Main Cast : Park Jiyeon – Kim Jongin
Support Cast : Park Chanyeol – Kim Shinyeong – Byun Baekhyun – Lee Jieun – Jung Soojung – Kim Joonmyeon – Park Gyuri
Genre : Life, Friendship, Romance, A Little bit Angst
Length : Chaptered
Author : Qisthi_amalia
Backsound : Shin Young Jae – Because My Step Are Slowly
Note : Sorry waktu Chapter 13 ada kesalahan nama seharusnya Park Gyuri bukan Nam Gyuri ^_^
***
-CHAPTER 14-
***
“Ahjussi, bisakah lebih cepat !” Teriak Jongin pada supir taksi yang membawa mereka menuju rumah sakit.
Ahjussi itu menatap ngeri Jongin lalu mengangguk patuh. Diikuti mempercepat laju mobilnya.
Sementara jongin. sebelah lengannya menggenggam erat tangan Jiyeon yang gemetar di sampingnya. di tariknya kembali tubuh yang penuh luka itu lembut dalam dekapannya. Berusaha. Hanya mencoba dan berharap jika dekapannya bisa menghilangkan sakit itu, walau sedikit. Jika ia bisa. Ia lebih rela jika ia yang merasakan sakit itu.
Jiyeon terbatuk kecil. Menutupi mulutnya yang terasa perih. Kepalanya bergerak perlahan dan menatap Jongin nanar.
“Gomawo. Jeongmal gomawo..” Bisiknya pelan. Suaranya benar-benar serasa habis. Dan ia hanya bisa mengatakan itu dengan pelan.
Jongin meringis. Menggeleng cepat. semakin menggenggam lengan itu dan membenarkan posisi duduk Jiyeon yang bersandar di dadanya.
Hatinya tak bisa. Ia tak kuat. Di alihkan tatapannya pada jendela. Berusaha mencari objek lain untuk dilihat. Walau hatinya tetap mengulang kalimat yang sama sejak tadi.
‘Aku minta ma’af.’ ‘Aku minta ma’af.’
***
“MWO ?”
Chanyeol bangkit dari tempat duduknya cepat. matanya mengerjap cepat dan ia mulai gelisah.
“Kau serius ? Jangan bercanda Jieun, ini tidak lucu…” Teriaknya marah. Ani. Khawatir lebih tepatnya.
Chanyeol meletakan ponselnya begitu saja. saat sambungan telepon itu terputus. Ia tertunduk. Matanya bertubrukan dengan pas photo dirinya dan Jiyeon yang tersimpan di atas meja kerjanya. Tersenyum kecut.
‘Lagi-lagi. Aku tak ada saat kau butuh, Jiyeon. ma’af’ Bisiknya pilu.
Dan tanpa harus menunggu lebih lama lagi. chanyeol menyambar kunci mobil di atas meja dan berlari keluar.
Tak memperdulikan teriakan beberapa stafnya yang menyapa. Atau teriakan Shinyeong yang tak mengerti sekaligus khawatir. Namun saat ia melihat kedua mata kekasihnya itu yang penuh rasa khawatir. Shinyeong tahu. Ini menyangkut Jiyeon.
***
“Apa nomornya sudah aktif ?” Tanya Joonmyeon pelan.
Soojung menggeleng menyesal. Ia sudah menghubungi nomor Jongin sejak tadi. Namun mendadak nomor kakak kelasnya itu pun ikut-ikutan tak aktif. Padahal mereka punya kabar gembira sekaligus buruk untuk Jongin.
Joonmyeon menundukan diri di samping ranjang Yoona. Ummanya itu tadi sempat sadar sebentar, dan kini sudah tertidur lagi karena dokter bilang ummanya perlu istirahat.
Kepalanya terasa pening. Berdenyut. Kepalanya tertunduk. Ia benar-benar merasa lelah. Sekaligus bingung. Apa yang akan ia lakukan jika kata-kata dokter beberapa saat lalu benar adanya. Apa ia masih bisa kuat ? Apa ia masih bisa bertahan ?
Soojung menatap kekasihnya itu khawatir. Ia pun tertunduk. Tak tahu harus melakukan apa.
Pintu ruangan itu mendadak terbuka. Seorang namja berbaju putih berdiri di ambang pintu. Matanya menatp lurus ke depan. Kearah Joonmyeon yang membulatkan matanya. Marah.
Lelaki itu –Yunho tersenyum kecil.
“Aku harus berbicara denganmu.” Katanya singkat.
Joonmyeon bangkit dan menatap lelaki itu kesal. “ Untuk apa kau berbicara denganku ?”
Yunho kali ini diam. Tak tersenyum. Ekspresinya datar. Ia lalu berkata dengan intonasi yang sulit di artikan.
“Terlalu rumit untuk di jelaskan.” Pelannya. Ia lalu kembali melirik Joonmyeon. “ Ikut aku sekarang. Ini penting. Menyangkut ummamu.”
Dan cukup. Hanya dengan kata ‘penting’ dan ‘Umma’. Joonmyeon menurut. Ia mengangguk. Lalu berjalan menghampiri Yunho. Diliriknya sebentar Soojung yang menatapnya bingung.
“Jaga umma untukku sebentar.” Pelannya.
Dan soojung hanya mengangguk. Menatap kepergian Joonmyeon dengan berjuta Tanya. Ia tak mengerti.
***
Stretcher itu di dorong begitu kencang. Di atasnya Jiyeon tidur terlentang dengan sebelah tangan yang Jongin genggam erat. Para perawat dan dokter mendorong tempat tidur beroda itu kedalam ruangan UGD. Dan saat Jongin ingin masuk, seorang perawat menahannya dan menyuruhnya untuk menunggu diluar. Jongin menurut. Ia menatap pintu yang tertutup itu nanar. Pikiran buruk memenuhi otaknya.
Ia merasa kakinya terasa lemas dan sulit untuk berdiri. Jongin memilih mendudukan dirinya di kursi tunggu yang dingin tepat di samping pintu UGD. Jongin memejamkan matanya sejenak. Mencoba menetralkan kembali segalanya yang serasa ingin meledak di otaknya.
Dan semuanya. segala hal yang kini membebani pundaknya ia coba untuk hilangkan sejenak. Walau pada nyatanya semuanya masih tetap disana. tidak berubah.
***
Chanyeol mempercepat laju kakinya di koridor itu. walau rasanya kini kakinya terasa mengambang dan tak menyentuh lantai. Ini semua bagaikan Déjà vu untuknya. Dan lagi-lagi ini berhubungan dengan orang yang ia sayangi. Chanyeol menghela nafas berat dan mulai mengatur nafasnya yang satu-satu. Saat ia sudah sampai di depan UGD. Ia melihat seorang namja tengah tertunduk di kursi tunggu. Chanyeol tak mengenali namja itu, namun saat melihat rona khawatir disana, ia tahu itu pasti Kim Jongin. namjachingu adiknya.
“Kim Jongin ?”
Saat mendengar namanya di panggil, jongin mendoak.
“Kau kim jonginkan ?” Tanya Chanyeol lagi memastikan.
Jongin mengerjapkan matanya bingung. Namun tak ayal ia pun mengangguk. “ Iya, saya kim jongin. anda siapa ?” Tanya Jongin sopan.
Chanyeol tersenyum kecil. Ia lalu memilih duduk di samping Jongin. “Namaku Park Chanyeol, aku kakaknya Jiyeon.”
Jongin langsung membenarkan posisi duduknya dan hendak berdiri untuk membungkuk, tanda hormat. Namun chanyeol mencegahnya dan menggeleng pelan.
“Tidak usah. Ini bukan waktunya untuk memikirkan itu.”
“Mianhe, hyung.”
