apa dia ? aku jadi penasaran..”

“dia itu..sempurna. Kau masih ingat ‘kan, tipe ideal wanitaku sewaktu kita di MIT ?”

“bagaimana aku tak ingat ? tipe idealmu itu sama denganku, hanya yang membedakannya kau menginginkan wanita dari luar korea..”

“hehe, ya..kira-kira begitulah dia.”

“apa dia cantik ?”

Sehun mengangguk. “dia ramah, lemah lembut, hangat, mudah bergaul, selalu membuat orang-orang disekitarnya nyaman,  selalu memperhatikan orang-orang disekelilingnya, mandiri, dan terkadang dia juga bisa bersikap manja.”

“hei, bagaimana dengan yeoja yang suka memasak ? itu kriteria utama, kan ??”

“ah, iya. Kudengar dia juga pandai memasak.”

“?”

“ah, aku yakin. Dulu pasti dia pandai memasak..”

“apa maksud mu ? apa sekarang dia tidak pernah memasak lagi ?”

“..dia itu, buta.”

Aku tersentak kaget. Yeoja itu buta ?

“hei, jangan terkejut seperti itu !” seru Sehun padaku.

“ah, maaf-maaf. Habis, aku terkejut saja.. bagaimana kau bisa mengenal dia ??”

“dia sahabat Se Na.”

“sahabat adikmu ?”

Sehun mengangguk pelan. Aku menyandarkan tubuhku seperti Sehun. Suasana jadi agak kaku karena kisah yeoja itu.

“o, ya. Sekarang kau kerja dimana ?” tanyaku memecah suasana.

“Cheongwadae.”

“kau bekerja untuk Negara ? kukira kau akan—”

“ah, iya !” seru Sehun, sepertinya ia mengingat sesuatu. “aku menceritakan dirimu pada atasanku di Cheongwadae. Dia tertarik padamu. Apa kau mau bekerja disana ?”

“aisshh, jadi niatmu bertemu denganku disini karena permintaan atasanmu ??!”

“hehe, begitulah~” jawab Sehun sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. Sikapnya tak berubah, masih seperti dulu, bebas seperti anak-anak.

“tapi, kalau kau tak mau juga tak apa, sih. Lagipula aku tidak begitu membutuhkan kenaikan gaji.” Lanjutnya bermaksud bercanda.

“sekarang aku bekerja di perusahaan elektronik. Tapi, tawaranmu itu akan ku pertimbangkan lagi..”

“baiklah. Hei, aku bercanda soal bertemu denganmu disini karena atasanku..”

“hah~ kalau pun memang karena atasanmu juga tidak apa, kok.. aku bisa memahaminya.”

“hehe.. o, ya apa kau mau bertemu dengan yeoja itu ?”

“kau serius ?”

“tentu saja ! Aku dan dia sudah cukup akrab. Lagipula kau ini kan sahabatku. Masa tidak kukenalkan pada calon istriku itu ? haha.”

“huh, kepercayaan dirimu itu terlalu tinggi. Memangnya yeoja itu mau apa menjadi istrimu ? belum tahu saja dia, kelakuanmu yang asli seperti apa.”

“ya, kita lihat saja nanti..”

Kami saling memandang dengan tatapan aneh. Tawa pun pecah diantara kami. Ya, sewaktu kami di Cambridge kami juga begini. Bercanda, bersenang-senang, tertawa bersama, kami begitu bebas.

Aku senang bisa bertemu lagi dengan Sehun. Setidaknya aku tidak merasa kesepian lagi.

Aku kembali memiliki teman.

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Aku menghempaskan tubuhku di kasur king size milikku. Rumah ini jadi terasa begitu luas. Padahal dulu tak seluas ini..

Kini aku tinggal sendirian, saat aku bekerja beberapa pembantu akan datang untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti membereskan rumah, mencuci pakaian, dan merawat halaman rumahku. Untuk makan sehari-hari, aku tak mau ambil pusing, biasanya sebelum aku pulang ke rumah aku akan mengisi perutku di restoran-restoran dengan rasa masakan yang lezat.

 

Dan hal itu telah membuatku lupa, bagaimana rasa masakan rumah.

 

Setelah mengganti pakaianku menjadi lebih santai, aku pun keluar dari kamar lalu menuruni tangga menuju ruang tengah yang terhubung dengan halaman.

Aku melihat sekelilingku. Rasanya benar-benar sepi. Terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku tinggal dirumah sebesar ini seorang diri ?

 

Kesepian.

 

Itulah perasaan yang selama ini membelengguku.

Aku sempat berpikir untuk menikah saja agar aku tak hidup sendirian seperti ini. Tapi, aku tak tega dengan yeoja yang nantinya menjadi istriku. Itu artinya aku akan hidup dengan orang yang tak kucintai dan yeoja itu juga tak akan mendapatkan cintaku.

 

Bukankah itu namanya menyiksa ?

 

Diusiaku yang sekarang, harusnya aku sudah memiliki seorang kekasih yang nantinya akan menjadi nyonya dalam keluargaku, ibu dari anak-anakku. Tapi, kenyataannya tidak.

 

Sampai saat ini aku masih menunggu yeoja itu. So Hee.

 

Aku masih memandang kosong kearah halaman rumahku yang dihiasi sebuah kolam renang yang terbilang cukup mewah, serta sebuah ayunan yang kadang berayun ketika tertiup angin.

 

Kenapa bisa sesepi ini ? dulu tak seperti ini.

 

Kini penyesalan dalam hidupku kembali muncul, saat-saat dimana aku tak memanfaatkan waktuku dengan baik. Bukannya menghabiskan waktu bersama keluarga, malah bersenang-senang dengan teman-teman yang tak jelas. Bukannya berbakti pada orang tua, malah menghambur-hamburkan uang. Bukannya mencintai yeoja yang jelas-jelas sosok yang selama ini kucari, malah bersikap dingin dan menyia-nyiakannya begitu saja.

 

Hatiku penuh dengan penyesalan..

 

Kulirik ponselku yang tergeletak di sofa table. Ternyata ada sebuah pesan singkat yang baru saja masuk kedalam inboxku. Segera kuraih ponsel ku itu, dan melihat isi pesan singkatnya.

 

Temui aku besok sore di café tempat kita bertemu kemarin. Akan ku tepati janjiku untuk mengenalkan yeoja itu padamu.. Jangan sampai kau tidak datang, kau akan menyesal ! :-p

 

Aku tersenyum simpul. Jadi, Sehun serius dengan yeoja itu ?? aku jadi semakin penasaran. Seperti apa rupa dan sifat yeoja yang telah membuat sahabatku itu tergila-gila ? apa mungkin aku juga akan tertarik pada yeoja itu ?

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Luhan sedang bersiap. Ia mengenakan kaus hitam yang dipadukan dengan kemeja yang semua kancingnya dibuka. Ia tampak seperti bad boy, ah tidak, mungkin lebih manly.

Luhan memarkirkan Audi R8 miliknya, lalu segera turun dan memasuki café yang terletak didaerah Hongdae itu.

Sosok yang tak asing lagi baginya, tengah melambaikan tangan kearahnya. Luhan pun segera menghampiri namja itu.

“belum datang ?” tanya Luhan lalu duduk dikursi yang kosong.

Sehun hanya menggeleng. Melihat respon sahabatnya yang begitu misterius membuat Luhan semakin penasaran dengan sosok yeoja itu.

Sekitar 15 menit mereka menunggu. Dan selama itu juga Luhan telah menghabiskan setengah cangkir cappuccino pesannya. Sehun tampak sabar menunggu yeoja itu.

Merasa tak ada yang bisa dibicarakan ketika Sehun mulai menampakkan wajah seriusnya, Luhan memilih untuk berselancar di dunia internet. Ia menekan tombol lock pada smartphonenya, lalu menyentuh layar tepat pada icon twitter.

Luhan mulai larut dalam kehidupannya didunia maya. Hingga akhirnya tiga orang yeoja datang ke meja mereka.

Sehun tersenyum melihat kedatangan 3 yeoja yang tampak sebaya itu. Dua orang dari mereka menuntun satu orang yang berada ditengah. Ya, memang benar. Diantara mereka bertiga, yeoja yang dituntun itulah yang paling cantik.

Menyadari kedatangan yeoja-yeoja itu, Luhan segera mengangkat kepalanya dari layar ponselnya itu. Mendadak matanya membulat, hatinya bergetar, rasa rindu selama ini musnah sudah saat Luhan melihat yeoja yang dituntun itu. So Hee !

Ji Yeon menyadari kalau namja yang ada bersama Sehun adalah Luhan, sosok yang 2 tahun lalu dia temui ditengah hujan karena permohonan So Hee.

Dengan segera Ji Yeon memberikan isyarat agar Luhan tidak bicara dan Sehun tidak memperkenalkan Luhan pada So Hee. Sebagai orang yang tak tahu menahu apa yang terjadi, Sehun hanya mengikuti perkataan Ji Yeon tanpa banyak bicara. Mereka pun duduk dimeja yang sama.

Ji Yeon terus melayangkan tatapan tajam pada Luhan yang terus memandangi So Hee dengan dalam. Se Na sendiri hanya bisa mengikuti perkataan Ji Yeon dan Sehun ia masih tak mengerti apa yang terjadi.

“Sehun-oppa, mana sahabatmu yang mau kau kenalkan itu ??” tanya So Hee dengan lembut. Seketika senyuman segera terlukis diwajah Sehun.

Sehun memandang Ji Yeon seolah mencari jawaban apa yang harus ia berikan pada So Hee. Sehun mengerti apa yang Ji Yeon maksud.

“ah, sepertinya dia tak bisa datang..” jawab Sehun agak ragu.

Mendengar jawaban Sehun, Luhan segera memandang Sehun seolah terkejut, namun seketika luntur. Sepertinya ia menyadari posisinya dan situasi yang sedang terjadi saat ini. Tapi, tatapan Luhan segera berpindah ketika So Hee kembali bicara.

“wah, sayang sekali. Padahal aku juga ingin mengenal sahabat oppa itu. Apa dia memiliki sifat yang sama dengan oppa ? pasti sangat menyenangkan.”

Semua terdiam. Jawaban So Hee begitu polos dan tulus. Rasa bersalah seolah membelenggu mereka. Membohongi gadis polos dan baik hati seperti So Hee. Itu tindakan yang buruk !

“Sehun-oppa.. bagaimana kalau kau, Se Na, dan So Hee jalan-jalan disekitar sini ??” usul Ji Yeon memecah suasana.

Sehun dan Se Na segera menatap dengan penuh tanda tanya pada Ji Yeon. namun, Ji Yeon segera memberi sinyal agar mereka mengiyakan.

Sehun, So Hee, serta Se Na pun akhirnya pergi meninggalkan café tanpa Ji Yeon. lalu, apa yang dilakukan Luhan ? Ji Yeon menahannya untuk bicara.

 

Kini Luhan dan Ji Yeon duduk berhadapan. Sedari tadi Ji Yeon terus-menerus memandang Luhan dengan tajam.

“apa yang kau lakukan disini ? sudah kubilang, kan ?! jangan temui So Hee lagi !” kata Ji Yeon sambil melipat tangannya di dada. Tatapan tajam tak pernah ia lepaskan dari Luhan.

“aku tak sengaja bertemu dengannya. Aku tak tahu, kalau kalian—”

“sudahlah.. sekarang jangan temui So Hee lagi ! itu hanya akan membuatnya merasakan sakit yang lebih parah !”

“aku tak pernah bermaksud untuk—”

Ji Yeon bangkit dari kursinya, “jangan ganggu So Hee lagi. Itu saja sudah cukup ! Sekarang hidupnya lebih baik dibandingkan saat ia masih berhubungan denganmu !”

Ji Yeon pun pergi. Tak ada tanggapan dari Luhan. Pikirannya begitu kacau..

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Hari ini adalah jadwal pemeriksaan So Hee. Tentu aku begitu bersemangat. Begitupula adikku Joon Hee, ia begitu menyukai So Hee. Aku juga bingung mengapa Joon Hee bisa menyukai So Hee padahal sebelumnya ia sulit untuk bergaul, tapi dengan So Hee.. semua berbeda.

“Joon Myeon-euisa..” panggil seorang perawat yang menyembulkan kepalanya dipintu padaku.

Aku segera mengalihkan pandanganku dari tumpukan data medis yang sedang kuperiksa.

“So Hee-ssi sudah menunggu..” lanjutnya.

Aku mengangguk pelan. Aku segera meraih stetoskopku seiring dengan perginya perawat itu. Aku sedikit merapikan jas dokterku itu, lalu segera beranjak menuju ruang periksa.

Aku terus berjalan dengan senyuman yang menghiasi wajahku. Kubuka pintu ruang periksa. Kulihat disana seorang yeoja yang mengenakan outwear berwarna pink soft sedang duduk manis ditemani adikku.

“oh, oppa sudah datang ?” kata Joon Hee yang masih tersenyum sambil melihat kearahku. Sepertinya ia sangat merindukan So Hee yang sudah lama tak datang kemari.

“bagaimana keadaanmu So Hee-ssi ?” tanyaku pada yeoja beroutwear pink soft itu.

“baik.. bagaimana denganmu ?” jawabnya. Aku selalu menyukai suaranya. Seperti kapas yang lembut.

Aku pun menarik kursi yang ada dibalik meja, membawanya mendekat ke sofa yang diduduki So Hee dan Joon Hee.

“apa adikku mengganggumu ?” tanyaku sambil menyiapkan sebuah senter kecil. Hah~ itu candaan yang sangat aneh Joon Myeon !

“haha, tidak.”

Kulihat Joon Hee mengrenyitkan dahinya padaku. Lalu, ia kembali mengalihkan pandangannya pada So Hee sambil tersenyum.

Aku pun mulai memeriksa keadaan mata So Hee. Ya, aku ini seorang dokter spesialis mata.

“oppa, apa belum ada donor mata yang cocok untuk So Hee-eonni ?”

Aku meletakan senter kecil itu. Aku menundukkan kepalaku karena hingga sekarang belum ada donor mata yang cocok untuk So Hee.

“ah, begitu, yah ?” sepertinya Joon Hee mengerti maksud sikapku.

“eonni, nanti kalau eonni bisa melihat lagi, eonni harus melihat wajah kakakku, ya ? dia sangat tampan, lho !” kata Joon Hee memecah suasana.

“hei, Joon Hee !” selaku. Sepertinya pipiku memerah.

Kulihat So Hee tersenyum. Senyumannya memang manis, dan sangat ampuh membuat hatiku bergetar. “suatu saat, mungkin aku akan melihat wajah Joon Myeon-euisa.”

“aissh, jangan panggil aku begitu. Seperti biasa saja, panggil aku Suho.” Kataku dengan lembut.

Joon Hee menyipitkan matanya padaku, sepertinya ia tahu perasaanku pada So Hee selama ini.

“eonni, pokoknya nanti kau harus lihat wajah tampan kakakku itu. Dia itu benar-benar sempurna, lho ! dokter muda yang berbakat, punya wajah tampan, baik hati, perhatian, dan pastinya kalau eonni menikah dengan oppa-ku itu, eonni akan mendapatkan bonus seorang yeodongsaeng imut seperti aku..”

 

 

 

To be continued..

 

 

A/N : So, bagaimana readers sekalian ? author lega banget, chapter ini udah keluar soalnya ini konflik utamanya.. hehhee. Jadi, yang udah baca silakan berkomentar dan buat yang jatuh cinta sama FF ini silakan di like ya ? ^^ see you next chapter guys !

 



Saranghae (Prolog)

$
0
0

Saranghae (Chapter 1)

Judul : Saranghae
Author : @Bella_KyungSoo
Main Cast :
- Kim Jong In a.k.a Kai (EXO K)
- Do Kyung Soo a.k.a D.O (EXO K)
Suport Cast :
- All pairing of EXO
Genre : Shonen-ai, Boyxboy, Romance, M-Preg (Male Pregnancy) YAOI!
Rated : PG-17 (for now just PG-13)
Length : Chapter
Disclaimer : Semua cast disini milik keluarga mereka masing2 dan Tuhan. Cerita disini hanya fiktif belaka, anggap saja benar-benar terjadi. Dan seperti anda lihat di atas, ff ini bergenre MPREG!!! Hati-hati, typo bertebaran. Gaje tingkat dewa 100%. BAGI YANG MASIH DI BAWAH UMUR DAN GAK SUKA YADONG, MPREG ATAU YAOI SEBAIKNYA MENYINGKIR! Tapi kalau mau mencoba sih silakan, dosa tanggung sendiri-sendiri. DON’T BASH, DON’T BE A PLAGIATOR, RCL juseyo~~ ^^


“Chukkaeyo, KyungSoo-ssi, anda hamil” kata Dokter Choi sambil tersenyum padaku. “Mwo ?! hamil ?!” tanyaku tidak percaya. “Ne! anda hamil, dan kandungan anda sudah 3 minggu” jelasnya lagi. “Bagaimana mungkin ? saya kan lak-,” “Laki-laki ? ya, memang anda laki-laki, tetapi kasus ini memang bisa terjadi. Karena didalam tubuh anda ditemukan rahim yang biasanya dimiliki oleh perempuan, itu kondisi yang langka dan special” potong dokter Choi sambil menjelaskan lagi.

“Mulai sekarang perhatikanlah kondisi serta asupan tubuh anda, dan temui saya 6 minggu lagi”

Perkataan dokter Choi menggema di ingatanku, Hamil ?! Oh, Shit ! bagaimana mungkin ini bisa terjadi ?! seharusnya aku tidak membiarkan Kai melepas ‘ITU’ saat kami melakukannya. Segera kuambil HP ku dan men-dial nomor Kai.
“Yeobeoseyeo..?” sapaku.
“Ne, yeobo~ wae ?” jawab Kai
“Neo, eodi ?” tanyaku
“Nan ? jigeum ? eoh.. ehm.. Chanyeol’s House”
“Pulang!” perintahku padat singkat dan jelas, langsung kuputuskan sambungan telpon kami tanpa memberikan Kai kesempatan untuk menjelaskan. Kupercepat langkahku menuju mobilku yang terparkir di halaman Rumah Sakit Seoul ini.

Sesampainya di apartement yang kutempati bersama Kai, aku langsung menuju lift dan menekan tombol 5 yang menunjukkan lantai lokasi apartement kami. Ternyata Kai sudah sampai di rumah dan sedang menonton TV. “Aku pulang” kataku di depan pintu sambil melepas sepatuku. “eoh, kau sudah pulang ?” jawabnya. Kai langsung menghambur ke arahku dan memelukku serta memberikan kecupan ringan di bibirku. “Ada apa ? kenapa memintaku pulang, hmm ?” tanya nya setelah kami duduk di sofa. “Aku ingin memberi tahu sesuatu padamu” jawabku “Tentang apa ?” tanya nya lagi. “Jongin~ah… aku… err.. Aku…hamil” ujarku dengan berbisik berusaha memelankan suaraku “Kau kenapa ?” tanya nya lagi “Aku hamil” jawabku dengan sedikit mengeraskan suaraku. Hening. Tak ada suara yang tercipta di ruang keluarga kami.

 
TBC~~~
Aigoo… apakah yang terjadi selanjutnya ? seperti judul diatas, it’s still prologue! So, it’s short.. yep.. how is it ? good ? bad ? boring ? okay, sorry for that. Kalo bnyak yang comment dan suka sama cerita ini, bisa dilanjutkan kok.. ^^ kalo gak suka,.. ya stop disini, maksud’nya stop di publikasikan di wp ini.. tapi author tetep ngelanjutin di wp pribadi author.. Maaf juga bagi yang baca ff author yg berjudul “Love Me, Please” author belum bisa ngelanjutin… :(
oke deh, comment please, keep it cool and don’t bash me! ^^ annyeong

P.S. : yg mau kenalan boleh follow author di @Bella_KyungSoo *promosi* tenang aja pasti di follback kok ^^ atau yg punya BB ? invite 282A9183 (Let’s Be Friend guy’s) Kalo mau tau wp pribadiku & update tercepat  misskyungsoo93.wordpress.com ^^

 


Pendaftaran Admin & Author Tetap

Only Hope (Chapter 3)

$
0
0

HunZy

Title : Only Hope

Author : @ellenmchle

Main Cast :

Sehun (EXO-K)
Suzy (Miss A)
Myung Soo aka L (Infinite)

Support Cast :

Min Ah (Girl’s Day)
Sulli f(x)

Genre : Romance, Family, Friendship

Rated : T

Length : Chaptered

Chapter 1  | Chapter 2 |

Disclaimer : Fanfic ini murni hasil karya author @ellenmchle sendiri, terinspirasi dari berbagai drama asia dan khayalan author sendiri kkk. Untuk cast semua milik Tuhan. Buat yang uda ngebaca sebaiknya menjadi readers yang baik ya dengan meninggalkan jejak berupa comment/like karena comment/like dari kalian sangat berarti bagi author.

DON’T BE A PLAGIATOR !!!

 

“Myungsoo-ssi, Jamkkan manyo !”, teriak seorang yeoja yang tak lain adalah Min Ah.

“Wae ?”, jawab Myungsoo seraya menghentikan langkah kakinya.

“Ini untukmu”, ucap Min Ah seraya memberikan sekotak tiramisu.

“Aku tidak sedang ulang tahun”, ucap Myungsoo dingin.

“Aniyo, aku hanya sedang mencoba membuat tiramisu, kata eomma-ku rasanya lumayan, jadi ku bawakan untukmu”, jelas Min Ah seraya tersenyum.

“Ooo. Begitu. Baiklah, aku terima”, jawab Myungsoo dingin seraya mengambil sekotak tiramisu  itu kemudian pergi meninggalkan Min Ah.

-Only Hope-

*Myungsoo’s POV*

 

‘Walaupun oppa tidak tertarik sama sekali dengan Min Ah eonnie, setidaknya oppa menerima pemberiannya sekali dua kali, bayangkan betapa perdulinya Min Ah eonnie terhadap oppa sampai dia rela mengorbankan waktu luangnya yang mungkin hanya didapatkannya beberapa kali dalam seminggu mengingat betapa sibuknya dia HANYA demi membuatkan sesuatu untuk oppa dan oppa bahkan tidak memperdulikannya sama sekali, setidaknya ucapkan terima kasih, OPPA ! Tidak pengertian sekali si !’

Pabo ! Ya, kata itu memang cocok untukku, hanya teringat oleh kata-kata yeojadongsaengku sepekan yang lalu itu saja membuatku merasa semakin menjadi orang bodoh, bagaimana bisa dongsaengku lebih bijak daripadaku ? Belajar dari mana dia ? Ini pertama kalinya dalam seumur hidupku aku menerima pemberian dari seorang yeoja selain yeojadongsaengku sendiri dan yeoja itu adalah Bang Min Ah, setelah berkali-kali ia memberikan sesuatu padaku baik itu hasil rajutannya, kue buatannya atau lainnya yang pastinya semua itu adalah ‘handmade’.

Langkahku terhenti dan aku berbalik ke arah dimana yeoja itu masih berdiri…

“Min Ah-ssi, gomawo…”, ucapku seraya tersenyum tipis padanya.

“Nde ?”, balasnya pelan dengan tatapan antara percaya dan tidak percaya.

“Gomawo atas tiramisunya”, jawabku seraya mengangkat kotak tiramisu pemberiannya.

Tanpa menunggu responnya aku pun berbalik dan mulai melangkahkan kakiku menuju kelas.

-Only Hope-

*Author’s POV*

 

Seorang yeoja berambut coklat kehitaman sedang melihat ke arah lapangan sekolah dari beranda kelasnya seraya meneguk segelas bubble tea, sebuah senyuman terukir di wajahnya setelah melihat pemandangan sesosok namja dan yeoja yang sedang berbincang satu sama lain dengan suasana yang amat canggung.

‘Sudah mulai membuka hatikah, oppa ?’,  gumam yeoja bernama lengkap Kim Suzy itu dalam hati.

Masih dalam imajinasinya mengenai hubungan oppa-nya dan yeoja bernama lengkap Bang Min Ah itu tiba-tiba seseorang berlari ke arahnya dan parahnya orang itu juga tidak sengaja menabraknya hingga membuat bubble tea ditangan Suzy tumpah dan berhasil mengotori seragamnya.

“YA! Apa kau tidak punya mata, eoh?!!”, bentak Suzy sambil mencoba membersihkan seragamnya dengan kedua tangannya.

“Mianhe…”, ucap orang itu dengan nada menyesal.

“Mwo ? Hanya minta maaf kau pikir bisa…”, ucapan Suzy terhenti begitu ia mengarahkan pandangannya pada si pelaku.

“Suzy-ssi ?”, ucap si pelaku dengan memasang ekspresi terkejut.

“Ooo, Sehun-ssi..”, balas Suzy seraya tersenyum penuh arti pada namja itu.

“Mianheyo, jeongmal mianhe, aku benar-benar tidak sengaja. Tadi aku sedang dikejar-kejar temanku.”, ucap Sehun dengan amat menyesal.

“Oo, ne. Gweanchanayo, Sehun-ssi”, balas Suzy seakan malah sangat bahagia setelah kejadian barusan.

Mwo ? Bahagia ? Jelas-jelas tadi Suzy membentak si pelaku .. kkk. Hanya seorang Oh Sehun yang  bisa membuatnya berubah mood dalam hitungan detik.

“Ini, pakailah ini dulu…”, ucap Sehun seraya melepaskan jas seragamnya dan memberikannya pada Suzy.

“Aaa. Gomawo”, balas Suzy setengah mati senangnya, beruntung yeoja itu masih bisa menyembunyikan ekspresi senangnya padahal dalam hatinya sudah meluap-luap bagaikan gunung berapi yang sedang meletuskan lavanya.

“Nanti setelah ganti seragam berikan seragam kotormu padaku, biar aku yang mencucinya.”, lanjut Sehun.

“Gweanchanayo, aku bisa mencucinya sendiri.”, balas Suzy.

“Ani.. aku tetap harus bertanggung jawab atas perbuatanku.”, jelas Sehun.

*Suzy’s POV*

“Ani.. aku tetap harus bertanggung jawab atas perbuatanku.”, jelasnya.

Oh Sehun ! Sampai kapan kau akan membuat hatiku semakin meledak-ledak seperti ini ? Hanya masalah sepele tidak perlu bertanggung jawab ! Yang benar kau harus bertanggung jawab sudah membuat diriku seperti ini sekarang. Oh no ! Aku harus segera melarikan diri dari hadapan namja ini sebelum aku menjadi semakin gila karenanya.

“Gweanchana, tebus kesalahanmu lain kali saja.. Mianhe, tapi aku harus pergi mengganti seragamku sekarang sebelum bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Annyeong Sehun-ssi”, jelasku kemudian meninggalkannya tanpa menunggu respon apa-apa darinya.

Segera aku berlari menuju ruang ganti murid perempuan tapi…

“Gweanchana, tebus kesalahanmu lain kali saja…”

MWO ? Apa yang sudah ku katakan barusan ? Tebus kesalahan di lain waktu saja ? ANDWEA !  Jangan sampai dia berpikiran kalau aku meminta yang aneh-aneh darinya setelah kejadian ini.

“Suzy-ah !”, teriak seorang yeoja dari arah belakangku.

“Oo, Sulli-ah ?”

“YA! Aku daritadi memanggilmu kenapa tidak dijawab ? Apa yang kau pikirkan sampai teriakan suara merduku ini tidak terdengar oleh telingamu, eoh ?”, omelnya seperti biasa.

“Kenapa seragammu kotor seperti ini ? Dan… MWO ? Oh Sehun ?”, ucap Sulli terkejut ketika melihat name tag di jas yang ku kenakan sekarang.

“Ka..kau ?? Oh.. Oh Sehun ??”, tanyanya terbata-bata.

“Ya… ekspresimu tidak perlu berlebihan seperti itu ! Ayo, temaniku ke ruang ganti, akan ku jelaskan nanti setelah aku mengganti seragammku.” Ucapku menenangkannya kemudian merangkul pundaknya dan menyeretnya ke ruang ganti..kkk.

-Only Hope-

*Author’s POV*

 

“Aigoo, jadi dia menabrakmu ? Aku kira dia berbaik hati meminjamkan jasnya karena melihatmu terpuruk seperti ini… ternyata ini semua memang karena ulahnya..”, ucap Sulli sambil berdecak kecewa.

“YA! Jangan berbicara seakan-akan dia melalukan ini semua hanya karena merasa bersalah.”, balas Suzy.

“Memang pada kenyataannya seperti itu kan ?”, jawab Sulli dengan wajah seriusnya dan dalam hitungan detik malah terkekeh sendiri.

“Choi Sulli, kau menertawaiku ?”, bentak Suzy merasa dipermalukan.

“Ani.. hanya sepertinya kau terlalu percaya diri, Suzy-ah..”, jawab Sulli masih terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak sahabat baiknya itu.

“Arghh, apa kau tidak bisa berimajinasi sedikit, sedikit saja, bayangkan jika dia memang sengaja menabrakku untuk meminta atau mencari perhatianku dan dia malah tidak sengaja membuat seragamku kotor karena dia tidak tahu aku sedang memegang segelas bubble tea dan kemudian dia khawatir denganku maka dari itu dia cepat-cepat melepaskan jasnya dan meminjamkannya untukku… dan … *PLAK*”, imajinasi Suzy terhenti setelah sebuah tepukan tangan keras tepat di wajahnya membuyarkan semuanya.

“Sepertinya kita harus kembali ke kelas sebelum Han seonsaengim menghukum kita untuk yang kesekian kalinya.”, ucap Sulli tidak tertarik sama sekali untuk mendengar penjelasan sahabat baiknya itu yang bisa dibilang terlalu mengada-ada.

Suzy pun tersadar dan bangkit dari kursi panjang ruang ganti itu. Kedua yeoja itu berjalan menuju ruang kelas sebelum bel tanda istirahat berakhir akan berbunyi. Ya, semua murid sekolah itu sudah hafal hukuman apa yang mereka terima jika terlambat masuk pada kelas Han  seonsaengim, membersihkan WC ? Tidak ! Itu terlalu mudah katanya, membersihkan lapangan sekolah ? Tidak juga ! Itu juga terlalu ringan untuk dikerjakan, apalagi jika yang terlambat lebih dari 2 orang maka pekerjaan membersihkan lapangan sekolah akan terasa lebih ringan tapi itu semua menurut pandangan Han seonsaengim. Membuat makalah sebanyak 5 rangkap dengan 5 topik yang berbeda-beda dalam waktu 1 bulan mengenai pelajarannya, harus full bahasa Inggris, format size A4, margin normal, line spacing 1.0, font 12 times new roman dan parahnya lagi 1 rangkap makalah minimal harus 30 halaman. Dan jika terlambat dikumpulkan, hukuman akan dinaikkan menjadi dua kali lipat. Sialnya, Suzy dan Sulli sudah pernah menerima hukuman itu selama 2 kali, alasan mengapa terlambat ? Hanya mereka berdua yang tahu.

 

-Only Hope-

*Sehun’s POV*

 

Yeoja itu mengingatkanku pada seseorang…

Oh, ku lihat sebuah jepitan rambut berbentuk pita berwarna peach tergeletak begitu saja dengan tumpahan bubble tea yang hampir mengotori jepitan itu. Ku ambil jepitan itu dan membolak-balikkannya. Ya.. ini pasti milik yeoja itu.. Suzy.

 

*Author’s POV*

 

“Ya ! Oh Sehun, kau telah tertangkap.”, ucap seorang namja berwajah manis dan cute ditemani beberapa teman-temannya.

“Sudahlah, jangan bermain yang aneh-aneh lagi ! Gara-gara kalian aku menabrak seorang yeoja dan parahnya aku juga telah mengotori seragammnya.”, jelas Sehun.

“Hanya menabrak dan mengotori saja kan ? Tidak akan hamil kok, Sehunie. Tenang saja. Kkk”, ucap namja bernama Luhan itu yang kemudian disambut tertawaan teman-temannya yang lain.

“Kau ! Tampang dan kelakuan sangat berbeda jauh …”, balas Sehun kemudian meninggalkan mereka.

“YA! Oh Sehun! Kau mengataiku ?!”, teriak Luhan tanpa ada tanggapan dari Sehun.

 

-Only Hope-

 

@ Kim’s House – 05.48 PM KST

 

*Author’s POV*

 

Myungsoo yang sedari tadi melihati jam dinding kamarnya semakin khawatir karena dongsaeng kesayangannya belum juga pulang padahal jarum jam hampir menunjukkan pukul 6 malam. Merasa dongsaengnya akan terganggu jika dirinya langsung ke sekolah atau menelepon maka Myungsoo lebih memilih untuk mengirimkan pesan singkat pada dongsaengnya.

 

To : Kim Suz

From : Kim Myung

Masih di sekolah ?

 

To : Kim Myung

From : Kim Suz

Sebentar lagi aku pulang, oppa.

 

To : Kim Suz

From : Kim Myung

Perlu ku jemput ?

 

To : Kim Myung

From : Kim Suz

Supir Sulli akan mengantarkanku sampai di rumah dengan selamat. Tenang saja oppa ^^

 

Seakan tahu bahwa oppa-nya sudah mulai khawatir karena dirinya belum juga ada di rumah jam sedangkan jarum jam hampir menunjukkan pukul 6 malam , Suzy membalas pesan singkat oppa-nya dengan menekankan kata-kata ‘sampai di rumah dengan selamat’. Suzy sudah tahu sifat oppa-nya yang begitu perhatian terhadapnya. Bukannya merasa risih karena kehadiran seorang oppa yang terlalu protektif melebihi kedua orangtuannya, Suzy malah bersyukur dianugerahi oppa sebaik dan seganteng oppa-nya, Kim Myungsoo.

Myungsoo yang mendapatkan balasan pesan seperti itupun mulai sedikir tenang dan memutuskan untuk turun ke bawah dan segera menuju dapur untuk mengecek apakah Hong ahjumma sudah menyiapkan makan malam atau belum. Setelah memastikan bahwa Hong ahjumma telah mulai menyiapkan makan malam, Myungsoo hendak berjalan ke arah ruang keluarga dan berencana untuk menonton beberapa acara di tv sambil menunggu dongsaengnya pulang tapi itu semua sepertinya tidak akan terwujud karena langkah kakinya sudah terhenti lebih dahulu di depan pintu kamar kedua orangtuanya.

Samar-samar terdengar bahwa Ny.Kim sedang menangis, Myungsoo yang merasa ada yang tidak beres kemudian memutuskan untuk menguping pembicaraan kedua orangtuannya itu.

“Yeobo, dengarkan penjelasanku dulu. Aku juga tidak akan pernah mau melepaskan Suzy pada mereka, tidak akan pernah.”, ucap Tuan Kim.

“Uri Suzy tidak boleh tahu apa-apa tentang masalah ini. Tidak boleh.. Tidak boleh..Yeobo-ah..”, tangisan Ny.Kim semakin menjadi.

“Baik Suzy maupun Myungsoo tidak akan ada yang tahu mengenai masalah ini.. Akan ku pastikan itu..”, Tuan Kim berusaha menenangkan istrinya.

“Yeobo, kita pindah saja dari Seoul. Kita tinggalkan Seoul. Ya.. itu semua akan lebih baik. Kita tinggal di luar negeri. Yeobo, kita harus secepatnya meninggalkan Seoul.”, pinta Ny.Kim mendesak suaminya masih sambil terisak.

“Jangan sampai mereka menemui uri Suzy. Jangan sampai mereka membawa uri Suzy pergi, Yeobo-ah”, lanjut Ny.Kim.

Tuan Kim terus berusaha menenangkan istrinya tanpa tahu bahwa sebenarnya ada yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka dibalik pintu yang tidak tertutup rapat.

Myungsoo yang mendengarkan pembicaraan itu sudah mulai curiga ada yang tidak beres dengan keluarganya terutama yeojadongsaengnya itu. Ia memutuskan untuk merahasiakan ini dari Suzy dan berpura-pura tidak tahu menahu akan tentang persoalan ini di depan orang tuanya. Ia akan membuktikannya kecurigaannya sendiri terlebih dahulu.

“Eomma, Appa, Oppa aku pulang…..”, suara Suzy memenuhi setiap ruangan di rumah itu.

“Aa..sudah pulang ? Cepatlah mandi dan bersiap-siap untuk makan malam.”, sambut Myungsoo berusaha mengalihkan suasana rumah yang sedang tidak seperti biasanya. Hal itu dilakukan agar Suzy tidak curiga.

“Ne oppa..”, jawab Suzy memasang wajah manis seraya berjalan menuju tangga.

“Oya, oppa ! Apa tiramisunya enak ? Sisakan untukku tidak ?”, tanya Suzy seraya menoleh penuh selidik ke arah Myungsoo.

“Nde?”, tanya Myungsoo bingung.

“Tiramisu dari Min Ah eonni. Jangan berpura-pura tidak tahu, oppa. Aku sudah melihat semuanya..kkk.”, goda Suzy.

“Apa kau membuntutiku, eoh ?”, tanya Myungsoo balik dengan tatapan mematikannya.

“Ani ! Hanya tidak sengaja melihatnya. Sudahlah, oppa jangan mengalihkan pembicaraan. Apa tiramisunya enak ?”, balas Suzy.

“Molla, aku belum menyentuhnya sedikitipun. Jika kau mau ambil saja di kulkas.”, jawab Myungsoo enteng.

“YA! Oppa menerimanya tapi tidak memakannya ? Ku kira oppa sudah berubah, ternyata sama saja ! Tidak pengertian sama sekali !”, ucap Suzy dengan nada tinggi kemudian mulai menaiki anak-anak tangga dan meninggalkan Myungsoo.

“Kenapa malah dia yang marah ? Aneh !”, gumam Myungsoo dalam hati.

 

-Only Hope-

@ Kim’s House – 06.15 AM KST

 

*Author’s POV*

 

Pagi itu Myungsoo yang hendak mengambil koran di luar rumah sekalian menghampiri kotak surat yang terletak di teras rumahnya, ia kemudian mengambil beberapa amplop dari dalam kotak surat itu. Di antara amplop-amplop itu ada satu amplop yang membuat Myungsoo penasaran dan kemudian memisahkan amplop itu dari amplop-amplop lainnya dan membawanya ke kamarnya.

Surat hasil test DNA dari pihak rumah sakit yang dikirimkan oleh  Tuan Bae Jinyoung ?

Dengan segera Myungsoo membawa hasil test itu dan bergegas menuju kamar orangtuanya, tangannya sudah terulur untuk mengetuk pintu kamar orangtuanya itu, namun…

“Hasil testnya sudah keluar, Suzy, Suzy memang bukanlah putri kita…”, terdengar suara Tuan Kim dari dalam kamar.

“Tidak mungkin.. ini tidak mungkin…”, gumam Myungsoo dalam hati

“Oppa menguping pembicaraan appa dan eomma ?”, tanya Suzy yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Myungsoo.

Dengan buru-buru Myungsoo memasukkan surat hasil test DNA itu ke dalam kantong celananya, berharap Suzy tidak melihat apalagi sampai membacanya. Setelah itu Myungsoo menarik tangan Suzy dan membawanya keluar rumah. Hanya satu yang ada dipikiran Myungsoo sekarang, ‘jangan sampai Suzy mengetahui yang sebenarnya’.

“Oppa, wae geurae ?”, tanya Suzy heran dengan sikap oppanya itu.

“Berjanjilah apapun yang terjadi kau akan tetap berada di sini dan selamanya bersama kami… Kau tidak boleh pergi, arraseo ?”, ucap Myungsoo panik seraya memegang pundak Suzy.

“Mwoya ? Oppa, neo gweachana ? Kenapa kau panik seperti ini ? Memangnya kenapa aku harus pergi ? Bukankah ini keluargaku ? Oppa jangan bicara yang aneh-aneh ! Tentu saja selamanya kita akan bersama dan hidup sebagai sebuah keluarga yang utuh.”, balas Suzy bingung akan sikap Myungsoo yang terlihat aneh itu.

“Berjanjilah… selamanya kita akan terus bersama. Berjanjilah padaku !”, lanjut Myungsoo dengan matanya yang mulai memerah.

“Oppaaa… sebenarnya apa yang terjadi ? Kenapa setelah menguping pembicaraan appa dan eomma tadi oppa menjadi seperti ini ?”, tanya Suzy semakin heran akan tingkah oppanya itu.

Myungsoo tak menjawab pertanyaan Suzy melainkan malah merangkulnya dalam pelukannya, seakan-akan tidak ingin melepaskan yeoja-dongsaengnya itu, ia terus mempererat pelukannya.

“Berjanjilah selamanya kau akan menjadi Kim Suzy”, gumam Myungsoo.

 

-TBC-

 

Jeongmal mianhe uda tunggu lama banget buat chapter 3 ini .__.

Jujur kemarin-kemarin ga ada ide alias terserang yang namanya Writer’s Block T_T

Puji Tuhan akhirnya bisa ngelanjutin juga ^^ walaupun hasilnya ga maksimal tapi author tetap berusaha memberikan yang terbaik. Maapkan bila ada typo dan sebagainya.

Seperti biasa, leave comment buat kalian yang uda baca..

SILENT READERS GO AWAY !!! 


Don’t Judge Me (Chapter 3A)

$
0
0

Poster 3A - Don't Judge Me

 

Title
Don’t Judge Me

Author
Voldamin-chan

Length
Chaptered

Rating
PG-15

Genre
Romance

Cast
Kim Taeyeon

Lay (Zhang Yixing)

Kim Minseok

Cast
EXO and Girls’ Generation

Disclaimer
This story is mine, pure from my own imagination and all cast is belong to their own but all my biased ^^

Recomendded Backsound
Girls’ Generation – All My Love is For You

 

Author Note

Don’t forget to RCL and enjoy the story

 

 

-Don’t Judge Me-

 

Jalanan masih sepi. Tak terlihat satupun orang berlalu lalang. Wajar saja kalau jalanan masih sepi, karena jam masih menunjukkan pukul 03.00 pagi. Orang-orang masih enggan beraktivitas pada jam-jam seperti ini. Selain itu, mungkin karena ini adalah hari Minggu jadi beberapa orang masih ingin menikmati free time mereka setelah 6 hari penuh melakukan rutinitas masing-masing.

 

Namun, aturan itu tidak bagi penghuni Apartemen No 9 ini. Penerangan di kamar ini masih terus menemani seorang yeoja yang kini masih betah menatap layar notebook di depannya. Kertas-kertas berserakan di semua sudut kamar. Sesekali yeoja itu secara bergantian mengutak-atik notebook dan beberapa kertas yang ada di mejanya. Kadang ia juga menguap lebar di sela-sela kesibukannya.

 

“Aaaahhh…sudah tidak kuat lagi. Aku lanjutkan besok saja.” Ucap yeoja itu sambil merentangkan kedua tangannya untuk sekedar meregangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu lama di depan layar notebook-nya itu. Tugas besar dari Lee songsaengnim benar-benar menguras tenaganya. Meskipun Taeyeon termasuk seorang genius dalam hal seperti ini, tapi Taeyeon tahu betul bagaimana watak songsaengnim-nya itu. Ia tidak mau mengecewakan ekspektasi Lee-saem apalagi ini adalah tahun terakhirnya dan tidak ada satu niatan pun untuk mengukir masalah dengan beliau. Jadi, tugas ini harus bisa mendekati kesempurnaan yang di idamkan beliau. Setidaknya Taeyeon ini bisa sedikit meringankan beban tugas akhirnya dengan memanfaatkan tugas besar ini.

 

Setelah menyeting notebook-nya pada mode hibernate, segera ia bereskan secara singkat beberapa kertas yang tercecer di mejanya tapi untuk membereskan seluruh kertas yang sudah beterbangan di semua sudut kamarnya. Ia merasa tidak sanggup karena matanya kini sudah tidak bisa diajak kompromi untuk menuruti kemauannya supaya tetap terbuka dan segera menyelesaikan tugasnya. Otaknya sudah mengirim sinyal-sinyal kelelahan pada tubuhnya. Bisa ia rasakan rasa pegal yang menjalar keseluruh tulang dan sendinya.

 

Segera ia bereskan mejanya yang lumayan berantakan. Langkah terakhir adalah menyusun beberapa pigura kecil yang menghiasi meja kecil itu, karena letaknya yang sepertinya kurang simetris sebagai hiasan mejanya akibat efek samping tugasnya radi. Namun, salah satu pigura yang bertegger disana terasa ganjil. Kenapa? Hanya pigura berwarna hitam itu yang tidak bertuan dengan kata lain tidak ada satu foto pun yang mengisinya. Memang aneh, tetapi Taeyeon tetap meletakkan di sudut yang sama. Entah, apa yang sebenarnya membuat Taeyeon tetap memajang pigura tak bertuan itu disana.

 

Dirasa sudah cukup rapi, Taeyeon langsung menghempaskan tubuhnya di single bed sederhana yang terletak di sebelah kanan meja belajarnya. Lengan kanannya ia letakkan di atas dahinya dan secara perlahan kelopak mata Taeyeon mempersempit jarak dengan kantung matanya. Tidak sampai 1 menit Taeyeon sudah memasuki dunia mimpinya.

 

-Don’t Judge Me-

 

Disisi lain di waktu yang sama, tak jauh dari taman kota Seoul berdiri gagah sebuah bangunan Apartemen yang cukup mewah, berlantai 20 yang memang diperuntukkan bagi para orang berkantong tebal. Lantai ke-10, kamar bernomor 10, seorang  namja bermata sipit, berlesung pipi yang bisa memikat setiap wanita ketika melihatnya dan berperawakan tinggi kurus sedang berada di dalam kamarnya, tepatnya berbaring di atas tempat tidur berukurang king size. Yap, ia adalah penghuni tunggal di kamar nomor 10 itu. Namja itu berulang kali membolak-balik setiap halaman buku berukuran A4 dimana sampul depan buku itu bertuliskan “LAY”.

 

“Lay… ah, bukan seharusnya aku tulis saja Zhang Yixing. Itu baru nama asliku.” Namja bernama Lay sang pemilik buku sedang berguman sendiri mengomentari nama yang tertera di sampul depan buku itu.

 

Sekali lagi Lay membuka halaman demi halaman yang ada di dalamnya. Setiap kali ia membuka halaman ke-10, Lay mengerutkan keningnya sembari memegangi dada sebelah kiri. Lay menyentuh dada sebelah kirinya bukan berarti dia sedang sakit atau apa, meskipun dulu ia sempat mengalami sakit yang menurutnya sangat bersejarah itu, tetapi ia merasa ada yang aneh ketika membuka halaman ke-10 itu. Selalu, detak jantungnya selalu menimbulkan sensasi yang aneh dan itu selalu bereaksi pada halaman ke-10.

 

Ia terus mengamati not-not balok yang mengisi halaman itu berusaha mencerna dan memahami kaitan antara sensasi detak jantungnya yang sekarang tak beraturan dengan isi buku itu. “Kenapa aku merasa harus memainkan lagu ini ketika aku melihat piano di auditorium tadi? Sungguh aneh, padahal dulu aku tidak seperti ini dan biasa saja ketika melihat piano.”

 

Lay mulai memijat pelipisnya, ia merasa tidak punya jawaban yang pasti tentang masalah aneh ini. “Apa gara-gara operasi saat itu,ya? Sejak saat itu rasa aneh ini muncul dan selalu saja ‘I Giorni’. Kenapa tidak terjadi pada lagu-lagu yang lain, yang selama ini pernah kumainkan?” tiba-tiba saja opini itu terbersit dipikirannya.

 

“Aneh. Ah, sudahlah lebih baik aku tidur saja. Sore ini masih ada janji dengan Lee-songsaengnim di kampus.” Lay akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menghentikan aktivitas begadangnya hari ini. Ia hanya punya beberapa jam saja untuk mengistirahatkan tubuhnya sebelum bertemu dengan Lee-songsaengnim.

 

Haahh.. kenapa dosen itu harus menemui muridnya di hari libur seperti ini sih. mengganggu waktu istirahatku saja. Lay menggerutu dalam hatinya karena ulah salah satu dosennya itu. Bagaimanapun ia tidak mau mencari masalah dengan dosen perfectionist seperti itu, bisa-bisa nilainya yang jadi korban. Tanpa lampu dimatikan, Lay tertidur di kasur king size-nya di temani dengan buku musiknya yang tergeletak di samping bantalnya.

 

-Don’t Judge Me-

 

Dak.. dak.. dak..

Klik.. klik..

Klang…

Cessshhh…

 

Suara-suara aneh ini tak sengaja membangungkan Taeyeon dari dunia mimpinya. Taeyeon mulai terbangun dan menggeliat lelah di tempat tidurnya. Segera ia buka selimut yang masih menutupi tubuhnya. Eh? Sepertinya ada yang aneh. Kapan ia memakai selimut? Seingatnya tadi pagi ia langsung terlelap dan sepertinya ia tidak pernah mengeluarkan selimut yang biasanya terlipat rapi di dalam lemari pakaiannya. Jangan-jangan dia lagi, guman Taeyeon.

 

Masih dalam keadaan berantakan karena baru bangun tidur, Taeyeon menuju sumber suara yang sempat menganggu tidurnya tadi. Sepertinya suara aneh tadi berasal dari dapur kecilnya. Ternyata dugaanya tepat 100%. Suara-suara aneh tadi ternyata berasal dari kegiatan dapur yang sekarang ia saksikan dengan mata yang masih sedikit bengkak. Taeyeon mengusap-usap matanya sebentar untuk lebih melihat dengan jelas seorang namja yang sekarang memakai apron sekaligus memakai daerah dapurnya. Mata Taeyeon terbelalak ketika ia menyadari siapa namja berpipi tambun yang sedang memakai apron dan beraktivitas di dapurnya.

 

“Minseok-a?! Kau sedang apa disini?” Taeyeon melangkah mendekati namja yang ternyata temannya sendiri, Kim Minseok.

 

Minseok membalikkan tubuhnya untuk melihat seorang Kim Taeyeon yang masih berantakan dan sedang berjalan ke arahnya. “Ya sedang memasak, memangnya apa lagi yang bisa dilakukan di dapur ha?”

 

Kini Taeyeon sudah ada di samping Minseok dan menyaksikan lebih jelas apa yang sedang ia masak sekarang. “Iya aku tahu kau sedang memasak. Maksudku kenapa pagi-pagi begini kau sudah ada disini, memasak pula. Memang kau belum sarapan?” tanya Taeyeon penasaran.

 

“Ya, Kim Taeyeon! Apanya yang pagi, ini sudah hampir jam makan siang. Memang kau begadang sampai jam berapa sih semalam. Tumben sekali kau bangun sampai sesiang ini.” balas Minseok tanpa menoleh pada Taeyeon, masih sibuk dengan kegiatan memasaknya.

 

Taeyeon memiringkan kepalanya sembari memperlihatkan kerutan keningnya. Ia sedang berusaha mencerna apa yang dikatakan Minseok barusan. Minseok yang melihat Taeyeon masih belum paham yang dikatakannya barusan, mengarahkan jari telunjuknya ke jam dinding yang bertengger di dinding ruang makan yang hanya berjarak beberapan meter dari dapur.

 

Kepala Taeyeon mengikuti arah telunjuk Minseok. “ASTAGA! Sekarang jam 12.15 siang! Ini memang sudah jam makan siang bukan hampir, Minseok-a!” Taeyeon terperanjat melihat jarum jam yang terus berjalan di jam dinding itu. Benar yang dikatakan Minseok ini adalah rekor bangun siangnya selama ini. “Kenapa kau tidak membangunkanku? Jadi kau yang mengeluarkan selimutku? Kau tidak melihat yang aneh-aneh kan di lemariku?” selidik Taeyeon dengan menjulurkan jari telunjuknya ke arah Minseok, sekaligus kesal pada temannya satu ini, karena tidak membangunkannya sedari tadi.

 

“Aigoo.. aku tadi melihatmu tidur pulas sekali jadi aku tidak mau membuatmu terganggu. Dan kau terlihat kedinginan jadi ya aku menyelimutimu, makanya lain kali sebelum tidur kau tutup jendelamu.” Jawab Minseok panjang lebar sembari menyelesaikan tahap akhir proses memasaknya. “Memang apa yang aneh di dalam lemarimu? Mungkin cuma baju dan pakaian dalammu.” lanjut Minseok dengan polosnya. Sekarang ia sudah memindahkan masakannya ke dalam piring saji yang sebelumnya sudah ia tata disana. Ia letakkan hasil karyanya itu di atas meja makan.

 

Taeyeon masih terdiam berdiri di tempatnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, Taeyeon merasa malu karena Minseok sudah melihat isi lemarinya. Secara tidak langsung Minseok sudah melihat tumpukan ‘pakaian dalam’nya disana. Memang sudah lama Taeyeon mengenal Minseok, sejak kecil malah. Tapi bagaimana pun Taeyeon masih sadar kalau dia perempuan dan Minseok laki-laki. Astaga, kau ceroboh sekali Kim Taeyeon! Rutuknya.

 

“Kim Taeyeon, sampai kapan kau mau berdiri disana? Cepat makan sebelum nasi gorengnya jadi dingin. Kau mau membuat kerjaku sia-sia?” perintah Minseok pada Taeyeon yang tidak segera mengambil tempatnya di meja makan.

 

“Ah.. iya.. iya.. aku segera makan.” sontak Taeyeon langsung mengambil tempat duduk di meja makan itu dan berhadapan dengan Minseok. Takut Minseok menceramahinya panjang lebar seperti dua hari yang lalu, Taeyeon segera melahap beberapa sendok nasi goreng yang ada di piringnya.

 

Hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring di ruang makan yang berukuran kecil itu. Minseok yang sudah selesai dari tadi, kini menikmati pemandangan seorang Kim Taeyeon yang sedang menyantap hasil karyanya tadi. Bibir Minseok melengkungkan  senyumannya ketika ia melihat seorang yeoja didepannya benar-benar hidup. Ia berharap  yeoja  ini bisa terus seperti ini, menikmati kebebasannya. Tidak ada yang mengekangnya atau pun membuatnya sedih. Minseok selalu berdoa agar yeoja yang sangat ia sayangi ini tidak kembali terpuruk lagi seperti 2 tahun yang lalu. Itulah alasan kenapa ia terlihat cerewet, karena Minseok peduli dengan seorang yeoja bernama Kim Taeyeon itu.

 

Meskipun ia tidak bisa sepenuhnya memiliki hati seorang Kim Taeyeon, Minseok sudah bersyukur bisa berada di samping yeoja ini. Memang terdengar munafik, tetapi itulah kenyataan yang bisa ia dapatkan sekarang. Seandainya Taeyeon bisa menyadari perasaannya yang sebenarnya, betapa namja ini sangat menyayanginya.

 

“Wah, Minseok. Tidak diragukan lagi kalau kau memang berbakat masak. Masakanmu tidak pernah tidak ada yang tidak enak.” puji Taeyeon setelah meneguk segelas air mineral yang disodorkan Minseok di depannya.

 

“Iya.. iya.. aku sudah mendengar ribuan kali komentar yang sama darimu. Kalau kau memang begitu menyukai masakanku, kenapa kau tidak menikah dan tinggal bersamaku saja. Kan kau bisa menikmati makananku setiap hari hahahaha…” Minseok tertawa seraya menanggapi komentar Taeyeon, tetapi di balik tawanya itu Minseok serius dengan ucapannya tadi. Entah kali ini Taeyeon menyadarinya atau bereaksi sama seperti sebelum-sebelumnya.

 

“Ck.. Ya, Minseok-a. Aku ini serius memuji masakanmu, kau malah menertawakanku. Kau ini selalu melakukan hobimu itu disini, memang Kim Ajumma melarangmu lagi?” Minseok tersenyum lirih mendengar tanggapan Taeyeon seperti yang ia duga sebelumnya. Ternyata Taeyeon hanya menganggapnya bercanda. Minseok memandang lirih punggung Taeyeon yang sibuk mencucui beberapa piring.

 

“Tidak, hanya ingin saja.” Taeyeon menoleh dan tersenyum begitu mendengar tanggapan singkat dari Minseok.

 

Kapan kau akan sadar kalau aku serius dengan pernyataanku tadi. Kapan kau tidak menganggapku bercanda. Kapan kau akan sedikit menoleh padaku. I love you. I can wait for you endlessly. When you come to find me, i can smile at you. Always. Minseok menghela napas lalu bangkit dari kursinya untuk membantu Taeyeon membersihkan piring-piring kotor yang menumpuk.

 

-Don’t Judge Me-

 

 

Yakkk.. akhirnya saya selesaikan Chapter 3A FF ini. Oh iya, sengaja Chapter 3 ini aku buat 2 part soalnya kalau di jadiin satu terlalu penuh halamannya, takut ga enak kalo dibaca terlalu panjang. Segera diselesaikan juga Chapter 3B. Maap juga di chapter 3 ini masih belum aku masukin inti kisahnya, maklum kan masih amatiran di bidang FF jadinya kudu mikir-mikir lagi hehe.. juga galau nunggu EXO ga segera comeback nih. Oke selamat membaca dan jangan lupa give me RCL^^ Annyeong~ thanks for reading….


TRUE LOVE (Chapter 4)

$
0
0

TRUE LOVETitle : True Love (Chapter 4)

Author : Jellokey

Main Cast :

Kim Jong In (Kai EXO-K)

Oh Sehun (Sehun EXO-K)

Luhan (Lu Han EXO-M)

Kim Joon Myun (Suho EXO-K)

Kang Jeo Rin (OC)

Shin Min Young (OC)

 Support Cast :

Wu Fan (Kris EXO-M)

Park Chanyeol (Chanyeol EXO-K)

Do Kyungsoo (D.O EXO-K)

Byun Baekhyun (Baekhyun EXO-K)

Kim Min Ra (OC)

Jang Mi Sun (OC)

and others

 Length : Chaptered

 Genre : Romance, Family, School Life

 Rating : PG-16

 

“Aku akan merebut Jeo Rin darimu.” Perkataan Kai sukses membuat Suho menghentikan langkahnya.

“Kau benar-benar ingin perang denganku rupanya. Kau pikir Jeo Rin sama seperti yeoja-yeojamu selama ini? Kau takkan bisa merebutnya dariku.” Suho berjalan meninggalkan lapangan basket.

“Apa maksud ucapanmu, Kai? Kau bercanda kan?” tanya Lu Han. Kai meringis karena sudut bibirnya yang luka akibat tonjokan Suho. ‘Lumayan juga.’ batin Kai.

“Aku serius, Lu Han. Aku akan merebut Jeo Rin dari Suho.”

“Apa yang kau pikirkan? Jeo Rin sudah punya namjachingu. Dan kau tak bisa mempermainkannya karena dia yeoja istimewa.”

“Justru karena dia istimewa aku harus memilikinya.”

“Apa… kau jatuh cinta pada Jeo Rin?” tanya Lu Han ragu. ‘Seorang Kai jatuh cinta?’ batinnya.

“Kalau itu menurutmu, mungkin iya. Dan aku harus memilikinya.”

“Kau gila, Kai. Mereka sudah pacaran selama tiga tahun. Dan yang aku tahu Suho sangat mencintai Jeo Rin begitu juga sebaliknya.”

“Aku tidak peduli. Bagiku cinta itu harus memiliki. Mian, kalau kelakuanku tidak sesuai dengan apa yang aku sarankan padamu waktu itu, Lu Han. Aku tidak bisa melihat Jeo Rin bersama Suho.” Kai meninggalkan Lu Han di lapangan basket.

“Kau pikir aku bisa melihat Min Young bersama Sehun, Kai? Aku tidak bisa, tapi aku berusaha selama hal itu membuat Min Young bahagia.”

Usaha Kai untuk mendapat perhatian dari Jeo Rin tidak membuahkan hasil. Jeo Rin tetap cuek seperti tidak mengenal Kai. Dan Suho benar-benar senang dengan sikap Jeo Rin. Jeo Rin benar-benar menjaga hatinya untuk Suho.

“Kau tidak bermain, Kai?” tanya Chanyeol setelah melepas ciumannya dari seorang yeoja. Saat ini Kai, Kris, dan Chanyeol sedang berada di club. Kai hanya asyik memainkan gelas winenya.

“Aku tidak menyangka kalau Jeo Rin bisa membuatmu sampai seperti ini.” tambah Kris.

“Tunggu sampai kalian merasakan apa yang kurasakan saat ini.” Kai menegu winenya. Ia mengalihkan pandangannya ke lantai dansa.

“Fiuuh… benar-benar tidak ada yang menarik selain Jeo Rin.”

“Jeo Rin?” Kai menyipitkan matanya melihat seorang yeoja sedang menggerakkan tubuhnya mengikuti alunan musik.‘Tidak mungkin. Apa karena minum aku berhalusinasi melihat Jeo Rin? Tapi satu gelas wine tidak berpengaruh padaku.’ batin Kai.