Jongin meremas lengannya. Ia benar-benar merasa bersalah pada Chanyeol. Walaupun ini semua bukan kesalahannya. Namun entah mengapa ia hanya merasa yakin jika kejadian yang menimpa jiyeon itu pasti menyangkut dirinya.
“Ini bukan salahmu. Tak usah merasa bersalah seperti itu. aku juga sangat merasa tak berguna saat ini. Dan terima kasih sudah menyuruh Jieun untuk menghubungiku.” Chanyeol tertunduk. Membiarkan lantai yang ia pijak sebagai objek matanya.
Begitu pun dengan Jongin yang tak tahu harus bagaimana. Membiarkan suasana hening yang menegangkan menyelimuti mereka.
Menunggu. Menunggu waktu sekiranya mau membantu mereka untuk menyambungkan kembali sayap-sayap harapan mereka yang kini patah.
***
Joonmyeon membiarkan rambutnya yang menjuntai menutupi dahi bergerak tak beraturan searah angin. Matanya masih menatap objek yang sama. Hamparan rumput hijau yang kini menjadi pijakannya. Dibawah naungan pohon maple yang daunnya berwarna kuning kecokelatan itu Joonmyeon terdiam. Membiarkan semilir angin menemaninya kali itu.
“Kau harus percaya semua ini Joonmyeon~aa. Aku tahu mungkin ini terdengar tak masuk akal. Tapi inilah kenyataannya. Dan aku hanya bisa minta ma’af karena baru berani menyampaikannya sekarang.”
Joonmyeon tergugu. Bibirnya mendadak membisu. Ia bingung dan tak mengerti.
“Pikirkan baik-baik. Jongin pantas mengetahuinya. Sekarang, sebelum semuanya terlambat. “ Ujar Yunho kembali.
Tak ada jawaban. Joonmyeon masih saja diam. Enggan berbicara. Yunho hanya mampu menghela nafas. Ia tahu ini terlalu berat untuk Joonmyeon dengar dan ia juga tahu jika Joonmyeon pasti kaget. Namun inilah yang terbaik yang harus ia lakukan. Mengungkapkan kebenaran. Sebelum semuanya terlambat.
Dan sampai Yunho meninggalkan taman itu pun. Joonmyeon masih saja diam. Mulutnya membisu. Hanya kedua lengannya yang saling bertautan erat di atas kedua pahanya.
Pikirannya mendadak kosong. Dan ia mendapati dirinya sendiri tak tahu harus berbuat apa. Semuanya sulit untuk ia percaya. Semua yang ia dengar dari mulut Yunho bagaikan hantaman ombak yang berhasil memecahkan karang pertahananannya dalam sekali deburan. Dan ia mendadak berharap jika semua ini adalah mimpi.
Ummanya. Appa. Jongin. Penyakit itu dan Kesalahpahaman 8 tahun yang lalu. kini semua terjawab sudah.
***
“Kau yakin dia di rawat disini ?”
Jieun mengangguk mantap. Kedua matanya menatap tajam kearah pintu kayu berwarna cokelat yang kini berdiri tegap di hadapannya. Kakinya mendadak merasa lemas dan kedua tangannya serasa dingin membeku.
Baekhyun menatap kekasihnya itu bingung. Di raihnya sebelah lengan Jieun dan di genggamnya erat.
“Dia pasti baik-baik saja. Jiyeon adalah gadis paling kuat yang pernah aku kenal. Kau harus yakin itu. “ Ujar Baekhyun sambil menatap Jieun.
Jieun tersenyum kecil dan mengangguk. “ Kau benar. gomawo.”
Baekhyun kembali tersenyum dan mempeerat genggamannya pada tangan Jieun. Membuat jieun merasa lebih baik.
“Dia sahabatku yang paling kuat.” Jieun berucap pelan.
***
Jiyeon mengerjapkan matanya perlahan. Bias cahaya mentari yang menembus sela-sela bingkai jendela membuat matanya silau. Putih. Itulah warna pertama yang ia lihat saat membuka mata. Dan rasa perih di sekujur tubuhnya membuatnya meringis kecil. Jiyeon menghela nafas berat saat mengingat kembali kejadian yang membuat tubuhnya terasa remuk seperti itu. ia menunduk perlahan, mengigit bibirnya sendiri.
‘Eungh~
Erangan pelan seseorang membuat Jiyeon menoleh. Ia semakin merasakan perih di kedua matanya saat melihat Jongin tertidur di sisi ranjangnya. Bukan karena sakit ataupun merasa terganggu. Tapi karena ia sadar, ia sadar jika lelaki itu, namja itu, Kim Jongin. masih berada di sampingnya. tidur di sampingnya dan menjaganya.
Jiyeon menatap kepala Jongin yang terkulai di sisi ranjangnya. Salah satu tangannya terulur. mencoba mengusap rambut namja itu. namun gerakannya terhenti, tepat beberapa centi di atas rambut Jongin. ia meringis. Mengerjapkan matanya cepat, mencoba mencegah air mata itu jatuh.
‘Apa yang harus ku lakukan Kim Jongin ?’
Jongin mengeliat pelan, ia lalu mengangkat kepalanya perlahan. Mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar melihat Jiyeon yang tersenyum kecil dihadapannya.
“Jiyeon~aa, kau sudah sadar ?”
Jiyeon mengangguk cepat. dan selanjutnya ia hanya merasakan hangat saat Jongin memeluknya begitu cepat dengan erat.
“Aku merindukanmu.” Bisik jongin pelan. Sembari melepaskan pelukannya dan menatap Jiyeon lekat.
“Aku juga.”
“Apa kau memimpikanku ?”
Jiyeon terkekeh. “ Aniyo. Aku malah memimpikan Baekhyun. Otthe ?”
“Mwo ? YA, Baekhyun itu kekasih Jieun bagaimana bisa kau malah memimpikannya, eoh ?” Rengut Jongin sambil menatap Jiyeon kesal.
Senyuman di bibir Jiyeon melebar.
“Apa ada yang sakit ?” Tanya Jongin sambil menatap Jiyeon khawatir.
Jiyeon menggeleng pelan. “ Aku baik-baik saja.”
Jongin tersenyum kecut. ia meraih tangan Jiyeon dan menggenggamnya erat.
“Mianhe. Mian karena aku terlambat.”
Kedua mata namja itu berkaca-kaca. Jongin menunduk. dan demi Tuhan, Jiyeon tak suka melihat namja itu bersikap seperti itu.
“Kim Jongin..”
Jongin masih menunduk. ia enggan mendoak, karena ia benar-benar merasa menyesal. Sangat menyesal.
“Jongin~aa…Lihat aku..” Ulang Jiyeon.
Jongin mendoak. Ia menatap kedua mata Jiyeon nanar. “Mian.” Ulangnya lagi.
Jiyeon meraih kedua tangan Jongin dan menggenggamnya erat.
“Aniyo. Seharusnya aku yang minta ma’af. Ma’af karena membuatmu khawatir. Ma’af karena menyusahkanmu. Ma’afkan aku.”
“Jiyeon~aa…kau mau berjanji satu hal padaku ?” Kata Jongin pelan.
Kedua mata Jiyeon mengerjap. Ia menatap Jongin ingin tahu. Bibirnya lalu tersenyum. Kepalanya mengangguk. Membuat Jongin tersenyum.
“Berjanji, berjanjilah untuk selalu disampingku. Jangan berlari kemana pun. Tak perduli apa yang terjadi kau hanya perlu tetap bersamaku. Arraseo !”
Jiyeon tersenyum. Dan mendadak semua resah dan kalutnya sirna, saat Jongin menatapnya dengan tatapan teduh itu. namja itu memberikannya kekuatan. Namja itu mampu mengokohkan kembali benteng pertahanannya. Dan namja itu pula yang mampu membuatnya merasa semuanya akan baik-baik saja.
Jadi, tak ada alasan untuknya untuk tak mengiyakan janji itu.
“Eum. Aku janji. Begitu pun denganmu.”
Kali ini Jongin tersenyum. Begitu lepas, ia merasa seluruh bebannya sirna. Yah, mungkin ini memang terdengar berlebihan. Tapi itulah yang Jongin rasakan. Saat Ia melihat Jiyeon tersenyum dengan senyuman itu, saat ia melihat Jiyeon menatapnya dengan tatapan itu. semua bebannya serasa menguap. Menjauh bersama udara yang ada di sekitar mereka. Ia hanya merasa lepas dan bebas.
“Hmm, aku juga berjanji.”
Dan kedua pasang mata itu menatap Jiyeon lekat. Mencoba menyampaikan apa yang ia rasakan saat ini. Tangan Jongin terulur, menarik tengkuk Jiyeon untuk mendekat.
Jiyeon tersenyum. Membiarkan Jongin menarik belakang kepalanya. Dan membiarkan Jongin mengecup keningnya. Lama. Ia memejamkan matanya. Ia menyukai momen ini. Ia suka saat jantungnya kembali berdebar dengan cepat. ia suka saat pipinya memerah dan memanas. Dan ia suka, saat kedua lengan Jongin menyelubungi tubuhnya. Menjaganya. Dan melindunginya.
“Aku mencintaimu, gadis monster ku.”
Jiyeon terkekeh. “ Aku juga mencintaimu, otak udangku.”
Dan mereka kembali berpelukan. Mencoba melepas beban itu bersama. Biarlah. Biarlah masalah yang belum terselaikan terabaikan sementara ini. Biarlah mereka egois untuk sementara. Biarkan mereka menikmati masa tenang itu. setidaknya untuk sekarang.
.
.
Chanyeol tersenyum, dibalik pintu itu ia merasa lega. Di tariknya kembali handel pintu dan di tutupnya pintu itu. chanyeol lalu menyandarkan tubuhnya di pintu itu. hatinya terasa lega. Ia kini tahu jika Jongin memanglah yang terbaik untuk Jiyeon. Dan ia benar-benar yakin jika namja itu akan mampu melindungi Jiyeon.
Segalanya, kini segalanya terasa lebih ringan untuk Chanyeol. Ia lalu merogoh saku celananya. Meraih ponsel dari dalam sana, mengetik beberapa nomor dan menempelkan ponselnya ketelingan.
“Yobboseyo..”
Chanyeol tersenyum saat mendengar suara seseorang disana. ia tahu kini atas dasar apa Jiyeon tadi tersenyum begitu lepas. Karena kini ia pun dapat tersenyum begitu lepas setelah mendengar suara seseorang di sebrang sana.
“Bogoshipeo..” Ujar Chanyeol pelan.
Shinyeong terkekeh dari sebrang sana.
“Aku senang semuanya sudah baik-baik saja.”
Chanyeol menatap pintu ruangan Jiyeon di rawat pelan. Tersenyum. Lalu melangkah menjauh dari sana. Kini, ia yakin Jiyeon akan baik-baik saja. jadi yang perlu ia lakukan sekarang adalah pergi menemui seseorang yang ia cintai.
“Dan aku senang kau masih ada bersamaku.”
***
“Jiyeon sudah sadar ?”
Jieun mengangguk cepat. sembari memperlihatkan pesan singkat yang dikirimkan Jongin beberapa menit yang lalu padanya. Soojung, Joonmyeon dan Baekhyun yang melihat pesan singkat itu tersenyum dan menghela nafas lega.
“Syukurlah. “ Kata Soojung lega. Sejak mendengar jiyeon tak sadarkan diri 2 hari yang lalu dar Jieun, ia benar-benar khawatir. Tapi kini ia bisa bernafas lega kembali.
“Dia memang gadis yang kuat.” Joonmyeon tersenyum kecil. Di tatapnya Yoona yang sedang tertidur di ranjang yang sama. Yah, ummanya itu masih dalam kondisi tidak stabil jadi masih harus mendapatkan perawatan intensif dan soaln masalah itu. ia belum bisa menjelaskannya pada Jongin karena semua masalah ini. Tapi setelah mendengar Jiyeon sadar, mungkin ia bisa mengatakan kebenaran itu pada Jongin, sebelum semuanya benar-benar terlambat.
“Yah, Jiyeon memang gadis yang kuat. Ia luar biasanya. “ Sahut Baekhyun sambil tersenyum kea rah Jieun yang membalas senyumannya.
Setelah kejadian itu Jieun dan Baekhyun memang sempat menengok Jiyeon tapi karena sahabatnya itu belum sadarkan diri. Jadi mereka memilih menunggu sambil menjenguk Ummanya Jongin yang juga sakit. Dan disinilah mereka, di ruangan dimana Yoona dirawat. Selama 2 hari ini pula Jieun dan Baekhyun rajin menengok Jiyeon maupun Ummanya Jongin.
Mereka sudah seperti keluarga sendiri. Dan Baekhyun merepukan salah satu orang yang amat bahagia. Bukan karena bahagia melihat ummanya Yoona sakit atau Jiyeon yang tak sadarkan diri. Melainkan bahagia karena ia akhirnya bisa merasakan seperti apa sebenarnya arti keluarga itu dan ia bisa merasakan itu setelah ia bertemu dengan Jieun dan kedua sahabatnya.
***
Genggaman jemari Jongin tak lepas dari tangannya. bahkan setelah kursi roda itu berhenti tepat di bawah rindangnya pohon maple yang daunnya sudah kembali menghijau. Di hadapannya terbentang hamparan warna-warni bunga yang cantik. Beratapkan awan biru yang cantik dan mentari yang bersinar terang juga hangat.
Jiyeon tersenyum. Menikmati semilir angin yang berhembus. Ia memejamkan matanya. Membiarkan hembusan angin menembus pori-pori kulitnya. Rasanya sejuk dan nyaman.
“Kau menikmatinya. “ Ucap Jongin yang berdiri di belakangnya. Dengan sebelah tangan yang masih menggenggam tangannya.
Jiyeon mengangguk cepat. “ Ini menyenangkan. “ Ujarnya pelan.
Jongin tersenyum. Ia lalu mengunci roda dari kursi roda jiyeon dan beralih berjongkok di samping kursi roda itu. matanya menatap wajah Jiyeon dari samping. Gadis itu tengah memejamkan matanya kembali dan tersenyum. Jongin tersenyum kecil. ‘Ia benar-benar cantik’. Pujinya dalam hati.
“Yeppo..”
Jiyeon menoleh cepat, “Eoh ?”
Jongin menggeleng kecil sambil tersenyum. “ Kau….Cantik.”
Jiyeon terdiam. Ini…Ini adalah kali pertama Jongin memujinya cantik. Dan ia merasakan amat luar biasa. Pipinya kembali memanas dan ia merasa jika seluruh tubuhnya juga memanas. Ya Tuhan, dan saat ia melihat kedua mata Jongin dari jarak sedekat itu. Jiyeon baru sadar Jika Jongin memiliki mata yang benar-benar cantik.
“Jiyeon~aa..”
“Eum…”
Jongin tersenyum. Ia menjinjitkan sedikit kakinya. Wajahnya mendekat kearah Jiyeon, membuat jantung Jiyeon berdetak lebih cepat. gadis itu bahkan meremas bajunya dengan kuat. Wajah Jongin semakin dekat, hanya berjarak beberapa centimeter darinya. Ia bahkan dapat merasakan deru nafas namja itu di pipinya dan ia pun dapat mencium aroma lemon yang menguar dari tubuh namja itu.