“Chanyeol!” Kai menepuk pundak Chanyeol yang ada di sampingnya.

“Heem…”

“Yaakh… hentikan dulu kegiatanmu itu.”

“Kau mengganggu, Kai.”

“Bantu aku. Kau belum ada minum kan?” Chanyeol mengangguk.

“Kau lihat yeoja itu?” Kai menunjuk yeoja yang ia kira Jeo Rin.

“Apa yeoja itu Jeo Rin?”

“Ne. Itu memang Jeo Rin. Kenapa dia ada di sini?” kata Chanyeol yang tidak ditanggapi Kai.

“Baby, I’m coming…” Kai turun ke lantai dansa.

Jeo Rin termasuk salah satu yeoja kaya yang suka ke club. Berawal dari ajakan temannya saat di kelas tiga JHS ia menjadi ketagihan. Dulu hampir setiap hari ia ke club. Tapi karena suho melarangnya, Jeo Rin mengurangi frekuensi ke clubnya menjadi satu kali seminggu. Suho melarang Jeo Rin karena ia belum cukup umur dan yang paling penting karena ia tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Jeo Rin. Sampai saat ini Suho masih mentolerir kebiasaan Jeo Rin karena Jeo Rin memegang kata-katanya bahwa dia bisa menjaga dirinya. Bukan Suho tidak bisa menjaganya hanya saja Suho tidak suka tempat hingar seperti itu. Entah bagaimana Jeo Rin bisa masuk ke tempat itu. Mungkin karena ia orang kaya ia bisa masuk tempat itu dengan mudah.

“Aku tidak menyangka kalau yeojachingu seorang Kim Suho mau datang ke club.” kata Kai dengan suara keras agar Jeo Rin bisa mendengarnya. Jeo Rin tidak mempedulikan Kai.

“Apa jadinya kalau Suho mengetahui yeojachingunya berada di club?”

“Kau mau memberitahunya? Silahkan. Toh dia sudah tahu kalau aku ada di club.” Akhirnya Jeo Rin merespon Kai. Kai menarik Jeo Rin merapat padanya.

“Kenapa kau tidak pernah meresponku setelah kita kembali dari pantai?” Jeo Rin mendorong tubuh Kai.

“Kenapa kau selalu merusak kesenanganku?” Jeo Rin hendak meninggalkan tempat itu tapi Kai menariknya dan dengan cepat mencium bibirnya.

“PLAAK!”

Kebisingan di tempat itu seakan hilang digantikan bunyi tamparan yang baru dilakukan Jeo Rin pada Kai. Semua orang menatap ke arah mereka. Chanyeol dan Kris terkejut melihat hal itu.

“Aku sudah pernah bilang padamu untuk jangan menyentuhku dan dekat-dekat denganku.” Jeo Rin meninggalkan tempat itu. Tidak peduli dengan orang-orang yang menatap padanya. Bagaimana tidak? Baru kali ini ada yeoja yang menampar Kai sang casanova. Kai berjalan ke tempat Kris dan Chanyeol sambil memegang bekas tamparan Jeo Rin.

“Jeo Rin benar-benar yeoja yang hebat.” kata Kris . Chanyeol dan Kris menyuruh yeoja yang bersama mereka pergi. Lalu duduk di sebelah kanan dan kiri Kai.

“Kau tahu, tadi saat Jeo Rin menamparmu waktu seakan berhenti.” tambah Kris.

“PLAK!”

Kai dan Kris terkejut dengan apa yang dilakukab Chanyeol.

“Kenapa kau menamparku?” Kai menatap marah pada Chanyeol.

“Mian, he he he. Mana yang lebih sakit? Tamparanku atau tamparan Jeo Rin?” tanya Chanyeol. Kai masih menatap marah pada Chanyeol yang dibalas cengiran tak berdosa dari Chanyeol.

“Tamparanmu memang sakit, tapi masih lebih sakit tamparan Jeo Rin. Karena itu juga menyakiti hatiku. Dan Jeo Rin harus membayar sakit ini.” Kai menyeringai.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Chanyeol.

“Membuatnya menjadi milikku.”

“Sebenarnya kau jatuh cinta pada Jeo Rin atau hanya ingin mempermainkannya?” Kris menimpali.

“Aku jatuh cinta sekaligus ingin bermain-main dengan Jeo Rin.” Perkataan Kai sukses membuat Chanyeol dan Kris bingung. Mereka saling berpandangan.

“Kami tidak mengerti apa maksudmu.”

“Kalian hanya perlu menunggu apa yang akan kulakukan.”

#############

Jeo rin langsung mengambil handphonenya begtu merasakan getaran di saku blazernya.

From: Min Young

Jeo Rin-ah, kau harus ke lapangan basket sekarang. Suho oppa berkelahi dengan Kai.

Ppali!

Jeo Rin langsung mempercepat langkahnya. ‘Ini pasti karena gosip murahan itu. Pantas saja dari tadi Suho oppa mendiamkanku.’ batin Jeo Rin. Saat sampai di sekolah Jeo Rin sudah mendengar gosip aneh tentangnya walaupun gosip itu benar.

Kai DITAMPAR Jeo Rin karenaMENCIUM paksa Jeo Rin. Ia tidak habis pikir dengan murid-murid yang ada di sekolah ini. Kenapa gemar sekali bergosip? Jeo Rin langsung menerobos kerumunan orang yang ada di tempat itu. Dapat ia lihat Sehun yang menahan Suho dan Lu Han menahan Kai.

“Oppa…” Suho dan Kai menoleh pada Jeo Rin bersamaan. Saat Sehun dan Lu Han lengah, mereka melanjutkan perkelahian mereka. Melihat itu, Jeo Rin berjalan mendekati Suho.

“Oppa, gumanhae..” Jeo Rin berusaha menenangkan Suho. Tapi Suho tidak mempedulikannya. Suho menarik kerah baju Kai, menonjok wajah Kai dan Kai pun membalas Suho.

“Gumanhae….” teriak Jeo Rin. Dan saat itu juga mereka berhenti. Suho melepaskan tangannya dari kerah baju Kai. Nafasnya terengah-engah. Kai menyentuh sudut bibirnya yang berdarah.

“Ini baru awal, Suho.” Kai benar-benar menyulut emosi Suho. Suho hendak menonjok Kai lagi tapi ditahan Jeo Rin dan Sehun.

“Tenang, Suho.” kata Sehun.

“Kupastika tidak lama lagi kau akan menjadi milikku, baby.” Kai mencium pipi Jeo Rin dan berlalu pergi.

“Kenapa kau menahanku hah? Namja brengsek itu harus diberi pelajaran.” Jeo Rin tidak mempedulikan kata-kata Suho. Saat ini ia harus mengobati luka di wajah Suho dan menenangkannya. Jeo Rin menarik Suho menuju UKS.

###########

Sesampainya di UKS Jeo Rin langsung mendudukkan Suho di kasur dan mengambil kotak P3K. Kebetulan tidak ada yang jaga UKS saat itu.

“Bisakah tidak berkelahi untuk menyelesaikan masalah?” kata Jeo Rin sambil mengobati luka di wajah Suho.

“Kau pikir ini masalah sepele? Dia menciummu. Dan aku tak bisa diam saja mendengar yeojachinguku dicium paksa oleh namja brengsek seperti dia.”

“Aku sudah memberi dia pelajaran.”

“Tamparanmu tidak berarti apa-apa untuknya. Ini sebabnya kenapa aku melarangmu ke club. Aku tidak mau ada orang yang melakukan hal yang tidak-tidak padamu. Kali ini dengarkan aku, Jeo Rin-ah. Jangan pergi ke club. Aku tidak mau hal seperti ini terulang lagi.” Suho memegang kedua pipi Jeo Rin. Menatap lekat mata Jeo Rin.

“Ne, oppa. Aku takkan ke club lagi. Demi oppa dan demi kebaikanku. Saranghae, oppa.”

“Nado saranghae, Jeo Rin-ah.” Kedua orang ini saling mendekatkan wajahnya sampai bibir mereka bersentuhan. Memejamkan mata mereka dan saling melumat bibir, lama kelamaan ciuman mereka semakin panas. Suho menarik Jeo Rin padanya sampai tidak menyisakan jarak dan Jeo Rin meremas rambut hitam Suho. Merasa kekurangan oksigen, Jeo Rin menjauhkan wajahnya. Nafasnya terengah-engah begitu juga Suho. Suho mengelus pipi Jeo Rin.

“Kau haru memberitahuku kalau namja itu mengganggumu.”

“Aku bisa mengatasinya, oppa.”

“Dengarkan aku, dia berbahaya. Kau belum tahu seperti apa dia.”

“Ne, aku akan memberitahumu, oppa.”

#############

“Lebih baik kau lupakan niatmu itu, Kai. Kau lihat kan bagaimana Suho menghajarmu? Mungkin kalau tidak ada yang menahannya, kau pasti berada di rumah sakit sekarang.” Tiga hari Kai memutuskan untuk tidak sekolah karena luka-luka di wajahnya. Saat ini Lu Han, Kai, Chanyeol, Kris sedang berjalan menuju lapangan basket. Mereka tergabung dalam tim inti basket EXO High School bersama Suho dan Sehun. Hanya saja Kai, Kris, dan Chanyeol sudah lama tidak mengikuti latihan basket. Tidak ada keputusan yang mengatakan mereka dikeluarkan dari tin basket. Lu Han memaksa ketiga orang itu untuk latihan basket Ia ingin tim basketnya latihan bersama sebelum mereka semakin disibukkan dengan persiapan ujian akhir.

“Luka ini tidak berarti apa-apa buatku. Lebih baik kau perhatikan kondisimu, Lu Han. Wajahmu pucat dan kau semakin kurus. Kau yakin mau latihan?”

“Jeo Rin juga tidak menanggapimu.” Lu Han tidak mempedulikan kata-kata Kai.

“Kau tidak mendengarkanku? Lihat kondisimu, Lu Han!” Kai kesal karena ucapannya tidak didengarkan Lu Han.

“Buat apa kau mengejar yeoja yang sudah mempunyai namjachingu?”

“Sudah.. sudah. Kalian seperti anak kecil saja.” kata Kris.

“Lagipula percuma kau mengatakan hal itu pada Kai, Lu Han. Kai tidak akan menyerah sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan.” kata Chanyeol.

“Kenapa aku bisa melupakan sikap buruk anak ini?” Kai melemparkan death glare-nya pada Lu han.

“Ayo cepat. Sehun dan Suho pasti sudah mulai latihan.” Lu Han seakan tidak terpengaruh dengan death glare yang Kai layangkan padanya.

############

“Kenapa kau mengajak orang-orang itu, Lu Han?” tanya Suho begitu melihat Kai, Kris, dan Chanyeol.

“Apa kau lupa kalau kami masih anggota tim basket EXO? Walaupun kami tidak pernah latihan, tapi pelatih tidak memutuskan untuk mengeluarkan kami.” kata Kai.

“Aku minta kalian melupakan masalah kalian sejenak. Hanya sampai latihan ini selesai. Waktu kita tinggal sebentar di sekolah ini. Aku ingin berlatih bersama dengan anggota tim inti basket EXO.” ucap Lu Han. Min Young dan Jeo Rin yang saat itu berada di bangku penonton hanya menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka baru tahu kalau ketiga namja bad boy itu anggota tim basket EXO High School.

“Baiklah, ayo kita mulai latihan basketnya.” Suho melemparkan basket ke arah Sehun. Permainan mereka benar-benar hebat. Mereka kompak, padahal ada ketidakcocokkan di antara beberapa anggota. Akhirnya mereka selesai setelah hampir dua jam latihan. Sehun dan Suho langsung menghampiri Min Young dan Jeo Rin. Yang dilakukan Min Young dan Jeo Rin sama, memberikan air mineral dan mengelap keringat namjachingu mereka dengan handuk kecil. Kai menatap tidak suka pada Suho dan Jeo Rin. ‘Apa maksud anak itu? Ingin menunjukkan padaku kemesraannya dengan Jeo Rin?’ batin Kai. ‘Aku ingin kau tersenyum seperti itu padaku, Young.’ Lu Han tersenyum kecut. Ia memegang kepalanya yang terasa pusing.

“Aku pulang duluan.” pamit Lu Han.

“Kami juga pulang.” Suara Kris dan Chanyeol. Kai mengekor di belakang mereka.

#############

“Oppa, aku ingin main ke rumahmu.” kata Min Young pada Sehun saat mereka sedang berjalan menuju pemberhentian bus.

“Buat apa? Kau tidak akan nyaman berada di rumahku nanti.”

“Oppa bilang oppa punya yeodongsaeng yang seumuran denganku. Aku ingin bertemu dengannya.”

“Tapi rumahku kecil, Youngie.”

“Kenapa oppa mempermasalahkan itu? Aku bukan mau melihat rumahmu. Aku mau berkenalan dengan keluargamu, oppa. Jebal.” Min Young mengeluarkan puppy eyes-nya.

“Kau yakin?” Min Young menganggukkan kepalanya semangat.

“Baiklah. Kita ke rumahku.”

##############

@ Oh family’s house

“Bagaimana? Apa kau menyesal, Youngie?” tanya Sehun begitu sampai di rumahnya.

“Aniya. Rumah oppa bagus.” Min Young melihat rumah brtingkat di depannya. Jika dibandingkan dengan rumahnya yang seperti istana, rumah Sehun tidak ada apa-apanya. Bunga-bunga yang ada di teras memperindah rumah itu.

“Ayo masuk!” ajak Sehun begitu membuka pintu rumahnya. Menukar sepatu dengan sandal rumah, begitu juga Min Young.

“Oppa, kau sudah pulang?” suara adik Sehun.

“Anak eomma sudah pulang? Bagaimana sekolahmu, nak?” seorang wanita berumur sekitar empat puluhan menghampiri Sehun yang saat itu sedang berada di ruang tamu. Eomma dan adik sehun melihat ke arah Min Young.

“Siapa yeoja ini, nak?”

“Dia… umm… dia…

“Dia yeojachingu Sehun, eomma. Namanya Shin Min Young.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku melihat fotonya di salah satu buku oppa dengan tulisan Shin Min Young di belakangnya.”

“Aiish.. kenapa kau senang sekali merecoki barang-barangku?”

“Kau yeojachingu Sehun?” Ny. Oh langsung bersuara. Ia yakin anak-anaknya tidaka akan berhenti adu mulut kalau sudah seperti itu. Min Young mengangguk malu.

“Yeppuda..”

“Khamsahamnida, ahjumma.”

“Dia adikku yang paling menyebalkan, Youngie.” Sehun menunjuk adiknya.

“Annyeonghaseyo. Shin Min Young imnida.” Min Young mengulurkan tangannya.

“Oh Hayoon imnida. Bangapseumnida.” Hayoon membalas jabatan tangan Min Young.

“Min Young, anggap rumah ini seperti rumah sendiri. Ahjumma ke dapur dulu. Sebentar lagi ajjushimu pulang.”

“Ne, ahjumma.”

“Aku ke kamar dulu, Youngie. Jangan bicara macam-macam, Yoon-ah.” Sehun menaiki tangga menuju kamarnya.

“Bagaimana kau bisa jadian dengan oppaku yanh cerewet itu, Young-ah?”

“Cerewet?”

“Sepertinya dia belum menunjukkan sifat aslinya padamu.”

“Di sekolah dia dikenal dengan namja yang dingin. Banyak yeoja yang sudah patah hati karenanya.”

“Namja dingin? Tidak cocok untuknya.”

“Tapi setelah kenal dengannya, dia tidak seperti yang dikatakan orang-orang padaku. Cerewet? Mungkin kau benar. Dia juga sedikit manja. Hayoon-ah, aku ingin melihat ahjumma masak.”

“kajja, kita ke dapur.”

#############

“Eomma…”

“Yoon-ah, tolong ambilkan sayur di kulkas.”

“Kau harus mencoba masakan eomma. Masakan eomma masakan paling nikmat sedunia.”

“Kau berlebihan, sayang.”

“Melihat ahjumma memasak, sepertinya memasak itu menyenangkan.”

“Memasak memang menyenangkan, Min Young. Apalagi kau memasak sambil memikirkan orang-orang yang kau sayangi.”

“Tapi aku tidak bisa memasak, ahjumma.”

“Kalau begitu ahjumma akan mengajarimu.”

“Jeongmal? Khamsahamnida, ahjumma.”

“Selesai. Kalian tolong bantu ahjumma memindahkan makanan-makanan in ke meja makan.” Setelah selesai memindahkan makanan ke meja makan mereka kembali ke ruang tamu.

#############

“Kau berdandan ya oppa, makanya lama berada di kamar?” kata Hayoon begitu melihat Sehun menuruni tangga.

“Kau tidak lihat aku habis mandi?” Sehun mengambil tempat duduk di samping Min Young.

“Ceritakan pada ahjumma bagaimana kalian bisa jadian. Apa Sehun menyatakan perasaannya dengan romantis? Ahjumma jadi ingat masa muda dulu. Tapi, ajjushimu tidak romantis sama sekali saat menyatakan perasaannya. Semoga anakku tidak meniru appanya.”

“Eomma…”

“Bagaimana, Min Young?”

“Itu rahasia kami, eomma.” kata Sehun dengan wajah memerah.

“Dasar anak pelit. Sepertinya ajjushi sudah pulang, Min Young.” Ny. Oh langsung berjalan menuju pintu begitu mendengar suara mobil.

“Ada tamu rupanya.” Min Young langsung berdiri dan membungkuk begitu melihat Tuan Oh.

“Dia yeojachingu Sehun, yeobo.” kata Ny. Oh.

“Benarkah? Anak appa sudah dewasa rupanya.” Ya.. itu kali pertama Sehun membawa teman yeojanya ke rumah. Sehun menampakkan wajah kesal mendengar ucapan appanya.

“Appa bercanda, Sehun. Siapa namamu, nak?”

“Shin Min Young, ajjushi.”

“Shin Min Young. Kalau begitu ajjushi permisi ke kamar sebentar.” Tuan Oh dan Ny. Oh berjalan bersama menuju kamar mereka.

“Appa dan eommamu mesra sekali, oppa.”

“Kita bisa lebih mesra dari mereka.” Sehun merapatkan duduknya kepada Min Young dan merangkul Min Young.

“Ehemm.. jangan lupa kalau aku masih berada di sini.” ucap Hayoon. Sehun langsung berdiri dan menarik Min Young berdiri juga.

“Mau ke mana?” tanya Hayoon.

Ke depan, biar kau tak menggangguku.” Sehun mengajak Min Young ke teras rumahnya.

##############

“Keluargamu menyenagkan, Hunnie.” Ucap Min Young begitu ia duduk di kursi panjang yang ada di teras.

“Apa Hayoon menceritakan yang aneh-aneh tentangku padamu?”

“Dia mengatakan kalau oppa orang yang cerewet.”

“Anak itu… aku cerewet karena dia selalu menggangguku.” Min Young terkekeh mendengar kata-kata Sehun. Sehun menatapnya heran. Min Young tersenyum kecil dan menangkupkan kedua tangannya di wajah Sehun.

“Wajah tampan ini, ekspresinya bisa berubah setiap saat…

“Kalau berada di dekatmu.” potong Sehun.

“Kadang dingin, senang, kesal, apa aku sudah pernah melihat wajah ini marah?”

“Sepertinya belum. Kalau bisa aku tidak mau memperlihatkan wajah marahku padamu, chagi.”

“Sepertinya sudah. Saat Kai memanggilku waktu itu.”

“Itu bukan marah. Itu… uumm…

“Apa?”

“Aku cemburu.”

“Cemburu?”

“Ne, aku merasa kalian dekat.”

“Baiklah, aku akan mengingat wajah cemburumu, oppa. Sedih juga belum.”

“Kau ingin aku sedih?”

“Tidak. Aku tidak ingin melihatmu sedih. Aku juga akan sedih kalau melihat wajah ini sedih. “ Min Young mengelus pipi Sehun.

“Aku akan sedih kalau aku kehilangan keluarga, teman, dan dirimu. Jangan pernah pergi dariku, Youngie.” Min Young mengangguk. Tangan Sehun berada di pinggang Min Young. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Min Young. Hidung mereka sudah bersentuhan.

“Sehun! Mereka saling menjauhkan diri begitu mendengar suara Hayoon.

“Ouups… maaf mengganggu. Appa mengajak kalian makan malam.”

“Kajja.” Sehun mengulurkan tangannya untuk digenggam Min Young.

##############

Di ruang makan Min Young duduk di sebelah Sehun. Keluarga Oh benar-benar hangat. Suasana makan di rumah keluarga Oh benar-benar berbeda dengan di rumahnya. Min Young hanya menatap makanannya.

“Kenapa tidak makan, Min Young? Apa masakan ahjumma tidak enak?”

“Aniyo, ahjumma.”

“Kau sakit, Youngie?” Sehun menyentuh kening Min Young.

“Aku baik-baik saja,oppa. Suasana seperti ini tidak pernah ada di rumahku. Aku selalu makan sendiri di rumah. Eomma selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kalaupun eomma di rumah, saat makan tidak ada yang boleh bicara.”

“Appamu di mana, nak?” tanya Ny. Oh.

“Appa sudah meninggal.” Sehun mengelus punggung Min Young memberikan kekuatan.

“Jangan sedih, Min Young. Kau boleh menganggap kami sebagai keluargamu. Kau boleh menganggap ajjushi dan ahjumma sebagai appa dan eomma-mu. Ya kan, yeobo?” kata Tuan Oh.

“Ne, benar. Skarang ayo makan yang banyak, Min Young.”

“Ne, ahjumma.”

“Ahjumma? Panggil aku eomma.”

“Ne, eomma.” Mereka pun makan dengan suasana yang menyenangkan.

##############

Sehabis mengobrol dengan keluarga Oh, Sehun mengantar Min Young pulang menggunakan mobil kantor appanya.

“Sepertinya aku akan sering ke rumahmu, oppa. Aku akan belajar memasak dengan eomma.”

“Jeongmal? Aku tidak sabar mencoba masakanmu.” kata Sehun tetap fokus menyetir.

“Semoga masakanku bisa seenak masakan eomma.”

“Kalau bisa lebih enak dari masakan eomma.” Sehun menghentikan mobil di depan rumah Min Young. Turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Min Young.

“Oppa tidak mampir dulu?”

“Ani, ini sudah malam.” Sebuah mobil mewah berhenti di samping mobil Sehun.

“Eomma…” kata Min Young begitu seorang wanita keluar dari mobil mewah itu. Sehun langsung membungkuk hormat pada Min Young eomma.

“Jadi, ini alasan mengapa kau tidak mau memakai supir lagi? Eomma pikir kau berangkat dan pulang sekolah dengan Lu Han.” Ny. Shin menatap sinis pada Sehun.

“Tampan. Tapi kalau miskin tidak berarti apa-apa.”

“Eomma…”

Eomma tunggu kau di dalam, Min Young.” Ny. Shin masuk ke dalam mobilnya. Lalu mobil itu memasuki kediaman keluarga Shin.

“Oppa, jangan dengarkan kata-kata eomma.” Min Young berjinjit, mencium bibir Sehun lalu memeluk Sehun.

“Oppa, saranghae…”

TBC


[LIST] Nama Author yang diterima

$
0
0

[Update 9.1.2013]

Berikut list nama-nama author yang telah diterima untuk bergabung di blog EXOMK Fanfiction :

  1. Fina Fredlina
  2. -
  3. -
  4. -
  5. -
  6. -
  7. -
  8. -
  9. -
  10. -

Note : Bagi yang namanya tercantum di atas harap cek inbox email untuk informasi selanjutnya.

EXOMK Fanfiction masih mencari 9 author(s) untuk ikut bergabung dalam blog ini, tidak ada batas waktu, yang berminat silahkan klik PENDAFTARAN AUTHOR TETAP .


Intuition (Chapter 4)

$
0
0

Intuition

Author : @ghinaga

Cast :

Luhan (Exo-M)
Lee So Hee (OC) / You
Suho / Kim Joon Myeon (Exo-K)
Oh Sehun (Exo-K)
Ji Yeon (T-Ara)
Se Na (OC)
Lee So Hyun (OC)

Genre : Sad, Romance, Friendship

Length : Multi-Chapter

Rating : Teen

A/N : anyeonghaseyo~ author kembali readers ! hehey. Mianhae, lama banget nunggu Intuition chapter 4, soalnya author lagi sibuk-sibuknya sekolah. Tapi, tenang.. author ga lupa buat lanjutin FF ini kok ^^ please no bashing ! buat yang ga suka menjauh saja~ buat yang suka author bagi bagi member exo (?) haha. So let’s to the story ^^ happy reading ~

 

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Aku masih termenung. Memikirkan semua hal yang tiba-tiba terjadi dihadapanku. Otakku masih tak bisa menalarkan segalanya. Dia. Yeoja itu. Lee So Hee.

Bagaimana bisa ? apa yang terjadi padanya ? kenapa dia—

“hei, jangan melamun terus..” tegur Sehun, lalu duduk di sofa tepat disebrangku. Ia lalu menaruh cangkir kopi yang baru saja ia buat di mini bar-ku.

Inilah Sehun. Ini sebabnya mengapa aku bersahabat dengannya. Dia cukup mengerti aku. Dan sampai titik terakhir pun, ia masih memahamiku. Dia tak pernah bersikap gegabah dan menghancurkan segalanya karena emosi. Dia adalah tipe yang setia kawan.

Aku sudah menceritakan semuanya pada Sehun. Semua tentang So Hee. Dan begitu juga Sehun, ia menceritakan semuanya padaku. Menceritakan hal-hal yang ia tahu tentang So Hee.

“lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang ?” tanyanya padaku. Aku mengangkat kepalaku memandang wajah sahabatku yang begitu akrab denganku. Ia mulai menyeruput kopi yang masih mengeluarkan uap itu.

“aku..aku harus menjelaskan semuanya..” aku kembali menundukkan kepalaku sambil menyatukan jemariku.

Terdengar suara helaan napas Sehun, “jadi, sainganku muncul ? kau bergurau, kan ?”

Aku mengangkat kepalaku, kulihat raut wajah Sehun. Dia tak menganggapku sebagai saingannya atau musuhnya. Dia menganggapku sebagai teman.

“tenang saja.. tak akan ada yang terjadi.”

“bagaimana mungkin tidak ? selama ini aku tahu perasaanmu, Luhan !”

“ya. Kau tahu perasaanku, tapi.. kita tak tahu, kan ? bagaimana perasaan So Hee ?”

Sehun meletakkan cangkirnya, ia kembali menyandarkan tubuhnya dan menatapku dengan serius. “katakanlah~”

Aku memandangnya penuh tanda tanya. Tapi, saat aku memperhatikan raut wajahnya yang serius dan tenang, aku tahu apa maksudnya.

“bisa kau bantu aku ?”

Aku bisa melihat ketulusan dari matanya. Itulah Sehun. Itulah mengapa aku bersahabat dengannya.

“aku harus kembali, masuk kedalam hidup So Hee. Tapi, ini agak berbeda. Aku ingin menghapus semua kesedihan, semua luka yang telah kubuat.”

 

“Aku harus meluruskan segalanya.. entah dia mau menerimanya atau tidak, itu urusan belakangan. Tapi, aku harus..aku harus masuk kedalam hidupnya lagi.”

“hem~ baiklah, jika itu yang kau inginkan. Lalu, apa yang bisa aku lakukan ?” komentar Sehun.

“tahap pertama..tiap kali kau bertemu dengan So Hee. Bisakah aku ikut ?”

“hah ?”

“tenang saja, aku tak akan mengganggu. Aku harus melihat sendiri, apa So Hee—”

Sehun segera memotong ucapanku, dia mengerti sulit bagiku untuk mengatakan perasaanku. “kalau kau dan So Hee malah—”

“tidak.. tidak akan. Kita lihat saja nanti..”

“hmm~”

Aku menatap penuh harapan pada Sehun, hingga sebuah kalimat keluar dari mulutku.

“bantulah aku.. kalau kau membantuku, aku akan pindah ke Cheongwadae.”

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Kupandang kakak ku yang sangat kusayangi itu. Selama ini aku hidup dibawah perlindungannya, dibawah semua kehangatan, dan rasa aman yang dia berikan.

Aku selalu bergantung padanya. Apalagi kehidupan orang tuaku yang sudah cukup berantakan. Aku hanya bisa bergantung padanya.

Kurasa hidupku tak berguna. Aku hanya bisa menyusahkannya saja, membuatnya terganggu dan terpaksa mengurusku walau sebenarnya itu bukanlah tugas utamanya.

Dia tak memiliki kesempatan untuk mencari pendamping hidup. Dan semua itu karena aku. Karena dia mengurusku.

Dia mengangkat kepalanya, memandang balik diriku yang sedang hanyut dalam pikiran-pikiran yang begitu mengganggu ketenangan hatiku.

“ada apa ?” tanyanya dengan lembut dan senyuman diakhir kalimat. Aku selalu menyukai senyumannya, aku menyukai setiap rasa aman dan hangat yang dia berikan. Aku.. aku ingin dia bahagia.

“..oppa ?”

“eung ?” dia kembali sibuk dengan semua data medisnya.

“bisakah aku meminta sesuatu ?”

“katakanlah~”

“..kalau suatu saat nanti, kakak menemukan donor mata yang cocok untuk So Hee-eonni, kakak harus segera mengoperasi So Hee-eonni tak peduli siapa pun pendonornya, ya ?”

Aku agak ragu. Aku ragu dia akan mengabulkan permintaanku atau tidak.

“eung..” kuanggap itu sebuah jawaban. Kakak, kau sudah berjanji padaku. Dan kau harus mengabulkannya.

“oppa janji ?”

“ne..”

Entah dia sadar dengan ucapannya atau tidak. Aku tak peduli lagi, tapi kuharap ia serius dengan ucapannya. Aku anggap ini sebuah janji.

“oppa, satu lagi..”

“apa ?”

“hiduplah dengan bahagia. Lindungi dan jaga So Hee-eonni seperti kau selama ini melindungi, menjaga, dan menyayangiku..”

“ada apa denganmu ? meminta hal-hal yang sudah pasti aka kulakukan.”

Aku masih memandanginya. Tersenyum atas jawaban yang memang aku inginkan. Kau mencintai So Hee-eonni, kan ? aku ingin kau hidup bahagia dengannya. Dan tidak usah repot menjagaku terus.

Kumohon.. hiduplah dengan bahagia. Jangan buat aku menyesalinya.

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Hari demi hari berlalu.. selama itu juga aku banyak menghabiskan waktuku untuk memahami yeoja itu. Banyak hal tentang dirinya yang baru kuketahui sekarang.

Aku benar-benar merasa bersalah telah memperlakukannya sedingin itu. sekarang aku sudah mengetahuinya. Lalu, apa yang bisa kulakukan ? aku hanya bisa menjaganya.

“wah, jadi So Hyun sudah dewasa, yah ??” kata Sehun pada So Hee. Kini aku sedang berada diantara mereka, diam membisu dan memperhatikan segalanya. Memperhatikan So Hee.

So Hee mengangguk sambil tersenyum manis pada Sehun. Aku cemburu.

“ya, dia tumbuh dengan cepat. Padahal usianya baru 10 tahun, tak kusangka akan secepat itu mengenal cinta.. haha”

Mereka kembali tertawa bersama. So Hee sedang menceritakan adiknya, So Hyun yang mulai beranjak dewasa dan mengenal cinta. Sungguh, mendengar percakapan ini aku merasa bersalah.

“katakan pada So Hyun.. kalau butuh bantuan, bilang saja padaku.. dengan senang hati aku akan membantunya !”

“hei ! jangan ajari adikku yang tidak-tidak !”

“hihi, hanya bercanda..”

Tiba-tiba ponselku bergetar, untungnya aku sudah memasang ponselku itu pada mode silent.. kalau tidak, bisa gawat !

Kulihat layar ponselku. Ternyata atasanku dan Sehun di Cheongwadae mentelpon. Dengan ragu, aku memberi sinyal pada Sehun kalau aku akan mengangkat telpon dan pergi menjauh sesaat dari mereka.

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

“Sehun~ah..”

“eung ?”

“boleh aku bertanya ?”

“tentu..”

“kenapa..tiap kali kita bertemu, aku selalu merasa ada orang lain. Dia tidak bicara, dia hanya diam dan memperhatikan kita. Aku tak tahu itu hanya perasaanku atau apa, tapi—”

“ah, itu hanya perasaanmu saja !”

“..aku tahu, aku ini buta. Aku tak bisa melihat. Tapi, aku bisa merasakan..”

Sehun terdiam. Ia membeku mendengar perkataan So Hee. Apa yang kulakukan ? aku telah membohonginya ??

“ah, So Hee..” Sehun berniat memberi tahu So Hee tentang keberadaan Luhan, tapi niat itu segera lenyap saat So Hee berkata,

“hm.. mungkin itu hanya perasaanku saja..”

Sehun menghela napasnya yang terasa begitu berat. Apa yang sudah kulakukan ? aku membohonginya ? tapi, aku tak mungkin mengorbankan sahabatku, bukan ?

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

Jika ada waktu senggang memang inilah yang dilakukan Luhan. Membuntuti So Hee kemana pun ia pergi. Melindunginya dari bahaya, menjaganya, dan melakukan apa pun untuk membuatnya bahagia.

“eomma, aku pulang..” kata So Hee seraya memasuki rumah diikuti Luhan. Ibu So Hee sudah tahu tentang niatan Luhan, dan ibu So Hee mengizinkannya selama hal itu tidak membuat So Hee merasa terganggu.

“kau sudah pulang ? mau makan ?” tanya eomma pada So Hee. Ia pun tersenyum pada Luhan yang berdiri tepat dibelakang So Hee.

“ah, aku sudah kenyang.. aku mau istirahat saja..”

So Hee pun segera berlalu, melangkah dengan perlahan menuju kamarnya. Luhan hanya menganggukan kepalanya pada ibu So Hee lalu segera mengikuti So Hee yang mulai menaikki tangga.

Luhan begitu menjaga So Hee. Saat ia menaiki tangga, Luhan terlihat begitu cemas dan berusaha menghindarkan barang-barang yang mungkin membahayakan So Hee. Dan akhirnya So Hee sampai dengan selamat di kamarnya.

Ini bukan pertama kalinya Luhan masuk kedalam kamar So Hee. Karena beberapa hari yang lalu saat ia melakukan hal yang sama seperti yang sedang ia lakukan saat ini, ia juga mengikuti So Hee ke kamarnya.

Luhan hanya berdiri, diam dalam hening sambil memandangi sosok So Hee yang mulai membaringkan tubuhnya dikasur. Terlihat tetesan bening mengalir dari mata So Hee. Luhan ingin menghapus air mata So Hee, tapi ia mengurungkan niatnya mengingat apa yang sedang ia lakukan sekarang.

Entah mengapa Luhan seperti bisa merasakan rasa sakit yang dialami So Hee.

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Sebuah pesan singkat masuk ke inbox di ponselku. Aku segera meraih ponselku itu yang tergeletak tak jauh dari posisiku sekarang. Ternyata Joon Hee.

Oppa, bisa datang ke apartement ku ? jangan lama-lama.. O, ya. Bisakah kau meminta So Hee-eonni untuk datang ke rumah sakit sekarang juga ? jangan banyak tanya, lakukan saja. Ne ? ^^

Aku memandangi layar ponselku. Untuk apa ia menyuruhku meminta So Hee datang ke rumah sakit sekarang ? tapi, ya sudahlah.. kuturuti saja. Mungkin saja, dia ingin menemui So Hee seperti biasanya. Lagipula hari ini memang jadwal cek mata So Hee, kan ?

Setelah mentelpon So Hee untuk mengingatkannya dengan jadwal hari ini, aku pun meminta izin pada kepala rumah sakit untuk keluar sebentar menemui Joon Hee. Dengan cepat kini aku sedang memacu mobilku menuju apartement Joon Hee. Ya, kami tinggal terpisah.

Sebelum aku sampai, aku sudah membeli beberapa makanan untuk kami makan bersama disana. Dan kini, aku sedang menaiki lift menuju lantai 6, dimana Joon Hee tinggal.

Dengan menenteng tas belanjaan, aku segera melangkahkan kakiku menuju pintu apartement Joon Hee. Ku tekan beberapa kali bel disitu, dan beberapa saat ku menunggu tak ada balasan. Aku kembali menekan bel. Dan lagi-lagi tak ada respon. Hingga akhirnya aku mengeluarkan kunci cadangan yang Joon Hee berikan padaku.

Aku pun membuka pintu, seraya memanggil nama adikku itu. Aku melepaskan sepatuku, lalu beranjak masuk. Betapa terkejutnya diriku saat melihat sosok Joon Hee tergolek lemas di sofa dengan keadaan tak bernyawa !

Aku jatuh dengan posisi berlutut, sedang tas belanjaanku jatuh disamping kakiku. Kurasakan pipiku mulai basah. Kenapa ? tidak..tidak mungkin..

 

 

Aku segera bangkit setelah otakku berhasil menalarkan kejadian ini. Dengan cepat kusentuh nadi adikku itu. dan tak ada denyut. Aku menghela napas panjang, sambil berlutut disampingnya. Kulihat secarik kertas yang ia genggam. Itu sangat menaik perhatianku, segera kuambil dan kubaca isinya..

 

To : My guardian, Suho-oppa

Setelah membaca surat ini, mungkin kakak sedang menangisi ragaku. Aku minta maaf.

Kurasa inilah yang terbaik.

Kakak masih ingatkan janji kakak padaku ? nah, sekarang So Hee-eonni ada di rumah sakit, kan ? segera lakukan transplantasinya, kak !

Aku sudah melakukan cek mata, dan hasilnya positif. Kakak bisa gunakan mataku untuk menyembuhkan So Hee-eonni. Setidaknya dengan begini aku merasa hidupku lebih berguna. Jadi, kumohon lakukanlah..

Jangan berlama-lama memandangi jasadku itu. Aku tak ingin kakak terus larut dalam kesedihan. Itu tak ada gunanya, kak..

Kakak sudah berjanji padaku untuk menjaga So Hee-eonni seperti kakak menjagaku, kan ? jadi, lakukanlah agar aku bahagia..

Aku sangat menyayangi kakak dan So Hee-eonni daripada diriku sendiri. Tapi, jangan lupakan aku ya, kak ? sesekali tengoklah aku ditempat peristirahatanku nanti.. ^^

Kuharap kalian bisa hidup bahagia selamanya.. menikmati dunia ini sepenuh hati.

Aku menyayangimu~

 

Kim Joon Hee

 

Kuseka air mataku. Aku masih tak percaya dengan semua yang kulihat saat ini. Segera kuraih ponselku, dan kupanggil ambulance dari rumah sakit.

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

“Joon Myeon-euisa..” terdengar suara wanita berumur yang tampak begitu senang sekaligus sedih.

Suho menoleh, memandangi wanita itu yang tak lain adalah ibu So Hee.

“apa benar kau telah menemukan donor mata untuk So Hee ?” lanjutnya.

Suho mengangguk pelan. Terlihat jelas kesedihan diwajahnya.

“Joon Myeon-euisa ! operasi akan segera dimulai..” kata seorang perawat yang bersiap dengan pakaian operasi.

“ne..” kata Suho pada perawat itu. “ahjumma, nanti kita bicara lagi.. aku harus memulai operasinya.

Setelah memberi hormat pada ibu So Hee, Suho pun berlalu meninggalkan wanita berumur itu. Ia terus berjalan memasuki ruang operasi. Disaat seperti ini ia harus melakukan kewajibannya. Walau dengan hati yang masih kacau balau, ia harus melakukannya. Karena dialah yang bisa melakukannya, karena dialah yang harus melakukannya, karena itu sebuah kewajiban yang harus ia lakukan. Karena itu adalah sebuah janji sekaligus permintaan terakhir adiknya.

Aku harus melakukannya.. harus diriku..

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

Hari demi hari kulewati. Dan selama itu aku selalu menunggunya. Selalu disampingnya dan menjaganya. Berharap tak terjadi sesuatu yang buruk. Kuharap operasi ini sukses. Karena aku ingin kau melihatku lagi, So Hee. Aku ingin kau kembali..

Sudah 3 hari lamanya So Hee berada di rumah sakit. Perban dimatanya belum dibuka, membuat semua orang harap-harap cemas menanti hasilnya. Sampai saat ini, So Hee tidak tahu siapa pendonor mata untuknya itu. Dan orang tua So Hee sendiri masih bungkam, karena permintaan Suho.

Bukan hanya orang tua So Hee, Ji Yeon, dan Se Na yang cemas menanti hasil dari operasi ini. Tapi, juga Luhan.

Selama 3 hari ini, Luhan selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah sakit dan menunggui So Hee, walau sekali lagi ‘dalam hening’. Ibu So Hee sempat berpikir untuk memberitahu So Hee soal Luhan, tapi ayah So Hee selalu melarangnya. Ia berpikir akan lebih baik jika Luhan sendiri yang menyelesaikan masalah diantara mereka berdua.

Seorang perawat membuka pintu kamar, ia lalu masuk kedalam sambil tersenyum pada kedua orang tua So Hee. Tak lama seorang berjas putih dan memiliki senyum bagaikan malaikat, juga memasuki ruangan. Seseorang yang tak asing lagi untuk mereka.

“apa kabar ?” katanya dengan hormat pada kedua orang tua So Hee. Ia pun berjalan menghampiri ranjang So Hee.

“bagaimana kabarmu ?” tanya Suho pada So Hee. Ia kemudian bersiap dengan peralatannya disamping ranjang So Hee.

“aku tak bisa mengatur degup jantungku. Rasanya seperti aku akan melakukan sesuatu yang menguji adrenalin..”

“oh, ayolah.. ini tidak semenakutkan itu.”

Suho melirik kearah orang tua So Hee. Ayah So Hee terus mengelus-elus lengan ibu So Hee, sedang So Hyun tampak sedang duduk di sofa sambil berharap-harap cemas dengan keadaan kakaknya.

“kau siap ?” tanya Suho dengan lembut.

“eeh, appa, eomma..” tanya So Hee.

“lakukanlah..” kata eomma dilanjut dengan anggukan appa.

Suho pun mulai membuka lilitan perban yang menutupi mata So Hee. Semua orang tanpa cemas dan khawatir. Suasana tegang yang bercampur dengan rasa bahagia serta khawatir dengan hasil operasi ini.

Kini tinggal kapas lembut yang masih menutupi mata So Hee. Ketegangan semakin menjadi-jadi. Perlahan Suho kembali menggerakkan tangannya, membuka kapas yang menutupi mata So Hee.

~oOo~

I.N.T.U.I.T.I.O.N

~oOo~

 

 

A/N : bagaimana ? author harap readers sekalian suka ^^ hehe, don’t forget to leave your comment, so I can know what do u think abt this ff ^^ makin banyak comment, makin cepet author publish next chapternya loh~ haha, bye bye ! see you next chapter guys

 



SHINING STAR (Chapter 1)

$
0
0

shining-star

Title : SHINING STAR

Main Cast : Park Ji Yeon – Kim Jongin – Byun Baekhyun

Support Cast : Par Chanyeol – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon

Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst

Length : 1 OF ?

Author : Qisthi_amalia

Backsound : whatever  you want ^_^

***

Jiyeon merapihkan bajunya dengan seksama. Sesekali berputar beberapa kali dan kembali tersenyum. Gadis itu tampak bahagia memakai seragam putih abu yang baru kali ini Ia kenakan. Yah, setelah seminggu mengikuti acara MOS yang melelahkan. Akhirnya ia bisa bernafas lega karena tak ada satu pun hal aneh yang ia alami.

“Jiyeon..Honey…ayo berangkat !!”

Gadis –dengan rambut pendek hitam sebahu- itu merengut kesal. Kearah seorang namja yang tengah berdiri di pintu kamarnya yang bernuansa jingga itu.

“Ikh norak !!”

Sementara lelaki yang masih berdiri di ambang pintu itu hanya tertawa lebar melihat kelakuan adik satu-satunya itu. Jiyeon memang tak pernah suka jika sang kakak sudah menyebutnya dengan kata ‘Honey’ katanya itu terdengar norak dan kampungan. Tapi memang dasar chanyeol yang jail. Ia malah semakin menjadi-jadi mengatai adiknya seperti itu.

Park chanyeol. Kakak kandung dari Park Jiyeon. chanyeol 3 tahun diatas Jiyeon. kini ia tengah meneruskan sekolahnya di konkuk jurusan per-film-an. katanya sih itu jurusan yang selama ini jadi idamannya. Chanyeol pernah berkata jika ia sangat ingin menjadi seorang sutradara atau paling tidak jadi actor terkenal seperti Lee Minho. Jiyeon yang mendengarnya saat itu hanya menatap kakaknya penuh rasa kasihan. Karena dia tak begitu yakin chanyeol bisa seperti Lee Minho. Yang Oh Ayolah. Kalian tahu lee minho itucool sementara chanyeol, dia itu kocak dan tak ada tampang cool sama sekali. Tanpa sadar Jiyeon tersenyum kecil membayangkan itu.

“Heh ! Kau sudah gila yah. Pagi-pagi sudah tersenyum seperti itu.” Ujar chanyeol lalu berjalan menghampiri jiyeon yang masih berdiri di depan cermin. Di acaknya rambut jiyeon membuat gadis itu lagi-lagi merengut kesal.

“OPPA !! Sudah ku bilang jangan merusak rambutku. Aissh ! Kau itu ! Ku do’akan kau jauh dari jodohmu, baru tau rasa !!”

Chanyeol hanya tertawa lalu menghentikannya. “Andwe ! Kau jahat sekali berdoa seperti itu. baiklah aku minta ma’af honey. Oke “

“Aku bilang jangan panggil aku seperti itu !!” Jiyeon kembali kesal. Menghentakan kakinya dengan sebal. Sementara chanyeol hanya tersenyum.

“Baiklah Honey..” Godanya lalu bergegas pergi menuju mobil sebelum jiyeon mengamuk lebih hebat.

“OPPA !!”

***

“Sebaiknya kau memakai sepatu hitam itu saja, nak. Lebih terlihat cocok untukmu “ Ujar seorang yeoja paruh baya pada anaknya – yang tengah memilih sepatu.

“Tidak usah ikut campur “ Ucapnya dingin lalu mengambil sepatu merah dan memakainya.

Yeoja paruh baya itu hanya tersenyum kecut dan menlanjutkan acara makan paginya yang tadi sempat tertunda.

“Ya ! Jongin~aa bisakah kau lebih sopan.” Komentar Joonmyeon menatap jongin –adiknya- tajam. Sementara yang ditatap seperti itu hanya menatap balik dengan tatapan dingin seperti biasa.

“Aku tak perduli.” Tegasnya tajam. Menarik tas dari meja dan berlalu tanpa rasa bersalah.

“DIA IBUMU…” Teriak joonmyeon kesal. Sikap jongin yang keterlaluan membuatnya terkadang tak mengerti dengan adiknya sendiri.

“DIA BUKAN IBUKU.” Balas jongin keras dari luar. Suara deruan motor ninja hitam di garasi membuat joonmyeon memilih diam. Setelah suara bisik itu hilang ia tahu sang adik telah berlalu.

Kim joonmyeon. Kakak kandung dari kim Jongin. Mereka 2 bersaudara yang memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Joonmyeon yang ramah dan jongin yang dingin. Joonmyeon yang dewasa dan jongin yang urakan. Tapi jauh dari yang kalian tahu joonmyeon amat tahu bagaimana sifat adiknya. Dia tahu jongin anaknya yang baik dan amat mudah tersenyum, dulu. Sebelum semua kejadian itu membuat jongin menjadi seperti sekarang.

***

Sekolah menengah atas ‘Chungdam’  begitu ramai pagi itu. wajah baru anak-anak kelas 10 tampak memenuhi koridor utama sekolah. Wajah mereka tampak berseri dan penuh semangat. Ada beberapa yang mengobrol, tertawa, bahkan ada yang berani-beraninya mendekati kakak kelas. Dengan begitu percaya dirinya seorang gadis tampak asik duduk di samping seorang pria yang jelas-jelas kakak kelasnya. Menyodorkan sebatang cokelat yang hanya di tatap sinis oleh pria itu.

“Dia siapa sih ?” Tanya Jiyeon begitu ingin tahu.

Jung soojung, salah satu teman jiyeon hanya mengangkat bahu tak tahu. Jiyeon dan soojung kenalan saat mereka sama-sama mengikuti acara MOS. Sebenarnya bukan hanya soojung yang Jiyeon kenal tapi yang begitu dekat dengannya selama ini yah hanya soojung dan jieun –teman dekatnya sejak smp- yang juga bersekolah Di chungdam.

“Baru kelas satu sudah bertingkah. Apa jadinya dia nanti.” Komentar soojung yang diikuti anggukan Jiyeon.

“Jieun belum datang ?” Tanya Jiyeon

“Belum. Aku belum melihatnya dari tadi. Kesiangan mungkin.”

Jiyeon hanya mengangguk. Ya, Jieun memang hobby sekali kesiangan sejak SMP dulu. Tapi mana mungkin dia kesiangan di hari pertama.

Bel masuk berbunyi.

Jiyeon dan soojung bergegas menuju kelas mereka yang ada di lantai dua. Menghiraukan teriakan-teriakan histeris gadis-gadis berisik disekitar mereka yang entah histeris melihat apa.

***

Jalanan lengang itu dimanfa’atkan jongin dengan sungguh-sungguh. Ia menaikan kecepatan motornya dengan kecepatan maksimum. Beberapa orang yang berjalan di trotoar meneriakinya dengan kesal. Motor itu melaju, menembus jalanan seoul. Namja di balik helm hitam itu tampak tak perduli dengan umpatan-umpatan kasar orang-orang padanya. Telinganya sudah kebal dengan segala caci maki. Semua itu sudah seperti sarapan pagi untuknya.

Jongin menghentikan motornya di depan gerbang yang sudah di tutup.

“Kau terlambat lagi rupanya.” Seringai lebar menghiasi namja paruh baya yang bekerja sebagai satpan di Chungdam High School.

Jongin hanya menatap dingin. “Buka gerbangnya.”

“Kau pikir kau siapa bisa memerintahku. Kurang ajar !” Maki satpan itu menatap jongin geram.

“Buka atau ku dobrak sekarang juga !” Kata jongin dengan penekanan seolah dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Dengan emosi yang membuncah didadanya. Satpam itu akhirnya mengalah. Memilih membuka gerbang daripada harus melihat gerbang itu di dobrak paksa oleh motor hitam jongin yang tampak menyeramkan.

Jongin menyeringai. Menyalakan kembali motor dan melajut menuju parkiran sekolah.

***

Bel istirahat membuat semua murid di Chungdam bahagia. Apa lagi untuk kelas Jiyeon, soojung dan jieun. Pasalnya mereka sudah setengah sadar mendengar penjelasan dari Madam jung yang menjelaskan pelajaran fisika yang amat di benci oleh ketiga gadis itu.

Jieun menghela nafas bahagia begitu pun dengan soo jung dan jiyeon.

“Tumben kamu tadi telat ?” Tanya jiyeon pada jieun yang duduk disampingnya. Sementara soojung duduk di depan mereka dengan Luna.

“Appaku mobilnya mogok. Jadi aku harus naik bus kesini. Mana saat itu udah jam 6 lewat 30 menit lagi. Yah…jadinya aku kesiangan deh..” Jelas Jieun lalu menopang dagu dengan lengannya.

“Ekh, tadi ada anak kelas satu yang deketin kakak kelas loh.” Celetuk soojung tiba-tiba membuat jieun membulatkan matanya penasaran. Anak itu memang senang sekali bila mendengar gossip.

“Nekat tuh anak. Baru masuk udah bikin ulah.” Lanjut Jiyeon yang semakin membuat jieun penasaran.

“Siapa ?” Tanya jieun akhirnya.

“Gak tahu. Abisnya dia bukan anak kelas kita sih.” Kata soojung lagi.

“Kalau kakak kelasnya kalian tahu gak ?” Tanya Jieun lagi.

Lagi-lagi jiyeon dan soojung menggeleng.

“Ke kanti yuk. Laper…”

Ajakakn Jiyeon rupanya mendapat anggukan cepat dari kedua sahabatanya.

***

Jongin tampak asik mendengarkan lagu lewat earphone-nya. Saking asiknya ia sampai tak sadar seseorang telah berdiri dihadapannya.

“Kim Jongin.” Kata namja itu tegas.

Jongin mendongak dan menyeringai seperti biasanya. “Ada perlu apa dengan saya, pak ?”

“Ikut saya keruang Kepsek. “

“Apa salah saya ?” Tanya jongin tanpa dosa. Pada jelas-jelas dia tahu. Semua orang juga tahu kalau seorang Kim jongin adalah namja paling –harus aka must- dijauhi, kecuali untuk anak kelas 10 yang belum tahu siapa dia. Dia terkenal dengan sebutan –Wild- sama dengan sikapnya yang selalu membuat ulah. Entah itu tauran, melawan guru, bolos, membuat kekacaun, dan yang lebih parah masuk dan keluar sekolah seenaknya.

“Bapak tahu kamu tadi mengancam Pak Han-kan supaya membuka gerbang ?”

Jongin hanya mengangguk tanpa rasa takut. Sikap dingin itu membuat wali kelas jongin yang kini berdiri didepannya emosi. Rahangnya mengatup. Urat-urat di lehernya nampak menonjol. Sementar yang lain ketakutan melihat itu, jongin masih saja santai dan seolah tak perduli.

“Ikut saya sekarang juga !”

“Males pak. Mau apa ?” Jawaban cuek jongin cukup membuat semua pasang mata yang melihat kejadian itu membulatkan mata mereka tak percaya. Sementara Mr. Yunho yang kini berdiri di depan jongin semakin emosi.

“KIM JONGIN !!” Teriaknya sudah tak kuat lagi menghadapi jongin yang memang luar biasa nakalnya. Jongin hanya tersenyum, menyambar tas dari meja dan berlalu meninggalkan Yunho songsaengnim yang membeku.

“Saya pulang pak.” Teriaknya dari ambang pintu kelas.

Semua yang berdiri di koridor menyingkir. Membiarkan Kim Jongin berjalan menuju area parkiran. Ia bersiul dengan asiknya tanpa perduli dengan Yunho yang berkoar memanggil namanya. Ia tak perduli dan tak akan pernah perduli.

***

Jiyeon bejalan menuju kelasnya dengan riang dengan cup bubble tea di tangannya. Setelah dari kantin bersama jieun dan soojung tadi. Jiyeon memang menyempatkan diri menuju toilet, perutnya berontak habis-habisan setelah makan kue beras ekstra pedas yang jieun tawarkan padanya.

Namun langkahnya terhenti saat melihat namja yang tadi pagi dilihatnya. Dengan seksama ia memperhatikan namja itu dan tatapan-nya jatuh pada sebuah name tag di blazer sekolah yang melekat pada tubuh namja itu.

‘Byun Baekhyun’ ucapnya pelan.

“Kau memanggilku ?”

Jiyeon tergagap. Sungguh demi tuhan ia tadi hanya membaca tag name itu bukannya memanggil. Dengan cepat ia menggeleng.

“Bukan.”

“Oh, ku kira kau memanggilku.” Katanya lembut.

Jiyeon terdiam beberapa saat sampai benturan keras pada bahu kiri, membuatnya meringis. Seorang namja dengan santai menubruknya. Dan tanpa rasa bersalah sama sekali berlalu begitu saja tanpa minta ma’af. Jiyeon geram, menatap namja itu tajam.

“YA ! KAU..!” teriaknya membuat namja itu berhenti berjalan, membalikan tubuhnya dan menatap sekeliling seolah mencari tahu siapa yang memanggilnya. Saat matanya menangkap sosok seorang gadis, ia menatapnya gusar.

“Apa ?” Tanyanya datar.

Jiyeon semakin kesal melihatnya. ‘sok’ banget kesannya.

“Kamu tahu sopan santu gak sih ? nabrak orang se’enaknya. Nngak minta ma’af lagi.” Tuturnya sambil merengut kesal.

Namja itu hanya menaikan satu alisnya. Dan tersenyum sinis seperti biasa.

“ma’af.” Katanya singkat lalu berlalu meninggalan jiyeon yang ternganga tak percaya. Bagaimana bisa ada namja sedingin itu.

Baekhyun yang sejak tadi melihat itu hanya tersenyum kecut. “Dia memang selalu begitu. Biarkan saja.” Pelannya. Membuat jiyeon yang tadi sempat emosi menatap baekhyun kakak kelasnya penasaran.

“Maksudmu ?”

“Namanya Kim jongin. Dia memang sudah terkenal anak kacau disekolah ini. Tauran, bolos, melawan guru, keluar masuk sekolah seenaknya, malah yang kudengar dia suka mabuk-mabuk’an.” Tutur Baekhyun sambil menatap jiyeon sekilas .

Jiyeon mendadak merinding mendengarnya. menelan ludahnya dengan susah payah.

“Kamu hebat. Baru kelas satu sudah berani membentak Jongin. Padahal disekolah ini tak ada yang berani padanya.”

Jiyeon semakin terdiam kaku. Sungguh demi tuhan dia juga tak akan berani membentak kalau mengetahui kenyataan jongin lebih awal. Yang bisa ia lakukan kini hanya menunduk dan menerima nasib jika nanti terjadi sesuatu padanya.

“Tenang saja. Dia tak akan berbuat terlalu jauh pada wanita.”

Tepukan lembut di bahu jiyeon membuatnya mendongak. Mendapat senyuman lembut baekhyun yang membuatnya semakin terdiam.

“Aku duluan. Oh ya, namamu siapa ? anak kelas 10 yah ?”

Jiyeon mengangguk. “Park jiyeon, iya aku kelas 10.”

***

Sekolah sudah sepi. Hanya segelintir anak-anak yang masih sibuk dengan acara sekolah tambahan yang masih berada di sekolah. Dan juga beberapa anak basket yang masih latihan di lapangan dekat koridor utama. Sementara Jiyeon yang mendapat jatah piket hari esok harus melakukan acara bersih-bersih hari ini. Jieun dan soojung juga membantunya menyapu walau mereka bukan anggota piket hari esok.

“Jiyeon, sebenarnya kau kenapa sih ?” Tanya jieun penasaran. Semenjak dari toilet anak itu hanya diam dan melamun.

Jiyeon hanya menggeleng dan tersenyum. Ia pikir hal ini bukan masalah yang serius. Jadi Jieun dan soojung tak perlu tahu. Namun bukan Jieun namanya jika ia tak suka memaksa.

“Aku mengenalmu bukan sehari 2 hari. Tapi 4 tahun ditambah sekarang. Aku tahu bagaimana tampang wajahmu jika sedang memikirkan sesuatu.” Papar Jieun membuat jiyeon diam. Sementara soojung hanya menatap dua sahabat itu bergantian.

“Sebenarnya, tadi aku bertemu kakak kelas kita kim jongin.” Pelannya sambil menunduk.

Soojung yang hapal betul dengan nama itu membulatkan matanya ngeri. “KIM JONGIN.” Pekiknya tak percaya.

Jieun yang tak tahu hanya menatap soojung heran. “Kau mengenalnya ?” Tanya jieun pensaran.

Soojung mengangguk pelan. “apa yang jongin lakukan padamu jiyeon ?” Tanya soojung lalu menatap jiyeon.

“dia sebenarnya tak melakukan apapun. Hanya saja aku membentaknya karena dia menabrakku tiba-tiba dan tidak minta ma’af sama sekali.” Katanya sambil menghela nafas berat.

Soojung membulatkan matanya lagi. Hanya jieun yang tenang-tenang saja karena tak tahu menau.

“Kau gila jiyeon. bagaimana bisa ?”

“Sebenarnya kim jongin itu siapa sih ? hantu ?” Tanya jieun tak sabar. Dia benar-benar tak mengerti melihat kedua sahabatnya yang tampak frustasi mendengar nama jongin.

“Dia itu anak paling ‘danger’ banget. Tauran dan hal-hal jelek lainnya sudah biasa untuknya. Jika ada yang berani membentak atau menasehatinya jangan harap bisa hidup tenang.” Papar soojung semakin membuat jiyeon menunduk dan ingin menangis. Sementara jieun hanya menatap jiyeon kasihan.

“jiyeon~aa. Tenang saja aku akan melindungi sebisa mungkin. Oke.” Jieun menyemangati dengan penuh semangat. Namun tak lama ia juga ikut lemas dan hanya menunduk.

“Tapi jika aku tak sanggup. Terpaksa aku menyerah.” Pelannya.