“Saranghae..” Bisik Jongin pelan.
Dan Jiyeon hanya mampu memejamkan matanya saat bibir mereka bertemu. Ia merasa melayang dan terbang. Rasanya luar biasa, walau hanya ciuman biasa Jiyeon merasa benar-benar hidup.
“Nado….Naddo saranghae..” Bisiknya dalam hati.
***
Suara alat pendeteksi jantung itu benar-benar mengganggu pikiran Joonmyeon. Ia kembali menatap wajah Yoona yang pucat di hadapnnya.
“umma…” Bisiknya pelan.
Yoona sebenarnya sudah sadar beberapa menit yang lalu memilih memejamkan matanya. Bukannya ia tak ingin melihat anak sulungnya itu. melainkan karena ia tak bisa. Ia tak kuat melihat wajah Joonmyeon yang begitu frustasi dan lelah. Ia benar-benar merasa bersalah. Sangat bersalah.
Jongin meraih sebelah tangan Yoona dan menggenggamnya erat.
“Aku harus seperti apa umma, Joonmyeon benar-benar bingung…”
Kedua mata Joonmyeon mengerjap cepat. mencoba menahan matanya yang kembali memanas.
“Kenapa umma tidak jujur jika semua ini salah paham. Mengapa umma tidak mengatakan yang sebenarnya dan membiarkan kami melakukan kesalahan yang fatal. Kenapa umma seperti itu ? Kenapa umma ?” Ujar Joonmyeon lagi. nafas namja itu berderu cepat.
Sementara Yoona. Ia mencoba menahan sesuatu yang terasa perih. Membucah dan amat sakit.
“Umma…Cepatlah sembuh. Joonmyeon tak tahu harus seperti apa jika umma benar-benar pergi. Jongin, dia masih belum mengetahui kebenaran ini. Joonmyeon takut ia kembali menyalahkan dirinya umma.”
Joonmyeon menunduk. ia lalu melepaskan genggaman tangannya pada tangan Yoona dan beranjak berdiri.
“Bangunlah umma. Aku merindukanmu. Cepatlah sembuh. Arraseo. “ Katanya lalu mulai melangkah menjauh dari tempat itu.
Sementara Yoona. Ia lalu membuka matanya perlahan. Matanya menatap punggung Joonmyeon yang menjauh darinya dan menghilang di balik pintu. Yoona menelan ludahnya dan ia menangis.
“Mian..Mianhe Joonmyeon. Ma’af karena membuamu menanggung beban ini. Ma’af karena membuatmu harus mendnegar semuanya dari orang lain. ma’afkan umma…” Ucapnya parau.
Membiarkan ruangan itu menyaksikan betapa ia benar-benar menyesal.
***
Gyuri menggebrang meja itu dengan kuat.
“ARGHT ! BERENGSEK…!!” Ia berteriak kencang, melempar semua barang yang ada di meja dengan brutal. Tak perduli dengan ketiga temannya yang berdiri di sampingnya ketakutan. Tak perduli dengan tangannya yang berdarah karena serpihan kaca. Ia benar-benar tak perduli. Ia benar-benar marah dan membenci segalanya.
“PARK JIYEON SIALAN ! Seharusnya memang ku bunuh saja dia !!” Ujarnya sambil menatap selembar photo Jongin yang menggendong Jiyeon dari sekolah sore itu. ia tak menyangka Jika Jongin akan menyelamatkan yeoja itu. ia tak menyangka jika Jongin benar-benar mecintai yeoja seperti itu. ia benar-benar tak menyangka.
Kedua matanya berkila tajam. Ia menatap kedua namja berperawakan besar di hadapannya dengan tajam.
“Bunuh yeoja itu. bagaimana pun caranya. Arrseo !!”
Kedua namja berperawakan besar itu mengangguk patuh lalu berlalu dari sana. Menyisakan Gyuri yang tersenyum kecut. mendesis tajam. Di raihnya photo Jiyeon dan Jongin diatas meja itu lalu di remasnya kuat hingga membentuk bulatan.
“Jika aku tak bisa mendapatkan Jongin maka kau juga tak boleh Park Jiyeon.” Bisiknya sambil menatap ratusan photo Jongin – yang ia ambil diam-diam yang tertempel di dinding kamarnya itu tajam.
***
“Hyung…?”
Jongin menatap heran kakaknya yang tiba-tiba saja berdiri disampingnya.
“Apa kabarmu Jiyeon ?” Tanya Joonmyeon pada Jieon yang tengah duduk di atas ranjang dan tak mengindahkan keheranan Jongin yang masih menatapnya.
“Baik oppa, ma’af membuatmu repot.”
Joonmyeon menggeleng kecil. “ Ani. Aku yang seharusnya minta ma’af karena baru sempat menjengukmu.”
Jiyeon tersenyum. “ Tak apa oppa. Aku tahu oppa harus menjaga aunti yoona. Bagaimana keadaannya ?”
Joonmyeon tersenyum kecil. “ Umma sudah siuman tapi kondisinya masih belum stabil.”
Jongin yang mendengar itu bangkit dari duduknya dengan cepat.
“Umma sudah siuman ? Kenapa hyung tak memberitahuku ?” Tanyanya tak percaya.
“Kau belum tahu ?” Kini giliran Jiyeon yang heran karena Jongin belum tahu Yoona siuman.
Joonmyeon menepuk bahu adiknya itu, menyuruh Jongin untuk tenang.
“Hyung hanya tak ingin membuatmu khawatir dnegan dua hal, sekarang jaga saja Jiyeon biar umma hyung yang urus, araseo.”
“Gwenchana oppa, biar nanti aku telpon chanyeol oppa saja untuk menjagaku. Jongin~aa, kau jaga Aunti Yoona saja. dia pasti lebih membutuhkanmu. “ Ujar Jiyeon sambil menatap Jongin, mencoba menyakinkan namja itu jika ia memang benar-benar baik-baik saja.
“Tak usah Jiyeon, Biar—
“Ani oppa, aku baik-baik saja. sungguh.” Sela jiyeon sambil tersneyum meyakinkan.
Joonmyeon akhirnya mengangguk kecil. “ Gomawo.”
“Aniyo. Seharusnya aku yang berterima kasih. “
Jongin mengusak kepala kekasihnya itu pelan lalu mengecup dahi Jiyeon sekilas.
“Baik-baik disini. Aku jenguk umma dulu. Nanti aku pasti kemari.” Kata Jongin sambil menatap Jiyeon khawatir.
Jiyeon terkekeh sambil mengangguk.
“Tenanglah, aku pasti akan baik-baik saja.”
“Segera telpon Chanyeol hyung setelah ini Arraseo.” Perintah Jongin lagi. namja itu benar-benar masih khawatir dengan keadaan Jiyeon. apa lagi setelah tadi gadis itu tak mau menjawab siapa yang melakukan semua itu padanya. Itu benar-benar mengganggu pikiran Jongin. ia hanya takut orang itu mengulangi perbuatannya.
“Arrseo Kim Jongin. sana pergilah !”
Jongin tersenyum kecil. Lalu berlalu dari sana di ikuti Joonmyeon.
Jiyeon menatap kepergian kedua namja itu sambil tersenyum kecil. Lalu diraihnya ponsel yang tergeletak di samping bantal tidurnya. Namun ia baru sadar jika ponselnya mati karena terbentur.
Akhirnya ia hanya bisa menghembuskan nafas berat.
“Sepertinya aku memang harus sendirian malam ini.” Ucapnya pelan sambil membaringkan tubuhnya yang masih terasa sakit dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Sepertinya tidur akan membuatnya lebih baik.
Setidaknya itu yang ia pikirkan.