“Sudahlah. Jongin tak mungkin macam-macam dengan wanita kok. Setahuku dia tak pernah ambil pusing jika yang menceramahinya wanita. Jadi kau pasti baik-baik saja. Oke.” Soojung menjelaskan dengan senyuman. Membuat jiyeon akhirnya mendongak dan sedikit merasa lega begitu pun dengan jieun.

“Semoga saja..”

***

Setelah acara pergi dari sekolah begitu saja. Jongin memilih bukit di belakang gedung tua sebagai tempatnya menyendiri. Di bukit itu terdapat sebuh pohon tua besar yang melindungi tubuh jongin yang tambah lelah. Di depannya terhampar padang bunga dandelion juga bunga-bunga liar lainnya. Jongin menghela nafas berat. Membiarkan rambut yang menjutai di dahinya tertiup angin. Matanya menatap lembut serbuk-serbuk dandelion yang tertiup angin. Wajahnya nampak lelah, berbeda jauh ketika ia menampakan sosok dingin dan datar pada semua orang. Kali ini ia tampak berbeda. Terlebih lebih frustasi dan putus asa.

Bibir yang biasa terkatup rapat dan menyeringai sinis itu. kini terangkat membuat senyuman tulus yang jarang ia tunjukan pada siapa pun.

Drrrrt…Drrrtt….

Geratan ponsel di saku celananya membuatnya mengerang kesal. Mengambil dan membuka satu pesan yang masuk.

-Baekhyun-

Di tempat biasa. Kecuali jika kau sudah jadi pengecut sekarang.

 

Jongin menatap ponsel ditangannya tanpa ekspresi apa pun. Ia bergegas bangkit dan pergi dari tempat itu.

***

Jalanan sempit itu tampak sepi. Kubangan air menghiasi sepanjang jalannya. Sebuah tong besar tampak penuh dengan sampah yang jumlahnya sangat banyak, membuat sampah yang tak tertampung berhamburan disekitarnya. Aroma tak sedap langsung tercium jika kau melewati gang sempit itu.

Seorang namja dengan jaket kulit hitam dan celana biru tuanya tampak tenang bersandar pada motor merahnya. Matanya terfokus tajam kedepan, menunggu seseorang yang ia telah nanti sedari tadi.

Bibirnya menyunggikan senyuman sinis. Saat motor hitam yang ia kenal melaju dengan cepat dan berhenti dihadapannya. saat helm itu terbuka, tatapan tajam dan terkesan angkuh itu langsung membuat baekhyun –namja yang sejak tadi diam menunggu- tersenyum.

“Apa kabar kawan.” Sapanya basa basi sambil mengajak Jongin – yang baru tiba- untuk turun dari motornya.

“Apa maumu ?” Tanya Jongin tak sabar, ditepisnya lengan baekhyun yang melingkar bebas dibahunya.

“Seperti biasa kawan. Nanti malam akan ada balapan liar di tempat biasa. Dan aku ingin jatahku yang waktu itu terlewatkan, aku yakin nanti malam aku yang akan jadi pemenangnya.” Baekhyun tersenyum senang. Diliriknya jongin yang hanya tersenyum tipis dan meremehkan.

“Hanya untuk itu ?” Tanya jongin dingin.

Baekhyun menatap jongin semakin tajam. “Kau meremehkanku ?”

“Bukankah biasanya kau akan tetap menjadi no 2, Byun Baekhyun.” Ujar jongin tegas. Membuat rahang Baekhyun terkatup.

Baekhyun meredam emosinya yang meluap. Sejak dulu ia selalu menjadi no.1 dalam hal apapun. Tapi semenjak kedatang kim jongin dalam hidupnya, kini ia harus merelakan tempatnya untuk jongin. Tapi kini ia tak akan tinggal diam. Ia harus kembali merebut posisi itu, apa pun caranya.

“Ya, mungkin dalam hal lain aku no.2. tapi soal kepopuleran di sekolah dan wanita cantik, aku yang selalu no. 1 “ Bangga baekhyun lalu menepuk dada jongin yang tetap dengan tatapan dinginnya.

“Aku tak perduli dengan ketenaran dan wanita cantik. Semua ku serahkan dengan Cuma-Cuma untuk namja pengecut sepertimu.”

“YA ! KIM JONGIN !!!”

Sebuah pukulan keras baekhyun mendarat di pipi jongin. Namja itu terdorong mundur beberapa langkah. Jongin menyeka darah yang menghiasi ujung bibirnya. Tersenyum kecut dan menatap baekhyun yang tampak puas.

“Hanya ini ?”  Tanyanya tanpa rasa takut.

Baekhyun geram bukan main. Ia kembali melayangkan tinjuan pada pipi jongin namun dengan sigap Jongin menangkap kepalan lengan itu dan mengenggamnya kuat.

“Jangan macam-macam denganku. Jika kau masih ingin hidup.” Tegas Jongin lalu menghempaskan lengan baekhyun begitu saja. Ia melangkah menuju motornya yang terparkir tak begitu jauh, meraih helm, dan menjalan motornya dengan cepat. meninggalkan baekhyun yang masih terdiam dengan luapan emosi yang tak terkendali.

***

Jiyeon merapihkan buku-buku yang masih berantakan di atas meja belajarnya. Kemudian meletakan buku-buku itu disamping lampu belajar. Jiyeon menaikan kakinya keatas kursi belajar –yang berada di depan jendela kamar- dan menekuknya.

Matanya menatap lekat langit malam yang berhiasakan bintang-bintang. Senyumnya mengembang namun seketika itu juga memudar. Saat sekelebat bayangan itu kembali menyergapi pikirannya. Ia menggeleng kuat lalu membenamkan wajahnya di sana.

Tok..tok..

“Jiyeon..kau sudah tidur ?” Tanya chanyeol dari luar.

Jiyeon enggan menjawab. Ia bahkan sama sekali tak mendengar suara chanyeol. Pikirannya berkelana entah kemana. Bahkan saat chanyeol masuk pun, jiyeon tak sadar. Chanyeol berjalan menghampiri jiyeon, di tatapnya sosok jiyeon yang masih menunduk. ia hapal begitu apa yang terjadi jika jiyeon sudah seperti ini. Dan yang Ia lakukan selanjutnya hanya meraih tubuh mungil itu kedalam dekapannya dan mengelus punggung jiyeon lembut.

Ia tahu jiyeon tengah menangis, dan ia tahu jiyeon sedang berusaha meredam emosi itu dengan mecengkram baju chanyeol kuat.

“Uljima…uljima jiyeon~aa..” pelannya lalu mengelus rambut adiknya penuh sayang.

“Oppa…mianhe.” Ucapan jiyeon begitu memilukan untuk chanyeol dengar. Ia hanya bisa mengangguk dan membiarkan jiyeon menangis didadanya.

“Sudahlah. Semuanya telah usai jiyeon. lupakan, oke..” pelan chanyeol yang langsung dibalas geleng kencang Jiyeon yang masik berada di dekapannya.

“Ini semua salahku. Ma’af..Jika aku tidak melakukan itu mungkin saja…mungkin saja…–

Jiyeon tak mampu melanjutkan ucapannya lagi. Ia hanya menangis dan terisak dalam dekapan chanyeol. Namja itu melepaskan pelukannya dan meraih wajah jiyeon yang tengah menangis. Diusapnya kedua pipi adik tersayangnya dengan penuh kesabaran. Tatapan lembut chanyeol membuat jiyeon sadar jika kakak-nya memang amat menyayanginya. Dan jiyeon juga sebaliknya. Hanya chanyeol yang ia miliki saat ini. Tak ada yang lain.

“Jiyeon~aa..Saat ini hanya kau yang oppa miliki. Oppa memang tak bisa lupa dengan kejadian itu, tapi oppa tak mau menyalahkanmu. Semua ini sudah takdir tuhan, jiyeon. jadi lupakan saja. oppa tak ingin kau selalu tersiksa sendirian.

Tatapan jiyeon melunak. Ia berhenti menangis. Dadanya terasa hangat saat chanyeol tersenyum begitu tulus.

“Hanya kau yang oppa miliki saat ini. Jebbal…Jadilah ceria seperti biasa dan jangan mengingat semua itu lagi. Arrseo.!” Tegas chanyeol sambil membersihkan sisa air mata di pipi jiyeon.

Gadis manis itu mengangguk cepat, tersenyum dan kembali memeluk chanyeol erat.

“Ma’afkan aku oppa. Aku janji akan berusaha melupakannya. Aku berjanji.”

***

Chungdam lengang pagi itu. hanya beberapa siswa yang baru datang. Wajar memang karena saat itu jam masih menununjukan pukul 06.00. sedangkan sekolah mulai ramai sekitar pukul 06.20.

Seorang gadis manis dengan rambut hitam sebahu tampak riang memasuki gerbang sekolah. Hari ini ia bertekad untuk menjadi seorang Park Jiyeon yang ceria lagi. Mencoba melupakan masa lalu yang selalu membuatnya menjadi orang lain yang begitu lemah dan rapuh.

Disapanya Mr. Han, sang satpam sekolah yang tampak asik menyesap kopi hitam beserta roti-nya. Matanya jeli memperhatikan keadaan sekitar yang memang biasa-biasa saja. tapi jika di perhatikan lebih jauh, sekolah barunya memang begitu luas dan cukup indah.

Sebuah koridor utama yang diapit oleh taman di kanan dan kirinya. Sebuah mading besar di pinggir koridor menjadi satu-satunya objek yang dapat dilihat ketika memasuki koridor utama. Lapangan olahraga yang begitu besar berada di tengah-tengah sekolah yang dikelilingi oleh ruang kelas, ruang guru, laboratorium dan aula. Dibagian lantai pertama biasanya digunakan untuk ruang guru dan aula. Di lantai dua ada ruangan kelas 10 dan sebagian kelas 11, kantin, toilet dan laboratorium kelas 10 juga 11. Sedangkan dilantai 2 ada ruangan kelas 12, kantin kelas 12 dan laboratorium kelas 12.

Sekolah ini memang cukup favorit di Seoul. Gedungnya berbentuk persegi empat jika di lihat dari tengah-tengah lapangan. Seolah kau berada di dalam sebuah kubus yang besar. Sedangkan jika kau keluar dari koridor utama kau akan menemukan pelataran parkir yang cukup besar dengan pepohonan rindang di setiap sisi tembok pembatas. Dan untuk perpustakaan di samping kantin lantai bawah.

Jiyeon sengaja berjalan-jalan di sekitar sekolahnya. Hingga ia sampai di sebuah tangga menuju lantai 3. Dahinya mengernyit heran. Ia benar-benar yakin jika sekolah ini hanya memiliki 2 lantai. Tapi tangga dihadapannya seolah berkata lain. Akhirnya dengan rasa penasaran yang kuat. Jiyeon memberanikan diri meniti tangga itu dengan semangat. Sebelumnya di liriknya jam yang melingkar di tangannya. 06.10. ‘Masih ada 35 menit lagi sebelum bel masuk berbunyi’.

Setelah beberapa lama, akhirnya jiyeon sampai di undakan tangga terakhir. Ia berdiri di hadapan sebuah pintu yang berdebu dan terlihat usang. Di gapainnya knop pintu itu dan membukanya pelan.

Hembusan angin langsung menerpa wajahnya saat pintu itu berhasil dibuka. Jiyeon takjub bukan main. ‘Ini sangat indah’ pikirnya. Sebuah atap sekolah yang sudah di jadikan sebagai gudang juga. Jiyeon berjalan pelan-pelan dan memperhatikan keadaan di sana. Bangku-bangku yang sudah keropos dan patah berserakan di sudut dinding. Sebuah tempat duduk yang terbuat dari beton menarik perhatiannya. Jiyeon lalu berjalan kesana dan menemukan sesuatu yang luar biasa.

Sebuah taman belakang sekolah yang bisa ia lihat jelas dari disini. Disana ada danau kecil yang sudah di penuhi bunga teratai dan lumut-lumut hijau. Di pinggirannya dipenuhi pepohonan rimbun dan bunga-bunga berwarna kuning. Dermaga kecil yang tampak kotor dengan dedaunan membuat jiyeon tertarik, ditambah sekoci yang terlihat tua yang disandarkan pada kayu penyangga.

“Bagaimana bisa ada tempat sekeren ini.” Pekiknya takjub. Jiyeon memilih duduk disana. Memejamkan matanya dan merasakan sepoi angin yang begitu sejuk dan segar. Ia tak perduli dengan rambutnya yang berantakan. Dan waktu yang berlalu cepat tanpa berkata. Hanya berusaha menikmati tempat ini. Tempat yang mungkin akan menjadi tempat favorit setelah kamarnya.

“Apa yang kau lakukan disini ?” Tanya seseorang di ambang pintu.

Jiyeon terlonjak. Kembali berpijak, setelah sebelumnya di bawa melayang menuju taman impiannya. Matanya membulat saat melihat siapa pemilik suara yang melontarkan pertanyaan padanya barusan.

“Eum..eunghh..sunbae. aku hanya ..hanya sedang berjalan-jalan saja.” Jiyeon tergagap namun enggan bangkit dari tempat duduknya.

Jongin menatapnya dingin dan memilih untuk melangkah mendekati gadis berambut pendek didepannya.

“Minggir dari sana !” Perintahnya tajam namun tanpa ekspresi apapun. Benar-benar dingin.

Jiyeon merengut kesal. Sifat kekanakannya mulai muncul. “Kalau aku tidak mau !”

Jongin tersenyum kecut dan menatap jiyeon lagi. “Itu tempat favoritku. Jadi minggir sekarang juga !!” Lagi. Jongin membentak jiyeon tapi gadis itu bergeming. Memilih diam dan malah balas menatap jongin tajam.

“Aku tidak mau !” Ujarnya keras kepala.

Jongin berdecak kesal lalu meraih lengan jiyeon dan menyeretnya. Membuat gadis itu berdiri dengan terpaksa.

“Ya ! Ya ! Lepaskan !!” Jiyeon panik saat jongin menarik lengannya dan menghempaskannya kuat hingga tubuhnya terduduk di lantai berdebu.

“Duduk disitu saja. jangan duduk ditempatku !” Tegas jongin tak mau perduli dengan ringisan gadis dihadapannya. namja itu malah berjalan pergi dan duduk ditempat jiyeon tadi duduk. Matanya menatap kosong pada taman dibawah sana. Ia hanya diam tanpa melakukan apapun. Dan diamnya itu, seolah menganggap jika disekitarnya tak ada siapa pun.

Jiyeon yang melihat ekspresi itu mengernyit heran. Baru kali ini ia melihat namja semenyedihkan Kim Jongin yang orang bilang sangat ‘Danger’ itu. gadis manis itu bangkit dan membersihkan roknya dari debu. Menarik tas ransel yang sempat terjatuh dan kembali memakainya.

“Hey ! Freak boy ! Apa yang kau lakukan disana ?” Tanya jiyeon setengah berteriak.

Tak ada sahutan. Hanya hening dan suara hembusan angin.

Jiyeon semakin memanjukan bibirnya kesal. Hendak melangkah maju dan ingin memaki namja itu habis-habisan. Tapi langkahnya terhenti, saat pemandangan menakjubkan terjadi didepan matanya. Seorang Kim Jongin tengah memejamkan matanya dengan begitu sungguh-sungguh. Jiyeon mematung. Memperhatikan ekspresi itu dengan seksama. Ia hapal betul dengan sikap seperti itu. chanyeol dulu juga pernah melakukan itu. Saat calon tunangannya meninggalkannya untuk selamanya.

Jiyeon membeku. Ekpresi wajah Jongin sama persis seperti chanyeol dulu. Seolah namja itu menyembunyikan pedih dan sakit yang begitu dalam. Seolah ada bongkahan batu besar yang tengah ia tangguh dibahunya.

Jiyeon memperhatikan setiap lekukan wajah Jongin. Ia tersenyum tipis dan mulai memberanikan melangkah maju mendekati kakak kelasnya itu. namun sebelum lebih jauh melangkah, jiyeon memilih membawa sesuatu dari tasnya dan tersenyum sejenak menatap sebuah barang ditangannya. Tangannya terulur dan berhenti di depan wajah Jongin yang masih terpejam.

“Sunbae..” Pelannya.

Jongin membuka matanya dan terperanjat saat melihat Jiyeon masih berdiri dihadapannya.

“Kau masih disini ?” Tanyanya dengan raut wajah ketakutan.

Jiyeon mengangguk pelan sambil tersenyum. Diraihnya satu lengan Jongin dan meletakan barang itu disana. Jongin terdiam dan melihat sebuah pahatan kayu berbentuk bintang di tangannya.

“Itu ukiran kayu yang umma berikan padaku dulu. Umma bilang jika kau merasa tertekan digenggamlah kuat-kuat ukiran kayu itu dan buat sebuah permintaan dan..Wushhh…semua perasaan tertekanmu akan terbang begitu saja bersama permintaanmu.” Ujar jiyeon penuh semangat.

Jongin masih terdiam. Memperhatikan gadis dihadapannya yang benar-benar baru ia kenal.

“Memang terdengar konyol. Tapi sunbae wajib mencobanya. Ummaku bilang bintang itu adalah hal indah yang akan membuat perasaan takutmu menjadi ketenangan. Karena bintang akan menerangi gelapmu dengan cahayanya.

Jiyeon semakin semangat menceritakan semuanya. Namun saat ia melirik jam yang melingkar ditangannya ia terperanjat. 06.35. God ! 5 menit lagi bel masuk berbunyi.

“Sunbae aku kekelas dulu yah. Sebentar lagi masuk. Annyeong !!” Jiyeon lalu berlari menuju pintu dan menghilang dibalik sana.

Sementara jongin. Namja itu terdiam. Ia memang tak berekpresi apapun sejak tadi. Namun telinganya tidak tuli dan cukup bisa menangkap setiap ocehan yang terlontar dari mulut gadis berambut hitam sebahu itu.

Ck ! Jongin berdecak. Ia lalu mengangkat ukiran kayu berbentuk bintang ditangannya. Sebuah guratan membuat huruf. PJY. Menghiasi ujung sudut bintangnya.

“PJY ?” jongin mengerutkan alisnya. Mencoba menerka-nerka siapa pemilik nama itu.

“Dia pasti anak baru.” Ujarnya pelan.

Tanpa sadar. Seulas senyum tulus menghiasi bibirnya. Baru kali ini ia bertemu seseorang yang sudah berani-beraninya berceloteh panjang lebar dihadapannya tanpa rasa takut. Dan baru kali ini juga ia merasa tertarik dengan celotehan itu.

“PJY.” Gumamnya lagi sambil tersenyum dan memperhatikan ukuran bintang itu dengan seksama.

[TBC]


SHINING STAR (Chapter 2)

$
0
0

shining-star

Main Cast : Park Ji Yeon – Kim Jongin – Byun Baekhyun

Support Cast : Par Chanyeol – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon

Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst

Length : 2 OF ?

Author : Qisthi_amalia

Backsound : whatever what you want ^_^

-CHAPTER 2-

I Don’t Understand !

 

 

***

Jiyeon menyandarkan tubuhnya yang berkeringat pada tiang ring basket. Hari ini adalah pelajaran olahraga pertamanya. Sebenarnya sih olahraga yang diberikan tidak terlalu sulit, hanya disuruh bermain basket. tapi untuk jiyeon permainan basket itu adalah olahraga yang menyebalkan. Karena ia tak bisa sama sekali bermain basket.

Soojung dan jieun yang baru tiba dari kantin berlari menghampirinya.

“Thank’s” Kata jiyeon lalu mengambil air mineral yang disodorkan jieun padanya.

“Gila. Capek banget !!” Ujar jieun yang langsung diikuti anggukan soojung dan jiyeon.

“Ekh ! Kalian tahu gak sih. Gyuri kakak kelas kita yang terkenal dengan kecantikannya itu ternyata cinta mati sama si pembuat ‘Onar’ Kim Jongin. Gila gak tuh !” Ujar soojung penuh semangat. Gadis cantik berambut panjang itu memang selalu update soal gossip. Pasti semua ceritanya selalu up to date dan sedang hangat dipermbincangkan.

Jieun hanya membulatkan matanya tak percaya. ‘Mana mungkin’ pikirnya. Sementara Jiyeon hanya tersenyum tanpa arti. Mengingat nama Kim Jongin, membuatnya kembali ingat dengan ukiran bintang yang Ia pinjamkan pada kakak kelasnya itu.

“Kok bisa sih. Bukannya namja popular disekolah kita itu Byun Baekhyun yah ? Kok si wanita ‘Most Wanted’ itu malah suka ‘Si danger’ sih “ Jieun menggeleng tak percaya yang diikuti anggukan setuju soojung.

“Setiap orang punya daya tarik sendiri. Siapa tahu daya tarik ‘Si Danger’ itu lebih WOW dari pada ‘Si populer’ itu.” Ucap Jiyeon dengan penekanan pada kata ‘Si Danger’. Membuat jieun dan soojung menatapnya bingung.

“Ya ampun Jiyeon sayang. Apa sih daya tarik Jongin sunbae di banding baekhyun. Dia itu sama sekali tak ada daya tariknya sama sekali.” Protes Jieun yang tak setuju dengan pendapat jiyeon. sementara Jiyeon hanya tersenyum tipis mendengar ucapan sahabatnya –Jieun yang sok tahu ini.

“Ya. Itukan hanya pendapatku. Setiap orang punya hak dong buat berpendapat. Right ?”

Jieun hanya mencuatkan bibirnya sementara Soojung memperhatikan Jiyeon dengan heran. Sampai sebuah senyum simpul menghiasi wajah oval soojung.

“Jiyeon,,, Aku pikir…–

Soojung menggantungkan ucapannya dan kembali memperhatikan Jiyeon yang bingung dengan ucapan soojung.

“Apa ?” Tanya Jiyeon heran.

“Aku pikir kau jatuh cinta pada jongin sunbae.” Lanjutnya yang sontak membuat mata Jiyeon membulat. Begitu pun dengan Jieun yang langsung menatap Jiyeon seolah menuntut penjelasan sedetail-detailnya.

“Kamu apa-apaan sih. Gak jelas.” Jiyeon menggeleng gusar.

“Jiyeon, apa yang soojung katakan benar ? Kamu jatuh cinta pada si danger itu ?” Tanya Jieun tak percaya dengan sahabat kecilnya itu.

“Ya Tuhan Jieun, soojung. Aku pikir kalian harus konsultasi dengan dokter jiwa deh. Yang..oh ayolah, mana mungkin aku jatuh cinta, …” Paparnya lalu melengos pergi meninggalkan Jieun dan soojung yang langsung saling bertatapan dan bergidik.

***

Jongin melempar tas merah tuanya keatas tempat tidur begitu saja. diikuti dengan membaringkan tubuhnya yang sering merasa lelah akhir-akhir ini. Ia memejamkan matanya berusaha untuk terlelap. Namun kata-kata seorang gadis berambut hitam sebahu di atap sekolah menganggu pikirannya. Jongin akhirnya memilih bangkit, meraih tas merah-nya dan mengeluarkan semua isinya. Sampai mata terfokus pada satu objek. Ukiran kayu berbentuk bintang. Diraihnya cepat benda itu dan kembali membaringkan tubuhnya.

Ia mengangkat lengan kanannya tinggi-tinggi dengan ukuriran kayu digenggamannya. Diperhatikannya ukiran kayu itu sedetail-detailnya.

“PJY..” Gumamnya lagi saat mata-matanya lagi dan lagi menemukan 3 ukiran huruf capital di ujung salah satu sudut.

Entah angin apa yang membuatnya kini memejamkan mata, menangkup ukiran kayu itu dan mulai melakukan sebuah,,permintaan. Dalam kesungguhannya Jongin tersenyum, senyuman yang tak pernah ia tunjukan pada siapapun. Ia serasa terbang, menuju suatu tempat yang telah lama ingin ia datangi. Pikirannya serasa tenang dan perasaannya mendadak lega. Seolah bongkahan beban yang selama ini ia tanggung sirna begitu saja.

Jongin terlarut dalam dunia khayal dan imjinasi yang membawanya ke lorong dimensi waktu yang begitu terasa  nyata. Padahal ia tadi hanya meminta satu permintaan dan ia membayangkan bagaimana jika permintaannya benar-benar menjadi nyata. Dan yang ia dapatkan malah suatu hal yang lebih baik. Suatu hal yang baru ia rasakan…Ketenangan.

Joonmyeon yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar jongin  hanya bisa mematung. Ini adalah kali pertama jongin menunjukan senyuman itu lagi. Setelah kejadian itu, baru kali ini Joonmyeon kembali merasa jika adiknya telah kembali. Ia akhirnya hanya ikut tersenyum, meraih knop pintu dan kembali menutup pintu kamar bercat cokelat tua itu. joonmyeon tadinya ingin memarahi Jongin karena ulahnya tadi pagi. Namun Ia urung. Ia pikir Jongin hanya butuh sendirian saat ini.

Seiring dengan pintu itu tertutup. Jongin membuka matanya. Perlahan, ia membuka kepalan tangannya dan memperhatikan ukiran kayu ditangannya. Jongin lalu bangkit dari tidurnya dan tersenyum. Ia mendongak dan terdiam. Pantulan bayangan dihadapannya membuatnya lupa. Ia menatap cermin. Disana ia bisa melihat bagaimana bibirnya mengukir seulas senyuman. senyuman yang ia sendiri lupa kapan melakukannya. Tanpa sadar ia mengerang lalu melempar ukiran kayu itu dengan kasar kelantai.

“SIAL !!”

***

Chanyeol tersenyum. Melihat Jiyeon yang begitu asik memasukan telur pada adonan kue eksperimennya. Ia hanya memperhatikan dari sofa televisi. Sementara Jiyeon tampak sibuk di konter dapur dengan berbagai macam bahan-bahan kue yang ia butuhkan. Serbuk tepung terigu kini sukses menghiasi pipi dan hidungnya. Chanyeol terkekeh kecil memperhatikan tingkah Jiyeon yang begitu antusias membuat kue.

“Jiyeon~aa…”

Gadis manis itu mendongak dan menatap sang kakak penuh Tanya. “Kenapa ?”

“Bodoh !” Ujar chanyeol tegas. Beringsut bangkit dan berjalan menghampiri jiyeon yang kini memajukan bibirnya kesal.

“Kau itu bodoh atau bagaimana, eoh ? Masa masukin telur buat kue sama putihnya sih ? Harusnya cuman kuningnya aja. Ck ! Phabo !” Lanjut chanyeol kemudian mulai memisahkan kuning telur dengan putihnya dan memasukan kuning telur pada adonan kue yang baru.

Jiyeon hanya tersenyum dan menggaruk halisnya. “Hhe, ma’af. Akukan baru belajar. Oppa ternyata pintar membuat kue yah ?”

Chanyeol hanya mengangkat bahu dan mengoleskan serbuk tepung pada ujung hidung jiyeon. gadis itu kembali kesal dan balas mengoleskan mentega di pipi sang kakak. Dan jadilah acara membuat kue itu malah menjadi ajang oles mengoles. Ck !

.

.

Seusai berperang dengan chanyeol jiyeon lalu bergegas untuk mandi. Sementara chanyeol seolah enggan beranjak dari sofa krem yang teronggok di depan televisi. Lelaki dengan T-shirt hijau toska dan celana santai selutut itu memilih membaringkan diri di sofa dan membiarkan kepala bersandar pada bantal orange milik jiyeon –yang selalu tersimpan disana. Ia memejamkan matanya berusaha mengusir kantuk yang menyerangnya beberapa hari ini. Pekerjaanya sebagai assisten manager di salah satu perusahaan swasta di Seoul membuatnya lelah. Ditambah tugas kuliah yang begitu banyak, membuatnya harus mau tak mau merelakan waktu tidurnya untuk mengerjaan tugas. Sementara jiyeon. gadis itu tak tahu jika sang kakak kuliah sambil bekerja.

Selama ini Jiyeon hanya tahu jika kehidupan sekolah mereka dibiayai asuransi dan tabungan orang tua mereka yang sudah meninggal 4 tahun yang lalu. Awalnya uang itu memang cukup tapi lama kelamaan tabungan semakin menipis. Sementara asuransi hanya membiayai kuliah dan sekolah jiyeon sedangkan untuk kebutuhan hidup mereka asuransi tidak bisa menjamin. dan hal itu mau tak mau mendorong chanyeol untuk mencari pekerjaan. Sudah lebih dari 6 bulan lelaki berparas diatas rata-rata dengan suara tenornya itu bekerja di perusaahn Exotic yang ternyata menaruh kepercayaan lebih padanya.

Chanyeol menghela nafas berat. Ia berusaha meraih mug mocca di atas meja namun uluran tangan seseorang didepan wajahnya lebih dulu membuat aktifitas mengambil mug-nya terhenti.

“Jiyeon..” Pelan chanyeol dengan nada berat.

“Oppa, kau lelah ?” Tanya Jiyeon khawatir saat melihat wajah chanyeol yang begitu berantakan. Bahkan kini ia bisa melihat kantung mata disana.

Chanyeol menggeleng dan meraih secangkir teh hangat yang tadi Jiyeon sodorkan padanya.

“Jangan hanya minum mocca. Teh hangat lebih baik untuk mengusir lelah dan bagus juga untuk tubuhmu.” Sambung Jiyeon lalu ikut duduk disamping chanyeol yang hanya mengangguk.

“Oppa tahu honey.” Kata chanyeol lalu menyesap teh hangatnya.

Jiyeon diam. Ia tidak marah lagi saat chanyeol memanggilnya ‘Honey’. Ia kini sadar itu hanya kata-kata sayang chanyeol untuknya.

“Kenapa melihatku seperti itu ? Aku tampan yah ?” Goda chanyeol lalu mencolek dagu jiyeon yang hanya berakting pura-pura muntah dan menjulurkan lidahnya kearah chanyeol yang tertawa keras.

“Amit-amit. Oppa kau tahu wajahmu bahkan dibawah standar. Ck !”

Chanyeol semakin tertawa keras dan memegangi perutnya yang terasa sakit akibat tertawa.

“Ya ! Berhenti tertawa !!” Jiyeon semakin kesal dan menghentakan kakinya keras. Meraih bantal orange dan memeluknya erat.

“Oppa.” Pelan Jiyeon lalu mulai mendekap bantal itu begitu erat.

Chanyeol menghentikan tawanya dan menatap Jiyeon yang terlihat seirus. “Kenapa ?”

“Gomawo.”

“Untuk ?”

“Semuanya.”

Chanyeol semakin bingung. Ia mengerutkan alisnya tak mengerti. “Maksudmu.?”

“Terima kasih karena oppa masih mau berada disampingku. Terima kasih karena oppa masih bersamaku dan terima kasih karena oppa tidak meninggalkanku seperti yang lain.” Ujar Jiyeon lalu membalikan tubuhnya dan menatap chanyeol penuh rasa terima kasih.

Chanyeol hanya tersenyum. Meraih tubuh Jiyeon dan memeluk.

“Kau satu-satunya miliku yang berharga saat ini dan selama jiyeon. berhenti berterima kasih. Karena itu sudah kewajibanku sebagai kakak untuk adiknya.”

Jiyeon semakin tersenyum. Entah angin apa yang membuatnya tiba-tiba ingin mengatakan itu dan berterima kasih.

Chanyeol hanya tersenyum tipis. Beban di pundaknya serasa  terangkat. Ia benar-benar menyayangi jiyeon. ia menyayangi adiknya itu lebih dari apapun. Karena jiyeon adalah keluarga satu-satunya dan hartanya yang paling berharga.

***

Disebuah jalan sepi yang sering dijadikan ajang trek-trekkan kini tengah dipenuhi beberapa pembalap liar dan penonton setia yang pintar menutup mulut hingga polisi pun jarang sekali yang memasuki dari itu. bahkan deruan keras suara knalpot motor balap itu membahana, tempat mereka tak pernah tercium polisi. Kecuali jika ada yang membocorokan tempat rahasia itu pada polisi.

Baekhyun dengan jaket kulit cokelat dan black jins-nya kini tengah duduk dengan begitu percaya dirinya diatas motor ninja merah-nya. Sementara disampingnya telah bersiap Kim Jongin dengan jaket hitam dan black jins-nya juga. Ditambah dengan motornya yang juga berwarna hitam membuat penampilannya benar-benar terlihat ‘WAH’ dibanding Baekhyun. Rambut hitam jongin yang dibiarkan berantakan dengan helaian anak poni yang menjutai menutupi keningnya membuatnya semakin memikat hati para penonton wanita. Sementara Baekhyun dengan potongan rambut modis dan baju mahalnya terlihat begitu berkelas namun masih dengan kesan ‘Cool’-nya.

Kedua namja itu saling bertatapan untuk beberapa saat. Kemudian mulai menaiki motor masing-masing, menyalakan mesin dan fokus memperhatikan aba-aba dari seorang gadis seksi didepan.

One..Two..Three…GO !!

Seiring dengan diangkatnya sehelai kain berwarna merah, kedua motor besar itu melesat menembus kelenggangan dan keheningan malam yang begitu sepi dan gelap.

Jongin yang hanya mengikuti balapan itu untuk melepas penat sementara Baekhyun yang memiliki maksud lain didalamnya. Semuanya menyatu bersama hening dan dinginnya malam.

***

Jiyeon tampak asik dengan puzzle di atas meja belajarnya. Setelah selesai mengerjaan tugas sekolah. Gadis yang memang hobby mengkoleksi aneka bentuk puzzle itu berniat menyelesaikan puzzle bergambar dermaga dengan ukuran kecil-kecil dihadapannya. sesekali alisnya berkerut bingung namun tak lama kemudian kembali tersenyum. Jika sudah berhadapan dengan puzzle gadis manis ini memang selalu lupa waktu dan terlalu keasikan. Hingga tak sadar sudah hampir 1 jam lebih ia berkutat dengan dunia puzzelnya.

“Jiyeon waktunya tidur.” Teriak Chanyeol dari luar. Jiyeon terperanjat dan menatap jam kecil diatas nakas. 21.30. ck ! Pantas saja chanyeol sampai berteriak seperti itu.

“Iya Oppa ! Cerewet !” Teriaknya tak kalah keras. Ia terkekeh sendiri dan membereskan puzzle itu kedalam laci dibawah meja belajar. Setelah selesai, ia lalu membaringkan tubuhnya diatas springbed dengan sprai berwarna jingga bergambar bunga matahari begitu pun dengan selimut, bantal dan gulingnya. Jiyeon memang suka sekali dengan warna jingga. Ia pikir jingga itu selalu membuatnya merasa tenang, nyaman dan terkesan ceria pada saat bersamaan. Dan itu juga alasan mengapa ia suka matahari terbenam.

Tiba-tiba ia rindu ukiran kayu-nya. Jiyeon membungkus tubuh mungil -dengan piayama biru langit bergambar teddy bear-  itu sebatas dagu dan matanya mulai menatap langit-langit kamarnya yang dipenuhi gantungan-gantungan bintang yang ditempel kakaknya chanyeol saat ia masih kelas 1 SMP dulu. Saat itu ia begitu bahagia, ia bahkan rela tidak tidur semalam hanya untuk menatap bintang-bintang yang bergantungan diatas sana. Apa lagi jika lampu dipadamkan, bintang itu akan bersinar. Sangat cantik.

“Aku harus mengambil kembali ukiran kayu itu besok.” Gumam Jiyeon lalu mengangguk yakin.

Namun tak berapa lama, ia menghembuskan nafas berat.

“Tapi kupikir Jongin sunbae lebih membutuhkannya.” Sambungnya lalu mencoba menutup matanya. Namun sulit. Karena lagi-lagi matanya kembali terbuka.

“Tapi aku rindu ukiran kayu-ku.” Kali ini Jiyeon merengek dan memeluk gulingnya erat.

“Otthoke..” Desahnya frustasi. Satu sisi ia ingin ukiran kayu itu tetap di tangan Jongin tapi disisi lain ia juga rindu ukiran kayu itu.

Akhirnya jiyeon mendapat satu ide dan tersenyum. “Mungkin aku bisa melihatnya saja. jadi tak usah mengambilnya. Yap !” Yakinnya lalu mulai tenang dan memejamkan matanya.

***

Seperti biasa. Seusai balapan Jongin pasti menyempatkan diri untuk duduk di bukit belakang gedung tua itu. sudah bisa ditebak siapa yang jadi pemenang dalam balapan itu. setelah menjadi pemenang, Jongin tak mau ambil pusing dengan setiap ocehan dan cercaan yang Baekhyun lontarkan padanya. Ia sudah bosan. Sejak dulu ia tak pernah menganggap apa yang Baekhyun katakana padanya. Ia merasa jengah dengan hidupnya sendiri. Semuanya terasa datar dan tak menarik.

Selama ini ia ikut tawuran karena ia ingin memiliki lawan sebanding untuk meluapkan emosinya. Tapi nyatanya ia yang selalu menang dan itu sama sekali tak membuatnya bahagia. Ia justru akan bahagia jika ia kalah dan babak belur. Itu artinya ia kalah dan kekalahan adalah hal yang tak pernah ia rasakan selama ini. Jika selama ini pula ia sering membuat onar disekolah itu ia lakukan karena ia butuh diperhatikan. Ia tak suka dengan keheningan. Karena hening sama artinya dengan kesepian. Dan ia benci itu.

Jongin menghembuskan nafasnya berat. Helaian anak poni yang menutupi dahinya tertiup angin. Ia memejamkan matanya erat. Menikmati semilir angin malam yang begitu sejuk. Masih ditempat yang sama. Dibawah pohon tua yang begitu rindang namun disana terdapat sebuah bola lampu sekitar 5 watt yang begitu remang dan cahayanya menguning. Jongin memang sengaja memasang lampu itu yang ia hubungkan listrinya dari desa warga tak jauh dari situ dan tentu saja biaya listrinya ia bayar setiap bulan.

Bukit belakang gedung ini adalah tempat favoritnya yang pertama. Karena kamarnya tak lagi aman dan nyaman untuk Jongin. Ia benci setiap kali kakaknya berteriak dan membentaknya disana.

Jongin membaringkan tubuhnya disana. Membiarkan rumput hijau sebagai alas tempat tidurnya malam ini. Matanya fokus menatap langit berwarna biru gelap dengan bintang dan bulan sebagai temannya. ‘Bintang’. Jongin terdiam beberapa saat. Sampai ia merogoh sesuatu dari saku jaket kulitnya. Dikeluarkannya benda itu dan ia angkat tinggi-tinggi.

“Besok aku akan mengembalikan dirimu pada pemilik aslimu.” Gumamnya sambil memperhatikan ukiran kayu ditangannya.

Jongin lalu memejamkan matanya dan terlelap disana. Menjadikan hening malam dan gemerisik pohon sebagai music pengantar tidurnya.

***

Pagi itu Jiyeon berjalan begitu riang menuju sekolahnya. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan ukiran kayunya. Chinja Ia benar-benar merindukan barang itu.

“Hey. !”

Tepukan cukup keras di bahunya membuat Jiyeon menoleh dan mendapat senyuman lebar Jieun -sahabatnya.

“Kau gila ! Bikin kaget tahu !” Cerca Jiyeon sambil mengelus dadanya kaget.

Jieun hanya tertawa dan merangkul bahu Jiyeon untuk masuk kedalam kelas bersama. Saat melewati lapangan basket, soojung tiba-tiba saja berlari dari arah berlawan. Dengan nafas tersengal ia menghentikan langkahnya dan berdiri tepat didepan Jieun dan Jiyeon yang kaget melihat soojung berlari secepat itu.

“Kau kenapa ?” Tanya Jiyeon.

“Dikejar setan yah ?” Lanjut Jieun.

“Atau di kejar Ahjussi Hodong penjaga sekolah ?” Lagi Jieun bertanya. Dan pertanyaannya sungguh tidak logis. Ck !

Soojung mengatur nafasnya dan menggeleng keras. Tangannya lalu menujuk kearah lantai dua. Dua gadis dihadapan soojung langsung menatap lantai dua.

“Ada apa sih ?” Tanya Jiyeon lagi penasaran.

“Iya nih, soojung ada apa ? Kok kamu mendadak jadi bisu sih !” Jieun mulai tak sabar ingin tahu.

Soojung akhirnya berbicara walau tak begitu jelas. “Kim Jongin. Si Danger itu ada dikelas kita dan…Dan mencarimu Jiyeon.” Papar Soojung.

Jieun yang mendengar itu membulatkan matanya kaget. Tapi berbeda dengan jiyeon yang santai-santai saja. ia jutsru malah tersenyum karena itu tandanya Ia tak usah susah-susah mencari Jongin untuk melihat Ukiran kayunya.

“Kalau begitu ayo kita kekelas.” Ajak Jiyeon semangat yang langsung dipelototi oleh Jieun dan soojung.

“Kalian kenapa sih ? Kok malah melotot. Ayo…!!” Ajak Jiyeon lagi. Namun langkahnya terhenti saat Jieun malah menarik tangannya.

“Kenapa sih ?” Tanya Jiyeon heran.

“Kamu gila yah Jiyeon. Yang mencarimu itu bukan Baekhyun si namja popular tapi Si danger Kim Jongin. Bagaimana bisa kamu begitu bersemangat ingin kekelas ?” Tanya Jieun heran begitu pun dengan Soojung.

Jiyeon akhirnya hanya bisa menarik nafas. Ia lupa memberitahu Jieun dan Soojung soal semuanya.

“Jieun benar Jiyeon. bagaimana jika Jongin sunbae datang untuk menghabisimu karena berani membentaknya waktu itu.” Kali ini soojung yang berkomentar.

“Guys ! Jongin sunbae tidak ‘Se-Danger’ yang kalian pikirkan. Kemarin aku sempat bertemu dengannya dan dia baik kok. Dan aku juga meminjamkannya Ukiran kayu itu loh Jieun.” Kata Jiyeon menjelaskan yang diikuti angguan Jieun yang memang tahu mengenai Ukiran kayu bintang kesayangan Jiyeon. tapi mata Jieun yang membulat tak bisa menutupi kekagetanya.

“Masa sih. Tapi kok anak-anak disini bilang dia itu bahaya.” Sela Soojung tak percaya.

“Sudahlah. Percaya deh dia itu baik. Jadi sekarang ayo kita ke kelas. Nanti istirahat aku jelasin deh semuanya.” Tegas jiyeon yang langsung di ikuti anggukan Jieun dan soojung.

***

Sejak tadi pagi Jongin berdiri di depan kelas Jiyeon. ia menyandarkan tubuh itu pada kusen pintu yang dibiarkan terbuka. Beberapa anak yang sekelas dengan Jiyeon sempat tersentak kaget saat melihat ‘Si pembuat onar’ tengah berdiri di kelas mereka namun tak sedikit juga yang bersikap biasa saja karena tak tahu apapun tentang Kim Jongin.

Namun namja itu dengan santainya hanya menyapa anak-anak yang terkejut dan tersenyum. Ia suka saat melihat adik kelasnya begitu ketakutan saat melihatnya. Mengerjai mereka tampaknya menjadi pekerjaan baru untuk kim jongin sambil menunggu orang yang dinanti datang.

Tak berapa lama, seorang gadis dengan tatanan rambut yang masih sama berjalan kearahnya dengan dua gadis lain disampingnya. Jongin berdiri tegap dan menunggu Jiyeon mendekatinya.

“Ada apa ?” Tanya Jiyeon santai.

Jongin menatap gadis itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Hm..Cukup manis. Pikirnya.

Tak usah menunggu lama. Namja itu merogoh sesuatu dari saku celana dan menyerahkan benda itu pada Jiyeon. gadis manis itu memperhatikan sebuah benda berbentuk bintang ditangan Jongin. Senyuman tersungging di bibirnya. Lalu dengan cepat meraih ukiran kayu kesayangannya.

“Ukiran kayu itu sama sekali tak sehebat yang kau katakan.” Ujar Jongin datar seperti biasa.

Jiyeon menatap namja dihadapannya heran. Ia lalu bertanya. “Maksudmu ?”

Jongin mengangkat bahu dan kembali berucap. “Well. Intinya barang itu sama saja, hanya sampah.” Katanya lalu tersenyum sinis.

Jiyeon menatap tajam namja dihadapannya. ia tak akan marah jika jongin menghinanya tapi namja ini menghina ukiran kayunya. Barang kesayangan peninggalan sang umma satu-satunya. Jiyeon mengepalkan tangannya kuat. Mencoba menahan emosinya.

‘Tenang Park Jiyeon. tenang.’ Ucapnya dalam hati berulang kali.

Jieun dan soojung saling berpandangan lalu cepat-cepat mengelus punggung Jiyeon. mereka hanya takut Jiyeon marah dan itu hanya akan membuat Jongin tambah senang karena ada bahan mainan.

Jongin yang menyadari perubahan raut wajah Jiyeon kembali tersenyum menang. Ia merasa mempermainkan gadis ini cukup menyenangkan. Lalu ia kembali berujar.

“Dan yah..Bagaimana bisa kau menyimpan sampah tak berguna seperti itu. ck ! Kau benar-benar kekanakan, mudah percaya dengan omongan bulshit para orangtua.”

Jiyeon semakin tak terkendali. Ia menatap Jongin tak berkedip. Sementara namja itu hanya menatapnya dingin dan seolah meremehkan.

“KAU !” Jiyeon menunjuk wajah jongin dengan telunjuknya. Membuat namja itu semakin mengangkat wajah dengan tatapan meremehkan.

“Kau laki-laki paling menyebalkan yang pernah ku temui.” Tegas Jiyeon kemudian terengah. Seolah begitu lelah menahan emosi yang sejak tadi ia tahan.

Jongin tersenyum lagi. “Menyebalkan ? Terima kasih. Aku anggap itu sebagai pujian.” Ucapnya santai.

Jiyeon menatap aneh namja dihadapannya. sebenarnya dia itu manusia atau bukan sih. Disebut menyebalkan dia bilang pujian ? Oh God !. Buatlah aku lebih sabar menghadapinya. Gumam jiyeon dalam hati.

Sebelum Jiyeon kembali melontarkan kata-kata lain. Seorang namja dengan setelan rapih tapi terkesan ‘Cool’ berjalan cepat menghampiri mereka.

“Hai Jiyeon !” Sapa namja itu ramah sambil tersenyum.

Hal itu sontak membuat raut wajah Jiyeon berubah cerah. Ia tersenyum kearah Baekhyun dan menatap namja itu penuh binar.

“Hai..Sunbae..” Ucapnya pelan.

“Oh, kau juga ada disini Jongin~aa..” Baekhyun beralih merangkul bahu Jongin dan memandang namja itu dengan tatapan aneh.

“Singkirkan lenganmu dari sana .” Bentak Jongin lalu menepis rangkulan Baekhyun dan berdiri agak menjauh dari namja itu.

Jiyeon, Jieun juga soojung yang melihat itu mengerutkan alisnya bingung.

“Kalian pasti sahabat Jiyeon yah ?” Tanya Baekhyun lalu beralih menatap Jieun san Soojung yang tersenyum dan mengangguk.

“Namaku Lee Jieun dan ini Jung Soojung.” Kata Jieun memperkenalkan diri.

“Hai, senang bertemu denganmu sunbae.” Sambung soojung yang langsung dibalas senyuman hangat oleh Baekhyun.

“Namaku Baekhyun. Senang juga bertemu kalian.”

Jongin berdecak. Ia sudah muak dengan tampang sok ramah yang kini diperlihatkan Baekhyun pada kedua teman Jiyeon. namja ini mungkin memang menjadi ‘Most Wanted’ di sekolah ini. Tapi semua sikap yang ia perlihatkan sungguh jauh dari sifat aslinya. Bukankah itu sama saja dengan menipu ?

“Ada apa sunbae datang kemari ?” Tanya Jiyeon pada Baekhyun. melirik Jongin sekilas dan mengacuhkannya.

“Oh. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertemu denganmu saja.” Kata Baekhyun ringan.

Jiyeon bersemu. Ia tersenyum kikuk dan mengangguk mengerti. Jieun yang mendengar itu hanya mengeruncutkan bibirnya begitu pun dengan soojung.

“Ya ! Jiyeon !” Seru Jongin membuat gadis itu langsung menatap kesal jongin.

“Apa ?” Sahut Jiyeon tak kalah keras.

Baekhyun yang melihat itu tersenyum tipis. Lalu mengangguk paham.

Jongin lalu mendorong Baekhyun untuk menyingkir. Ia berjalan mendekati Jiyeon dan berdiri tepat didepan wajah gadis itu. jiyeon mundur beberapa langkah dan menunduk. wajah itu semakin mendekat. Semua orang yang menonton adegan itu menatap was-was begitu pun Jieun dan soojung. Namun berbeda dengan Baekhyun yang kini tersenyum puas.

“Aku ambil lagi ini.” Gumam Jongin tepat ditelinga Jiyeon dan mengambil cepat ukiran kayu digenggaman tangan gadis itu dan berlalu dari sana.

Jiyeon terkesiap. Ia malu setengah mati. Ia kira Jongin akan melakukan hal aneh. Tapi hanya untuk mengambil ukiran kayu itu. But. Wait ! Ukiran kayu ?

“YA…YA…KIM JONGIN…!!!” Jiyeon berteriak dan memanggil Jongin yang sudah menghilang di tikungan menuju tangga.

“DASAR GILA ! ANEH !! KEMBALIKAN UKIRAN ITU !! ISSH !!” Jiyeon masih saja berteriak walaupun Jieun dan soojung terus berceloteh menyuruh Jiyeon untuk diam. Karena kini mereka menjadi bahan tonton seluruh anak kelas 10 dan sebagian anak kelas 11.

“Jiyeon. berhentilah. Percuma.” Kata Baekhyun akhirnya.

Gadis itu menghela nafas berat dan akhirnya diam. Ia melongo. Melihat semua pasang mata kini tengah tertuju padanya. Jiyeon lalu tersenyum kikuk dan berjalan cepat menuju kelasnya. Ya Tuhan ! Ini adalah hari paling menyebalkan dalam hidupnya dan semua itu karena Kim jongin ! Jiyeon bersumpah jika nanti ia bertemu lagi dengan Manusi aneh itu lagi. Ia akan menjambak rambut Jongin dan memukul Namja itu sekuat tenaga.

***

Baekhyun duduk dibangkunya, kelas X11 IPA 3 adalah kelas Baekhyun sang Namja ‘Most Wanted’ yang begitu di elu-elukan Chungdam High School. Tidak sedikit yang begitu memujanya namun ada juga yang sirik dengan kepopulerannya, khususnya bagi namja. Baekhyun begitu ‘Cool’ dimata setiap yeoja. Dia mudah bergaul dengan siapa pun. Senyum adalah salah satu adalan dari seorang Byun baekhyun. Setiap yeoja yang melihat namja itu tersenyum, Ia pasti akan langsung meleleh dan jatuh cinta pada namja itu. baekhyun memiliki mata bulat, pipi tirus bibir yang tak terlalu tebal tak juga terlalu tipis. Kulit bersih tanpa noda dengan parfum khas yang selalu membuat siapa saja tak bisa berhenti untuk berdecak kagum akan namja itu.

Tapi dibalik itu semua. Ada satu hal yang orang lain tak tahu mengenai seorang Byun Baekhyun. Mungkin ia memang begitu ramah dan baik. Tidak sombong dan angkuh. Tapi tak ada satupun yang tahu bagaimana sifat Baekhyun sesungguhnya. Mungkin hanya ‘Si Pembuat Onar’ sekolah, Kim Jongin yang mengetahuinya.

“Aku tahu sekarang.” Gumam Baekhyun sambil tersenyum. Ia memutar-mutar bolpoin ditangannya. Ia lalu membubuhkan. “ Kau akan menjadi No. 2 sekarang, Kim Jongin.” Seulas seringai menghiasi bibirnya. Ia begitu bahagia. Kini Ia tahu bagaimana cara untuk membuat Kim Jongin bertekuk lutut dan mengakui kehebatannya. Mungkin Baekhyun tak begitu ahli dalam hal balapan liar dan Tauran. Tapi dia begitu piawai jika soal Wanita.

“OPPA !!” Teriakan nyaring seorang gadis dengan rambut pirang panjang membuat Baekhyun menoleh cepat. Ia menggerutu dalam hati tapi lain di bibirnya.

“Ada apa Naeun ?” Tanyanya ramah.

Naeun sang ketua Cheerledear basket Chungdam High School itu lalu memasang tampang genit yang…Oh itu begitu menjijikan. Baekhyun hanya menahan nafas saking ingin muntah tapi demi menjaga image. Ia hanya tersenyum manis.

“Oppa, bisakah nanti malam kita berkencan ?” Tanya gadis itu to the point.

‘Dasar yeoja seenaknya. Kau pikir kau siapa eoh ?” Gerutu Baekhyun dalam hati.

“Akh, nanti malam yah ? Mianhe Naeun tapi aku harus belajar soalnya besok ada ulangan.” Tolak Baekhyun halus.

Naeun yang ditolak sehalus itu hanya tersenyum dan mengangguk paham.

“Gwenchana oppa. Kalau begitu belajarlah. HWAITING !!” Ujarnya menggebu lalu berlari riang meninggalkan kelas Baekhyun.

Sepeninggal Naeun Baekhyun mulai menggeleng geli lalu menggidikan bahu. Sebenarnya selama ini ia tak begitu suka berlaku ramah seperti itu. tapi demi menjatuhkan Kim Jongin ia rela melakukan apapun. Apapun. Asal itu membuat Jongin mengakui kehebatannya.

***

Bel pulang sudah berbunyi semenjak 30 menit yang lalu. Tapi Jiyeon belum beranjak dari sekolahnya. Ia berdiri di koridor utama menunggu Chanyeol yang berjanji akan menjemputnya hari ini. Sementara Jieun dan Soojung sudah pulang beberapa menit yang lalu.

Jiyeon lalu melirik kembali jam orange ditangannya. Ia mulai menggerakan kakinya kesal. Kepalanya berkali-kali terjulur untuk melihat gerbang sekolah. Tapi mobil Putih Chanyeol belum terlihat sejak tadi.

“Oppa kau dimana ?” Gumamnya kesal.

Langit Seoul terlihat mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Angin berhembus kencang, Jiyeon terpaksa memeluk tubuh sendiri dengan kedua tangannya. ia lupa membawa jaket.

“Oppa, ayolah…err..” Jiyeon mengerang kesal. Ia merogoh ponsel di tasnya dengan cepat, tapi sial. “Akh ! Batreinya habis lagi. Issh !”

Lengkaplah sudah penderitaan Jiyeon hari ini. Ia hanya bisa duduk dikoridor yang sepi. Hanya beberapa anak basket yang masih berlatih di lapangan. Tapi sekarang pun mereka terlihat sedang beres-beres dan mungkin sebentar lagi akan pulang.

Saat langit akhirnya mulai menyerah dan memilih memuntahkan seluruh airnya. Jiyeon hanya merengut kesal. Ia menggigil kedinginan. Ditambah fakta bahwa kini ia benar-benar sendirian. Adegan film-film horror yang sering ia tonton bersama Chanyeol tengah malam kini berkeliaran di otaknya. Saat suara petir menggelegar, Jiyeon tersentak dan semakin menggeleng takut.

“Ya Tuhan lindungi aku.” Gumamnya penuh harap.

Tap…Tap..Tap..

Suara derap langkah terdengar begitu jelas di koridor sana. Jiyeon yakin ada seseorang yang sedang berjalan menuju kearahnya. Sekolah kini benar-benar sepi, angin berhembus kencang, hujan turun begitu deras, petir sesekali menggelegar dan langit yang mendung, benar-benar mendukung suasanan Horror di sana. Jiyeon jatuh terduduk. Menekuk lutut dan menyembunyikan wajah disana.

Tap..Tap..Tap..

Suara derap langkah itu semakin keras, menandakan jika orang yang berjalan semakin mendekat. Jiyeon semakin gemetar ketakutan. Bagaimana jika itu hantu yang sering soojung ceritakan padanya. Atau bagaimana jika itu drakula penghisap yang tiba-tiba nyasar ke seoul dan berniat menemui gadis cantik sepertinya ? Jiyeon menggeleng cepat. Ia masih ingin hidup.

Tap….Tep.

Langkah kaki itu berhenti dan tepat di hadapnnya. Jiyeon semakin gemetar. Tapi dengan sekuat tenaga Ia mendongak perlahan. Sepasang sepatu merah tua dengan line putih tampak bersih dapat ia lihat, lalu ia semakin mendongak keatas, celana putih abu, kemeja sekolah yang dikeluarkan dengan blazer yang sengaja tidak dikancingkan membuat dasi abu-abu itu tergantung langsung diatas kemeja putih. Untaian rambut yang menutupi dahinya membuatnya tampak benar-benar berantakan.

“Apa yang kau lakukan ?” Tanya seorang namja yang Jiyeon hapal betul. Suaranya yang agak serak itu membuat Jiyeon mendengus kesal.

“Issh ! Ternyata kau ? Aku kira hantu.”

Jiyeon segera berdiri dan merapihkan baju yang kusut. Ia benar-benar merutuki kekonyolannya barusan. Kini ia sadar lain kali jika mendengar derap langkah ia harus benar-benar yakin jika itu manusia. Karena hantu tak mungkin berjalan dan memakai sepatu merah seperti namja menyebalkan dihadapannya ini.

“Ya Tuhan. Selain kau percaya hal-hal Bulshit ternyata kau juga percaya hantu ? Oh come on.” Tawa Jongin menggema membuat Jiyeon semakin kesal.

“Berhenti mengataiku bodoh. !” Ujar Jiyeon kesal. Namja di hadapannya ini tidak pantas disebut ‘Danger’ ia lebih pantas di sebut namja ‘Freak’.

“Kau yang bodoh. Bukan aku. Dasar !” Katanya lagi sambil terkekeh.

Jiyeon berdecak kesal, mengabaikan Jongin dan memilih memperhatikan gerbang sekolah yang tampak sepi. Apa Chanyeol mengingkari janji ? Tapi kakaknya itu tak pernah seperti ini sebelumnya. Jiyeon jadi tak enak hati. Ia takut sesuatu terjadi pada kakaknya itu.

“Apa yang kau lakukan disini ?” Tanya Jongin.

Jiyeon memutar bola matanya jengah. Namja disampingnya ini begitu cerewet dan tak bisa berhenti bertanya rupanya.

“Kau lihat aku sedang apa sekarang ?”

Jongin memutar matanya seolah berpikir lalu ia mulai memperhatikan Jiyeon.

“Saat ini kau sedang menatapku, mengajukan pertanyaan dan menunggu jawabanku. Benar bukan ?” Jawab Jongin santai.

Jiyeon menatap aneh lelaki dihadapannya. ia pikir Jongin mesti masuk rumah sakit jiwa sekarang. Yah, memang benar apa yang Jongin jawab tadi tapi yang pasti saat ini ia sedang menunggu.

“Whateva.”

Hening beberapa saat.

Mereka berdua terdiam. Membiarkan derasnya hujan yang membentur tanah menjadi backsoudnnya.

Jiyeon mulai gelisah. Ia mengigir bibirnya. Ia benar-benar khawatir dengan Chanyeol kakaknya.

“Hey ! Apa yang akan kau lakukan !”

Langkah Jiyeon terhenti saat Jongin menahan tangannya. padahal tadinya ia hendak berlari dan menerobos hujan.

“Lepaskan.”

“Kau mau apa ?”

“Aku mau pulang.”

“Tapi ini masih hujan.”

“Lalu ?”

“Tunggu sampai hujan reda baru kau boleh pulang…”

“Dan diam disini bersamamu…oh Tuhan..” Sela Jiyeon menatap Jongin kesal. Sementara namja itu balas menatap Jiyeon dengan tatapan dingin. Jongin langsung melepaskan tangan Jiyeon kasar dan menatap objek lain.

Jiyeon terdiam namun ia tak perduli. Ia lalu melangkah cepat-cepat, ia tak perduli dengan deras hujan sekarang. Ia benar-benar khawatir pada Chanyeol. Setelah sampai di ujung koridor jiyeon mengulurkan tangannya. deras hujan langsung membasahi tangan gadis itu.

“Aku harus pulang. Harus !” Ucapnya.

Jiyeon membuka ransel dan memeluknya erat. Lalu mengambil ancang-ancang untuk berlari tapi sebelum ia benar-benar berlari teriakan Jongin menghentikannya.

“BERHENTI !”

Tapi jiyeon tak mau perduli. Ia lalu kembali melanjutkan aksinya untuk berlari menerobos hujan. Tapi saat sebelah kakinya menyentuh lantai yang basah, ia malah terdorong kebelakang dan jatuh kembali di lantai koridor.

“APA YANG KAU LAKUKAN ?” Pekik Jiyeon kesal. Pasalnya barusan Jongin menarik tangannya dan menghempaskan tubuhnya kelantai.

“Aku bilang diam. Tunggu hujannya reda baru pulang !” Tegasnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

“Apa maumu ? Sok ngelarang segala lagi. “

Jongin tak menjawab. Ia lebih memilih memperhatikan hujan dengan Jiyeon yang mulai berdiri dan diam tak begitu jauh darinya.

“Kembalikan ukiran kayuku.” Ucap Jiyeon akhirnya.

Jongin masih bergeming. Ia terdiam dengan pikirannya sendiri.

“Ya ! Freak. Kau mendengarkanku tidak ?” Tanya Jiyeon kesal. Ia lalu melirik kearah Jongin yang terdiam. Namja itu memperhatikan hujan namun tatapan mata itu kosong. Seolah pikirannya sedang berkelana entah kemana.

“Ya Kim Jongin. Hey ! Jangan menakutiku. Apa kau kesurupan ? HEY ! YA ! KIM JONGIN !!” Jiyeon berterik dan mengoceh tak karuan. Sampai Jongin melirik kearahnya dan sontak membuat Jiyeon langsung terdiam.

Namja itu menatap Jiyeon tajam namun lembut. Jiyeon sampai tak percaya jika yang sedang menatapnya kini seorang Kim Jongin yang sangat menyebalkan.

Namja itu berjalan mendekat kearahnya, membuat Jiyeon mundur kebelakang.

“Apa yang kau lakukan. Hey Jongin !”

Namja itu tak perduli ocehan Jiyeon. ia tetap berjalan mendekat. Ekspresi wajah itu…Jiyeon benar-benar tak mengerti. Jongin benar-benar memiliki berbagai sisi berbeda yang sulit untuk dimengerti.

“Stop. Berhenti. Astaga God ! Hey…Ya …Ya… Freak jangan mendekat.” Jiyeon mengoceh tak karuan ia benar-benar panic. Jongin semakin berjalan mendekatinya.

Gadis itu memejamkan matanya kuat. Namun setelah beberapa lama tak merasakan keanehan apapun. Jiyeon memberanikan diri untuk membuka mata dan mendapat Jongin berdiri tepat dihadapannya.

“Sunb..bae..” Lirih Jiyeon pelan. Ia memberanikan diri menatap Jongin yang juga tengah menatapnya. Mata itu tak memancarkan apapun. hanya kekosongan yang bisa jiyeon rasakan.

Sampai sesuatu yang luar biasa membuat Jiyeon terdiam. Seorang Kim Jongin kini tengah tersenyum tulus…Jiyeon membeku. Ia merasa terbang di sebuah taman bunga yang indah. Ini adalah kali pertama ia melihat jongin tersenyum. Dan kini mata itu memancarkan binar yang begitu luar biasa.

Sampai Jiyeon merasa hangat disekujur rubuhnya saat Jongin melingkarkan tangan untuk merengkuh tubuh Jiyeon. gadis manis itu semakin tersentak kaget. Ia diam. Membeku. Bergeming. Tak bergerak. Ia merasa tubuhnya lumpuh total. Matanya mengerjap beberapa kali.

“Sunbae…” Gumam Jiyeon

Jongin masih merengkuhnya seolah ia tak mendengar.

“Kim Jongin.” Jiyeon mulai merasa sesak dan mendorong tubuh itu sekuat tenaga.

Sampai jongin tersentak. Matanya kembali seperti semula. Wajahnya menegang.

“SIAL !” Gerutunya lalu meniju tiang yang ada di kordior. Jiyeon mengernyit heran. Tadi tatapan itu begitu lembut namun kini terlihat benar-benar menakutkan dan dingin.

“Pergi dari sini !” Ujar Jongin dingin. Namun Jiyeon belum sadar sepenuhnya, ia masih menatap Jongin tak percaya.

“AKU BILANG PERGI.” Sentak Jongin membuat Jiyeon kaget dan mundur beberapa langkah untuk menjauhi namja itu.

Wajah Jongin kali ini benar-benar menakutkan. Urat-urat di dahi dan lehernya nampak menonjol, ia mengatup rahangnya keras. Kedua tangannya mengepal.

Jiyeon tak mampu berkata apapun lagi. ia lalu berjalan tergesa meninggalkan koridor. Membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Meninggalkan Jongin yang masih terpekur di koridor.

Namja itu menyandarkan tubuhnya pada tiang penyangga. Tubuhnya meluruh lunglai. Jatuh terduduk. Seiring dengan wajahnya yang tertunduk lemah. Ia benar-benar tak menyangka jika ia tak bisa mengontrol emosi seperti biasanya.

Jongin termenung. Matanya memperhatikan Jiyeon yang tengah berlari menembus hujan. Gadis bertubuh mungil itu terus berlari sampai hilang ditikungan jalan. Jongin meringis.

“Appa…” Bisiknya pelan.

[TBC]


TRUE LOVE (Chapter 5A)

$
0
0

TRUE LOVE

Tittle                : True Love (Chapter 5A/ Holiday: Min Young Version)

Author             : Jellokey

Main Cast        : Kim Jong In (Kai EXO-K)

Oh Sehun (Sehun EXO-K)

Luhan (Lu Han EXO-M)

Kim Joon Myun (Suho EXO-K)

Kang Jeo Rin (OC)

Shin Min Young (OC)

Support Cast   : Wu Fan (Kris EXO-M)

Park Chanyeol (Chanyeol EXO-K)

Do Kyungsoo (D.O EXO-K)

Byun Baekhyun (Baekhyun EXO-K)

Kim Min Ra (OC)

Jang Mi Sun (OC)

and others

Length             : Chaptered

Genre              : Romance, Family, School Life

Rating             : PG-15

A.N                 : Annyeong ^^. Part lima ini aku bagi jadi dua. Liburan versi Min Young dan Jeo Rin. Keduanya terjadi di hari yang sama. Enjoy it! ^^

“Aku mencintaimu.” Sehun larut dalam pikirannya. ‘Aku tidak pantas untuk Min Young. Kenapa aku baru sadar sekarang? Min Young orang kaya sedangkan aku orang miskin. Lu Han, sepertinya Min Young eomma sangat mengenal Lu Han. Lu Han namja yang sempurna. Dia cute, kaya, pintar, baik. Dibandingkan dengan Lu Han aku tidak ada apa-apanya.’ Yang ada dalam pikiran Sehun ‘hanya aku tidak pantas untuk Min Young’.

“Aku mencintaimu, Sehunnie.” Min Young mengeratkan pelukannya karena Sehun belum membalas pelukannya.

“Aku juga mencintaimu, Youngie.” Sehun balas memeluk Min Young.

“Aku pulang dulu.” Sehun mencium kening Min Young.

“Masuklah.”

“Aku akan masuk setelah kau pulang.”

“Baiklah, aku pulang.”

############

“Apa kau tahu kalau Lu Han oppa sakit, Sehunnie?” tanya Min Young begitu mereka berada di atap sekolah.

“Ne, kau tahu dari mana? Aku belum memberitahumu.”

“Kai. Dia mengirimku pesan semalam. Jangan salah paham. Kami hanya berteman.”

“Kau mau berteman dengannya?”

“Aku tahu sebenarnya dia orang yang baik, hanya saja kelakuannya sedikit buruk.”

“Kita akan menjenguk Lu Han sepulang sekolah nanti.”

“Ne.”

#############

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Sehun saat sudah berada di ruang rawat Lu Han. Min Young meletakkan buah yang ia bawa di meja samping ranjang Lu Han.

“Sudah lebih baik.”

“Kenapa kau bisa sakit, oppa?”

“Aku hanya kelelahan.”

“Dia tidak makan teratur.” kata Kai yang saat itu berbaring di sofa.

“Jangan dengarkan Kai, Young.” Sehun hanya terdiam melihat Lu Han dan Min Young.

“Dia stress.”

“Stress?” Min Young bingung. Lu Han sudah terlalu bahagia dengan hidupnya. ‘Apa yang Lu Han oppa pikirkan sampai ia stress?’

“Dia stress karena yeoja yang ia cintai tidak menyadari keberadaannya.” kata Kai.

“Siapa yeoja yang kau cintai, oppa? Apa aku mengenalnya?”

“Kau sangat mengenalnya, Min Young.” Sehun tahu siapa yeoja yang dimaksud Kai. Min Young. Baru Sehun sadari kalau cara Lu Han menatap Min Young berbeda. Tatapan sayang yang menunjukkan bahwa Lu Han mencintai Min Young. Sehun yakin Lu Han mencintai Min Young jauh sebelum ia mengenal Min Young. ‘Aku telah menyakiti Lu Han.’ pikir Sehun.

“Apa kau menyukai Jeo Rin, oppa?” Sontak semua orang yang ada di tempat itu menatap Min Young tidak percaya. Terutama Kai. Bagaimana mungkin Lu Han mencintai Jeo Rin? Sedangkan yeoja yang dekat dengan Lu Han hanya Min Young.

“Yang menyukai Jeo Rin itu aku, Min Young.” Saat Kai mengucapkan kata-kata itu, Suho dan Jeo Rin masuk ke ruang rawat Lu Han.

“Kau benar-benar cari masalah, Kai.” Suho hendak menghampiri Kai tapi ditahan Sehun.

“Tenanglah, Suho. Ini rumah sakit.”

“Namja-mu berguna juga, Min Young. Aku sedang malas meladeni orang itu. Lu Han, aku pulang sebentar. Hubungi aku kalau orang ini sudah pulang.” Kai meninggalkan ruangan Lu Han setelah memberikan senyum terbaiknya pada Jeo Rin.

###############

Sudah tiga hari Sehun menghindari Min Young. Min Young selalu mendatangi atap sekolah dan perpustakaan tapi tetap tidak ada Sehun di sana. Ia juga mendatangi ke rumah Sehun tapi Sehun juga tidak ada di rumah. Min Young juga selalu menceritakan masalahnya pada Lu Han.

“Hari ini aku juga tidak menemukannya, oppa.”

“Mungkin dia sedang sibuk, Min Young.”

“Tidak, dia pasti menghindariku.” Lu Han menatap Min Young tidak mengerti. Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan Min Young untuk duduk di situ. Saat ini Lu Han sedang duduk bersandar di ranjangnya.

“Buat apa dia menghindarimu?” tanya Lu Han.

“Eomma tidak menyukai Sehun oppa karena dia berbeda dengan kita, oppa.” ‘Hanya karena itu? Kau tidak mau mempertahankan perasaanmu hanya karena perbedaan status sosial? Kau pengecut, Sehun.’ batin Lu Han.

“Aku takut dia meninggalkanku, oppa.”

“Shun tidak akan meninggalkanmu, Young.”

“Benarkah?”

“Eeem… jadi, jangan sedih lagi. Kau jadi jelek.”

“Oppa…” Min Young mengerucutkan bibirnya.

“Oppa bercanda. Kau yeoja paling cantik sedunia.” Lu Han mencubit pipi Min Young.

############

Lu Han sudah keluar dari rumah sakit saat ujian semester. Dan saat itu Min Young baru bisa bertemu dengan Sehun. Min Young meminta Lu Han mengawasi Sehun begitu ujian selesai. Dan di sinilah Min Young berada. Di depan pintu ruangan kelas yang tidak dipakai. Ia membuka pintu ruangan itu dan mendapati Sehun sedang berdiri menghadap jendela.

“Kenapa oppa menghindariku?” Min Young berjalan mendekati Sehun.

“Aku tidak menghindarimu.” Jawab Sehun tanpa membalikkan tubuhnya. ‘Kenapa Min Young bisa tahu aku ada di sini?’ batin Sehun.

“Gotjimal. Kau menghindariku karena eomma kan? Aku sudah katakan padamu jangan pedulikan eomma. Aku mencintaimu, Hunnie.” Min Young memeluk Sehun dari belakang. ‘Aku juga mencintaimu, Youngie.’ batin Sehun. Sehun membalikkan tubuhnya menghadap Min Young.

“Let’s break up!”

“Mwo?”

“Kau tidak dengar? Aku tidak akan mengulanginya. Dan jangan tanyakan alasanku memutuskanmu. Annyeong.” Nae sarang. Sambung Sehun dalam hati.

############

Ujian semester telah berakhir. EXO High School mempunyai tradisi liburan bersama untuk mengisi waktu libur siswa. Yang mengikuti liburan hanya dua kelas tiap semester. Kelas yang sudah mengikuti liburan semester sebelumnya tidak akan mengikuti liburan untuk semester berikutnya.

‘Semoga bukan kelasku yang terpilih. Aku sudah punya rencana menghabiskan waktu liburanku belajar memasak dengan eomma.’ batin Min Young.

“Kenapa, Min Young?” tanya Jeo Rin. Saat ini Min Young, Jeo Rin, Mi Sun, dan Min Ra sedang berjalan menuju mading melihat pengumuman kelas yang mengikuti liburan.

“Aku tidak mau mengikuti liburan itu.” jawab Min Young.

“Aku juga.” sambung Min Ra.

“Kau Mi Sun?” tanya Min Ra.

“Kalau kelas kami terpilih aku ikut. Sepertinya seru.”

“Semoga yang terpilih kelasku dan Joonmyun oppa.”

“Huh.. Dasar.” Mereka segera melihat kelas yang terpilih setelah sampai.

“Kelas X-B dan kelas XII-B.” Mata mereka langsung menangkap kalimat itu.

“Bukan kelas kita, Min Ra.” Min Young dan Min Ra melompat riang.

“Ini kelas namja jelek itu kan?” tanya Min Sun.

“Apa maksudmu namja jelek itu kami?” suara Kris. Kai dan Chanyeol di belakangnya.

“Kau merasa? Bagus kalau begitu.”

“Matamu buta ya? Kau tidak lihat wajah kami yang tampan ini?”

“Kita memng berjodoh, baby.” Kai tidak mempedulikan Kris yang sibuk berdebat dengan Mi Sun.

“Aku tidak ikut, Mi Sun-ah.” kata Jeo Rin.

“Aku juga.”

“Ada catatan di bawah. Bagi siswa/siswi yang tidak bisa ikut harus memberikan surat keterangan dari orang tua. Jika tidak ada wajib ikut.” Suara berat Chanyeol.

“Aku ikut, Jeo Rin. Appaku takkan mau membuat surat konyol sperti itu.” kata Mi Sun.

“Kau pasti ikut, Rin-ah. Sampai jumpa liburan nanti.” Kai meninggalkan tempat itu bersama teman-temannya.

###########

“Min Young ada di bawah.” Hayoon tiba-tiba masuk ke kamar Sehun.

“Apa?” Sehun fokus pada bukunya.

“Jangan pura-pura tidak dengar, oppaku sayang. Min Young ada di bawah.” Sehun masih tetap tidak peduli.

“Temui dia. Aku tahu kalian ada masalah.”

“Apa yang dia lakukan di sini?”

“Belajar memasak dengan eomma. Cepat temui dia. Aku tidak sanggup melihat wajah menyedihkanmu itu.”

“Kami sudah putus.” Sehun menutup bukunya.

“Mwo? Wae?”

“Aku tidak akan memberitahumu. Ada lagi yang ingin kau sampaikan?”

“Semoga kau tidak menyesal, Sehun babo.” Hayoon keluar dari kamar Sehun. Sehun menatap kosong pintu kamrnya yang terbuka.

“Aku merindukanmu, Youngie.” Sehun langsung turun dari ranjangnya, menuruni tangga menuju dapur.

############

Dari sini Sehun bisa leluasa memandangi Min Young. Ia berdiri menyandar di pintu dapur dengan tangan terlipat di dada. Ia mengamati Min Young yang melakukan apa saja yang disuruh eomma-nya. Mencuci sayur, buah, daging, eomma-nya masih mengajari hal-hal yang mudah. ‘Aku hanya bisa memandanginya. Dia bukan milikku lagi. Aku tidak menyesal dengan keputusanku. Min Young lebih pantas dengan Lu Han.’ batin Sehun.

“Eomma, apa kau boleh tetap berkunjung kemari dan tetap memanggil eomma?” tanya Min Young pada nyonya Oh.

“Kenapa bertanya seperti itu, nak?”

“Aku dan Sehun oppa sudah putus.” Nyonya Oh terdiam sebentar. Mendengar itu Sehun langsung pergi menuju kamarnya.

“Tentu saja boleh. Kau sudah eomma anggap sebagai anak eomma sendiri. Kau tinggal di sini juga tidak apa-apa.”

“Auuww….” Min Young yang sedang mengiris bawang malah mengenai telunjuknya kearena mendengar kalimat terakhir nyonya Oh.

“Ommo… hati-hati, sayang.”

“Gwenchana, eomma. Ini pertama kalinya aku memegang pisau dapur.” Min Young meniup-niup lukanya.

“Kita obati dulu lukamu, Min Young.

############

“Sehun, ayo makan siang.”

“Apa Min Young sudah pulang?”

“Belum. Mungkin setelah makan siang. Kajja.”

“Aku mau tidur.” Sehun memeluk gulingnya.

“Eomma…….” teriak Hayoon.

“Baiklah. Aku makan.” Sehun turun dari ranjangnya, menatap Hayoon kesal. Sehun tidak amu eomma-nya yang membujuk ia makan. Eommanya bukan membujuk lebih tepatnya mengancam Sehun tidak boleh makan masakan eommanya selama satu hari. Dan ini hanya akal-akalan Sehun eomma.

#############

Suasana di meja makan benar-benar canggung untuk Min Young dan Sehun. Mereka duduk bersebelahan karena ulah Hayoon. Sehun hanya diam dalam makannya. Tidak mengomentari apa yang dibicarakan eommanya, Hayoon, dan Min Young. Saat hendak mengambil kimchi, tangan Sehun bersentuhan dengan tangan Min Young.

“Mian.” ucap Min Young. Begitu juga saat mereka hendak mengambil bulbogi.

“Aigoo… kalian memang berjodoh. Bahkan kalian memikirkan makanan yang sama untuk diambil.” kata nyonya sambil tersenyum penuh arti. Yang dikatai hanya diam. Sesekali Sehun mencuri pandang ke Min Young. Matanya terpaku pada tangan Min Young yang diplester.

#############

“Aku pulang dulu, eomma, Hayoon.”

“Biar Sehun yang mengantarmu, Min Young. Yoon-ah, panggilkan Sehun.”

“Tidak usah, eomma. Aku dijemput kok.” Perkataan Min Young menghentikan langkah Hayoon.

“Dijemput? Mana jemputanmu?” tanya nyonya karena ia tidak melihat apa-apa di depan rumahnya.

“Di simpang jalan, eomma.”

“Biar Sehun mengantarmu sampai simpang.”

“Eomma…..”

“Putus bukan berarti kalian bermusuhan, Min Young. Kalian bisa berteman.”

“Tapi….”

“Aku akan mengantarmu sampai simpang.” Sehun tiba-tiba muncul.

“Kajja.”

“Annyeong, eomma, Hayoon.”

############

Sepanjang perjalanan Sehun dan Min Young hanya diam. Sampai akhirnya Sehun buka suara.

“Telunjukmu kenapa?”

“Kau masih peduli padaku? Ini hanya luka kecil saat mengiris bawang tadi. Tidak sakit.” ‘Dibandingkan luka di hatiku. Kau memutuskanku tanpa alasan yang jelas.’ batin Min Young.

“Youngie…. Aku….

“Min Young!” ucapan Sehun terputus karena seseorang memanggil Min Young.

“Oppa… kau sudah lama?” Sehun tidak sadar kalau mereka sudah sampai di simpang jalan.

“Kenapa diplester?” tanya Lu Han sambil memegang telunjuk Min Young. Ada perasaan tidak suka saat Sehun melihat perlakuan Lu Han pada Min Young.

“Kena pisau. Aku belajar memasak dengan Sehun eomma.”

“Kau belajar memasak?” Min Young mengangguk. Keberadaan Sehun tidak dipedulikan oleh mereka.

“Kau harus berhati-hati saat menggunakan benda tajam, Young. Aku harus mencoba masakanmu kalau kau sudah bisa memasak nanti.”

“Ne, oppa.”

“Sehun, kami pulang dulu. Annyeong.” pamit Lu Han.

############

“Aku masih belum tahu,oppa.”

“Mwo?”

“Tujuanku ke rumah Sehun bukan hanya belajar memasak. Aku ingin bertanya pada adiknya Sehun alasan Sehun memutuskanku. Tapi dia juga tidak tahu.”

“Aku mencintainya, oppa.” Min Young menangis.

“Young….” Lu Han tidak menyangka kalau ia bisa mendengar langsung dari Min Young. Hatinya sakit mendengar kata-kata Min Young kalau ia mencintai Sehun. Tapi ia akan lebih sakit lagi melihat Min Young seperti ini. Lu Han menepikan mobilnya. Lalu merengkuh Min Young dalam pelukannya.

“Sehun pasti mencintaimu..” Lu Han mencoba menenangkan Min Young. Ia mencium puncak kepala Min Young. ‘Kau harus bertanggungjawab karena sudah membuat yeoja yang kucintai menangis, Sehun.’ batin Lu Han.

#############

Sehun langsung menuju meja belajarnya begitu keluar dari kamar mandi, mengambil handphonenya yang berbunyi sambil mengeringkan rambutnya. Pesan dari Lu Han.

From: Lu Han

Aku ingin bicara denganmu. Sekarang aku berada di kedai ramen di simpang jalan rumahmu.

Sehun langsung berpakaian begitu selesai membaca pesan dari Lu Han. ‘Ada apa? Biasanya Lu Han langsung meneleponku.’ batin Sehun.

###########

“Lu Han…” sapa Sehun pada Lu Han yang sedang menikmati ramennya.

“Sehun…  Kau mau pesan? Ramennya enak sekali.”

“Ani. Ada apa?” Sehun mengambil tempat duduk di samping Lu Han.

“Kenapa kau memutuskan Min Young?” tanya Lu Han begitu selesai minum.

“Aku tidak bisa bersamanya.”

“Wae? Apa kau tidak mencintainya lagi?” Sehun tersentak mendengar pertanyaan Lu Han. Ia terdiam cukup lama.

“Min Young bilang eommanya tidak menyukaimu karena perbedaan status sosial di antara kalian. Apa karena itu?” ‘Bukan karena itu Lu Han, aku tidak ingin menyakitimu.’ batin Sehun.

“Kau pengecut, Sehun. Hanya karena itu kau memutuskan Min Young? Sia-sia usahaku merelakan Min Young padamu selama ini.”

“Mwo?”

“Aku mencintai Min Young. Dan aku sudah merelakan Min Young denganmu. Tapi kalau Min Young terus sedih karenamu, aku akan membuatnya berpaling padaku. Bertindaklah sebelum aku melakukan apa yang kukatakan padamu.” Lu Han meninggalkan Sehun.

###########

Ting… Nong…

Sehun langsung membuka pintu rumahnya begitu mendengar suara bel rumah. Ia terkejut melihat siapa yang datang.

“Yooungie….”

“Masuklah…” kata Sehun begitu berhasil mengendalikan dirinya.

“Eomma di mana?”

“Eomma dan Hayoon sedang belanja persediaan bahan makanan. Mungkin sebentar lagi pulang.” Min Young berjalan menuju dapur setelah mendengar kata-kata Sehun.

“Benar-benar kosong.” kata Min Young begitu membuka kulkas. Hanya ada air mineral di sana. Min Young tersentak menyadari dua tangan melingkar di pinggangnya begitu ia menutup kulkas. Sehun memeluknya dari belakang.

“Sehun…”

“Biarkan seperti ini.” kata Sehun pelan di telinga Min Young.

“Aku meridukanmu..” Sehun mencium pipi Min Young. Min Young berusaha melepas tangan Sehun.

“Kenapa kau berkata seperti tiu?” tanya Min Young begitu menghadap Sehun. Sehun mengelus pipi Min Young. Menatap Min Young dengan tatapan cintanya.

“Saranghae, Youngie.” Sehun merengkuh wajah Min Young dengan kedua tangannya lalu mencium bibir Min Young. Menempelkan bibirnya cukup lama di bibir Min Young sampai Min young memejamkan matanya. Melumat bibir bawah Min Young dengan lembut. Min Young memiringkan kepalanya membalas ciuman Sehun.

“Kenapa kau memutuskanku?” kata Min Young begitu Sehun melepas ciumannya. Masih dengan dahi yang menempel.

“Apa karena eomma?”

“Bukan. Aku tidaka akan memberitahumu alasannya. Maukah kau menjadi yeojachinguku lagi?”

“Beritahu dulu alasannya.”

“Karena aku tidak pantas untukmu. Masih ada namja yang lebih sempurna dariku yang pantas bersamamu.”

“Kau namja yang paling pantas untukku, Sehunnie. Jangan tinggalkan aku lagi.” Min Young memeluk Sehun.

“Ne.” Sehun balas memeluk Min Young.

“Jadi, apakah kau mau kembali padaku?”

“Menurutmu?”

“Kau mau menjadi yeojaku.”

############

“Kenapa eomma lama sekali, oppa?”

“Molla. Kau lapar, Yougie?”

“Ani. Oppa?”

“Nado.” Saat ini mereka sedang menonton tv. Tapi keduanya tidak fokus pada acara di tv itu.

“Aku ngantuk, oppa.” Sehun langsung berdiri lalu mengulurkan tangannya pada Min Young.

“Mau ke mana?” tanya Min Young bingung menerima uluran tangan Sehun.

“Ke kamar.”

“Kamar?” Sehun membawa Min Young menaiki tangga.

“Ke kamarku. Kau ngantuk kan?” Sehun menghentikan langkahnya di depan pintu kamarnya.

“Mwo?”

“Wae? Apa yang kau pikirkan, Youngie?” Sehun menatap Min Young dengan tatapan menggoda.

“Aigoo… yeojachinguku. Siapa yang mengajarimu berpikiran seperti itu? Kau belum cukup umur, Youngie.”

“Aniyo..” pipi Min Young memerah. Sehun membuka pintu kamarnya.

“Kamarmu bagus, oppa. Kau mendesain sendiri?”

“Ne. Sini, aku akan menidurkanmu seperti appa yang menidurkan anaknya.” Sehun menepuk tempat tidurnya.

“Kau bukan appaku, dan aku bukan anak-anak.”

“Baiklah. Aku akan menidurkan yeojachinguku.” Min Young naik ke tempat tidur, lalu menyandarkan kepalanya di dada Sehun. Sehun memeluk Min Young. Meletakkan dagunya di atas kepala Min Young. Min Young meletakkan tangannya di atas tangan Sehun yang melingkar di pinggangnya. Mendongakkan kepala dan tersenyum pada Sehun. Sehun balas tersenyum pada yeojachingunya dan mengecup bibir Min Young.

“Tidurlah. Aku akan menemanimu.” Min Young menganggukkan kepalanya. Akhirnya Min Young tertidur dan lama-kelamaan Sehun juga ikut tertidur.

############

“Se……” Hayoon yang masuk ke kamar Sehun terkejut mendapati apa yang ia lihat dan segera mengubah ekspresi terkejutnya menjadi senyum penuh arti. Ia memanggil eommanya.

“Syukurlah mereka sudah baikan. Tidak sia-sia kita meninggalkan Sehun sendiri di rumah.” kata nyonya Oh.

“Yoon-ah, cepat foto mereka.” suruh nyonya Oh.

“Ne, eomma.” Hayoon mengambil handphonenya lalu mengambil foto Sehun dan Min Young.

“Mereka benar-benar membuat eomma iri.”

“Ayo, eomma. Nanti mereka bangun.”

#############

Sehun bangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya sebentar lalu melihat jam yang ada di kamarnya. ‘Jam empat sore. Lama sekali aku tertidur. Apa eomma dan Hayoon sudah pulang?’ batin Sehun. Lalu Sehun melihat bidadari yang sedang tidur di pelukannya. Mencium pipi bidadarinya.

“Aku turun ke bawah sebentar, Youngie.” Dengan pelan Sehun melepas pelukannya takut membangunkan Min Young. Membenarkan posisi Min Young di tempat tidur lalu mencium kening Min Young.

##############

“Anak eomma sudah bangun?” tanya nyonya Oh yang melihat Sehun.

“Ne, kenapa eomma lama sekali?” Sehun duduk di kursi makan.

“Yang sudah baikan sok romantis.” Hayoon mengacungkan handphone yang menampilkan foto Sehun dan Min Young tidur bersama.

“Kali ini kau membuatku senang. Kirimkan ke handphoneku. Kalian sengaja lama-lama di luar rumah?”

“Kalau tidak begitu kau tidak baikan dengan Min Young, Sehun.” kata Hayoon.

“Min Young mana, Sehun?” tanya nyonya Oh.

“Masih tidur, eomma.”

“Apa yang kau lakukan sampai Min Young tidur selama itu?”

“Eomma, lihat anak eomma yang satu ini. Pikirannya benar-benar kotor.”

“Memang apa yang kupikirkan?”

“Sudah… sudah. Kalian kalau sudah adu mulut tidak bisa berhenti. Sehun, kau tidak makan, nak?”

“Aku makan tapi aku bangunkan Min Young dulu, eomma.”

#############

“Chagiya, irreona..” Sehun mengelus pipi Min Young.

“Chagi…” karena tidak ada reaksi dari Min Young, Sehun mencium bibir Min Young.

“Eungg…” Min Young mengerjapkan matanya.

“Kau seperti putri tidur yang hanya bisa dibangunkan dengan ciuman.” Min Young tersenyum.

“Tidak apa-apa selama Pangeran Sehun yang menciumku.”

“Kenapa tidur lagi? Ini sudah sore, chagi.” Tanya Sehun yang melihat Min Young memejamkan matanya lagi.

“Aku masih ngantuk, oppa. Semalam aku tidak bisa tidur.”

“Wae?”

“Memikirkanmu.”

“Memikirkanku?”

“Alasan kenapa kau memutuskanku lebih tepatnya.”

“Jangan bahas itu lagi, Youngie. Sekarang bangun. Kita makan lalu jalan. Atau kau mau makan di luar? Tapi aku tidak bisa membawamu ke restoran yang mahal.”

“Kita kencan?” Min Young langsung mendudukkan dirinya. Hampir lima bulan mereka pacaran mereka tidak pernah kencan sekalipun.

“Eeemm… bisa dibilang begitu. Kau mau ke mana?”

“Aku mau nonton, oppa.” kata Min Young antusias.

“Baiklah. Tapi kita makan dulu.” Min Young menganggukkan kepalanya.

############

Sehun dan Min Young berkjalan menuju halte bus. Sesekali mereka bercanda. Lu Han yang kebetulan lewat di tempat itu melihat Sehun dan Min Young.

“Mereka sudah baikan? Baguslah. Jadi Min Young tidak sedih lagi. Walaupun menyakitkan asal Min Young bahagia aku juga bahagia.”

TBC


SHINING STAR (Chapter 3)

$
0
0

shining-star

Main Cast : Park Ji Yeon – Kim Jongin – Byun Baekhyun

Support Cast : Par Chanyeol – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon

Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst

Length : 3 OF ?

Author : Qisthi_amalia

Backsound : whatever what you want ^_^

 

-CHAPTER 3-

 

***

Jiyeon menggerutu sepanjang jalan. Ia bingung dengan sikap Jongin yang tak bisa ia mengerti. Kadang membuat bingung, menakutkan, menyebalkan dan menyenangkan di sisi yang bersamaan. Jiyeon berjalan menyusuri jalan menuju komplek rumahnya yang becek karena air hujan. Tubuh Jiyeon memang basah. Jika ditanya ‘Apakah Dingin ?” mungkin Ia akan langsung mengangguk cepat. namun kini seluruh pikirannya tengah Ia gunakan untuk memikirkan Jongin. Ia selalu bingung dengan sikap kakak kelasnya itu.

“Ya Tuhan…Kenapa aku jadi memikirkannya ?” Gumam Jiyeon lalu memukul kepalanya sendiri.

Ia lalu merubah raut wajahnya menjadi cemberut. Matanya menatap kesal kearah Mobil putih yang terparkir di depan rumahnya. Ia lalu mendengus kesal. Dan berjalan cepat menuju rumah.

“OPPA !!” Teriaknya nyaring seraya berjalan cepat menuju ruang televisi. Jiyeon melempar tas orange-nya dan menyimpan sepatu di rak sepatu. Bajunya yang basah kuyup membuat lantai yang ia pijak menjadi basah. Namun gadis itu tak mau perduli. Saat ini ia hanya ingin bertemu chanyeol dan memarahi habis-habisan kakaknya itu.

Setelah berlari menuju ruang televise Jiyeon tak menemukan chanyeol disana. Bahkan televise pun dalam keadaan mati. Ruangan itu sepi. Jiyeon lalu bergegas menuju dapur, tapi Nihil, Chanyeol tak ada disana.

Gadis itu mulai mengernyit heran. “Apa dia belum pulang ? Tapi mobilnya ada didepan.”

Jiyeon menjentikan jarinya lalu tersenyum. “Pasti dikamar.”

Lalu dengan secepat kilat gadis itu berlari menuju lantai dua. Ia meniti tangga dengan cepat dan tergesa. Setelah sampai di depan pintu kamar Chanyeol yang ada disamping kamarnya, Jiyeon mendengus lagi. matanya menatap kesal pintu dihadapannya. kau-akan-mati..Mungkin begitulah arti tatapan Jiyeon kali ini.

Jiyeon lalu meraih pegangan pintu di depanya. Memutarnya pelan dan mulai membuka pintu kamar yang tidak dikunci.

“Oppa…” Kata Jiyeon pelan. Kamar itu nampak sepi. Lampu kamar pun mati padahal jam kini sudah menunjukan pukul 18.00. ‘Aneh’ pikirnya. Tanpa pikir panjang Jiyeon lalu mendekati saklar dan menyalakan lampu.

“Oppa, itu kau ?” Tanya Jiyeon agak takut saat melihat gulungan bedcover cokelat yang begitu tebal. Gadis itu lalu berjalan mendekati tempat tidur. Ia sedikit berjinjit terlalu takut jika itu bukan Chanyeol.

Dengan penasaran dan hati berdebar tak karuan, Jiyeon lalu memberanikan diri untuk menarik gulungan selimut itu pelan-pelan.

Saat gulungan selimut itu terbuka sepenuhnya Jiyeon menghela nafas berat. Ternyata memang Chanyeol yang ada disana. Ia tengah meringkuk. Tubuhnya mengigil seperti kedinginan.

“Oppa,…Hey…Wake up..!” Ujar Jiyeon lalu mengguncangkan tubuh Chanyeol.

Namja itu mengerang lalu membalikan tubuhnya menjadi terlentang.

“Oppa kau sakit ?” Tanya Jiyeon khawatir. Wajah Chanyeol begitu merah, giginya bergemelutuk dengan kedua mata yang menatapnya sayu.

“Tenang saja aku hanya butuh istirahat. Ma’af ya tidak bisa menjemputmu tadi. “ Ujarnya pelan dengan suara serak.

Jiyeon menatap kakaknya khawatir. Ia lalu memegang dahi Chanyeol.

“Oppa kau demam. Ya tuhan Ini panas sekali !” Panik Jiyeon lalu menatap kakaknya lagi dengan tatapan takut.

Chanyeol hanya tersenyum menenangkan. “Aku baik-baik saja. sungguh. Mungkin hanya terlalu lelah.”

Jiyeon menggeleng cepat. “Tunggu disini aku akan mengambil termometer.”

Jiyeon lalu berlari kecil menuju kotak P3K yang tersimpan dilaci nakas Chanyeol. Ia mengambil termometer dari sana dan duduk kembali di ranjang Chanyeol.

“Buka mulutmu oppa.!” Perintah Jiyeon.

Chanyeol hanya menurut dan membuka mulutnya. Jiyeon memasukan Termometer itu kedalam mulut chanyeol dan menunggu beberapa saat. Setelah terdengar bunyi tanda berhenti, Jiyeon lalu mencabutnya dan ternganga melihat suhu disana.

“Ya Tuhan 380 C !” Pekik Jiyeon histeris.

“Chinja ? Pantas saja aku merasa tubuhku sedang dipanggang di atas tungku api..” Chanyeol malah bergurau dan tersenyum aneh.

Jiyeon menatap kakaknya tajam.

“Bagaimana ini bisa terjadi oppa ? Apa oppa kehujanan ? Itu tak mungkin, karena oppa membawa mobil.

Jiyeon berpikir lagi. “Akh…Apa oppa kelelahan ? Tapi bukankah oppa hanya kuliah dan oppa bilang semester ini tak terlalu banyak tugas. Tapi kenapa…?”

Chanyeol meringis. Ia menggeleng cepat.

“Mungkin karena perubahan cuaca Jiyeon. sudahlah…Besok aku pasti akan baik-baik saja.” Kata chanyeol menenangkan.

Jiyeon mengeruncutkan bibirnya. Ia lalu menggosok hidung dengan tangan kirinya.

“Hachim..”

Kini giliran Chanyeol yang menatap adiknya kesal. Sementara Jiyeon hanya menyengir tak berdosa. Ia baru ingat sejak tadi ia belum mengganti bajunya.

“Ganti baju sana. Nanti kau sakit juga lagi. siapa yang akan mengurus kita kalau sudah begitu.” Ucap Chanyeol tegas.

Jiyeon hanya mengangguk pasrah. “ya…ya baiklah. Aku ganti baju. Tapi nanti aku akan membuatkan oppa bubur dan oppa harus makan obat. Arra..!”

Chanyeol hanya tersenyum tipis dan mengangguk. “Siap Ibu Dokterku..” Godanya seperti biasa.

Jiyeon hanya mencibir kesal lalu meninggalkan Chanyeol dikamarnya.

“Ma’af Jiyeon. oppa belum bisa memberitahumu.”

***

Jongin memasuki rumahnya dengan santai. Ia melewati Joonmyeon yang sedang menonton televisi begitu saja. tanpa mengucap salam atau sekedar menyapa sang ibu yang tengah sibuk di dapur. Namja itu malah melesat pergi menuju kamarnya.

Sang umma –Yoona. Hanya bisa menghela nafas berat. Ia tak tahu lagi harus bagaimana bersikap di depan anak bungsunya itu. berbagai cara ia lakukan, namun Jongin tak pernah berubah. Ia menjadi anak pembangkang dan tak mau berbicara dengannya sekali pun.

“Umma…”

Yoona tersenyum tipis kearah anak sulungnya –Joonmyeon yang tengah berdiri disampingnya.

“Bersabarlah..” Sambung Joonmyeon menenangkan.

Yoona hanya bisa mengangguk paham. Entah harus berapa lama lagi ia bersabar. Ia pun enggan berharap. Dan ia pun tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan.

.

.

Jongin melempar tas-nya ke atas tempat tidur. Melepas sepatu begitu saja diikuti dengan mengganti seragam sekolah dengan T-shirt putih polos dan celana pendek di selutut.

Ia lalu mendudukan tubuhnya di samping tempat tidur dan bersandar disana. Matanya menatap lekat laci nakas yang ada di sampingnya. tangannya terulur, kemudian meraih pembuka laci dan menariknya. Ia terdiam untuk beberapa saat. Menatap kosong sebuah figura cokelat yang sudah berdebu. Meninggalkan sehelai kertas photo yang masih tersimpan rapi di dalamnya.

Jongin bergeming. Ia sama sekali tak berniat mengambil benda itu. hanya menatapnya lama dan membiarkan waktu yang menjawab semuanya.

***

Jieun berjalan begitu riang. Ditemani matahari sore yang begitu hangat. Gadis imut itu berjalan sambil bersenandung bahagia. Jieun memang gadis yang periang dan tak bisa diam namun pada saat tertentu ia bisa berubah menjadi sosok yang begitu dewasa. That’s amazing, right ?

Setelah sampai di sebuah café langganannya. Jieun bergegas masuk dan langsung disambut oleh pelayan yang sudah sangat hapal dengan Jieun –salah satu pelanggan tetapnya.

“Silahkan masuk..” Ucap pelayan itu ramah.

‘Kwon Yuri’ itulah nama yang terpampang di name tag blazer sang pelayan.

“Terima kasih Yuri~aa..” Kata Jieun diiringi senyumannya.

Yuri balas tersenyum dan mengantar Jieun menuju tempat duduk favoritnya –di sudut depan jendela. Jieun bilang tempat itu adalah tempat yang sangat strategis untuk melamun, merenung atau sekedar mengincar namja tampan yang lewat.

“Mau pesan apa ?” Tanya Yuri masih dengan senyumannya.

Jieun melirik sekilas daftar menu. “ Seperti biasa aja deh.” Katanya lagi.

Yuri mengangguk paham lalu pergi mengambil pesanan Jieun.

Jieun mengalihkan pandangannya pada jalanan diluar sana. Orang-orang berlalu lalang dengan berbagai ekspresi. Jieun hanya tersenyum sesekali jika melihat pasangan kekasih yang nampak mesra dan serasi. Ia jadi iri. Namun cepat-cepat gadis berambut pirang panjang itu menggeleng.

“Astaga ! Aku tidak boleh seperti ini.” Katanya lalu membuka-buka daftar menu yang sudah sering kali ia buka.

Tak berapa lama Yuri datang bersama nampan berisi pesanan Jieun diatasnya. Pramuniaga itu tersenyum ramah dan meletakan pesanan Jieun diatas meja. Segelas Orange jus dan Cake tiramisu favorit Jieun jika berkunjung ke café itu.

“Selamat menikmati.” Kata Yuri ramah.

Jieun balas tersenyum. “Terima kasih.”

Yuri pun pergi dari hadapan Jieun. Tak perlu menunggu lama Jieun langsung menyantap makanan di hadapannya. Ia begitu bersemangat hari ini. Entahlah, tiba-tiba saja Mood-nya sedang baik.

Drrt..Drrt..

Jieun meraih ponsel dalam tasnya. Ia mengernyit saat mendapat sebuah pesan dari nomor yang tak ia ketahui.

 

+6285*****

Hai ! Ini benar No Lee Jieun kan ?

 

Jieun kembali mengerutkan alisnya bingung. Lalu buru-buru ia membalas pesan masuk itu.

 

To : +6285*****

Ia benar. Ini siapa ?

 

Tak usah menunggu terlalu lama. Ponsel Jieun kembali bergetar menandakan ada sebuah pesan yang masuk.

 

+6285*****

Ini Baekhyun. Kau masih ingat aku kan ?

 

Jieun menganga. Hampir saja Ia loncat dari tempat duduk saat membaca pesan singkat itu. senyum lebar kini menggantikan kekagetannya. ‘Byun Baekhyun mengirimiku pesan masuk. Ya Tuhan’ Jeritnya dalam hati. Dengan cepat Jieun menyimpan no itu dan menamainya. Lalu buru-buru pula ia membalasnya.

To : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Iya aku masih ingat. Eum..Oppa tahu no ponselku dari siapa ?

Jieun langsung menekan tombol ‘Send’ dan pesan itu pun terkirim. Jieun terus memfokuskan mata pada ponsel diatas meja. Ia begitu bersemangat sampai mengacuhkan makanannya. Membuat Yuri yang berdiri di depan pintu masuk menatap pelangaan tetapnya itu heran.

Saat ponsel di hadapannya menyala. Jieun langsung meraih dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya memerah dan Ia hampir saja menjerit senang.

From : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Aku senang kau masih mengingatku. Gomawo J

Aku mencari tahunya sendiri, hhe. Oh iya kau sedang apa ? Apa aku mengganggumu ?

Dengan segenap keikhlasan dari dalam hatinya. Gadis itu menekan keypad dengan penuh semangat. Senyuman masih asik menghiasi wajah oval dan pipi chubbynya.

To : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Ne, Cheonman sunbae J

Nggak ngeganggu sama sekali kok. Ada apa ?

Jieun terkekeh geli membaca kembali pesan yang akan dikirimnya. Ia sengaja pura-pura tak terlalu bersikap berlebihan. ‘Jaim dikitkan bagus ‘ pikirnya sambil cengengesan. Tak berapa lama ponselnya kembali menyala.

From : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Eum…Besok sibuk gak ?

 

To : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Besok ? Memang ada apa ?

 

From : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Kalau kita ketemu, bisa gak ?

 

To : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Eum..Gimana yah ?

 

From : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Gak bisa yah ? Udah ada janji yah ?

 

Jieun terkekeh membaca pesan Baekhyun yang masuk. Ia rasa Sunbae-nya itu cukup lucu.

 

To : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Gak sih. Ya udah deh boleh. Ketemu dimana ?

 

From : Baekhyun Sunbae Kyeopta ^^

Wah gomawo. Aku tunggu di Taman kota aja yah. Jam 15.00. aku tunggu.

 

Matanya berbinar. Jieun benar-benar bahagia. Saat pertama kali melihat Baekhyun, gadis itu langsung terpesona dengan charisma yang Baekhyun miliki. Bukan karena namja itu popular tapi karena namja itu seolah memiliki kesan misterius. Jieun tahu jika selama ini Baekhyun selalu terlihat risih jika didekati berulur-puluh yeoja tapi namja itu selalu mencoba mengontrol emosinya agak tidak meledak. Dan Jieun suka itu. ia suka saat Baekhyun tersenyum dan saat namja itu diam namun sorot matanya berbicara. Itu keren, pikirnya saat itu.

***

Berbeda dengan Jieun yang begitu bahagia. Saat ini Soojung begitu sibuk dengan beragam buku di tangannya. Gadis cantik bermata bulat itu sangat suka membaca buku. Tak salah jika selama SMP Soojung selalu mendapat juara umum disekolahnya. Tak berbeda dengan prestasinya kini. Ia tetap pintar bahkan Jieun dan Jiyeon pun selalu menyalin pekerjaan rumahnya. Jika Soojung mulai menceramahi Jieun dan Jiyeon untuk banyak belajar dan mengerjakan tugas. Kedua sahabatnya itu pasti akan selalu mengucapkan kalimat yang sama bersamaan. ‘Soojung sayang space di otak kami sudah tak kuat mengerjakan tugas rumah. Jadi biarkan kami menyalin milikmu. Oke.’ Itulah kalimat yang Jiyeon lontarkan jika Soojung hendak protes. Berbeda dengan Jieun yang akan menjawab dengan tingkah berlebihannya. ‘Aduh soojungku honeyku babyku cintaku…come on, kau pasti tak akan tegakan melihat kami menderita di ceramahi Madam Oh karena tak mengerjakan tugas..kau past—‘ Dan soojung akan langsung mengiyakan permintaan mereka Jika jieun sudah berkicau seperti itu.

Namun dibalik itu semua. Soojung senang bisa bertemu dengan Jieun dan Jiyeon. mereka dua sahabat yang memiliki kepribadian unik. Tak bisa dipungkiri tingkah konyol Jieun selalu membuat soojung terhibur dan sikap kekanakan Jiyeon membuatnya merasa jika ia begitu ingin melindungi anak itu. ‘Melindungi’ bukan dalam arti lain tapi melindungi dalam arti jika Jiyeon memiliki begitu banyak sisi berbeda yang Soojung kagumi.

“Sepertinya buku ini bagus. “ Gumamnya. Membolak-balik sebuah buku yang cukup tebal ditangannya. Mengangguk mantap dan berjalan menuju kasir. Ia bergitu tertarik membaca sinopsis buku itu. sampai tak sadar jika ada seseorang dihadapannya.

‘BRUK’

Soojung terhuyung kebelakang namun sepasang lengan menarik pingganya dan ia kini jatuh dipangkuan orang itu. seorang namja yang kini tengah menatapnya khawatir. Soojung mengerjapkan matanya. Satu kali, dua kali, tiga kali..

“Akh ! Astaga. Mianhe…” ujarnya cepat sambil menjauhkan diri dari namja –dihadapannya itu. namja itu hanya tersenyum, membungkuk dan mengambil buku soojung yang sempat terjatuh.

“Gwenchana. Aku yang tidak hati-hati. “Katanya ramah lalu menyerahkan buku soojung.

“Gomawo. “Pelan soojung meraih buku itu cepat.

Namja itu mengangguk. “Ya, sama-sama. Aku permisi dulu.”

Soojung hanya mengangguk sekenananya, ia terdiam di tempat itu. padahal namja itu sudah meninggalkannya sejak beberapa menit yang lalu.

“Ya Tuhan. Apa dia malaikat.” Pekiknya kagum.

***

Sejak tadi ia hanya mengaduk-ngaduk makanan di atas piring tanpa ada niat untuk melahapnya. Joonmyeon menatap adiknya –jongin khawatir.

“Kau baik-baik saja ?” Tanya Joonmyeon. Jongin menoleh tapi tak berniat memberikan tanggapan.

“Jongin~aa makanlah. Ibu buatkan makanan itu khusus untukmu.” Kata Yoona hati-hati. Ia tak mau makan malam kali ini diisi dengan keributan lagi. ia benar-benar berharap Jongin bisa bersikap seperti dulu lagi.

“Rasanya hambar.” Tungkas Jongin ringan.

Yoona menggenggam kuat sendok dan garpu ditangannya. Ia lalu menghela nafas dan berusaha tersenyum. Ia harus kuat. Harus bisa.

“Apa kurang garam ? Akh..Ibu pasti lupa memasukannya…”Ujar Yoona sambil mengingat-ngingat –apa tadi ia lupa memasukan garam.

Joonmyeon menatap ibunya nanar. Ia tahu ibunya tengah berakting. Ibunya memang pandai menyimpan perasaannya. Ia pandai bersikap santai walau itu rasanya sakit.

“Apa kau mau ibu buatkan sup yang baru. ? “ Kata Yoona lagi.

Jongin menoleh kearah Yoona –ibunya dengan tatapan tak suka. “Aku kenyang” Lanjutnya lalu hendak beranjak dari meja makan.

“Jongin~aa ma’af jika makanan buatan Ibu ini tidak enak. Ibu benar-benar tid—

“BERHENTI BERKATA ..’IBU…IBU DAN IBU..’…” Sentak Jongin keras.

Yoona hanya terdiam. Ia semakin kuat menggengam sendok dan garpu itu. sekuat tenaga ia berusaha sabar. Ia tahu Jongin belum mema’afkannya. Sejujurnya ia juga menyesali semua itu. ia benar-benar menyesal. Sangat.

“YA ! KIM JONGIN. DUDUK !” Perintah Joonmyeon. Namja itu berdiri dan memerintahkan Jongin untuk duduk. Namun Jongin terlalu sulit untuk diatur apa lagi diperintah.

“Ma’af.” Pelan Yoona sambil menunduk.

Jongin menatap Ibunya penuh rasa benci. Ia menghela nafas berat dan berlari menuju kamarnya. Satu hentakan keras pintu kamar itu terbuka dan tertutup dengan cara yang sama. Menimbulkan suara bedebam yang sangat keras.

Yoona semakin menunduk. ia berusaha menahan agar air mata itu tak menetes jatuh. Sekuat tenaga Yoona menahan nafas dan meredam sakit di hatinya.

“Umma…” Pelan Joonmyeon. Ia lalu bangkit dari tempat tidur. Berlutut dihadapan sang umma dan memeluk tubuh itu erat.

“Bersabarlah. Aku mohon…Tunggulah sampai saat itu tiba. “ Ujar Joonmyeon lagi.

Yoona hanya mengangguk. Membiarkan air mata itu menetes bersama sakit di hatinya yang ia biarkan pergi pula. Yoona tak pernah membenci Jongin. Ia begitu mencintai anak Bungsunya itu. Anak bungsu hasil buah cinta Ia dan  suami yang ia cintai.

Kim Changmin.

Yang sudah pergi mendahuluinya dua tahun yang lalu.

***

Keadaan Chanyeol sudah membaik pagi itu. ia sungguh berterima kasih pada sang adik yang merawatnya semalaman. Jiyeon bahkan sampai tertidur di sofa kamarnya hanya untuk berjaga-jaga jika Chanyeol demam lagi. ia seperti anak kecil yang dikhawatirkan ibunya malam itu. ia tahu Jiyeon begitu takut kehilangannya. Karena Chanyeol juga begitu.

“Oppa..Ayolah..” Rengek Jiyeon lagi. sejak tadi ia berusaha membujuk Chanyeol agar bolos kuliah saja. ia takut jika Chanyeol terlalu lelah dan sakit lagi. namun Chanyeol menolak mentah-mentah keinginannya.

“Ani Jiyeon~aa. Bagaimana jadinya jika oppa bolos. Semua fansku pasti mengkhawatirkanku.” Gurau Chanyeol disertai cengiran lebarnya.

Jiyeon merengut kesal menatap kakaknya. “Terserah oppalah. Tapi jika kau sakit lagi. aku tak mau merawatmu.!” Tegas Jiyeon lalu berjalan cepat menuju keluar rumah untuk sekolah.

Chanyeol menatap punggung adiknya sampai gadis itu menghilang dibalik pintu. Ia menghela nafas berat. Meraih ransel dari atas meja makan tak lupa memasukan berkas kantor yang masih ia simpan dilaci kamar. Ia sengaja berbohong pada jiyeon. sebenarnya sudah dua hari ia bolos dari tempat kuliahnya. Pekerjaannya dikantor benar-benar menuntut untuk diselesaikan minggu ini juga. Atasannya bilang jika ada investor asing yang berniat menanamkan saham di perusahaan itu dan investor itu menginginkan bagaimana cara pemasaraan perusahaan Chanyeol dipasaran. Jika pemasaraannya menarik dan mendapat perhatian minat masyarakat maka investor itu bersedia menanam saham yang besar. Itulah alasan Chanyeol sering pulang larut akhir-akhir ini. Ia harus menyelesaikan tumpukan data pemasaran baru di atas meja kerjanya.

Ia tak ingin Jiyeon khawatir.

Itu saja.

***

Jiyeon terduduk lesu di tempat duduknya. Hari ini Ia benar-benar tak bersemangat untuk masuk sekolah. Ia benar-benar mengkhawatirkan Chanyeol. Kakaknya itu sangat keras kepala. Ia harus menemui Chanyeol di kampusnya hari ini.

“Ya. Aku harus menemuinya hari ini.!”

“Menemui siapa ?”

Jiyeon menoleh cepat dan mendapati Jieun yang tengah duduk di sampingnya lalu menyimpan tas diatas meja.

“Aku tanya mau menemui siapa, eoh ?” Tanyanya lagi.

“Kakakku.” Kata Jiyeon.

Jieun menaikkan alisnya. “Kenapa ? Bukankah kalian setiap hari bertemu dirumah. Memang apa yang terjadi dengan Chanyeol ? Dia kabur dari rumah ? Oh Ya Tuhan…Dia benar-benar kabur…” Histeris Jieun.

“Ya…Bisakah kau bersikap biasa saja. “ Erang Jiyeon kesal menatap Jieun yang selalu saja over.

Gadis manis –dengan rambut diikat dua itu hanya tersenyum lebar.

“Hhe…mianhe akukan hanya takut.”

Jiyeon memajukan bibirnya kesal. “Kau bukan takut tapi menakutiku.”

Jieun tertawa keras. “ Ya…Ya….ma’af. Jadi, ada apa dengan kakakmu itu ?”

Jiyeon menghela nafas. “Kakakku kemarin sakit dan hari ini dia memaksa untuk masuk kuliah padahal dia belum seratus persen membaik.” Ia lalu menunduk.

Jieun hanya tersenyum tipis. Ia begitu tahu jika Jiyeon amat menyayangi Chanyeol. Terkadang Jieun merasa iri dengan persaudaran itu. ia jadi menginginkan seorang kakak seperti Chanyeol. Yang begitu menyayangi Jiyeon.

“Sudahlah. Mungkin Chanyeol oppa tak ingin bolos dan ada tugas kuliah yang penting. “Kata Jieun menenangkan.

Jiyeon menoleh kearah Jieun. Sahabatnya ini terkadang bisa juga berkata dewasa. Ia lalu mengangguk. “Ya semoga saja dia baik-baik saja.”

.

.

Motor besar hitam itu terparkir di bawah pohon yang daunnya berguguran. Maklum ini adalah musim semi pertama di Seoul. Jongin melangkah pasti menuju koridor utama. Gaya bajunya yang santai dan sedikit urakan justru membuatnya menjadi pusat perhatian. Didukung wajahnya yang memang tampan membuat setiap yeoja begitu mengangumi. Namun sayang cap ‘Danger and Wild’ yang di pegangnya membuat semua Yeoja memilih menjaga jarak dan menghindarinya. Dan sepertinya namja itu juga tak begitu perduli dengan urusan wanita. ia selalu berpikir ‘Wanita itu hanya virus penganggu’.

“Hay sobat !”

Jongin mendelik kesal. Ia menatap tak suka kearah Baekhyun yang kini berdiri dan bersikap sok akrab dengannya. Semua orang sudah tahu jika Baekhyun begitu baik pada Jongin namun Jongin terlalu dingin untuk dijadikan teman. Seperti itu kira-kira pandangan setiap murid Chungdam. Tanpa mereka tahu siapa Baekhyun sebenarnya.

“Minggir.!” Pelan Jongin berusaha sabar. Ia sedang tak mood untuk berteriak dan bertindak kasar hari ini. Ia sedang lelah dan berusaha untuk menghidar dari siapa pun hari ini.

“Wow..wow…sepertinya sobatku ini sedang ada masalah yah ?” Kata Baekhyun lagi.

Jongin memutar bola matanya jengah. Dengan sekali hentakan keras didorongnya tubuh Baekhyun agar menyingkir dari jalannya. Namja itu terhuyung kebelakang. Membentur kayu penyangga. Baekhyun mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Semua anak yang berjalan di area koridor utama menatapnya kasihan. Baekhyun berusaha tersenyum ramah.

Ia berjalan cepat-cepat, mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Jongin yang sudah lebih dahulu berjalan.

“Park Jiyeon.” Gumam Baekhyun pelan.

Jongin menghentikan langkahnya dan menatap Baekhyun.

“Apa maksudmu ?” Tanyanya kesal.

Baekhyun tersenyum menang. Sepertinya umpan kali ini tak akan salah. Ia lalu menaikkan satu alisnya dan tersenyum sinis.

“Jiyeon. sepertinya gadis itu menarik.” Ucap Baekhyun lagi. Ia lalu melirik kearah Jongin yang menatapnya tajam.

“Untuk jadi mainanaku selama satu minggu sepertinya dia cukup menarik. Bagaimana menurutmu ?” Tanya Baekhyun melirik Jongin yang tetap menunjukan reaksi dingin namun Baekhyun tahu kilatan dimata hitam itu menandakan tak suka. Baekhyun semakin bersemangat. Ia betul-betul menantikan momen seperti ini sejak dulu.

“Apa maumu, eoh ?” Tanya Jongin geram.

Baekhyun tertawa. “Waw. Apa masalahmu sobat ? Bukankah kau pernah bilang jika kau tak tertarik dengan ‘Yeoja’.” Kata Baekhyun menekankan pada kata kata ‘Yeoja.’

Jongin memutar bola matanya jengah. Ia menatap ujung koridor di hadapannya.

“Terserah.” Ujar Jongin pada akhirnya. Melanjutkan langkah yang tadi sempat terhenti. Membiarkan Baekhyun menatap punggung Jongin yang agak menjauh.

Ia tersenyum kecut. Lalu menyahut keras. “Memainkannya, merusaknya lalu membuangnya begitu saja.” Teriak Baekhyun.

Jongin menghentikan langkahnya. Ia berbalik cepat. menghela nafas berat lalu menghembuskannya.

“Terserah.” Tegasnya lalu berlalu.

Baekhyun tersenyum menang. Ia terlalu tahu siapa Kim Jongin. Ia tahu anak itu sedang mencoba bersikap biasa saja. tinggal menjalankan misi dan lihat bagaimana reaksi sang pembuat onar sekolah itu.

“Ini akan menyenangkan. “Katanya sambil tersenyum.

***

Namja itu sibuk membolak-balik kertas dalam map di hadapannya. Wajahnya kacau, terlihat jelas lingkaran hitam disekitar mata sipitnya. Kemeja putih yang ia lipat sampai sikut, satu lengan memutar – mutar pensil dan tangan lain yang membaca kertas putih penuh deretan hurup dan angka di hadapannya.

“Tuan, anda dipanggil Manager masuk keruangannya. “Kata –Jihyun sekertarisnya ramah. Chanyeol tak menjawab hanya mengangguk paham. Setelah yeoja itu berlalu bersama berkas ditangannya, Chanyeol buru-buru membereskan map-map biru di meja dan membawanya menuju ruang menagernya itu.

Seorang namja setengah baya tengah duduk di kursi empuk. Namja itu tampak santai mengejakan sesuatu pada laptop dihadapannya. jari-jarinya asik menari diatas keyboard. Setelah menyadari ada yang masuk keruangannya, namja itu mendongak dan tersenyum kearah Chanyeol yang berdiri di ambang pintu.

“Duduklah.” Katanya lalu menyingkir laptop itu sejenak kepinggir meja.

Chanyeol mengangguk lalu duduk dihadapan namja setengah baya itu.