***
“Kenapa kau mengajakku kesini hyung ?” Tanya Jongin bingung. Karena Joonmyeon bukan mengajaknya menuju kamar rawat Yoona melainkan malah mengajaknya menuju atap gedung rumah sakit.
Joonmyeon diam. Ia masih bungkam, sejak beberapa menit yang lalu mereka sampai di atas gedung rumah sakit itu.
Jongin menatap kakaknya itu bingung. “Hyung, kau baik-baik sajakan ?”
Joonmyeon mengangguk. Ia lalu menatap Jongin serius.
“Ada yang perlu hyung bicarakan denganmu.”
Jongin menaikan alisnya bingung. “ Tentang apa ?”
“Umma..” Kata Joonmyeon pelan.
Kedua mata Jongin membulat dengan cepat. “ Apa ? Ada apa dengan umma ?”
Joonmyeon menatap adiknya itu lekat.
“Jongin~aa, kau masih ingatkan kejadian saat appa meninggal ?”
Jongin mengangguk cepat.dan matanya berubah sendu. “Iya aku ingat, kenapa ?”
Joonmyeon menunduk sejenak lalu kembali menatap Jongin.
“Sebenarnya….
Dan mengalirlah semua penjelasan Joonmyeon. Dan itu cukup membuat Jongin terkejut.
Delapan tahun yang lalu, saat Jongin masih berumur sepuluh tahun. Ia melihat sendiri kejadian itu, kejadian saat tubuh ayahnya jatuh, masuk ke dalam tebing yang curam. Dan saat itu ia amat menyalahkan ummanya. Ummanya yang ia tahu berselingkuh dengan namja lain. tanpa ia ketahui dengan jelas jika namja itu Yunho. Sahabat sekaligus dokter pribadi Yoona. Tanpa ia ketahui Jika semenjak saat itulah Yoona mengidap kanker darah dan tanpa ia ketahui jika Yoona bertemu Yunho ialah untuk membicarakan masalah kesehatannya yang memasuki stadium 1. Dan tanpa ia ketahui pula jika Yoona enggan mengakui penyakitnya itu pada Changmin ataupun keluarganya. Yoona tak mau menyusahkan dan membuat semua keluarganya cemas. Dan
Jongin membulatkan matanya tak percaya. Ia menatap kakaknya itu nanar. Tubuhnya meluruh jatuh. Terduduk tak berdaya di atas lantai beton yang dingin. matanya menatap lantai di hadapannya nanar.
“Jadi,, Selama ini. Selama ini umma sakit dan aku….Aku malah menyalahkannya. “
Jongin berucap parau. Ia merasakan perih dan sakit. Membiarkan air matanya jatuh dan bahunya yang bergetar.
“Jongin~aa…” Joonmyeon menatap adiknya itu nanar.
“Hyung…aku benar-benar berengsek. AKU ANAK BRENGSEK !!” Teriak Jongin marah sambil memukul lantai beton di depannya keras.
Joonmyeon meraih tangan Jongin dan menahan tonjokan adiknya itu lagi. ia meraih tubuh Jongin dalam pelukannya.
“Semua ini bukan salahmu. Kita hanya terlambat untuk mengetahuinya.”
“Aku benar-benar berengsek. Seharusnya aku saja yang mati hyung, seharusnya aku yang mati.” Ujar Jongin lagi.
Joonmyeon menepuk punggung adiknya itu pelan. Ia tak bicara apapun. hanya diam. Karena ia tahu yang perlu ia lakukan sekarang adalah menenangkan Jongin.
***
Chanyeol mengupas apel itu tanpa henti tersenyum menatap Jiyeon yang begitu terlihat bahagia.
“Ini, makanlah..” Ujar Chanyeol sambil menyodorkan potongan apel yang sudah ia kupas pada Jiyeon.
“Gomawo oppa.”
Chanyeol mengangguk kecil lalu beralih duduk di samping ranjang adiknya itu.
“Shinyeong onnie kamana ?”
“Ia akan datang besok pagi jiyeon karena masih ada hal yang harus di selesaikan dikantor.” Ujar Chanyeol menjelaskan.
Jiyeon mengangguk paham. Lalu melahap potongan apel terakhirnya. Membuat chanyeol mengusap kepala adiknya itu penuh sayang.
“Sebenarnya siapa yang membuatmu seperti ini, eoh ?”
Jiyeon tersenyum kecil lalu menggeleng. “ Bukan orang yang ku kenal oppa.” Katanya berbohong. Ia hanya tak ingin masalah ini di perpanjang. Ia tak mau membuat Gyuri harus dilaporkan kepolisi atau harus berhadapan dengan Jongin. karena ia tahu Gyuri sebenarnya tidak salah apa-apa. Kakak kelasnya itu hanya begitu mencintai Jongin hingga berbuat seperti itu padanya. Walau pada dasarnya itu adalah penyelesaian masalah yang jelek.
“Apa kau benar-benar tak mengenalnya ?” Tanya Chanyeol tak yakin.
Jiyeon mengangguk cepat dan mencoba meyakinkan kakaknya. Namun ia salah dan ia terlalu percaya diri jika cahneyol akan percaya. Karena nyatanya kakaknya itu malah semakin menatapnya dengan tatapan memohon dan meminta penjelasan.
Dan akhirnya Jiyeon hanya bisa menghembuskan nafasnya. Ia tahu, ia tak akan bisa membohongi kakaknya itu.
“Jadi, siapa dia ?” Tanya Chanyeol mengulang.
Jiyeon meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya sambil menggigit bibirnya cemas.
“Dia…Dia kakak kelasku oppa…”
“Kakak kelasmu ?”
Jiyeon mengangguk kecil. “ Dia kakak kelasku….Yang teramat mencintai Kim Jongin. “ Lanjut Jiyeon lagi.
Chanyeol menatap adiknya itu sendu. “ Maksudmu, ia melakukan semua ini karena ia cemburu ?”
Jiyeon mengangguk lagi. “ Ia sangat mencintai Jongin, bahkan ia sudah mencintai Jongin sebelum aku bertemu jongin oppa.”
Jiyeon menundukan kepalanya. “ Aku tahu aku pantas menadapatkan ini, iyakan oppa ?” Tanya Jiyeon sambil menatap kakaknya itu nanar.
Chanyeol menelan ludahnya, ia lalu duduk di samping tempat tidur Jiyeon dan menggenggam salah satu tangan adiknya itu erat.
“Aniyo. kau sama sekali tak seharusnya di perlakukan seperti ini Jiyeon.”
“Tapi aku telah merebut Jongin darinya.”
Chanyeol menatapa adiknya itu lekat.
“Jiyeon~aa dengar, tak perduli berapa lama ia telah mencintai Jongin, ia seharusnya tak berhak melakukan semua ini padamu.”
“Tapi oppa—
Chanyeol tersenyum menatap Jiyeon.
“Jiyeon~aa, cinta sejati itu ialah saat kita memberi dengan setulus hati dan sepenuhnya. Bukan saat kita ingin balas di beri dan di perlakukan sama.”
“Oppa…” Ucap Jiyeon pelan.
“Wae ?”
“Gomawo, aku adalah oppa terbaikku dan terima kasih juga oppa telah mencintaiku dengan sepenuh hatimu. Aku menyayangimu oppa…” Ujar Jiyeon pelan sambil memeluk tubuh Chanyeol erat.
“Naddo, oppa juga berterima kasih karena kau sudah mencintai oppa dengan peneuh hatimu, oppa juga menyayangimu. Jangan seperti ini lagi. ararseo !”
Jiyeon mengangguk paham dan mempererat pelukannya. Ia benar-benar bahagia memiliki kakak seperti Chanyeol.
***
“Apa dia baik-baik saja ?”