“Bagaimana laporan yang Hyomin ajukan kemarin ?” Tanya namja itu –Mr.Hwang yang nampak menunggu-nunggu reaksi Chanyeol. Kerutan di dahi dan sekitar matanya begitu jelas terlihat. Ia memang nampak tua namun semangat bisnisnya tak pernah pudar. Chanyeol sangat kagum akan satu hal itu.

“Laporannya cukup baik Pak, hanya saja hanya ada beberapa hal yang kurang. Miss Hyomin lupa mencantumkan dana sumbangan yang selalu kita berikan untuk panti asuhan itu. ku pikir jika investor kita tahu kita selalu menyisihkan uang untuk sosial dia akan lebih simpatik. Maksudku bukan untuk menyombong hanya untuk menarik perhatian. Begitu saja.” Papar Chanyeol.

Mr. hwang mengangguk paham. “Jadi bagaimana menurutmu ? Aku tak tahu lagi siapa yang bisa diandalkan. Kau lihatkan sekarang aku sudah tua begini. Pikiranku terkadang suka ngawur.” Ujar Mr.hwang sambil tertawa. Chanyeol hanya tersenyum kecil. Ia senang Mr. Hwang begitu baik, menganggapnya seperti anak sendiri.

“Ku pikir kita cantumkan saja semuanya apa adanya. Dengan begitu kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Kita jujur dan mereka bisa mengawasi kita tanpa kita harus takut. Menurut saya laporan keunganan yang seperti itu lebih baik. Setelah laporan keuangan selesai baru kita bisa fokus pada agenda pemasaran kita yang baru, bagaimana menurut Bapak ?”

Mr.Hwang tersenyum lebar. “Kau memang bisa diandalkan. Aku tak pernah menyesal mengangkatmu menjadi asisaten manager utama disini.” Ujar Mr. Hwang sungguh-sungguh.

Chanyeol tersenyum. “Terima kasih. Saya juga berterima kasih banyak pada anda Pak.”

Mr. Hwang tersenyum lagi. “Baiklah. Untuk agenda pemasaran baru kita, aku serahkan padamu Chanyeol. Aku tahu kau bisa di percaya.”

Chanyeol terdiam. Lalu tanpa sadar ia mengangguk.

“Kalau sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi saya permisi.”

Mr.Hwang mengangguk paham. Chanyeol bangkit, membungkuk dan berjalan menuju pintu keluar. Saat ia hendak menggapai knop pintu, Mr.Hwang berseru…

“Jangan kecewakan aku. Kau satu-satunya harapanku dan perusahan ini, Chanyeol.”

Chanyeol tersenyum.” Saya mengerti.”

Dengan tangan gemetar Chanyeol meraih knop pintu, menariknya dan keluar dari sana. Tubuhnya serasa tak berpijak. Ia merasa begitu lelah dan sangat lemah. Kini beban dipundaknya bertambah banyak.

“Andai baik-baik saja ?” Tanya Jihyun sekertarisnya.

Chanyeol mengangguk pelan lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Ia menjatuhkan tubuh yang terasa berat di kursi. Menyandarkan punggung itu perlahan. Chanyeol terpekur.

Apakah Ia harus merelakan Cita-cita menjadi seorang sutradara untuk semua ini ?

Apa Ia harus mengorbankan semua angan dan harapannya hanya untuk menghabiskan waktu dikantor ini ?

Apa ia juga harus kembali berbohong pada Jiyeon ?

Pertanyaan itu simpang siur di otaknya. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana bersikap. Tapi ketika Ia ingat Jiyeon ia tersenyum tipis.

Dulu…Ia sudah berjanji pada ummanya untuk menjaga Jiyeon sebaik mungkin. Menjaga Jiyeon dengan segenap yang ia miliki. Ia tak akan membiarkan Jiyeon sengsara. Ekonomi mereka saat ini sedang menipis. Kalau bukan gaji yang ia dapat disini, ia tak tahu bagaimana mereka bertahan hidup kelak. Dengan tekad kuat ia mengangguk. Diraihnya kembali tumpukan kertas putih itu dan membaca dengan seksama.

Apapun akan dilakukannya untuk Jiyeon. apapun.

Walau ia harus mengubur dalam-dalam cita-citanya selama ini.

***

Ketiga gadis itu tengah asik mengobrol di dalam kelas. Dengan masing-masing yang memegang cup minuman dan makanan ringan, mereka begitu asik tanpa harus takut perut kelaparan.

“Sumpah yah. Madam Ahn tadi benar-benar menyebalkan. “Erang Jieun lalu menyeruput mocca-nya. Soojung hanya tersenyum tipis.

“Setiap orang memiliki cara mengajar yang berbeda Jieun.” Sela Soojung santai.

Jiyeon hanya tersenyum memperhatikan Jieun yang menggigit kimbap ditangannya kuat-kuat.

Oh, Come on. Dia itu bukan sedang mengajar tapi sedang mendongeng. “ Protes Jieun lagi dengan mulut penuh kimbap.

“Aku setuju. Dia lebih cocok disebut pendongeng dari pada guru pendidikan kewarganegaraan.” Sahut Jiyeon setuju. Lalu ber-toss ria. Membirakan Soojung hanya menggeleng.

“Baiklah 2 lawan 1. Aku kalah. “Katanya sambil tersenyum.

Jiyeon dan Jieun tersenyum menang dan tertawa.

“Kalian itu yah. Kayaknya suka banget bikin aku kalah terus,” Protes Soojung kesal.

“Hey Soojung sayang kau itu kalah untuk menang.” Ucap Jieun asal.

Jiyeon terkekeh. “Ya, bukankah itu hebat. “

“Apanya yang hebat ?” Tanya Soojung kesal.

“Kalah untuk menang. Bukannya kedengarannya keren..”

Soojung memajukan bibirnya kesal. “Sama saja. kalah ya kalah. Dasar !”

Jieun dan Jiyeon tertawa dan diikuti soojung yang ikut tertawa pada akhirnnya. Namun tiba-tiba Soojung menghentikan tawanya dan tersenyum.

Jieun dan Jiyeon menatap sahabatnya itu penuh Tanya.

“Soojung, kau kenapa ?” Tanya Jieun takut.

“Kesurupan yah ?” Giliran Jiyeon yang bertanya. Jieun melirik kearah Jiyeon tajam seolah berkata kesurupan-itu-kata-kataku. Namun Jiyeon tak mengindahkan malah menjulurkan lidahnya.

“Kalian tahu rasanya jika harimu serasa di kelilingi pelangi warna-warni ?” Gumam Soojung sambil tersenyum. Pipinya memerah.

Jieun dan Jiyeon berpandangan heran.

“Apa dia sudah gila ?” Bisik Jieun ditelinga Jiyeon. jiyeon menganggkat bahu tak tahu.

“Apa mungkin dia terlalu banyak belajar fisika makannya saraf otaknya rusak ?” Bisik Jieun lagi tambah ngaco. Jiyeon lagi-lagi menggeleng.

“Soojung~aa…kau kenapa sih ?”  Soojung masih asik tersenyum tak menjawab pertanyaan Jieun.

“Kamu dapet lotre ya makannya senyum-senyum ?” Tanya Jiyeon.

Soojung menggeleng.

“Atau dapet uang jajan lebih ?” Jiyeon bertanya lagi.

Soojung menggeleng.

“Akh, kamu pasti ditembak Hodong ahjussi itukan ?” Ucap Jieun ngawur.

Soojung memberikan death glare-nya kearah Jieun yang langsung tersenyum takut.

“Kalian ini payah. Aku itu bukan menang lotre, dapet uang jajan lebih atau ditembak hodong ahjussi itu.” Kata Soojung  menatap kedua sahabatnya sungguh-sungguh.

“Lalu kenapa ?”

Soojung menatap langit diluar kelasnya dengan sejuta kilat bahagia dimatanya. Ia seolah membayangkan seseorang diatas awan sana.

“Aku sedang jatuh cinta.”

“HAH !” Jieun dan Jiyeon terkaget bebarengan.

“Bagaimana bisa ?” Tanya Jiyeon penasaran.

“Kemarin aku ketemu sama namja di toko buku deket rumah. Dia nambrak aku, waktu aku mau jatuh dia tarik tangan aku dan hasilnya aku jatuh dipangkuannya. Dan Ya Tuhan aku sampai menahan napas saat melihat matanya. Dia seperti pangeran tidurku selama ini. Aku pikir dia takdirku.” Papar Soojung menggebu.

Jieun dan Jiyeon berpandangan lalu mereka menggeleng bebarengan.

“Siapa namanya ?” Tanya Jieun.

Senyuman soojung seketika memudar. “Aku tak tahu. Terlalu terpesona sampai lupa nanya nama, hhe” Kekehnya.

“Dasar. !!” Ujar Jieun dan Jiyeon bebarengan.

***

Baekhyun menyandarkan tubuh di kayu peyangga ujung koridor utama. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 20 menit yang lalu. Beberapa yeoja yang melewati tersenyum penuh harap kearah Baekhyun namun namja itu hanya membalas dengan senyuman santai. Ia kembali melirik jam ditangannya.

“Seharusnya dia udah keluar dari tadi. “ Gumamnya. Lalu kembali mengedarkan pandangannya memperhatikan anak-anak kelas 10 yang menuruni tangga. Saat matanya menemukan sosok yang ditunggu-tunggu Baekhyun tersenyum penuh kemenangan. Namja itu merapihkan baju dan rambutnya. Setelah merasa semuanya ‘Oke’ Baekhyun lalu berjalan penuh percaya diri kearah Jiyeon –yeoja yang ditunggunya.

“Hai..” Sapa Baekhyun.

Jiyeon mengangkat wajahnya dan terkejut saat tahu siapa yang menyapanya.

“Oh, Sunbae…Hai..” Balasnya kikuk.

“Jieun dan Soojung kemana ?” Tanya Baekhyun basa basi.

“Jieun tadi udah dijemput ayahnya kalau Soojung lagi asik diperpus, katanya nanti agak sore baru pulang.”

Baekhyun mengangguk paham.

“Ada apa sunbae ?” Tanya Jiyeon penasaran. Pasalnya ia buru-buru ingin menemui Chanyeol di kampusnya.

“Ani…hanya ingin mengajakmu pulang bersama. Bagaimana ?” Tanya Baekhyun.

Jiyeon menatap namja dihadapannya heran. Baekhyun memang namja popular disekolahnya. Ganteng ? Jangan ditanya itu mah iya banget. Kaya ? Sangat malah. Keren ? Of Course. Tapi jiyeon justru sama sekali tak begitu tertarik dengan namja dihadapannya ini. Ia berpikir keras. Ia bahkan tak begitu mengenal Baekhyun.

Baekhyun yang menyadari keraguan Jiyeon langsung berkata. “Hey…aku hanya menawarkan jika kau tak mau juga tak apa.”

Jiyeon menatap Baekhyun yang nampak kecewa. Jiyeon agak ragu namun akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah aku mau.”

Baekhyun tersenyum dan langsung mengajak Jiyeon menuju motornya yang terparkir di pelataran parkir sekolah.

Baekhyun tersenyum senang saat melihat Jongin juga ada disana. dengan langkah santai ia menghampiri motornya, mengambil helm-nya dan melirik lagi kearah Jongin yang juga tengah menatap mereka.

“Kau tidak keberatan kalau naik motorkan ?” Tanya Baekhyun ramah.

Jiyeon menggeleng lalu matanya melirik kearah Jongin yang tengah memperhatikan mereka. Semenjak kejadian saat hujan itu Jiyeon jarang bertemu Jongin. Dan sebisa mungkin Jiyeon ingin menghindari namja itu. dimatanya Jongin itu aneh.

Gadis itu menaikan alis saat melihat Baekhyun melepaskan jaket dan mengulurkannya pada Jiyeon.

“Pakailah, naik motor itu dingin. Aku takut kau masuk angin.” Ucap Baekhyun.

Jiyeon menatap jaket itu dengan ragu. “Tidak usah. Aku akan baik-baik saja.” tolak Jiyeon halus.

Deruan keras mesin motor Jongin membuat Baekhyun tersenyum puas. Sementara Jiyeon berusaha menutup telingannya.

“Pakai—

Ucapan Baekhyun terhenti saat tiba-tiba motor Jongin melaju cepat menuju kearah mereka, menarik lengan Jiyeon dan memaksa tubuh mungil itu untuk duduk di jok motornya. Jiyeon menjerit ketakutan.

“YA..BODOH ! YA TUHAN…KIM JONGIN..” umpatan-umpatan keras tak Jongin hiraukan. Jiyeon kini sudah duduk diatas jok motornya. Dengan senyuman sinisnya Jongin menatap Baekhyun lalu melesat dari sana.

Baekhyun mengepalkan tangannya namun tak ayal ia tersenyum.

“Ini baru akan dimulai.”

***

“DIAM !”

Jiyeon seketika terdiam saat Jongin membentaknnya. Sudah berkali-kali ia beteriak dan mengumpat kearah Jongin. Bisa-bisanya namja itu menariknya secara paksa. Membuat Jiyeon harus meringis sakit saat pergelangan tangannya ditarik paksa oleh Jongin. Sebenarnya namja itu maunya apa. Jiyeon tak pernah mengerti.

“Aku mau turun…turunkan aku.” Jiyeon kini merengek, memukul-mukul punggung Jongin.

“Diam,atau ku dorong kau dari motorku.” Tegas Jongin lagi.

Jiyeon memajukan bibirnya kesal. “Kalau gak mau aku ngerengek, terus kenapa tadi narik-narik aku supaya naik kemotor kamu, hah !”

Jongin diam. Ia tak menjawab.

“Dasar psiko ! Aneh.”

‘DUG’

Jiyeon memegang hidungnya yang membentur punggung Jongin saat namja itu menghentikan motornya secara mendadak.

“Kau gila yah…Hidungku..”

“Turun !” Ujar Jongin santai.

Jiyeon membulatkan matanya. Ia melirik sekitar. Ia tak tahu jalanan ini. Bagaimana ia bisa pulang.

“KU BILANG TURUN !”

Jiyeon menatap benci Jongin. Dengan terpaksa ia turun dari motor itu dan berdiri dihadapan Jongin. Jongin menstater motornya lagi dan melesat pergi dari sana. Meninggalkan Jiyeon yang ternganga.

“SIALAN ! BERENGSEK ! STUPID ! FREAK ..FREAK…!! “ ia terus berteriak tak perduli dengan umpatan orang-orang yang terganggu dengan teriakannya. Dengan langkah lunglai Jiyeon berjalan menuju halte terdekat. Duduk dibangku itu dan menunduk.

“Kenapa sih ada orang sekejam dia !”

Jiyeon tertunduk membiarkan pipinya basah karena menangis. Ia tak tahu jalanan ini. Ia tak pernah lewat sini. Bagaimana ia bisa pulang jika begini.

Huks..

Ia menangkup wajah dengan kedua tangannya. ia tak tahu harus bagaimana. Halte itu sudah sepi. Hanya segelintir orang yang berlalu lalang. Ia takut. Sekelabat bayangan itu kembali menghantuinya. Jiyeon gemetar. Tubuhnya merosot jatuh, terduduk dilantai halte, memeluk lutut yang sengaja ia tekuk.

Tubuhnya gemetar. Saat suara petir menggelengar Jiyeon semakin terdiam. Hujan pun turun begitu deras, orang-orang berlari menghindari hujan, ada yang langsung membuka payung tapi ada juga yang memilih berlari. Menyisakan Jiyeon yang masih diam disana.

Tubuhnya mengigil. Bukan karena dingin atau takut…tapi ia kembali merasakan perasaan itu….kesepian.

Gadis itu menyembunyikan wajah ditekukan lututnya. Terisak. Membiarkan percikan air hujan membasahi blazer sekolah dan rambutnya. Ia butuh Chanyeol sekarang…ia butuh Chanyeol.

“Umma….” Gumamnya…

Kilatan petir kembali membuat Jiyeon gemetar. Tubuhnya kaku. Ia lalu mendongak dan menatap kosong air hujan yang membentur aspal jalanan.

Saat sebuah motor terparkir dihadapannya Jiyeon masih bergeming. Bahkan saat Jongin membuka helm dan menghampiri gadis itu, Jiyeon masih terdiam. Tubuhnya kaku. Pandangannya kosong.

“Hey gadis cerewet !” Jongin memperhatikan keadaan Jiyeon yang begitu menyedihkan. Ia lalu berdiri disamping gadis itu.

Tak ada tanggapan. Jiyeon masih saja menatap kosong hujan dihadapanya.

Jiyeon mengernyit heran. Ia terkesiap saat melihat tubuh gadis itu gemetar dan mata itu menatap kosong kedepan. Jongin membungkuk, matanya terarah pada kedua pasang mata Jiyeon yang menatap kosong hujan. Namun Jongin dapat melihat kilatan lain disana…itu seperti…seperti apa yang dirasakannya selama ini.

“Hey..Jiyeon…Park Jiyeon..”

Masih tak ada tanggapan. Dengan ragu Jongin ikut berjongkok disamping gadis itu. jiyeon masih bergeming. Jongin melepaskan jaket-nya dan menyampirkan ditubuh Jiyeon yang gemetar.

“Hey..” Dengan pelan Jongin mendorong bahu Jiyeon pelan. Gadis itu mengerjap…Satu kali…Dua kali…Tiga kali…

“Appa…” Gumamnya..

“Eoh ?” Jongin mengernyit heran.

Jiyeon mengerjapkan matanya cepat. ia menggeleng saat menyadari siapa yang ada dihadapannya.

“Akh ma’af…ma’af..” Ucapnya berkali-kali.

Jongin menatap gadis dihadapannya dengan heran.

“Kau baik-baik saja.” Jiyeon mengangguk cepat. pikirannya masih saja dipenuhi kenangan itu. ia selalu seperti ini jika sendirian ditemani hujan dan petir.

Saat menyadari ada sesuatu yang menyelubungi punggungnya jiyeon terkaget saat melihat jaket milik Jongin disana.

“jaketmu.”

“Pakai saja. itu sudah kotor. Nanti kau cuci dan kembalikan padaku. “Katanya datar.

Jiyeon mencuatkan bibirnya kesal namun tak ayal tersenyum. “Gomawo..”

Jongin menoleh, mengernyit tak mengerti.

Jiyeon tersenyum lagi. “Terima kasih karena sudah membawaku kembali dari mimpi buruk itu.”

“Hah ?”

“Kau orang kedua yang melakukan itu setelah oppaku. Walau caramu sangat kasar….”

Jongin benar-benar tak mengerti. Ia hanya menatap Jiyeon yang kini tersenyum. Ini hanya perasaannya atau memang nyata…ia tiba-tiba menyukai senyuman itu.

 

[TBC]


SHINING STAR (Chapter 4)

$
0
0

shining-star-2

Main Cast : Park Ji Yeon – Kim Jongin – Byun Baekhyun

Support Cast : Par Chanyeol – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon

Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst

Length : 4 OF ?

Author : Qisthi_amalia

Backsound : whatever what you want ^_^

***

-CHAPTER 4-

 

***

Jiyeon memperhatikan tubuhnya yang tenggelam dalam jaket Jongin yang kebesaran. Jiyeon tersenyum memperhatikan rintik hujan yang membasahi kaca yang saat ini ada dihadapannya.

“Minum Cokelatmu.” Perintah Jongin tajam. Ya. Setelah kejadian memalukan tadi –menurut Jiyeon tentunya- Jongin mengajaknya untuk berteduh di sebuah Café yang tak begitu jauh dari halte bus. Jiyeon tersenyum kecil membayangkan bagaimana Jongin yang terlihat merasa bersalah. Namja itu bahkan berusaha melindungi tubuh Jiyeon agar tidak basah karena hujan. Tapi tentu saja usahanya sia-sia karena hujan begitu lebat dan Jongin tak menggunakan payung untuk melindungi Jiyeon, melainkan hanya menggunakan kedua tangannya.

“Apa yang kau tertawakan ?” Protes Jongin lagi saat melihat Jiyeon malah tersenyum. Gadis itu hanya menggeleng. Meraih gelas berisi cokelat hangat dan menyesapnya perlahan. Rasa hangat mengalir begitu saja.

“Kenapa kau selalu saja berkata dingin seperti itu ?” Tanya Jiyeon lalu melirik kearah Jongin yang juga meliriknya sekilas namun dengan cepat menatap objek lain.

“Apa maksudmu ?” Jongin malah balik bertanya dan matanya ikut memperhatikan rintik hujan, sama seperti yang Jiyeon lakukan.

Jiyeon mendesah. Ia lalu memutar bola matanya. “Kau itu. sudahlah..Lupakan saja !”

Jongin diam. Ia enggan menjawab pertanyaan Jiyeon. menurutnya itu tak begitu penting untuk dijawab. Dan yang paling penting ia tak mau menceritakan apa pun pada gadis dihadapannya ini. Ia masih berpikir jika Jiyeon bukan siapa-siapa dan gadis itu tak berhak mengetahui apapun tentang dirinya.

Hening.

Mereka terdiam. Membiarkan rintik hujan menjadi backsound kali ini. Walaupun suara dari pengunjung lain begitu bising. Hal itu rupanya tak membuat Jiyeon maupun Jongin terganggu. Kedua orang itu terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing.

***

“Terima kasih.”

Jiyeon membungkuk kearah Jongin. Setelah dari café Jongin mengantar Jiyeon pulang. Namja itu tak mau mengambil resiko lagi dengan meninggalkan Jiyeon sendirian. Jiyeon hendak melepas jaket kulit hitam yang menghangatkan tubuhnya sejak tadi, namun Jongin menahannya.

“Pakailah…eum…maksudku kembalikan saja besok.” Kata Jongin lalu mulai men-stater motornya.

Jiyeon mengernyit heran. “Kenapa ?”

Jongin menoleh dan menatap Jiyeon dengan cara yang sama. Datar dan biasa saja.

“Kau mau aku memakai jaket kotor seperti itu. sudahlah…sebaiknya kau cuci dulu dan kembalikan besok padaku.” Ujar Jongin.

Jiyeon merengut kesal. Namun tak ayal ia juga setuju dengan perkataan Jongin. Jaket itu begitu kotor karena cipratan lumpur tadi. Jadi mana mungkin juga Jongin mau memakainya.

“Baiklah.” Kata Jiyeon pada akhirnya.

Jongin men-gas motornya dan deruan keras mesin motor membuat Jiyeon mau tak mau menutup telinganya. Ia mengumpat keras. “Berisik !!!”

Namun jongin tak mengindahkannya. Namja itu malah tersenyum sinis dan melesat pergi dari sana dengan kecepatan maksimum. Jiyeon mencuatkan bibirnya kesal. Ia melirik kearah jalan raya dan motor Jongin sudah tak terlihat lagi.

“Namja aneh.” Ucapnya pelan. Jiyeon memperhatikan tubuhnya yang benar-benar menyedihkan. Baju kotor dengan jaket jongin yang begitu besar ditubuhnya. Tanpa sadar Jiyeon tersenyum tipis. “Tapi ini hangat. “Gumamnya.

Ya Tuhan ! Wait…Apa dia bilang barusan…? Hangat ? Tidak. Jiyeon dengan cepat mengeleng dan memukul kepalanya sendiri. “Bodoh.” Erangnya kesal.

Tak ingin terlalu larut dalam pemikiran bodohnya Jiyeon bergegas lari menuju rumahnya. Saat ia mengetuk pintu, tak ada tanda-tanda akan ada orang yang membuka pintu dari dalam. Ia pun mendesah berat, meraih kunci dari tasnya dan membuka pintu. Kakaknya belum pulang. Ya…itulah yang membuat Jiyeon begitu khawatir saat ini.

Ia melangkahkan kaki menuju kamar, setelah sebelumnya menyalakan lampu rumah yang gelap gulita. Satu hentakan cepat Jiyeon berhasil membuka pintu kamar yang didominasi cat berwana orange. Jiyeon menjatuhkan tubuhnya begitu saja diatas tempat tidur. Melepar tas kelantai. Tanpa melepaskan sepatu terlebih dahulu.

Matanya menerawang memperhatikan langit-langit kamar yang dihiasi puluhan bintang dari kertas emas yang Chanyeol tempelkan dulu. Jiyeon tersenyum kecil. Beberapa minggu belakangan ini Ia merasa begitu kehilangan Chanyeol. Kakaknya itu terlihat selalu sibuk. Berangkat pagi dan pulang larut. Terkadang Jiyeon merasa heran, apa yang dilakukan kakaknya di kampus ? Apa semester kali ini begitu sulit, menyibukan sehingga membuatnya harus berlama-lama dikampus ?. Tapi itu tak mungkin, karena sebelumnya Chanyeol pernah berkata Jika semester kali ini begitu mudah jadi Ia tak akan terlalu sibuk dikampus. Jadi hal apa yang Chanyeol lakukan selama ini ?

Jiyeon memijit pelipisnya. Tiba-tiba Ia merasa pusing. Dengan satu gerakan mulus gadis itu bangkit, meraih handuk dari gantungan dan masuk kedalam kamar mandi. Berharap air hangat bisa membuat pikirannya tenang dan pusingnya hilang.

***

Baekhyun tampak asik mengutak-atik ponselnya. Saat ada sebuah pesan masuk namja itu dengan cepat membalasnya. Sudah 2 hari namja itu berusaha mendekati Lee Jieun salah satu sahabat Jiyeon. ia tak memiliki maksud lain. Hanya ingin mendapat informasi lebih tentang Jiyeon. bukankah akan lebih baik jika mendekati sahabatnya dulu. Itulah yang dipikirkan Baekhyun. Ia ingin selangkah lebih cepat dibandingkan Jongin. Dengan mengetahui apa yang Jiyeon sukai dan tak ia sukai itu akan mempermudah Baekhyun melancarkan aksinya.

Dan jika kau bertanya, Apa Baekhyun melakukan semua ini karena cinta ? Tentu saja jawabannya, Bukan. Karena namja itu sama sekali tak tertarik pada Jiyeon. ia hanya ingin menjadikan Jiyeon sebagai umpan untuk menjatuhkan Jongin.

Musuhnya.

Rivalnya sejak dulu.

Dan ia ingin Tahta No.1 itu kembali padanya.

***

Yoona membolak-balik halaman demi halaman sebuah tabloid di pangkuannya. Wanita setengah baya itu terlihat gelisah. Sesekali ia melirik kearah jam besar yang tersimpan di samping televisi. Beberapa kali juga Ia menoleh kearah pintu, berharap Jongin pulang malam ini. Namun sepertinya anak bungsunya itu tak akan pulang lagi. semenjak pertengkaran dimeja makan tempo hari. Jongin kembali menjaga jarak lagi. anak itu kembali membangun tembok penghalang yang sangat sulit untuk Yoona tembus.

Wanita itu menghembuskan nafas berat. Ia begitu merindukan anak bungsunya yang dulu. Jongin yang periang, mudah tersenyum dan begitu ramah pada siapa pun. Dan yang pasti anak bungsunya yang begitu dekat dengan ayahnya. Yoona membungkuk, meraih salah satu album photo lama yang tersimpan di bawah meja.

Dibukanya halaman demi halaman. Sampai gerakan tangannya berhenti pada sebuah lembar yang berisikan beberapa photo Jongin yang tengah teratawa lebar ketika bermain sepeda bersama Changmin, ayah sekaligus suaminya. Saat itu umur Jongin masih 12 tahun dan Ia juga masih ingat ketika itu meraka tengah berlibur di Daegu, divilla yang changmin sengaja beli untuk berlibur. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Di elusnya permukaan photo itu. ia begitu merindukan momen itu. ia rindu suaminya tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena Changmin telah tiada. Dan ia juga Rindu Jongin namun anak itu seolah menutup diri darinya dan mencoba menjauh darinya. Itu sangat menyiksa. Walau ia masih memiliki Joonmyeon tapi tak bisa ia pungkiri Ia juga sangat merindukan Jongin.

“Bogoshipeo….” Gumamnya.

Suara deruan motor yang begitu keras membuat Yoona terkaget namun tak ayal Ia tersenyum juga. Ia tahu itu pasti Jongin karena ia hapal betul suara motor yang begitu berisik itu pasti milik anaknya. Saat pintu utama terbuka, Yoona bisa melihat wajah Jongin yang seperti biasa. Begitu dingin dan kurang bersahabat. Namun ia tetap bahagia. Melihat Jongin berdiri dihadapannya saja sudah membuatnya tenang. Dengan begitu ia tahu bahwa anaknya baik-baik saja.

Jongin yang menyadari kehadiran sang umma diruang televisi, mendengus. Ia berjalan begitu saja, tak menghiraukan ummanya sedikit pun. Tepat saat ia hendak meniti tangga Yoona berseru pelan.

“Apa kau sudah makan ?”

Jongin terdiam sejenak. Lalu tanpa menjawab pertanyaan umma-nya, Jongin kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Yoona menghela nafas berat. Ia sudah tahu akan seperti ini hasilnya tiap kali mengajak bicara Jongin. Namun ia tak mau menyerah. Dengan gerakan cepat Yoona melangkah. Menarik pergelangan tangan Jongin dan membuat langkah anaknya terhenti.

“Apa yang kau lakukan ?” Ujar Jongin tanpa sopan santun.

“Bisakah menjawab pertanyaan umma sekali saja ? Bisakah berbicara dengan umma sebentar saja. hanya sebentar Jongin, umma tak meminta lebih.” Ucap Yoona pada akhirnya.

Jongin menghepaskan tangan itu dengan kasar. Ia menatap umma-nya marah.

“Sudah kubilang berapa kali. Aku tak mau berbicara denganmu lagi. Tak ingin melihat wajahmu lagi. tak ingin.” Tegas Jongin menatap ibunya tajam.

Yoona menahan nafasnya. Ia tak menyangka akan mendengar kata-kata itu lagi. setelah 5 tahun yang lalu ia juga mendengar dari mulut yang sama.

Tanpa menunggu perkataan umma-nya lagi Jongin melanjutkan langkahnya. Membiarkan yoona terdiam disana. sampai yoona mendongak dan berseru.

“Semua itu bukan keinginan umma Jongin. Umma juga tak menyangka semua bisa terjadi seperti itu…umma..benar…benar-benar tak tahu jika hal itu justru membuat—

Yoona tak mampu lagi melanjutkan ucapannya. Ia lebih dahulu menangis, terisak dan jatuh terduduk di undakan tangga kedua. Jongin menatap umma-nya tanpa ekspresi. Namja itu dengan cepat mengalihkan pandangannya kearah lain.

Jongin berucap  dengan begitu pelan. Namun Yoona dengan jelas bisa mendengarnya karena ruangan itu amat sepi.

“Penyesalan umma tak akan mengubah apapun. dan Ia tak akan pernah kembali walau umma meraung seperti apapun. dan mengetahui kenyataan itu membuatku semakin……semakin membencimu…”

Yoona terhenyak. Perkataan itu tak ingin ia dengar. Perkataan ini tak ia harapkan meluncur dari mulut Jongin, anak bungsu yang amat ia sayangi. Ia benar-benar tak menyangka dan kini Ia benar-benar menyesali semuanya. Ia menyesal mengapa dulu ia melakukan hal itu dan ia sangat menyesal karena ternyata hal yang ia lakukan dulu justru membuanya kehilangan 2 orang yang amat berharga dalam hidupnya. suami dan juga anaknya.

Dan yang bisa Yoona lakukan hanya menangis. Membiarkan hening malam menjadi temannya malam ini. Bantingan keras pintu kamar jongin yang tertutup semakin membuat Yoona merasa sakit. Sakit yang begitu perih.

***

Jiyeon mengerjapkan matanya yang benar-benar terasa berat. Dengan gerakan pelan ia membalikan tubuhnya untuk melihat jam beker diatas meja nakas. 23.40. ia mengusap-usap matanya yang masih terasa berat. Setelah mandi dan menyelesaikan puzzelnya, jiyeon tertidur pulas di atas tempat tidur, padahal tadinya Ia berencana untuk menunggu Chanyeol pulang. Tapi bagaimana bisa ia tetap terjaga jika tubuhnya benar-benar lelah dan butuh tidur.

Dengan keadaan setengah sadar Jiyeon bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju keluar. Ia menghela nafas saat melihat kamar Chanyeol masih dalam keadaan kosong. Jadi Jiyeon memutuskan untuk beranjak menuju dapur. Baru saja Jiyeon hendak mengambil gelas untuk minum, suara pintu utama terbuka membuatnya berlari cepat menuju ruang tamu.

Ia merengut dan melotot tajam kearah seseorang yang selama ini ditunggu-tunggunya. Namun kekesalannya menguap begitu saja saat Ia melihat apa yang dikenakan Chanyeol. Kemeja putih dengan dasi dan celana kain hitamnya. Ini…ini tidak seperti pakaian yang biasa Chanyeol gunakan saat pergi ke kampus.

Dan Chanyeol pun terkesiap, saat ia berbalik dan mendapat Jiyeon tengah berdiri disana. chanyeol mengikuti arah mata Jiyeon yang memperhatikan bajunya. Dan demi Tuhan..Chanyeol benar-benar merutuki kesalahannya yang lupa mengganti pakaian. Tadi setelah selesai menyelesaikan berkas terakhir Chanyeol terlalu lelah dan Ia tak sempat untuk berganti pakaian dan Kini ia benar-benar tak tahu harus mencari alasan seperti apa.

“Oppa, kenapa kau pulang larut ? Dan kenapa oppa memakai baju seperti itu ?” Tanya Jiyeon penasaran.

Chanyeol terdiam sesaat namun ia akhirnya menjawab juga. “ Oh…ma’af tadi aku ada tugas dari dosen lalu pakaian ini sengaja harus ku pakai karena Miss Ahn menyuruhkan berakting sebagai pegawai kantoran…bagaimana keren bukan ?” Gurau Chanyeol seperti biasa, sambil berusaha menutupi ekspresi wajahnya agar tak mencurigakan.

Jiyeon menyipitkan mata menyelidik. Ia sedikit tak percaya namun mengingat selama ini Chanyeol tak pernah berbohong padanya akhirnya Ia mengangguk paham dan…Percaya.

“Oh…begitu. Tapi kenapa oppa selalu pulang larut ? Bukannya oppa bilang semester ini tak akan terlalu banyak bahan materi..?” Tanya Jiyeon lagi.

Chanyeol tersenyum tipis. Ia menghembuskan nafas lega karena setidaknya Jiyeon tak bertanya macam-macam lagi mengenai pakaiannya. Ia lalu berjalan menghampiri jiyeon, merangkul bahu adiknya dan mengajaknya untuk duduk di sofa ruang televisi.

“Oppa sepertinya salah memberitahumu Jiyeon. karena ternyata materi semester ini benar-benar sulit. Hah ! Melelahkan.” Kata Chanyeol mengada-ngada. Jiyeon menatap kakaknya kasihan. Chanyeol agak merasa bersalah melihat ekspresi Jiyeon yang seperti itu.

“Mau ku buatkan teh hangat ?” Jiyeon menawarkan. Tanpa menunggu jawaban Chanyeol, gadis itu beranjak menuju dapur.

Chanyeol memperhatikan adiknya yang tengah menyeduh teh dengan air panas. Ia tersenyum tipis.

“Kenapa selarut ini kau belum tidur ?” Tanya Chanyeol.

Setelah selesai Jiyeon kembali menuju ruang televisi, menyerahkan mug berisi teh hangat pada Chanyeol dan kembali duduk.

“Aku menunggu oppa.”

Chanyeol tertawa. Ia hampir saja tersedak saat mendengar kalimat Jiyeon barusan.

“Wah..wah…sepertinya ada yang merindukan aku disini..” Ujarnya penuh percaya diri.

Jiyeon memukul bahu Chanyeol dengan bantal orange-nya keras. Namun sekeras apapun Jiyeon memukulnya itu sama sekali tak terasa sakit. Karena bagaimana bisa Chanyeol kesakitan jika yang ada didalam bantal itu adalah helaian bulu angsa.

“Percaya diri sekali….!!! Siapa juga yang kangen..” Jiyeon menjulurkan lidah dan melajutkan aksi memukul Chanyeol dengan bantal empuknya.

“Baiklah…baiklah…ampun. Hentikan pukulanmu atau kau akan melihatku mati mengenaskan disini..!” Lanjut Chanyeol.

Jiyeon tertawa. “Mati mengenaskan Karen bantal empuk bulu angsa ini ? Oh Astaga oppa itu sungguh tak masuk akal, kau tahu…Konyol !!”

Chanyeol ikut tertawa dan kembali menyesap teh hangatnya. Siapa sangka jika secangkir teh hangat, pukulan bantal, suasana di ruang tv yang sepi dan tawa adiknya Jiyeon mampu membuat beban di pundak Chanyeol serasa berterbangan begitu saja.

Hebat bukan ?

***

Jongin memijit pelipisnya yang terasa pening. Membiarkan kelopak matanya untuk melihat langit malam yang begitu gelap malam itu. ia memejamkan matanya lalu kembali membukanya. Jongin lalu mengerang kesal. Bangkit cepat dan mengeluarkan seluruh isi tas yang ia simpan diatas meja tulis.

Dengan satu gerakan cepat ia meraih ukiran kayu –yang sudah cukup lama ia simpan- disana. di ambilnya benda itu dan jongin kembali menuju tempatnya semula. Di depan jendela. Ia duduk disana, membiarkan kakinya menjulur keluar, melayang diatas tanah.

Pelan namun pasti digenggamnya ukiran itu , diikuti dengan matanya yang terpejam. Ini memang konyol dan ini memang kekanakan. Namun apa salahnya dicoba kembali, setelah sebelumnya cara itu berhasil membuat jongin. Tersenyum.

Dan kali ini. Ia memejamkan mata lebih erat. Membiarkan helaian poninya tertiup angin. Membiarkan udara dingin masuk, menembus pori kulitnya. Membiarkan langit malam yang gelap menemaninya. Dan membiarkan ukiran itu di genggamannya.

Untuk kali ini. Jongin benar-benar berharap bisa lebih tenang. Ia berharap semuanya bisa kembali seperti semula. Ia sangat berharap Tuhan mendengar do’anya. Sekali saja. walau pun hanya sekali dan jika itu terkabul. Ia akan sangat bahagia.

Dan. Disela pejaman matanya yang erat. Disela sepoi angin malam yang membelai lembut. Disela dingin yang menusuk sampai ketulang. Ia kembali tersenyum. Perasaan lega itu kembali hadir. Dan damai itu kembali mengusik.

Dan di sela pejaman matanya itu. ia meminta. Ia berharap. Ia bisa melupakan masa lalu dan menjalani masa depan.

***

“Dan tebak apa yang kutemukan di bawah laci kamarnya ?”

Jiyeon dan Soojung hanya menggeleng tak tahu. Jieun memamerkan senyum licik penuh kemenangan. Saat itu ia tengah bercerita tentang kamar adiknya yang penuh dengan hal-hal menarik untuk dilewatkan. Jieun memilik adik perempuan, 2 tahun dibawahnya. Jika kalian melihat sepintas kalian pasti mengirang mereka sangatlah akrab. Tapi, jika kalian tahu jelas mereka layaknya tom and jerry. Jieun yang ngotot dan tak mau kalah dan adiknya Eunji yang begitu dingin namun sangat licik.

Jieun dan Eunji selalu berebut dalam segala hal. Baik itu dalam hal barang, kasih sayang orang tua, prestasi ataupun liburan. Dan kali ini Jieun tengah bercerita tentang bagaimana Ia mengambil barang berharga milik Eunji yang tidak diketahui Jieun dan Soojung sama sekali.

“Memang didalam sana ada apa ?” Tanya soojung penasaran.

Jieun tersenyum. “Aku menemukan sepucuk surat cinta.” Lalu Jieun terbahak membuat Jiyeon dan Soojung berpandangan dan bergidik ngeri. Pasalnya mereka tak mengerti mengapa Jieun bisa tertawa terbahak seperti itu.

Jieun yang menyadari perubahan raut wajah kedua temannya buru-buru menambahkan.” Wait wait. Kalian jangan melihatku dengan ekspresi menakutkan seperti itu.” Selanya masih diselingi senyum kecil.

“Baiklah akan kujelaskan mengapa aku begitu bahagia sekarang. Surat itu adalah surat cinta yang Eunji sembunyikan dariku. Ia mendapat surat itu dari kekasihnya, padahal umma dan appa melarangnya berpacaran. Dan kalian pasti akan tahu apa yang terjadi jika aku mendapatkan surat itu dan mengancam Eunji, right ?”

Jieun mengangguk paham lalu mendorong bahu temannya itu. “Dasar Jail.”

Jieun mengangkat bahu tak perduli. “Siapa suruh juga, dulu ia menghancurkan hiasan saljuku. Ini balasannya. Akan ku ancam dia membersihkan kamarku setiap hari dan mengijinkanku memakai barangnya.”

Soojung hanya menggeleng. “Kalian berdua itu, kakak adik yang sangat menyeramkan.”

Jiyeon tertawa begitu pun dengan Jieun dan terakhir diikuti senyuman kecil Soojung.

.

.

Baekhyun tersenyum pagi itu. diliriknya Jongin yang begitu asik dengan dunianya. Hari ini ia memang sedikit heran, pasalnya sejak masuk kelas tadi Jongin sama sekali tak membuat ulah sedikit pun. Ia lebih banyak diam dan mendengarkan. Namun Baekhyun paham Jongin sama sekali tak mendengarkan apa ocehan guru didepan sana, namja itu melainkan sedang berkonsentrasi dengan duniannya sendiri. Dan hal itulah yang selalu membuat Baekhyun merasa Jongin amatlah misterius dan ia bertekad harus mengetahui semuanya.

.

.

Bel istirahat berbunyi. Semua anak berhamburan keluar. Ada yang langsung menuju kantin, ada yang berlari ke toilet atau membaca ke perpustakaan. Tapi kebanyakan hanya berdiam diri di balkon depan kelas untuk mencari mangsa. Ck.

Baekhyun diam di tempat duduknya. Setelah semua anak keluar, kecuali Jongin tentunya. Namja itu bangkit dan berjalan santai menghampiri tempat duduk jongin yang berada di pojok, jajaran 4 paling belakang.

Jongin masih diam. Ia tak menyadari kehadiran Baekhyun yang sudah duduk di depannya.

“Aku tahu kau menyukainya.” Kata Baekhyun pelan namun tegas. Ia lalu menyandarkan tubuh pada dinding di belakangnya.

Jongin masih bergeming. Melihat itu Baekhyun lalu melanjutkan ucapannya.

“Saat melihat kau memperlakukan gadis itu seperti kemarin.” Ia menghentikan ucapannya, melirik Jongin lalu tersenyum kecil. “Sepertinya kau harus menarik kembali perkataanmu tentang kau sama sekali tak tertarik dengan yeoja.”

Baekhyun mencibir kecil. Saat mendapati Jongin sama sekali tak perduli dengan kehadirannya. Namun bukan Baekhyun namanya jika ia tak mau berusaha keras.

“Park Jiyeon. Ck ! Ternyata seleramu rendah Kim Jongin. Yeoja itu bahkan tak secantik dan seseksi Gyuri yang kemarin menembakmu. “

Baekhyun tersenyum kecil, saat melihat Jongin mulai melirik kearahnya. Ia sudah tahu jika Jongin tak akan membiarkannya menjelek-jelekan yeoja itu.

“Hahaha…Lihatlah. Kau bahkan mulai melirikku seperti itu saat aku menjelek-jelekannya.” Baekhyun tertawa dan menatap Jongin meremehkan.

“Apa maumu ?” Tanya Jongin akhirnya. Untuk kali ini ia benar-benar malas untuk berdebat. Ia ingin keheningan dan bukan suara ocehan Baekhyun yang amat bising.

“Kau bertanya apa yang ku inginkan ?” Tanyanya, Ia lalu bangkit dan berdiri tepat dihadapan Jongin. “Kau tak perlu bertanya Kim Jongin. Karena kau tahu pasti apa yang ku mau.” Jeda sejenak, lalu Baekhyun menambahkan. “Posisiku.” Tegasnya menatap Jongin sengit.

Sementara Jongin yang ditatapan seperti itu hanya tersenyum, ani..Lebih tepatnya menyeringai. “Ambilah.”Katanya, lalu menyambung. “ Jika kau mampu, Byun Baekhyun.”

Baekhyun mengepalkan lengannya sekuat mungkin. Sementara Jongin hanya tersenyum lebar, meraih tas dari meja dan melenggang meninggalkan Baekhyun. Namun belum sempat Jongin mencapai ambang pintu, Baekhyun berkata.

“Aku akan menghancurkan gadis itu, jika kau masih bertingkah seperti ini.”

Jongin berhenti melangkah. Mencoba mencerna apa maksud dari ucapan Baekhyun barusan. Namun belum sempat ia mengerti, Baekhyun kembali berucap.

“Park Jiyeon. Aku bersumpah akan mempermainkannya. Akan membuat dia menangis terus menerus. Dan aku juga bersumpah tak akan berhenti melakukannya jika posisi itu belum menjadi miliku.” Tegasnya tersenyum kecil.

Jongin memutar bola matanya jengah. “Mengapa kau selalu membawa-bawa gadis itu dalam masalah kita, eoh ?” Tanya Jongin tak mengerti.

Baekhyun hanya mengangkat bahu. “Bukan aku yang membawanya. Tapi kau sendiri yang menawarkannya sebagai umpan, ingat ?”

Jongin mengepalkan lengannya. Berjalan dengan langkah besar kearah Baekhyun. Lalu, ditariknya kerah kemaja Baekhyun kuat. Membuat kaki Baekhyun melayang, tak menyentuh lantai.

“Sedikit saja kau menyentuhnya. Kau akan berurusan denganku.” Ujar Jongin dengan tatapan dingin. Namun Baekhyun tak gentar. Namja itu malah tertawa.

“Sepertinya gadis itu sudah membuatmu jatuh cinta, eum  ?.” Tanya Baekhyun.

Jongin terdiam. Cengkramannya di kerah kemeja Baekhyun melemah. Baekhyun yang menyadari itu dengan cepat melepaskan diri dari cengkraman Jongin.

Setelah terlepas dari cengkrama Jongin, Baekhyun mengambil beberapa langkah mundur dan berdiri beberapa meter dari tempat Jongin yang masih berdiri mematung kini.

“Coba lihat bagaimana reaksimu saat ini “ Baekhyun terkekeh sinis. Menatap Jongin kasihan. Jongin masih bergeming. Ia menatap lantai datar. Bahkan saat Baekhyun mendorong dan menghimpit tubuhnya kedinding, Ia hanya diam.

“Berikan posisi itu dan gadis itu akan baik-baik saja. “Desisinya tajam.

Jongin tersadar. Ia balas menatap tatapan itu tajam. Terdiam sejenak. Mencoba membalas dengan kalimat yang tepat. Namun sayang, lidah dan hatinya tak bekerja sama..

“Never !”

Baekhyun tersenyum, namun tatapan matanya menyiratkan arti lain.

“Right ! Itu pilihanmu. !” Ujarnya santai. “Dan..Kuharap kau tak menyesalinya. Karena pantang untuk kita menarik kata-kata yang pernah terlontar. Bukan begitu ?” Baekhyun tersenyum puas, ia menaikan satu alisnya. Menatap Jongin yang masih diam, punggungnya menyandar pada dinding, wajahnya tepat menghadap kea rah Baekhyun. Namun tatapan itu kosong dan entahlah.

Jongin bahkan masih diam. Bahkan saat Baekhyun pergi dari kelas itu, ia masih saja diam.

***

“Jiyeon~aa…aku pulang duluan..”

Jiyeon hanya mengangguk dan melambai kearah Jieun yang sudah naik ke mobilnya. Tak perlu menunggu lama, mobil sedan hitam itu sudah melesat dari hadapannya. Dan seperti biasa, Ia akan pulang sendirian.

Ia mendesah berat. Kemudian melangkahkan kakinya menuju halte terdekat. Dari pada menunggu di sekolah yang sepi, lebih baik menunggu bis dihalte, pikirnya.

Jiyeon tersenyum kecil. Duduk di halte seperti sekarang ini, tiba-tiba mengingatkannya pada namja ‘freak’ itu.

“Aigo ! Apa yang aku pikirkan. Ya tuhan..Park Jiyeon wake up…issh !!” Ia menggerutu sendiri, memukul tempurung kepalanya pelan.

Bagaimana bisa ia mengingat namja itu. namja menyebalkan yang pernah ia temui. Namja paling kejam yang pernah ada, namja yang begitu misterius. Membuanya terkadang ketakutan, terganggu dengan teriakannya , jengah dengan sikapnya dan….senang jika melihat tatapan tajamnya…Oh God !! But Wait…Senang ?

“Phabo…Aigo Aigo…Aisshh !! Apa yang aku pikirkan. !! Lagi-lagi Jiyeon menggerutu sendiri. Tanpa sadar beberapa orang yang juga menunggu bus dihalte menatapnya khawatir.

Ada tatapan nanar ibu-ibu tua seolah kasihan dengannya. Ada tatapan terganggu pasangan kekasih dan tatapan tak perduli ahjussi tua yang bersandar pada besi halte.

Jiyeon hanya tersenyum kikuk. Menyadari kebodohan yang dilakukannya barusan. Namun belum sempat Jiyeon meminta ma’af pada semua orang yang terganggu olehnya. Deruan mesin motor yang Ia hapal membuat Jiyeon tanpa sadar terperanjat dari tempat duduknya. Dan saat Ia mendongak. Ia menemukan Jongin yang tengah menjalankan motor beberapa meter dari tempatnya duduk.

Jiyeon tersenyum kecil. Saat motor Jongin makin mendekat, Jiyeon semakin tak nyaman duduk. Ia bergerak-gerak tak karuan membuat beberapa orang memprotes. Namun ia tak begitu perduli. Dan saat motor itu melewatinya, Jiyeon menarik nafas dan tersenyum.

Tapi sayang…Jongin sama sekali tak melihat kearahnya. Motor itu melesat begitu saja melewatinya. Senyuman di bibir itu memudar dan tanpa sadar jiyeon kembali mendesah. Dan saat ia sadar apa yang barusan yang ia lakukan, jiyeon kembali mengerang.

“Aissh !! Kenapa aku mendesah. Aigo.. Park Jiyeon…kau itu kenapa ? Chinja…Hah !”

***

Jieun memainkan kakinya. Ia begitu bahagia kini. Baekhyun mengajaknya bertemu di taman kota. Dan saat baekhyun mengajaknya, ia begitu antusias. Bahkan sampai mengeluarkan seluruh isi lemarinya dan ia begitu frustasi saat melihat semua baju dihadapannya terlihat jelek. Berjam-jam ia memilih baju yang tepat, namun tak ada yang bagus dimatanya. Padahal biasanya jika pergi bersama Jiyeon atau soojung ia tak begitu perduli penampilan. Tapi kenapa saat Baekhyun yang mengajak, efeknya berbeda ?

Dan kepanikannya Jieun saat itu terselamatkan saat ia ingat jika masih memiliki satu gaun biru muda pemberian ummanya.

Jieun merapihkan roknya kembali, padahal tak ada yang salah dengan rok itu. sangat rapih tanpa kerutan. Namun ia begitu gugup hingga sejak tadi kerjanya hanya membenarkan roknya.

“Kau baik-baik saja ?”

“Eoh ?”

Jieun terperanjat, ia hampir saja meloncat senang saat tahu siapa yang menyapanya. Dengan cepat Jieun tersenyum dan mengangguk pelan.

“Ma’af menunggu lama.” Ujar Baekhyun lalu duduk di samping Jieun.

“Gwenchana.” Pelannya tanpa menatap Baekhyun. Ia terlalu gugup hingga tak siap hanya untuk menatap wajah Baekhyun yang berjarak beberapa centi darinya.

Oh God ! Rasanya seperti..Akh ! Seperti terbang diatas kebun bunga dengan hembusan angin lembut yang akan mengantarkanmu kealam mimpi. Jieun tersenyum kecil, pipinya bersemu merah.

“Kau kenapa ?” Tanya Baekhyun khawatir saat melihat Jieun yang sejak tadi hanya menunduk.

“Eoh, ani..Hanya sedikit gugup.” Jieun dengan cepat menutup mulut saat menyadari kebodohannya barusan. “Maksudku..eum..maksudku..”

“Sudahlah lupakan, aku mengajakmu kesini bukan untuk membicarakan hal itu.” Katanya cepat.

Jieun mendongak, memperhatikan Baekhyun yang tengah menatap anak-anak yang bermain pasir di depan mereka.

“Maksudmu ?” Tanya Jieun pensaran.

Baekhyun menoleh kearah Jieun dan tersenyum kecil. Jieun terdiam. Ia benar-benar jatuh cinta dengan senyuman itu. jantungnya yang malang kini berdebar-debar tak karuan. Jieun menarik nafas dalam dan berusaha tersenyum juga.

“Aku sebenarnya…” Baekhyun menunduk, kemudian menatap Jieun lagi.

Jieun tanpa sadar Menahan nafasnya. Ia benar-benar gugup. ‘Apa Baekhyun akan menyatakan cinta padanya ?’ Pikirnya. Senyumannya semakin mengembang. Namun saat bibir itu mengucapkan satu nama yang jelas ia tahu, Jieun mendesah berat.

“Aku menyukai temanmu, Jiyeon.”

“Oh..” Dan hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. Jieun menunduk, memainkan sepatunya. Ia benar-benar merasa konyol. Susah payah berusaha mencari baju terbaik. Sudah payah bersikap sebaik mungkin. Bahkan ia sempat percaya jika Baekhyun menyukainya. Namun saat Namja itu mengucapkan nama itu…Jieun merasa ada yang sakit di dalam sana. Ia memang tak bisa melarang Baekhyun menyukai Jiyeon. namun bisakah namja itu melihatnya, walau hanya sebentar ?

Jieun tersenyum miris. Ia benar-benar merasa bodoh kini.

“Kau mau membantuku untuk mendapatkannya kan ?” Tanya Baekhyun.

Jieun termenung. ‘Membantu mendapatkannya ?’. Padahal itu hanya satu kalimat Tanya yang ia sering dengar. Namun saat mendengar itu dari mulutnya, mengapa Jieun merasa sesakit ini. Mengapa ia merasa ingin sekali mengubur kalimat itu sekarang juga.

“Apa yang membuatmu menyukainya ?” Tanya Jieun pelan.

Baekhyun tersenyum. “Segalanya.”

Jieun kembali tersenyum. “Ya. Kurasa aku bisa membantumu.” Membantumu mendapatkannya. Membantumu bahagia dengannya walau aku harus menanggung sakitnya sendirian.

***

Jiyeon menunduk. sesekali menendang kaleng minuman yang berserakan di atas trotoar. Memutuskan untuk tidak naik bus dan berjalan kaki seperti sekarang ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara musim semi yang benar-benar luar biasa segar.

“Seharusnya aku berjalan-jalan seperti ini sejak kemarin.” Gumamnya sendiri.

Ia berjalan riang. Menyusuri trotoar dengan perasaan bahagia. Matanya jeli memperhatikan beberapa pedagang yang  menjajakan barang dagangannya di sepanjang jalan. Membuat beberapa pejalan kaki sengaja menepi hanya untuk makan-makan di warung tenda yang ada.

Saat jiyeon hendak membeli jajanan kecil di sebuah warung tenda yang ada di depan pohon besar, ia terdiam. Mencoba menajamkan kembali penglihatannya.

Ia benar-benar tak salah lihat. Benar. itu..Kim Jongin.

Jiyeon berjalan semakin cepat, bemaksud menyapa namja itu. namun langkahnya terhenti saat ada seorang yeoja di terduduk di hadapan Jongin. Matanya melebar.

“Sudah ku bilang jangan memaksaku !!” Bentak Jongin pada yeoja paruh baya itu.

Jiyeon mengerutkan alis heran. “Bagaimana bisa dia sekejam itu.” Gerutunya.

Dengan cepat Jiyeon berjalan, menghampiri Jongin dan wanita setengah baya itu. dengan satu sentakan cepat Jiyeon mendorong bahu Jongin. Membuat namja itu melotot tajam,

“Kau !” Pekiknya.

Jiyeon menaikan dagu. “Ya. Ini aku. Kenapa ?” Ujarnya menantang.

Jongin memutar bola mata jengah. Bahkan ia hanya diam, saat Jiyeon menunduk dan membantu ibu tua itu untuk berdiri.

“Apa kau sudah gila eoh ? Berani sekali dengan ahjuma ini !” Ujarnya kesal.

Namun Jongin bukannya minta ma’af. Namja itu malah menatap Jiyeon dingin dan menatap Ahjuma itu dengan tatapan benci.

Jiyeon menaikkan alis bingung. “Kenapa kau menatap ahjuma seperti itu, eoh ? Dasar kejam !”

Jongin menatap Jiyeon lagi. lalu melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Jiyeon dengan sejuta pertanyaan yang kini bersarang di benaknnya.

“Ajhuma, kau baik-baik sajakan ?”

Ahjuma itu hanya mengangguk. Tangannya mencoba menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya yang menirus.

“Kenapa ahjuma diam saja. seharusnya ahjuma membentaknya. Dia itu benar-benar namja kurang ajar…dasar gila…!!” Gerutu Jiyeon panjang lebar. Membuat Ahjuma yang berdiri disampingnya tersenyum kecil.

Jiyeon menatap ahjuma itu heran. “Kenapa ahjuma malah tersenyum seperti itu ?”

Ahjuma itu tersenyum. “Dia sebenarnya anak yang baik.”

Saat Jiyeon berusaha bertanya maksud perkataannya. Ahjuma itu lebih dulu menyela.

“Dia anakku.”

Jiyeon mematung. Apa barusan ia tak salah dengar. ‘Anaknya ?’

“Bagaimana bisa..tapi di—dia—

Ucapannya terputus saat ahjuma di sampingnya kembali berkata. “Ya, dia anakku. Kim jongin. Anak bungsuku.” Katanya lagi.

Jiyeon semakin tak mengerti. Anaknya ? Kalau memang benar. kenapa Jongin bersikap seperti itu pada ibunya sendiri.

“Tapi kenapa dia kasar sekali pada ahjuma. Ia bahkan mendorong ahjuma sampai jatuh seperti tadi ?” Tanya Jiyeon masih dengan gurat wajah setengah percaya.

Ahjuma itu hanya tersenyum, menunduk dalam. Jiyeon mengerti..bahkan sangat mengerti dengan arti tundukan itu. ada pedih yang tersimpan disana.

“Dia punya alasan melakukannya. Dan ahjuma pantas diperlakukan sepeti itu.”

Lidahnya terasa kelu. Jiyeon tak dapat berkata apapun lagi. bahkan hanya untuk menenangkan ahjuma yang mulai menangis itu Jiyeon tak bisa.

“Kau mengenal anakku ?” Tanya ahjuma itu pelan, disela tetesan air mata yang masih mengalir.

Jiyeon mengangguk. “Dia kakak kelasku.”

“Ku harap kau bisa merubahnya nak.!” Kata Ahjuma itu penuh harap.

Jiyeon menatap ahjuma itu heran. “Maksud ahjuma ?”

“Dia sepertinya baik padamu.”

Jiyeon melotot tak mengerti. “Apa ? Ya Tuhan ahjuma. Dia sama sekali tak baik padaku. Dia kasar sekali. Bahkan pernah membentakku berkali-kali…” Papar Jiyeon menggebu.

Perlahan ahjuma itu tersenyum, bahkan terkekeh. Jiyeon merasa tenang saat melihat ahjuma itu tak lagi menangis.

“Itu tandanya dia memperhatikanmu.” Kata Ahjuma itu penuh keyakinan. “Dia sebelumnya tak pernah peduli dengan siapa pun. Tak pernah bicara dengan siapa pun dan tak pernah mau tahu urusan siapa pun. Tapi saat melihat bagaimana dia tadi menatapmu. Ia seperti tak ingin membuatmu takut.”

“Eoh ?” Jiyeon masih tak mengerti.

“Kau akan tahu nanti. Ahjuma pulang duluan. Senang bertemu dengan..eum..

“Park jiyeon imnida. “Ucapnya cepat saat tahu maksud ahjuma itu.

“Ne, bangapta Jiyeon. Im Yoona imnida.” Sahut ahjuma itu sambil tersenyum.

Jiyeon ikut tersenyum. Umma Jongin benar-benar cantik. Ia bahkan tak terlihat tua. Sangat cantik dan terlihat penuh kasih sayang.

“Bagaimana bisa namja itu membenci ibu sebaik ahjuma im..?” Dan saat sadar dengan pertanyaannya barusan. Jiyeon tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Dia punya alasan melakukannya. Dan ahjuma pantas diperlakukan sepeti itu

Kata-kata itu tergiang jelas di telingannya.

***

Jongin menghembuskan nafasnya sekuat tenaga. Menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dadanya. Ia benar-benar tak menyangka jika Ummanya memaksa ingin ditemani jalan-jalan di sekitar taman. Awalnya ia memang mengiyakan karena tak kuat dengan rengekannya yang membuat Jongin jengah. Namun kesabarannya menguap saat sang umma memaksanya untuk mencoba beberapa jajanan di warung tenda di pinggir jalan. Bukannya Jongin tak mau. Namun jika harus melakukannya dengan wanita itu –ummanya. Jongin tak pernah mau dan tak akan pernah melakukannya.

Ia menyandarkan punggung pada badan pohon besar di sana –taman belakang gedung tua. Memejamkan matanya seperti biasa. Membiarkan sepoi angin membawa pergi bebannya yang semakin hari semakin menghimpit.

“Ya ! KIM JONGIN !”

See ? Bahkan teriakan itu benar-benar terdengar nyata kini. Jongin menepis khayalannya tentang teriakan gadis itu. semakin memejamkan matanya erat.

“YA ! KAU TULI ?”

Wait ! Jika ini khayalan, kenapa bisa terdengar senyata ini ?

Jongin membuka matanya perlahan. Mengerjapnya dan memperhatikan sekitar.

“Aku disini, bodoh !!” Pekik Jiyeon dari arah samping.

Dan saat Jongin menoleh. Ia melihat gadis itu disana. Park Jiyeon. masih dengan seragam lengkapnya, ia berdiri disana, bertolak pinggang dengan tatapan tajamnya. Sesungguhnya Jongin ingin sekali tertawa melihat ekspresi Jiyeon kini. Wajahnya yang mungil layaknya anak kecil kini tengah memberengut kesal dengan tatapan tajam yang sama sekali tak cocok dengan wajahnya. Namun dengan sikap Cool-nya Jongin berusaha bersikap tenang dan dingin seperti biasanya.

“Bagaimana bisa kau ada disini ?” Tanya Jongin heran.

Jiyeon mendengus kesal. Berjalan cepat kearah Jongin dan duduk di hadapan namja itu. “Aku bertanya. “ Tegasnya.

Jongin hanya ber-Oh ria saja.

“Untuk apa kau mencariku ?” Tanya Jongin lagi.

Jiyeon menoleh. Menatap Jongin tak suka. “Aku mencarimu untuk meminta penjelasan.” Ujarnya mantap.

Jongin memperhatikan gadis itu dengan alis berkerut samar. “Penjelasan ? Maksudmu ?”

Jiyeon menghembuskan nafas, menunduk, lalu memainkan rumput hijau yang menjadi alas mereka duduk.

“Wanita tadi, yang kau bentak di trotoar. Aku tahu, dia ibumu.” Katanya pelan.

Jongin menahan nafas. Ia tercekat. Serasa ada yang mencekik lehernya, membuat ia merasa sulit untuk bernafas.

Jiyeon mendongak. Menatap langit lalu dengan gerakan cepat menatap Jongin. Membuat kedua pasang mata itu bertubrukan. Jiyeon terdiam, menatap pedar bola mata hitam itu. penuh rasa kagum. Begitu pun dengan Jongin. Namun matanya menatap mata bening Jiyeon dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun Jiyeon dapat menangkap sirat kepedihan disana.

Setelah beberapa menit ternggelam dalam pikiran masing-masing. Jongin mengalihkan pandangannya dan memilih hamparan dandelion sebagai objek matanya kini.

“Lalu, kau mau aku menjelaskan apa ?” Tanyanya. Ia sebenarnya hapal apa yang akan Jiyeon tanyakan. Namun Jongin tak ingin menebak. Ia tak suka menebak dan ia lebih suka waktu yang menjawabnya.

Jiyeon menghembuskan nafas yang sejak tadi ia tahan. “Well. Sebenarnya aku tak punya hak untuk tahu semua ini. Aku tahu aku hanya seorang gadis yang baru kau temui beberapa kali. Mungkin aku bisa kau anggap lancang dan kurang ajar karena bertanya sepeti ini. “ Ucapnya pelan. Jiyeon menarik nafas dan menambahkan. “Tapi aku benar-benar penasaran. Dia terlihat begitu baik..Maksudku..Kenapa ? Kenapa kau mempermalukannya seperti itu ? Walau dia berbuat Jahat sekali pun dia tetap seorang ibu yang melahirkan dan merawatmu sejak kecil. “ Papar Jiyeon akhirnya.

Jongin terdiam sebentar. Lalu menarik nafas, mencoba mengumpulkan kekuatan. Menghembuskannya dan tersenyum getir.

“Kenapa kau begitu ingin tahu ?” Tanya Jongin. Sejujurnya ia masih enggan menjawab. Ia hanya merasa ini bukan saatnya.

Jiyeon mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya ingin tahu.” Pelannya.

“Tapi aku tak mau kau ikut campur dan tahu masalahku.” Tegas Jongin tajam.

Jiyeon tersentak. Ia menatap Jongin, namun ia tetap tersenyum. “Itu hakmu. Aku akan mengerti.”

Setelah itu mereka terdiam. Tak ada yang berani memulai percakapan. Membiarkan waktu membuat keduanya yakin dan saling terbuka. Sampai Jiyeon menghembuskan nafas dan memulai.

“Dulu..dulu sekali saat aku berumur delapan tahun. Aku sangat dekat dengan ibuku. Dia seperti sahabat untukku. Aku sangat menyayanginya dan aku akan menangis jika ibu pergi tanpa mengajakku.” Ucapnya pelan. Matanya masih memperhatikan serbuk dandelion yang sesekali tertiup angin.

Jongin menoleh. Namun tak berani berkomentar. Membiarkan gadis itu berceloteh. Sementara ia sendiri mengumpulkan keberaniannya.

“Aku punya satu kakak laki-laki, ia sangat menyayangiku dan begitupun denganku. Tapi sayang aku tak begitu dekat dengan ayah. Banyak temanku berkata jika ia bukan ayah kandungku. Mereka bilang aku hanya anak dari hasil hubungan gelap ibuku dengan mantan pacarnya.” Jiyeon tersenyum miris membayangkan itu.

Lalu ia melanjutkan. “Tapi aku tak perduli. Karena aku juga menyayangi ayahku. Namun suatau waktu. Saat itu ibu sedang pergi ke supermarket dan kakaku telah terlelap dalam buaian mimpi tidur sorenya. Hari itu hujan deras dan aku tengah menggambar di depan televisi bersama ayahku yang sedang membaca Koran. “ Ia memejamkan matanya erat. Jongin bisa melihat kedua tangan Jiyeon yang bertaut erat dan gemetar. Namun gadis itu menarik nafas dan mencoba tenang.

“Aku terlalu asik dengan dunia gambarku hingga tak sadar ayah sudah tak ada di tempatnya. Yang aku sadar selanjutnya ia sudah berdiri dihadapanku, merampas gambarku dan merobeknya. Aku menjerit namun dia tetap merobek semua buku gambarku. Ia menarikku dan menamparku saat aku berusaha berontak. Lalu..lalu..” Jiyeon terengah.  Namun ia kembali menyambung.

Jongin bisa melihat kilatan ketakutan disana. namun ia tak tahu harus berbuat apa.

“Ia menarikku ke luar. Aku terus berteriak kenapa ia melakukan ini dan ia menjawab jika ia membenci kehadiranku, ia berkata jika aku seharusnya mati saat lahir dan ternggelam dalam lautan api neraka. Aku tercengang. Aku baru tahu jika ayah begitu membenciku dan dari situ aku tahu jika aku memang hasil hubungan gelap ibuku. Ayah tiriku terus menarikku, tak perduli dengan isak tangisku, tubuhku yang basah kuyup dan mataku yang memohon ampun. Ia menarikku masuk gudang di belakang rumah, mendorongku masuk kedalam ruangan lembap dan gelap itu. aku terisak meminta dia melepaskanku, namun ia tak mau. Ia mengambil balok dan memukul tubuhku bertubi-tubi…aku…” Dan Jongin bisa dengan jelas melihat setetes air mata jatuh di kedua pipi gadis itu. ia terdiam. Tak mampu berkomentar atau melakukan tindakan apapun. hanya diam dan mendengarkan.

“..Dia terus menyiksaku hingga aku lemah dan terbaring tak berdaya disana. lalu yang aku rasakan selanjutnya hanya kegelapan dan rasa dingin yang menusuk. Rasa sakit yang menyayat. Membuatku bahkan tak mampu bergerak. Ia meninggalkanku sendirian digudang itu. membiarkan petir dan derasnya air hujan menjadi temanku. Dan sejak saat itu aku benci hujan petir dan keheningan. “ Paparnya. Jiyeon tersenyum kecil. Mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“Oh God ! Ada apa denganku, hha…Konyol.” Racaunya lagi.

Jongin masih memperhatikan gadis itu seksama. Sampai bibirnya mengucapkan tiga buah kata yang membuat Jiyeon menoleh cepat kearahnya dan membelakankan matanya.

“Dia membunuh Ayahku.” Ujar Jongin tegas.

Lidah Jiyeon terasa kelu. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia…? Dia…? Apa maksudnya ‘Dia’ itu ‘Ibunya’ ?

Dan pertanyaannya terjawab saat Jongin mulai bercerita.

“Ibuku. Dia membunuh ayahku.” Ulangnya lagi. jongin tersenyum kecil, menengadahkan kepala dan menatap langit yang mulai berubah warna.

“Saat itu musim panas terindah yang aku alami. Aku masih berumur dua belas tahun. Kami sekeluarga berlibur di Daegu. Di sebuah desa indah yang nyaman. Aku amat dekat dengan ayah. Bisa dibilang kami sahabat dekat.” Jongin terkekeh. Membuat Jiyeon semakin tercenung. Ia bahkan baru melihat kekehan Jongin. Tanpa sadar Jiyeon tersenyum.

“Selama beberapa hari kami menghabiskan waktu disana. sampai pada suatu hari. Saat aku terbangun pada suatu pagi, aku tak menemukan ayah dikamarnya, diruang tekevisi atau dimana pun. Aku pun mencari umma dan aku juga tak menemukan dia. “ Jongin menghembuskan nafas dan melanjutkan.

“Aku berusaha mencari ayah masih dengan piayama tidur yang melekat di tubuhku. Dan saat aku mencari di tebing laut –Tempat aku bisa melihat burung camar disana bersama ayah , aku menemukan umma dan ayah yang sedang beradu mulut. Karena takut, aku lalu bersembunyi di antara semak-semak yang ada disana. ayah yang berdiri membelakangi ujung tebing dengan umma yang berdiri dihadapannya.” Jiyeon berusaha menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ia kini paham apa arti kilatan mata Jongin tiap kali ia bimbang mengapa lelaki itu memiliki tatapan tajam sepert itu.

“Yang dapat aku tangkap dari percakapan mereka adalah ayah yang marah karena umma yang berani bertemu dengan mantan pacarnya dan umma yang berusaha mengelaknya. Dan hal yang paling aku benci adalah saat ayah membentak umma dan umma yang menampar ayah cukup keras. Tubuh ayahku terhuyung kebelakang, ia menggerakan kedua tangan berusaha menggapai sesuatu sebagai pegangan. Namun ia tak mendapatkan apapun, hingga tubuhnya terjatuh melayang menembus angin dan tenggelam dalam deburan ombak yang memecah karang. “ Ucap Jongin pada akhirnya. Ia menghembuskan nafas lega. Namun kilatan di matanya masih tetap ada.

“Dan karena itu kau membenci ummamu ?” Tanya Jiyeon hati-hati.

“Dia pembunuh. “ Tegas Jongin tajam.

Jiyeon menggeleng. “Tapi aku yakin dia tak bermaksud seperti itu.” Lanjut Jiyeon.

“Kalau saja ia tak menapar ayah. Kalau saja ia tak bertemu mantan pacarnya semua ini tak akan terjadi. Saat ini aku pasti masih bersama ayahku. Dia pembunuh dan selamanya akan seperti itu.” Tegasnya.

Jiyeon tak mampu lagi merespon atau berusaha bersikap tak setuju. Ia paham betul bagaimana rasanya melihat orang yang kau sayangi terbunuh dihadapanmu sendiri. Apa lagi jika saat itu usiamu masih sangat muda. Itu pasti menyakitkan. Terlebih jika orang yang melakukannya adalah orang yang amat kau kenal betul. Namun Jiyeon yakin umma Jongin pasti tak bermaksud melakukan itu. ia juga pasti punya alasan mengapa bertemu mantan pacarnya. Dan entah mengapa Jiyeon merasa harus mencari tahu. Ia tak mengerti mengapa ia amat ingin membuat hubungan Jongin dan ummanya membaik.

“Kau puas…” Ujar Jongin menatap Jiyeon dingin.

Jiyeon menggeleng dan tersenyum kecil. Membuat Jongin tak mengerti dengan sikap gadis itu. Jiyeon bukannya ikut prihatin atau mengatakan jika ia pantas membenci ibunya. Namun dia malah tersenyum dan menggeleng.

“Aku pikir kau terlalu kekanakan.” Pelan Jiyeon enteng. Ia lalu kembali tersenyum.

Jongin mengatup rahangnya kuat. “Apa katamu ? Kau pikir ini semua lucu, eoh ?”

Jiyeon berhenti tersenyum dan berkata. “Ya, ini semua memang lucu.” Ujarnya.

Jongin semakin tak terima. Ia lalu beringsut bangkit. Berjalan dengan langkah besar menjauhi Jiyeon. namun sebelum namja itu benar-benar pergi Jiyeon berkata lagi.

“Kau berkata jika Ummamu pembunuh ? Lalu yang kau lakukan sekarang apa ? Berusaha membunuh ibumu juga dengan sikap dingin dan acuhmu itu ?” Ujar Jiyeon.

Langkah Jongin terhenti. Ia berdiri disana. membelakangi Jiyeon yang masih duduk menghadap padang dandelion dengan panorama matahari tenggelam dan hiasan langit berwarna jingga dihadapannya.

“Ya, kau mungkin tak membunuh fisiknya. Tapi kau membunuh hatinya, perasaannya dan kau menghancurkan harapannya. Dan kau pikir apa yang lebih menyakitkan dari pada kau hidup tapi kau merasa kau mati ?” Kata jiyeon tegas.

Jongin masih diam. Dia tercenung. Merenung, bergeming. Dan terhanyut dengan pikiran dalam angannya sendiri. Dengan sejuta pertanyaan dan jawaban yang hilir mudik yang sulit ia atur menjadi satu kesatuan jawaban yang selam ini ia cari. Tentang. ‘Mengapa ia begitu tenggelam dalam kenangan buruk dan membenci ummanya sedalam ini ?’ Padahal sudah susah payah ia berusaha mengeyahkan perasaan benci itu, namun hatinya menolak, dan selama ini juga ia terjebak dalam satu pusaran yang sama. Tentang betapa sulit ia menerima takdir dan berusaha melangkah menghadapi masa depan.

Sementara Jiyeon. gadis itu terdiam dalam pikirannya sendiri. Ia selalu bertanya-tanya. Mengapa ia harus terlahir ? Mengapa ayahnya begitu membencinya, sampai ia tega membawa sang umma dan memisahkan mereka berdua. Mengapa ayahnya begitu membencinya hingga menelantarkannya sendirian, walau ia masih memiliki Chanyeol tapi ia begitu merindukan sosok ummanya. Dan Jiyeon merasa jika posisinya saat ini sama dengan posisi umma Jongin. Terasingkan dan dibenci.

“Kau tahu saat kau dibenci oleh orang yang kau sayangi. Itu rasanya menyakitkan. Seperti terhunus pedang es yang beku. Walau akan terasa dingin namun perih itu tetap terasa nyata.”

Jongin berbalik. Menatap punggung Jiyeon yang ada dihadapannya.

“Mengapa akau begitu sok tahu dan cerewet ?” Tanya Jongin. Membuat Jiyeon terkekeh dan berbalik menatap Jongin.

“Karena untuk itulah aku dilahirkan.” Ucapnya.

Jongin tersenyum samar. Namun Jiyeon bisa dengan jelas melihatnya. Dan saat kedua matanya kembali bertubrukan dengan mata hitam Jongin, Ia terdiam. Dan jantungnya yang malang kini berdebar tak karuan. Membuatnya takut jika jongin bisa mendengar debaran itu.

TBC


SHINING STAR (Chapter 5)

$
0
0

shining-star-2

 

Main Cast : Park Ji Yeon – Kim Jongin – Byun Baekhyun

Support Cast : Par Chanyeol – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon

Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst

Length : 5 OF ?

Author : Qisthi_amalia

Backsound : whatever what you want ^_^

-CHAPTER 5-

 

***

Jieun terduduk di depan jendela kamar. Membiarkan sepoi angin malam menemaninya malam itu. setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Ia merasa konyol dan bodoh. Mengapa begitu terlalu berharap pada seseorang yang jelas-jelas tak menyukaimu. Mengapa harus jelas-jelas berharap pada seseorang yang sudah tentu tak menatapmu. Dan yang membuatnya semakin merasa tolol ialah mengapa ia mau membantu namja itu mendapatkan Jiyeon. apa karena ia terlalu menyukai Baekhyun, hingga mau melakukan apapun demi namja itu.

“Suatu saat aku yakin kau akan melihat kearahku.” Pelannya seraya tersenyum kecil.

***

Baekhyun sudah bersandar santai di daun pintu kelas Jiyeon. ia bertekad ‘Mulai lebih awal lebih baik’. Bibirnya tak henti mengumbar senyum pada beberapa adik kelas yang melewatinya. Bermuka manis demi mendapat perhatian tak dilarang bukan. Jadi itulah aksi yang dilakukan Baekhyun sambil menunggu Jiyeon datang.

Matanya kembali memperhatikan tikungan tangga di ujung koridor kelas X, karena itulah jalan satu-satunya menuju koridor ini. Dan saat matanya menangkap sosok gadis berambut hitam sebahu, dengan tas orange dan senyuman lebarnya Baekhyun langsung tersenyum juga. Gotcha ! Pekiknya dalam hati.

Ia berlari cepat menghampiri Jiyeon, saat gadis itu hanya berjarak beberapa meter darinya.

“Hai..” Sapanya duluan sambil tersenyum semanis mungkin.

Jiyeon menatap Baekhyun heran. “Annyeong sunbae. Ada apa ?” Tanyanya bingung.

Baekhyun lalu kembali tersenyum dan berdiri di samping Jiyeon. ia juga melirik sekilas kearah Jieun yang menatapnya datar namun Baekhyun dapat melihat senyuman tulus disana.

“Hai Jieun..” Sapa Baekhyun sambil melambai kearah Jieun yang berdiri disamping Jiyeon.

Jiyeon tersenyum kecil. “Annyeong sunbae.” Katanya, lalu menambahkan. “Jiyeon~aa, aku ke kelas duluan yah.” Ujarnya. Dan tanpa menunggu jawaban Jiyeon, Jieun memilih melangkah cepat kearah kelas dan terduduk di tempat duduknya. Membenamkan wajah mungilnya di atas meja.

.

.

“Ada apa sunbae kesini ?” Ulang Jiyeon sambil menatap Baekhyun heran.

Baekhyun tersenyum kecil lalu menarik lengan Jiyeon cepat. gadis itu berontak namun Baekhyun lagi-lagi hanya tersenyum.

“Diam. Aku tak akan menculikmu.” Katanya.

Akhirnya Jiyeon hanya diam. Membiarkan Baekhyun membawanya meninggalkankan koridor kelas X, meniti tangga, melewati koridor utama dan berhenti di bawah pohon dekat perpustakaan.

“Nah sekarang duduk disini.” Ucap Baekhyun lalu mendudukan Jiyeon di kursi kayu dibawah pohon.

Jiyeon hanya menurut dan duduk disana. sementara Baekhyun berlari ke kantin dan kembali dengan dua botol minuman dingin.

“Minumlah. Aku yakin kau lelah.” Sambung Baekhyun. Tangannya terulur dengan sebotol minuman dingin di lengannya.

Jiyeon menggapai botol itu sambil mengernyit. “Sunbae. Sebenarnya ada apa ?” Tanyanya lagi.

Baekhyun tak menjawab langsung. Ia lebih dulu duduk disamping Jiyeon. memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Setelah itu Ia membuka mata dan dengan satu gerakan cepat menoleh kearah Jiyeon. membuat wajah mereka kini hanya berjarak beberapa centi saja. baekhyun tersenyum. Sementara Jiyeon membulatkan mata dan menahan nafasnya sekuat tenaga. Mereka terdiam seperti itu beberapa saat sampai Baekhyun terkekeh dan mengalihkan pandangannya.

“Kau lucu.” Ucapnya sambil tertawa.

Jiyeon mempoutkan bibirnya kesal. “Jadi mengajakku kesini hanya untuk diejek ?” Tanyanya dengan wajah ditekuk.

Baekhyun tersenyum kecil, menggeleng lalu mengacak rambut Jiyeon . membuat Jiyeon terdiam dengan kedua pipi memerah.

“Sunba-bae..”Pelannya.

Baekhyun lalu menghentikan tawanya dan menatap Jiyeon. “Aku kesini hanya untuk melihatmu lebih dekat.” Pelannya.

Jiyeon membulatkan matanya. “Hah ? Maksud sunbae ?”

Baekhyun tersenyum lagi. “Oppa. Kau harus memanggilku oppa. Ara ?”

Jiyeon mengerutkan alis. “Tapi…tapi sunba—bae..”

Baekhyun memutar bola matanya. “Oppa. Bukan Sunbae. Arra…Jebbal.!”

Jiyeon menatap Baekhyun lagi sambil menatap namja itu bingung. Namun ia akhirnya mengangguk. “Baiklah..”

“Bagus. Sekarang coba panggil aku, oppa…” Kata Baekhyun .

Jiyeon sedikit enggan namun akhirnya ia mencoba.” Oppa…Baekhyun oppa..” Pelannya.

Baekhyun terkekeh lalu kembali mengusap puncuk kepala Jiyeon. membuat gadis itu kembali diam. Ia merasa sedikit…entahlah aneh. Sikap Baekhyun terlalu cepat dan seperti bukan dirinya. Pertama kali melihat Baekhyun namja itu memang terlihat baik. Tapi setelah melihat bagaimana cara dia menatap Jongin saat di pelataran parkir. Jiyeon menangkap ada sesuatu yang ganjil dianatara kedua namja itu. dan ia benar-benar yakin ada sesuatu antara Baekhyun dan Jongin.

“Nah, sekarang aku akan mengantarmu kembali ke kelas.” Ucap Baekhyun lalu berdiri dan mengulurkan tangan.

Jiyeon menggeleng cepat. “Tak usah. Aku bisa sendiri.”

Baekhyun ikut menggeleng. “Tidak bisa. Aku yang harus mengantarmu kembali karena aku yang membawamu kesini.” Katanya tegas.

Jiyeon lalu menatap uluran tangan itu dengan perasaan enggan. Dan sebelum ia meyakinkan diri Baekhyun sudah dulu menarik tangannya seperti tadi dan kembali membawanya berlari menuju kelasnya.

Jiyeon tersenyum kecil. Menatap punggung itu sambil tersenyum. Ia lebih merasa Baekhyun itu seperti Chanyeol. Kakaknya.

***

Joonmyeon membolak-balik buku ditangannya. Membaca sinopsis dan kembali melihat covernya. Toko buku sore itu tak begitu ramai. hanya ada segelintir orang saja yang sengaja datang hanya untuk membaca atau pun membeli buku. Joonmyeon memilih berdiri di jajaran rak buku Psikolog. Entahlah, akhir-akhir ini ia jadi sering membaca buku Psikologi.

Setelah yakin dengan satu buku tebal di tangannya. joonmyeon kembali mencari buku-buku yang lain. Dan saat ia melihat ada satu buku yang menarik dirak kedua Ia segera berjalan kearah sana, namun sebelum Joonmyeon hendak meraih buku itu, sepasang lengan seseorang mendahuluinya. Joonmyeon menatap buku yang sudah berpindah tangan itu dengan tatapan sedih. Pasalnya itu buku terakhir yang tersisa.

Dan saat joonmyeon mendongak, ingin melihat siapa yang mendahuluinya. Matanya kembali bertemu dengan sepasang bola mata hitam bulat yang dulu pernah ia lihat.

“Kau..” Pekik Gadis dihadapan Joonmyeon lebih dahulu.

Joonmyeon hanya bisa tersenyum dan mengangguk. “Annyeong. Senang bertemu lagi.” Katanya.

Gadis itu juga tersenyum kemudian membungkuk. “Ne, annyeong. Soojung imnida.” Ucapnya.

“Kim Joonmyeon imnida..”

Soojung menatap namja dihadapannya dengan mata berbinar. Ia benar-benar tak menyangka akan bertemu lelaki itu lagi ditempat yang sama. Namun tentu saja dalam keadaan yang berbeda. Lalu matanya beralih pada buku yang Joonmyeon pegang.

“Kau suka psikolog juga ?” Tanya Soojung antusias.

“Ya begitulah..” Ia tersenyum kecil, lalu menambahkan. “Kau ?”

Soojung mengangkat buku ditangannya. “Ku pikir kita sama. Karena aku juga suka psikolog.”

Joonmyeon mengangguk. “Kau tahu, tadinya aku juga ingin membeli buku itu.”

Soojung membulatkan matanya. “Benarkah ? Kalau begitu kau boleh mengambilnya. Ku pikir kau lebih perlu.” Ujar Soojung lalu mengulurkan buku ditangannya.

Joonmyeon dengan cepat menggeleng. “Tidak usah. Untukmu saja.” Ucapnya.

Soojung menaikan alisnya. “Kenapa ?”

Joonmyeon tersenyum kecil. “Karena nanti aku akan meminjamnya darimu. Kebetulan aku sedang menabung jadi jika kau yang membelinya aku tak perlu mengeluarkan banyak uang.” Kemudian Ia terkekeh. Membuat Soojung yang melihatnya juga ikut tersenyum.

“Ide bagus. “Sahut Soojung lalu menjentikkan jarinya.

“Ngomong-ngomong, mau sekarang ke kasir ?”

***

Jiyeon merebahkan tubuhnya pada ranjang empuk favoritnya. Disebelahnya Jieun juga melakukan hal yang sama. Ya, tadi saat bel pulang sekolah Jieun tiba-tiba ingin ikut pulang kerumahnya. Jiyeon sih tak ada masalah, karena sejak SMP Jieun memang sering main kerumahnya. Bahkan sampai menginap selama 2 hari. Jiyeon dan keluarga Jieun juga cukup dekat, apalagi umma Jieun yang begitu baik, terkadang membuat Jiyeon merasa nyaman.

“Lelahnya..” Erang Jieun, lalu meraih guling lumba-lumba berbulu dan memeluknya erat.

Jiyeon mengangguk setuju. “Kau mau minum ?”

Jieun mengangguk. “Lemon ice please..” Ujarnya sambil tersenyum.

Jiyeon bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju dapur.

Sementara Jiyeon sibuk di dapur. Jieun memejamkan matanya erat dan membukannya kembali. Menghela nafas kemudian menatap langit-langit kamar Jiyeon. ia selalu suka menatap kertas emas berbentuk bintang yang tertempel diatas sana. Membuatnya tak pernah merasa sendiri jika menginap kesini. Pasalnya Jieun memiliki kebiasaan bangun tengah malam dan terjaga selama beberapa jam. Dan jika hal itu terjadi, Jieun biasanya akan menatap langit-langit kamarnya. Dan ia selalu suka melakukan itu jika menginap di rumah Jiyeon. karena bintang-bintang itu akan bersinar jika lampu kamar dimatikan.

“Yeppoh…” Pelannya sambil tersenyum.

“Kau begitu beruntung.” Lanjutnya lagi dan masih dikuti senyum yang sama.

“Siapa yang beruntung ?” Tanya Jiyeon yang datang dengan dua gelas lemon ice ditangannya.

Jieun menggeleng cepat. “Bukan siapa-siapa.” Ucapnya sambil menyambar cepat gelas lemon ice di tangan Jiyeon dan meneguknya sampai habis.

Jiyeon terkekeh. “Hey..Hati-hati kau bisa tersedak..” Ujarnya sambil terkekeh melihat Jieun yang langsung tersedak.

Jieun merengut kesal. Menyeka tetesan lemon di ujung bibirnya. Namun ekspresinya berubah datar saat ia melihat Jiyeon masih terkekeh melihatnya.

‘Kau bahkan sangat cantik jika tersenyum.Tak salah Baekhyun menyukaimu’

Jiyeon yang menyadari Jieun yang tiba-tiba berubah datar langsung menghentikan aksi tawanya.

“Kau baik-baik saja ?”

Jieun tersadar dan langsung mengangguk cepat. “Aku baik-baik saja.”

“Anyway bagaimana jika kita bermain puzzle ?” Jiyeon meminta dengan mata berbinar berharap Jieun berkata Ia. Namun harapannya seketika memudar saat melihat gelengan cepat kepala Jieun.

“Shireo ! Kau tahu jelas aku payah bermain Puzzle.” Rengutnya kesal.

“Lalu, kau maunya apa ?”

Jieun menjentikan jarinya. “Bereksperimen.”

Jiyeon yang mendengar itu seketika berdebar. Ia tahu betul apa arti kata ‘Eskperimen’ yang terlontar dari mulut Jieun. Karena itu artinya kehancuran dan keributan. Oh No !!

Jieun tertawa senang saat melihat ekspresi wajah Jiyeon yang berubah pucat. Dengan sigap dan cepat ditariknya tangan Jiyeon dan dibawanya menuju dapur.

“Let’s have fun honey…!!” Teriak Jieun diiringi seringai bahagia.

***

Setelah turun dari motor, Jongin tak langsung masuk kerumah. Lebih dulu, Ia menatap rumah itu dari luar. Di perhatikannya setiap inci bagian luar rumah itu. mulai dari pagar besi yang dicat cokelat tua. Taman bunga yang selalu dirawat sang umma dengan sebuah kolam kecil milik Joonmyeon kakaknya yang terletak ditengah-tengah taman bunga. Kemudian teras depan dengan satu meja kayu dan dua kursi yang terbuat dari besi berhiaskan bunga matahari di tengah-tengahnya.

Setelah itu, Jongin menarik nafas dan meyakinkan diri. Dengan langkap setengah ragu ia berjalan menuju pintu. Di tekannya bel rumah. Satu kali..dua kali…tiga kali. Tak ada reaksi apapun dari dalam. Jongin menarik nafas kembali. Lalu diketuknya pintu rumah beberapa kali, dengan hati berdebar ia menunggu. Namun nihil. Tak ada yang membukakannya pintu.

Jongin mengerang. Kesabarannya sudah habis, lalu dengan satu gerakan cepat ia membuka pintu – yang memang tak dikunci itu dengan cepat dan menutupnya dengan keras.

Tadinya Ia berniat untuk berbaikan dengan sang umma. Namun saat melihat rumah itu begitu sepi, dan tak ada lagi yang menyambut kedatangannya. Jongin menjadi enggan. Dengan langkah cepat ia berjalan menuju dapur, tak melirik ruang keluarga lebih dahulu. Dan tak ada siapa pun disana. bahkan tak ada makanan di atas meja makan. Padahal ini waktunya makan siang sekaligus waktunya ia pulang.

Jongin kembali mengerang. Apa sang umma sudah tak perduli lagi ?. Jongin tersenyum sinis. Ia sudah tahu akan seperti ini. Pada akhirnya wanita itu akan lelah dan menyerah. Dan pada akhirnya wanita itu juga akan mengabaikannya.

“Sial !” Gerutunya kesal.

Dengan langkah cepat dan tergesa Jongin membalikan badannya dan hendak keluar dari rumah. Namun sebelum kakinya mendekati ambang pintu. Matanya menangkap sesuatu yang terasa tak asing. Dan untuk memastikan apa yang ia lihat. Jongin memberanikan diri berjalan menuju ruang keluarga.

“Umma..” Pekiknya pelan.

Jongin menatap sang umma yang sedang terlelap diatas sofa. Kepala disandarkan pada sandaran kursi dengan kedua kaki yang ditekuk. Dan matanya semakin membulat saat melihat sebuah cake yang tersimpan diatas meja. Dan yang membuat Jongin tak mampu berkata-kata adalah tulisan yang ada di atas cake itu.

Saengil chukae Uri Kim Jongin. Saranghae.’

Jongin hapal betul cake itu, ia juga hapal betul tulisan itu. bahkan ia juga hapal betul aroma dari kue itu. Dulu, saat ia berusia 10 tahun, Ia juga menemukan hal yang sama. Kue seperti itu, tulisan ulang tahun seperti itu dan aroma kue seperti itu. dan Jongin tahu betul jika yang selalu membuat semua itu adalah orang yang sama. Ummanya.

Diatas cake dengan hiasan krim cokelat pada pinggirannya itu tertancap lilin dengan nomor 18. Jongin merasa matanya memanas. Ia tak pernah menyangka jika wanita yang selama ini ia benci bahkan masih mengingat ulang tahun dan umurnya saat ini.

Tanpa sadar Jongin meluruh lunglai. Jatuh terduduk diatas lantai – dihadapan wajah sang umma yang terlelap. Ia menunduk, pandangannya mengabur. Namun sekuat tenaga ia tahan air mata itu. perlahan, ia mendongak. Menatap wajah seseorang yang begitu ia benci namun begitu ia sayangi itu.

Jongin meringis. Bahkan ia tak sadar jika ada lingkaran hitam dibawah mata itu. ia tak sadar jika pipi itu menirus dan cekung. Jika tubuh itu mengurus. Ia tak sadar. Selama ini ia selalu egois. Ia selalu mementingkan perasaan dan emosinya tanpa perduli perasaan seseorang yang tersakiti. Seseorang yang selama ini selalu menyayanginya walau ia enggan menerima rasa sayang itu. seseorang yang memperhatikannya walau ia mengabaikan. Seseorang yang begitu sabar dan mencintainya. seseorang yang ia panggil umma. Seseorang yang kini tengah terlelap dengan wajah lelah dihadapannya. Ummanya yang berhati malaikat.

Dan tanpa ia sadari. Tanpa ia bisa kendalikan. Air mata itu jatuh begitu saja. mengalir membasahi kedua pipinya. Jongin enggan menyeka. Ia membiarkan semua itu mengalir. Membiarkan waktu mengingatkannya. Sebagaimana sebelumnya juga terjadi. Saat sang waktu memaksanya untuk terus memupuk rasa benci itu. Dulu. Dulu sebelum kini ia sadar jika wanita itu –Sang umma begitu berharga untuk Ia sia-siakan.

Detik itu ia bertekad. Detik itu juga ia berkata.

“Aku menyayangimu umma.”

***

Peluh membasahi keningnya. Namun Chanyeol tak memperdulikannya. Tangannya terus menari diatas keyboard. Ia tak begitu perduli dengan tangannya yang mulai mati rasa. Ia bahkan tak perduli dengan wajahnya yang kini memucat. Yang ia perdulikan ialah pekerjaannya cepat selesai dan ia bisa beristirahat. Ia berharap bisa kembali seperti dulu. Berangkat kuliah bersama Jiyeon. makan siang dirumah dan bercanda bersama sang adik. Namun semua itu hanya mimpi sekarang. Bahkan hampir seharian waktunya ia habiskan diruangan pengap bernama kantor.

‘Tik’

Dan chanyeol tak bisa melakukan apapun saat jemarinya memprotes dan tak mau digerakan lagi. chanyeol menyadarkan tubuhnya pada kursi. Memejamkan matanya kuat. Sebetulnya ia tak sanggup. Sebetulnya ia tak ingin seperti ini. Namun apa ia berhak mengatakan kata ‘Sebetulnya’ jika sang waktu saja enggan berpihak kedapannya.

“Kau baik-baik saja ?” Tanya Shinyeong patner kerjanya.

Chanyeol tersenyum kecil dan mengangguk. “Aku baik-baik saja.” Pelannya.

Shinyeong menghela nafas. “Kau terlalu memaksakan diri. Pulanglah. Besok kita lanjutkan.” Ujarnya sambil menyodorkan segelas air putih keatas meja Chanyeol.

Masih dengan senyum yang sama Chanyeol berucap. “Terima kasih. Tapi aku masih bisa menyelesaikan semua ini.” Katanya bersihkeras lalu meneguk habis air putih dihadapannya.

Shinyeong menatap Chanyeol tak percaya. Saat pertama kali Manager Hwang memintanya menjadi patner kerja Chanyeol, Shinyeong sudah hapal jika namja dihadapannya ini adalah seorang pekerja keras, karena jarang sekali ada namja ber-umur 20-an bisa menangani proyek sebesar ini. Namun Shinyeong juga tak menyangka jika Chanyeol se-pekerja keras ini. Sampai tak memperdulikan kesehatannya sendiri.

“Oh my God. Look Chanyeol, wajahmu sekarang sudah seperti mayat hidup. Jadi sebelum kau mati mengenaskan dengan cara tak elit disini. Lebih baik kau sekarang pulang. Oke.”

Chanyeol tertawa mendengar omelan Shinyeong. Tak bisa ia pungkiri, ia begitu berterima kasih pada yeoja dihadapannya ini. Kalau Shinyeong tak terus mengomelinya untuk beristirahat atau sekedar makan siang mungkin sekarang ia sudah mati mengenaskan. Oke mungkin ini terdengar mendramatisir. Tapi itulah kenyataannya.

“Oke oke. Hentikan omelanmu yang tak masuk akal itu. bilang saja kau sudah bosan melihat wajahku.” Ujar Chanyeol tersenyum lalu membereskan beberapa map dimeja dan mematikan laptopnya.

Shinyeong terkekeh. “Well, maybe. Tapi lebih tepatnya aku akan merasa amat bersalah jika membiarkanmu terus teronggok di tempat membosankan seperti ini.”

Chanyeol kembali tertawa. Shinyeong memang selalu bisa menanggapi setiap ocehannya dan selalu sukses membuatnya terhibur. Saat pertama kali manager Hwang memperkenalkan Shinyeong padanya Chanyeol menduga gadis itu pendiam dan cenderung tak begitu berpengalaman. Namun semuanya salah. Shinyeong gadis yang ceria, enak diajak bicara dan pemikirannya pun cerdas. Ia selalu berpikir kritis dan sangat pintar menangkap suatu hal dengan cepat. chanyeol bahkan sampai dibuat terkagum-kagum saat gadis itu mengajukan sebuah ide yang benar-benar ‘Amazing’ menurutnya.

“Tapi tentu saja itu tak akan terjadi. Karena nona Shinyeong yang cerewet ini akan terus mengomeliku untuk pulang. Jadi tak ada kesempatan sang pencabut nyawa untuk membawaku pergikan.” Sela Chanyeol sambil memasukan beberapa berkas dalam tas ranselnya.

Shinyeong tersenyum kecil. Lalu ia menatap ransel Chanyeol. “Sampai kapan kau akan berbohong Chanyeol.”

Chanyeol yang pada dasarnya tak begitu memperhatikan arah pandangan Shinyeong karena asik membereskan meja. Otomatis mengerutkan asli bingung.

“Maksudmu ?”

Shinyeong tersenyum kecil lagi. “Adikmu. Sandiwaramu dan tentang semua ini. Sampai kapan kau akan terus seperti ini dan berbohong padanya ?”

Dan Chanyeol hanya bisa terdiam. Tak mampu menjawab. Tiap kali pertanyaan itu terlontar dari bibir Shinyeong. Dan Poin tertinggi mengapa Chanyeol bisa mengatakan Shinyeong cerdas adalah karena gadis itu satu-satunya orang yang mengetahui rahasinya. Bagaimana Shinyeong yang memperhatikan gaya berpakainnya saat tiba dan akan berbeda setelah Chanyeol keluar toilet kantor. Lalu bagaimana Chanyeol menggunakan ransel yang pada umumnya hanya digunakan oleh anak-anak remaja untuk berangkat kuliah. Dan bagaimana Chanyeol yang akan selalu gugup jika disinggung masalah keluarga. Shinyeong satu-satunya orang yang berani bertanya tentang semua keanehannya dan Shinyeong jugalah orang pertama yang mengetahui semuanya.

“Ada saatnya dimana kita harus diam untuk beberapa saat. Aku hanya tak ingin semuanya terungkap terlalu cepat. “Pelan Chanyeol.

Shinyeong berdecak. “Kau pengecut.”

Mata Chanyeol membulat. Menatap Shinyeong yang juga tengah menatap dengan mata hitamnya.

“Kau namja pengecut yang paling parah yang pernah ku temui. “Sambungnya.

Chanyeol mengatup rahangnya. “Apa yang kau katakan. Kau tak mengerti apapun.” Bentaknya.

Shinyeong tersenyum. “Mereka yang berani berbohong namun berani berkata jujur itu bisa dima’afkan. Namun mereka yang berani berbohong namun tak mampu berkata jujur itu tak bisa dima’afkan. Dan aku menyebut orang itu Pe-nge-cut.” Tegas Shinyeong.

Chanyeol terdiam.

“Pikirkanlah baik-baik chanyeol. Lebih baik dia mendengar semuanya dari mulutmu sekarang daripada dia melihat langsung tanpa mengetahui apapun darimu. Bukankah itu akan terasa lebih menyakitkan.”

Chanyeol menatap kedua bola mata Shinyeong nanar. Namun pada akhirnya ia hanya bisa menunduk.

“Tak sekarang. Tidak pada saat aku belum mendapatkan projek itu Shinyeong.” Gumam Chanyeol.

Shinyeong tersenyum tulus. Berjalan kearah Chanyeol dan menepuk bahu tegap namja itu.

“Aku hanya berharap pada saat itu ia masih belum tahu. Atau lebih tepatnya, aku berharap kau tidak terlambat.”

Chanyeol mendongak dan kembali bertemu mata hitam itu. ia mengangguk dan tersenyum.

“Doakan aku dan bantu aku. Aku ingin semua ini cepat selesai dan berharap semua kembali seperti dulu. “Pelannya.

Shinyeong mengangguk. “Dengan senang hati akan ku bantu.”

***

Yoona mengerjapan matanya perlahan. Mencoba menyesuikan kondisi matanya yang masih berkunang. Setelah selesai membuat kue untuk ulang tahun Jongin tadi siang, ia tiba-tiba merasa pusing dan tertidur di sofa ruang keluarga. Namun ia tak ingat jika ia sempat berjalan dan berpindah kekamarnya. Karena kini ia tengah berbaring diatas tempat tidur dengan handuk kecil dingin diatas dahinya.

Yoona hendak bangkit dan mengecak kue diatas meja, sebelum matanya membulat dan menenukan siapa yang tengah terduduk diatas lantai dengan kedua tangan yang menopang kepalanya yang disandarkan ke tempat tidur.

“Jongin~aa..” Pelannya tak percaya.

Yoona menahan dirinya untuk menangis dan memeluk tubuh itu erat. Ia lebih memilih tersenyum, bangkit dan duduk diatas tempat tidur. Di usapnya kepala Jongin dengan penuh kasih sayang. Tak terasa air matanya jatuh begulir. Ia tak ingat. Sudah berapa lama ia tak mengelus rambut ini. Sudah berapa lama ia tak melihat wajah damai Jongin ketika tertidur. Tanpa sadar air mata itu semakin banyak membasahi pipinya. Yoona meringis. Ia bahagia. Ia tak perduli atas dasar apa Jongin melakukan semua ini, karena yang tahu saat ini ia begitu bahagia. Ia begitu senang melihat Jongin ada disampingnya.

Eung~

Yoona dengan cepat menarik lengannya saat mendengar lenguhan Jongin. Matanya mengerjap dan menatap Yoona dengan tatapan teduh. Yoona tercengang saat melihat Jongin tersenyum kearahnya. Bahkan ia hanya mampu mematung saat Jongin juga menyeka air matanya.

“Jongin~aa…” Pelannya.

Jongin tersenyum. Tangannya terulur, mengusap tetesan air mata yang membasahi pipi ummanya. Disela senyumannya, ia menahan perih. Dadanya terasa sesak. Sekuat tenaga Jongin mengatur emosinya. Sesekali menengadah, menahan air matanya agar tak keluar. Namun usahanya sia-sia, saat sang umma menangkup kepalanya dan tersenyum begitu tulus kearahnya. Jongin hanya mampu diam. Membiarkan air mata itu akhirnya mengalir.

Yoona tak mampu berbicara. Ia hanya menatap wajah anaknya penuh rindu. Dengan rasa haru yang menyelimuti hatinya, yoona tersenyum. Menarik Jongin dalam pelukannya. Mengusap belakang kepala anaknya dan berkata pelan.

“Uljima. Jangan menangis, eum “

Jongin tersenyum kecil. Mengangguk. “Mian,” Ucapnya. Menarik nafas kemudian melanjutkan. “Chinja mianhe Umma.”

Yoona menggeleng cepat. “Jangan meminta ma’af, karena kau tak pernah melakukan kesalahan apapun.”

“Umma..?” Jongin melepaskan pelukan itu. menatap sang umma penuh rasa bersalah.

Namun Yoona hanya menggangguk. “Umma tak pernah membencimu. Sedikit pun. Tak pernah. Jadi jangan pernah meminta ma’af.”

Jongin menahan nafas. Dadanya semakin sesak. Ia tak tahu harus berkata apa. Kini ia bisa melihat dengan jelas. Sangat jelas. Segalanya. Yah…Segalanya. Tentang betapa sang umma yang begitu menyayanginya. Tak perduli berapa buruk Ia bersikap. Namun hatinya seputih salju, sebening air. Begitu suci dan Jongin benar-benar menyesali segalanya.

“Gomawo..Chinja gomawo Umma..”

***

Joonmyeon tersenyum dari balik pintu. Ia mengusap air matanya dengan cepat. tangannya terulur, meraih gagang pintu dan dengan satu gerakan pelan pintu itu tertutup.

Ia tak tahu harus berkata apa. Melihat itu semua membuat perasaan Joonmyeon lega. Ia begitu menantikan moment itu sudah sangat lama. Ia rindu kembali berkumpul. Ia rindu adiknya Jongin yang dulu dan ia rindu tawa lepas sang umma. Dan ketika melihat kejadian tadi, Senyuman Joonmyeon kembali merekah. Hatinya terasa hangat. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja setelah ini.

***

Sedan merah itu berhenti tepat di depan pagar besi cokelat tua bernomor 25. Seseorang dari balik kemudi nampaknya enggan mematikan deruan mesin mobilnya. Membiarkan seseorang yang duduk disampingnya keluar terlebih dahulu.

“Gomawo sudah mengantarku Shinyeong~ssi.” Ujar Chanyeol.

Shinyeong mengangkat tangan dan mengacungkan ibu jarinya. “Tak masalah.” Sahutnya dengan senyuman riang.

Chanyeol tersenyum kecil. “Sampai besok.” Katanya sambil melambai.

Shinyeong mengangguk kecil dari balik kemudi. Menutup kaca mobil lalu kemudian melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang. Menembus jalanan perumahan yang lengang dan sepi.

Setelah mobil itu menghilang ditikungan pertama, Chanyeol baru menghela nafasnya. Ia menurunkan bahunya mencoba rileks. Menatap bangunan rumah dihadapannya. dengan sejuta rasa bersalah di benaknya Chanyeol memberanikan diri untuk melangkah. Membuka pagar itu pelan dan melangkah gontai menuju teras.

Dihadapan pintu kayu itu Chanyeol berdiri. Belum ada niat untuk mengetuk atau pun berteriak memanggil seseorang yang sudah pasti ada di dalam. Chanyeol menghembuskan nafas berat. Dan dengan gerakan cepat..Ia merubah ekspresi wajahnya. Tangannya yang tadi terasa berat kini dengan ringan terangkat dan mengetuk pintu itu.

“Sweetheart…!!”

Ia berteriak sambil tersenyum lebar. Tersenyum…Menutupi segalanya.

Dan saat pintu itu terbuka. Menampilkan sosok gadis manis bernama Park Jiyeon dengan piayama hijau pucatnya, Chanyeol semakin tersenyum lebar. Seolah tanpa beban tangannya terangkat dan mengacak rambut Jiyeon. gadis itu merengut dan memukul bahu Chanyeol. Chanyeol hanya terkekeh dan dengan cepat menarik tubuh Jiyeon dalam pelukannya.

“Bogoshipo.” Pelannya sambil memejamkan mata sejenak.

Jiyeon mengernyit heran. “Oppa, kau kenapa ?” Tanyanya heran.

Chanyeol membuka matanya cepat. melepaskan pelukan itu, padahal ia begitu nyaman memeluk tubuh jiyeon. ia selalu merasa nyaman. Sejak dulu, jika hujan datang bersama petir, Jiyeon pasti akan berlari kekamarnya dan meminta Chanyeol memeluknya sampai Ia tertidur dipelukan Chanyeol. Dan sejak saat itu Chanyeol suka memeluk Jiyeon. ia akan selalu merasa nyaman dan merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Aku ? Kenapa ? Tak apa. Aku baik-baik saja.” Ujar Chanyeol sambil cengengesan dan berjalan masuk kedalam rumah. Membuat Jiyeon terdiam dan merasakan sesuatu.

“Katakan !” Kata Jiyeon tegas.

Langkah Chanyeol terhenti. Ia menunduk namun tak lama tersenyum kecil. Berbalik dan menatap Jiyeon dengan senyuman jahilnya.

“Katakan apaanya Sweetheart ?” Tanyanya sambil tersenyum.

Jiyeon menghembuskan nafasnya. “Katakan jika kau tak baik-baik saja !” Lanjutnya.

Senyuman dibibir Chanyeol perlahan memudar. Menyisakan guratan samar senyum kecil disana.

“Aku mengenalmu bukan sehari dua hari oppa. Kita hidup satu rumah sudah bertahun-tahun. Aku tahu betul dirimu. Sehebat apapun oppa berakting jika semua baik-baik saja, kau tetap tak bisa membohongiku. Karena matamu mengatakan segalanya. Segalanya yang benar-benar terasa salah.” Tegasnya.

Masih berdiri ditempat yang sama. Chanyeol menatap Jiyeon lurus-lurus. Ia tahu. Ia hapal. Sehebat apapun ia berakting, Jiyeon akan selalu tahu. Karena Jiyeon begitu memahami sifatnya dengan baik. Namun Chanyeol belum mau mengatakan semuanya sekarang. Ia masih butuh waktu. Jadi yang ia lakukan adalah dengan cepat merubah ekpresi wajahnya seceria mungkin.

“Aigo, Sweetheart kau sedang bicara apa, eoh ?” Tanya chanyeol sambil tersenyum, melangkah cepat kearah Jiyeon lalu merangkul bahunya cepat.

“Aku baik-baik saja. sungguh !” Kata Chanyeol menegaskan.

Jiyeon menyelidiki mata Chanyeol dengan hati-hati dan ia masih merasa ada sesuatu yang salah.

“Tapi aku masih merasa ada yang oppa sembunyikan dariku.”

“Tak ada. Tak ada apapun yang oppa sembunyikan.”

Jiyeon enggan percaya. Ditatapnya mata Chanyeol lagi. namun kali ini Chanyeol mengelak dan ia menghindari tatapan mata Jiyeon. dan hal itu semakin membuat Jiyeon yakin jika..Chanyeol sedang tidak baik-baik saja.

“Aku merasa kau terasa jauh oppa..” Pelan Jiyeon.

Chanyeol mendongak. “Menjauh. Oh Come on Sweetheart, oppa hanya berdiri beberapa meter darimu.”

Jiyeon tersenyum kecil. “Itu hanya ragamu karena dirimu yang sebenarnya sedang berkelana entah kemana.”

Chanyeol semakin terdiam. Ia enggan menjawab. Bahkan sampai Jiyeon mengucapkan selamat malam dan beranjak dari sana. Chanyeol masih diam ditempat yang sama. Dengan perlahan Chanyeol mencoba menggerakan kakinya yang terasa berat untuk berjalan, langkahnya terseok dengan kepala tertunduk. Setelah sampai dikamarnya. Chanyeol berjalan kearah lemari. Berdiri tepat didepan cermin besar di sana. Ia mengamati dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Senyuman kecil tersungging dibibirnya.

“Kenapa kau pergi terlalu jauh, Park Chanyeol,” Gumamnya pada bayangannya sendiri. Matanya berkilat. Semuanya berkelebat disana.

“Seharusnya kau pulang dan selesaikan semua ini, Park Chanyeol. Pulanglah…Pulanglah.”

 

 

[TBC]


When Author Meets Editor (Chapter 1)

$
0
0

Poster - When Author Meets Editor

Title
When Author Meets Editor

Author
Voldamin-chan

Length
Oneshoot

Rating
PG-15

Genre
Romance

Cast
Kwon Yuri

Kim Minseok

Other Cast
EXO and Girls’ Generation

Disclaimer
This story is mine, pure from my own imagination and all cast is belonge to their own but all my biased ^^

Recomended Backsound
1st     : McFly – Love is Easy

2nd   : Girls’ Generation – Echo

 

Author Note

My second fanfiction masterpiece^^. Let me know your opinion about this story so don’t forget to RCL, don’t bash and enjoy the story.

 

 

-When Author Meets Editor-

 

Amour…

Lieben…

愛… (re: ai)

사랑… (re: sarang)

Cinta…

 

Dalam kamus, Cinta didefiniskan sebagai suatu kata sifat yang memiliki arti kasih sayang atau rasa saling tertarik antara pria dan wanita. Yah, siapa sih yang tidak tahu kosa kata ‘CINTA’. Bisa dipastikan semua orang di dunia mempelajari kata ‘Cinta’ di setiap pelajaran bahasa. Kata ‘Cinta’ mayoritas dipakai dalam setiap lagu atau musik, novel, drama, film, bahkan ‘cinta’ juga menjadi topik penelitian di kalangan ilmuwan. Bagi yang sudah merasakan yang namanya ‘cinta’ pasti sudah mengenal bagaimana rasa cinta itu manis ataukah pahit. Semua orang ingin merasakan sensasi cinta dan mendambakan kisah cinta yang romantis seperti drama-drama televisi.

 

Tapi sepertinya 0,001% dari ‘semua orang’ itu tidak terlalu tertarik dengan yang namanya ‘cinta’ dan salah satu di antara mereka adalah seorang yeoja bernama Kwon Yuri, seorang ordinary woman. Tidak ada yang salah dengan seorang Kwon Yuri. Bukan dari keluarga broken home, bukan dari keluarga kaya raya ataupun super miskin seperti tokoh utama drama atau novel romantis. Bukan seorang kutu buku yang suka menyendiri dan tidak punya teman ataupun seorang yeoja primadona yang dipuja banyak laki-laki di sekolah seperti cerita di komik-komik serial cantik.

 

Secara fisik Yuri punya proporsi tubuh yang normal. Tubuh tinggi semampai, hidung tidak terlalu mancung, mata tidak terlalu sipit, punya wajah natural beauty tanpa operasi plastik yang mahal, rambut hitam panjang tapi juga tidak seindah di iklan shampo. Hanya saja Kwon Yuri adalah seorang ‘ordinary woman’, seorang wanita biasa diantara berpuluh juta wanita biasa lainnya.

 

Kwon Yuri, usia 24 tahun, bekerja sebagai seorang novelist bergenre misteri yang cukup terkenal tetapi bukan seorang novelist best seller. Meskipun tidak bisa menjadi seorang novelist best seller, Yuri termasuk novelis favorit diantara penggemar novel yang berbau detektif atau pembunuhan.

 

“Huwaaa… kau kejam sekali Yuri-a! Kau tidak punya perasaan! Tidak manusiawi! Kenapa kau harus mutilasi tubuhnya!”

 

Seketika konsentrasi Yuri terganggu gara-gara teriakan seorang yeoja yang duduk memunggungi Yuri di meja yang berbeda. Kegiatan mengetiknya terhenti, Yuri melepas kacamatanya kemudian menoleh ke sumber kebisingan yang ada di belakangnya.

 

“Ck! Ya, Kim Taeyeon! Kau mengganggu konsentrasiku! Editor macam apa kau ini, tidak bisa memberikan suasana yang tenang bagi novelisnya. Aish!” umpat Yuri kesal pada yeoja bernama Kim Taeyeon yang ada di belakangnya, sekaligus menjabat sebagai editor pribadi Yuri. Imaginasi pembunuhan sadis dan mengerikan serta adegan-adegan penyelidikan fantastis yang tadi memenuhi otaknya kini buyar seketika gara-gara kebisingan yang dibuat oleh editornya sendiri.

 

PLETAK!

“Ya! Kau panggil aku apa?! Kim Taeyeon?! Tidak sopan sekali kau pada orang yang lebih tua darimu, panggil aku eonni! Kenapa juga yeoja cantik sepertimu membuat novel mengerikan begini. Pantas kau tidak punya pacar sampai sekarang.” Taeyeon melayangkan penggaris besinya ke kepala Yuri, merasa kesal pada seorang novelis terkenal tapi tak tahu sopan santun pada yang lebih tua itu.

 

“Awww… sakit eonni! Kau mau membuat seorang novelis kehilangan sumber imaginasinya? Aish.. Taeyeon eonni jangan marah-marah terus nanti bayimu bisa kena efeknya.”

 

Yuri memicingkan matanya pada perut buncit Taeyeon sambil mengeluarkan gerakan-gerakan tangan yang aneh. “Bisa-bisa nanti keponakanku yang lahirnya imut seperti Luhan oppa, gara-gara virus dari luar angkasa plus kejiwaan yang dibawa ibunya, sang bayi berubah menjadi monster psikopat yang siap memangsa manusia lain tanpa ampun dengan kedok muka babyface yang diturunkan oleh kedua orang tuanya. Lalu…”

 

PLETAK!

Lagi-lagi kepala Yuri menjadi sasaran penggaris besi milik Taeyeon. “Aww! Ya eonni! Kau benar-benar ingin membunuhku?” kali ini Yuri meringis kesakitan sambil mengusap ubun-ubun kepalanya akibat kedua kalinya ia dapat hukuman pukulan dari Taeyeon.

 

“Rasakan! Berani-beraninya kau membayangkan yang aneh-aneh soal anakku. Maaf ya aegi, ajumma yang satu ini memang aneh dan suka bicara ngawur. Aegi manis, semoga kau tidak punya sifat aneh seperti Yuri ajumma ya? Aegi pasti cantik seperti omma dan pintar seperti appa.” ucap Taeyeon tersenyum sambil mengelus perut buncitnya seakan ia berbicara pada bayi di dalam perutnya.

 

‘Dugh!’

Taeyeon merasakan bayinya sekarang menendang perutnya, seakan merespon pendapatnya soal Yuri tadi. Taeyeon tersenyum. “Hahaha… keponakanmu setuju kalau kau memang aneh.”

 

Heol… Dasar! Taeyeon eonni, anakmu sepertinya akan punya sifat seperti Luhan oppa. Muka imut tapi perkataan menusuk. Aigoo~” Yuri memilih menyerah untuk berdebat dengan editornya dan kembali ke posisi semula. Ia memutar kursi kerjanya, memasang kacamata dan kembali menatap layat notebook-nya. Jari-jari Yuri mulai melakukan tarian yang indah dengan gerakan yang cepat di atas keyboard. Ia mulai mendapatkan kembali ide dan imaginasi yang fantastis untuk melanjutkan kisah novel misterinya. Sebagai novelis profesional dan cukup terkenal, dengan mudah ide cerita ia tampilkan melalui tulisannya.

 

Sudah hampir 5 tahun ini Kim Taeyeon menjadi editor Yuri, sejak ia memulai debut karirnya sebagai seorang novelis. Taeyeon, selaku editornya pun mengakui kemampuan Yuri sebagai seorang novelis profesional. Ia selalu tepat waktu pada deadline-nya dan seakan tidak pernah kehabisan ide cerita dan imaginasi yang luar biasa untuk novel-novelnya. Banyak yang menyukai gaya penceritaan Yuri sebagai novelis bergenre misteri. Menurut beberapa penggemarnya, kisah-kisah misteri yang dibuat oleh Yuri berbeda dengan novel misteri pada umumnya, ia memberikan imaginasi yang cantik sekaligus mengerikan di dalam novelnya. Hanya saja Taeyeon tidak habis pikir, kenapa yeoja yang sudah ia anggap sebagai dongsaeng-nya ini punya imaginasi mengerikan seperti itu. Kenapa tidak ia coba saja novel bergenre romantis, mungkin saja Yuri bisa menembus best seller. Pernah Taeyeon mengutarakan isi pikirannya ini pada Yuri, tapi selalu saja jawabannya sama. “Aku tidak tertarik dengan hal-hal berbau romantis. Terlalu membosankan dan biasa. Kenapa harus cerita hal yang romantis, misteri kan juga bisa jadi best seller nantinya. Sudahlah eonni, kan aku novelisnya kenapa eonni yang pusing.” Begitulah tanggapan datar dari seorang Kwon Yuri.