Joonmyeon mengangguk kecil. “Ia hanya butuh sendirian.”
Soojung tersenyum paham. Ia lalu ikut keluar dari ruangan rawat Yoona, membiarkan Jongin berdua bersama Yoona di ruangan itu.
.
.
Kedua mata namja itu menatap fokus kedepan. kedua kakinya melangkah dengan pasti walau beberapa kali hamir limbung.
Jongin menekan dadanya yang bergemuruh semenjak tadi. Ia menarik nafas sekuat tenaga dan mendudukan dirinya di samping tempat tidur yoona. Di tatapnya wajah Yoona yang tengah terlelap. Jongin tersenyum kecil. Ia baru sadar jika ummanya sangatlah cantik. Namun senyumannya seketika memudar saat ia tak lagi dapat menemukan rona merah di pipi ibunya itu. wajahnya pucat pasi, pipinya mencekuk dan tubuhnya mengurus.
Jongin meringis. Mengepalkan kedua tangannya kuat. Ia benar-benar merasa amat menyesal. Dengan kekuatan yang ia punya, jongin mencoba mengulurkan lengannya, meraih tangan Yoona dan menggenggamnya erat.
“Umma…” Ucapnya pelan.
Jari jemari Yoona bergerak, kedua mata Yoona terbuka perlahan.
“Jongin~aa…” Ucap Yoona terbata.
Jongin menatap ummanya itu miris. Ia lalu mengangguk kecil.
“Eum~, wae umma ?”
Yoona tersenyum kecil, jongin tahu ummanya itu sekuat tenaga menarik kedua bibirnya yang kelu untuk tersenyum. Dan menyadari itu semakin membuat Jongin merasa bersalah.
“Kau sudah makan ?”
Jongin semakin meringis. Ia lalu mengangguk kecil.
“Bagaimana sekolahmu, apa nilai-nilaimu bagus ?”
Jongin mengangguk lagi. ia mencoba menahan sesuatu dari matanya yang hendak jatuh keluar.
“Ma’af membuatmu khawatir dan repot Jongin~aa, umma berjanji tak akan membuatmu seperti ini lagi. ukhuk..” Ujarnya lagi terbatu sambil terbatuk.
Jongin semakin meringis. Ia lalu mengisyaratkan ummanya untuk diam.
“Mianhe umma…” Pelan Jongin sambil menunduk.
Yoona mengelus kepala anak bungsunya itu penuh sayang. Ia kembali mencoba tersenyum dan tersenyum.
“Aku sudah tahu semuanya umma dan aku benar-benar minta ma’af.” Jongin menelan ludahnya susah payah. “ Seharusnya, seharusnya aku saja yang sakit umma. Seharusnya aku saja yang menderita. Seharusnya aku saja umma….seharusnya anakmu yang berengsek ini yang sakit..” Jongin tertunduk, bahunya gemetar, ia menangis. Demi Tuhan,, ia benar-benar menyesal. Ia benar-benar seperti pembunuh sekaligus anak berengsek saat ini. Ia benar-benar tak tahu dan ia benar-benar menyesal.
Yoona meringsi, menatap anak bungsunya itu dengan tatapan sendu.
“Gwenchana Jongin~aa…Umma baik-baik saja. semua ini bukan salah siapa pun.”
Bahu jongin semakin mengguncang hebat. Namja itu terisak. Ia tak perduli lagi dengan apapun saat ini. Ia hanya ingin mengelurkan semuanya. Jika ia benar-benar menyesal. Andai ia bisa mengulang waktu ia berjanji akan membuat semuanya lebih baik. Namun ia sadar itu tak mungkin. Tak akan pernah mungkin ada sebuah mesin waktu. Yang ada hanyalah kesempatan kedua.
Digenggamnya erat kedua tangan Yoona. Ditatapnya wajah ummanya itu lekat.
“Jongin berjanji, mulai sekarang dan seterusnya, jongin akan berubah menjadi anak yang lebih baik umma. Jongin berjanji.”
Dan Yoona, wanita paruh baya itu tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menangis. Menangis amat lega. Ia baru sadar jika anak bungsungnya telah beranjak dewasa dan ia baru sadar jika anak bungsunya kini sudah semakin tinggi dan tampan, mirip Changmin. Suaminya yang amat ia cintai.
Dan ia juga tahu jika waktunya tak akan banyak lagi. dan ia tak akan lama lagi akan bertemu orang amat ia cintai. Suaminya. Changmin.
***
Chanyeol mengecup dahi Jiyeon yang sudah tertidur pulas sejak setengah jam yang lalu. ia lalu membersekan tempat tidur itu dan beranjak dari sana.
“Oppa, keluar sebentar yah Jiyeon. Jumuseyeo.” Ujarnya sambil berlalu dari sana.
Tanpa ia tahu. Tanpa ia sadari.
Sejak tadi dua orang namja tengah berdiri mengawasi ruangan itu. dan tepat setela Chanyeol keluar dari kamar Jiyeon kedua namja berbaju hitam dan abu-abu itu berjalan dengan senyum kemenangan ke ruangan Jiyeon.
Dibukanya pintu bercat putih itu dengan pasti. Dengan langkah pasti kedua namja itu menatap Jiyeon dengan tatapan evilnya. Si baju abu-abu lalu mengeluarkan sebuah sapu tangan yang sebelumnya sudah di baluri obat bius dari kantong mantelnya.
“Habisi dia.” Perintah di baju hitam.
Sibaju abu-abu menyeringai lalu mengangguk. Dihampirinya tubuh Jiyeon yang tertidur diatas ranjang dan di bekapnya mulut dna hidung gadis itu dnegan kuat.
Jiyeon sempat membuka matanya saat merasakan pengap dan pusing di kepalanya. Ia juga sempat menatap wajah seseorang yang berdiri di hadapannya.
Jiyeon menggerak-gerakan tangannya mencoba melepaskan sesuatu yang memebakap mulut dan hidungnya namun itu tak berjalan dengan baik. Karena mendadak ia merasa lemas dan tubuhnya terasa mati rasa. Namun dengan kuatan yang ia masih miliki Jiyeon masih sempat meraih ponsel yang ada di bawah bantalnya dan memasukannya kedalam jaket tidurnya.
‘Jongin~aa..’
Dan itu bisikan terakhir yang ia sempat bisikan. Kim Jongin.
***
Jongin melangkahkan kakinya dengan pasti menuju ruangan Jiyeon. namun belum sempat ia sampai di ruangan itu mendadak kantung keresek yang ia bawa jatuh begitu saja. dua kaleng minuman yang ada di dalam sana jatuh menggelinding ke berbagai arah.
Jongin menatap kejadian itu dengan aneh. Dan mendadak perasaannya menjadi tak enak.
Kedua matanya membulat cepat. tanpa mengambil kaleng minuman itu terlebih dahulu jongin berlari dari koridor itu, berlari menuju ruangan Jiyeon dirawat.
Perasaan ini. Perasaan yang kembali ia rasakan. Rasa cemas dan ketakutan. Kembali menghinggapinya.
Jongin menghentikan langkah kakinya setelah sampai di depan ruangan jiyeon. kamar itu tertutup rapat. Namun Jongin masih merasa khawatir. Ia lalu membuka pintu itu. dan saat itulah ia benar-benar merasa ingin mati.
“BERENGSEK !!” Hardiknya keras.
Tempat tidur itu kosong dengan keadaan seprai dan selimut yang tak beraturan. Selang infusan pun menggantung begitu saja dengan cairan infuse yang menetes membasahi lantai.
Jongin tahu, ada yang tidak beres. Dan tanpa menunggu apa-apa lagi Jongin berlari seperti orang gila dari ruangan itu. ia tak perduli lagi dengan apapun karena yang ada di pikirannya kini hanya, Jiyeon.