 

Taeyeon hanya bisa menghela napas mengingat hal itu lagi. Rasanya percuma saja menyuruh Yuri membuat novel tentang cinta. Yuri sendiri tidak pernah berpacaran dengan seorang namja satu pun. Taeyeon menatap prihatin yeoja di depannya ini. Pakaian terlihat compang-camping tapi tidak seburuk kelihatannya, hanya memakai kaos dengan ukuran yang terlalu besar, celana panjang yang kedodoran, rambut yang diikat sembarangan, poni depan diikat ke atas seperti anak kecil ditambah kacamata bundar yang dipakainya sekarang. Benar-benar tidak rapi. Dengan dandanan yang seperti ia lihat sekarang membuatnya putus asa soal kisah percintaan Yuri nantinya. Andai saja Yuri mau memperhatikan penampilannya sedikit saja, mungkin saja nanti ada namja yang mau jadi pacarnya. Entahlah, Taeyeon pusing memikirkannya. Luhan saja tidak digubris, apalagi Taeyeon.

 

“Yuri-a, kau tidak bosan sendirian?” tanya Taeyeon tiba-tiba.

 

“Maksud eonni?” Yuri mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud pertanyaan Taeyeon tanpa menoleh padanya dan tetap fokus pada layar monitor.

 

“Maksudku, kenapa kau tidak mencari pacar atau calon suami? Kau ini sudah berusia 24 tahun, tapi belum pernah berpacaran sama sekali. Kau tidak bosan sendirian terus, huh?” jelas Taeyeon.

 

Sejenak Yuri menghentikan kegiatannya dan memandang Taeyeon “Taeyeon eonni, aku ini mandiri dan sudah terbiasa sendiri tanpa seorang namja satu pun. Aku sudah bahagia seperti ini, dengan cita-citaku sebagai seorang novelis. Aku merasa tidak ada yang kurang. Aku bukan Taeyeon eonni yang tidak bisa hidup tanpa cinta dan lagi namja itu merepotkan. Ingat dulu ketika eonni masih berpacaran dengan Kris oppa? Huh, kemana-mana selalu ikut dan setiap jam selalu ditelpon, seperti tahanan saja. Sampai-sampai Taeyeon eonni dibuat susah oleh Kris oppa. Untung sekarang eonni menikah dengan Luhan oppa, dia lebih baik yah… meskipun hobinya menceramahi orang.” jelas Yuri panjang lebar dan terdengar mantap.

 

“Hahaha… kenapa Kris tiba-tiba muncul disini. Itu kan sudah lama sekali, Yuri~a. Luhan cerewet seperti itu kan gara-gara masalahmu juga. Kau ini suka pelupa, ceroboh, berantakan dan akhirnya menghilangkan barang karena lupa kau taruh dimana. Luhan orangnya rapi, jadi kalau melihat makhluk sepertimu ya tombol cerewetnya otomatis hidup sendiri.” Taeyeon terkikik mendengar komentar Yuri soal Luhan, suaminya.

 

“Ah, sudahlah eonni. Kau jadi ikut menceramahiku kan. Oh iya eonni, katanya kau sudah mendapatkan penggantimu sebagai editor sementara? Laki-laki atau perempuan? Hah~ jangan sampai nanti mereka mengacaukan ide ceritaku.” Setelah beberapa kali kegiatannya tertunda, Yuri kembali membelakangi Taeyeon untuk segera mengeluarkan berbagai ide yang sedang berputar di otaknya ke dalam rangkaian paragraf pada layar notebook-nya.

 

“Kau tidak perlu ke kantor besok. Luhan bilang editor yang baru akan datang ke apartemenmu besok, jadi kau fokus saja pada deadlinemu.” Taeyeon melanjutkan tugasnya meneliti beberapa karangan Yuri yang sudah selesai dikerjakan. Ia membalik lembar demi lembar kertas yang berisi banyak huruf itu. Ia malas kalau harus mengeceknya di layar komputer karena dengan kondisi hamil yang sudah mencapai 8 bulan itu, Taeyeon lebih cepat lelah di banding biasa. Jadi, Taeyeon lebih memilih mecetaknya dan mengoreksi rangkaian kalimat di dalam kertas itu sambil merebahkan tubuhnya di sofa empuk. Kadang Taeyeon terlihat mencoret beberapa lembaran kertas itu dan menumpuknya di atas meja kerja Yuri setelah diberi beberapa catatan pembetulan darinya.

 

Yuri hanya mengangguk kecil dan ber-Oh ria mendengarkan penjelasan Taeyeon. “Hah~ rasanya hanya menjadi editormu saja susah, sangat melelahkan membaca cerita mengerikan begini. Aigoo~ aegi-ya sabar ya, mulai besok kita bisa istirahat.” bisik Taeyeon pada dirinya sendiri dan bayinya dengan sesekali mengusap perutnya yang sudah semakin membuncit itu.

 

Yuri memanyunkan bibirnya kemudian tersenyum kecil mendengar bisikan Taeyeon yang masih bisa ia dengar. Yuri juga merasa kasihan pada eonni-nya yang masih mau bekerja dengannya meskipun dengan beban yang ia bawa di perutnya saat ini. Mulai besok Taeyeon sudah bisa beristirahat dan pekerjaannya akan digantikan dengan editor baru. Yuri masih penasaran siapa yang akan jadi editornya kali ini, karena selama ini hanya Taeyeon yang bisa bertahan bekerja dengannya. Apa kali ini sang editor baru bisa bertahan? Kita lihat saja nanti.

 

-When Author Meets Editor-

 

Kriiing..~

Kriiing..~

Kriiing..~

 

Nada dering kuno sebuah handphone menggema di seluruh penjuru kamar. Kamar itu gelap, cahaya sulit masuk karena masih terhalang oleh kelambu. Hanya pancaran cahaya dari handphone tadi yang hanya cukup untuk menerangi tempat handphone itu tergeletak.

 

Sreekkk..

 

Yuri menyembulkan kepalanya dari dalam selimut yang tadi masih menutupi seluruh bagian tubuhnya. Masih dengan mata terpejam, Yuri mengulurkan tangannya dan meraba-raba meja di sebelah tempat tidur, mencari sebuah handphone yang sedari tadi terus memaksa Yuri untuk bangun dan menjawabnya.

 

“Yeo~ boseyo~?” dengan suara serak Yuri berhasil menjawab panggilan seorang di seberang sana.

 

Ini sudah jam berapa Kwon Yuri dan kau masih belum bangun juga? Aku hanya ingin meningatkanmu kalau editor barumu datang hari ini. Mungkin sekitar 5 menit lagi dia datang. Namanya Kim Minseok, baik-baiklah dengannya dan ingat jangan berbuat ulah lagi. Oya, Taeyeon titip salam buatmu.” Yuri meresponnya dengan anggukan beberapa kali walaupun tidak bisa dilihat oleh lawan bicaranya di telepon.

 

“Iya.. iya.. aku sudah diberi tahu istrimu semalam, Luhan oppa~” jawab Yuri seraya kembali menelungkupkan kepalanya ke dalam selimut, malas untuk keluar dari tempat tidurnya. Ia merasa masih belum siap untuk bangun karena semalam luapan ide di dalam kepalanya memaksa Yuri untuk tetap berkutat dengan notebook-nya sampai dini hari.

 

“….”

 

“iya~”

 

“….”

 

“iya~ aku tahu. Sudah ya? Jaga Taeyeon eonni baik-baik oppa. Annyeong~” Yuri kembali meringkung di dalam selimutnya segera setelah ia memutuskan sambungan telepon. Sekilas ia mengecek jam di layar handphonenya.  Ah~ 5 menit lagi katanya? Pasti akal-akalan Luhan oppa saja. Ini kan masih jam 8, ah masa bodoh pokonya aku mau tidur lagi. Dalam hati Yuri merutuki orang yang menelponnya tadi yang sekaligus mengganggu kedamaian tidurnya.

 

TING TONG! TING TONG!

 

Ck! Siapa sih iseng-iseng pagi seperti ini?! Pasti kelakuan si gigi deterjen itu lagi!

Sungguh! Yuri ingin memaki semua orang yang sudah mengganggu kedamaian paginya hari ini. Apa mereka tidak tahu bagaimana beratnya pekerjaan novelis yang menuntut mereka untuk tidak tidur semalaman?

 

TING TONG! TING TONG!

Bel apartemen Yuri masih bertahan berbunyi meskipun pemiliknya memilih untuk tidak menanggapinya.

 

Sialan! Park Chanyeol si gigi deterjen sialan! Dasar anak ingusan, apa dia tidak kuliah pagi-pagi begini?!

Aish! Biarkan saja nanti juga dia capek sendiri, benar-benar tetangga kurang kerjaan!

 

Tik..

Tik…

Tik…

 

Hening. Hanya bunyi jam dinding kamar Yuri yang terdengar sekarang. Bel apartemennya tidak terdengar lagi, mungkin memang benar dugaan Yuri hanya tetangganya yang usil. Kini Yuri bisa melanjutkan tidurnya dengan tenang dan damai.

 

Sraakkk…

“Yuri-ssi? Waktunya bangun.” Seseorang dengan kasar membuka selimut yang awalnya menyembunyikan sosok Yuri, untung saja yeoja itu masih memakai pakaiannya dengan lengkap. Tak ada tanggapan atau reaksi apapun dari Yuri, yeoja itu malah meringkuk dan mengulung diri seperti orang kedinginan.

 

Sraakkk…

Kali ini giliran kelambu kamar Yuri dibuka lebar-lebar sehingga cahaya matahari langsung menyeruak dan menerangi seluruh kamar.

 

“Yuri-ssi? Waktunya bangun.” karena sebelumnya tak ada tanggapan dari Yuri, namja itu menggoyangkan bahu Yuri lalu berpindah menyentuh pipi yeoja manis itu dengan jari telunjuknya, bermaksud supaya yeoja itu cepat membuka matanya. Namun hasilnya nihil, tidak ada tanda-tanda yeoja itu sadar dari alam mimpinya.

 

Dia ini tidur atau mati sebenarnya sih? Ck.. ya sudah kalau begitu, apa boleh buat terpaksa pakai cara itu saja. 100% pasti bangun.. kekekeke~

 

Dekat. Wajah namja itu semakin mendekat. Sekarang wajahnya dengan milik Yuri hanya berbeda 5 cm. Sedikit lagi… Dan…

 

Cup~

 

Tepat di bibir mungil Yuri, namja itu mendaratkan sebuah kecupan singkat. Seketika itu juga Yuri membuka matanya lebar-lebar, masih dengan posisi tidurnya. Yuri meraba bibirnya, belum yakin benda apa yang tadi menempel sekilas di bibirnya. Lalu ia menengadah ke atas dan melihat sosok namja asing yang bertahan berdiri disana sambil menyunggingkan senyuman polos, menurut Yuri.

 

“Kya~ aa~ a!! YA! Siapa kau?! Bagaimana kau bisa masuk?! Dan.. apa yang sudah kau lakukan tadi?!” Namja itu menutup kedua telinganya erat mendengar jeritan yang sedikit serak dari yeoja bernama Kwon Yuri. Strateginya benar-benar berhasil, yeoja itu sudah sadar 100%.

 

“Annyeonghaseyo. Perkenalkan namaku Kim Minseok, editormu yang baru. Hehehe…” Namja bernama Kim Minseok, editor baru Yuri, itu membungkun dan memperkenalkan dirinya sambil tersenyum lebar dengan pipi tembam yang menghiasi senyuman polosnya itu.

 

“Dasar namja KURANG AJARRR!!!” dengan sigap Yuri mengeluarkan kepalan tangannya. Bersiap melayangkan tinju andalan yang ia arahkan pada namja di hadapannya.

BUAKK!

 

-When Author Meets Editor-

-to be continued-



[OPEN PO] EXO Sign Tee by SM POP-UP Store

$
0
0
exo sign tee

exo sign tee

MAU IKUTAN PO ?

FREE EXO unofficial photocard setiap pembelian 1pcs EXO Sign Tee !

SMS / BBM to 089693386799 / 2141363B (for price  & details)


Sweetest Disaster (Chapter 1)

$
0
0

SD

Title: Sweetest Disaster
Author: Ei-si.
Main Casts: Zhang Yixing/Lay EXO-M & OC
Support Casts: Lu Han & Xiumin EXO-M, Suho EXO-K
Genre: Romance, Drama
Rating: PG-13
Length: Twoshots
Disclaimer: I have none of the casts except OC and the plot.
A/N: Minna, this is my first fanfic! Iseng-iseng nyoba nulis sambil menyalurkan ide, hehe. FF ini cuma 2 shots kok, udah pernah di-post di WordPress pribadi dan final-nya udah ada di sini. Bagi yang penasaran, you go there check that out! ;D Jangan lupa tinggalkan comment ya! Arigatou! ^^)b

© Ei-si. 2013

Seorang pemuda yang berdiri di belakang kasir terlihat sedikit gelisah. Serba salah dengan apa yang ia lakukan, ia terus menengadahkan pandangannya ke arah meja-meja di sana. Bukan, tepatnya ke arah pemuda yang nampak lebih muda darinya. Tak ambil banyak waktu ia pun berjalan menghampirinya.

“Sudahlah, Lay, pekerjaanmu sudah cukup sampai di sini.”

Pemuda bernama Lay itu pun menolehkan kepalanya cepat, kaget serta tak percaya dengan apa yang orang di hadapannya katakan barusan. “A-apa Hyung baru saja memecatku? Begitukah, Joon Myun Hyung?”

“Tsk, apa yang kau pikirkan? Aku mana mungkin memecatmu,” Joon Myun membalas.

“Lalu?”

“Aku hanya tidak tega memberikan semua pekerjaan di sini padamu. Harusnya aku meminta bantuan Jong In saja tadi. Sekarang pulanglah. Sisanya biar aku saja yang kerjakan.”

“Ahaha, Hyung,” Lay menepuk pundak Joon Myun pelan, “tidak usah merasa tidak enak begitu. Lagipula aku senang melakukannya.”

Joon Myun berkacak pinggang sebal dan mendesah, “Tidak usah memaksa, Yixing-ah. Akhir-akhir ini kau bekerja sampai larut. Aku tidak mau kau mengabaikan kesehatanmu. Itu saja.”

Hyung santai saja, memang sudah seharusnya begitu, kan? Ini karena Min Seok Hyung yang meminta izin mengunjungi neneknya. Tidak apa-apa. Ah, itu ada pelanggan!” Lay berseru sambil mendorong punggung Joon Myun, “Lebih baik Hyung kembali. Cepat!”

Joon Myun menurut perkataan Lay dengan raut keheranan, lalu kembali ke balik kasir.

“Selamat datang!” sapa Lay riang pada dua pengunjung yang baru datang. Ia berjalan menghampiri mereka yang sudah duduk di tempatnya sambil mengeluarkan catatan kecil dari apron hijaunya. “Bisa kucatat pesanan Anda sekarang?”

“Ah, Lay! Aku pesan seperti biasa saja, hmm, lalu… Ya, Ryu Hae Ra! Berhenti memasang tampang seperti itu atau aku akan meninjumu!”

“Tinju saja kalau berani!”

“Tsk! Samakan saja pesanannya denganku, Lay.”

Lay yang tidak tahu-menahu hanya mengangguk polos sembari mencatat pesanan mereka. Dengan jelas ia mendengar dua orang tersebut berbincang sengit.

“Lu Han, kalau kau mau aku bisa mengajakmu makan ke tempat yang lebih baik. Sudah kukatakan aku tidak suka makan di sini!”

Lu Han mencubit lengan Hae Ra membuat gadis itu mengaduh, “Apa susahnya sih menuruti permintaanku sekali saja? Lagipula ini kan sebagai traktiran karena kau telah membantuku mengerjakan tugas. Seharusnya kau berterima kasih.”

Hae Ra pun tak henti-hentinya mencibir Lu Han sedangkan Lay berdiri gelisah di antara mereka, masih mencatat pesanan.

“Baiklah, pesanan seperti biasa, kan, Lu Han-ssi? Akan segera datang 10 menit lagi,” ucap Lay ketika selesai. Ia tersenyum memperlihatkan lesung pipi indahnya lalu meninggalkan Lu Han dan Hae Ra.

Cepat, tak sampai 10 menit pesanan mereka sudah siap. Lay membawa nampan berisi dua mangkuk jjajangmyeon yang masih mengepulkan asap dan mengantarkannya ke meja dekat jendela. Sampai dekat dengan meja tersebut, entah apa yang Lay rasakan tetapi itu membuat pandangannya mengabur. Ia berjalan terhuyung hilang keseimbangan sampai pada akhirnya… entahlah. Lay memejamkan matanya tak berani menebak apa yang terjadi.

Ketika ia mulai berani membuka matanya, ia melihat seorang gadis tepat di hadapannya mengepalkan tangannya geram. Wajahnya memerah menahan amarah dan tampak kacau dengan jjajangmyeon yang sudah tidak berupa mengotori wajah dan kepala gadis itu.

“APA YANG KAU LAKUKAAAN?!” teriak Hae Ra membahana. Lu Han menatap gadis itu ngeri.

“Haaa, maafkan aku, Ahgassi,” Lay terus menerus membungkuk meminta maaf. “A-aku be..benar-benar tidak sengaja.”

YA!”

-

“Bagaimana hasilmu?”

Hae Ra menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke dinding koridor kampus sambil meluruskan kakinya. Ia menyerahkan selembar kertas kepada Lu Han.

“85. Hmm, tidak begitu buruk.”

“Benar, Lu Han. Tidak begitu buruk,” ucap Hae Ra sinis menekankan kalimat terakhirnya.

Lu Han tampak berpikir dan memekik tiba-tiba, “Ah!” Ia menepuk dahinya keras seraya menyejajarkan tubuhnya duduk di samping Hae Ra. “Ini benar-benar malapetaka. Bagaimana bisa seorang perfeksionis seperti Ryu Hae Ra mendapat nilai, berapa? 85? Impossible.” Lu Han mengetuk-ketukan jari di atas lututnya yang tertekuk. “Mungkin nilai terendahmu ini yang paling tinggi di antara teman-temanmu, Bodoh,” ucap Lu Han lagi sambil memukul kepala Hae Ra menggunakan kertas di tangannya, “berapa pun itu seharusnya kau bersyukur.”

Hae Ra memutar bola matanya malas, “Terserah kau saja, Tuan Rusa. Lalu bagaimana denganmu?”

Lu Han tidak menjawab. Ia hanya meringis memamerkan sederet gigi putihnya sewaktu menunjukkan kertasnya.

“Cih, bahkan kau sekarang sudah bisa melampauiku, ya. Sungguh hebat,” Hae Ra mendecih kesal. Lu Han mengerucutkan bibirnya.

“Ini kan berkat bantuanmu juga, Hae Ra-ya,” balas Lu Han sambil merangkul pundak Hae Ra, “tapi aku tidak menyangka kau malah mendapat nilai segitu, aku jadi merasa bersalah. Sebagai rasa terima kasih dan permintaan maaf, akan kutraktir kau di kedai ramyeon kemarin!”

Mwo?” mata Hae Ra membulat, “Kedai ramyeon itu lagi?! Oh, ayolah, Lu Han, aku bahkan bisa mentraktirmu makan di restoran Italia termahal di Korea. Shirreo! Walau kau memaksa aku tetap tidak akan mau!”

“Sekalipun aku memberimu seember es krim stroberi kesukaanmu itu?”

“Ya, sekalipun kau—mworago? Seember katamu?” tanya Hae Ra antusias. Lu Han mengangguk.

Jeongmal?! Aaah, kajja!”

-

Hae Ra mengetuk-ketukan jarinya di atas meja. “Hari ini cukup ramai,” gumamnya.

Cheogiyo, bisa kutulis pesanannya sekarang?”

“Ah, ya,” Lu Han menyahut, “aku pesan seperti…lho? Bukan Lay yang melayani kami?”

“Hari ini dia tidak masuk. Aku Kim Min Seok—yang menggantikannya.”

Lu Han membulatkan bibirnya membentuk huruf O. “Memang kemana dia?”

“Aku tidak yakin tapi sepertinya dia sakit. Kelelahan mungkin,” jawab Min Seok sedikit ragu. “Jadi, sudah memutuskan akan memesan apa?”

Lu Han nampak tidak fokus maka Hae Ra yang merespon pertanyaan Min Seok. Lelaki berpipi gempal itu pun segera melangkahkan kakinya menuju belakang dapur untuk menyampaikan pesanan.

Hari ini memang lebih ramai dibanding ketika kemarin Hae Ra berkunjung dengan Lu Han. Tentu saja, saat itu adalah jam makan siang. Orang-orang lebih memilih memburu makan siang mereka ketimbang melanjutkan aktivitasnya. Awalnya Hae Ra memang kesal diajak ke tempat itu karena jujur saja, bagi Hae Ra, kedai ramyeon itu sangat tidak layak. Tempatnya kecil dan terletak di pinggiran. Beda seperti kebanyakan tempat makan yang pernah Hae Ra kunjungi bersama keluarganya yang nyatanya adalah restoran mahal dan mewah. Namun karena kedai itu menyuguhkan makanan yang tak diragukan lagi rasanya, Hae Ra menerima saja ajakan Lu Han. Pikirnya itu tidak terlalu buruk.

“Beda. Apa karena dia tidak masuk?” batin Hae Ra.

Benar. Hae Ra merasa ada yang beda dan kurang. Apa karena keabsenan lelaki berlesung pipi itu?

“Kau langsung pulang saja, Hae Ra-ya. Tidak apa, kan?” Lu Han bertanya ketika keluar dari kedai tersebut.

Waeyo? Memangnya kau mau kemana?”

“Aku ingin menjenguk Lay ke rumahnya.”

“Aku ikut!”

Ne?”

-

“Haaah… haha.”

Hae Ra tertawa sendiri seperti orang gila di balik bantalnya. Ia berguling ke samping dan telentang, tak lama berguling lagi hingga tengkurap. Begitu seterusnya. Entah apa yang sedang ia lakukan.

Ya, Hae Ra-ya!” Hae Ra menyembulkan wajahnya dari balik bantal, “Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau tiba-tiba meminta Lu Han mengajakmu ke rumahnya, hah? Aish.” Hae Ra mengacak rambutnya kesal dan sekali lagi menenggelamkan kepalanya di bantal.

Benar, hal itu yang membuat hatinya gelisah. Atau mungkin senang. Siapa yang bisa menebak Hae Ra tiba-tiba saja memohon pada Lu Han untuk mengajaknya serta ke rumah Lay tempo lalu. Dengan gamblang ia mengatakan bahwa ia juga ingin melihat bagaimana keadaan Lay. Aneh memang tetapi alih-alih menolak, Lu Han justru dengan senang mengajak Hae Ra. Ayolah, siapa yang tidak menanggapnya aneh, Hae Ra baru mengenal Lay beberapa kali, tepatnya sekali saat Lay tidak sengaja menumpahkan jjajangmyeon waktu itu, ingat? Lagipula apa pedulinya pada orang asing yang baru dikenalnya dalam waktu singkat? Daripada merasa peduli lebih tepat jika Hae Ra masih menaruh rasa kesalnya karena kelakukan Lay di kedai itu, kan?

Hae Ra sudah tidak mau ambil pusing. Ia keluar kamar dan berjalan menuju dapur mencari makanan mengingat sejak pagi tadi belum ada yang mengisi perutnya. Sesaat ia menekuk wajahnya kesal. “Bahkan di hari Minggu pun rumah ini tetap sepi seperti kuburan? Tsk.”

Hae Ra mengambil sticky note yang tertempel di pintu kulkas.

Appa dan Eomma sedang mengadakan pertemuan dengan klien Appa di luar. Oppa-mu sudah berangkat untuk latihan basket bersama temannya sejak pagi. Mianhae, Hae Ra-ya, sepertinya hari ini kau harus mengurus dirimu sendiri. -Eomma

“Terserah.”

Dengan malas Hae Ra membuka pintu kulkas, berharap menemukan sesuatu yang bisa dimakan tetapi yang ditemukannya nihil. Ia mendesah keras dan menghentak-hentakan kakinya kesal.

Eommaaa, aku lapar! Buatkan aku makanaaan!” teriak Hae Ra menghadap langit-langit rumah. Bodoh.

-

Lay mengelap peluh di keningnya. Hari itu panas dan Lay seharusnya berada di rumah untuk istirahat—atau setidaknya ia berada di kedai saat ini. Beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitarnya membuatnya pusing.

“Kenapa susah sekali sih mencarinya?” desahnya kesal.

Ia merasa asing dengan tempat ini yang sebenarnya adalah sebuah kampus. Lay berniat menemui Lu Han untuk mengembalikan dompetnya yang tertinggal di rumah Lay ketika Lu Han mengunjunginya. Namun sepertinya ia kehilangan arah. Besarnya area kampus itu membuat Lay linglung. Jangankan menemui Lu Han, menemukan fakultas tempat Lu Han belajar pun sulit.

Lay ingin mengistirahatkan dirinya sejenak ketika ia melihat sebuah kursi panjang di taman kampus tersebut. Ia berjalan lunglai sambil menendang kerikil di bawahnya. Bermaksud iseng, Lay menendang kaleng soda di depannya sampai terpental jauh. Awalnya ia pikir tidak akan apa-apa—tidak akan mengenai siapa pun, tetapi ia justru mendengar orang berteriak seperti kesakitan.

Dang it! Siapa yang berani-beraninya… Kau?!”

Lay berhenti tepat di depan orang yang terkena kaleng tadi. Sontak ia menutup mulutnya kaget mengetahui siapa yang ada di hadapannya kini.

“Tamat kau, Zhang Yixing,” gumam Lay.

Ya!!! Kenapa kau lagi?! Aish, awas kau!” jerit Hae Ra, gadis yang kedua kalinya menjadi korban Lay.

Dan sekarang di sana, Lay duduk dengan kikuk di ujung sebuah kursi panjang sebuah taman. Ia menghela napasnya pelan. Dibungkusnya beberapa balok kecil es batu yang ia dapatkan dari kantin kampus menggunakan saputangannya.

“Ini,” Lay menyodorkan kompresan es batu ke arah Hae Ra. “Joesonghamnida, Ahgassi, aku tidak tahu kalau—” ucapan Lay terputus. Dengan cepat Hae Ra mengambil kompresan itu dari tangan Lay. Lelaki itu kembali menghela napas. Kali ini terselip nada penyesalan di dalamnya.

“Jika bisa membuatmu lebih baik,” lanjut Lay seraya memberikan sekaleng minuman dingin kepada Hae Ra. Dan lagi, gadis itu tidak berkata apa pun dan langsung mengambil kaleng minuman itu. Hae Ra masih kesal, mungkin?

Lay menatap lekat gadis yang duduk di sampingnya. Gadis itu terlihat memberengut kesal sambil susah payah mencoba membuka kaleng minumannya. Namun Lay justru berpikiran, dengan wajah ditekuk saja sudah membuat hatinya bergetar, apalagi jika ia tersenyum. Pasti akan sangat manis.

“Kalau kau membutuhkan bantuan katakan saja,” usul Lay setelah kembali dari awangannya, membantu Hae Ra membuka minumannya. “Setidaknya ucapkanlah sesuatu. Aku tidak tahu kau memaafkanku atau tidak,” lanjutnya.

“Tak apa.”

Lay menoleh. Hanya respon itu yang Lay dapatkan, lebih baik daripada gadis itu membungkam mulutnya. Entah siapa yang membiarkan tetapi keheningan menyeruak di antara mereka. Memang di saat seperti itu sudah tidak ada lagi yang perlu diperbincangkan apalagi Lay yang dirundung rasa bersalah yang dalam.

“Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini?” Hae Ra kembali membuka suara.

“Eh? Aku…” Lay berpikir sejenak, “Ah, iya! Aku ke sini untuk bertemu dengan Lu Han. Apa kau tahu dia ada di mana?”

Molla. Seharian ini aku tidak melihatnya. Memangnya ada perlu apa?” tanggap Hae Ra. Kini ia terlihat lebih tenang.

Lay mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya, “Aku hanya ingin mengembalikan dompetnya yang tertinggal di rumahku tempo hari. Bagaimana kalau kau mengantarku ke tempatnya, Ahgassi, fakultasnya mungkin? Kajja!” Kali ini Lay menarik tangan Hae Ra bersemangat.

‘Apa-apaan orang ini?!’ batin Hae Ra, sontak ia menghentakkan tangannya ingin melepas genggaman Lay.

“A-ah, ma..maaf. Aku… Umm, jika kau keberatan bagaimana kalau kau saja yang memberikannya pada Lu Han? Kurasa itu lebih baik,” ucap Lay canggung.

“Akan kuberikan padanya,” jawab Hae Ra ketus, mengambil dompet itu dan segera meninggalkan Lay.

“Yixing! Zhang Yixing!”

“Huh?”

Hae Ra mengernyitkan keningnya bingung. Ia kembali membalikkan badannya menghadap Lay. Kini dilihatnya lelaki itu sedang tersenyum manis padanya yang seketika sanggup membuat Hae Ra membeku di tempatnya.

“Namaku Zhang Yixing. Orang-orang biasa memanggilku Lay, kau pun begitu. Kau sendiri, Ahgassi?”

“Ryu Hae Ra…”

“Nama yang bagus. Oh, ya. Aku senang bertemu denganmu lagi di sini.”

-

“Panaaas!”

Lu Han sedang duduk bersandar di bawah pohon rindang sambil mengipas-kipas. Sungguh ia tidak pernah berpikir hari akan menjadi sebegini panasnya. Ditambah lagi rentetan kuliahnya hari ini yang begitu membosankan membuatnya makin penat.

“Lu Han!” teriak Hae Ra menghampiri pemuda itu.

“Bersemangat sekali. Habis memenangkan lotre?”

Aniya! Bagaimana kalau kita pergi makan? Aku yang akan mentraktirmu!”

“Ke mana?”

“Kedai ramyeon!”

Mwo?!” rahang Lu Han jatuh. Ia kaget, tentu saja. Tumben sekali Hae Ra yang mencetus ide untuk pergi ke kedai itu. Biasanya gadis itu akan menolak mentah-mentah apabila diajak ke sana. Namun sekarang nyatanya berkebalikan. “Tidak ke restoran Italia paling mahal di Korea saja, Ryu Hae Ra?”

“Sudahlah, kajja!”

Di sinilah dirinya berada sekarang, kedai ramyeon, yang entah sejak kapan menjadi tempat favoritnya mencari makan. Bahkan Lu Han sendiri pun heran mengapa gadis itu bersemangat sekali jika ke tempat ini.

“Hae Ra-ssi?”

Hae Ra yang sedaritadi asyik melamun sambil mengaduk-aduk ocha tidak mengacuhkan orang yang memanggilnya.

Ya! Sampai kapan kau akan terus melamun, Hae Ra-ya?!” Kali ini Lu Han berseru keras, sedikit membuat beberapa pengunjung lain menatap ke arahnya. Hae Ra yang tersadar pun gelagapan.

“Hae Ra-ssi, makananmu sudah siap. Makanlah sebelum dingin.”

Hae Ra mendongakkan kepalanya, dilihatnya Lay sedang tersenyum. Senyum itu lagi.

“Ah, n-nde, Lay-ssi. Gomawo.”

Hae Ra dengan kecepatan supersonik menyambar mangkuk ramyeon di depannya dan memakannya dengan lahap. Ia tidak benar-benar lapar kala itu, lebih tepatnya ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan saking gugup dan salah tingkah di depan Lay. Memalukan.

“Hmm…” Lu Han terus menggumam sepanjang perjalanan pulang. Ia berjalan mendahului, meninggalkan Hae Ra di belakangnya. “Sepertinya dugaanku benar.”

“Apa?”

Lu Han berbalik, “Dugaanku memang benar. Kau menyukainya, kan? Kau menyukai Lay, Ryu Hae Ra?”

MWO?!” Hae Ra memekik. Aku harus menjawab apa? A-aniyo!”

“Tepat sekali. Kau memang benar-benar menyukai Lay, Hae Ra-ya.” Lu Han berjalan mendekat, “Kau gugup dan tidak tahu harus menjawab apa, kan? Kau harus belajar lagi kalau ingin membohongiku,” lanjutnya sambil mengacak rambut Hae Ra.

“A..apa yang kau bicarakan, heh?! J-jangan mengada-ada! Siapa yang bilang aku menyukainya?” kilah Hae Ra. Oh Tuhan, andai saja gadis itu tahu semerah apa wajahnya sekarang.

Aigoo, masih juga mengelak. Kurasa kau cocok jika bersamanya. Lagipula Lay pria yang baik, aku pasti akan dengan senang hati menyetujui hubungan kalian! Oh, tunggu, Lay menjadi adik iparku? Bukan ide yang buruk.”

YA!!! LU HAN SILUMAN RUSAAA!”

-

Hae Ra terus mengumpat kecil sembari mendorong troli belanja. Ia tidak habis pikir dirinya akan berakhir dengan mendorong troli belanjaan di sebuah supermarket hari ini. Mengapa tidak? Tentu saja, Hae Ra sekarang seharusnya berada di kamar berkutat dengan tugas tengah semesternya yang menumpuk. Jika saja bukan eomma-nya yang memohon untuk pergi berbelanja, ia pasti enggan melakukannya.

Hae Ra mendesah untuk yang kesekian kalinya, “Telur dan gula sudah. Apa lagi, ya?” Ia tampak berpikir dan melanjutkan, “Ah, daging!”

Hae Ra berjalan ke arah bagian daging yang terlihat padat dipenuhi orang-orang. Tanpa sengaja ia menabrak troli salah satu pengunjung di sana.

Mianhamnida, aku tidak lihat a—”

“Hae Ra-ssi? Kebetulan sekali kita bertemu di sini!”

Mulut Hae Ra terbuka, ia jelas terkejut. Yang lebih membuat dirinya tidak habis pikir lagi adalah kenapa ia bisa bertemu Lay di sini? Ayolah, supermarket di kota Seoul yang luas tidak hanya ini, kan?

“L-lay-ssi? Sedang apa kau di sini?” Hae Ra tergagap. Pertanyaan bodoh itu pun tak ayal meluncur begitu saja dari mulutnya.

“Memang apa lagi yang orang lakukan di tempat sepeti ini? Bermain sepak bola?” Lay terkekeh.

Shoot! Jangan lagi kau mempermalukan dirimu di depannya, Hae Ra-ya. Bersikaplah sewajar mungkin.

“Kau ingin membeli daging? Ah, kalau begitu sama denganku. Ayo kita ke sana.”

Lay berjalan mendahului Hae Ra dan gadis itu hanya mampu memandangi punggung Lay yang entah kenapa ingin sekali ia raih. Seketika itu juga Hae Ra kembali teringat perkataan Lu Han sore itu.

Cocok? Menyetujui hubungan? Adik ipar?! Hae Ra menggeleng sekuat tenaga. Debaran jantungnya yang kelewat batas sudah tidak ia pedulikan lagi, bahkan kalau sampai jantung itu berhenti berdetak ia juga tidak akan peduli. Oh, yang benar saja. Tunggu, debaran jantung? Apa ini artinya Hae Ra membenarkan pernyataan Lu Han bahwa ia memang menyukai Lay?

“Belanjaanmu banyak sekali. Apa tidak berat? Mau kubantu?” tanya Lay menawarkan bantuan.

“Tidak perlu, Lay-ssi, ini tidak berat sama sekali.”

“Baiklah kalau begitu. Oh, ya. Rumahmu di mana? Akan kuantarkan kau pulang.”

‘Mengantarku pulang? Aigoo, eotteokhae?!’ Hae Ra memerangi batinnya sendiri. “Tidak usah repot, aku bisa pulang sendiri. Lagipula bukankah daerah ini sudah dekat dengan rumahmu?”

“Hmm,” Lay menggumam, “tapi tidak ada salahnya kan jika mengantarmu pulang. Atau kau keberatan?”

“Tidak sama sekali. Baiklah kalau kau me—”

“AWAS!”

-To be continued-

Well, hope you like it. Thanks to those who have read. Your like/comment will surely be appreciation for me. Jaa! ;)


TRUE LOVE (Chapter 5B)

$
0
0

TRUE LOVE

TRUE LOVE

 

 

Tittle                : True Love (Chapter 5B/ Holiday: Jeo Rin Version)

Author             : Jellokey

Main Cast        : Kim Jong In (Kai EXO-K)

Oh Sehun (Sehun EXO-K)

Luhan (Lu Han EXO-M)

Kim Joon Myun (Suho EXO-K)

Kang Jeo Rin (OC)

Shin Min Young (OC)

Support Cast   : Wu Fan (Kris EXO-M)

Park Chanyeol (Chanyeol EXO-K)

Do Kyungsoo (D.O EXO-K)

Byun Baekhyun (Baekhyun EXO-K)

Kim Min Ra (OC)

Jang Mi Sun (OC)

and others

Special Guest  : Choi Jun Hong (Zelo B.A.P)

: Jo Youngmin (Youngmin Boyfriend)

Length             : Chaptered

Genre              : Romance, Family, School Life

Rating             : PG-15

A.N                 : Annyeong ^^. Part lima ini aku bagi jadi dua. Liburan versi Min Youong dan Jeo Rin. Keduanya terjadi di hari yang sama. Di bagian B ini aku bawah berondong Zelo. Wow.. Enjoy it! ^^

Jeo Rin terus mendumel dalam hati. ‘Kenapa eomma tidak mau mebuat surat keterangan?’ batinnya. Tempat tujuan liburan mereka adalah pulau Jeju. Susah payah ia membujuk eommanya, tapi yang ia dapat hanya kata-kata eommanya yang dengan antusias menyuruhnya untuk mengikuti liburan sekolah. Kalau Jeo Rin mau ia bisa bolak-balik Seoul-Jeju setiap hari. Dan karena bangun kesiangan ia hampir ketinggalan pesawat. Dua puluh menit sebelum pesawat take off ia baru sampai. Jeo Rin langsung mencari Mi Sun begitu masuk ke pesawat. (Note: EXO HS punya pesawat sendiri. Hanya ada di ff author jellokey. Peace^^)

“Jeo Rin-ah..”

“Mi Sun kenapa kau duduk dengannya?”

“Mianhae, orang ini langsung menduduki tempatmu tadi. Saat aku mau pindah dia menghalangiku.”

“Sunbae, pindah. Ini tempatku.”

“Aku tidak mau. Aku lebih dulu mendapatkan tempat ini.” kata orang itu yang ternyata adalah Kris.

“Tapi ini tempatku.”

“Aku tidak menemukan keterangan kalau ini tempatmu. Aaa.. Namamu Jeo Rin kan?”

“Jeo Rin..” panggil Chanyeol yang duduk di belakang bangku Kris.

“Duduk di sini saja.” Chanyeol menepuk pangkuannya. Jeo Riin menatap Chanyeol tajam. ‘Kenapa aku harus punya sunbae aneh seperti mereka?’ batin Jeo Rin.

“Sepertinya tadi aku melihat satu bangku yang kosong.” kata Kris.

“Kenapa kau tidak duduk di situ?”

“Benar-benar hoobae yang tidak sopan. Tapi tak apa kalau kau tidak  mau  memanggilku sunbae, panggil namaku. Kris.”

“Kenapa sunbae tidak duduk di tempat yang sunbae bilang?” tanya Jeo Rin kesal.

“Simple. Aku sedang ingin duduk di samping nona cantik ini.” kata Kris ssambil merangkul Mi Sun.

“Yaa… lepaskan tanganmu. Aku tidak mau disentuh namja sepertimu.” Jeo Rin segera meninggalkan Kris dan Mi Sun yang berdebat. Ia segera mencari bangku kosong yang dibilang Kris.

“Chogiyo, bisa geser ke bangku sebelah?” kata Jeo Rin pada seorang namja. Namja itu lalu membuka kacamata hitamnya dan menoleh ke belakang.

“Aku tahu kau pasti ikut, Rin-ah.”

“Neo!”

“Cepat duduk. Kau tidak dengar pesawat mau take off.” Jeo Rin melewati Kai. Duduk dan langsung menoleh ke jendela. Ia yakin mulai detik ini ia pasti sial sampai liburan selesai.

###############

Jeo Rin benar-benar kesal. Selama perjalanan ke Pulau Jeju, Kai menyandarkan kepalanya di bahu Jeo Rin. Berkali-kali ia membangunkan Kai tapi tidak bisa, dan Jeo Rin menyerah. Saat mereka sudah sampai pun Kai masih tidur. Jeo Rin menoleh ke samping kirinya. Ia terpaku melihat wajah tidur Kai. ‘Benar-benar polos. Berbeda sekali dengan wajah yang ia tunjukkan saat di sekolah.’ batin Jeo Rin.

“Bangun, kita sudah sampai.” Kai tudak kunjung bangun. Jeo Rin punya ide. Ia bangkit dari duduknya, membuat Kai terjatuh di bangku yang baru saja ia duduki. Otomatis Kai terbangun.

“kita sudah sampai.”

“Kenapa kau tidak membangunkanku?”

“Aku sudah membangunkanmu tapi kau tak bangun juga.” Jeo Rin melewati Kai, berjalan menuju pintu keluar pesawat.

##############

Jeo Rin tidak melakukan apa-apa begitu sampai di Pulau Jeju. Ia memilih beristirahat daripada jalan-jalan. Murid-murid EXO High School tinggal di mansion EXO High School yang berada tak jauh dari tepi pantai. Panitia liburan membebaskan murid EXO High School melakukan apa saja di Pulau Jeju denngan syarat mereka harus kembali ke mansion jam sepuluh malam. Lewat dari jam itu mereka akan mendapat hukuman. Dan sepertinya di hari kedua murid-murid EXO High School memilih berenang di pantai. Begitu juga Jeo Rin dan Mi Sun. Jeo Rin saat itu mengenakan hotpants dan kaos putih tipis sedangkan Mi Sun hotpants dengan tanktop pinknya.

“Kau tidak berenang?” tanya Mi Sun.

“Ani. Nanti saja.”

“Kalau begitu aku berenang dulu ya.” Jeo Rin langsung memasang headset di telinganya lalu memutar lagu dari iPodnya. Sekarang Jeo Riin sedang duduk di sebuah bangku panjang. ‘Suasana yang menenangkan.’ pikir Jeo Rin. Tapi itu tidak berlangsung lama karena ia mendengar suara teriakan dari yeoja-yeoja yang ada di pantai itu.

“Kyaaa…. Kai oppa….”

“Kris sunbae….”

“Chanyeol oppa….”

Jeo Rin langsung mencari di mana sumber keributan itu. Ia melepas headsetnya kesal. Matanya menangkap tiga sosok namja sedang berjalan di pantai hanya mengenakan celana pendek. Beruntung ia dialihkan oleh seorang namja yang duduk di tepi bangkunya.

“Jeo Rin-ah, nanti malam maukah kau jalan denganku?” tanya namja itu. Kai yang saat itu sedang mencari keberadaan Jeo Rin langsung membulatkan matanya mendapati Jeo Rin sedang duduk dengan seorang namja. ‘Jadi ini yang terjadi kalau Suho tidak ada di samping Jeo Rin? Semua namja berusaha mendekati Jeo Rin. Tapi tidak akan bisa selama ada aku.’ batin Kai. Ia langsung berjalan menuju tempat Jeo Rin.

“Kau tidak bersama kembaranmu?”

“Kembar bukan berarti selalu bersama kan?”

“Kau mau mengajakku ke mana Youngmin-ah?” tanya Jeo Rin pada teman sekelasnya itu.

“Ke mana saja selama itu menyenangkan. Kau mau?”

“Aku…

“Jeo Rin hanya bersamaku selama di sini.” Kai memotong ucapan Jeo Rin.

“Mianhae, sunbae.” Youngmin langsung meninggalkan mereka.

“Kenapa kau selalu menggangguku?”

“Kau tidak berenang, baby?” kata Kai tidak peduli dengan kata-kata Jeo Rin barusan. Ia duduk di tempat yang ditempati Youngmin tadi. Jeo Rin memperhatikan Kai. Ia baru menyadari satu hal saat ini. Warna kulit Kai berbeda dari namja-namja yang pernah ia temui. Lebih tepatnya warna kulitnya tidak seperti kebanyakan warna kulit orang Korea. Gelap. Dan Kai memiliki tubuh yang bagus. ‘Apa yang kau pikirkan Jeo Rin?’ buru-buru Jeo Rin menepis pemikirannya.

“Sepertinya kau sudah menemukan tempat yang cocok untukmu.” Kai menatap Jeo Rin bingung.

“Kau lebih cocok tinggal di pantai daripada di kota.”

“Maksudmu?”

“Warna kulitmu. Kau lebih pantas tinggal di pantai.” Kai tersenyum mendengar ucapan Jeo Rin.

“Ini nilai lebih yang tidak dimiliki namja lain. Aku…. Sexy.” kata Kai dengan penekanan di kata sexy.

“Kau percaya diri sekali.”

“Kau tidak berenang, Rin-ah?” tanya Kai lagi. Jeo Rin langsung memasang headsetnya. Memutar lagu denngan volume maksimal. Mengabaikan Kai. Kai yang merasa di abaikan langsung melepas headset dari telinga Jeo Rin lalu meletakkan iPod Jeo Rin di tepi bangku. Dengan gerakan cepat Kai menggendong Jeo Rin menuju pantai.

“Yaaa… apa yang kau lakukan? Turunkan aku!” Jeo Rin memukul-mukul dada Kai. Kai langsung melepas gendongannya begitu berada di pantai dengan kedalaman sedadanya. Membuat Jeo Rin tenggelam karena Kai melepas gendongannya tiba-tiba. Kai tersenyum puas karena berhasil membawa Jeo Rin ke pantai.

“Kau benar-benar menyebalkan.” kata Jeo Rin sambil merapikan rambut panjangnya.

“Wow… Baby, kenapa kau tidak melepas kaosmu? Tubuhmu benar-benar indah.” Kai memandang kagum tubuh Jeo Rin. Kaos putih tipis Jeo Rin yang basah mencetak dengan jelas bra hitamnya. Jeo Rin berjalan ke tepi pantai.

“Baby, kau mau ke mana?” ia tidak mempedulikan Kai.

“Jeo Rin, kau benar-benar sexy. Bahkan lebih sexy dari yeoja berbikini itu.” Chanyeol sambil menunjuk seorang yeoja.

“Kau mau berenang denganku? Tapi lebih baik kau singkirkan kaosmu itu.” kata Chanyeol dengan tatapan menggoda. Jeo Rin tidak mempedulikan Chanyeol. Ia mencari Mi Sun. dan ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Kris dan Mi Sun saling menyiram air. ‘Ada apa dengan anak itu? Bukankah ia sangat membenci Kris?’ batin Jeo Rin.

“Lebih baik aku kembali ke mansion.” Baru lima langkah ia berjalan, langkahnya terhenti karena seseorang memanggilnya. Tapi ia melanjutkan langkahnya lagi.

“Jeo Rin..” ‘aku seperti tidak asing dengan suara ini.’ batin Jeo Rin.

“Kang Jeo Rin…” Jeo Rin langsung membalikkan badannya melihat siapa yang memanggilnya.

“Zelo?” ucap Jeo Rin ragu. Orang itu semakin dekat dengan Jeo Rin.

“Kau benar-benar Kang Jeo Rin?”tanya orang itu begitu berhadapan dengan Jeo Rin.

“Zelo… bogoshipo.” Jeo Rin langsung memeluk Zelo.

“Na do.” Zelo balas memeluk Jeo Rin. Kai dan Chanyeol yang sedang dikelilingi banyak yeoja melihat tidak percaya ke arah Jeo Rin. Jeo Rin berpelukan dengan namja. Dan namja itu bukan Suho.

“Siapa namja itu? Sepertinya bukan murid EXO.” kata Chanyeol. ‘Cukup dengan Suho kau membuatku panas, Rin-ah. Sepertinya kau sama dengan Min Young. Tidak peka. Hanya kau yeoja yang kuperlakukan dengan khusus.’ batin Kai.

“Dia benar-benar tidak peka.” kata Kai.

“Dia bukannya tidak peka. Dia tidak peduli padamu, Kai.” kata Chanyeol sambil tertawa. Kai meninggalkan Chanyeol. Ia berjalan menuju Jeo Rin dan namja itu.

“Kau benar-benar berubah, Zelo. Makin tinggi dan tampan. Eumm … tapi suaramu tidak.” Kata Jeo Rin.

“Kau juga makin cantik.” puji Zelo.

“Kalau bisa aku mau suaraku seperti ini terus.”

“Kau kembali ke Seoul?” Zelo adalah teman Jeo Rin saat di Junior High School, tapi saat kelas dua ia pindah ke Jepang mengikuti orang tuanya.

“Ani. Aku hanya berlibur ke sini. Kau, Jeo-ya?”

“Aku juga.”

“Kau masih dengan Suho hyung?”

“Ne.” Zelo menganggukkan kepalanya mengerti.

“Kau mau berenang denganku? Sudah lama kita tidak berenang bersama.” ajak Zelo. Jeo Rin mengangguk. Zelo menarik tangan Jeo Rin menuju pantai tapi langkahnya terhenti karena seseorang menahan tangan Jeo Rin yang satunya.

“Lepaskan tangan Jeo Rin!”

“Kau siapa?” tanya Zelo bingung. ‘Tidak mungkin Suho hyung.’ batinnya. Jeo Rin menghempaskan tangan Kai.

“Jangan pedulikan dia, Jun-ah. Dia orang gila.” Jeo Rin menarik Zelo menuju pantai.

“Aku orang gila? Aku memang tergila-gila padamu, Rin-ah. Dan karena aku gila kau harus menjadi milikku.” Kai mengedarkan pandangannya ke seluruh pantai. Kai tersenyum dengan apa yang ia lihat.

“Ternyata kau juga ikut liburan. Choi Eun Na, kau akan menjadi partner dalam rencanaku. Bersabarlah, baby. Sebentar lagi kau akan menjadi milikku. Tinggal menunggu waktu yang tepat.” Kai menyeringai.

##############

Tiga hari sudah Jeo Rin menemani Zelo di Pulau Jeju. Saat ini Jeo Rin sedang mengantar Zelo ke airport.

“Hubungi aku kalau kau sudah sampai di Jepang.”

“Ne, aku titip salam untuk Suho hyung.” Jeo Rin mengangguk.

“Jeo-ya…” tiba-tiba Zelo mencium bibir Jeo Rin. Sama seperti saat Jeo Rin mengantar Zelo dulu, bedanya Zelo hanya mencium pipi Jeo Rin dan saat itu ia langsung mendapat tonjokan halus dari Suho. Zelo melepas ciumannya. Menatap wajah terkejut Jeo Rin.

“Dulu aku sangat ingin merebut ciuman pertamamu. Tapi aku kalah cepat dengan Suho hyung. Hubungi aku kalau kau sudah tidak dengan Suho hyung lagi. Aku pasti langsung kembali ke Seoul saat itu.” Zelo melambaikan tangannya di depan wajah Jeo Rin karena Jeo Rin mematung dari tadi.

“Kenapa kau menciumku?” Zelo terkekeh.

“Salam perpisahan. Kau ingat apa yang kukatakan tadi kan?” Jeo Rin mencoba mengingat apa yang dikatakan Zelo.

“Yaaa… kau ingin aku putus dengan Joon Myun oppa?”

“Tidak selamanya hubungan kalian mulus, Jeo-ya. Aku hanya menunggu kemungkinan itu. Aku pulang. Jaga dirimu baik-baik.” Jeo Rin terus melihat Zelo sampai Zelo hilang dari pandangannya.

“Apa jadinya kalau Suho tahu kau dicium namja lain?” tiba-tiba Kai berdiri di samping Jeo Rin.

“Neo! Kau mengikutiku?” Kai memang mengikuti Jeo Rin selama Zelo berada di Pulau Jeju.

“Apa Suho akan memukul namja itu sama seperti saat ia tahu aku menciummu di club?”

“Bukan urusanmu. Lagipula Joon Myun oppa mengenal Zelo.” Jeo Rin meninggalkan Kai.

“Sebentar lagi semua yang berhubungan denganmu akan menjadi urusanku, Rin-ah.”

##########

“Aku ingin menawarkan kerja sama denganmu.” Kai menghalangi jalan Eun Na yang baru keluar dari kamarnya.

“Aku tidak tertarik.” Eun Na berjalan melewati Kai tapi ia berhenti begitu mendengar perkataan Kai.

“Rencanaku bisa membuatmu mendapatkan Suho… dan aku mendapatkan Jeo Rin.” Eun Na membalikkan badannya.

“Aku tahu kau menyukai Suho sejak lama.”

“Apa rencanamu?” Kai membisikkan rencananya pada Eun Na.

“Eonje?”

“Besok. Pesta malam terakhir liburan.”

“Baiklah.”

###########

“Jeo Rin.” Eun Na menghampiri Jeo Rin yang sedang sendirian di pesta itu. Pesta itu diadakan di tepi pantai.

“Eun Na eonni.” Sebenarnya dari tadi Jeo Rin mencari Mi Sun tapi ia tidak melihatnya.

“Aku baru tahu kau ikut liburan juga. Aku baru melihatmu sekarang.” Eun Na memberikan segelas minuman pada Jeo Rin. Eun Na adalah sunbae Jeo Rin dan teman Suho di Junior High School.

“Selama ini aku selalu bersama temanku yang kebetulan liburan di Pulau Jeju juga.” Eun Na mengangguk mengerti.

“Aku benar-benar kagum pada hubunganmu dengan Suho. Kalian bertahan sangat lama.” Jeo Rin hanya tersenyum mendengar ucapan Eun Na. ia meminum minuman yang diberikan Eun Na sampai tinggal setengah gelas. Tiba-tiba Jeo Rin merasa kepalanya pusing. Ya, Eun Na mencampurkan obat tidur ke dalam minuman Jeo Rin.

“Kenapa, Jeo Rin?”

“Aku tidak tahu, eonni. Kepalaku tiba-tiba pusing.” kata Jeo Rin lalu meminum habis minumannya. Eun Na yang melihat itu langsung memberi kode pada Kai yang berdiri tidak jauh dari mereka. Kai berjalan mendekati Jeo Rin dan langsung menangkap tubuh Jeo Rin yang pingsan. Kai menggendong Jeo Rin, meninggalkan pesta itu dan berjalan menuju mansion di mana Chanyeol sudah bersiap dengan mobil yang Kai pinjam dari perusahaan appanya yang ada di Pulau Jeju.

“Di mana Kris?”

“Sedang mendekati seorang yeoja. Teman Jeo Rin.”

“Baguslah. Berarti tidak ada yang tahu kalau Jeo Rin menghilang malam ini.” Chanyeol melajukan mobilnya menuju hotel tempat Kai memesan kamar. Kai menyeringai melihat Jeo Rin pingsan. Lebih tepatnya tidur di pangkuannya.

“Kita akan bermain malam ini, baby.” Kai mencium kening Jeo Rin.

“Kau benar-benar ingin memiliki Jeo Rin rupanya. Sampai-sampai kau harus menjebaknya.”

“Aku harus memilii apa yang kuinginkan, Chanyeol. Termasuk Jeo Rin.”

“Apa kau juga meminta pihak sekolah agar kelas kita dan Jeo Rin yang liburan?”

“Ani. Itu murni keputusan sekolah.” Eun Na hanya diam di samping Chanyeol mendengar percakapan mereka.

#############

“Kau di sini saja. Tidak usah ikut ke dalam. Jaga mobil.” kata Kai pada Chanyeol.

“Yaa.. kau piker aku apa? Supirmu? Aku ikut. Aku mau melihat aksimu.”

“Tidak boleh. Ini privasiku. Kalau kau melihatku, aku yakin kau akan menyewa kamar hotel dan mengajak Eun Na bermain.”

“Kau pikir aku yeoja bodoh yang mau dengan namja seperti kalian.” kata Eun Na tidak terima.

“Kau pikir aku tertarik padamu? Kuakui kau cantik. Tapi dadamu tidak.” kata Chanyeol sambil melihat dada Eun Na. Eun Na langsung menyilangkan tangan di dadanya.

“Jangan melihat yeoja dari bodynya saja.” kata Eun Na kesal.

“Sudah selesai bercandanya? Chanyeol, kau tunggu di sini sampai Eun Na kembali. Tenang saja tidak akan lama.”

#############

Jeo Rin terbangun dari tidur panjangnya. Masih dengan memejamkan mata ia hendak menggerakkan tubuhnya ke samping tapi tidak bias karena ia merasakan berat di dadanya.

“Mi Sun, singkirkan tanganmu.” kata Jeo Rin dengan suara seraknya. Ia masih merasa sangat ngantuk. Jeo Rin menyentuh tangan yang ada di dadanya. ‘Tangan Mi Sun tidak sekekar ini. Ini seperti tangan namja.’ pikir Jeo Rin.

“Namja?!?”  Jeo Rin langsung membuka matanya.  Menoleh ke samping dan mendapati Kai sedang tidur sambil memeluk dirinya. Dengan cepat Jeo Rin menyingkirkan tangan Kai dari dadanya. Jeo Rin langsung duduk dan melihat keadaan dirinya. Tubuhnya hanya memakai kemeja Kai. Ia melihat pakaiannya dan kai berserakan di lantai.

“Apa yang terjadi semalam? Apa…”

“Kyaaaa……..” Jeo Rin berteriak    lalu menangis membayangkan apa yang terjadi padanya. Kai terbangun mendengar teriakan Jeo Rin.

“Kau sudah bangun, baby?” tanya Kai lalu mencium tangan Jeo Rin. Jeo Rin menarik selimut menutupi tubuhnya.

“Apa yang kau lakuan padaku?” Kai mendudukkan dirinya.

“Kau tidak ingat? Semalam benar-benar indah.” Kai mengelus pipi Jeo Rin.

“Jangan sentuh aku.” Jeo Rin menampik tangan Kai.

“AKu bahkan sudah menyentuhmu lebih dari ini. Hubungan yang lebih intim.” Jeo Rin menatap marah pada Kai dengan air mata yang mengalir deras.

“Wae? Kau menyesal?” Kai menghapus air mata Jeo Rin.

“Kita melakukannya dalam keadaan sadar, baby.” Kai berakting dengan sangat bagus. Dia benar-benar cocok menjadi aktor.

“Ssst… uljima. Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita.” Kai memeluk Jeo Rin sambil menyeringai.

“Kau menghancurkan masa depanku.” Jeo Rin memukul-mukul dada Kai.

“Aku membencimu.” Jeo Rin mendorong tubuh Kai lalu turun dari tempat tidur, mengambil pakaiannya. Berjalan menuju kamar mandi.

“Baby….” Kai memakai boxernya. Tak lama kemudian Jeo in sudah keluar dari kamar mandi dengan memakai dressnya. Ia melemparkan kasar kemeja ke arah Kai. Jeo Rin menghapus air matanya. Memakai heelsnya lalu berjalan menuju pintu kamar hotel.

“Baby… kau mau ke mana?” Kai menahan tangan Jeo Rin.

“Jangan sentuh aku.” Jeo Rin menghempaskan tangan Kai lalu keluar dari kamar hotel. Kai segera mengambil handphonenya, menelepon Chanyeol.

“Yeoboseyo..”

“Yeoboseyo.. Chanyeol, kau sudah berada di hotel?”

“Sebentar lagi sampai.”

“Aissh.. kan sudah kubilang untuk berada di dekat hotel jam delapan pagi. Jeo Rin sudah keluar. Kau harus menemukannya. Buat seolah-olah kau tidak sengaja bertemu dengannya.”

“Ne. dasar cerewet.” Kai meletakkan handphonenya di tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi mencuci mukanya.

############

“Baby… kau mau pulang bersamaku?” tanya Kai yang melihat Jeo Rin kembali. Jeo Rin tidak mempedulikan Kai. Ia berjalan menuju telepon hotel. Menelepon satu-satunya orang yang bisa menolongnya.

“Yeoboseyo..”

“Yeoboseyo… Mi Sun-ah, bisakah kau menjemputku di hotel yang terdekat dengan mansion?”

“kenapa kau bias ada di sana?”

“Aku menemui temanku semalam. Aku lupa membawa handphone dan dompetku.”

“Ne, tunggu aku.”

############

“Kris, kau duduk denganku.” Chanyeol menahan Kris yang hendak berjalan ke bangku Mi Sun.

“Aku mau duduk dengan Mi Sun.”

“Kita duduk di belakangnya saja. Saat sampai di Seoul aku akan menceritakan cerita spektakuler padamu.” Kris mengikuti Chanyeol. Saat pesawat mau take off Jeo Rin baru duduk di samping Mi Sun.

“Neo  gwenchana, Jeo Rin-ah?” tanya Mi Sun yang melihat Jeo Rin memakai syal.

“Gwenchana, aku hanya tidak enak badan.” Jeo Rin menjadi aneh sejak Mi Sun menjemputnya di hotel. Ia lebih banyak diam.

“Apa yang terjadi kalau Joon Myun oppa mengetahui hal ini? Aku tidak mau dia meninggalkanku.”

TBC…….


[PO] EXO Varsity Baseball Jacket

$
0
0

717227286

 

MAU IKUTAN PO ?

FREE EXO unofficial photocard setiap pembelian 1pcs EXO Varsity Baseball Jacket !

SMS / BBM to 089693386799 / 2141363B (for price  & details)


When 7 Years Passed

$
0
0

when 7 years passed

Title : When 7 Years Passed

Author : ReeneReenePott

Cast : Kim Jongin, Park Nana(OC)

Support cast : Kim Yeonsa(OC), Janice (OC), Wu Yi Fan/Kris, Oh Sehun, Byun Baekyun

Genre : Romance, Fluff

Length : Longshoot

Rating : PG – 16

Disclaimer : Plot dan karya murni milikku, cast kecuali Park Nana, Kim Yeonsa dan Janice belong to them selfs. Sorry for miss typo, absurd plot and broken plot (?). Hope you enjoy!

 

Nana POV

 

“Na-ya, Jongin pulang. Kau mau menjemputnya di bandara tidak?” Suara yeoja yangsung menyambut pendengaranku begitu aku menempelkan ponsel ke telinga.

“Mwohae?!” Pekikku kaget. Secepat inikah? Pikiranku langsung blank.

“Astaga Nana, kenapa reaksimu berlebihan sekali, aku tahu kau rindu padanya, hahaha…”

“Aku tidak mau,” jawabku. Ingatanku melayang ke memori 4 tahun lalu. Dimana aku dan Kim Jongin masih menjadi siswa SMU. Dimana aku selalu menjadi stalkernya, dan dimana seorang Kim Yeonsa selaku sepupu Jongin memergokiku membuntutinya. Aku masih punya malu ketika Jongin ikutan memergokiku yang diam-diam selalu mengirim cokelat dan mawar ke lokernya.

“… Nde?”

“Sirreo. Aku masih punya malu, Yeonsa-ya…”

“Jadi kau tidak menyukainya lagi?” Aku terdiam. Aku tidak menyukainya. Dulu aku memang mencintainya. Mwoahaha, cinta? Apakah itu terlalu berlebihan?

Dan sialnya perasaan itu semakin bertambah dari tahun ke tahun. Membuatku seperti orang gila.

“Entahlah, Yeonsa-ya,”

“Aish, kita bicara lagi. Pesawat Jongin sedang landing. Annyeong,” aku menutup telepon tanpa memberi salam, lalu menyenderkan punggung ke kursi yang sedang kududuki. Mataku menerawang menatap layar notebook di depanku, lalu mendesah pelan.

Harusnya aku menyadarinya. Aku lupa men-stalk kegiatan Jongin setelah lulus kuliah. Dengan bodohnya kupikir ia akan menetap di sana setelah lulus dari kuliah bisnis di Stanford. Lagi-lagi aku memandang hasil rapor Jongin yang terpampang di layar notebook. Aku stalker yang handal, kan? Sampai nilai Jongin pun kuketahui.

Sempurna. Nilai-nilainya sempurna. Tapi sayangnya aku tak bisa menstalk wajahnya. Apakah bertambah tampan? Apa ia tambah menggelapkan kulitnya lagi? Bagaimana rambutnya?

Drrtt

From : Kim Yeonsa

Jongin sudah datang. Tapi dia membawa yeoja. Sungguh, mereka kelihatan mesra sekali!

Aku tertegun. Entah kenapa aku jadi ingin menangis. Park Nana pabo! Jelaslah ini yang akan terjadi. Kau pikir Jongin akan kembali dan memberikan bunga sambil berlutut di depanmu, hah?! Benar-benar mimpi yang tidak waras!

Aigoo, aigoo. Asmaku kambuh lagi. Ckckck

___

Ckrekk

Ckrek

Aku memandang hasil jepretanku lewat layar kamera DSLR yang sedang kugenggam. Fotografi masih menjadi hobiku, semenjak aku menstalker Jongin dengan kamera, hahaha…

Dengan langkah terseret kududukkan diriku di sebuah batang pohon besar yang tumbang. Semilir angin menghembus, membuat beberapa helai rambutku terangkat mengikuti angin. Mataku menerawang jauh, bukit yang menjadi objekku ini memang menyediakan pemandangan yang menenangkan. Langit biru dengan percikkan awan tipis, dan di bawah nampak perkotaan dengan semburat warna hijau yang mendominan.

“Hei,” sebuah suara membuatku menoleh. Mataku hampir meloncat keluar dan paru-paruku seakan berhenti bekerja ketika menangkap sosok di sampingku ini. Ia duduk di sebelahku, dan jujur ini membuat jantungku berdentum dengan keras.

“Kau…?”

“Apa kabar? Kata Yeonsa kau sangat sibuk,” aku menganga. Kim Yeonsa kau… Argh kenapa dia ikutan bercerita?

“Ne? Seperti yang kau lihat, hahaha… ” Aku tertawa garing ketika merasa diriku sendiri berhasil mengucapkan sebaris kalimat yang terasa kaku. Dadaku terasa sesak, tahu?!

“Masih suka memotret?”

“Hanya hobi, sih. Kau baru pulang?” Tanyaku dengan dada bergemuruh. Kalau saja dia menyadari, suaraku bergetar dari tadi.

“Hm. Aku dari bandara tadi,” ujarnya. Aku mematikan DSLR-ku dan memasukkannya ke tas ranselku. “Kau mau pergi?”

“Aku masih ada kuliah, Jongin-ssi,” aku membungkuk dan tersenyum sedikit, lalu bergegas melesat pergi dari pandangan pria itu.

Oh shit, wajahku manas sekali.

__

“Kau lama sekali, Na-ya,” Yeonsa langsung berkicau ketika aku menghempaskan diri tepat di sampingnya. Aku mengeluarkan buku mata kuliahku lalu memandangnya.

“Tadi memotret sebentar. Dosen sudah datang?”

“Belum, tenang saja,” Yeonsa ikut membuka tasnya, tapi dia malah mengeluarkan ponselnya. “Ini yeoja yang Jongin bawa di bandara tadi,” ujarnya sambil menyodorkan foto itu ke arahku. Aku meringis.

“Bawa? Bahasamu, Yeonsa,”

Deg…

Rahangku mengeras saat mendengar Yeonsa mengatakan itu, tapi reflek kulirik juga foto itu. “Yeppeun… Yeojachingu Jongin ya?” Akhirnya aku memaksakan bibirku untuk mengeluarkan sepotong kalimat.

“Geuraesse. Mereka keluar berdua,”

“Oh,” aku menggigit bibirku, menahan rasa sesak yang semakin menjadi.

“Kau tidak titip salam untuk Jongin?” Tanya Yeonsa tiba-tiba.

“Untuk apa? Balasku datar. Yeonsa mengerutkan bibirnya ke arahku.

“Ck, Jongin datang bawa undangan, bunuh diri kau,”

“Tidak akan, Kim Yeonsa. Well, mungkin aku masih men-stalk nya tapi…”

“Mwohae?! Menstalknya?! Ya! Park Nana! Kenapa kau tidak bilang-bilang?”

“Apakah aku harus bilang? Aku bukan fans Jongin yang menjajakan buruannya kemana-mana. Cukup jadi privacy-ku saja,”

“Astaga Park Nana, kupikir kau sudah berhenti menyukainya!” Aku meringis kecil.

“Yah, entah deh. Haha. Eh, Jongin tadi–”

“Apa? Kau menemuinya?” Tanya Yeonsa sambil memeriksa buku tulisnya. Aku terdiam, lalu mengalihkan pandangan.

“Ani. Apa dia sedang istirahat?” Tanyaku dengan perasaan aneh di dada.

“On, tentu saja. Tapi dia tadi keluar setelah mengantarku,”

“Astaga, kalau aku jadi dia, jetlag sudah membawaku ke alam mimpi,” sahutku dengan cengiran yang dipaksa.

Puuh…. Aku masing kurang pandai berakting. Tapi… Bukankah mereka sudah tahu? Jadi untuk apa aku berakting?

Ash… Lama-lama aku bisa gila!

___

Aku menyentuh DSLR-ku dengan tangan gemetar. Jongin di sini… Dia di negara ini… Di kota ini… Dan menginap di rumah Yeonsa! Oh shit, kamera ini mengingatkanku tentang memori ketika aku masih menjadi stalkernya!

Aku mendongak, lalu tertegun menatap Jongin yang ternyata sedang berbincang dengan Kyungsoo sunbaenim. Ternyata benar dugaanku, mereka masih memiliki kontak yang kuat. Aku mengangkat kameraku, dan membidik Jongin dalam posisi yang pas.

Klik

Klik

Untung saja flash-nya kumatikan, jadi dia tak akan menyadari kalau penyakitku saat masih SMA kambuh lagi. Lagian, siapa suruh pulang-pulang wajahnya malah makin tampan!

“Aku tahu wajahku tampan, jangan dilihat terus dong,”

Degh!

Aku mendongak dan hampir terkena serangan jantung. Bagaimana bisa Jongin ada di depanku? Heh? Tepat duduk di depanku!

Dan sialnya, aku kepergok lagi? Haah…

Mati aku.

“Sudah makan siang? Kau bisa terkena maag kalau minum kopi terus,”

“Eh?” Dan sebelum otakku kembali bekerja ia sudah memesan ramyun. Setelah pesanan ramyunnya datang, kami segera makan dengan diam.

“Jongin-ssi,” panggilku, berusaha memecang kesunyian.

“Hm?”

“Berapa lama kau menetap di Korea?” Aku menatapnya yang tiba-tiba mendongak menatapku.

“Kenapa kau menanyakan hal itu?”

Mampuslah kau, Park Nana. Jleb banget deh.

“Eh? Hanya–”

“Aku akan meneruskan bisnis ayahku di sini. Jadi aku akan tinggal di sini untuk seterusnya,” potongnya cepat yang membuatku terpaksa menelan liur.

“Oh,” hanya itu yang bisa kurespon untuknya.

“Dan kau?”

“Apa?”

“Kau akan menetap di Korea juga sehabis kuliah?” Tanyanya. Aku meneguk tehku dan kembali menatapnya.

“Memangnya aku harus kemana?” Tanyaku balik yang disambut senyumannya.

Degh

Degh

Degh

Sial!! Kenapa kau tersenyum, hah, Kim Jongin?!

Aku meneguk tehku sampai habis agar tidak semakin salah tingkah.

“Habis ini kau mau kemana?” Tanyanya lagi, tidak mengindahkan tingkahku yang sudah seperti pencuri yang ketahuan mencuri. Aku mengalihkan pandangan darinya.

“Tidur,” jawabku spontan yang membuat kedua alisnya naik. “Maksudku aku akan pulang ke rumah,” timpalku ditambah cengiran aneh.

Bukan maksudku atau keberanianku untuk geer, ya…

Tapi,

Apakah dia sedang pedekate?

HAH?!?

Hya, itu tidak mungkin!

___

“PARK NANA DIMANA KAU?!?”

“HYA KIM YEONSA AKU TIDAK TULI!!” Seruku balik dan memutar tubuhku ke belakang, ke mana suara itu berasal.

“KALIAN BISA DAIM TIDAK?!? INI PERPUSTAKAAN!!” Sebuah suara lain menyahut, membuatku dan Yeonsa menciut nyalinya. Oh yeah, itu si Jung Ill Woo, penjaga perpustakaan paling sangar abad ini.

“Oh, mianhae sunbaenim. Lupa,” jawab Yeonsa cuek lalu mengambil kursi di sebelahku yang melongo.

“Ada apa sih, kau ribut sekali dari tadi?” Protesku sambil mencoret-coret notesku yang masuh merumuskan bagaimana cara membuat efek-efek menakjubkan tingkat advance dengan Photoshop.

“Kau tahu tidak? Semalaim si Kai minta nomormu. GILA! Aku tidak tahu kau memikatnya sebegitu banyak. Ya sudah, kuberi nomor ponselmu, e-mail, akun Facebook, Twitter, blog pribadimu…”

“Yak, Kim Yeonsa, apa sih yang kau bicararakan? Kau melantur, ya?” Sahutku dengan kening berkerut. “Apa maksudmu dengan ‘memikat’? Hei, aku terdengar seperti anjing pudel pink ekslusif mencari induk semangnya, tahu!”

“Ck, Nana, ini sudah… Er… 7 tahun kau menyukainya. Ditambah ketahuan lagi. Perasaan lelaki juga bisa tersentuh, kan?”

“Haa… Aku bi–”

Naega piryuhae~

Naega piryuhae~ oh~

Aku melongok menatap layar ponselku tanpa berkedip ketika sederet nomor asing menelponku. Well, aku berharap ini Jongin. “Yoboseyo?”

“Nana-ssi? Ini Kim Jongin,”

JDER!

“UHUK!!” Shit! Kenapa aku malah tersedak liurku sendiri? “Ukh… Neh, Jongin-ssi?” Dan great! Yeonsa tengah mendelik menatapku sekarang.

“Apa kau punya waktu sabtu ini? Aku ada tiket pameran galeri, apa kau mau ikut? Aku ingin mengenalkan seseorang padamu,” mendengarnya, aku terdiam. Dia akan mengenalkanku pada gadis itu. Yah, itulah firasatku saat ini.

“Jam berapa?” Tanyaku sambil berdeham.

“Jam 5 sore di Exotic Galley. Kau tahu galeri itu,kan?”

“Ya,”

“Baiklah, kutunggu sabtu ini, oke?”

“Ne…” Kuputuskan sambungan telepan.

“Jadi, Park Nana, sudah sedekat apa kau dengannya?”

__

“Gomawo, Kris oppa,” kataku sambil tersenyum manis pada mahkluk genter yang selalu menjadi heroku–alias supir di saat keadaan genting. Well, dia sahabat baiknya Cheondong oppa, jadi apa salahnya kalau aku merepotkannya sedikit? Kk~

“Pulang juga perlu kujemput?”

“Ani. Aku akan pulang sendiri. Gomawo oppa,” aku tersenyum melihatnya mengangguk kecil tanpa melepas helm-nya.

“Halke,”

“Ne, annyeong oppa!” Aku tidak menunggu deru motor Kris oppa menghilang dari pendengaranku, jadi aku langsung berbalik memandang pintu masuk galeri yang sudah sekitar 5 meter di depanku. Kulihat seorang namja melambaikan tangan dengan gayanya yang cool ke arahku.

Oh God, darahku berdesir.

Dan shit, hari ini dia tampan sekali.

Dengan senyum tipis aku berusaha untuk tidak berlari ke arahnya, menahan kakiku agar tetap melangkah gontai.

“Menunggu lama?” Tanyaku. Kai menggeleng, lalu menunjuk ke arah belakangku. Mau tak mau aku ikut menoleh.

“Dia yang ingin kuperkenalkan padamu,” ujarnnya begitu mataku menangkap sosok wanita ber-dress hijau tosca yang elegan. High heel, gaya rambut, tas, semua high class! Aku menoleh lagi mennatap Jongin$

“Calon istrimu?” Tanyaku lagi. Dia menggeleng pelan.

“Dia teman kerjaku,” aku mengangguk.

“Kalian nampak cocok, tidak coba menjalin hubungan dengannya?” Entah kenapa aku merasa, kalau Jongin sedang menatapku tajam?

“Annyeonghaseyo,” sapa gadis itu dengan logat Korea yang agak canggung ketika sudah berada di depanku dan Jongin. Ah, pantas saja aku tak begitu asing dengan wajah gadis ini. Dia gadis yang bersama Jongin di bandara.

“Janice, ini hoobae-ku. Park Nana,” aku membungkuk pada, err… Wanita ini lalu tersenyum kaku.

“Park Nana imnida,”

“Ah ya, aku sering mendengar namamu, kau gadis yang cantik ya,” Well, sepertinya aku mengerti. Janice ini keturunan Perancis, kan? Koreanya tak begitu baik menurutku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

“Ah jinjayo? Gamsahamnida,” kataku lagi.

“Mumpung kalian gemar fotografi, jadi kuajak kesini. Yuk ah, pamerannya sudah dimulai,”

See?

Harusnya aku tak berharap banyak.

Pabo Park Nana.

__

“You’re wrong. Its two medals, you know. Not one,” Janice dengan semangat menggaet lengan Jongin. Aku memutar bola mata mendengar percakapan dua mahkluk Tuhan paling sempurnya yang berjalan berdua di depanku. Ya, ya, ya, meski aku tidak bego-bego amat dalam pelajaran Bahasa Inggris, jangan dikacangin dong!

Ya sudah deh, aku pacaran saja dengan pacarku selama 7 tahun ini, kamera. Aku jeprat-jepret (?) Saja isi ruangan ini, kalian berdua pergilah dan pacaranlah dengan baik dan benar ya?

“Oh, yap, Nana, are you hungry?” Aku mendongak ketika Janice tiba-tiba berbalik dan bicara padaku, tepat pada saat aku menekan tombol power pada DSLR-ku.

“Ne? Hungry? Oh no, I’m not,” jawaku kikuk. Kenapa Inggris hancurku ikut kebawa? Ck, muka Janice terlalu bule sih.

“Are you sure?”

“Na-ya, kkaja, kita makan,” Jongin menyentuh lenganku. Tapi aku hanya bisa nyengir.

“No, Janice. I’m not hungry at all,” jawabku asal. Pokoknya, aku memang tidak lapar, hehe.

“Jangan bohong, Park Nana. Ayo kita makan. Ini sudah jam enam sore,” paksa Jongin. Well, apa aku nampak seperti anak kecil yang susah makan di depan orangtuanya? Memalukan.

“Terserah kau deh,” aku menyerah.

__

SEHARUSNYA AKU TIDAK IKUT MEREKA, karena aku memasuki area restoran Perancis yang menunya aneh semua. Aku tidak buta dengan masakan Perancis, tapi, oh ayolah, ini Korea, bung! Kau pulang ke Korea untuk makan masakan Prancis? Pergi ke Paris saja sana! Tapi memang sih, perutku sudah mulai lapar tapi masakan Eropa yang kebanyakan terbuat dari susu, daging dan terigu tak akan cukup memuaskanku. Kenyang makan nasi dengan kenyang makan gandum berbeda di tubuhku.

“Aku pesan salad saja,” ujar Janice dengan bahasa Korea yang agak kaku-nya.

“Aku black pepper fettuccine,” sahut Jongin. Aku mengangkat alis. Dia masih maniak merica?

“Anda, nona?”

“Aku chocolate truffle ice cream porsi jumbo,” balasku enteng sambil menutup buku menu.

“Ice cream?” Kedua alis Janice berkerut.

“Aku suka ice cream,” sahutku tanpa dosa.

“Kau tidak makan?” Tanya Jongin. Aku hanya menggeleng tanpa melihat ke arahnya.

“Aku sedang ingin ice cream,” sahutku dengan cengiran. “Aku permisi ke toilet, ya,”

 

Author POV

 

Nana membungkuk dengan canggung sambil menyeret tasnya yang besar dan berisi berbagai benda berharga miliknya itu. Begitu ia memasuki bilik toilet perempuan, ia langsung menuju wastafel, membuka keran dan melepas ikat rambutnya.

“Haah.. dua orang itu membuatku panas. Ck,” Nana mengacak rambutnya lalu mengepangnya. Ia bilas wajahnya dengan air dingin, lalu mengeringkannya. Setidaknya resistor otaknya sudah tidak sepanas tadi. Dengan diam ia melangkah kembali keluar toilet agar tidak dicurigai Jongin dan Janice.

“Kai, you don’t believe me?” langkah Nana semakin pelan seiring ia mendekati meja yang tadi didudukinya. Dilihatnya kedua orang yang berdiskusi serius, tapi Nana yakin sekalai kalau itu bukan soal pekerjaan.

“Kai, pelase, let me prove it…” Nana benar-benar menghentikan langkahnya karena kejadian itu begitu cepat. Kejadian dimana Janice menarik tengkuk Kai dengan agresif dan mendaratkan bibir indahnya di atas bibir milik pria itu.

Chu~ <3

Nana menatap keduanya dengan nanar dan mulut menganga. Rasa perih seperti ditusuk ribuan tombak menyerang dadanya seketika. Kedua tangannya melemas, ia hampir tak bisa bernafas. Seharusnya dia tahu hal ini akan terjadi, cepat atau lambat.

Ya, seharusnya ia tahu…

 

Nana POV

 

Aku tak tahu apa yang kulakukan, tapi yang kutahu aku tengah melangkah cepat hampir berlari, menuju ke halaman restoran tanpa sepengetahuan mereka berdua yang mungkin masih asik melakukan aktivitas mereka. Memikirkannya hatiku sangat nyeri. Park Nana bodoh! Harusnya aku tahu akan seperti ini. Harusnya aku melepasnya, bukan berangan tentangnya. Ya, harusnya…

Berjalanlah diriku dengan airmata yang sudah tumpah-ruah. Aku tidak menangis, aku tidak ingin mengungkapkannya begitu. Aku ingin menganggap kelenjar air mataku bocor sehingga air mataku hanya mengalir dan terus mengalir keluar.

Aku menyetop taksi dan langsung masuk, tidak peduli uang jajanku bisa habis untuk biaya kendaraan ini. Yang terpenting tidak ada yang tahu kalau aku menangisi seorang namja. Namja yang jelas-jelas kutahu seperti bintang bagiku. Sangat jauh dan tak mungkin kuraih.

“Kita kemana, aggashi?”

“Ke Cheongdamyeon, dekat Myeong-dong. Blok D nomor 16,” ujarku sambil mengusap wajah cepat-cepat.

Setelah ini, aku ingin menangis sepanjang malam sampai tertidur.

__

Two days later…

Aku mengaduk sup misoku dengan tak bersemangat. Sejak sabtu sore aku belum makan, dan tidak ingin makan. Hish. Bukankah lebih baik move on? Sial, aku sama sekali tidak memikirkan hal itu 7 tahun yang lalu. Dan sekarang sudah terlambat. Susah melupakan pria itu sekejap mata.

“Hei, my lovely only chingu, kenapa melamun, hm?” aku menegakkan punggungku ketika merasa tangan Yeonsa merangkul bahuku.

“Ye?”

“Eh, Kim Jongin minta alamatmu, loh. Kalian ada hubungan apa, sih? Sampai-sampai Jongin senewen sejak hari Sabtu, sehabis kalian jalan-jalan,”

“Oh,” responku malas. Kim Yeonsa itu, bisakah dia tidak menjadi koran berjalan dan memberikan semua informasi yang diketahuinya padaku? “Memangnya untuk apa?”

“Mana kutahu. Katanya sejak kemarin Sabtu kau tidak bisa dihubungi, nonaktif kata Jongin. Ada apa sih?” tanya Yeonsa lagi. Kim Yeonsa, kau terlalu perhatian padaku.

“Kemarin ponselku kulepas baterai. Hari ini ada kuis, kan? Aku tidak ingin diganggu,” jawabku singkat. Bohong, dan mencari alasan. Ya, kemarin aku langsung pulang tanpa pamit kepada kedua mahkluk itu. Sebenarnya itu tidak boleh, karena akan merugikanku. Ck, aku mengekspresikan perasanku dengan jelas sekali.

“Ya, katanya dari hari Sabtu ponselmu tidak aktif. Aku mengirimimu pesan juga tak kau balas. Kau sedang menghindarinya, ya?” selidik Yeonsa. Aku berdecak lalu memaksakan dri menyeruput sup miso-ku yang mulai mendingin.

“Aku juga beli nomor baru. Ya, aku memang sedang menghindarinya. Kuharap kau mendukungku, Kim Yeonsa, aku dalam guncangan sekarang,” jawabku sadis sambil melirik Yeonsa. Dapat kulihat bahu Yeonsa turun.

”Yah, mana kutahu kau sedang kacau gara-gara sepupuku itu. Kuberikan alamatmu padanya,” jawab Yeonsa lesu. Aku mendelik.

“Kim Yeonsa, ini tidak lucu,” ucapku setengah merana. Ah, mungkin aku terlalu drama-queen.

“Sungguh, Na-ya, aku tak sengaja. Dia memintanya dengan raut wajah serius, karena itu kuberikan. Kupikir kalian sedang memiliki masalah,”

“Anak itu kenapa sih? Tidak henti-hentinya mengganggu hidupku,” desisku geram. Yeonsa hanya menatapku sambil tertegun. “Wae?”

“Sudah kubilang, Park Nana, laki-laki juga akan luluh bila ada yeoja yang selama 7 tahun terus menunggunya. Kenapa Cheondong bisa punya adik bolot sepertimu, sih?”

“Maksudmu?”

“ER! Kau benar-benar idiot dan bolot. IQ-mu berapa? Jongin jelas mulai tertarik padamu, pabo!”

Ketap, ketip.

Aku hanya berkedip beberapa kali sambil menatapnya. “Cih, dramatis sekali. Aku tak mengharapkan perasaannya kok,”

 

Author POV

 

Nana melangkah gontai menelusuri jalan setapak menuju apertemen mungilnya. 75% otaknya sudah lupa bahwa di pagi hari ia barusan terkena serangan khawatir mendadak karena mengetahui fakta Kim Jongin meminta alamat rumahnya. Bah! Untuk apa?

Kedua matanya menyipit ketika melihat sebuah mobil audi sport hitam nangkring di depan apertemennya dengan manis. Karena, seingatnya 2 orang tetangga apertemennya tidak ada yang punya mobil audi. Kecuali kalau mereka menang lotre, tentu saja.

“Hai, Nana-ssi,” jantung Nana melonjak ketika seseorang menyapanya ketika ia baru saja mmelewati pintu pagar.

“J-Jongin-ssi…” Nana tergagap. Ia lupa kalau Kai tahu dimana ia tinggal. Ditambah, pria itu langsung menemuinya. “Kenapa kau di sini? Kau masih memakai pakaian kantor,”

Tapi Jongin hanya tersenyum dan mengabaikan pertanyaan Nana. “Kutemukan juga kau. Tak membawaku masuk?” tanya pria itu dengan tatapan menghujam mata Nana.

“Ah, ye, silahkan,” Nana mendahului Jongin untuk menunjukkan kamar apertemennya sambil mencari kunci pintu. Jongin menatap punggung Nana sejenak, lalu memandang beerkeliling. Rumah besar ini sebenarnya agak tidak cocok di sebut apartemen, karena hanya berupa sebuah gedung besar dua tingkat dengan tiga kamar apertemen. Ditambah ssatu kamar untuk si empunya bangunan yang sudah berusia lanjut.

“Silahkan masuk,” ujar Nana datar sambil membuka pintu apertemennya. Jongin menanggalkan sepatunya sementara wangi lily of valley menyambut penciumannya.

“Maaf, apertemenku berantakan,” ujar Nana buru-buru, “Kau ingin minum apa? Kopi atau teh?”

“Tidak usah repot, Nana-ssi,” tapi Nana sudah keluar dengan dua botol jus di tangannya.

“Igae, Jongin-ssi,” Nana menyodorkan sebotol jus jeruk itu ke tangan Jongin. “Ada apa datang ke sini? Darimana kau tahu alamatku?”

“Ah,” Jongin membuka tutup botol itu lalu meneguk isinya. Sedari tadi Nana hanya melihati jakunnya yang bergerak naik turun. Astagaaa Park Nana kenapa bisaaaa diriku punya otak yadong seperti itu? ER! “Aku minta informasi dari Yeonsa,”

Ah iya. Aku lupa. Yeonsa sudah heboh memberitahuku tadi. “Lalu ada apa kau ke sini?” tanya Nana lagi, memaksakan ekspresi datar padanya. Tunggu, apakah ia nanti akan menyadari kalau aku sedang menghindarinya? Aaah molla molla. Batin Nana kacau.

“Tidak ada apa-apa sih. Hanya saja kemarin kau pergi tanpa pamit. Aku dan Janice khawatir kalau kau sakit atau apa. Aku mencoba menghubingimu sejak Sabtu tapi kau tidak aktif,” lapornya jujur dan terus terang. Gotcha! Ada embel-embel Janice di kalimatnya, mungkin di suruh Janice untuk menanyaiku, mungkin? Cih, mengesalkan.

“Aku dapat kabar sepupuku masuk rumah sakit kemarin. Jadi aku langsung kabur dan tidak sempat berpamitan,” karang nana dengan memasang tampang sok bersalah. “Ponselku low battery dan lupa kutaruh dimana. Aku menemukannya di tepi wastafel pagi ini,” kapan-kapan aku akan menulis novel kalau aku semakin pandai mengarang seperti ini. Batin Nana lagi, konyol.

“Ah, begitu. Kemarin Janice ingin berbicara banyak padamu,” Janice, Janice, Janice, Janice, JANICE! Lebih baik kau tak usah temui aku untuk curhat tentang kekasihmu itu, Kim Jongin!

“Ah, geuraeyo? Sekarang dia ada dimana?”

“Sekarang dia sedang rapat di kantornya. Aku juga sebentar lagi ada rapat,” ujar Jongin pelan sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Kalau begitu kau harus bergegas. Kau tidak boleh terlambat kan,” sahut Nana sambil mengangkat bahu. Jongin hanya mengangguk dan bangkit lalu memakai sepatunya di depan pintu, bersiap meninggalkan apertemen Nana.

“Ne, lain kali aku akan berkunjung lagi. Gomawo jus-nya, Nana-ssi,” Nana hanya tersenyum tipis sambil melihat punggung Jongin yang mulai menghilang menuruni tangga. Dan ketika Nana sudah menutup pintu dan menguncinya,

“YAK! TIDAK USAH DATANG LAGI! ARGGHHH!”

Kim Jongin, kau hanya membuatku semakin sakit hati.

__

Nana melangkah sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal, ia meniti tangga kampusnya dengan penuh emosi. Untung situasi saat itu sedikit sepi, sehingga teman-teman sefakultasnya tak akan mengira kalau ia kerasukan setan marah atau sedang PMS. Ia menenteng beberapa buku cetak super-tebal untuk salah satu mata kuliahnya pagi itu, dan ia membawanya dengan sangat emosional.

Bip bip

Ponselnya bergetar. Dengan decakan malas itu menyambarnya dari kantung celananya dan membuka pesan itu.

From : Jongin-KAI

Jadi? Bagaimana? Kenapa kau balasnya lama sekali? Janice ingin sekali makan siang denganmu.

Nana benar-benar akan melempar ponselnya ke papan tulis yang jaraknya cukup jauh di depannya. Tapi baru saja ia mengambil ancang-ancang untuk mengubah ponselnya menjadi pecahan puzzle dan memperkirakan kapan ia akan membeli ponsel baru, sebuah undangan terulur kepadanya. Otomatis ia menunda dulu aktivitasnya yang berisiko besar itu dan memperhatikan undangan maupun pemberinya.

“Apa ini Yeonsa-ya?” tanyanya bingung. Yeonsa hanya nyengir.

“Undangan ke pesta ulangtahun-ku. Datang please…” Nana mengangkat sebelah alisnya heran.

“Pesta? Sejak kapan kau membuat pesta, Kim Yeonsa?” kan kini Yeonsa yang bengong. Nana memiringkan kepalanya sedikit lalu menepuk jidatnya sendiri dan terkekeh kecil. “Oh ya, maaf, Yeonsa-ya, kau selalu membuat pesta tapi aku jarang datang,”

“Pokoknya kali ini kau harus datang, Park Nana. Atau persahabatan kita putus,” desis Yeonsa seram. Nana bergidik. “Oh ya, tadi apa yang akan kau lakukan dengan ponsel Samsung butut-mu itu?” tiba-tiba ekspresi Yeonsa berubah dan itu membuat Nana bingung.

“Aku ingin menghancurkannya,”

“Lalu kenapa tidak sekarang kau lempar?”

“Mood-ku sudah hilang,” ujar Nana kalem lalu mengetikkan pesan balasan kepada Jongin.

To : Jongin-KAI

Baiklah.

__

Nana mengaduk-aduk Zoupa Soup-nya sambil bertopang dagu dengan tatapan kosong. Sementara Jongin dan Janice yang memaksanya makan siang bersama hanya berbincang seru dan mengacuhkan Nana yang akan menulis di jidatnya sendiri “AKU BUKAN OBAT NYAMUK” bila ia tidak ingat kalau sekarang berada di sebuah restoran mewah. Tadinya ia ingin memesan bibimbap namun sayangnya menu itu tidak ada, akhirnya ia memesan sup krim dengan puff diatasnya yang bisa ia makan untuk mengganjal perut.

“Geuraeyo, Nana-ssi?” tanya Janice tiba-tiba. Nana tersentak dari tatapan kosongnya lalu mendongak.

“Ne?”

“Astaga, aku tidak mengajakmu makan untuk bengong seperti itu,” ungkap Janice sedikit bergurau. Jongin yang duduk di samping Janice hanya cengangas-cengenges, dan jujur membuat Nana sedikit ingin muntah.

“Ah, geurae,” Nana hanya menjawabnya dengan desahan pasrah yang dijawab dengan tatapan bingung dari Janice.

“Kau kenapa? Kau nampak sakit?”

“A-ani. Aku hanya kurang tidur. Semalam nonton drama sampai jam empat pagi,” jawab Nana ngasal dan gugup. Jongin menyipitkan matanya.

“Sejak kapan kau suka drama?”

“Sejak Suneo menembak Sizuka, dan Nobita menjadi sahabat karib Giant,” dan setelah itu makan siang menjadi sangat mengesalkan bagi Nana, meski ia berhasil membuat Jongin dan Janice tertawa dengan berapa lelucon garingnya yang kelewat garing.

__

Yeonsa’s Birthday

Nana menghempaskan tubuhnya lemas di atas kasur, malas mengetahui kalau hari ini ia harus berpesta. Ingat, PESTA. Bold, Underline, dan Italic kata itu. Kenapa Nana tidak suka pesta? Bah, Nana tidak suka keadaan dimana kerumunan orang dengan gaun kerlap-kerlip saling berbincang dengan ributnya, menyapa teman, menatap rekan-rekannya dengan pandangan berapi-api seakan tahu gosip headline paling top. Gendang telinganya paling anti dengan suara yang tumpang tindih dan tidah jelas arahnya seperti itu. Tiba-tiba sudut matanya menangkap box yang ia geletakkan di atas kursi meja riasnya, setelah ia dapatkan beberapa hari lalu. Kotak itu sama sekali belum ia sentuh, padahal Yeonsa sudah meneriakinya agar segera membuka kotak itu.

Dengan langkah terseret ia mendekati kotak itu, melepas note kecil yang tertempel di sisi atas kotak. Ia membaca cepat tulisan tangan Yeonsa yang agak miring-miring itu.

Aku tahu kau pasti bingung memilih gaun pesta. Aku sudah belikan, dan ini sangat cocok untukmu. Aku tahu kau punya banyak di lemarimu, tapi itu semua sudah kebesaran sayang, kau kan turun 6 kilo sejak setahun kemarin! Bagaimana aku bisa tahu? Haha, jangan ragukan kepala UKS Kim Yeonsa!

Dipakai ya, aku juga sudah siapkan sepatu dan beberapa aksesori di dalamnya. Aku tahu kau pintar menggunakan make up, jadi dandanlah secantik mungkin untuk sahabatmu ini. Aku akan berikat kejutan untukmu, oke?

Kim Yeonsa

Nana memiringkan bibirnya lalu membuka tutup kotak itu. ia tertegun mendapati sebuah gaun dengan mini dress yang atasannya kemben berwarna baby pink, sebuah silver belt yang masih terbungkus rapi di sisinya, dan stiletto berwarna silver juga. “Beuh, aku harus mengurai rambutku,” ia melirik jam dindingnya kemudian menatap gaun itu lagi, “Dan aku masih punya waktu untuk mandi dan keramas,”

Sekitar satu jam kemudian, Nana sudah siap dengan gaunnya dan sedang sibuk merias wajah dan rambutnya. Ia memakai warna yang agak gelap untuk matanya, membuat rambutnya yang sangat lurus itu menjadi sedikit wavy, dan menjepitnya dengan jepitan perak. Ia memasang kalung stakel  emas putih yang sudah lama ia punya, meraih dompet pestanya yang sengaja ia pilih berwarna pink pucat. Kini ia sibuk memandang pantulan dirinya di cermin.

“Kim Yeonsa, ini penghargaanku paling berharga untukmu, oke? Hwaiting!”

__

Seorang Park Nana bukannya tidak bisa berjalan dengan sepatu hak tinggi terutama stiletto, tapi, oh, ayolah bung, kau juga akan merasakan efeknya hanya dengan berdiri selama setengah jam! Sedari tadi gadis cantik itu hanya mendesah ringan sambil mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai. Entah berapa kali pula gadis itu terpaksa melepas sepatunya bergiliran kanan dan kiri—kalau tidak mau kram dan tidak bisa pulang ke apartemennya. Selama setengah jam ini ia sama sekali belum bertemu dengan yang empunya pesta, karena ball room hotel yang disulap menjadi bar mewah itu dipenuhi banyak orang. Nana sulit bergerak kesana-kemari.

“Kim Yeonsa, kau dimana? Aku seperti orang cengo di sini,” gumam Nana putus asa. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya pelan, membuat Nana berputar membalikkan tubuhnya.

“Kau Nana-ssi! Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini!” Nana memaksakan seulas senyum untuk wanita yang super duper sempurna ini—Janice lalu membungkuk sopan.

“Ah, ye, aku teman baik Yeonsa,”

“Jinjaro? Pantas saja kau berdandan spesial untuknya. Wah, kau nampak berbeda,”

“Anda juga nampak mengagumkan, Janice-ssi,”

“Kau mencari Yeonsa, ya? Tadi dia berbincang dengan Sehun, Baekhyun dan Kai. Kau mau ikut aku?” tawar janice masih dengan senyum manisnya. Nana menggerakkan tangannya sambil menggeleng.

“Ah, aniyo, akan kutemui dia nanti,”

“Eii… aku tahu kau ingin segera memberikan hadiah itu untuk Yeonsa. Lagipula, tidak enak kalau Yeonsa sendirian dengan tiga laki-laki nakal itu…” entah darimana Janice sudah menggandeng Nana dan menyeretnya ke tepian, dimana sebuah bar yang sangaaat panjang terletak dengan orang-orang yang memesan beragam minuman.

“Laki-laki nakal?”

“Well, the truth is Yeonsa has a same habit like them. Soccer,” jawab Janice kemudian. Nana hanya mengangkat alisnya tanda mengerti lalu mengangguk kalem. “Yeonsa! She’d arrive!”

“Annyeong,” Nana menggoyangkan tangannya lagi, menyapa Yeonsa yang menoleh dan menatapnya tanpa berkedip.

“Nana-ya?”

“Eung? Igae, kado untukmu. Tidak seberapa sih, tapi…”

Grep!

“WUAH! Akhirnya kau datang juga. Kalau kau tidak datang besok aku akan mencincangmu di depan Professor Kim. Eh, apa ini?” Yeonsa menghentikan celotehannya dan melepas genggaman tangannya di tangan Nana ketika Nana menyodorkan sebuah bingkisan ke arahnya.

“Kado untukmu. Aku sengaja pilihkan yang high class, kau tahu, dan itu cukup menguras dompetku yang pas-pasan,” cerita Nana. Yeonsa tersenyum senang dan menerima hadiah itu.

“Gomawo Na-ya, hei, kau mau minum?”

“Memangnya di sini ada minuman yang bisa kuminum?” tanya Nana polos. “Aku anti alkohol, oke?”

Yeonsa memutar bola matanya kesal. “Aku siapkan cocktail sampai ice cream untukmu. Bahkan, aku spesial memesankan kimbap untukmu,” jawab Yeonsa bangga. Nana menganga.

“Tapi aku tidak melihat ada kimbap sedari tadi, oh, aku sudah lapar tahu! Yang kumakan hanya puding buah!” kata-kata Nana membuat Yeonsa nyengir.

“Sengaja, karena aku hanya menyediakannya di bar yang di sini,” Yeonsa memutar kepalanya untuk memesan sepiring kimbap yang siap dimakan (?). “Oh, ya kukenalkan kau kepada… hei! Kalian, sini! Ada cewek cantik saja, langsung mengkeret,”

Nana mengangkat alis tinggi-tinggi ketika melihat tiga pria yang salah satunya ia kenali sebagai Kai—oh, Kai nampak tampan sekali!—dan Janice yang menggandeng tangan Kai. Kenyataan itu membuat Nana sedikit mendengus.

“Nah, kalian, cowok single, ini tukang tidur di kelasku. Park Nana—akh!” Yeonsa meringis ketika Nana menjitak kepalanya.

“Ya, kenapa reputasiku jelek sekali?” gerutunya. Yeonsa hanya nyengir.

“Dan Na-ya, ini Oh Sehun,” Nana membungkuk sopan kepada pria rambut blonde yang ditunjuk Yeonsa, “Dan ini Byun Baekhyun. Mereka temannya Kai, dan temanku juga,”

“Annyeonghaseyo, Park Nana imnida,” sapa Nana agak canggung dengan seulas senyum.

“Oh Sehun imnida, bangapseumnida,”

“Byun Baekhyun imnida, hei, apa kau sudah punya teman kencan?—yak! Kim Yeonsa kenapa memukulku?” Baekhyun melotot pada Yeonsa yang memukul bahu Baekhyun dengan tidak berkeprimanusiaan.

“Hei, pikirkan No Minri-mu eh, dia hanya berlaku untuk Sehun dan Kai! Er!” jawab Yeonsa diselingi tawa kecil.

“Ya, Kim Yeonsa, memangnya aku barang jualan?” komentar Nana tidak terima. Yeonsa menatap Nana dengan tatapan tidak berdosanya, dan tiba-tiba seseorang menepuk bahu Yeonsa.

“Ye?”

“Saengil chukkae,” gumam seorang pria. Yeonsa tersenyum lalu menerima hadiah yang disodorkan pria itu.

“Xie xie gege,” jawab Yeonsa dengan senyuman. Tatapan pria itu beralih pada Nana yang kini sedang membulatkan matanya.

“Kris oppa?”

“Hei, Na-ya, kau di sini juga? Cheondeong mana?” Nana tersenyum, ketika semua mata memandang mereka berdua.

“Ne, ah, bukankah oppa sedang ada di Italia? Masa kau lupa oppa?” tanya Nana. Kris berpikir sejenak, lalu tertawa.

“Haha, ne, aku lupa. Kupikir ia sudah pulang tapa memberitahuku,”

“Tidak akan, dia akan segera memberitahumu untuk ke warnet dan bermain DotA,”

“Jadi, Na-ya, kau kenal Yi Fan gege?” tanya Yeonsa bingung. Nana mengangguk kecil.

“Kris oppa teman seangkatan oppaku waktu kuliah, hehe,”

__

Nana benar-benar tak habis pikir, apa yang membuat ia rela dibawa Kris ke suatu tempat—ia tak tahu dimana, sepertinya sih di luar ball room—dan ia mengabaikan ajakan Yeonsa untuk menemaninya ke toilet, ditambah tatapan tajam Jongin yang sempat ia ketahui dari lirikan pria itu. Setidaknya ia membela diri sendiri, kalau ia mencari ketenangan di pesta yang riuh itu. dan, Kris merupakan pria yang ia percayai karena sudah lama ia mengenalnya.

“Kau kenapa oppa? Bukankah kau juga suka pesta seperti ini?” Nana bertanya mencoba memecah keheningan, karena sedari tadi Kris hanya mengenggam tangannya. Pria itu mengalah, la melepas tangannya dan membiarkan Nana berjalan beriringan dengannya.

“Kau juga. Tumben ikut pesta seperti ini,” Kris berdeham ketika menyadari suaranya bergetar, “Penampilanmu juga berubah,”

“Yeonsa yang memintaku. Kalau dia cuek-bebek sih aku sendiri ogah datang ke pestanya,” Nana terkekeh kecil ketika melihat Kris yang sedari tadi menggaruk tengkuknya. “Kau kenapa? Tingkah lakumu aneh sekali,”

“Csh, untuk Yeonsa, ya?” Kris bergumam tidak jelas, membuat Nana terpaksa mengerutkan keningnya. “Kapan kau berdandan untukku?”

“Eung?”

“Kapan, kau hanya memerhatikanku?” langkah Kris terhenti, kini matanya menatap mata Nana dalam.

“Mwohae?”

“Kapan, kau hanya memerhatikanku, memikirkanku?” tanya Kris lagi dengan suara lebih keras. Mulut Nana menganga, sekarang gadis itu hanya berharap ada lalat masuk dan menyadarkannya dari lamunannya.

“Apa maksudmu, oppa?”

“Nan naega joahae,” Kris menghembuskan napasnya dengan sangat berat, lalu menatap Nana dan menggenggam tangannya. “Nae yeojachingu-ga, dwae-o jullae?”

Nana mematung. Bibirnya terkunci, otaknya mulai tidak sinkron. “Yeoja… chingu?” gumamnya ragu, namun masih menatap mata Kris.

“Kau tidak percaya?” Kris mencebik, ia kelihatan sangat tidak sabar. Nana membelalakkan matanya ketika bibir Kris menyentuh bibirnya, bersamaan dengan cengkeraman tangan Kris yang begitu kencang di lengan atasnya.

“MPH…!” kedua tangan Nana memberontak, lengan yang tidak dicengkeram Kris meninju dada laki-laki itu. nana sangat terkejut, bagaimana tidak? First kiss-nya! Dan pria itu adalah pria yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri. How come…? “Oppah!” Nana menjerit ketika ia berhasil melepaskan bibirnya darri Kris.

“Wae?” tatapan kris terasa begitu menghujam mata Nana. “Kau tidak bisa menerimaku?” tapi gadis itu hanya menunduk, tak berani menatap mata Kris.

“Kau oppaku, Kris. Aku tidak bisa menganggapmu lebih dari itu. Mian,” ujar Nana tegas. “Dan… bila oppa benar-benar menyukaiku, kau tidak akan melakukan hal tiba-tiba seperti itu tadi,”

Cengkeraman tangan Kris lepas dari lengan Nana. Pria itu mundur beberapa langkah, lalu menatap Nana dengan pandangan kecewa. “Kupikir…”

“Oppa, mianhae…” Nana hanya mematung menatap Kris yang menghembuskan napas beberapa kali.

“Ne, gwaenchanna. Oppa mengerti,” Kris memandang Nana setengah hati, membuat gadis itu sedikit khawatir. “Mianhae, tadi kau terlalu terkejut,”

“Gwaenchana. Itu juga bukan first kiss-ku. Aku tidak menciummu kok, hehe,” Nana memaksakan tawa garingnya, yang disambut senyum miring dari Kris.

“Jongmal mianhae, Na-ya,”

“Gwaenchanna, oppa. Kau hanya terlalu bernafsu tadi, haha,”

__

Kim Jongin—sekarang pria itu dirundung frustasi. Bergelas-gelas martini sudah ia teguk, membuat kedua kawannya, Sehun dan Baekhyun hanya bisa menatap cowok itu prihatin ditambah bingung. Bahkan Yeonsa—sepupunya yang terkenal galak dan killer saja ia hiraukan. Kini cewek itu sudah entah dimana, terlalu kesal dengan ulah Jongin yang tiba-tiba. Tiba-tiba mengesalkan, tiba-tiba manis, tiba-tiba penurut, tiba-tiba liar pula.

“Mana Janice? Bukannya cewek itu yang disuruh menjaga Jongin?” Sehun meneguk bir-nya yang kedua sambil menatap Baekhyun yang hanya memainkan embun di luar kaca gelas birnya.

“Dia ngeluyur bersama Yeonsa tadi. Ck, cewek memang selalu mengesalkan,”

“Aigoo.. lihatlah anak tengil ini. Berapa gelas yang ia teguk? Rekor man, rekor!” sahut Sehun sambil memerhatikan Jongin yang sudah tepar. “Jangan beri dia minum lagi, tolong buatkan dia jeruk nipis hangat,” pinta cowok itu kepada salah satu bartender.

“Sejak kapan anak ini suka minum? Kenapa ia ingin minum? Mungkin karena yeoja,”

Beberapa jam kemudian ballroom mulai sepi, dan cowok bernama Kim Jongin itu juga sudah sedikit bisa mengontrol dirinya sendiri. Sehun sudah tidak tahan mendekam di depan meja bar, sementara Baekhyun yang ingin berdiam diri ikut menemani Jongin yang hanya melamun.

“Kau mau pulang?” Jongin masih menopang kepalanya ketika ia bertanya pada Baekhyun. Sementara yang diajak bicara hanya mengangkat bahunya acuh.

“Terserah. Kau mau pulang, ayok. Kau mau di sini, juga oke,” jawab Baekhyun simple. Jongin hanya tersenyum miring, lalu meronggoh kunci mobilnya di sakunya.

“Baiklah. Kau pulang bersama Sehun dan Yeonsa. Aku masih ada urusan,” kata-kata yang Jongin lontarkan membuat Baekhyun melongo.

“Apa? Kau masih mabuk, kawan! Kalau kau ditilang sama saja kau mencari masalah dengan Yeonsa dihari ulang tahunnya!” seru Baekhyun. Tapi Jongin menghiraukan, ia hanya melambaikan kunci mobil itu tanpa menoleh dan terus melangkah keluar ballroom. Baekhyun meringis, lalu berdecak kesal memandang punggung Jongin yang sudah entah kemana.

“Anak itu. Kalau terjadi sesuatu padanya, cih, dasar labil,” gumam cowok imut itu sambil meminum es tehnya.

__

Nana melangkah lemas memasuki apartemennya, segera melangkah menuju kamar dan mengambil pembersih make up. Ia melakukan semua itu di ruang tamu, karena ia belum melepas sepatu. Gadis itu menghembuskan napas berat, pikiran dan tubuhnya masih terlalu lelah untuk melakukan ini-itu. Berada di pesta memang sesuai dengan perkiraannya selama ini. Lelah, baik pikiran maupun fisik. Lihat saja, tumit Nana sudah memerah bahkan sebelum ia melepas sepatunya. Kini, dengan sedikit malas ia mencopot sepatunya agak kasar dan melemparnya ringan ke dekat rak sepatu.

Gadis itu benar-benar akan tidur di ruang tamu kalau sebuah suara tidak mengagetkannya.

Cklek…

Kriett….

Nana memijit keningnya, untuk berpikir siapa yang tidak sopan membuka pintu apartemennya larut malam seperti ini. Tapi begitu ia berdiri untuk melontarkan omelan-omelan, kata-katanya serasa terhenti di tenggorokan. “Jongin-ssi…”

Nana benar-benar tercengang, apalagi ketika dilihatnya pria berjas yang sudah tak beraturan itu langsung ambruk di sofanya. Gadis itu mendekati Jongin, meraih bahunya dan berusaha membalik tubuh pria itu. Tapi yang ada malah pria bernama Kim Jongin itu menarik tubuh Nana ke dalam pelukannya.

GREP!

“Ah!—“ Untung saja, untung saja, Nana terus bersyukur dalam hati ketika ia berhasil menahan dirinya untuk tidak menempel seutuhnya ke tubuh Jongin. Tinju kirinya ia kepalkan di dada Jongin, membuat jarak kecil diantara mereka.

“Hm, baumu masih sama seperti bau suratmu dulu,” gumam Jongin tepat di depan wajah Nana. Tapi gadis itu malah merenyit, bau alkohol yang kuat menguar dari mulut pria itu.

“Hei, Kim Jongin-ssi, kau mabuk, ya?” baru saja Nana ingin melepas tangan Jongin yang mencengkeram lengan tasnya, “Ah!—“ gadis itu malah jatuh terjembab ke pelukan Jongin—benar-benar ke pelukan pria itu. “YA~!”

“Apa yang kaulakukan dengan Yi Fan tadi?” tanya Jongin datar. Matanya yang sayu perlahan menatap mata Nana tajam. Tapi air liur sangat sulit ditelan saat itu bagi Nana. “Kalian sangat dekat, apa kalian pacaran?”

“Ke-kenapa?”

“Kau jawab saja,” Nana merenyit mendengar pernyataan ketus dari mulut Jongin. Ia berusaha untuk bangkit, tapi kedua tangan Jongin sudah melingkar dengan manis di pinggangnya. “Bisakah kau menatap mataku? Hm? Tatap mataku, dan jawab pertanyaanku!”

Matilah kau, Park Nana.

“Apakah itu adalah sesuatu yang harus kau ketahui, Jongin-ssi?” tanya Nana, datar dan pelan. Ya, dia sedang berusaha menahan getaran dalam suaranya. Jongin hanya menatapnya dengan tajam, tapi sedetik kemudian ia mencengkeram pinggang Nana dan membalikkan tubuh gadis itu hingga kepalanya bersandar di tangan sofa, dengan Jongin yang mengurung tubuhnya. Segera setelah itu, Jongin memejamkan matanya dan menautkan bibirnya dengan bibir Nana, memmbuat gadis itu terkejut dan mencengkeram lengan Jongin. Bagaimana tidak, posisi mereka sangat strategis sekarang.

“Tentu saja aku harus tahu, sayang,” Jongin berkata pelan-pelan dengan suara rendahnya. Ia menatap bibir pink itu sekilas saat berkata, lalu menciumnya lagi, temponya pelan dan tenang. Membuat Nana yang otaknya terus-menerus memerintahnya untuk mengakhiri ciuman itu, malah mematung dan mulai terbuai.

Tiba-tiba mata gadis itu menjadi siaga, ia meninju dada Jongin lagi, membuat tautan bibir mereka terlepas. “Kenapa? Oh, Kim Jongin, janganlah membuatku berharap. Sudah cukup 7 tahun aku menderita dengan perasaanku padamu. Jangan buat aku seperti diberi kesempatan. Aku tahu, Kim Jongin, aku bukan pilihanmu—ergh,”

“Kau banyak bicara, sayang. Lagipula, siapa sih yang membuatmu berharap? Kalau aku benar-benar mengharapkanmu, bagaimana?” mata Nana terpejam, antara mendengar dan tidak mendengar ucapan Jongin. Tubuhnya terlalu terbuai dengan Jongin yang terus-terusan mengusapkan hidungnya dari tulang selangka gadis itu yang terbuka ke dagunya, naik-turun menelusuri leher mulus putih nan jenjang itu.

“Jongin-ssi, kau bercanda,” ucapan Nana bergetar, “Kau sedang dalam keadaan mabuk,” gadis itu sama sekali tidak bisa konsentrasi. Perlakuan Jongin membuatnya gemetar, entah harus melakukan apa.

Jongin mendengus dan memasang smirk-nya ditengah kegiatannya, “Aku boleh saja mabuk, tapi tidak dengan pikiranku,”

“Kau dengan Janice sudah cocok, Jongin-ssi,” ungkap Nana lalu merengkuh leher Jongin, membuat sentuhan itu terlepas. Jongin menatap mata Nana lalu melepas kedua tangan Nana dan menggenggamnya.

“Jadi kau cemburu, sayang?”

Blush

Nana mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan memalingkan wajahnya ketika ia merasakan pipinya memanas. Tidak hanya pipinya, tapi matanya juga ikut memanas. Sebutir air mata jatuh di pipi kiri gadis itu, membuat Jongin mengusapkan ibu jarinya untuk menghapus air mata itu. “Jadi, karena itu kau membalas pesanku dengan ketus? Kau ingat, saat kita makan siang bertiga, ekspresimu sangat menjengkelkan. Kau juga jarang berkeliaran di sekitarku akhir-akhir ini. Jadi karena Janice, ya?”

“Tentu saja, bodoh! Aku tahu bagaimana rasanya kalaau punya pacar yang didekati cewek gatel—mph…” Nana memejamkan matanya ketika tangan Jongin menangkup lehernya dan kembali memulai lagi pertautan bibir mereka. Jongin mencium bibir Nana dengan pelan, dan penuh emosi, lama-kelamaan ia mulai merasa Nana meresponnya dan tersenyum penuh kemenangan.

“Kau tahu, Janice memang terobsesi padaku. Tapi aku tidak mencintainya,” ujar Kai sambil tersenyum lembut pada Nana yang membeku, dengan setetes-dua tetes air mata di pipinya. “Kenapa kau menangis, sih?”

“Karena kau menjadikanku pelampiasan,” gumam Nana, terdengar frustasi. Jongin menatap Nana dengan alis bertaut, lagi-lagi ia menyambar bibir Nana dan menciumnya liar. Nana meringis ketika bibir Jongin membabat habis bibirnya, membuat sudut bibir gadis itu tergores dan berdarah. Jongin menghentikan ciuman kasarnya, lalu mengusap darah di sudut bibir Nana.

“Itu baru namanya pelampiasan,” jelas Jongin datar. Ia mengelus pipi Nana lembut, lalu bergerak dari posisinya dan mendudukkan dirinya di sofa, tepat di samping Nana. “Kau membuatku serba bingung, Na-ya. Kau menyerahkan hatimu tanpa mau mengambilnya kembali. Tapi ketika aku memberikan hatiku, kau menolaknya dan menghilang pelan-pelan. Maumu apa, Na-ya?”

Nana mengubah posisi duduknya, lalu menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga, menunduk ketika Jongin menatapnya seakan menuntut. “Karena aku tahu aku tak pantas untukmu, Jongin-ssi,”

“Berhentilah memanggilku dengan embel-embel –ssi!” Jongin menyahut frustasi. “Kalau aku ingin memilikimu, bagaimana?”

“Nde?”

“Kalau aku ingin memilikimu, setiap hari menghirup bau tubuhmu, mendengar suaramu, memelukmu setiap tidur, bagaimana?” tanya Jongin dengan nada yang sama dengan sebelumnya, selalu menuntut. Tapi gadis di sampingnya tetap mematung. “Kalau kau tidak ingin memilikiku, biarlah aku yang memilikimu,”

Bola mata Nana bergerak menatap mata Jongin, dengan ragu ia menyentuh tangan pria itu, dan dengan perlahan ia mencium bibir Jongin. “Itu tidak adil, tuan. Kalau aku menjadi milikmu, bolehkah, dengan berani aku menjadikanmu milikku?”

Senyum Jongin mengembang. Ia meraih pinggang Nana dan mencium bibirnya sekilas. “Tentu saja, sayang. Aku mencintaimu. Sejak tujuh tahun lalu. Sejak kau menstalk kegiatanku di universitasku. Sejak kau menstalk jejaring sosialku,”

Nana berusaha melepaskan tubuhnya dari Jongin, tapi tak bisa. “Bagaimana kau tahu?” Jongin hanya terkekeh. “Baiklah, kalau kau tidak mau menjawab. Tapi untung saja tadi aku tidak menerima Kris oppa,”

“APA?” Jongin melotot menatap Nana yang kini nyengir.

“Ya, tadi Kris oppa menembakku. Pakai menciumku segala. Untung saja kutolak ya, jadi aku bisa menerimamu,” Nana memeletkan lidahnya, lalu tertawa.

“Tapi untung saja, aku sudah menciummu berkali-kali, jadi bekas pria itu sudah hilang,” balas Jongin tak mau kalah. Nana mencubit pinggang pria itu kesal.

“Aku mencintaimu,” bisik Nana pelan di telinga Jongin. Jongin terkekeh lalu mencium gadisnya.

“Aku tahu. Aku juga mencintaimu,” Nana tersenyum miring lalu menyenderkan kepalanya di bahu Jongin.

“Hey, ngomong-ngomong, kenapa kau mencintaiku?”

“Apakah aku harus punya alasan? Kalau kau, kenapa kau mencintaiku?”

“Hm, aku juga tidak tahu. Yang jelas aku mencintaimu,” sahut Nana tegas. Dan hening lagi.

“Sayang, apertemenmu hanya punya satu kamar, ya?”

“Memangnya kenapa?”

“Aku menginap di sini ya,”

“HAH?! Kau mau tidur di sofa?”

“Tidak~” Jongin mencubit hidung nana gemas. “Tapi aku akan tidur sambil memelukmu,”

“Kenapa kau jadi genit sekali, sih? Ash, tidak, tidak! Apa kata Yeonsa kalau kau belum pulang, hah?! Menginap di rumah perempuan lagi?!”

“Tinggal bilang saja kalau aku menginap di rumahmu, dan kita sudah bertunangan,” kata-kata Jongin membuat Nana melotot.

“Apa?!”

“Lihat tuh, jarimu. Masa kau tidak sadar sih?” Nana buru-buru mengangkat tangan kanannya. Benar saja, sebuah cincin dengan setitik berlian melingkar di jari manisnya. “Ayo kita tidur~”

“Ya~ KIM JONGIN!!”

“Kenapa? Ah, berarti tugasku tinggal menikahimu, ya,”

“YA~~~”

 

END


Viewing all 317 articles
Browse latest View live