***
“Akh…”
Jiyeon meringis kecil saat menyadari tangan dan kakinya benar-benar sakit. Ia lalu membuka matanya perlahan dan menatap sekelilingnya.
Tempat itu bukanlah gudang sekolahnya lagi. melainkan sebuh gedung tua yang becek dan penuh dengan drum bekas dan berbau besi. Jiyeon tak tahu dimana ia berada namun yang ia sadari kedua kaki dan tangannya terikat dengan tali.
Tubuhnya mendadak mengigil. Ruangan gelap itu, aroma lembab dan suara hujan dari luar mendadak mengingatkannya akan sesuatu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu. saat dimana ayah tirinya menyiksanya dan mengurungnya sendiri di gudang ruangan.
Jiyeon meringkuk. Tubuhnya gemetar, giginya bergemeletukan keras. potongan masa lalu itu. potongan masa lalu yang ia kubur dengan susah payah kini kembali berputar bagai piringan kaset rusak dalam otak dan seluruh raganya.
Air matanya jatuh menetes. Rasa perih dan sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan sakit dan perih karena apa yang ia rasakan sekarang. Tapi sakit mengingat kembali bagaimana dulu ia terkurung dalam gudang gelap itu. kedinginan. Kelaparan dan sendirian.
‘BRUK’
Seorang namja berbaju hitam membuka pintu gudang itu di ikuti dengan seorang gadis yang terlihat tengah berbincang terlebih dahulu dengan namja berbaju hitam itu.
Namja berbaju hitam itu tertawa senang lalu mengangguk paham. Dan yang jiyeon tahu gadis itu hanya berdiri di ambang pintu beberapa saat lalu berlalu dari sana. Sedangkan si namja berbaju hitam itu kembali menutup pintu dan menguncinya.
Jiyeon tak mampu lagi berkutik. Ia benar-benar tak tahu apa yang akan namja itu lakukan padanya. Dan saat namja itu berjalan mendekatinya jiyeon hanya mampu berdoa dalam hati. Dan kembali mengulang kalimat yang sama.
‘Kim Jongin, selamatkan aku.’
“Selamat malam cantik…” Ujar namja berbaju hitam itu sambil menyeringai.
Jiyeon menunduk dalam. Ia lalu memundurkan tubuhnya kebelakang. Namun namja berbaju hitam itu menarik kakinya hingga ia tak mampu bergerak dan hanya mampu memberontak tak berdaya.
“Jebbal, jangan lakukan apapun padaku..” Isak Jiyeon ketakutan. Dengan kedua tangannya yang terikat jiyeon mencoba merogoh ponsel dari dalam saku jaket di belakangnnya. Namun itu tak berhasil.
“Jebbal…” Isak Jiyeon lagi.
Namja berbaju hitam itu menatapnya bengis. Ia lalu tertawa keras, mengambil sesuatu dari saku jaketnya dan menelan dua buah pil dari dalam sakunya itu. jiyeon menatap namja berbaju hitam itu ketakutan karena ia tahu namja berbaju hitam itu barusan memakan pil narkoba.
Jiyeon terisak. Membiarkan air matanya jatuh semakin banyak. ‘Kim Jongin, Jongin~aa…’ Hanya kalimat itu yang terus ia ucapakan dalam hati. Ia benar-benar takut. Sangat teramat takut.
‘Jongin~aa…’ Bisiknya lagi disela isak tangisnya.
Namja di hadapan Jiyeon semakin mendekat. Namja itu lalu berjongkok di hadapan Jiyeon dan meraih pinggang Jiyeon hingga tubuh Jiyeon menjadi lebih dekat dengan namja jahat itu.
Jiyeon menggerakan tubuhnya ingin lepas. Namun cengkraman tangan orang itu begitu kuat. Ia tak berdaya dengan kekuatan yang ia miliki kini Jiyeon benar-benar merasa lemas.
‘Jongin~aa…’
Lagi, ia membisikan kalimat yang sama.
***
Langkah kaki Jongin semakin cepat. ia berlari seperti orang gila. Ia benar-benar frustasi. Ia tak tahu harus kemana lagi sekarang.
“BERENGSEK !!” Teriaknya sambil mengacak rambutnya sendiri. Ia lalu tertunduk. Meringis. Menangis. Merasa tak berguna dan tak berarti.
“Jiyeon~aa…Jiyeon~a..Kau dimana ?”
Drrrt Drrrt…
Jongin merogoh ponselnya yang bergetar, di raihnya cepat. sebuah pesan masuk dari Chanyeol.
‘Jiyeon bilang pelakunya kakak kelasnya yang sangat mencintaimu’
Jongin mengepalkan tangannya kuat. Ia tahu. Ia tahu siapa yang Chanyeol maksud. Dan dengan kekuatannya yang masih ia punya, Jongin berlari dengan kecang dari tempat itu dan menuju satu tempat. Rumah Gyuri.
***
“Menjauh dariku. MENJAUH DARIKU BERENGSEK !!” Jiyeon memberontak histeris saat namja itu mencoba mencium pipinya.
Jiyeon semakin terisak. Ia takut. Ia semakin ketakutan. Demi tuhan ia takut.
Namja berbaju hitam itu menyeringai. “ Itu salahmu sendiri. Siapa suruh merebut orang yang bosku sangat sukai. Beginilah akibatnya jika cecunguk kecil sepertimu banyak berulah.” Ujar namjar itu sangar.
Jiyeon semakin terisak keras.
“Jebbal, jebbal selamatkan aku. Jangan lakukan apapun padaku. Jebbal. “ Jiyeon memohon. Ia mengiba. Dengan kekuatan yang masih ia punya, jiyeon mencoba memberontak sekali lagi tapi itu sama sekali tak berjalan baik.
Dan yang ada itu malah membuat namja itu semakin mendekatinya. Membuka paksa jaket tidurnya dan meleparkannya kesamping tubuh Jiyeon. hingga ponsel jiyeon terbentur keluar.
Jiyeon yang melihat itu mencoba berbagai cara agar ia bisa menghubungi Jongin. namun ia tak berdaya. Seluruh tubuhnya berada di sekitar namja jahat itu.
“Aku mohon jangan lakukan ini.”
“Kenapa ? Kau takut ? Bukankah wanita murahan sepertimu sering melakukan hal seperti ini, eoh ?”
Jiyeon menatap lelaki itu tajam lalu meludahinya. “Berengsek. Kau pikir aku gadis seperti apa, oeh ? Menjauh dariku !!”
Namja itu menyeka ludah jiyeon yang mengenai dahinya cepat dan menatap jiyeon bengis. Dengan mata berkilat marahnya namja itu lalu menarik kaki Jiyeon hingga jiyeon terkulai dengan kepala yang membentur lantai. Dengan kepalanya yang terasa pening jiyeon masih bisa melihat ponselnya yang kini berada di hadapan wajahnya.
‘Jongin~aa…’ Dengan suara parau dan terbatanya jiyeon berbisik. ‘Aku takut Jongin.’
Dan ia hanya merasakan sakit saat namja itu memukuli tubuhnya dengan stik baseball. Rasanya remuk dan mati rasa.
***
‘BRAK’
Nafas jongin terengah. Namun ia tak perduli. Dengan cepat ia berlari kedalam rumah itu.
“PARK GYURI….KELUAR KAU !!” Teriak Jongin keras.
Seseorang dari arah tangga berlari menghampirinya. Dengan wajah sok malaikatnya gadis itu menghampiri Jongin.
“Jongin`aa, aku tak menyangka kau datang. Ada apa ?” Tanya Gyuri tanpa dosa.
Jongin menatap gadis itu dengan mata berkilat marah.
“Dimana Jiyeon ?”
“Hah ? Jiyeon ? jiyeon siapa aku tidak kenal siapa Jiyeon ?” Ujar Gyuri pura-pura.
Jongin menatap gadis di hadapannya muak. “Jangan sok suci Park Gyuri. Karena aku tahu betul siapa kau itu. ular berbisa.”
Gyuri mengepalkan tangannya kuat. Dan dengan cepat kedua matanya berubah tajam. Ia tersenyum sinis.
“Hah ! Gadis murahan seperti itu kau sukai. Dimana seleramu Kim Jongin ?’
‘PLAK’
Dan sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipi Gyuri membuat gadis itu semakin marah dan menatap Jongin tak terima.
“Jangan pernah mengatai Jiyeon dengan mulut kotormu itu Park Gyuri. Karena ia jauh lebih baik dalam segala hal daripada KAU !”
“oh yah ? Lalu bagaimana sekarang ? Mungkin setelah kau melihat keadaannya kau akan langsung meninggalkannya.!”
“BRENGSEK !”
“Apa ? Kau mau memukulku ? silahkan ?”
Jongin mengurungkan tinjunya dan beralih menatap Gyuri tajam.
“Dimana Jiyeon sekarang. Katakana padaku.”
“Aku tidak tahu.”
“PARK GYURI !”
“Cari. Cari saja dia sendiri. NAMJA BRENGSEK !!” Teriak Gyuri sambil menangis lalu berlalu dari hadapan jongin.
Jongin meninju udara dnegan kesal. “Sialan.”
“Dan kim Jongin. percalah, setelah kau melihatnya kau akan merasa jijik.” Ujar Gyuri menegaskan lalu benar-benar pergi darisana.
Dan rasanya setelah mendengar itu Jongin ingin sekali membunuh gadis itu. namun ia sadar Jiyeon lebih penting sekarang.
“Dan kim Jongin. percalah, setelah kau melihatnya kau akan merasa jijik.”
“SHIT !!”
Jongin membalikan tubuhnya dan berlari dari tempat itu. ia tahu akan kemana ia sekarang.
***
Jiyeon tak lagi terisak atau meringis. Ia lebih memilih diam dan pasrah. Kakinya terasa benar-benar remuk dan patah. Seluruh tubuhnya serasa mati rasa dan ia tak mampu melakukan apapun.
Bahkan saat namja berbaju hitam itu membalikan tubuhnya menjadi terlentang. Jiyeon tak lgi mampu memberontak. Kedua matanya menatap kosong kedepan. menatap dinding yang berwarna biru pucat.
Dan dengan kondisinya yang setengah sadar, Jiyeon masih bisa mendengar suara dering ponselnya yang bergetar di samping kepalanya. Jiyeon menoleh, menatap nanar ponsel itu.
‘Jongin~aa, mianhe..’ Bisiknya dalam hati.
Dan saat namja berbaju hitam itu mengoyak paksa celana tidurnya dan merenggut mahkota dan hal yang paling berharga dari hidupnya. jiyeon tak mampu melakukan apapun. ia hanya menatap ponsel yang berdiri itu dengan air mata yang jatuh membasahi lantai yang menjadi alasnya.
‘Mianhe…’
Dan ia tak dapat merasakan apapun lagi. kecuali sakit dan rasa jijik.
Namun sayup-sayup ia bisa mendengar suara pintu yang di dobrak dan seseorang yang masuk kedalam ruangan itu. dan sayup-sayup pula ia bisa mendengar seseorang meneriakan namanya. Namun Jiyeon terlalu lelah dan ia terlalu jijik kepada dirinya sendiri untuk berharap lebih. Jadi, Jiyeon memilih diam. Tak melakukan apapun. hanya menatap ponsel yang sudah berhenti berdering itu dengan tatapan kosong.
***
Jongin mendobrak pintu gudang di belakang kompleks rumah Gyuri itu dengan sekuat tenaga. Karena tadi ia sempat mendengar suara dering ponsel Jiyeon dari dalam sini.
Dengan sekali sentakan pintu itu terbuka. Dan ia berteriak dengan kencang memanggil nama itu.
“JIYEON~AA…”
Namun apa yang ia lihat menghancurkan segalanya. Membuat jantungnya serasa berhenti berdetak dan segalanya menjadi kacau. Jongin menatap seorang namja berbaju hitam yang kini berdiri dihadapannya dengan tatapan marah. Matanya berkilat tajam.
“BERENGSEK ! SIALAN !!”
Dan seperti orang yang kesetanan, Jongin memukuli namja berbaju hitam itu bertubi-tubi tanpa ampun dan tanpa memberi kesempatan pada orang itu untuk melawana. Sampai namja berbaju hitam itu tersungkur dan tak sadarkan diri dengan kepala membentur drum besi yang keras. namun jongin tak perduli.
Belum cukup sampai disitu, ia lalu menginjak-injak orang itu dengan kuat sambil mengatai dan bersumpah serapah penuh amarah. Sampai orang itu berhenti bernafas dan terkulai tak berdaya.
Jongin terengah. Dengan berjalan lunglai ia meninggalkan orang itu dan menghampiri seseorang. Seseorang yang tengah terkulai tak berdaya di hadapannya. Dengan baju yang terkoyak, penuh memar, luka dan bercak darah.
Jongin tahu apa yang telah terjadi terlebih melihat keadaan Jiyeon yang tak berdaya.
Dan Jongin tak mampu melakukan apapun. tubuhnya merosot jatuh.. meluruh lunglai. Terduduk tak berdaya di hadapan Jiyeon yang masih membisu, membeku tak melakukan apapun. walau Jongin tahu Jiyeon sadar. Tapi gadis itu sama sekali tak mengindahkan kehadirannya. Jiyeon sama seklai tak memanggil namanya seperti kejadian yang lalu.
Dan dari situ pun Jongin paham. Jika sesuatu yang amat buruk dan menjijikan telah membuat Jiyeon seperti ini.
Jongin tertunduk. Ia menangis. Bahunya bergetar hebat. Ia benar-benar merasa berengsek dan tak berguna.
“Mian….Mianhe Jiyeon~a…Mianhe aku terlambat…mianhe…”
Air matanya jatuh begitu banyak dan ia tak mampu melakukan apapun.
Jiyeon menatap nanar wajah Jongin yang tertunduk dihadapannya. hatinya remuk. Perih dan sakit yang sangat. Itu yang ia rasakan. Dan jijik. Jijik dengan dirinya sendiri. Dengan tatapan nanarnya Jiyeon menatap wajah itu sekali lagi.
‘Mianhe…’ Bisiknya dalam hati.
Dan ia pun hanya mampu menangis. Membiarkan bulir air matanya jatuh bersama penyesalannya.
Dan Jongin, namja itu pun tak bisa melakukan apapun. dengan kondisinya yang masih kacau. Jongin membuka jaketnya dan menyelimuti Jiyeon dengan jaketnya. Dengan kekuatan dan rasa bersalah yang ia miliki Jongin mengangkat tubuh yang membeku itu ke dalam dekapannya. Memeluknya erat.
Namun justru bukan ketenangan yang ia dapatkan melainkan rasa sakit. Karena tubuh Jiyeon begitu kaku dan membeku. Jongin tak lagi dapat merasakan keinginan gadis itu untuk balas memeluk tubuhnya. Tubuh Jiyeon seperti menolak, seperti tak ingin ia sentuh. Dan menyadari itu Jongin merasa sakit.
Ia menangis. Menangis hebat.
Dan jiyeon ia pun melakukan hal yang sama. Menangis. Membiarkan air matanya jatuh membasahi kaus Jongin.
‘Kim Jongin. Mianhe…’
TBC